B.
Pengembangan
Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan
1.
Pengertian Pendidikan Agama Islam Berbudaya
Nirkekerasan
Menurut Hasan dkk. “budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat.” Di
mana keseluruhan sistem itu merupakan “hasil dari interaksi manusia dengan
sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan
keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial,
sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan
sebagainya.” Lebih lanjut, Hasan dkk. menjelaskan:[1]
Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai,
moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama
manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral,
norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus
berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem
ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan
upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka
memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan
masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk
kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Dengan adanya budaya, peserta didik
bisa mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Mulai dari budaya di lingkungannya
terdekat, hingga diperluas ke lingkungan yang lebih besar yaitu budaya nasional
dan budaya universal umat manusia. Oleh sebab itu, peserta didik yang
terasingkan oleh budaya bangsa (nasional) bahkan tidak mengenal dirinya sebagai
bagian dari budaya bangsa akan sangat rentan tersegregasi (terpisah). Akibatnya,
cenderung untuk menerima budaya dari luar tanpa proses pertimbangan (valueing). Fenomena ini lantaran mereka
tidak memiliki norma dan nilai budaya nasional yang digunakan sebagai dasar
untuk melakukan pertimbangan. Bagaimanapun, semakin kuat peserta didik memegang
dasar pertimbangan tersebut, maka semakin kuat pula tumbuh dan kembangnya
menjadi warga negara yang baik. Pada akhirnya, peserta didik bisa menjadi warga
negara Indonesia yang berwawasan, berpikir, bertindak, dan menyelesaikan
masalah sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya.[2]
Sedangkan istilah nirkekerasan[3] berakar dari kata “keras,” yang kemudian
diimbuhi dan dikembangkan menjadi kata “kekerasan.”[4] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
imbuhan “nir-“ berarti “tidak atau bukan.” Adapun “kekerasan” punya tiga pengertian,
yang pertama perihal atau sesuatu yang bersifat keras. Kedua, perbuatan
seseorang atau sekelompok orang yang berakibat kecederaan atau kematian serta
kerusakan fisik atau barang milik orang lain. Ketiga, diartikan sebagai suatu
paksaan.[5] Dengan demikian, dalam lingkup subjek, objek,
tujuan, dan wilayahnya maka kekerasan bisa dilakukan oleh siapa saja dan di
mana saja. Misalnya, kekerasan dalam pendidikan, kekerasan saat berdemonstrasi,
kekerasan dalam rumah tangga (sesama anggota keluarga atau dengan pembantu),
kekerasan dalam bercanda, kekerasan dalam berorganisasi, kekerasan dalam
pendidikan, kekerasan dalam beragama, kekerasan dalam pacaran, kekerasan dalam
berekspresi, kekerasan dalam mengajak, kekerasan kepada hewan, kekerasan pada
benda mati, kekerasan dalam mencegah, dan kekerasan dalam mencapai
tujuan-tujuan tertentu lainnya.
Secara gamblang, Nimer memaparkan bahwa nirkekerasan
adalah kombinasi antara sikap, pandangan, dan aksi yang dimaksudkan untuk
mengajak orang di pihak lain secara damai. Yakni, supaya mereka mau mengubah
pendapat, pandangan, dan aksinya dengan capaian kedamaian pula. Oleh karena
itu, dalam gerakan nirkekerasan para penggiatnya tidak pernah membalas
(merespon) tindakan the other dengan
kekerasan. Sebaliknya, mereka meminimalkan kemarahan dan kerusakan secara
holistik. Tentunya, sambil menyampaikan pesan ketabahan yang tegas dan desakan
untuk mengatasi ketidakadilan.[6] Ini bukan berarti dalam sikap nirkekerasan
seseorang hanya bersikap pasif-permisif tanpa perlawanan. Sebaliknya,
perlawanan mereka dilakukan secara masif, kreatif, dan cerdas yang tentunya
hanya mengacu pada prinsip nirkekerasan. Bisa dikatakan, aksi nirkekerasan
merupakan wujud perlawanan terhadapan kekerasan yang dilakukan secara elegan.
Berdasar pernyataan tersebut, dapat dikatakan
dalam gerakan nirkekerasan cara yang damai saja tidak cukup. Diperlukan keaktifan
secara damai pula untuk meraih cita-cita atau harapan perdamaian. Asumsinya,
seseorang bisa melakukan aksi (cara) damai tapi di sisi lain ia bermaksud
(kesengajaan) atau menimbulkan (tidak sengaja) pada ketidakdamaian. Misalnya,
melakukan kebebasan eskpresi yang sebebas-bebasnya dengan tujuan untuk
memprovokasi dan menyebabkan amarah pihak lain. Atau paling tidak adanya faktor
ketidaksengajaan. Yakni, meski tujuannya adalah untuk mencapai kedamaian (tanpa
provokasi) tapi tidak melihat budaya sekitar yang “kaku” (anti kebebasan)
sehingga menimbulkan kekerasan oleh pihak lain. Sebab lainnya, bisa jadi
pejuang nirkekerasan tidak berwawasan luas dan ke depan dalam mengantisipasi potensi
respon keras akibat dari aksi perdamaiannya tersebut.
Dari penjelasan di atas, dapat di simpulkan
bahwa Pendidikan Agama Islam berbudaya nirkekerasan adalah usaha mengkaji ilmu
secara terencana untuk membentuk peserta didik menjadi manusia beriman, serta dengan
sadar dan tulus mengembangkan keseluruhan produk masyarakat dan sistem
kehidupannya tentang perdamaian dengan ketentuan sesuai dengan nilai-nilai
Islam dalam segala sektor kehidupan yang sedang atau akan ditempuhnya. Bisa
dikatakan, PAI berbudaya nirkekerasan ini, tujuannya adalah agar peserta didik
bisa melakukan bina perdamaian dalam menjalankan kehidupannya. Oleh karena itu,
agar nilai-nilai perdamaian bisa melekat maka idealnya sejak dini peserta didik
sudah diajarkan budaya perdamaian. Harapannya, memori psikologis tentang ide
dan cikal bakal nilai tentang nirkekerasan sudah tertanam pada mereka melalui
PAI.
2.
