Menimbang Kebermanfaatan Antara Teori dengan Praktik
Oleh: A. Rifqi Amin
Bagi
siapapun yang ingin menonjolkan diri di masyarakat pasti ia akan
menunjukkan nilai kebermanfaatannya di tengah-tengah mereka. Entah
dengan cara terjun langsung secara nyata di lapangan maupun dengan cara
menjadi penyumbang gagasan/ide hingga menjadi penyumbang dana. Salah satu di
antaranya dengan menjadi perangkat desa, ketua panitia pembangunan,
Imam Masjid, penggerak pemuda, penggerak kegiatan rutinan masyarakat, menjadi
konseptor (memberi teori, wawasan, pengelaman, dan motivasi), atau
menjadi apapun itu asal berkontribusi bagi masyarakat. Baik diberikan secara lisan, tulisan, maupun melalui perantara pihak lain. Semuanya itu baik
yang berperan sebagai
ahli praktik maupun ahli teori tetap memiliki andil
dalam pembangungan masyarakat.
Bisa
dikatakan bahwa setiap orang punya kemampuan/bakat dan keinginan/minat
masing-masing dalam berperan membangun masyarakat. Bahkan, bisa jadi
lokasi serta bidang seseorang mengaktualisasi diri pun tergolong khusus. Yakni, harus di tempat atau bidang tertentu
saja. Misalnya ada seorang pekerja kantoran yang sibuk maka ia cenderung
kurang berperan nyata di masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Bila pun
ikut berperan cukup basa-basi atau menyumbang sekedarnya saja. Lalu apa
jasanya pada masyarakat yang harus dimunculkan? Jawabannya ialah dengan
membina dan mensejahterakan para karyawan di kantornya. Dari karyawan yang dibina secara tidak langsung ia telah mendidik mereka untuk menjadi pekerja yang profesional. Apabila karyawan tersebut mengundurkan diri maka di tempat lain akan tetap digunakan.
Contoh lainnya
ialah seorang dosen yang kurang begitu aktif membina mahasiswa secara langsung (sekedar mengajar di kelas). Lalu apa jasa atau manfaatnya bagi masyarakat? jawabannya dengan cara mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satunya dalam bentuk penelitian. Baik penelitian yang dilakukan menggunkan pendekatan studi kepustakaan maupun penelitian lapangan. Belum lagi bila dosen tersebut juga ikut berperan dalam membangun jaringan keilmuan dengan kampus lain. Hasilnya meski butuh waktu lama akan bisa dirasakan oleh citivitas akademis kampus yang selanjutnya akan diteruskan kepada masyarakat luas. Asumsinya, dengan pengembangan ilmu pengetahuan yang senantiasa digalakkan maka suasana akademis kampus akan semakin profgresif. Efeknya, wali (orang tua) mahasiswa akan merasakan manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari perkuliahan yang telah dilakukan oleh anaknya.
Pertanyaan berikutnya ialah dari berbagai bentuk pengabdian kepada masyarakat di atas manakah yang paling baik? Jawabannya tidak ada yang paling baik dan tidak ada yang paling buruk. Semuanya bermanfaat. Terlebih bila satu sama lain saling berbagi tugas sesuai dengan kemampuan di bidang masing-masing. Menurut saya semua individu bisa bermanfaat bagi masyarakat. Masalahnya adalah apakah individu tersebut sudah mengetahui bidang kemampuan (bakat) yang ia miliki atau belum. Serta bila individu tersebut sudah tahu bakatnya dan terbukti berkualitas lantas apakah pihak pengguna mau menyerapnya yang kemudian ia diberi tugas yang sesuai. Sayangnya tidak, masyarakat awam belum bisa diajak seperti itu. Malah yang ada terjadi seleksi alam. Siapa yang sering muncul maka dialah yang diberi posisi bahkan dihormati.
Seperti halnya pekerja kantoran di atas tadi. Bidang kemampuannya adalah masalah organisasi perusahaan (orientasinya laba/keuntungan), pembinaan karyawan, dan kemampuan finansial yang cukup. Bila pihak pengguna (baca: masyarakat) memberikan dia tugas menjadi ketua panitia pembangunan gardu POS Kamling maka dapat dikatakan itu kesalahan besar. Mengingat dia adalah orang yang sibuk serta bagi dia masalah pembangunan gedung tinggal diserahkan ke developer sudah selesai. Cocoknya dia diberi kesempatan untuk menjadi penyumbang uang. Paling tidak ia dimintai pendepat tentang bagaimana cara mendapatkan dana CSR (Corporate Social Responsibility) di perusahaan sekelas dengan tempat kerjanya. Di sinilah peran teori tampil, yakni teori dari pekerja kantoran tersebut tentang cara memperoleh dana CSR untuk pembangunan masyarakat.
