Ilustrasi Kecerdasan Beragam atau Multiple Intelligences (Sumber gambar SD69) |
B. Paradigma Baru Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam
Paradigma
yang diturunkan dari Cartesian (Descartes) dan Newtonian menjadi penyebab
munculnya paradigma tunggal (tidak utuh) di dunia Barat. Dengan paradigma
tunggal itu, mereka terpuruk ke lembah krisis dan penuh kontradiksi, yang
menurut Capra disebabkan oleh kekeliruan
pemikiran. Ahmad Tafsir sebagaimana dikutip Efendi menjelaskan bahwa yang
dimaksud kekeliruan pemikiran menurut Capra adalah tidak
digunakannya paradigma yang tepat dalam penyusunan kebudayaan barat. Di mana,
menurutnya budaya barat hanya disusun berdasarkan satu paradigma, yaitu
paradigma sains (scientific paradigm). Padahal paradigma tersebut tidak sepenuhnya
bisa melihat alam dan kehidupan ini secara utuh dan menyeluruh (wholeness), kecuali hanya melihat alam
ini pada bagian yang empiris saja.[1]
Bila “kebudayaan” barat tersebut dikaitkan dalam dunia
pendidikan, secara spesifik M. Zainuddin memaparkan perbedaannya dengan
pendidikan Islam sebagaimana berikut:[2]
Tabel
3.1: Perbedaan Sistem Pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Barat
(Tabel diadaptasi dari pemaparan M.
Zainuddin dalam bentuk paragraf)
Katagori
|
Pendidikan Islam
|
Pendidikan Barat
|
Landasan Filosifis
|
Paradigmanya bertolak
dari sumber atau landasan (doktrin) Islam yang bercorak teo-antroposentris.
|
Paradigmanya
dilandaskan filsafat Yunani yang antroposentris-sekuler
sehingga terlepas dari dimensi moral dan spiritual.
|
Struktur Konsep Pendidikan
|
Terjadinya perbedaan:
tujuan, konsep tentang manusia (peserta didik), nilai, serta tanggung jawab
yang diembannya.
|
|
Ontologi
|
Terjadi perbedaan
dalam aspek: cara memandang dan menempatkan para peserta didik dalam proses
pembelajaran.
|
|
Sumber dan Metode Epistomologi
|
Berasal dari Allah SWT,
yang diperoleh melalui pancaindra, akal sehat, berita yang benar, dan
intuisi.
|
Semua objek (benda /zat
/materi) yang bisa diserap oleh pancaindra.
|
Sistem Etika
|
Bercorak teo-antroposentris yang menempatkan
manusia sebagai pelaku sejarah sekaligus sebagai makhluk (khalifah dan hamba)
Allah.
|
Menurut Syamsul Nizar:
bercorak antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari
segala-galanya, individu merdeka tanpa batas.
|
Dari
tabel tersebut dengan jelas tergambar bahwa sistem pendidikan barat adakalanya tidak
sepenuhnya cocok apabila diterapkan dalam sistem pendidikan Islam. Oleh karena
itu, setiap teori dari barat, utamanya teori tentang pendidikan tidak serta
merta harus diserap sepenuhnya untuk digunakan
dalam sistem pendidikan Islam. Bagaimanapun, paradigma yang digunakan oleh umat
Islam dengan paradigma orang barat adakalanya berbeda. Implikasinya, bila
dipaksakan akan mempengaruhi dalam membuat konsep sistem pendidikan Islam.
Artinya, pendidikan Islam akan kehilangan jati diri keislamannya, melainkan
yang ada berupa simbol, slogan, dan ritus-ritusnya belaka.
Lebih
dari itu, bila dikaitkan dengan pembelajaran secara langsung, maka paradigma
lama mengajar tentang pemberian reward
and punishment atau pemberian rangsangan lain sudah tidak berlaku lagi.