Agama
dan Kekerasan
Agama[7]
dan kekerasan
seakan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.[8] Dalam
keduanya terjadi hubungan yang erat, entah itu direstui[9]
atau tidak. Pandangan yang lebih esktrem, agama dituding sebagai penyemangat
dan pengobar terjadinya kekerasan. Bahkan tanpa rasa bersalah, dikatakan
kelahiran dan perkembangan agama-agama sejatinya tidak lepas dari yang namanya
kekerasan. Intinya, agama dituding gagal membawa misi perdamaian bagi umat
manusia. Agama difungsikan tidak lebih sebagai alat pencari “kenikmatan” atau
kepuasan[10]
pribadi. Tanpa pernah peka (berempati) apakah kenikmatan (kekerasan) tersebut
akan melanggar hak (etika) kemanusiaan.
Pernyataan tersebut secara
tidak langsung menyimpulkan bahwa tanpa adanya kekerasan maka agama tidak akan
bisa eksis dan berkembang. Implikasinya, tindakan kekerasan seolah menjadi
kewajiban sekaligus sebagai tujuan mulia yang mesti ditempuh umat beragama.
Dengan kata lain, tujuan dari beragama adalah kekerasan itu sendiri.
Kenyataannya, ajaran agama tidak hanya mengajarkan tentang kekerasan tapi juga
ajaran-ajaran lain yang sangat manusiawi.[11] Bila
ada umat beragama yang memakai “ajaran kekerasan” saja tanpa melihat ajaran
humanis[12]
lainya –itupun juga belum tentu dalam konteks yang tepat– lantas apakah bisa
disimpulkan bahwa agama mengajarkan kekerasan?
Pertanyaan lain adalah
apabila dunia ini tanpa hadirnya agama apakah otomatis dapat menjamin tindakan
kekerasan dapat berkurang? Apakah kekerasan merupakan cara terbaik untuk
mempengaruhi orang lain? Jawaban singkatnya tentu akan mendapat perhatian
publik, tapi belum tentu bisa mempengaruhi logika individu. Lalu, apakah benar
agama hanya mengajarkan, mengutamakan, dan mewajibkan kekerasan? Adakah pilihan
lain selain kekerasan yang ditawarkan oleh agama untuk memecahkan suatu
masalah? Pertanyaan tersebut meski sederhana tapi bisa menjadi penghambat bagi
siapapun yang menjadikan agama sebagai dalih untuk menghalalkan jalan
kekerasan. Intinya, persoalan kekerasan menjadi tanggung jawab seluruh umat
beragama untuk “mengkader” generasinya, dengan mendoktrikan ajaran yang utuh.
Tak terkecuali umat Islam, harus bisa membuktikan kemanfaatan ajaran agamanya
bagi kehidupan kontemporer yang semakin dinamis.
Lebih
tajam, menurut A. Mukti Ali sebagaimana dikutip Syamsul Arifin bahwa kajian
tentang agama dari sudut apapun, khususnya di Indonesia sampai sekarang masih
menjadi isu yang sensitif. Ia menekankan bahwa topik pembicaraan tentang agama
merupakan hal yang paling menggugah emosi. Bahkan, hingga bisa menembus
batas-batas kebudayaan, etnis, bahasa, dan lain sebagainya. Dengan kata lain,
agama mampu menyatukan berbagai etnis, bahasa, dan budaya. Implikasinya, bila
ada persoalan (konflik) antar etnis atau budaya yang masing-masing didominasi
oleh (pemeluk) agama yang berbeda, maka dengan begitu cepatnya mendatangkan
respon dari pihak luar etnis yang seagama.[13]
Oleh karena itu, dalam konteks ini “wajar” bila ada seseorang atau kelompok di
luar etnis yang rela berkecimpung pada konflik[14]
antar etnis tersebut. Bahkan dengan melakukan kekerasan sekalipun, demi membela
mati-matian agama atau paling tidak membela manusia di luar etnis yang seiman.
Bisa juga “hanya” untuk membela atau
menjaga simbol-simbol Islam supaya tetap tegak berdiri bahkan menyebar ke
berbagai etnis.
Semangat kekerasan bisa jadi dilakukan karena ketakutan
rusaknya akhlak generasi muda Islam atas berbagai kemungkaran yang dilakukan
atau direstui oleh golongan di luar dirinya.[15] Bahkan, ketakutan pindahnya pemeluk
“Islam” yang lemah imannya atau generasi Islam yang labil ke agama lain.[16] Bisa juga ketakutan pada perubahan
akhak dan pemikiran umat Islam itu sendiri tentang Islam, sehingga dianggap
menjadi acuh tak acuh, antipati, dan menyudutkan ajaran agamanya sendiri.
Ironisnya, misi yang “mulia” itu tidak dibarengi dengan cara yang cerdas,
berprinsip nirkekerasan, terpola, tersisitem, dan terorganisir secara matang.[17] Seakan untuk menyelesaikan masalah
tersebut, satu-satunya jalan keluar adalah melalui kekerasan.[18] Dengan kata lain, kenyataannya agama
tidak difungsikan[19] dengan semestinya. Akibatnya bukannya
menyelesaikan masalah tapi malah menambah runyam bahkan menimbulkan masalah
baru.
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah
melalui jalur Pendidikan. Dalam konteks Islam, Pendidikan Agama Islam merupakan
bagian terpenting untuk mendoktrin generasi mudanya. Supaya mereka
mengimplementasikan ajaran agamanya secara utuh dan tidak dipilih-pilih sesuai
kehendaknya. Dengan itu pula, harapan selanjutnya adalah terbinanya generasi
muda yang menjadi insan kamil (paripurna). Pada akhirnya, menjadi insan yang
menjadi rahmat bagi semesta alam sehingga bermanfaat bagi kehidupan global.[20]
Bukan insan yang menjadi aktor “horor” bagi manusia lain yang tidak bersalah
yang justru keselematan mereka sebenarnya dijamin oleh Islam. Pada akhirnya, energi
umat Islam tidak terkuras habis pada kekerasan tapi difokuskan pada kegiatan
lain yang jauh lebih bermanfaat. Misalnya untuk pengembangan IPTEK.
3. Urgensi Pendidikan Agama Islam dalam
Membangun Budaya Nirkekerasan
Zaman sekarang
ini, dinamika ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi, sangat berlangsung
cepat dan instan. Hal itu menuntut PAI untuk mengimbanginya dengan pengembangan
diri secara “cepat” pula. Di sisi lain, akibat dari lompatan cepat tersebut
tantangan dan permasalahan PAI menjadi bertambah. Misalnya, zaman dulu
“kekerasan” antar tubuh oleh manusia prasejarah sangat perlu dilakukan untuk
mengendalikan keadaan sosial. Berbeda pada zaman sekarang ini, bukan
“kekerasan” tubuh secara berhadap-hadapan yang dapat mengatur sistem sosial,
tapi adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan CCTV misalnya, pemerintah
bisa memantau masyarakatnya dari jarak jauh. Bahkan, dengan satu tombol saja
negara tertentu bisa meluluh lantakkan negara lain yang jauh lokasinya dengan
bom atom. Bukan suatu kemustahilan pula, bila suatu saat diciptakan robot yang
diprogram melakukan “kekerasan.”
