Antara paradigma Pendidikan Agama
Islam
dengan paradigma pendidikan sekuler (yang cenderung positivistik) sesungguhnya
sangat berbeda. Kajian positivistik salah satunya berparadigma hegemonik dan
empiris, sedang PAI salah satunya berparadigma teologis.
Perbedaan tersebut menyebabkan PAI di mata positivistik bukan sebagai kajian
dari ilmu pengetahuan karena kajiannya tidak empiris dan tidak memenuhi standar
ilmiah (dipenuhi unsur metafisika dan transendetal).
Hal ini dalam kacamata Kuhn, bukan berarti dari salah satu keduanya terdapat
kebenaran, sedang yang satunya sebagai pihak yang salah. Namun keduanya
memiliki kaidah atau pola pikir sendiri yang telah disepakati oleh masing-masing
komunitas pendukungnya.
Sebagaimana pernyataan Tobroni bahwa paradigma dapat dijadikan asumsi atau
proposisi, bahkan dari itu bisa menjadi pijakan dalam berbagai kegiatan ilmiah.
Selanjutnya ia menjelaskan secara detail:
Berangkat dari konsep tentang paradigma ini lantas
melahirkan konsep-konsep turunannya seperti world
view (pandangan dunia), frame
work (kerangka kerja), logical
frame work analysis dan mindset.
Misalnya, keyakinan bahwa kitab suci merupakan wahyu dari Tuhan dan memiliki
kebenaran, lantas dijadikan rujukan dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku.
Pola pikir yang berpedoman pada keyakinan akan kebenaran firman
Tuhan, disebut paradigma teologis, yaitu pandangan dunia dan mindset yang muncul dari
sebuah keyakinan teologis, bersumber dari Tuhan.
Hampir sama dengan pernyataan Muslih, pada wilayah
paradigma sesungguhnya peran “kesejarahan” ilmu pengetahuan menjadi terbukti.
Yakni, ada beberapa faktor lain di luar keilmuan (standar ilmiah) yang
merupakan kesatupaduan dalam membangun ilmu. Misalnya, faktor ekonomi, politik,
budaya, dan ideologi. Atas dasar ini maka semakin terbuka jalan bagi bangunan
ilmu pengetahuan untuk menerima berbagai “nilai.” Termasuk nilai etika-religius
sebagaimana yang didamba-dambakan pendidikan Islam. Oleh karena itu, berdasar
dari paradigma Kuhnian maka tidak benar bila semua aktivias pendidikan itu disamaratakan
(dianggap sama). Bagaimanapun, meski dalam suatu lingkup pendidikan itu
berbasis logika, teori, dan tarekat (jalan) yang sama tapi masing-masing
tradisi (organisasi dan pengalaman beragama) mengusung paradigmanya
sendiri-sendiri. Dengan demikian, wajar seandainya terdapat perbedaan dalam
model pendidikan seperti model pendidikan salaf
(ortodoks), khalaf (modern), Ma’arif (NU), Muhammadiyah, Gontor, dll. Lahirnya
berbagai model pendidikan ini terkait erat dengan pemahaman keislaman sekaligus
pemahaman tentang hakikat ilmu.
Ia juga menambahkan bahwa paradigma dalam dunia
pendidikan menjadi basis filosofis dan sosiohistoris sekaligus. Dengan
demikian, peran dan posisi eksistensi pendidik (ustaz, guru, dan dosen),
pengelola (penyelenggara, yayasan, organisasi afiliasi, dan sebagainya) tidak
dapat diabaikan. Bahkan hal itu semuanya menjadi bagian tak terpisahkan dalam
pengembangan keilmuaan dan proses pendidikan. Dari sini dapat dipahami bahwa
meskipun metodologi itu penting, akan tetapi bukanlah segala-galanya,
bagaimanapun “keberadaan” pendidik jauh lebih penting daripada metodologi.
Selain itu, dalam perspektif filsafat ilmu kontemporer, setiap model pendidikan
mestinya memberi perhatian lebih secara bersamaan pada tiga elemen filsafat. Di antaranya teori
serta metodologi pendidikan, filsafat serta sosiologi pendidikan, dan teologi
serta metafisika pendidikan. Tiga
hal itu membawa dunia pendidikan tampil lebih bercirikhas, kokoh, dan tidak
pragmatis. Hal ini karena keyakinan hingga keimanan Islam sebagai dasar
teologis-metafisik penyelenggaranya punya posisi yang kuat. Yakni, sebagai
bagian tak terpisahkan dalam proses pendidikan yang dikembangkannya.
Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa
pengembangan PAI tidak boleh berhenti sampai di sini. Hal ini karena selama ini
ada anggapan bahwa ilmu Islam, termasuk pendidikan Islam telah mengalami
kemandekan atau mencapai titik kulminasi (puncak). Artinya, tidak ada yang
boleh mengotak-atik metodologi dan teori dalam PAI. Padahal, pengembangan PAI
–dalam artian metodologi dan teorinya- merupakan suatu kebutuhan bagi
masyarakat dewasa ini. Asumsinya, dengan stagnannya segala apa yang ada dalam
PAI berimplikasi pada berhentinya kesadaran intelektual (ilmu pengetahuan dan
teknologi) umat Islam. Di mana umat Islam tidak ada yang mampu menjadi penemu
di berbagai bidang IPTEK. Bila dikaitkan dengan pemikiran Kuhn, maka bisa
dikatakan ilmu PAI sekarang ini berada pada fase anomali (anomaly). Yakni, masa di mana PAI telah mengalami beberapa
goncangan dan pertanyaan substansial yang menyerangnya. Hal itu terjadi karena
ilmu PAI sekarang ini dianggap tidak mampu lagi menopang permasalahan yang
terjadi pada masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan ilmu PAI mutlak
dilakukan agar menghasilkan gagasan PAI yang terbaru,
yang diharapkan bisa mengatasi segala permasalahan masyarakat luas.
Dengan demikian, dapat disimpulkan paradigma PAI
adalah pandangan mendasar yang terkait dengan permasalahan utama dalam suatu
ilmu pendidikan, dengan menggunakan ajaran Islam sebagai asasnya. Bisa
dikatakan seseorang boleh menggunakan berbagai sudut pandang (kajian ilmu)
dalam melihat, meneliti, dan mengetahui permasalahan PAI. Kemudian mencari
solusinya dengan menggunakan berbagai pendekatan yang memungkinkan. Di mana
semuanya itu, baik cara mengetahui maupun memecahkan masalahnya tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, PAI sebagai sebuah ilmu
sekaligus keyakinan dan pengalaman dalam beragama tidak bisa dimiliki atau
diklaim oleh komunitas tertentu saja.
Implikasinya, siapapun boleh melakukan pengembangan PAI sesuai dengan paradigma
masing-masing komunitas. Namun sekali lagi, pengembangan tersebut tidak
bertentangan dengan prinsip utama ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam konteks
ilmu PAI maka ajaran Islam yang universal (tidak parsial) berwenang memandu dan
mengkonstruk pengembangan ilmu pendidikan. Secara detail terkait pembahasan
itu, berikut ini beberapa hal terkait pengembangan PAI yang diparalelisasikan
dengan pemikiran Kuhn:
1.
Patokan Paralelisasi Pemikiran Thomas
S. Kuhn Terhadap Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Memang harus diakui Kuhn
merupakan ahli fisika, yang selanjutnya menjadi pengajar sejarah filsafat ilmu
(cenderung ilmu alam). Karya-karya tulisnya sebelum buku terkenalnya “The Structure of Scientific Revolutions”
(1962) pun dipenuhi oleh kajian ilmu-ilmu kealaman di antaranya tentang Copernican Revolution, Galileo, Kepler, Descartes,
Newton, dll. Di mana sebagian besar bahasannya tersebut tentang fisika dan
astronomi.
Menyikapi kenyataan itu, menurut Gray Gutting, dkk. sebagaimana dikutip oleh
Yusuf Suyono bahwa “tesis [pemikiran] Kuhn bisa juga diaplikasikan pada
penelitian-penelitian bidang sejarah, ekonomi, politik, sosiologi, filsafat,
budaya, dan agama.” Selain dari pada itu, Suyono menambahi bahwa:
Namun hal itu tidak harus diartikan sebagai aplikasi
total secara serampangan. Setidaknya dari segi term-termnya seperti discovery (penemuan) dan invention (penciptaan) adalah hanya bisa
diaplikasikan dalam ilmu fisika, dan tidak mungkin bisa diaplikasikan dalam
ilmu tauhid secara total. Demikian pula term anomali – sebuah penyimpangan dari
suatu paradigma menurut tesis [pemikiran] Kuhn, paling-paling bisa diartikan
perbedaan pendapat dalam aplikasinya pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Krisis
dalam tesis Kuhn, paling-paling dimaknai sebagai perbedaan pendapat yang tidak
bisa dikompromikan lagi, sehingga pendapat belakangan berdiri sendiri dan pada
gilirannya mendapat dukungan serta pengikut dan akhirnya menjadi aliran.
Sebagai contoh, sejarah berdirinya aliran Mu’tazilah yang dimulai dari
perbedaan pendapat antara Wāṣil ibn ‘Aṭā serta temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid dengan Ḥasan al-Baṣriy mengenai orang yang berdosa besar,...
Dari
penjelasan di atas, dapat ditarik
benang merahnya, gagasan Kuhn tidak semuanya mutlak bisa digunakan dalam
pengembangan PAI. Bagaimanapun, nilai-nilai pokok Islam dalam PAI seperti
akidah (ketauhidan), tidak bisa direvolusi. Kajian monoteisme dalam Islam mesti
dibebaskan dari berbagai macam bentuk ancaman krisis, bahkan anomali
(keganjilan) sekalipun. Dengan demikian, akidah Islam harus dijaga secara terus
menerus oleh komunitas Muslim agar terhindar dari kritik dan penyimpangan.
