C.
Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam Berbasis Kecerdasan Beragam (multiple intelligences) yang Ideal
Pembelajaran PAI merupakan kegiatan untuk mencerdaskan peserta didik.
Oleh karena itu, dalam konteks pembahasan ini hal-hal penting yang perlu
diperhatikan sebelum diadakan pembelajaran adalah seperti apa kondisi (latar
belakang) peserta didik. Persoalan lain adalah sejauh mana kemampuan pendidik
dan institusi pendidikan dalam mengakomodasi keberagaman peserta didik. Serta,
bagaimana cara menanamkan nilai-nilai Islam kepada peserta didik sesuai dengan
kondisi “keberagaman” mereka. Identifikasi semacam ini menurut penulis dirasa
sangat penting. Alasannya, bagaimana mungkin suatu proses pembelajaran membentuk
manusia “cerdas” secara efektif dan efisien, bila tidak diketahui terlebih
dahulu sejauh mana kemampuan, keterampilan, dan hal-hal (latar belakang) yang
mempengaruhi kehidupan peserta didik. Untuk lebih jelasnya maka perlu digambarkan
skema di bawah ini:
Gambar 3.2: Posisi Peserta Didik dalam Bingkai
Pendidikan Agama Islam
Selain dari lima macam keberagaman tersebut, sebenarnya
ada keberagaman lain yang cukup signifikan dalam mempengaruhi semangat belajar
di lembaga pendidikan. Salah satunya adalah orientasi peserta didik (serta wali
murid) dalam upaya menempuh pendidikan di lembaga tertentu yang dipilihnya. Dalam
konteks pembelajaran, mengetahui orieantasi peserta didik di rasa sangat
penting yaitu sebagai pisau analisa sekaligus upaya pemberian “pendalaman”
secara benar terhadap mereka. Bagaimanapun, peserta didik datang ke madrasah
atau sekolah tidaklah membawa status “botol kosong.” Namun, sesungguhnya mereka
sudah membawa “isi” yang berupa tujuan-tujuan, fanatisme-fanatisme terhadap sesuatu,
keterpaksaan, keterampilan-keterampilan (kemampuan fisik dan pikiran),
traumatik-traumatik, kebanggaan-kebanggaan, doktrin-doktrin, dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami pula bahwa
pembelajaran PAI idealnya bukanlah materi ceramah, materi latihan, dan materi
diskusi saja. Melainkan, seni dalam mendoktrin peserta didik agar fanatik dan
setia sampai akhir hayat terhadap agama Islam. Dengan kata lain, kegiatan pembelajaran
PAI tidak berindikasi “mencegah” atau menghambat “isi” positif peserta didik.
Salah satunya dalam pengembangan bakat, potensi, kecerdasan, dan minat yang
positif. Oleh karena itu, pendidik bertugas membekali dan memfasilitasi mereka supaya
menjadi manusia yang ahli di bidang-bidang tertentu (senyampang tidak bertentangan
dengan nilai-nilai Islam). Di sinilah terjadi “peningkatan” posisi peserta
didik pada proses pembelajaran di kelas.
Lebih lanjut, menurut Thomas R. Hoerr bila direnungkan
sesungguhnya teori pembelajaran berbasis kecerdasan beragam (multiple intelligences) bisa menjadikan
dunia pendidikan menghargai keanekaragaman (kecerdasan) peserta didik. Bahkan,
dimungkinan bisa mengenali keunikan yang berbeda-beda pada setiap individu. Walaupun pada kenyataannya penerapan teori kecerdasan
beragam membutuhkan biaya yang tidak sedikit (perlu dana
tambahan). Diantaranya, diperlukan untuk membeli kamera video (CCTV) di setiap
ruang kelas dan mengundang seniman aneka bidang dan kebutuhan-kebutuhan
penunjang lainnya.
Masih
menurut Thomas R. Hoerr, tidak ada cara tunggal dan yang benar (harus sama) dalam
penerapan teori kecerdasan beragam (ini merupakan sisi unik, sekaligus
kelemahannya) pada sekolah-sekolah. Setiap praktisi pendidikan dalam
menggunakan teori tersebut mesti memperhatikan keunikan konteks dan kultur
sekolah mereka masing-masing.
Sebagai contoh, pada kasus di sekolah atau ruang kelas tertentu menyetel musik
sambil belajar dapat menjadikan siswa bisa cepat memahami materi, bahkan bisa
berkembang kecerdasaan matematisnya. Akan tetapi, di sekolah lain menyetel
musik di dalam kelas menyebabkan kekacauan luar biasa. Artinya, titik tekan
teori kecerdasan beragam sesungguhnya didasarkan pada keadaan masing-masing sekolah
dan masyarakat sekitar. Dengan demikian, setiap sekolah tidak boleh tidak
mempunyai cara dan gaya tersendiri dalam menerapkannya.