Bagaimanapun,
Islam adalah agama universal (rahmatan lil
al-‘alamin) yang menjangkau kebutuhan
zaman secara totalitas dan utuh. Artinya, pendidikan Islam tidak hanya
mengurusi masalah keakhiratan (eskatologi), tapi juga urusan duniawi.[21]
Artinya, manusia merupakan makhluk yang membutuhkan hal-hal bersifat
fisik-biologis (homo economicus)
sekaligus hal-hal yang bersifat psikologis dan spiritual atau maknawi (homo socius). Atas dasar itu, maka
manusia bisa menjadi makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Namun demikian,
betapa pun manusia punya kecerdasan tetap saja ia makhluk yang terbatas.[22]
Dari keterbatasan itu, manusia harus bekerjasama satu sama lain. Dari kenyataan
tersebut, PAI sesungguhnya berperan sebagai pembangun kejiwaan, spiritualitas,
dan kemaknaan hidup bersama. Dengan salah satu hasil akhirnya adalah dapat
membentuk masyarakat berbudaya nirkekerasan.
Dalam
posisi tersebut, PAI bertugas menyadarkan wilayah ilmu pengetahuan sekaligus
sikap manusia, bahwa tindakan “kekerasan” dalam konteks yang tidak tepat, tidak
manusiawi, dan dengan cara berlebih-lebihan merupakan larangan agama. Menurut
Jurgensmeyer, akan sangat mengejutkan dan memusingkan bila sesuatu yang buruk
(kekerasan) justru dilakukan oleh orang “baik.” Yakni, yang mengabdikan diri
pada pandangan moral dunia dan orang yang saleh. Dengan argumen dan retorika
yang nampak luhur, tindakan mereka telah menyebabkan penderitaan dan kekacauan
kehidupan.[23]
Oleh karena itu, PAI berserta
institusinya[24]
tidak hanya mendorong peserta didiknya hanya untuk bersabar, tabah, menerima
takdir, dan pasrah pada keadaan zaman. Maupun sebaliknya, “mendorong” mereka
mengutuk dan mencemooh negara-negara maju yang membuat teknologi “pendukung”
kekerasan. Namun, PAI harus bisa memberikan dorongan untuk hidup damai serta
mendorong peserta didik menciptakan teknologi canggih berbasis nirkekerasan.
Tantangan berat lainnya dalam dunia
pendidikan menurut Muhaimin adalah eskalasi (peningkatan) konflik. Meski, di
satu sisi konflik merupakan salah satu unsur dinamika sosial, tapi di sisi lain
justru menjadi ancaman keharmonian dan integrasi sosial dalam lingkup lokal
hingga global.[25] Selain itu, menurutnya pendidikan
Islam pada dasarnya harus menyentuh tiga domain. Yakni, knowing, peserta didik mengetahui dan memahami ajaran Islam. Doing, peserta didik mampu mempraktikan
ajaran Islam. Terakhir, being,
peserta didik dapat menjalani hidup sesuai dengan ajaran agama. Biasanya
kegagalan pendidikan agama terletak pada aspek being. Bagaimanapun, pendidikan agama tidak boleh dicukupkan pada
otak (pemahaman) dan badan (simbol fisik dan perbuatan). Lebih dari itu, perlu
diadakan internalisasi ajaran Islam ke dalam qalb (hati) dan dzauq
(rasa). Salah satu cara internalisasi adalah dengan melakukan keteladanan dan
pembiasaan.[26]
Dalam
konteks pengajarnya, maka pendidik
PAI bukan berposisi sebagai hakim yang keputusannya bersifat mutlak. Yakni,
sebagai penghakim mana yang benar dan salah. Serta bukan sebagai pendidik yang
hanya sebatas sebagai pembimbing peserta didik dalam perjalanan belajar. Bukan
pula sebagai perpanjangan tangan ilmu-ilmu atau ajaran dari para ulama
pendahulu saja. Seharusnya pendidik dalam Islam merupakan pewaris para Nabi,[27]
tidak hanya pewaris ilmu-ilmu Nabi tapi juga pewaris sifat-sifat Nabi.
Diantaranya, patut menjadi contoh dalam kepemilikan semangat perjuangan
terhadap agama Islam (bukan perjuangan dengan paksaan dan kekerasan namun
dengan cara kelembuatan dan kasih sayang). Serta memberikan pendidikan terhadap
umat dengan semangat gerakan pembaruan agar menjadi yang lebih baik dalam
segala bidang dari pada hari kemarin (mendobrak tatanan yang mapan untuk
kemajuan umat).[28]
Lebih
rinci, untuk menanggulangi regenerasi bahkan pengembangan “kader” kekerasan,
Pendidikan Agama Islam harus melakukan pencegahan[29]
secara aktif. Utamanya mencegah potensi tindakan kekerasan yang mungkin
dilakukan peserta didik pada suatu saat nanti. Bagaimanapun
sifat kepasifan PAI, secara tidak langsung mengizinkan peserta didik untuk
melakukan kekerasan demi mewujudkan tujuan agamanya. Seharusnya, Islam bisa
menjadi pencegah tindakan kekerasan yang mencederai hak-hak keutuhan fisik dan
psikologis orang lain. Dengan kata lain, PAI perlu menekankan secara kuat bahwa
kekerasan (keonaran yang melanggar hukum positif) sebagai perbuatan yang tabu
dan melanggar asas-asas kemanusiaan sekaligus ajaran Islam. Bila tanpa ada
penekanan tersebut, maka wajar bila peserta didik mudah terpengaruhi untuk
melakukan ajaran agama yang parsial.[30]
Yakni, salah satunya cenderung mendalami “ajaran” yang berpotensi pada
kekerasan saja.
Dengan
demikian, PAI sebagai salah satu indikator tentang bagaimana dan sejauh mana
ajaran agama itu didoktrikan pada generasi mudanya (peserta didik). Bila ajaran
yang didoktrikan tersebut masih parsial maka tentu berpeluang besar akan mencetak
generasi Islam yang akrab dengan kemerosotan moral, semisal melakukan kekerasan
atas nama amar makruf nahi mungkar.[31] Namun, bila PAI mampu mengajarkan ajaran Islam
secara utuh maka berpeluang besar mencetak generasi Islam yang mampu menyamai
bahkan melebihi generasi Barat. Yakni, yang unggul dalam etika, estetika, dan
ilmu pengetahuan umum sehingga pada akhirnya umat Islam bisa menjadi solusi
bagi permasalahan global.