Asumsinya, agama Islam (rukun Islam dan rukun iman) adalah doktrin atau dogma
yang harus ditanamkan secara kuat dan kokoh pada generasi umat Islam melalui
pendidikan. Di satu sisi lain, pendidikan Islam bukanlah dogma sehingga ia
pantas dimasukkan pada jajaran ilmu yang berpeluang untuk direvolusi. Pada
akhirnya, fungsi agama dalam pengembangan PAI adalah sebagai pemandu periset (komunitas
ilmiah) dan pelaku pengembangan. Oleh
sebab itu, kepercayaan tentang Islam sebagai
agama yang kebenarannya bersifat mutlak, tak tergantikan, dan tidak terikat
oleh tempat maupun waktu harus mendarah daging serta didakwahkan secara
turun-temurun.
Hal penting lain yang
perlu ditegaskan adalah bahwa Islam bukanlah sebuah paradigma. Melainkan, pemahaman
dan pengalaman umat Islam tentang agama Islamlah yang disebut sebagai
paradigma. Fungsi Islam adalah sebagai pedoman mutlak umat Islam dalam
membangun paradigma. Sedangkan paradigma bermanfaat memandu umat Islam dalam memahami
teks, mengamalkan, dan mengembangkan peradaban serta kehidupannya. Tentu, salah
satu diantaranya pengembangan pendidikan Islam. Dari itu, maka pemikiran Kuhn dalam pengembangan PAI dapat disejajarkan
(paralel) dengan konsep agama Islam (secara historis dan nilai) yang mengusung
semangat pembaharuan
–termasuk di dalamnya “discovery” dan
“invention”— di segala tempat dan
waktu. Oleh karena itu, pengembangan PAI bukanlah perbuatan dosa bahkan bisa
bernilai ibadah bila diniatkan sepenuhnya untuk mencari rida Allah dan
mengesakan-Nya. Asumsinya, seseorang yang melakukan pengembangan PAI dengan
tetap berteguh mengesakan Allah SWT, pasti menjadikan pengembangan itu sebagai
upaya untuk mendekatkan diri pada-Nya.
2.
Nilai-nilai Dasar Pengembangan Pendidikan
Agama Islam
Dalam pelaksanaan proses pembelajaran perlu adanya
desain ulang. Di mana tatkala dikaitkan dengan konsep Kuhn, salah satu
contohnya pendidik dapat merangsang peserta didiknya dengan menunjukkan
data-data “anomali.” Dari data tersebut diharapkan pendidik mampu mengubah
paradigma (nilai kehidupan, mental, dan kognisi) peserta didik ke arah yang
lebih baik. Asumsinya, selama peserta didik tidak mau merubah paradigmanya
(merevolusi) ke arah yang lebih unggul, maka tingkat pengetahuannya akan tetap
seperti semula, tidak terjadi perkembangan. Pendidik juga harus menyadarkan mereka bahwa
kebenaran ilmu itu bersifat tentatif. Oleh karena itu, semangat untuk mencari
“anomali” senantiasa terus dilakukan, kemudian disusul dengan spirit penciptaan.
Di mana, “mencipta” atau merubah tidak hanya di bidang sosial, akan tetapi di
bidang teknologi hingga ilmu alam seperti fisika, kimia, dan biologi.
Nilai-nilai dasar sebagai intagible
assets seperti itu selayaknya tidak hanya ditanamkan dan dimiliki oleh
peserta didik. Namun, pendidik beserta seluruh manusia yang terlibat langsung
dalam pengembangan PAI perlu mempunyai jiwa tersebut.
Menurut Amin Abdullah, sebagaimana yang ia pahami
dari pemikiran Kuhn bahwa seorang pelaku lapangan –menurut penulis termasuk
salah satunya adalah pendidik (ustad, guru, dosen, dll)— kebanyakan masih
terbiasa memecahkan masalah melalui cara-cara yang umum (konvensional). Yakni,
cara-cara yang baku, mapan, dan
senantiasa ingin tetap dipertahankan oleh para praktisi di lapangan. Hal ini
terjadi karena mereka “terpenjara” oleh aktivitas rutin, sehingga mereka tidak
menyadari munculnya anomali-anomali yang hadir dalam wilayah “ilmu pengetahuan
normal.” Hanya kalangan terbatas, yang umumnya para pengamat, peneliti, dan
kritikus yang mengetahui di mana adanya anomali-anomali tersebut. Selain itu,
ia menegaskan bahwa pergeseran paradigma dalam wilayah kebudayaan dan peradaban
–atau menurut penulis pada lingkup kecil adalah lembaga pendidikan— harus
melalui media dialog peradaban. Bukan lewat “benturan peradaban” atau benturan kebudayaan
yang selama ini sering-sering didengungkan. Dengan proses dialog yang bersifat terbuka
serta proses take and give antar
berbagai peradaban, maka proses pergeseran paradigma akan berjalan wajar,
alami, dan menguntungkan kedua belah pihak. Serta tidak mengakibatkan gejolak
sosial yang cenderung negatif.