Dapat
dikatakan dalam penerapan teori kecerdasan beragam, sungguh bukanlah perkara
mudah dan remeh-temeh. Baik dari segi pemahaman teorinya maupun dari segi penerapannya.
Hendaknya pendidik memperhatikan secara mendalam tentang hakikat dari teori
tersebut. Oleh
karena itu, penulis akan memaparkan saran Gardner kepada para pendidik sebagai bahan
kajian yang cukup penting. Masukan tersebut berisi tentang tiga hal utama yang patut
diperhatikan, sebagaimana yang dikutip oleh Valerie Strauss dengan penjabaran
berikut:
1.
Mengadakan pembelajaran secara individual sebanyak
mungkin. Dengan mempelajari sebanyak mungkin dan bila perlu secara detail
terhadap setiap peserta didik. Mengajar setiap peserta didik dengan cara yang
menurut mereka nyaman dan bisa belajar dengan efektif. Tentu hal ini akan lebih
mudah bila dilakukan dengan kelas yang lebih kecil.
2.
Melakukan metode pengajaran yang beragam. Mengajarkan
materi penting dalam berbagai cara dan menggunakan berbagai bahan misalnya
melalui cerita, karya seni, diagram, role
play, dan sebagainya. Dengan cara itu diharapkan peserta didik dapat
belajar dengan cara yang berbeda.
3.
Tinggalkan atau kesampingkan istilah “gaya belajar,”
karena ini akan membingungkan orang lain dan tidak akan membantu pendidik ataupun
peserta didik.
Bila bagian terpenting (pokok)
atau bahkan seluruh dari teori tersebut dapat dilakukan maka bisa dikatakan
inovasi
terhadap pembelajaran PAI telah berhasil. Dengan itu, diharapkan kekuatan
intelektual Islam
bisa mendapat masukan yang berarti. Sebaliknnya, bila belum hendaknya perlu
diadakan pembaharuan di bidang lain yang mempengaruhi secara langsung maupun
tidak langsung agar penerapannya bisa optimal. Sebagaimana menurut Agus Efendi,
bahwa dalam dunia pendidikan untuk membangun tradisi dan budaya berfikir
filosofis dan ilmiah tentu tidak mudah. Diperlukan sistem pendidikan dan
pembelajaran yang demokratis, sistem kurikulum yang inovatif-kreatif serta
transformatif-responsif terhadap perubahan masyarakat, sistem pelatihan
berpikir yang sistematis, buku ajar yang komunikatif-presuasif serta
efektif-inovatif, tradisi intelektual serta sistem sosial politik yang
demokratis, dan sistem budaya yang mendukung keunggulan serta menghormati
HAM-spritualistik-religius.
Pernyataan
tersebut dapat dipahami, bila pembelajaran PAI secara optimal, konsisten, dan all out menerapkan teori kecerdasan
beragam maka dampaknya adalah harus ada perubahan (pengembangan) materi, metode
pembelajaran, sarana-prasarana, adanya team
teaching, dan perubahan lainnya yang
relevan dengan teori tersebut. Perubahan tersebut tidak berlaku bagi tujuan
khusus PAI, yaitu untuk menanamkan nilai-nilai Islam kepada peserta didik.
Namun demikian, dalam kondisi ini prakteknya masih sangat sulit untuk menanamkan
nilai-nilai Islam pada materi, gaya belajar, dan bahan ajar pembelajaran PAI yang
dipadukan dengan teori kecerdasan beragam.
Lebih nyata, bila
ditinjau dari pembelajaran PAI, di dalam materi PAI terdapat beberapa bidang
kecerdasan yang bisa diperdalami secara serius oleh masing-masing jenis
kecerdasan peserta didik. Misalnya materi dakwah, hafalan, dan seni membaca al
Quran ditekankan secara serius pada peserta didik yang hanya punya kecerdasan
linguistik-verbal. Materi ilmu waris, ilmu zakat, dan ilmu falak diberikan
secara khusus bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan logis-matematis. Untuk
lebih rincinya penulis membuat tabel sebagai berikut:
Tabel 3.2: Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam
Pembelajaran PAI
No.
|
Jenis
Kecerdasan
|
Pembelajaran
PAI
|
Tujuan
/Harapan Akhir
|
Materi
|
Metode
|
Bahan
Ajar
|
1.
|
Linguistik-verbal
|
Hafalan serta membaca al Qur’an
dan Hadith, pidato bahasa arab, dll
|
Memotivasi, latihan, dan hafalan
|
Teks al Quran, Hadith, dan bahasa
arab
|
Menjadi Penghafal al Quran,
menjadi ahli bahasa arab, menjadi penulis Islami, dll
|
2.