Dari semua permbahasan di atas,
dapat disimpulkan masih diperlukan pengembangan PAI berbudaya nirkekerasan.
Penulis memandang tema tersebut sangat penting bagi umat Islam. Mengingat,
selama ini PAI perannya masih kecil dalam mencegah kekerasan yang dilakukan
oleh peserta didik saat ia masih sekolah maupun setelah lulus. Dengan kata lain,
perlu dirumuskan inovasi baru terhadap PAI supaya bisa mencetak generasi Islam
yang anti kekerasan. Oleh karena itu, dalam Bab ini penulis mencoba untuk
memberikan sumbangan terhadap pengembangan keilmuan PAI yang berbudaya
nirkekerasan. Dengan dispesifikan terkait masalah “penanganan” teorisme dan
pengembangan human security melalui PAI.
4.
Upaya Pengembangan
Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan
Dalam
mencari latar belakang (penyebab) terjadinya kekerasan, masih sulit diterima
alasan bahwa aneka kekerasan itu hanya dipicu oleh provokasi para elit politik.
Pun juga, logika manusia belum puas terhadap jawaban yang mengatakan pembakaran
terhadap aneka tempat ibadah dan perkampungan dari kelompok (etnis) umat agama
tertentu dilakukan oleh orang-orang yang tidak kuat imannya.[32]
Di sinilah perlu analisis kritis adakah yang salah dengan pola “pengkaderan”
generasi umat beragama. Lebih spesifik adakah yang salah dengan Pendidikan
Agama termasuk PAI di lembaga pendidikan formal, informal, dan nonformal
sehingga kekerasan masih jamak terjadi. Dikhawatirkan konsep keimanan yang
dibangun dan dijadikan patokan masih salah kaprah dan tidak utuh. Oleh karena
itu, paling tidak dalam PAI harus ada upaya pencegahan secara aktif[33]
bagi peserta didik sehingga terhindar dari “kelaziman” tindakan kekerasan.
Biasanya, individu atau kelompok tertentu memahami dan menghayati
keagamaannya dari pihak otoritas. Misalnya, terafilisasi pada ideologi[34]
organisasi keagamaan tertentu, doktrin orang tua, guru (utamanya guru agama),
tokoh agama, dan pihak-pihak lain yang dianggap pantas menjadi panutan dan
penentu arah hidupnya. Kenyataan tersebut sangat sulit sekali dirubah apalagi
ketika fanatisme sudah terlanjur melekat, sehingga sulit untuk mengikuti
dinamika. Implikasinya, daya kritis seseorang terhadap pemahaman agama[35]
menjadi lemah. Selanjutnya, pemahaman agama bisa dibelokkan untuk kepentingan
kekerasan oleh pihak lain. Padahal, sudah menjadi pemahaman bersama bagi umat
Islam bahwa kenyataan tentang “perbedaan” adalah sunattulah, sesuatu yang tidak bisa dihindari (given). Di mana salah satu fungsinya hadir sebagai sarana ujian
bagi manusia dari Allah SWT.[36]
Kenyataan di Indonesia,
mempermasalahkan kehidupan (cara) beragama di Indonesia masih dianggap tabu. Di
mana pemeluk agama dibiasakan selalu menerima ajaran agama tanpa diperbolehkan
mengkritisi sedikitpun (taking for
granted). Implikasinya, kadang umat beragama akan merasa kehilangan daya
kritis,[37]
sehingga “lupa” caranya beragama dengan benar. Padahal, setiap pertanyaan yang
diajukan hati nurani mengenai agama, sebenarnya malah menjadi titik tolak baru
untuk pendalaman hidup beragama itu sendiri. Intinya, “ajaran” agama yang utama
hanya berhenti pada pemujaan Tuhan semata. Hal tersebut berakibat memandang sepele
terhadap etika kemanusiaan.[38]
Pada akhirnya, karena keringnya etika tersebut, umat beragama akan menjadi
ekslusif dalam penghayatan agama. Dengan demikian, Tuhan digambarkan hanya mengurusi
umat beragama tertentu. Tuhan dipandang tidak mengurusi serta memberi
kesempatan bagi umat yang lain untuk hidup nyaman di dunia ini. Bahkan Tuhan
seakan tidak pernah memberikan kesempatan pada mereka untuk mendekati bahkan
memeluk agama Islam dengan baik.
Dari pernyataan itu,
seringkali umat beragama menyamakan antara sifat Ketuhanan dengan sifat-sifat
yang dimiliki manusia. Mereka begitu yakin bahwa Tuhan dapat marah seperti
layaknya manusia cepat marah. Pun juga cepat percaya, bahwa Tuhan mudah menaruh
dendam seperti manusia yang serta merta menaruh dendam. Seakan-akan Tuhan hanya
mencintai golongan tertentu sementara pada yang sama membenci yang lain, yang
belum tentu jauh lebih buruk darinya. Dengan itu, mereka meyakini bahwa Tuhan
memang menghendaki kematian atau kehancuran golongan “pelanggar.”[39]
Manusia hanya membangun persepsi tentang Tuhan bukan berdasarkan teks-teks
wahyu tapi berdasarkan pengalaman dan kepentingan pribadi. Oleh karena itu,
sekali lagi ditekankan bahwa reintrepretasi ayat-ayat kauliyah perlu digalakkan untuk menyapu bersih penyalahgunaan
terhadapnya.
Didasarkan
pada penjelasan tersebut, PAI seharusnya melakukan pengembangan atau perubahan
paradigma.[40] Salah satunya adalah dengan melakukan pengembangan
materi. Misalnya, pengembangan terhadap materi sejarah Islam terkait peperangan
yang selama ini seakan “membolehkan” peserta didik untuk melakukan kekerasan
(perang fisik). Seharusnya, materi tentang sejarah peperangan dan
kekerasan tidak boleh diberikan secara parsial, tendensius, dan hanya berbicara
tentang kalah atau menang. Melainkan, harus diberikan secara utuh serta lebih
banyak memunculkan nilai-nilai etika[41]
dalam peperangan tersebut. Bila etika[42]
tersebut lebih ditekankan maka nilai-nilai kemanusiaan akan nampak, bukan
nilai-nilai kekerasan yang ditonjolkan. Dengan demikian, diharapan ideologi
yang disampaikan pada peserta didik tidak “menyesatkan” atau tidak akan
ditafsirkan secara salah oleh mereka.
