1. Konsep Pencarian Kebenaran Vs Puzzle-Solving Milik Thomas S. Kuhn
Menurut Kuhn, yang namanya kebenaran tunggal
(objektif) itu tidak pernah ada. Karena bagaimanapun konsep kebenaran yang ada
sekarang ini dibangun terdiri atas “paradigma-paradigma” yang disepakati dan
dijunjung oleh masyarakat ilmiah/akademis (ilmuwan). Dengan kata lain, menurut
Kuhn kebenaran tunggal yang dianut positivisme[1]
merupakan suatu paradigma ilmu pengetahuan yang tetap mapan karena mendapat
dukungan dan dimapankan pihak kalangan komunitas ilmuwan. Oleh karena itu, “paradigma”
merupakan alat yang menjadi kerangka konseptual dalam memahami “kebenaran” alam
semesta. Artinya, ilmuwan atau masyarakat ilmiah dalam melakukan penelitian
tidak bisa lepas dari paradigma. Secara otomatis kebenaran ilmu tidaklah
mutlak-tunggal, tapi relatif-plural, maka “kebenaran” yang ada akan
terus-menerus diteliti atau dikritisi oleh komunitas ilmiah lain.[2]
Dari sini, sebagian dari kalangan mengatakan dengan tegas bahwa Kuhn
merupakan filsuf penganut relativisme.[3]
Bahkan disebut pengusung irasionalisme dalam ilmu pengetahuan.
Topik lain:
Pengantar (Pendahuluan) BAB II Gagasan Thomas S. Kuhn Tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
A. Konsep Dasar Bab II Gagasan Thomas S. Kuhn tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
B. Penelusuran Alam Pikir Thomas S. Kuhn
C. Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam
GAGASAN THOMAS S. KUHN TENTANGREVOLUSI PERKEMBANGAN ILMU
Hal ini berarti dalam benak Kuhn, istilah pencarian kebenaran mendapat penolakan darinya. Namun, yang ada adalah pemecahan “teka-teki” (Puzzel-Solving).[4] Di mana, pada hakikatnya manusia mengembangkan ilmu pengetahuan bukan untuk menemukan kebenaran, lalu menyalahkan yang “tidak benar.” Akan tetapi penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan untuk memecahkan masalah sosial. Dengan kata lain, seringkali ilmuwan ingin atau sedang “menemukan” sesuatu karena memang pada saat itu masyarakat membutuhkan temuan tersebut untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Implikasinya, saat proses pemecahan “teka-teki” itu “kadang” metode ilmiah tidak penting. Yang terpenting adalah bagaimana ilmuwan mampu membangun konsep dari segala sudut. Termasuk di dalamnya “konteks” dan sejarah ilmu pengetahuan yang dapat memecahkan “teka-teki” tersebut, sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Dapat disimpulkan, karena
“paradigma” masing-masing ilmuwan maupun paradigma yang disepakati (konsensus)
dalam masyarakat ilmiah ikut andil dalam perumusan teori ilmiah (yang diyakini
kebenaran), maka subjektivitas memiliki peranan. Nilai subjektivitas muncul
bisa berupa pengaruh dari ideologi, psikologis, otoritas, dan fanatisme yang
ada pada komunitas ilmiah tersebut. Nilai-nilai subjektivitas inilah yang
penulis yakini sebagai salah satu penyebab perkembangan ilmu pengetahun terjadi
secara revolusioner bukan secara evolusioner. Meskipun dalam dinamika tersebut
diperlukan beberapa waktu yang berbeda dalam tahap-tahapannya, karena kemampuan
dan kecepatan “perumus” paradigma baru berbeda-beda pada tiap zamannya. Dengan
demikian “kebenaran” tidak ada yang abadi, karena yang abadi adalah dinamika
ilmu pengatahuan itu sendiri beserta perubahan paradigma ilmuwan dari masa ke
masa yang disertai dengan interpretasinya.
2.