|
Logis-matematis-numerikal
|
Ilmu waris, ilmu zakat, ilmu falak
(hisab), ilmu perbankan syari’ah, akuntan publik, dll
|
Memotivasi, latihan, menganalisis,
menghitung, merumuskan
|
Soal-soal (pertanyaan) tentang
zakat, ilmu falak, ilmu waris. pengadilan agama, lembaga zakat, dan
laboratorium astronomi.
|
Menjadi ahli stastistik Islami,
menjadi pengelola zakat yang amanah, menjadi pegawai pajak yang amanah,
menjadi akuntan amanah, dll
|
3.
|
Spasial-visual
|
Kaligrafi, menggambar masjid,
membuat peta tentang sejarah perkembangan agama Islam di dunia, menggambar
grafik peningkatan jumlah muslim di dunia, dll
|
Memotivasi, latihan, menggambar,
membuat grafik, membuat peta, mendesain Masjid, dan pergi ke seniman
kaligrafi
|
Data-data tentang perkembangan
agama Islam di dunia dari zaman dulu hingga sekaran
|
Menjadi pelukis Islami, menjadi
pengukir atau pemahat yang Islami, menjadi arsitek Islami, dll
|
4.
|
Musikal
|
Barzanji, seni baca al Qur’an, selawat, nasyid, dan musik religius modern, dll
|
Memotivasi, latihan, praktek
langsung di dunia nyata
|
Perlengkapan musik, panggung
|
Menjadi pemusik Islami, dll
|
5.
|
Kinestetik
|
Perawatan jenazah, materi sunnah
nabi: berkuda, berenang, berlari.
|
Memotivasi, latihan, ikut
perlombaan
|
Perlengkapan jenazah, kuda, kolam
renang, lapangan olah raga
|
Menjadi olah ragawan Islami, menjadi
tentara Islami, dll
|
6.
|
Interperso-nal
|
Praktek dakwah, pemimpin, menari,
drama, dll
|
Memotivasi, latihan, role play, ikut organisasi, praktek di
dunia nyata
|
Organisasi, mushola, panggung
dakwah
|
Menjadi pengacara islami, menjadi
politikus Islami, sutradara Islami dll
|
7.
|
Intraperso-nal
|
Renungan malam (tahajud), cerita
tentang kehidupan sufi, cerita tentang perjuangan masuk Islam, cerita tentang
Mualaf, dll
|
Memotivasi, pendekatan personal,
|
Buku cerita tentang sufi, buku
muhasabah, cerita menyentuh hati
|
Menjadi motivator Islami, menjadi
inspirator Islami, dll
|
8.
|
Naturalistik
|
Merawat taman sekolah, menjaga
keindahan, memanajemen lingkungan sekolah, dll
|
Memotivasi, penugasan: menjaga
taman
|
Taman, hewan, ekosistem sekitar
|
Menjadi aktivis peduli lingkungan
yang Islami, dll
|
Dari tabel di atas dapat
disimpulkan, bahwa siswa yang dikatagorikan cerdas menurut PAI tidak hanya yang
bisa hafal al Qur’an-Hadith, pandai
bahasa arab, pandai berlogika hukum Islam, hafal sejarah Islam, dan yang
memiliki nilai ulangan bagus. Melainkan, semua siswa dikatakan cerdas, utamanya
“bila” sudah menemukan jenis kecerdasan apa yang ia miliki (kuasai). Kemudian
diterapkan pada pembelajaran PAI untuk dipahami, dihayati, diamalkan, dan
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kurikulum PAI
bisa menjadi fungsional dan bermanfaat langsung bagi kebutuhan hidup (jasmani
dan rohani) peserta didik. Serta bisa bermanfaat bagi masyarakat karena jenis
kecerdasan yang beragam tersebut bisa mencetak generasi Islam yang berprofesi
di bidang bermacam-macam (tidak homogen).
Pada
ulasan selanjutnya, hal tersebut tentu akan berbeda dengan penerapan teori KB
(kecerdasan beragam) di lingkup materi (tema) pembelajaran PAI. Misalnya materi
tentang zakat. Dari materi tersebut bisa disimulasikan (metode bermain peran /role play), bentuk penugasan mengarang,
atau dipraktekan secara nyata dengan pembentukan lembaga (organisasi) zakat
yang berlokasi di sekolah. Lebih detailnya maka penulis membuat pembagian tugas
di “lembaga zakat” tersebut berdasarkan jenis kecerdasan masing-masing peserta
didik sebagai berikut:
Tabel 3.3: Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam
Lingkup Satu Tema (Materi)
NO.
|
JENIS KECERDASAN
UTAMA (DOMINAN)
|
JABATAN
|
TUGAS
|
ALAT
|
TEMPAT KERJA
|
1.