Pada akhirnya, pembelajaran PAI bukan sekedar upaya untuk pemberian ilmu
pengetahuan yang berorientasi pada target penguasan materi, misalnya materi
tentang peperangan. Akan tetapi sebagaimana menurut penjelasan di atas pendidik
juga ikut andil dalam pemberian pedoman hidup (pesan pembelajaran) misalnya tentang
moralitas (akhlak) kepada peserta didik yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan
manusia lain.[43] Komponen inilah yang ikut andil pada
pemberian cetak biru khusus sehingga menjadi ciri utama pembelajaran PAI.
Yakni, salah satunya dalam bidang pengendalian moralitas bangsa yang tidak
lekat dengan tindakan kekerasan.
Secara terperinci, dalam konteks pendidikan, yaitu penanaman ideologi agama yang benar (utuh) kepada
peserta didik harus ditanamkan secara konsisten. Yakni, penanaman “ideologi”
kedamaian yang bukan hanya untuk seagama sendiri. Artinya, untuk umat seagama sendiri
bersikap lemah lembut tapi pada agama lain akan bersikap keras dan
melemahkannya. Sebagaimana menurut menurut Arifin bahwa “setiap gerakan
fundamentalisme agama memiliki ideologi. Bagi gerakan sosial, keberadaan
ideologi memiliki arti penting. Tanpa ditopang ideologi, keberadaan suatu gerakan
sosial hanya akan menghadapi ketidakpastian yang berkepanjangan.”[44] Kritik sosial dan gerakan fundamentalis
tersebut ditujukan kepada berbagai macam penyakit sosial yang menimbulkan
krisis kehidupan masyarakat. Krisis inilah yang ingin disematkan oleh mereka
dengan mengembalikan pada tatanan kehidupan ideal pada masa lalu. Serta
memberikan janji kemuliaan di masa akan datang (eskatologis).
Upaya lain, sebagai pencegahan PAI agar tidak
terciptanya kekerasan adalah dengan penekanan empati –misalnya konsep altruisme
positif– pada pembelajarannya. Di mana empati sesungguhnya sangat erat
kaitannya dengan etika (konsep baik dan buruk). Dengan kata lain, PAI idealnya
bisa menumbuhkan empati peserta didik terhadap umat beragama lain. Salah satu
caranya adalah melalui passing over (lintas
batas/sekat). Secara rinci Arifin menyatakan:
Adanya
suatu yang hilang dari agama, yaitu daya jelajah agama yang memungkinkan setiap
orang melakukan ziarah spiritual – yang oleh John S. Donne disebut dengan passing over, kecuali akan menambah
wawasan intelektual agama lain yang diperolehnya secara fenomenologis. Juga,
akan dapat memperkaya pemahaman spiritual yang sebelumnya diperkaya oleh agama
yang dipeluknya.[45]
Lantas bagaimana individu dapat keluar dari penyandraan formalitas agama,
sehingga bisa melakukan perjumpaan secara mendalam dengan agama lain? Semua itu
menurut Syamsul Arifin, tergantung pada proses pembelajaran atas agama yang
dipeluk.[46] Namun demikian, empati tidak boleh diwujudkan
dengan menggunakan simbol-simbol agama lain dalam kehidupan sehari-hari atau
bahkan melakukan ibadah agama lain. Penggunaan empati di sini cukup sebatas
pada perkataan dan perilaku toleran dalam urusan muamalah. Yakni, yang tidak menjurus pada ritual keagamaan.
Pernyataan tersebut sebagaimana saran Gadner (pencetus teori multiple intelligences) terhadap guru, bahwa mereka harus
melatih anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan pribadi (intrapersonal)[47] di sekolah.[48] Lebih konkrit Gadner memandang penting adanya
“flow” dalam setiap pembelajaran. Di
mana, menurut Goleman “Flow adalah keadaan ketika seseorang
sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatian
sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya
terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan.”[49] Dengan kata lain, segala tindakan yang
dilakukan berasal dari kesadaran diri bukan paksaan atau doktrin buta dari
orang lain.
Sebagai penutup, sesungguhnya pengembangan PAI
berbudaya nirkekerasan pada praktiknya tidak bisa berdiri sendiri. Diperlukan
perpaduan dari beberapa kajian ilmu lain sebagai penopang. Dengan kata lain,
diperlukan pendekatan interdisipliner (beberapa disiplin ilmu) untuk
pengembangan tersebut. Bagaimanapun, pendekatan interdisipliner dalam
pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Indonesia sekarang ini menjadi
sebuah kebutuhan. Terlebih dalam konteks upaya pencegahan tindakan kekerasan
yang berpotensi dilakukan oleh peserta didik di kemudian hari. Bagaimanapun,
PAI sebagai salah satu wadah “kaderisasi” umat Islam berperan penting dalam
pengembangan budaya nirkekerasan. Mengingat, selama ini PAI dituding
“membiarkan” begitu saja generasi Islam melakukan tindakan yang mengarah pada
kekerasan.[50]
[1]Said Hamid Hasan, dkk. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat kurikulum
Kemendiknas, 2010), hlm. 3.
[2]Hasan, dkk. Pengembangan Pendidikan Budaya, hlm 5.
[3]Selain istilah
“nirkekerasan,” biasanya juga digunakan istilah bina damai, peace education, pendidikan berbasis
kedamaian, dan sebagainya dalam mengkonsep suatu pendidikan anti kekerasan.
Meski dalam sudut pandang tertenu istilah tersebut cukup berbeda titik
tekannya.
[4]Dalam Undang-undang
Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada
pasal 1 poin 4 dikatakan: “Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan
kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan
menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk
menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.” Lihat, “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003,”
diakses 08 Maret 2015.
[5]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal
21 April 2014.
[6]Mohammed Abu-Nimer, “Nirkekerasan dan
Bina-Damai dalam Islam: Teori dan Praktek,” dalam Nonviolence and Peace Building in Islam: Theory and Practice, terj.
M. Irsyad Rhafsadi dan Khairil Azhar. EDISI DIGITAL, http://www.abad-demokrasi.com/sites/default/files/ebook/Nirkekerasan%20Abu-Nimer.pdf,
didownload tanggal 16 Desember 2014, hlm. 20.
[7]Sebagaimana diketahui secara umum, bahwa
agama yang paling agresif dalam “mempengaruhi” umat manusia adalah Kristen,
Yahudi, dan Islam. Ketiga agama tersebut merupakan agama Samawi (dari langit),
sehingga perlu Rasul (utusan) di bumi sebagai “penyambung” wahyu Ilahi. Dengan
demikian, ketiganya dapat dikatakan sebagai agama profetik (kenabian). Di mana
Nabi Isa, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad diutus kepada umatnya untuk menyampaikan
wahyu yang salah satunya mengusung semangat “perubahan” (revolusioner).