Posisi Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas
S. Kuhn
Salah satu ciri utama “konstruk” ilmu pengetahuan
yang diciptakan Kuhn beserta aktivitas ilmiahnya adalah tidak mengabaikan
peranan sejarah ilmu. Menurutnya, mempelajari sejarah ilmu pengetahuan tak akan
bisa lepas dari memahami dua “istilah” penting. Yakni, pertama discovery yang artinya kebaruan fakta
atau penemuan. Lalu yang kedua invention,
artinya kebaruan teori atau penciptaan. Di mana menurut Kuhn
“penemuan-penemuan” (discovery)
sebagai salah satu unsur pembangunan ilmu pengetahuan bukanlah peristiwa-peristiwa
yang dapat diabaikan begitu saja.[5]
Bagaimanapun sebagian besar penciptaan (invention)[6]
teknologi sekarang ini bisa ada karena berkat adanya sejarah ilmu pengetahuan
terdahulu. Walaupun sebagian besar penemuan ilmuwan terdahulu sifatnya masih
dasar. Dengan kata lain penciptaan (invention)
merupakan bagian dari tahap-tahap pengembangan atau lebih tepatnya “pergeseran”
yang berasal dari penemuan (discovery)
sebelumnya. Dimana “struktur” pentahapannya selalu berulang dan berpola sama.
Yakni, antara discovery dan invention terjadi keterjalinan yang
sangat erat.
Selanjutnya, pernyataan tentang ilmu pengetahuan
terikat pada “sejarah ilmu,” berimplikasi pada ilmu pengetahuan juga terikat
dengan nilai, ideologi, sosiologis, otoritas, dan latar belakang kehidupan
penemunya. Alasannya, mempelajari sejarah secara otomatis akan mempelajari
sebanyak-banyaknya lingkup kehidupan yang menyertai tokohnya. Semakin banyak
atau lengkap dan komperhensifnya data sejarah maka bisa dikatakan isi kajian
sejarah tersebut otentik. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak bisa bebas
nilai, utamanya tidak bisa terbebas dari pengaruh “paradigma” penemu-penemunya
yang mereka peroleh sejak masih kecil hingga dewasa. Implikasi lainnya adalah
karena mempelajari sejarah pasti mempelajari ruang dan waktu tentang zaman
sebelumnya, maka ilmu pengetahuan juga terikat oleh ruang dan waktu. Itu
artinya, bisa saja paradigma sebagai pengkonstruk ilmu pengetahuan belum tentu
dapat digunakan pada waktu yang lain. Konsekuensinya, bila ditemukan
permasalahan yang berbeda dengan waktu yang berbeda pula, maka penggunaan
paradigma lain merupakan kewajiban.
Akhirnya, melalui konsep The Structure of Scientific Revolutions, sesungguhnya perkembangan
ilmu pengetahuan menemui jalan terjal. Selama ini ilmuwan menyembah ilmu
pengetahuan dengan metode ilmiah yang seakan tak terbantah dan sudah mapan.
Kini, dengan nomenklatur “paradigma” milik Kuhn ilmuwan bisa menghargai
subjektifitas. Yakni, dimungkinkan bagi ilmuwan untuk mengungkapkan bias dan
memodifikasi model.[7] Oleh karena itu, menurut kacamata Kuhnian[8]
bahwa klaim kebenaran pada satu teori yang diyakini “abadi” dan tak tergoyahkan
tidaklah tepat. Bagaimanapun suatu saat pasti akan ada revolusi
(penjungkirbalikan) ilmu pengetahuan.
Dapat dikatakan, ilmu
pengetahuan kapanpun berpeluang untuk direvolusi. Yakni, ketika paradigma atau
teori yang lama bisa menggantikan paradigma yang sama sekali baru (paradigma matang/dewasa
yang lainnya). Oleh karena itu, dapat dikatakan akan selalu ada pertandingan
paradigma. Kapan pun itu setiap paradigma pasti rentan terkena “keganjilan”
atau penyimpangan (anomali) dari apa yang dinamakan kenormalan (ilmu normal).
