Ilustrasi Lulusan PTAI (Sumber gambar kebaya) |
C. Menuju Kualitas Lulusan PTAI yang Integratif dan Mandiri dalam Keilmuan
PTAI
sebagai lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia tugasnya tidak hanya berperan
dalam mencetak ahli dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi juga membentuk lulusan
yang sesuai amanat UUD Negara RI Tahun 1945 Amandemen ke-4 BAB XII Pendidikan
dan Kebudayaan pada Pasal 31 ayat 5 menyatakan “Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.”[1] Hal ini diperinci
dengan penjelasan tentang tujuan pendidikan tinggi yang salah satunya adalah b.
dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi
untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; c.
dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang
memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan
bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.[2]
Dalam pandangan Islam, ilmu akan terus mengalir dan bergulir melampaui apa yang menjadi pilihan manusia, sehingga monopoli penyelenggaraan program studi bukanlah strategi yang tepat. Oleh karena itu, pembentukan Universitas Islam yang berdampak pada pembukaan prodi-prodi ilmu umum bisa membuka peluang untuk mengikis dikotomi antara agama dan ilmu.[3] Dengan demikian sudah saatnya PTAI mulai mengembangkan fakultas illmu politik, fakultas studi kawasan, dan fakultas lainnya dengan menawarkan ilmu-ilmu alam dan sosial yang didasarkan pada al Quran dan Hadith. Bila idealnya memang demikian, maka sungguh ironi bila ada lulusan PTAI yang ahli di bidang ilmu pengetahuan agama Islam maupun ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang bernafaskan Islam, tetapi tidak memiliki komitmen serta loyalitas terhadap ajara agamanya serta tidak mau mengembangkan dalam kegiatan dakwah. Sebaliknya, lulusan PTAI yang punya kemantapan aqidah dan kedalaman spiritual serta keluhuran budi pekerti, tapi kosong dalam penguasaan ilmu dan kematangan profesionlitas di bidangnya.
Dalam pandangan Islam, ilmu akan terus mengalir dan bergulir melampaui apa yang menjadi pilihan manusia, sehingga monopoli penyelenggaraan program studi bukanlah strategi yang tepat. Oleh karena itu, pembentukan Universitas Islam yang berdampak pada pembukaan prodi-prodi ilmu umum bisa membuka peluang untuk mengikis dikotomi antara agama dan ilmu.[3] Dengan demikian sudah saatnya PTAI mulai mengembangkan fakultas illmu politik, fakultas studi kawasan, dan fakultas lainnya dengan menawarkan ilmu-ilmu alam dan sosial yang didasarkan pada al Quran dan Hadith. Bila idealnya memang demikian, maka sungguh ironi bila ada lulusan PTAI yang ahli di bidang ilmu pengetahuan agama Islam maupun ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang bernafaskan Islam, tetapi tidak memiliki komitmen serta loyalitas terhadap ajara agamanya serta tidak mau mengembangkan dalam kegiatan dakwah. Sebaliknya, lulusan PTAI yang punya kemantapan aqidah dan kedalaman spiritual serta keluhuran budi pekerti, tapi kosong dalam penguasaan ilmu dan kematangan profesionlitas di bidangnya.
Menurut
Miqdad Yeljen sebagaimana dikutip Mastuhu bahwa hilangnya jiwa dan spirit
keunggulan sistem pendidikan Islam adalah karena umat islam terlalu “tunduk”
dalam mengadopsi sistem pendidikan barat.[4]
Sedangkan paradigma yang digunakan barat adalah paradigma mengutamakan ilmu
pengetahuan di atas segala-galanya sehingga bermuara pada kesimpulan bahwa ilmu
agama bisa menjadi penyebab kemunduran peradaban. Oleh karena itu, dalam
prespektif barat nilai agama harus ditiadakan dalam sistem pendidikan.[5]
Dengan kata lain, bila ditelaah lebih jauh maka bisa dikatakan bahwa orang
barat maju karena meninggalkan nilai-nilai agamanya, sedangkan umat Islam mundur
karena meninggalkan nilai-nilai ajaran Islam.
Hal
tersebut hampir sama subtansinya, menurut Maarif salah satu sasaran yang ingin
dibina dan dikembangkan oleh sistem pendidikan Islam adalah yang terkait dengan
peradaban. Di mana bisa terwujudnya peradaban umat Islam yang bisa melampau
semua unsur. Misalnya, pertama unsur
material yang meliputi kemajuan di bidang pertanian, perniagaan, industri, dan
pembangunan fisik. Kedua unsur
spiritual, seperti ideologi, akhlak, sains, dan adab. Ketiga unsur struktural dan perundang-undangan yang terkait dengan
struktur keluarga, masyarakat, dan negara.[6]
Selama
ini PTAI memang memiliki kelebihan yang menjadi ciri khas, yaitu sanggup
menampung kalangan masyarakat dari kelas menengah ke bawah bahkan menampung
masyarakat yang memiliki potensi (kecerdasan) yang masih serba minim. Berangkat
dari itu, maka wajar bila selanjutnya kualitas lulusan dari sebagian PTAI masih
sangat jauh diharapkan untuk ikut peran serta dalam membangun peradaban banga.