Ironisnya, semangat perubahan ini diasumsikan sebagai “hasil” yang harus
dicapai dan diciptakan umatnya. Apapun itu caranya yang penting terjadi hasil
perubahan, termasuk dengan jalan kekerasan sekalipun. Padahal, sebagaimana
telah diyakini secara jamak, bahwa Tuhan itu Maha Pengasih. Oleh karena itu,
tidaklah mungkin Dia “memperkosa” umatnya untuk berhasil mencapai tujuan dalam
misi membela agama-Nya. Tuhan tidak sekejam itu. Dia tidak menuntut hasil dari
umatnya, tapi menuntut proses yang mulia (baik) dalam menjalankan misi membela
agama-Nya. Itu artinya, bila terjadi kegagalan tentu Dia tidak akan menangis,
bersedih, kecewa, dan marah ketika melihat ketidakberdayaan umat-Nya dalam
usaha merubah tatatan masyarakat menjadi lebih baik.
[8]“kekerasan ‘yang mengatasnamakan’ agama
bukanlah fenomena tunggal yang muncul tiba-tiba, tetapi memiliki keterkaitan
tertentu, yang diantaranya dengan persoalan ideologi dan legitimasi teks-teks
keagamaan, yang dipahami secara rigid
oleh para pelaku kekerasan.” Lihat,
Agus Purnomo, Ideologi Kekerasan:
Argumentasi Teologis-Sosial Radikalisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hlm. 6.
[9]Hubungan yang tidak direstui
(perselingkuhan) antara agama dengan kekerasan tidak bisa disamakan dengan
“hubungan” agama dengan kekerasan yang direstui oleh etika agama. Biasanya
perselingkuhan tersebut terjadi karena faktor ketergesa-gesaan, penuh nafsu,
dan demi memenuhi ego. Padahal, ada banyak jalan lain yang mulia dan baik untuk
mencapai tujuan “kenikmatan” tersebut. Implikasinya, karena perselingkuhan
adalah perbuatan ilegal maka setiap “kenikmatan” yang mereka lakukan otomatis
tidak sah (buruk).
[10]Salah satu teori mengatakan bahwa alasan
manusia melakukan kekerasan adalah untuk “meluapkan” insting agresifnya yang
tertahan. Faktor atau penyebab lain hanyalah “bonus tambahan” sebagai alasan
dan pemicu untuk melakukan kekerasan. Bila teori ini benar, sejatinya kekerasan
seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan “penyebab.” Sedangkan
kekerasan yang dilakukan oleh korbannya disebut sebagai kekerasan “akibat.”
Bisa juga “korban” kekerasan tidak melakukan perlawanan (kekerasan) tapi
“melarikan” diri mencari tempat aman. Namun, antara kekerasan penyebab dan
kekerasan akibat kadangkala sangat sulit diuraikan karena hubungan mereka
seperti lingkaran setan yang selalu terkait dan tak terputus. Mengenai masalah
kekerasan-balik (counterviolence)
Abdurrahman Wahid menguraikan secara menarik. Lihat, Abdurrahman Wahid, dkk., “Islam Tanpa Kekerasan” dalam Islam and Nonviolence, terj. M. Taufiq
Rahman (Yogyakarta: Lkis, 2010), hlm.
97.
[11]Mencari penyebab dan motivasi kekerasan
tidak memuaskan bila hanya didasarkan pada adanya seruan dari agama.
Sebagaimana menurut Sumjati yang dikutip oleh Muchsin dan Wahid bahwa “tidak
mudah menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seperti main hakim sediri (eigenrichting) yang terjadi di
Indonesia. Kalau ada upaya penyelesaian maka upaya penyelesaian dimaksud harus
melibatkan banyak aspek, banyak pihak, yang harus saling sinergi antara aspek,
pihak yang satu dengan aspek, pihak yang lain.” Lihat, Muchsin dan Abdul
Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, hlm.
128.
[12]Misalnya, untuk menjalankan perintah
agama tentang nahi mungkar (mencegah kemungkaran) seseorang secara membabi buta
melakukan perusakan (kekerasan) terhadap tempat-tempat maksiat yang dianggap
menjadi sumber kemungkaran. Seolah-olah kekarasan menjadi satu-satunya jalan
terbenar dan tersuci untuk menegakan perintah Tuhan. Padahal, masih ada cara
lain yang lebih humanis dan tentu direstui Tuhan, meski resikonya membutuhkan
dana besar dan membutuhkan jangka waktu lama. Misalnya melalui publikasi pada
media massa, melalui jalur pendidikan, dan pendekatan personal kepada yang
bersentuhan secara langsung terhadap tempat kemaksiatan maupun kepada
keluarganya. Dengan demikian, proses yang lebih islami (manusiawi) tersebut
jauh lebih penting daripada tujuan yang mulia tapi menggunakan kekerasan dalam
konteks yang tidak tepat.
[13]Arifin, “Implementasi Studi Agama,”
didownload tanggal 16 Desember 2014.
[14]Sebagaimana menurut Nyoman, bahwa
di Dunia Timur, hubungan persaudaraan spiritual (agama) atas ama kesatuan di
dalam Tuhan sering kali lebuh kuat dari pada bentuk ikatan lain, termasuk
hubungan darah. Perasaan atas kesamaan religus membuat individu mejadi akrab
dan kompak. Sebaliknya perasaan religius
yang berbeda dapat memisahkan orang bahkan dapat mengakibatkan konflik meskipun
mereka satu keluarga. Loyalitas keagamaan ini, menurut Schneider sebagaimana
dikutip Nyoman melebihi loyalitas lainnya di mana saja, kecuali dalam dunia
barat modern. Lihat, Nyoman, “Agama dan Kekerasan,” hlm. 38.
[15]Berangkat dari ketakutan tersebut maka
hak agama lain untuk eksis terus ditekan dan ditolak. Dalam masyarakat yang
beraneka ragam, penolakan ini merupakan pernyataan “perang,” sehingga mendorong
pada kekerasan. Lihat, Edwar
Schillebeeckx, “Dokumentasi: Agama dan Kekerasan,” dalam Agama Sebagai Sumber Kekerasan? Judul Asli: Religion as a Source of Violence, ed. Wim Beuken. dkk. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 243.