Di mana paradigma yang paling cocok dan terbaru akan menggantikan paradigma
yang lama. Sebaliknya, ketika paradigma baru tidak cukup matang dan tidak lebih
baik dari paradigma lama maka paradigma lama akan tetap digunakan oleh
komunitas ilmuwan. Kalau itu terjadi berakibat perkembangan ilmu pengetahuan
tidak berjalan untuk sementara waktu hingga ditemukan paradigma baru.
3.
Tahap-tahap Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn
Dalam kajian sejarah ilmu
pengetahuan, runtutan perkembangannya tidak berdiri sendiri atau terpisahkan
satu satu sama lain. Asumsinya, kekuatan ilmu pengetahuan terletak pada sifat
dan mekanisme revolusinya. Di mana, perkembangan ilmu pengetahuan diperoleh
bila teori yang ada bisa ditinggalkan dan sepenuhnya diganti oleh teori yang
lebih sesuai. Menurut Kuhn unsur terpenting dalam sebuah perkembangan ilmu
adalah adanya masyarakat illmiah atau
komunitas ilmiah. Baik itu dalam
lingkungan formal seperti kampus dan lembaga penelitian, maupun lingkungan
nonformal seperti kehidupan masyarakat secara luas. Masyarakat ilmiah menjadi
faktor terbentuknya struktur ilmiah baru dan dapat berkembang dalam kurun waktu
tertentu. Semua itu tergantung pada kaidah ilmiah yang berlaku di masyarakat
tersebut.[9]
Berdasarkan
pandangan Kuhn, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner. Yakni,
ketika ada peralihahan dari satu paradigma ilmu pengetahuan ke paradigma ilmu
pengetahuan lainnya yang lebih mumpuni. Di mana, di dalamnya juga diselingi
oleh paradigma “ilmu normal” sebagai ilmu yang “sementara” mapan sebagai
penjaga peradaban di zaman atau periodenya. Untuk lebih jelas dan detailnya
pembahasan, maka penulis paparkan tahap-tahap perkembangan menurut Kuhn sebagai
berikut:[10]
1.
Fase pra-paradigma, pada tahap
ini perkembangan ilmu pengetahuan berada pada episode cukup lama. Di mana
penelitian keilmuan dilakukan tanpa arah dan tujuan tertentu. Pada episode ini,
muncul berbagai aliran pemikiran yang saling bertentangan konsepsinya tentang
masalah-masalah dasar disiplin ilmu dan metode apa yang cocok digunakan untuk
mengevaluasi teori-teori.
2.
Fase ilmu normal, pada masa ini
mulai muncul salah satu aliran pemikiran (teori) yang kemudian mendominasi
disiplin ilmu lainnya. Di mana “teori” ini menjanjikan pemecahan masalah yang
lebih handal dan bisa terciptanya masa depan ilmu yang lebih maju.
3.
Fase anomali dan krisis, pada
periode ini baik secara praktik ilmiah maupun teoritis ilmu pengetahuan normal
yang ada tidak mampu lagi untuk diandalkan dalam memecahkan masalah yang baru.
Kemudian, tatkala masalah yang begitu sulit dan tidak dapat dipecahkan membuat para ilmuwan menemui jalan buntu.
Dari situ muncullah krisis dalam masyarakat ilmiah tersebut. Mereka mulai
meragukan paradigma yang telah ada selama ini. Pada titik jenuh, muncullah
ilmuwan yang saling bersaing satu sama lain untuk memecahkan masalah “krisis”
yang mereka hadapi. Dari situ, ilmuwan yang mampu menemukan ilmu atau
teori-teori yang digunakan dan diakui oleh komunitas ilmiahlah yang akan
menjadi paradigma baru dalam ilmu pengetahuan.
4.
Fase munculnya paradigma
baru, di sini ilmuwan sudah mampu memecahkan masalah “krisis” yang dihapadapi
pada fase sebelumnya. Awalnya sebagian komunitas ilmiah tidak menerima
(meragukan) paradigma baru ini. Akhirnya, karena bermanfaatnya paradigma baru
itu maka perlahan-lahan paradigma baru tersebut diterima.