Ataupun, paradigma pembelajaran yang hanya sebatas menyampaikan pengetahuan dianggap
sudah tidak relevan dengan kekinian. Diperlukan paradigma baru, salah satunya
adalah menciptakan “flow”[3]
pada peserta didik. Paradigma baru lainnya adalah kegiatan mengajar difokuskan
pada proses mengatur lingkungan (kebudayaan). Beberapa alasannya menurut Wina
Sanjaya adalah:
1.
Peserta didik bukanlah orang dewasa dalam bentuk anak
kecil atau remaja, tetapi individu yang sedang berkembang sehingga masih butuh
proses pendidikan. Dengan demikian, pendidik (sebagai orang dewasa) bukanlah
satu-satu sumber belajar. Hal ini karena kebutuhan orang dewasa dengan
anak-anak berbeda. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah sebagai pengelola
sumber belajar yang sesuai dengan tingkat usia peserta didik.
2.
Adanya ledakan ilmu pengetahuan berakibat pada ketidakmungkinan
bagi setiap orang mampu menguasai seluruh cabang keilmuan. Dengan demikian,
belajar tidak sekedar menghafal informasi, menghafal rumus-rumus, tapi belajar
adalah bagaimana peserta didik mampu menggunakan otaknya untuk mengasah
kemampuan berfikir.
3.
Penemuan-penemuan baru dalam bidang psikologi (menurut
penulis juga bidang biologi), berakibat pemahaman baru terhadap konsep (teori)
perubahan perilaku manusia. Di mana manusia sebagai makluk biologis (organisme)
memiliki potensi bawaan yang menentukan perilaku manusia. Implikasinya, proses
pendidikan bukan lagi memberikan stimulus untuk cerdas pada bidang tertentu,
tetapi mengembangkan potensi (kecerdasan) yang telah ada dan telah dimiliki peserta
didik.[4]
Penjelasan tersebut hampir sama dengan pendapat Thomas R.
Hoerr, bahwa:
The
theory of multiple intelligences (MI) brings a pragmatic approach to how we
define intelligence and allows us to use our studens’ strengths to help them
learn. Students who read and write well are still smart, but they are joined by
other students who have different talents. Thourgh MI, schools and classooms
become settings in which a variety of skills and abilites can be used to learn
and solve problems. Being smart is no longer determined by a score on a test;
being smart is determined by how well students learn in a variety of ways.[5]
Penerapan mutlitple
intelligences dalam lingkup satu lembaga secara konsisten, optimal, dan
sungguh-sungguh mampu menciptakan iklim sekolah yang hidup. Sekolah yang awalnya
tampak mencekam dan serba kaku menjadi lebih menggembirakan dan memuaskan
hasrat peserta didik untuk belajar. Sekolah yang bermula jumlah muridnya
sedikit menjadi lebih banyak. Sekolah yang mula-mula minim prestasi menjadi
lebih banyak menelurkan prestasi. Adapun dalam lingkup mata pelajaran, dengan
teori tersebut banyak pendidik yang terbantu memecahkan masalah peserta didik.
Salah satunya yang tidak mampu dan tidak termotivasi untuk melakukan
pembelajaran. Dengan strategi yang tepat, banyak murid yang awalnya mengalami
permasalahan (tidak mampu dan tidak termotivasi) terutama saat belajar
matetimatika atau mata pelajaran tertentu lainnya, akhirnya mereka bisa
tergugah “kesadarannya” untuk belajar.[6]
Lebih dari itu, teori kecerdasan beragam yang terkait erat dengan perkembangan
otak bisa mengoptimalkan penggunaan (fungsi) otak. Artinya, peserta didik
dibekali dan diajak “mengelola” otaknya sehingga segala potensinya dapat
berkembang dengan optimal. Dengan kata lain, peserta didik yang berhasil
bukanlah peserta didik yang wajib menguasai kecerdasan yang ditentukan,
misalnya IQ (logis-matematis). Namun, peserta didik yang mampu mengoptimalkan
potensi kecerdasan yang ia miliki untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Hal
ini juga terkait dengan keberagaman sosio-kultur dan geograsif (termasuk
potensi alam) daerah di Indonesia yang mengharuskan generasi mudanya mampu
memenuhi berbagai macam kebutuhan yang kompleks tersebut. Oleh karena itu,
untuk memenuhinya diperlukan suatu sistem pendidikan yang bisa melahirkan
generasi yang satu dengan lainnya punya kemampuan beragam (tidak homogen).