[16]Dari sini dapat dikatakan, tolok ukur
kejayaan agama Islam adalah berdasarkan jumlah pemeluknya, sehingga mereka
kawatir akan terjadi permurtadan massal atau berkurangnya jumlah pemeluk agama
Islam. Dengan kata lain, dalam konflik atas nama agama ini terjadi perebutan
pengaruh dan perebutan pemeluk antara agama satu dengan yang lain. Padahal,
agama Islam tidak hanya memandang kuantitas saja tapi yang lebih penting adalah
kualitas pemeluk agamanya. Di sinilah mereka lupa, bahwa sebelum menjaga dan
meningkatkan kuantitas pemeluknya terlebih dahulu mereka harus meningkatkan
kualitas agama dan kehidupan pemeluknya.
[17] Di satu sisi, umat Islam dalam ranah
keimanan diwajibkan untuk mengklaim bahwa agama Islam yang benar dan diakui
(sah) oleh Tuhan. Di sisi lain, secara etika dan dari segi pergaulan dengan
pemeluk agama lain, umat Islam tidak boleh menyakiti hati dan fisik mereka.
[18]“Kekerasan, misalnya, diperlukan untuk
tujuan-tujuan hukuman dan tidak jarang diperlukan untuk mempertahankan agama.
Dalam “dunia konflik” [dar al-harb],
di luar dunia muslim, kekuatan [force]
merupakan sarana mempertahankan kelangsungan hidup [cultural survival]. Dalam konteks demikian, mempertahankan
eksistensi agama dipandang sebagai persoalan jihat, sebuah kata yang secara
literal berarti “berjuang” dan sering kali diterjemahkan “perang suci.” Padahal
dalam “Hukum Islam tidak memperbolehkan jihad digunakan secara sembarangan,
untuk pencapain personal, atau untuk membenarkan pemaksaan dalam berbangsa:
perpindahan agama yang dipandang sah hanya dilakukan tanpa kekerasan, melalui
dorongan rasional dan perubahan (kehendak) hati.” Lihat, Mark Jurgensmeyer, “Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan
Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in
The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. M. Sadat
Ismail (Jakarta: Nizam, 2002), hlm. 105-106.
[19]Secara sosiologis menurut D.
Hendopuspito sebagaimana dikutip Nyoman, agama memiliki lima fungsi utama yaitu
fungsi edukatif, fungsi penyelamatan, fungsi pengawasan sosial, fungsi pemupuk
persaudaraan, dan fungsi transformatif. Lebih lanjut, agama memiliki peran penting
dalam membnagun negara, yaitu sebagai landasn moral, etik, dan psiritual agar
tercapai surga di dunia ini. Lihat,
Nyoman, “Agama dan Kekerasan,” hlm. 37.
[20]Globalisasi ditengarai menjadi salah
satu penyebab berdirinya lembaga-lembaga agama yang melakukan kekerasan. Hal
ini terjadi pada berbagai tempat berbeda di seluruh dunia. Lihat, Mark Jurgensmeyer,
“Teror Atas Nama,” hlm. xvii.
[21]Mujtahid, Reformasi Pendidikan Islam (Malang: UIN
Maliki, 2011), hlm. 103-104.
[22]Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful
Intelligence Atas IQ (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 2
[24]“Institusi studi agama ternyata efektif
dalam mengkonstrusi pemahaman keagamaan yang berdampak pula terhadap hubungan
antaragama. Adanya hubungan antara studi agama dengan pola interaksi antarumat
agama, perlu menjadi bahan pertimbangan dalam mengembangkan suatu model studi
agama yang dapat menciptakan suasana toleransi, dialogis, bahkan kooperatif
antar umat beragama. Lihat, Syamsul
Arifin, “Konflik, Kekerasan, dan Multikulturalisme: Mengurai Sengkarut Agama di
Ranah Sosial,” dalam Ulumul Qur’an (Vol.
X/No.1/Th.ke-25/2014), hlm. 19-31.
[25]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: Rajawali,
2009), hlm. 17.
[26]Ibid., hlm. 39-40.
[27]Sebagai umat yang besar di
Indonesia, umat Islam semestinya memberikan keteladanan dalam bersikap dan
berprinsip toleran dalam kehidupan. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah dalam sejarah sosial-historis umat Islam pada masanya. Abdullah Idi
dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan
Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 131.
[28]Amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan, hlm 4.
[29]Dalam melakukan pencegahan ini tidak
bisa hanya mengunakan satu pendekatan, misalnya melakukan doktrin. Diperlukan
berbagai pendekatan lain (interdisipliner) supaya siswa bisa memahami dan
tergerak untuk mewujudkan kehidupan nirkekerasan. Misalnya melalui psikologi,
sosiologi, dan biologi. Terkait hal ini bisa melihat karya tulis penulis di
jurnal Salam.
[30]Ajaran Islam yang parsial adalah ajaran
yang dilakukan secara tidak utuh. Yakni, terjadi kesalahan dalam memahami
Islam, di mana Islam hanya diidentifikasikan pada ajaran tertentu. Misalnya,
difokuskan pada ajaran tentang nahi mungkar (mencegah munkar) dan jihad saja. Padahal masih banyak ajaran lain
yang jauh lebih bermanfaat dan manusiawi bila diterapkan pada konteks yang tepat. Sebagai contoh kegiatan bakti sosial
membantu bencana alam, pendidikan bermutu tapi murah, dan berbagai kegiatan
simpatis (humanis) lainnya. Di sisi lain, ajaran Islam diterapkan secara
parsial karena untuk menguntungkan diri atau kelompok. Dengan cara mencatut
dalil-dalil (wahyu) yang hanya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, lalu
menafikan (menyembunyikan) wahyu lain yang merugikan kepentingannya.
[31]Konsep amar makruf nahi mungkar tidak
sepantasnya dijadikan legitimasi melakukan kekerasan sebagai suatu yang
bersifat privilege (hak istimewa) bagi
pelakunya. Yakni, untuk menegakkan misi agama agar manusia bisa berkehidupan
yang sesuai dengan etika agama. Masih ada jalan lain dalam Islam selain itu
untuk menegakkan kebenaran, menjujung moralitas, dan memperoleh tatanan damai
(tanpa maksiat) pada masyarakat. Lihat, Muchsin dan Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, hlm. 129.
[32]Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme
Hidup,” hlm. 24.