Agar lebih mudah dalam memahami
tahap-tahap perkembangan ilmu pengetahuan menurut hun, maka perlu diuraikan
dalam gambar berikut ini:[11]
| |||||||||||||||||||
Keterangan:
P1 : Paradigma awal yang diterima
IN : `Ilmu-ilmu normal
An : Penyimpangan (anomali)
Kr : Krisis (kegagalan P1 dalam menjelaskan
secara tetap mengenai penyimpangan atau An)
Rev : `Menyangsikan P1 sehingga menemukan gagasan baru
P2 : Paradigma baru, diharapkan mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan yang tidak dapat dipecahkan
oleh P1
Pr : Periode (masa/waktu)
Gambar 2.2 Tahap-tahap
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Thomas S. Kuhn
(diadaptasi dari pemaparan
Muhaimin)
Dari gambar[12]
tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mengganti paradigma lama ke paradigma
baru diperlukan beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui. Meskipun –seperti
dalam pembahasan sebelumnya– dalam setiap tahapan (periode)[13]
pada kasus paradigma tertentu masing-masing berbeda masa atau waktu
“prosesnya.” Inilah yang berarti bahwa ilmu pengetahuan terikat oleh waktu atau
tahapan (periode). Artinya, proses “pergeseran” dari satu periode ke periode
lain akan menentukan proses perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sama seperti
revolusi-revolusi di bidang lainnya seperti kasus revolusi pada bidang sosial
atau poitik, yang juga membutuhkan waktu. Bahkan, untuk satu jenis revolusi
yang sama membutuhkan sejumlah waktu yang berbeda bila diterapkan di tempat
lain. Semuanya tergantung pada paradigma yang digunakan oleh mayoritas masyarakat.
[1]Selama ini ilmu pengetahuan berkembang dinaungi oleh paradigma yang
dianut oleh positivisme. Yakni, bahwa kebenaran itu harus bersifat
mutlak-tunggal (pasti). Di mana, suatu kebenaran (ilmu) bisa diakui
keabsahannya bila ilmu tersebut lolos dari ujian verifikasi, standar keilmuan,
dan uji kebenaran lainnya. Ciri lainnya adalah suatu ilmu itu harus diperoleh
memulai syarat-syarat tertentu, menggunakan prosedur ilmiah, bersifat netral,
dan bebas nilai. Implikasinya, ada penolakan atau penerimaan terhadap teori
tertentu, sehingga yang ditolak tersebut harus ditinggalkan dan dibuang
sepenuhnya. Dengan kata lain, sesuatu yang tidak bisa “diraba” melalui prosedur
ilmiah dinyatakan sebagai sesuatu yang salah dan tidak bermakna sama sekali.
Hal inilah yang ujungnya menyebabkan terjadinya penyeragaman berfikir, bahkan
penyeragaman dalam tataran praktik. Bila paradigma tersebut dituangkan dalam
dunia PAI maka bisa berakibat pada ketidakabsahannya PAI diakui sebagai sebuah
ilmu. Dengan kata lain, menurut positivistik kajian PAI tidak lebih dari
gagasan omong kosong yang tidak dapat dibutkikan kebenarannya secara empiris.
[2]Andri, “Paradigma Ilmu Thomas Kuhn dan Karl
Popper,” dalam https://mhs.blog.ui.ac.id/andri.septian/2010/10/08/paradigma-ilmu-thomas-kuhn-dan-karl-popper/,