Dari pernyataan itu, semestinya nilai-nilai dasar ditanamkan
kepada seluruh pelaku pengembangan PAI. Salah satunya yaitu kepada peserta
didik. Diharapkan mereka mampu merubah paradigma lama yang sudah mengalami fase
krisis (tidak lagi handal dalam
memecahkan masalah). Salah satunya paradigma yang cenderung “pasif-pesimis-permisif”
diubah menjadi “aktif-optimis-progesif.” Dengan itu peserta didik akan
mempunyai mental “pembaharu” yang tidak mudah ikut arus yang menjurus negatif. Misalnya,
melalui penekanan dan pemberian semangat bahwa “Jika ingin memperoleh sesuatu
yang lebih baik harus berusaha dulu, berakit-rakit ke hulu berenang-renang
ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.” Bisa juga pemberian
motivasi “Pengembangan diri adalah kewajiban! Hari ini harus lebih baik dari
hari kemarin dan hari besok harus lebih baik dari hari ini.” Teknik pengembangan
seperti itu didasarkan dari pandangan sebagian kalangan bahwa gagasan Kuhn merupakan
pengetahuan yang bersifat apriori. Artinya, suatu paradigma tidak harus
dibangun dari sesuatu yang empiris, tapi bisa dicukupkan pada asumsi-asumsi
(praduga) dasar yang dipegang teguh bersama.
Dengan penekanan dan penanaman
nilai-nilai dasar secara terus menerus serta menggunakan berbagai metode,
diharapkan lambat laun orientasi kehidupan peserta didik berubah. Yakni, yang
awalnya hanya ingin menjadi “figuran” dalam kehidupan ini berubah tekat menjadi
salah satu bagian dari “pemain utama” kehidupan. Dapat dikatakan, paradigma
lama peserta didik diguncang tidak menggunakan cara pendoktrinan secara frontal.
Melainkan, dengan cara menggunggah peserta didik supaya bisa menemukan sendiri
solusi dari anomali-anomali kehidupan yang diajukan. Oleh karena itu, penanaman
nilai-nilai dasar dilakukan secara halus. Khawatirnya, bila diguncang dengan
cara pendoktrinan secara langsung bisa jadi peserta didik atau orang tuanya (masyarakat)
akan menentang “doktrin” tersebut. Kendati demikian, tidak serta merta peserta
didik diberi kebebasan untuk menemukan “kebenaran” secara liberal. Bagaimanapun
otoritas pendidik untuk mendoktrin akidah keislamannya harus tetap ada.
Tergantung pada jenjang pendidikannya dan latar belakang kehidupan peserta
didik itu sendiri.
3.
Reinterpretasi Ayat Kauliyah dalam Pengembangan PAI
Agama Islam merupakan agama yang benar dan sempurna.
Oleh sebab itu, tak seorangpun bisa mengadakan pembaruan terhadap teks Islam
atau ayat Kauliyah.
Akan tetapi yang perlu diperbarui adalah “paradigma” manusia terhadap agama.
Serta bukan dinamika al Qur’an yang
harus digugat untuk menghadapi perkembangan zaman. Melainkan, dinamika umat
Islam dalam memahami teks al Qur’an-lah
yang harus dimulai dan terus-menerus dilakukan sepanjang zaman.
Pernyataan ini hampir sama maksudnya dengan pandangan Kuhn, bahwa “kunci utama
perubahan revolusioner ini ada pada metodologi. Alam tidak terlalu berubah
namun metode pencarian penjelasan akan gejala alam kadang-kadang revolutif.”
Dengan kata lain, bukan teks al Qur’an-nya
yang dirubah tapi “metodologi” dalam memahami teksnya yang harus dirubah
(direvolusi).
Berdasarkan pemaparan di atas, ketika dalam proses pengembangan
PAI ditemukan “anomali” (keganjilan) atas paradigma manusia tentang isi al Qur’an, maka perlu diadakan reinterpretasi
terhadap teksnya.
Bagaimanapun, tafsir merupakan ilmu, sebagaimana dengan ilmu lainnya.
Walaupun tak dapat dinafikkan bahwa konteks dan kualitas “perumusnya” di zaman
dulu dengan sekarang tentu jauh berbeda. Proses tersebut dilakukan agar
pembelajaran PAI bisa kontekstual dan memiliki nilai praktis bagi masyarakat.