Selanjutnya, berdasarkan hasil beberapa penelitian
yang dilakukan oleh para ahli sebagaimana dikutip Septiani, dkk. terdeskripsi
sebagai berikut:
Hasil
penelitian Temur (2007) pada pembelajaran matematika kelas IV SD di Gazi
University Foundation Private Primary School menunjukkan bahwa hasil belajar
siswa dengan penerapan multiple intelligences lebih tinggi dibanding
menggunakan pembelajaran tradisional. Penelitian yang dilakukan Bas dan Beyhan
(2010) terhadap 50 siswa kelas V SD di Turkey menunjukkan bahwa penerapan multiple
intelligences didukung pembelajaran berbasis proyek lebih unggul dibanding
metode pengajaran tradisional ditinjau dari sikap dan motivasi belajar siswa.
Hasil penelitian Xie dan Lin (2009) menunjukkan bahwa hasil evaluasi pada kelas
yang menerapkan multiple intelligences lebih unggul dibanding
menggunakan pembelajaran tradisional dilihat dari kemampuan mahasiswa dalam
mengerjakan proyek-proyek desain. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat
diketahui bahwa penerapan multiple intelligences dapat memberikan hasil
yang efektif dalam proses pembelajaran. Rizal dan Wasis (2012) mengemukakan
apabila kecerdasan majemuk [kecerdasan beragam] ditumbuhkan, dikembangkan dan
dilibatkan dalam proses pembelajaran akan meningkatkan efektivitas dan hasil
pembelajaran.[7]
Selain itu,
menurut pendapat Hernowo sebagaimana dikutip Nurani menyatakan teori kecerdasan
beragam menjadi sistem pendidikan
baru pada lembaga sekolah. Secara detail identifikasinya adalah sebagai
berikut:
Pertama, dulu, sekolah
tepatnya para guru, memisahkan atau memberikan identifikasi kepada peserta
didiknya sebagai anak yang pandai disatu sisi dan anak yang bodoh disisi
lainnya. Sekarang, melalui penerapan kecerdasan jamak [kecerdasan beragam],
ternyata tidak ada anak yang bodoh, setiap anak hampir dapat dipastikan
memiliki satu atau dua jenis kecerdasan yang menonjol. Kedua, dulu,
suasana kelas cenderung monoton dan membosankan karena guru biasanya hanya
bertumpu pada satu atau dua jenis kecerdasan saja dalam mengajar, yaitu
kecerdasan bahasa dan logika matematika saja. Sekarang, melalui pembelajaran
yang berbasis pada delapan jenis kecerdasan, seorang guru dapat membuat variasi
metode dan gaya mengajarnya. Ketiga, dulu, sebagian guru seringkali agak
kesulitan dalam membangkitkan minat atau gairah belajar peserta didiknya.