|
Linguistik-verbal
(dibutuhakn kecerdasan spasial untuk mendesain gambar
iklan)
|
Tim manajer pemasaran
|
Membuat proposal, selebaran/pamflet (iklan) untuk
masyarakat
|
Komputer, kertas
|
Ruangan
|
2.
|
Matematis-logis-numerikal
(dibutuhkan kecerdasan spasial untuk memetakan
masyarakat berdasarkan tingkat ekonominya)
|
Tim manajer keuangan
|
Membuat (mengkalkulasikan) daftar prioritas penerima
zakat serta prioritas warga paling dermawan dan menghitung pengeluaran dan
pemasukan
|
Komputer, kertas
|
Ruangan
|
3.
|
Spasial-visual
(dibutuhkan kecerdasan interpersonal untuk mengadakan
pendekatan dengan pejabat terkait)
|
Tim manajer perencanaan
|
Memetakan warga mana saja di sekitar sekolah yang
berstatus mustahik zakat dan warga dermawan
|
Kertas gambar, pensil, dan spidol berwarna
|
Lapangan dan ruangan
|
4.
|
Kinestetik-jasmaniah
(dibutuhkan kecerdasan matematis-logis untuk
menganalisis data stastitik)
|
Tim manajer pengelolaan
barang atau perlengkapan
|
Mengambil zakat dari warga dermawan (muzaki) disetorkan
ke “panitia zakat” untuk dikelola lalu didistribusikan ke mustahik zakat.
|
Kendaraan, timbangan,
|
Lapangan
|
5.
|
Musikal
(dibutuhkan kecerdasan interpersonal untuk mempengaruhi
teman-temannya agar mau mengikuti komando lirik lagu yang dibuatnya)
|
Tim manajer kesegaran
jiwa /mental (SDM)
|
Menggubah lirik lagu-lagu terkini dengan lirik lagu
Islami tentang zakat, kemudian dia disuruh memimpin teman-temannya agar
bersemangat dalam menjalankan misi panitia zakat.
|
Sound, kertas, kaset,
|
Ruangan
|
6.
|
Interpersonal
(dibutuhkan kecerdasan linguistik-verbal untuk mempopulerkan
zakat kepada calon muzaki)
|
Tim manajer humas
|
Menjadi pimpinan panitia zakat atau ditugaskan untuk
mengadakan pendekatan dengan warga dermawan (muzaki) dan para mustahik.
|
Kendaraan, data statistik, materi zakat,
|
Lapangan dan ruangan
|
7.
|
Intrapersonal
(butuh kecerdasan interpersonal untuk mempengaruhi
teman-temannya)
|
Tim manajer kesegaran
jiwa /mental (SDM)
|
Memotivator teman-temannya, meluruskan niat, dan
menentukan (merumuskan) hukum dan jumlah zakat dari semua jenis /macam zakat
|
Kertas
|
Ruangan dan lapangan
|
8.
|
Natural
(butuh kecerdasan spasial untuk menyeting ruangan)
|
Tim manajer kesegaran
jiwa /mental (SDM)
|
Menata keindahan dan kenyamanan ruangan rapat/kelas
untuk konsolidasi “panitia zakat” menggunakan tanaman dan mengelola zakat
binatang ternak
|
Pot, tanaman, poster flora atau fauna,
|
Ruangan dan peternakan
|
Dari
dua tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila pendidik hendak menerapkan
pembelajaran PAI berbasis KB (kecerdasan beragam) dalam arti gaya belajarnya, maka pendidik dituntut punya
kemampuan delapan jenis kecerdasan untuk mengajar peserta didik. Namun, bila
hendak menerapkannya dalam arti esensinya, maka pendidik harus mengakomodasi
perbedaan. Serta tentunya mengakui adanya kecerdasan beragam yang dimiliki
masing-masing peserta didik. Konsekuensinya, pendidik memberikan kesempatan
pada peserta didik untuk mengekspresikan muatan yang ada di PAI sesuai dengan
bidang kecerdasannya. Misalnya, dalam satu tema /materi pelajaran PAI, peserta
didik ditugaskan untuk memeragakan materi yang sesuai dengan bidang
kecerdasannya yaitu kinestestik. Sedangkan peserta didik lainnya ditugaskan
untuk membuat gambar terkait materi sesuai dengan bidang kecerdasannya yaitu
spasial-visual.
Dalam
beberapa kasus, ada kalanya anak tidak merasa bangga dengan jenis kecerdasan
yang sebenarnya ia kuasai dan secara asali merupakan bidangnya. Akan tetapi ia
cenderung tertarik dengan bentuk kecerdasan lain. Keinginan atau keterpikatan
tersebut biasanya disebabkan karena:
1.