Serta tentunya agar PAI tidak dicap bertentangan dengan ilmu pengetahuan lain. Misalnya, bagaimana pendidik PAI bisa menjelaskan
keberadaan fosil manusia purba yang nyata-nyatanya memang benar keberadaannya
tak terpungkiri. Sedangkan di dalam al
Qur’an secara qath’i belum pernah
ditemukan penjelasan tentang “keberadaan” fosil tersebut. Oleh karena itu,
wajar bila ada penafsiran pada ayat-ayat terentu terkait keberadaan fosil.
Lebih ekstrim daripada
pernyataan itu, Mujtahid menyampaikan “kritik akal Islam berupaya untuk membongkar mitos pemikiran (ijtihad)
yang sudah tidak relevan dengan dinamika masyarakat sekarang. Dengan demikian, tujuan
utama kritik akal Islam adalah membebaskan pemikiran dari segala macam citra
dan gambaran yang sempit, karena tidak mungkin bagi akal Islam, berpikir jernih
selama citra-citra semacam ini melekat dalam akal mereka.” Ia melanjutkan bahwa
dengan mengkritik akal Islam (hasil pemikiran umat Islam) bisa membedakan
antara teks/wahyu dengan sejarah serta analisisnya. Dengan demikian, seharusnya
wahyu diposisikan kembali pada tempat semula yang bersifat transenden.
Alasannya, wahyu telah mengalami relasi dengan sejarah manusia yang bermuatan
ideologi, politik, dan kepentingan lainnya sehingga mengalami reduksi nilai di
dalamnya. Oleh karena itu, semua teologisme termasuk epistemologi
seperti fiqh, tafsir, dan sebagainya masih perlu dikritisi dalam konteks hari
ini. Bagaimanapun, semuanya merupakan ciptaan manusia, sehingga layak untuk
diletakkan di atas “meja” kritisisme. Pada akhirnya, revolusi ilmiah tidak akan
hilang dari panggung dunia pemikiran Islam sepanjang dinamika kehidupan ini
tetap berlangsung.
4.
Penggunaan Ayat Kauniah dalam Pengembangan
Pendidikan Agama Islam
Ayat
Kauniah
adalah ayat-ayat di luar teks al Qur’an
sebagai tanda Kemahabesaran Allah SWT sekaligus pembenar kandungan al Qur’an yang sebagiannya bersifat
mungkin untuk dikembangkan. Bisa berbentuk benda (zat/materi), peristiwa, dan
mekanisme (sistem). Manusia wajib bertafakur
terhadap sebagiannya dengan akal.
Dengan demikian, “daftar muatan” pengembangan PAI sebenarnya tidak berhenti
pada aspek normatif dan doktrin ajaran agamanya saja. Namun, bagaimana
menjadikan peserta didik mampu memahami, menghayati, dan memanfaatkan alam ini
menjadi lebih baik. Yakni, dengan cara pengembangan ilmu pengetahuan yang
muaranya bisa terciptanya produk yang berguna bagi kehidupan manusia.
Apabila pernyataan itu dikaitkan dengan konsep
“paradigma” Kuhn –seperti pembahasan sebelumnya— maka perkembangan ilmu
pengetahuan itu tidak pernah bisa lepas dari nilai. Termasuk di dalamnya nilai-nilai
agama, sosial, dan kemanusiaan. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak bisa
berdiri sendiri. Nilai tersebut memiliki peran yang sangat signifikan dalam
menentukan arah perkembangan ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan, tanpa adanya
unsur nilai menyebabkan kehadiran ilmu pengetahuan akan hampa, tanpa makna.
Adanya hanya kepuasaan, kesenangan, kebenaran “palsu,” dan kehidupan mapan yang
semu. Bahkan ketika terus-menerus dibiarkan akan berujung pada bencana
kehidupan manusia. Oleh karena itu, memfungsikan ayat Kauniah sebagai sesuatu
yang sakral,
dijunjung tinggi, dan mengadakan “penafsiran” mendalam (penggalian ilmu
pengetahuan) terhadapnya merupakan tindakan terpuji.
Selanjutnya, semangat penggalian ilmu pengetahuan
itu salah satunya dengan cara “peniruan” (kajian) terhadap pengembangan ilmu
pendidikan sekuler. Kendati, sesungguhnya tidak semua ilmu pendidikan sekuler
(utamanya dari Barat)
dapat menjawab permasalahan dan pertanyaan yang problematis. Utamanya persoalan
yang terkait dengan keyakinan dan pengalaman orang dalam beragama. Mengapa manusia
ini harus hidup? Dari mana alam semesta ini diciptakan? Mengapa manusia di
zaman modern, penuh intelektualitas, dan berperadaban tinggi tapi masyarakatnya
masih tetap gemar berperang? Mengapa mayoritas manusia di dunia ini mau
beragama (percaya hal gaib)? Apa manfaat terjadinya fenomena menakjubkan (ajaib
dan jarang terjadi) bagi kehidupan manusia? dll. Terkadang justru pendidikan
agama utamanya di negara-negara berkembang yang handal dalam mengkaji dan
menjelaskan masalah-masalah itu. Dengan kata lain, hanya agamalah yang sanggup
“menenangkan” keresahan mayoritas manusia ketika menghadapi dialektika seperti
itu.