08 Oktober 2010, diakses tanggal 23 September 2014.
[3]“Kebenaran ilmiah
itu bersifat relatif dan ilmu pengetahuan perlu terus menerus diadakan
penelitian (research)
untuk menemukan kebenaran baru, merevisi dan menyempurnakan temuan yang sudah
ada.” Lihat, Tobroni, “Paradigma
Pemikiran Islam,” diakses tanggal 19 Februari 2015. Selain itu menurut Ben
Dupré menjelaskan bahwa “Kuhn sendiri berusaha
menjauhkan dirinya dari pemahaman relavistik atas karyanya, perhatian tentang
bagaimana ilmu pengetahuan berkembang melahirkan keraguan pada gagasan bahwa
tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menemukan secara objektif fakta-fakta yang
benar tentang bagaimana segala sesuatu berada di dunia... Pandangan umumnya
adalah kebenaran dari sebuah teori ilmu pengetahuan merupakan masalah mengenai
seberapa baik teori itu berdiri berdampingan dengan observasi-observasi netral
dan objektif tentang dunia. Tetapi bagaimana jika tidak ada fakta-fakta
‘netral’ dan garis yang tegas antara teori dan data? Bagaimana jika,
sebagaimana dinyatakan oleh karya Kuhn, setiap observasi itu merupakan ‘theory-laden’ (mengandung banyak
teori)?” Lihat, Ben Dupré, “50
Gagasan Besar yang Perlu Anda Ketahui,” dalam 50 Big Ideas You Really Need to Know, terj. Benyamin Hadinata
(tanpa kota: Esensi, 2010), hlm. 54.
[4]Anonim, “Scientific Revolution,” dalam http://www.slideshare.net/anjanaaaaaaa/thomas-kuhn-and-paradigm-shift?qid=5bd4b765-3538-461d-8888-ea9308659f26&v=qf1&b=&from_search=3,
diaskes tanggal 23 September 2014.
[5]Thomas S. Kuhn, The
Structure of, terj. Tjun Surjaman, hlm. 52.
[6]Perbedaan Invetioan dengan Discovery adalah pada hak paten atau hak ciptanya. Di mana untuk discovery tidak bisa diurus hak patennya
karena secara asali “produk” yang ditemukan tersebut sudah tersedia di alam.
Sedangkan invention bisa diurus hak
patennya karena “produk” itu adalah murni dari hasil intelektual penciptanya.
Secara detail, kata Invention diserap
oleh bahasa Indonesianya menjadi “invensi.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
kata invensi memiliki arti “penciptaan atau perancangan sesuatu yang sebelumnya
tidak ada; reka cipta.” Lihat, Kamus Besar Bahasa,” didownload
tanggal 21 April 2014.
[7]Anonim, “Thomas S. Kuhn,” dalam http://www.goodreads.com/review/show/191787098?book_show_action=true&page=1,
diakses tanggal 23 September 2014.
[8]Khunian adalah
sebutan bagi siapa saja yang menjadi pendukung bahkan pengikut filsafat yang
dicanangkan Thomas Samuel Kuhn.
[9]Wonorajardjo,
Dasar-dasar Sains:, hlm. 199.
[10]Jena, “Thomas Kuhn Tentang,” Jurnal Melintas, didownload tanggal 23 September 2014.
[11]Muhaimin, Direktur
Sekolah Pascasarjana UIN Maliki Malang, Pemaparan pada Orientasi Program Studi Mahasiswa Baru Semester Ganjil tahun
akademik 2014-2015, tanggal 11 September 2014.
[12]Gambar tersebut
hampir sama dengan gambar yang dibuat oleh Tobroni. Lihat, Tobroni, “Paradigma Pemikiran Islam,” diakses tanggal 19
Februari 2015.
[13]“Kuhn’s distinctions between normal science,
crisis, and revolution are often misconstrued as a rigid periodization of the
development of scientific disciplines. Normal science and crisis are instead
ways of doing science. One or
the other may typically predominate within a field at any given time, but they
can also coexist.” Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa Kuhn
membedakan antara ilmu pengetahuan normal, krisis, dengan revolusi yang sering
disalahpahami sebagai pereodiasi rigid
(kaku) pada pengembangan disiplin ilmu. Di mana, salah satu dari mereka bisa
mendominasi lainnya yaitu dari segi waktunya, meski tak jarang satu sama lain
juga bisa saling hidup berdampingan dalam satu waktu. Lihat, Josephrouse, “Kuhn’s Philosophy of Scientific Practice,”
dalam Thomas Kuhn, ed. Thomas Nickles (New York: Cambridge
University, 2003), hlm. 113.