Oleh karena itu, menurut Daulay sebuah lembaga pendidikan yang hendak
mengedepankan mutu harus diawali dengan penerimaan peserta didik secara
terseleksi. Semakin ketat persaingan dalam seleksi itu maka semakin berkualitas
peserta didik yang didapat. Kemudian setelah diperoleh peserta didik yang
berkualitas unggul maka diproses dengan sangat baik pula agar terbentuk hasil
yang baik.[7]
Hal
tersebut bila dikontekskan dengan PTAI, maka dalam upaya pengembangan prodi PAI
melalui pembentukan prodi baru, utamanya prodi umum (nonagama), perlu diadakan
strategi yang bagus agar peminatnya banyak sehingga mahasiswa yang diseleksi
juga semakin banyak. Dengan kata lain, khusus untuk prodi-prodi tertentu perlu
diadakan seleksi yang sangat ketat agar bisa didapat mahasiswa yang
berkualitas.[8]
Pada akhirnya, dengan proses yang tepat maka lulusan prodi “baru” tersebut juga
akan mendapat tempat (diakui) oleh masyarakat. Serta bukan suatu kemustahilan bila
prodi tersebut bisa mencetak lulusan yang mandiri dalam keilmuan dan bahkan
mampu mengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Uraian
lebih lanjut, Pendidikan Islam idealnya tidak berkaitan dengan hafalan dan penguasaan
ayat-ayat al Quran saja. Namun,
bagaimana agar pendidikan Islam bisa berdampak lebih luas dan mendalam untuk
mengembangkan ekonomi bangsa, yakni menjaga “moralitas” bangsa dari
kejahatan-kejahatan yang berdampak kemunduran ekonomi seperti KKN, persaingan
dagang yang tidak sehat, dan indiviualisme (tidak empati atau bersikap dermawan
pada masyarakat miskin dan tidak membagikan ilmu-ilmu tentang kesuksesan pada
orang lain). Terlebih, kenyataannya ekonomi Indonesia selama ini sebagian besar
masih di kuasai oleh kalangan nonmuslim.[9]
Oleh karena itu, peran pendidikan Islam di sini sangat penting, salah satunya
adalah mencetak generasi yang mampu merumuskan dan menciptakan keilmuan secara
mandiri.
Dapat disimpulkan bahwa lulusan PTAI yang ideal (mandiri
dalam keilmuan yang bercirikan keislaman dan kendonesiaan) telah menjadi sebuah
kebutuhan mendesak khususnya bagi umat Islam serta masyarakat Indonesia[10]
pada umumnya. Oleh karena itu, pengembangan prodi pada PTAI hendaknya
didasarkan pada faktor keheterogenan lulusnnya serta sejauh mana semua ilmu
tersebut bisa membumi (fungsional dan praktis) di masyarakat kelas bawah
sekalipun. Dari itu, PTAI bukan lagi menjadi perguruan tinggi yang hanya
“berjasa” dalam aspek ritual dan spritualitas, tapi juga menyentuh kemanfaatan
dunia nyata secara praktis dan aplikatif.
[1]UUD 1945.
[2]Undang-undang No. 20 Tahun 2012 Pasal 5.
[3]Mastuhu, “Universitas Islam di Tengah Dikotomi
antara Agama dan Ilmu,” dalam Horizon
Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global), ed. M. Zainuddin dan Muhammad In’am
Esha, (Malang: UIN, 2004), hlm. 87.
[4]Umat Islam sedang dilanda “kejatuhan”
psikologis, karena bila ditinjau dari berbagai hal memang lebih maju dibanding
dunia barat pada umumnya. Bahkan sampai pada hal yang sangat prinsip sekalipun,
misalnya sektor pendidikan, dunia Islam banyak yang berkiblat pada Barat. Oleh
karena itu, tidak mengherankan bila kebanyakan umat Islam akan banyak menyentuh
aspek acuan dari bangsa yang dinyatakan “dibenci” itu. Lihat, Mastuhu, “Link and
Match Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Agama Islam di Indonesia:
Menuju Pencarian Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial,
ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 182.
[5]Muzhoffar Akhwan, “Karakteristik, Tujuan, dan Sasaran
Pendidikan Islam,” dalam Pendidikan Islam
dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya
Media, 1997), hlm. 39.
[6]Ahmad Syafii Maarif, “Pendidikan Islam dan Proses
Pemberdayaan Bangsa,” dalam Pendidikan
Islam dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ
(Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 40.
[7]Daulay, Pemberdayaan
Pendidikan Islam, hlm. 63.
[8]Sebagaimana menurut Daulay bahwa tolok ukur lulusan
yang berkualitas adalah pertama
sesuai dengan tujuan kurikulum, baik dalam skala nasional, institusional
(lembaga pendidikan), kurikuler (mata pelajaran), dan instruksional (proses
pembelajaran). Kedua pengguna lulusan
(pasar) telah merasa puas. Lihat,
Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam,
hlm. 69. Kepuasan di sini menurut penulis tidak hanya pada aspek bidang produk
aktivitasnya di masyarakat saja akan tetapi juga pada produk-produk lain yang
bisa dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Baik oleh masyarakat awam, masyarakat akademis, maupun masyarakat “kelas atas.”
[9]Maarif, “Pendidikan Islam dan Proses,” hlm. 66.
[10]Dimana sebagain besar masyarakat Indonesia menyambut
positif terhadap perluasan dan pengembangan keilmuan melalui pembukaan
prodi-prodi ilmu umum. Lihat, Daulay,
Pemberdayaan Pendidikan Islam, hlm. 97-98.