Upaya kritik yang lebih ekstrem dari itu adalah
berupa pertanyaan adakah keterkaitan antara “mekanisme takdir” dengan “teori
peluang”? Misal, secara kenyataan atau kepastian (takdir) bung Karno salah satu
mantan Presiden RI menikahi ibu Fatmawati, lalu apa akibatnya (peluang yang
terjadi) bila beliau tidak memperistrinya? Apakah menyebabkan tidak akan pernah
ada proklamasi kemerdaan Indonesia? Apakah nasib negara Indonesia akan jauh
berbeda seperti sekarang ini? Ataukah ada “pergeseran” ruang dan waktu yaitu
proklamasi tidak dilakukan pada tanggal 17 Agustus? Apapun jawabannya, yang
pasti bila itu terjadi maka Megawati (mantan Presiden RI) tak akan lahir,
begitu pula Puan Maharani (cucu Bung Karno). Dengan kata lain, bila perubahan
sedikit itu (tidak menikahnya bung Karno dengan Fatmawati) memang terjadi, akan
sangat mempengaruhi keadaan Indonesia dan kemungkinan juga dunia. Artinya,
dengan tindakan (perlakukan) sekecil apapun terhadap sesuatu akan berdampak
pada perubahan bidang lainnya meski sedikit. Bahkan bukan kemustahilan hasilnya
jauh berbeda dari kenyataan sekarang ini.
Dapat disimpulkan, runtutan akibat (efek) karena adanya
perubahan sekecil apapun di masa lalu –baik yang bersifat kemungkinan maupun yang pasti—tidak bisa terelakkan. Dengan kata
lain, perubahan sekecil apapun di suatu zaman dan tempat dapat berefek pada
perubahan yang besar untuk beberapa puluh, ratusan, hingga ribuan tahun
berikutnya. Begitu pula apa yang manusia lakukan sekarang ini. Sekecil apapun
yang diperbuatnya di kala ini bisa berakibat besar di kemudian hari. Inilah penguat pendapat bahwa “takdir” sudah
ditentukan secara detail, baik dari segi waktu, tempat, dan dimensinya.
Bergeser sedikit saja (waktu dan tempat) maka tentu “takdir” akan mengalami
perubahan yang besar. Sistem yang teramat rumit itu memperlihatkan bahwa adanya
keterlibatan Maha Cerdas untuk mengatur takdir itu agar tidak bergeser sedikit
pun. Asumsinya, bila ada kesalahan dalam mengatur mekanisme takdir (bergeser
sedikit saja) bisa berakibat fatal.
Yakni, runtutan akibat yang bisa merubah “nasib” dunia ini tidak seperti
“seharusnya.”
Dari penjelasan di atas, umat Islam sepatutnya
meyakini bahwa konsep pengembangan pendidikan Islam suatu saat hasilnya pasti
jauh lebih bermanfaat dari ilmu pendidikan sekuler. Utamanya bisa membentuk
manusia bermental utuh dan seimbang. Yakni, yang tidak ingin sukses di akhirat
saja, atau sebaliknya di dunia saja. Dapat disimpulkan, untuk memenuhi
tantangan itu PAI harus bisa membentuk manusia yang ahli dalam ilmu umum tetapi
tidak mengalami kegersangan hidup karena ilmunya dipadukan dengan nilai-nilai
agama. Bisa juga membentuk ahli agama Islam yang berwawasan dan berbudaya
IPTEK, sehingga kajian keagamaannya digunakan untuk mendorong umat Islam memanfaatkan
dan menciptakan IPTEK secara benar menurut akidah Islam.
Pernyataan tersebut diperkuat
oleh pemaparan Nurcholis Madjid bahwa penggunaan ayat-ayat Allah yang Kauliyah beserta kauniah perlu dipahami
dan diberi interpretasi sesuai dengan kenyataan terkini. Dengan interpretasi
beserta reinterpretasi tersebut menjadikan agama mampu dan sejajar atau bahkan
posisinya lebih tinggi dan teratas dalam berdialog dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Dengan demikian, pengembangan PAI itu bersifat open-ended. Artinya, senantiasa terbuka untuk dikritik, direduksi,
dan dirubah. Begitu pula pendidikan sekuler maupun pendidikan Islam –dalam
wilayahnya sebagai ilmu dan produk
(konsep serta benda) atau karya manusia—
tidak bisa terus-menerus menghindarkan diri dari ketentuan itu. Di mana, dalam
kaidah seperti itu peran ilmu sejarah, psikologi, dan sosiologi sangat penting.