Meniru idola; peserta didik akan merasa bangga bila ia
bisa mempunyai kemampuan seperti seseorang yang ia idolakan. Meski secara bakat belum tentu ia memiliki
kecerdasan di bidang itu. Dengan meniru idola salah satu tujuannya ialah akan
memiliki “penggemar” seperti halnya yang terjadi pada idolanya.
2.
Terpengaruh oleh teman; dalam posisi ini peserta didik
belum memiliki “kesadaran” tentang kemampuan atau kecerdasan yang ia miliki. Ia
cenderung merasa aman dan nyaman bila mengikuti “kecerdasan” yang sedang
digandrungi oleh kelompoknya. Selain itu, boleh jadi peserta didik sudah
mengetahui (merasakan) bidang kecerdasan yang ia miliki tapi tidak punya
keberanian untuk menunjukkan jati diri kecerdasannya karena takut tidak
mendapat apresiasi dari teman-temannya.
3.
Kuatnya paradigma kecerdasan tunggal, peserta didik
dihadapkan pada sistem pendidikan dan
sistem masyarakat yang hanya mengakui satu jenis kecerdasan. Misalnya mengakui
kecerdasan matematis-logis (numerikal) saja atau hanya mengakui kecerdasan
linguistik-verbal. Adapun status kecerdasan lainnya diabaikan begitu saja.
Keadaan seperti ini memaksa peserta didik untuk mendalami sesuatu yang bukan
bidang kecerdasannya.
Kenyataan
tersebut mempengaruhi psikologi, cara pandang, dan pemahaman peserta didik
tentang kecerdasan. Oleh karena itu, pendidik bertanggung jawab dalam
mengarahkan mereka ke jalur semestinya. Namun demikian, pendidik tetap
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengaktualisasikan minat atau
hasratnya tersebut. Boleh jadi, keinginan yang sedang ia senangi itu adalah
jenis kecerdasan dominan “kedua” yang ia miliki. Setelah itu, saat waktu tepat
pendidik mengoptimalkan kecerdasan utama yang ada pada diri peserta didik.
Tentu pendekatan yang digunakan untuk melakukan pembimbingan akan berbeda
antara peserta didik pada jenjang PAUD, pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi.
Dengan
demikian, karena tersalurkannya
potensi masing-masing kecerdasan peserta didik secara layak –serta semuanya
didasarkan pada nilai-nilai Islam— maka diharapkan peserta didik akan
benar-benar menjadi orang sukses. Yakni, kesuksesan yang hakiki bukan
kesuksesan yang semu. Di mana, Tufiq Pasiak menggambarkan makna kesuksesan
sebagai berikut:
Gambar
3.3: Dua Jenis “Makna” Kesuksesan
(Diadapatasi dari tabel Taufiq Pasiak)
Dari
gambar tersebut berdasarkan penjelasan Taufiq Pasiak dapat digambarkan bahwa
jenis kesuksesan pada bagan paling kanan lebih mementingkan nilai kehidupan. Di
antaranya kebersamaan, kejujuran, integritas, komitmen, hubungan sosial, kerja
sama, dan keadilan. Lebih jelasnya, seseorang merasa sukses bila ia mampu
memberi orang lain sesuatu, sehingga membuatnya dapat menikmati hidup dan
semakin bermakna.
Dengan kata lain, arti sukses sesungguhnya bukan sukses semata-mata untuk
mementingkan diri sendiri. Namun, yang dapat merubah situasi menjadi lebih baik
sehingga bisa memberikan makna dan nilai kehidupan.
Selanjutnya,
sebagai upaya filter terhadap proses dan hasil dari ilmu pengetahuan barat maka
perlu adanya upaya kritis terhadap teori Gardner. Di mana, ternyata teori
kecerdasannya tidak hanya mencakup manusia, tapi juga spesies lain (binatang).
Dengan ini, berarti ada anggapan bahwa hewan juga memiliki kecerdasan karena
juga memiliki batang otak, walaupun tak secerdas manusia. Menurut Gardner
sebuah era “kecerdasan” sudah dimiliki oleh manusia sejak zaman prasejarah,
ketika peradaban manusia modern belum dimulai. Bahkan, menurutnya kecerdasan
juga dimiliki oleh spesies lain (hewan). Berikut adalah indikasi yang
menentukan bagaimana sebuah kecerdasan antara manusia purba dengan hewan dapat
saling terkait:
Tabel
3.4: Kecerdasan Pada Manusia Purba dan Spesies Selain Manusia
(Tabel dibuat oleh penulis, diadaptasi
dari penjelasan Gardner)
No.
|
Jenis Kecerdasan
|
Manusia Purba
|
Spesies lain
|
1.