Sekarang, melalui teori kecerdasan jamak, guru dapat memunculkan berbagai media
dan sumber belajar yang terdapat di lingkungan sekitar melalui contoh-contoh
yang kongkrit dan nyata sehingga mudah dipahami oleh anak. [8]
Lebih
detail, Muhaimin, dkk. menjelaskan bahwa belajar pada hakikatnya terjadi secara
individual, sehingga setiap individu dalam belajar memiliki karakteristik
tersendiri. Dari situ, idealnya PAI perlu diacukan pada peserta didik secara
perseorangan. Dengan asumsi, tindakan (perilaku) belajar memang bisa ditata
(dikelola) dan dipengaruhi (diintervensi), akan tetapi perilaku belajar
individu akan tetap berjalan sesuai dengan karakteristik peserta didik secara
perseorangan. Misalnya, peserta didik yang cara belajarnya lambat dalam bidang
tertentu tidak dapat dipaksa untuk belajar cepat. Oleh karena itu, rancangan
pembelajaran PAI ditekankan sesuai dengan karakteristik perseorangan peserta
didik, sehingga terjadi perkembangan dalam pemahaman, pengalaman, dan
pengamalan beragamanya sesuai dengan daya tampung dan kemampuannya (daya
jangkau).[9]
Sedangkan
apabila dikaitkan dengan peserta didik secara langsung, maka paradigma lama
tentang peserta didik telah mengalami pergeseran. Di mana sekarang ini setiap
peserta didik di pandang punya tingkat kemampuan yang berbeda dalam ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik.[10]
Selain perbedaan tersebut, peserta didik juga berbeda pada kemampuan fitrah.
Asumsinya, ada anak yang memiliki kemampuan fitrah dalam bidang melukis akan
tetapi lemah dalam kemampuan menari dan olah raga. Ada pula peserta didik yang
punya kemampuan membaca al Quran dengan
sangat baik. Implikasinya, perbedaan pada aspek kejiwaan dan fitrah merupakan
hal yang sangat mendasar untuk diketahui dan dipetakan secara pasti oleh pendidik.
Di mana, peta tersebut dijadikan modal awal dalam merancang kegiatan
pembelajaran.[11]
Apabila
dilihat dari kepentingannya, pendidikan dibagi menjadi dua, pertama pendidikan dari segi kepentingan
individual peserta didik. Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Abuddin
Nata, yaitu selain memperhatikan peserta didik dari segi perbedaan bakat,
kemampuan, kecenderungan, dan sebagainya, pendidik juga senantiasa membantu
individu dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan “kecerdasan” dirinya.[12]
Dari itu, diharapkan peserta didik dapat mengatasi masalah di kehidupannya
kelak. Kedua, dari segi kepentingan
masyarakat. Pelaksaanan pendidik dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat sehingga setiap gagasan, pemikiran, nilai, budaya, agama, ilmu pengetahuan
yang disalurkan ke peserta didik perlu mendapat pengakuan masyarakat dan
negara. Dengan kata lain, masyarakat dan negara sangat berperan dalam
mengintervensi kegiatan pendidikan. Yakni, untuk menciptakan generasi yang siap
dalam mengisi ruang-ruang kosong bidang pengetahuan yang sangat dibutuhkan
masyarakat.[13]
Konsep pendidikan yang
memadukan antara kepentingan individual dengan kepentingan masyarakat
didasarkan pada asumsi bahwa individu selain memiliki kebebasan berkreativitas
juga dibatasi oleh kebebasan sosial. Oleh karena itu, setiap peserta didik
selain bisa menentukan pilihan-pilihannya, mereka juga mesti tunduk kepada
pilihan yang diakui dan dibutuhkan bersama. Dengan kata lain, Islam memandang
bahwa kedua kepentingan tersebut senantiasa berjalan berdampingan dan seimbang.
Selain juga menggunakan nilai-nilai dari Tuhan yang diyakini benar dibandingkan
nilai-nilai yang diciptakan manusia. Implikasinya, dalam menyikapi apa-apa yang
berasal dari manusia adalah dimulia dengan sikap meragukan terlebih dahulu
kemudian memecahkan keraguanya itu dengan bukti ilmiah. Sedangkan, menyikapi
yang berasal dari Tuhan dimulai dari menyakininya, kemudian memperkuatnya
dengan pemahaman manusia tentang
ayat-ayat kauniah.[14]
[1]Efendi, Revolusi
Kecerdasan Abad, hlm. 22-23.
[2]M. Zainuddin, Paradigma
Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab (Malang: Uin Malang,
2010), hlm. 34-35.