Bagaimanapun, pengalaman dinamika pendidikan Islam terdahulu hingga pendidikan
Islam sekarang ini sangat bertalian erat. Oleh karena itu, pengembangan PAI
tidak bisa berdiri sendiri hanya dengan menggunakan pemahaman (tafsir) manusia
terhadap ayat Kauliyah (wahyu). Masih
diperlukan kajian PAI di bidang lain yang bercorak interdisipliner. Yakni,
kajian mendalam terhadap ayat Kauniah beserta ilmu-ilmu yang menyertainya untuk
ikut andil dalam pengembangan PAI.
5.
Peran Komunitas Ilmiah dalam Pengembangan PAI
Dalam
bahasa Indonesia istilah komunitas ilmiah
memiliki padanan kata –yang artinya tidak jauh beda— dengan masyarakat ilmiah, komunitas akademis, dan
masyarakat akademis. Komunitas ilmiah erat kaitannya dengan aktivitas
(praktik) ilmiah, metode ilmiah, sikap ilmiah, dan produk (berbentuk teori atau
benda) ilmiah. Menurut penulis, sebagaimana hasil pemahaman dari pembahasan-pembahasan
sebelumnya, dapat dirumuskan bahwa komunitas
ilmiah PAI memiliki arti sekelompok orang ahli yang aktivitas dan kajiannya
terfokus dalam bidang PAI, dengan ciri utamanya memiliki paradigma yang sama
terutama terkait praduga (asumsi), nilai, aturan (norma), tujuan, metode
(model), dan keyakinan (faith)
mereka. Biasanya, komunitas ilmiah PAI saling “berinteraksi” (berargumen) satu
sama lain melalui wadah dunia akademis (pendidikan, profesi, dll), media
tulis-menulis (jurnal, buku, makalah, laporan penelitian, dll), dan forum
ilmiah lainnya. Dengan demikian, tatkala komunitas ilmiah PAI memiliki
paradigma yang sama, misalnya ilmu PAI sekarang ini tidak perlu dikembangkan,
berdampak suatu pengembangan PAI tidak akan terjadi. Namun, jika ada satu
anggota (ilmuwan) komunitas ilmiah yang keluar jalur utama(mainstream) lalu diikuti oleh mayoritas komunitas ilmiah PAI, maka
suatu proses pengembangan telah terjadi. Pengembangan PAI dalam bidang tertentu
bisa pula terprakarsai adanya aklamasi atau konsensus “secara alami” maupun yang terencana dari mayoritas komunitas ilmiah
PAI untuk mengadakan pembaharuan.
Menurut
kacamata penulis, suatu komunitas ilmiah PAI pada saat ini telah menunjukkan
keberagamannya. Yakni, komunitas ilmiah PAI yang konservatif (tradisional)
berfungsi sebagai kritik dan pengerem atas keblabasannya pembaharuan, komunitas
ilmiah PAI yang moderat (akomodatif) berfungsi penyeimbang, dan komunitas
ilmiah PAI yang liberal (modernis)
berfungsi sebagai pembaharu. Di mana, ketiga macam komunitas tersebut saling
berdialektika satu sama lain dengan mengajukan argumen supaya gagasan mereka
diterapkan di ranah nyata. Implikasinya, karena paradigma dari ketiga jenis
komunitas ilmiah PAI itu berbeda, mengakibatkan masing-masing teori yang
dibangun (dikembangkan) akan berbeda pula. Selain itu bisa jadi metode, tujuan,
nilai, dan sebagainya yang mereka gunakan dalam “memahami” PAI pun akan
berbeda. Oleh sebab itu, tidak mengherankan ketika cara pandang sekaligus
perlakukan mereka terhadap PAI juga tidak sama. Apabila perbedaan tersebut
tidak ada titik temu (kesepakatan) maka menjadi suatu kepastian adanya beberapa
varian ilmu PAI versi konservatif, paradigma akomodatif, dan liberal. Serta,
tidak menutup kemungkinan adanya varian-varian lain yang salah satunya
merupakan sintesis dari beberapa model tersebut.
Dapat
dikatakan, peran penting komunitas ilmiah dalam pengembangan PAI adalah sebagai
sumber paradigma, sehingga apapun hasilnya dapat dijadikan panduan bagi
praktisi PAI. Dengan kata lain, pengembangan PAI –utamanya dalam scope luas— tidak akan bisa berlangsung
baik tatkala tidak didukung mayoritas komunitas ilmiah. Meski sekalipun pengembangan
itu hanya pada wilayah instruksional (pembelajaran di kelas) tetap membutuhkan
“penguat” dari komunitas ilmiah. Bagaimanapun, kemampuan dan wawasan mayoritas
pendidik bisa berkembang karena adanya “paradigma” yang diusung oleh komunitas
ilmiah PAI. Yakni, paradigma tersebut mereka dapatkan ketika membaca buku,
mengikuti seminar, diklat (workshop),
dan tentunya juga paradigma yang berasal dari kampus ketika mereka masih proses
kuliah. Oleh karena itu, permasalahan
dalam dunia PAI harus diselesaikan oleh ahlinya, terlebih lagi adanya
kesepakatan dari komunitas ilmiah PAI. Ibaratnya, seorang yang sakit gigi akan
sangat kurang optimal penanganannya ketika paradigma pengobatan yang digunakan
menggunakan paradigma dokter umum. Penanganan dan penyembuhannya akan bisa
berjalan baik dan berefek samping paling sedikit kalau ditangani oleh dokter
gigi.