|
Linguistik-Verbal
|
Ditemukan lambang tertulis terbukti telah dipakai sejak
30.000 tahun
|
Kera besar punya kemampuan dasar untuk menamai benda
|
2.
|
Logis-matematis-numerikal
|
Sistem angka dan kalender telah ditemukan dalam
lingkungan prasejarah
|
Lebah menghitung jarak melalui perilaku terbang mereka
|
3.
|
Spasial-visual
|
Lukisan gua yang terkenal di Prancis dan Spanyol
|
Naluri mempertahankan wilayah pada berbagai jenis
mamalia
|
4.
|
Kinestetik-jasmani
|
Penggunaan alat pada zaman prasejarah (penemuan
artifak)
|
Penggunaan alat sederhana telah ditemukan pada primata,
binatang pemakan semut, dan spesies lain
|
5.
|
Interpersonal-antar
pribadi
|
Petunjuk adanya kelompok kedupan komunal awal
|
Ikatan dengan induk pada primata dan psesies lain
|
6.
|
Intrapersonal-intra
pribadi
|
Kesadaran diri yang dibuktikan dengan lukisan gua,
keterampilan memburu (butuh perencanaan dan intuisi)
|
Simpanse dapat melihat pantulan diri dari cermin dengan
mengungkapkan serta melambangkan perasaan dasar.
|
7.
|
Naturalis
|
Kemampuan membedakan fauna dan flora untuk kelangsunga
hidup
|
Sistem rumit untuk memangsang tetangganya dan untuk
tidak menjadi mangsa
|
8.
|
Eksistensial
|
Adanya upacara keagamaan prasejarah, yaitu sebelum
berburu dan saat penguburan.
|
Gajah dan spesies lain menunjukkan ritual tertentu
setelah kematian salah satu anggotanya.
|
Dari
tabel tersebut dapat dipahami bahwa antara manusia purba dengan spesies lain
(hewan) sama-sama memiliki kecerdasan yang beragam. Meskipun, untuk manusia
kecerdasan beragam bisa didominasi oleh spesies manusia saja pada masing-masing
individunya. Adapun untuk hewan tidak bisa didominasi oleh satu spesies saja. Artinya
tiap individu dalam satu spesies memiliki satu jenis kecerdasan yang sama. Misalnya,
kecerdasan satu ekor lebah dengan lebah yang lain tidak bisa memiliki jenis
kecerdasan berbeda. Dengan kata lain, jenis kecerdasan pada lebah antara satu
sama lain adalah sama, yakni kecerdasan dalam menghitung jarak melalui perilaku
terbang. Mereka seakan mempunyai “peluang” dan gaya yang sama dengan manusia
dalam menghadapi kehidupan di bumi.
Hal
tersebut tentu akan berbeda dengan pandangan Islam tentang hewan. Bagaimanapun,
menurut Islam tujuan diciptakannya antara manusia dengan hewan itu berbeda.
Dengan demikian, fungsi otak sebagai penghasil kecerdasan antara manusia dan
hewan juga berbeda. Kecerdasan hewan hanya digunakan untuk mematuhi perintah
Allah, yaitu “menghiasi” bumi. Terlebih lagi, hewan tidak dimintai pertanggung
jawaban di akhirat kelak. Sedangkan, fungsi kecerdasan (otak) pada manusia
sebagai modalitas (bekal) untuk menjalankan kehidupan di dunia. Di mana, salah
satu tujuannya agar bisa memilih segala sesuatu sesuai dengan apa yang bisa
mereka pilih. Memilih kehidupan dunia atau akhirat, bisa juga manusia memilih
keduanya.
Dari
semua fenomena dan masalah di atas tersebut, Anshori telah memberikan
rekomendasi sebagai jalan keluar, salah satu di antaranya yaitu:
1.
Lembaga pendidikan Islam pada setiap pelajarannya harus
memiliki aktivitas yang terkait dengan multiple
intelligences.
2.
Lembaga pendidikan tidak perlu menerima peserta didik
yang memiliki kebutuhan khusus kecuali lembaga pendidikan Islam telah diperlengkapi
dengan kebutuhan-kebutuhan mereka.
3.
Mengambil gagasan inovatif yang sesuai denga ajaran
Islam.