[3]Flow adalah perasaan “kehilangan” kesadaran ruang dan
waktu. Menurut Daniel Goleman “flow
adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu
dengan tindakan.” Lihat, Daniel
Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 127. Lebih lanjut menurut Gardner, flow dan keadaan positif yang
mencirikannya sebagai salah satu cara paling sehat untuk mengajar anak-anak.
Juga memberi motivasi mereka dari dalam diri, bukannya dengan ancaman atau iming-iming. Dengan kata
lain, pendidik harus menggunakan keadaan positif anak-anak untuk membuat mereka
tertarik mempelajari bidang-bidang di mana mereka dapat mengembangkan keahlian.
Flow merupakan keadan batin yang
menandakan seorang anak sedang tenggelam dalam tugas yang cocok. Anak didik
harus menemukan sesuatu yang disukainya dan menekuninya baik-baik. Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan
Emosional,” hlm. 132.
[4]Wina Sanjaya, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana,
2007), hlm. 101-102.
[5]Dari penjelasan itu, dapat dipahami bahwa teori
kecerdasan beragam dapat membantu pendidik dalam mendefinisikan ulang kecerdasan.
Serta mengarahkan pendidik dalam memanfaatkan keunggulan peserta didik untuk
membantu mereka dalam proses belajar. Artinya, kegiatan pembelajaran di manapun
itu merupakan tempat yang terdapat bervariasi (bermacam) keterampilan dan
kemampuan. Di mana, keberagaman tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan belajar dan memecahkan masalah. Oleh karena itu, menjadi cerdas tidak
lagi dilandaskan oleh skor nilai, tapi ditentukan oleh seberapa handal peserta
didik belajar dengan cara yang beragam (bervariasi). Lihat, Hoerr, Becoming a
Multiple, hlm. 1.
[6]Mengenai keberhasilan dan kelebihan penggunaan teori multiple intelligences secara nyata
dalam konteks Indonesia telah berhasil dilakukan di SMP YMI di Gresik dan MTs
YAMI di Bondowoso. Lihat, Munif
Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah
Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia (Bandung: Kaifa, 2010).
[7]Dwi Septiana, dkk. “Pengembangan Lembar Kerja Siswa
Berbasis Multiple Intelligences pada
Materi Pertumbuhan dan Perkembangan,” Unnes
Journal of Biology Education dalam http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujeb,
diaskes tanggal 31 Desember 2014.
[8]Yuliani Nurani, “Sinopsis Disertasi Pengembangan Model
Program Kegiatan Bermain Berbasis Kecerdasan Jamak dalam Rangka Peningkatan
Kreativitas Anak Usia Dini,” Pascasarjana
Universitas Jakarta 2008, dalam http://yebefo.com/wp-content/uploads/2013/04/Sinopsis-Disertasi.pdf,
diakses 06 Januari 2014.
[9]Muhaimin, dkk. Paradigma
Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 192.
[10]Kita temui ada anak yang secara afektif sangat
bagus (sopan santun) dan tidak banyak tingkah tapi secara kognitif sangat
lemah. Ada pula anak yang secara kognitif bagus (nilai ulangan bagus) tapi
secara psikomotorik (aktivisas fisik) sangat lemah.
[11]Abuddin Nata, Perspektif
Islam Tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2009) hlm. 110-111.
[12]Seperti yang
dikatakan Langgulung bahwa Jean Piaget
menggunakan metode-metode klinik yang dipelajarinya melalui psikologi abnormal.
“metode ini memberi peluang sebesar mungkin kepada kanak-kanak untuk
mengutarakan fikirannya tanpa halangan apa-apa. Dengan ini kita mengikuti jalan
fikiran kanak-kanak, bukan mengarahkannya.” Lihat,
Hasan Langgulung, Pendidikan dan
Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologi (Jakarta: Pustaka al Husna,
1985), hlm. 23.
[13]Nata, Prespektif
Islam Tentang, hlm. 147-148.
[14]Nata, Prespektif
Islam Tentang, hlm. 151-152.