Dapat disimpulkan, keberadaan komunitas ilmiah PAI
merupakan cermin bagi dunia pendidikan Islam. Apabila komunitas ilmiahnya aktif
dalam mengadakan pengembangan PAI secara positif dan konsisten, maka lambat
laun akan menghasilkan proses pendidikan Islam yang baik dalam segala aspeknya.
Sebaliknya, ketika komunitas ilmiah PAI tidak peka (sensitif) terhadap
perubahan masyarakat dan merasa perlu mempertahankan paradigma lama, dampaknya
proses pendidikan Islam akan mengalami stagnansi. Hasilnya, generasi umat Islam
tidak akan memiliki perbedaan yang jauh dengan generasi-generasi sebelumnya
dalam mengatasi masalah. Padahal, paradigma umat Islam terdahulu belum tentu
handal untuk digunakan dalam pemecahan masalah di masa kini. Oleh karena itu,
“regenerasi” komunitas ilmiah PAI perlu terus dilakukan dan dikembangkan.
Alasannya, tanpa adanya komunitas ilmiah PAI yang berkualitas, maka sebuah
paradigma “berkualitas” tidak akan pernah ada. Merekalah yang berperan
memilihara bahkan seharusnya juga mengembangkan ilmu pengetahuan. Secara moral,
mereka adalah pengemban tugas penting untuk membawa umat Islam menyusul dari
ketertinggalan yang jauh hingga akhirnya bisa mendahului. Pada akhirnya, umat
Islam mampu mendukung bahkan pantas ikut serta aktif dalam memajukan negara
Indonesia.
“Jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika,
seni, tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara
rigid sebagaimana sains. Di sini [menurut pandangan posivistik] derajat sains
memang menjadi lebih tinggi dari segalanya. Maka pendidikan Islam sebagai
pendidikan yang berbasis Islam, akan sangat sulit memasuki diskursusnya
[wacana], atau paling tidak perjuangan penuh liku harus terlebih dulu
dilaluinya.” Lihat, Muslih, “Pendidikan Islam dalam,” Hunafa: Jurnal Studia Islamika, diakses
tanggal 21 Desember 2014.
Menurut Amin Abdullah
sebagaimana ditulis Suharyanta dan Sutarman bahwa “konsep pendidikan agama yang
rahmatan lil al-‘alamin merupakan
wahyu Tuhan yang menjanjikan kebahagiaan hidup manusia dengan
memberikan konsep aturan kehidupan yang berupa aturan dan nilai-nilai ajaran
agama meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan
hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Sumber kebenaran, etika,
hukum, kebijaksanaan, dan pengetahuan dalam segala
aspeknya memang berasal dari agama. Agama tidak pernah mengajarkan bahwa wahyu
Tuhan hanya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini,
sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan
pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut
teoantroposentris. Agama memberikan aturan bagaimana sebuah kebenaran ilmu
dapat diukur, bagaimana ilmu diproduksi, dan bagaimana seharusnya tujuan-tujuan
ilmu diarahkan. Dimensi aksiologi [kebermanfaatan
ilmu] dalam teologi ilmu ini penting untuk digarisbawahi, sebelum manusia
keluar mengembangkan ilmu [termasuk pengembangan pendidikan Islam]. Selain
ontologi dan epistemologi keilmuan, agama sangat menekankan dimensi aksiologi
keilmuan. Ilmu yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang objektif.
Dalam artian, bahwa ilmu yang dihasilkan tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk
agama lain, non agama, dan anti agama sebagai nilai normativitas semata, tetapi
sebagai gejala keilmuan objektif, meliputi sisi historisitas-empirisitas. Maka
objektifikasi ilmu merupakan hasil dari pemikiran dari orang-orang beriman
untuk seluruh manusia yang bersifat menyejukkan dan damai bukan sebaliknya.
Jadi, hakikatnya pengetahuan itu haruslah objektif, artinya harus dapat
dirasakan dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia.” Lihat, Suharyanta dan Sutarman, “Relevansi Epistemologi Keilmuan
Integratif-interkonektif Amin Abdullah bagi Ilmu Pendidikan Islam,” Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012:
hlm. 55-76, dalam http://www.aljamiah.org/mukaddimah/index.php/muk/article/download/6/6, didownload tanggal 18 Februari 2015.
Mujtahid,
“Islam dan Nalar” diakses
tanggal 18 Februari 2015.