Mengacu
pada rekomendasi tersebut serta didasarkan pada pembahasan sebelumnya. Satu
perihal lagi yang menjadi alasan mengapa paradigma ilmu Islam dengan Ilmu barat
semakin merenggang adalah pengkultusan terhadap otak. Di mana, adanya
perkembangan “teori” tentang otak membuat posisi antara manusia dengan hewan
“hampir” sama. Yakni, sama-sama memiliki otak dan sama-sama memiliki kecerdasan
meskipun berdasarkan penelitian tingkat kecerdasan hewan sangat jauh
dibandingkan manusia. Implikasinya, bila diruntut ke zaman masa prasejarah
bahkan hingga ke zaman “penciptaan” semua makhluk hidup, maka menghasilkan
gagasan bahwa hewan dan manusia diciptakan dari “hal” yang sama. Adapun, letak
perbedaannya adalah kemampuan evolusi manusia yang amat pesat sehingga mampu
meninggalkan tingkat kecerdasan “hewan” lainnya.
Untuk
menghadapi dilema tersebut, Muhaimin menjelaskan tentang tipologi pemikiran
(filsafat) pendidikan Islam. Di mana, menurut pandangan penulis bisa menjadi
dasar filosofis Pendidikan Islam pada zaman sekarang ini. Konsep tersebut
secara lengkap dapat dilihat dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 3.5: Tipologi
Pemikiran Pendidikan Islam dengan Bentuk Tabel
(Diadaptasi dari tabel Muhaimin)
Corak Pemikiran Pendidikan Islam
|
Tolok ukur
|
Ciri-ciri
|
Fungsi Pendidikan Islam
|
Rekonstruksi sosial berlandaskan Tauhid
|
1.
Sumber al Qur’an dan Hadith
2.
Progresif dan dinamis
3.
Rekonstruksi sosial berkelanjutan
yang dibangun secara bottom up, dari
grass toot, dan berdasarkan
pluralistis
4.
Pendidikan Islam yang proaktif,
berorientasi masa depan, dan antisipatif dalam mengatasi suatu masalah karena
disebabkan perubahan yang tak terduga (adanya teori baru dll) dan
perkembangan IPTEK.
|
1. Bukan konstruk yang closes-ended,
tapi yang dikembangkan secara konsultatif antara kenyataan (fenomena) dengan
teori (konsep)
2. Rekonstruksi sosialnya berdasarkan pada pengembangan paradigma secara
terus menerus
3. Komitmen terhadap pengembangan kreativitas secara terus-menerus
4. Menghargai keragaman budaya, dengan tetap menjunjung tata nilai.
|
1. Menumbuhkan kreativitas peserta didik secara terus-menerus
2. Memberikan kekayaan wawasan budaya, nilai-nilia insani, dan ilahiah
3. Mendidik manusia agar siap tampil (bekerja dll) untuk menghadapi
kehidupan
4. Mengembangkan manusia menjadi cakap atau kreatif untuk selanjutnya mampu
bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya.
|
Dari
tabel tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam meberikan kebebasan
peserta didik untuk menjadi politisi, akuntan, arsitek, pemain sepak bola,
zoolog, pemimpin LSM, dan ahli dalam bidang apapun itu. Akan tetapi dengan salah
satu syarat, semuanya tadi tetap bernilaikan agama Islam. Dengan demikian, PAI
tidak hanya menekankan pada aspek kemampuan kognitif dan IQ-nya. Melainkan,
juga menekankan pada aspek fungsional di masyarakat. PAI tidak hanya
berorientasi pada dogma-dogma menjalankan ibadah untuk akhirat. Akan tetapi
juga “dogma-dogma” tentang perintah mengembangkan kecerdasan di bidang
masing-masing untuk kepentingan agama dan bangsa.
Dengan demikian, tugas PAI mesti mampu mengakomodasi
keberagaman kecerdasan peserta didik. Serta mampu memanfaatkan potensi tersebut untuk
mencetak generasi-generasi Islam yang mengisi seluruh sektor bidang
kemasyarakatan. Asumsinya, outcome
pembelajaran PAI tidak hanya menjadikan peserta didik beriman dan bertaqwa
dalam arti ritual (ibadah). Lebih dari itu, PAI juga menjangkau hal-hal yang
bersifat materiil (nyata). Meski dalam
pengembangan yang bersifat riil tersebut tetap harus berlandaskan pada hal-hal
yang imaterial (gaib). Selain itu,
dengan mengkaji PAI diharapkan peserta didik mampu menyadari, menemukan, dan
mengembangkan kecerdasan-kecerdasan yang ada pada dirinya.
Bila
hal tersebut dikaitkan dengan teori Gardner maka salah satu hal penting yang
dapat diambil oleh pendidikan Islam adalah setiap peserta didik punya jenis kecerdasan
beragam antara satu dengan yang lain. Dengan demikian, pendidik tidak boleh
menyamakan (menyeragamkan) posisi kecerdasan seluruh peserta didik. Di sisi
lain, mengenai teori lain yang berasal dari Barat seperti tentang kemampuan
otak yang seakan “tak terbatas,” kecerdasan itu bersifat genetis atau tidak,
hewan juga memiliki “kesetaraan” dengan manusia, dan teori lainnya yang masih belum
mengalami kematangan oleh umat Islam wajib difilter. Dengan demikian,
pendidikan Islam tidak sepantasnya mengambil seluruh teori dari Gardner apalagi
bagian-bagian teori yang masih belum matang (terdapat pertentangan kuat).
Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa
hakekat dari pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis kecerdasan beragam (multiple intelligences) adalah bisa
meningkatkan atau mengembangkan kecerdasan paling dominan (nampak) yang
dimiliki setiap individu peserta didik. Di sisi lain, pendidik PAI mesti
memberikan materi lain yang tentunya terkait langsung dengan dogma-dogma dan
nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, peran PAI adalah memberikan motivasi
dan mengarahkan peserta didik dalam mengembangkan kecerdasannya. Tentunya,
disertai dengan penanaman nilai-nilai Islam dengan cara dan materi pokok yang
disesuaikan dengan kecerdasan mereka. Misalkan, peserta didik yang memiliki
kecerdasan spasial didorong untuk menekuni kecerdasannya sehingga bisa menjadi
pelukis, pemahat, arsitek, ahli geografi, dan lain sebagainya. Selanjutnya, pendidik
diwajibkan menanamkan nilai-nilai Islam, yaitu agar menjadi pelukis, pemahat,
arsitek, ahli geografi yang menjunjung nilai-nilai Islam.
Teori
Gardner bila tanpa difilter untuk diterapkan di Indonesia berimplikasi pada
pemberian status yang leluasa dan sebebas-bebasnya kepada para peserta didik
untuk mengembangkan diri. Padahal kebebasan seperti itu dalam konteks
pendidikan di Indonesia pada saat ini sangat tidak mungkin diterapkan. Lebih
dikawatirkan menurut Imam Bawani dalam penjelasan di perkuliahan S3 PAI-BSI
Angkatan ke-2 (semester I) UIN Maliki Malang bahwa status guru sebagai pendidik
akan mengalami penurunan nilai. Guru hanya dipandang sebagai pembantu (alat)
bahkan lebih parah lagi menjadi “budak” bagi siswa untuk mencapai kesuksesan.
Guru hanya dinilai sebatas fasilitator untuk “memuliakan” anak. Padahal, dalam
Islam status guru sebagai pendidik memiliki peran yang sangat penting, salah
satunya adalah sebagai suri tauladan. Guru yang ikhlas, yaitu semata-mata
aktivitasnya mendidik untuk mencari rida Allah dalam Islam punya nilai tinggi.
Sebaliknya, guru yang semata-mata mengajar untuk mencari uang (tunjangan
sertifikasi, dll) tanpa ada muatan teologis maka posisinya bisa disamakan
dengan “pembantu” kemanusiaan. Dapat disimpulkan, bila teori “kebebasan” ini
dilaksanakan secara penuh (tanpa filter) di Indonesia maka pada lembaga-lembaga
tertentu posisi guru secara nilai akan mengalami penurunan dari pada peserta
didik. Adapun, sebagian negara Barat bisa menerapkan teori ini tanpa ada
pergeseran nilai guru secara signifikan karena paradigma barat berbeda dengan
di Indonesia.
“Pursuing MI
seemed to make sense for us because it supports our beliefs and our deep
commitment to valuing diversity in our student body. MI seemed to offer another
way to recognize the uniqueness of each individual.” Lihat, Hoerr, “Becoming a
Multiple,” hlm. 8.
“Negara yang kemampuan inovasinya rendah akan
sangat bergantung kepada negara yang memiliki kemampuan inovasi tinggi, sejalan
dengan meningkatnya kesadaran akan hak kekayaan intelektual.” Lihat, Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 47.
Kekuatan intelektual Islam adalah kekuatan yang
berkaitan dengan kesadaran teologis (kepadatan ilahiah), kosmologis,
epistemologis, dan ilmu. Kekuatan Islam juga terkait dengan masalah pendidikan,
belajar, SDM, budaya ilmu, kesucian, tanggung jawab, dan turunannya. Lihat, Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad,
hlm. 38.
Dilihat dari aspek pskilogis, setiap peserta didik
punya potensi dasar (bakat, minat, dan kemampuan/kecerdasan) yang butuh
diaktualisasikan dan ditumbuhkembangkan secara terus-menerus untuk dapat
menerapkan fungsinya sebagai hamba Allah dan Khalifah-Nya di bumi. Oleh karena
itu, setiap peserta didik idealnya membutuhkan treatment yang berbeda-beda pula. Lihat, Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 226.
Armstrong, “Seven Kinds of Smart:,” hlm. 234.
Anshori, Transformasi
Pendidikan Islam (Jakarta: Gaung Persada, 2010), hlm. 50.