Perlu ditekankan bahwa keadaan masyarakat bersifat dinamis. Kondisi dulu dengan sekarang sudah berbeda. Pendekatan yang digunakan oleh orang dulu dalam memahami, merangkul, dan membina masyarakat sebagian darinya sudah tidak relevan lagi. Bagi orang dulu mungkin sebuah teori tidak dibutuhkan karena yang terpenting langsung praktik. Seandainya keadaan (zaman) antara dulu dengan sekarang sama maka saya sepakat untuk tetap menggunakan cara-cara yang digunakan oleh orang dulu tersebut. Kenyataanya 10 hingga 20 tahun terakhir masyarakat telah mengalami perubahan sosial secara besar-besaran. Seakan masyarakat ini dibawa ke dunia lain. Masyarakat dulu belum mengenal apa itu internet, smartphone, laptop, drone (pesawat tanpa awak), dan lain sebagainya. Sampai di sini sedikit demi sedikit terjawab manakah di antara teori dengan praktik yang lebih bermanfaat.
Kasus yang pernah saya temui sendiri ialah tentang kefanatikan seorang guru sepuh terhadap sesuatu. Yakni, fanatik untuk mengajar tanpa menggunakan LCD. Meskipun sebenarnya kepala sekolah telah menganjurkan serta memfasilitasi beberapa perangkat LCD tapi guru senior tersebut tetap bergeming (tak merespon). Mereka menggunakan kata pamungkas seperti "Meski kami mengajar tanpa menggunakan LCD kami telah terbukti bisa mencetak siswa menjadi dokter, guru, dosen, insinyur, dan lain sebagainya". Entah perkataan itu sebagai bentuk pembelaan diri karena tidak mampu atau tidak telaten menggunakan LCD atau memang atas dasar fanatisme untuk tetap menggunakan metode yang sama maka keduanya tetap salah. Asumsinya, kondisi siswa serta hal-hal yang mempengaruhinya antara masa lalu dengan sekarang mengalami perbedaan signifikan.
Menurut Amin Abdullah,
sebagaimana yang ia pahami dari pemikiran Kuhn bahwa seorang pelaku lapangan
–menurut penulis termasuk salah satunya adalah guru— kebanyakan masih terbiasa
memecahkan masalah melalui cara-cara yang umum (konvensional). Yakni, cara-cara
yang baku, mapan, dan senantiasa ingin tetap dipertahankan oleh para praktisi
di lapangan. Hal ini terjadi karena mereka "terpenjara" oleh
aktivitas rutin, sehingga mereka tidak menyadari munculnya anomali-anomali
(perubahan) teoritis maupun praktik di luar sana. Hanya kalangan terbatas, yang
umumnya para pengamat, teoritis, peneliti, dan kritikus yang mengetahui di mana
adanya anomali-anomali tersebut.
[1] Dengan demikian semakin terlihat nyata bahwa peran teori tidak kalah penting jika dibandingkan dengan
peran praktik. Teori tidak dapat disepelekan apalagi diabaikan serta tidak digunakan.
Untuk terkahir kalinya. Perlu
ditekankan bahwa ukuran kebermanfaat seseorang di tengah masyarakat itu
relatif. Setiap komponen masyarakat mempunya sudut pandang tersendiri dalam
menilai. Masyarakat awam mungkin memandang teori itu tidak penting. Bagi mereka
yang terlihat oleh mata kepala yang bisa dikatakan bermanfaat. Di sisi lain
bagi masyarakat akademis teori itu sangat penting bahkan harus senantiasa
dikembangkan sehingga bisa menemukan teori-teori baru. Bagi masyarakat akademis
teori bisa berperan mengembangkan (mengimprovisasi) suatu praktik yang
dilakukan oleh praktisi. Serta sebuah praktik bisa dijadikan sebagai sumber
dari pengembangan teori (ilmu pengetahuan). Antar teori dengan praktik keduanya
sama-sama mempunyai nilai kebermanfaatan bagi kehidupan masyarakat. Jadi,
jangan sekali-kali membenturkannya untuk merendahkan atau menyepelekan pihak
lain.
Demikian tulisan dari saya. Terima kasih telah membaca. Semoga bisa membawa manfaat bagi masyarakat. Aamiin.