[33]Menurut penulis, PAI seharusnya
bisa mencegah generasi Islam di kemudian hari melakukan kekerasan atas dasar
“kriminalitas” terlebih kekerasan atas dasar “ideologis.” Kekerasan
kriminalitas adalah kekerasan yang dilakukan atas faktor kriminal murni tidak
ada sangkut paut dengan semangat ideologi tertentu. Sedangkan kekerasan
ideologi adalah kekerasan yang dilakukan demi melaksanakan misi ideologi
tertentu. Bagaimanapun, kedua macam kriminalitas tersebut merupakan tindak
kekerasan. Di mana, kekerasan dalam bentuk apapun pada masa modern ini tidaklah
ditolerir. Terkecuali “kekerasan” yang harus dilakukan aparat berwenang ketika
menghadapi sistuasi yang krusial, sehingga secara etika keputusan yang harus
diambil adalah tindakan kekerasan.
[34]Sebuah gerakan sosial dan termasuk
gerakan kekerasan atas nama agama perlu adanya kerangka ideologi yang isinya:
1. Deklarasi (penguatan) tujuan gerakan, 2. Pengumpulan kritik dan penilaian
negatif terhadap struktur yang akan diubah, 3. Pengumpulan doktrin sebagai
pembenar tujuan gerakan, 4. Sistem kepercayaan yang terkait dengan kebijakan,
strategi, dan pelaksanaan gerakan, 5. Mitos (tahayul) gerakan. Lihat, Syamsul Arifin, Studi Agama: Perspektif Sosiologis
&Isu-isu Kontemporer (Malang: UMM, 2009), hlm. 199.
[35]Sebagaimana menurut Saefuddin bahwa
tidak perlu mengadakan pembaharuan terhadap ajaran Islam karena Islam telah
sempurna dengan sendirinya. Justru yang harus diperbarui adalah sikap dan
pandangan manusia terhadap agama, yaitu kemalasan dan kekurangan yang dimiliki manusia. Serta bukan dinamika
al-Quran yang dipertanyakan dalam menghadapi tantangan zaman, namun dinamika
umat Islam dalam memahami al-Quranlah
yang harus dimulai dan tidak boleh pernah berhenti sepanjang zaman. Lihat, Ahmad Muflih Saefuddin,
“Pembaharuan Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar,” dalam Percakapan Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
(Bandung: Mizan, 1991), hlm. 15.
[36]Amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan, 15-16.
[37]Sebagaimana dalam PP No. 55 tahun 2007
Pasal ayat 6: “Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan
dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi
dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.” Lihat, “Peraturan Pemerintah Republik,”
didownload 22 Desember 2014.
[38]Armada Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme
Hidup Beragama,” hlm. 24-25.
[39]Ibid., hlm. 20.
[40]Paradigma PAI yang lama harus segera
ditinggalkan, utamanya tentang pengutamaan ritualitas dan simbolisasi agama
secara buta. Alasannya, pada zaman sekarang ini bukan kekuatan fisik (tubuh)
yang mampu mempengaruhi dan mengubah arah peradaban tapi ilmu (pikiran) lebih
menentukan dari semuanya. Asumsinya, dengan ilmu siapapun mampu merekayasa
kekuatan fisik. Dengan ilmu pula, siapapun bisa merekayasa media massa,
teknologi, pemerintahan, dan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, arah
pendidikan PAI hendaknya tidak hanya ditujukan pada keterampilan fisik, tapi
juga “menyemangati” generasi mudanya untuk aktif dalam pengembangan IPTEK.
[41]Hal ini sesuai dengan PP No. 55 Tahun
2007 Pasal ayat 3, bahwa “pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat
menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama
sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Lihat,
“Peraturan Pemerintah Republik” didownload 22 Desember 2014.
[42]Kekerasan ber-“etika” menurut penulis
adalah kekerasan yang dilandaskan pada dasar-dasar hukum yang jelas dan kuat
tentang kaidah baik dan buruk. Misalnya, seorang polisi melakukan “kekerasan”
terhadap pelaku terorisme yang bersenjata (membahayakan). Secara etika
kekerasan yang dilakukan oleh polisi tersebut bernilai baik. Sebaliknya, suatu
kekerasan akan dipandang buruk bila dilakukan sewenang-wenang tanpa didasarkan
pada standar etika. Sekalipun kekerasan itu dilakukan oleh polisi, yakni oknum
polisi yang tidak bertangung jawab (tidak punya moral/berpenyakit sosial).
Dalam konteks ini, konsep “kekerasan” pada agama Islam sesungguhnya juga
disandarkan pada standar etika. Kekerasan dalam Islam tidak boleh dilakukan
secara sewenang-wenang (egoistik), tidak sadisme, tidak melakukan dehumanisasi,
dan tidak boleh dilakukan dalam semua konteks kehidupan. Dengan demikian,
kekerasan yang dilakukan oleh ormas agama tertentu dalam konteks keindonesiaan
sebagai negara hukum tidak dibenarkan.- Bagaimanapun, ada penegak hukum yang
berwenang dalam sistem pemerintahan. Bila ada kemandulan supremasi hukum, maka
jalan yang ditempuh seharusnya bukan kekerasan. Namun, membersihkan sistem
hukum yang rusak (berpenyakit) tersebut dengan jalan nirkekerasan. Salah satu
contoh untuk jangka panjang, menyekolahkan anak-anak mereka atau mengarahkan
dan mendukung generasi-generasi Islam yang berpotensi sesuai, didorong untuk
menjadi penegak hukum yang islami. Yakni, benar-benar adil, universial,
pengayom, dan tidak berpenyakit sosial.
[43]Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional
[Pardigma Baru] (Jakarta: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005),
hlm. 51.
[44]Arifin, Studi Agama: Perspektif, hlm. 199.
[45]Syamsul Arifin, “Klaim Kemutlakan,
Konflik Sosial, dan Reorientasi Keberagamaan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto
(Malang: Dioma, 2000), hlm. 51.
[46]Ibid.
[47]“kecerdasan intrapersonal adalah
kecerdasan kunci. Lebih dari kecerdasan-kecerdasan lain, kecerdasan
intrapersonal yang kuat menempatkan kita untuk kesuksesan; sebaliknya,
kecerdasan intrapersonal yang lemah akan menghadapkan kita pada rasa frustasi
dan kegagalan terus-menerus—dan keberhasilan kita, kalaupun ada, terjadi secara
kebetulan saja.” Lihat, Thomas R.
Hoerr, “Buku Kerja Multiple Intelligences: Pengalaman New City School di St.
Louis, AS, dalam Menghargai Aneka Kecerdasan Anak,” dalam Becoming a Multiple Intelligences School, terj. Ary Nilandari
(Bandung: Kaifa, 2007), hlm. 114.
[48]Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,”
dalam Emotional Intelligence ed. T.
Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 56.