Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

B. Kompetensi Mahasiswa yang Diharapkan setelah ikut serta perkuliahan Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum

B. Kompetensi Mahasiswa yang Diharapkan setelah ikut serta perkuliahan Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum


Secara institusional tujuan pendidikan dan pembelajaran PAI di PTU meliputi pertama kognitif berisi tentang pengetahuan, pemahaman, dan pengertian tentang akidah dan syariah Islam (Q.S al-Tawbah: 122). Kedua psikomotorik bermuatan pengamalan, penghayatan, dan keyakinan pada syari’ah Islam baik ibadah maupun muamalah sehingga ia mampu berzikir pada Allah dan bertafakur tentang ciptaan-Nya (Q.S Ali Imran: 190-191). Ketiga merupakan Afektif yang terdiri dari  pembudayaan diri dan lingkungannya dengan nilai-nilai Islam (Q.S. al Baqarah 138 dan Q.S ali Imran: 110). Dan tujuan keempat adalah menjadi sarjana muslim yang mampu dalam pengamalan ilmu dan keterampilannya sesuai dengan ajaran Islam (Q.S Ibrahim: 24-27).[1]

Sedang secara umum kemampuan mahasiswa yang harus tercapai setelah ikut serta pada mata kuiah PAI diantaranya meliputi kemampuan literasi, numerasi, pemahaman perkembangan sejarah, pengertian terhadap pluralitas, kedewasaan moral, kedewasaan estetika, pemahaman terhadap proses pencarian kebenaran, dan kelapangan dada terhadap perbedaan penemuan ilmu pengetahuan teknologi. Dengan demikian dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilakukan mahasiswa perlu disertai nilai kepercayaan pada kemahakuasaan Tuhan supaya ia tidak sombong dan merasa unggul setelah kemudian berhasil menjadi ilmuwan atau menjadi penemu.[2] Oleh karena itu dengan adanya  PAI salah satunya berfungsi supaya mahasiswa mampu dalam pengatasan dan pengendalian emosi serta kehendak di luar batas kemanusiaan ketika mereka berhasil dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan umum berupa terciptanya produk IPTEK.



Pelaksanaan pembelajaran PAI di PTU tidak hanya dijalankan untuk pemenuhan kewajiban penyelenggaraan perkuliahan saja namun juga punya visi dan misi. Visi PAI di PTU adalah “menjadikan agama sebagai sumber nilai dan pedoman berperilaku mahasiswa dalam menekuni disiplin ilmu yang dipilihnya.” Sedangkan misinya adalah pemberi motivasi mahasiswa untuk pengamalan nilai-nilai agama dalam produktifitas dan pemanfaatan IPTEK.[3] Bisa dikatakan PAI di PTU tidak hanya berperan pada pencerdasan mahasiswa dalam beragama secara teoritis dan praktis namun juga pendorong mahasiswa untuk pengembangan ilmu pegetahuan umum beserta produknya. Bisa dikatakan fungsi PAI di PTU adalah sebagai penyokong mata kuliah lain yaitu sebagai pembentuk mental, kepribadian, dan inspirasi bagi mahasiswa dalam pengembangan materi mata kuliah umum tersebut. Dengan kata lain diharapkan mahasiswa berkompetensi dalam ilmu pengetahuan umum yang didasarkan pada sumber nilai dan pedoman ajaran agama Islam.
Memang tidak mungkin keilmuan bisa dikuasai dalam semua bidang-bidangnya oleh  seseorang secara utuh dalam waktu bersamaan. Namun secara hakiki PAI bisa dijadikan pendorong terhadap munculnya penemuan-penemuan yang sangat diperlukan untuk pemecahan sebagaian dari persoalan dunia.[4] Dengan kata lain muatan kompetensi dalam PAI sangat dihargai bahkan menjadi pendorong untuk terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sebagaimana yang tertuang pada SK no. 34/2006 Dirjen Dikti dalam pasal 3 ayat 2 pada huruf a diterangkan tentang pendidikan agama di perguruan tinggi harus punya kompetensi dasar sebagaimana rumusan berikut yaitu lulusan atau mahasiswa harus “menjadi ilmuwan dan profesional yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan.”[5]
Idealnya mahasiswa yang ikut dalam mata kuliah PAI punya bekal minimal dan standar yang ditentukan oleh lembaga perguruan tinggi yang bersangkutan, serta siap dihadapkan pada pemikiran-pemikiran kritis yang tidak emosional. Oleh karena itu mahasiswa dituntut mampu dalam pembedaan antara ajaran Islam yang dihasilkan dari penafsiran dengan ajaran atau pemikiran agama yang murni tanpa penafsiran. Namun pada kenyataannya banyak ditemui di PTU tentang sejumlah mahasiswa yang punya kesiapan dan kemampuan agama Islam tersebar secara tidak merata. Dengan kata lain ada mahasiswa yang punya kemampuan unggul dalam agama Islam, namun ada pula yang nyaris buta dalam ajaran agama.[6]
Dari pemaparan di atas maka dapat diambil kesimpulan PAI tidak hanya berkutat pada pengetahuan atau wawasan ilmu agama namun juga sebagai pemberi kontribusi bagi mahasiswa menjadi ilmuwan profesional yang agamis. Pernyataan tersebut didukung oleh Zainul Muhibbin, dkk. diterangkan PAI di PTU diharapkan mampu dalam penciptaan lulusan dengan kualifikasi sebagai berikut:
a.    Manusia yang unggul secara intelektual; penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan keterampilan yang bermanfaat bagi masyarakat.
b.    Manusia yang anggun secara moral; punya nilai-nilai religius, etika, moral, dan estetika yang berguna bagi kehidupan pribadi dan masyarakat di mana ia tinggal.
c.    Berkompeten; penguasaan ilmu pengetahuan umum dan teknologi yang relevan dengan kebutuhan zaman.
d.    Memiliki komitmen tinggi bagi berbagai peran sosial kemanusiaan.[7]

1.    Mahasiswa Islam Diharapkan Punya Kompetensi dalam Ketauhidan yang Utuh
Setelah ikut serta dalam mata kuliah PAI maka mahasiswa Islam di PTU dikehendaki kuat dan mantap dalam beriman pada Allah SWT. Ini berarti secara linier diharapkan mahasiswa beriman pula pada kekuatan dan kekuasaan yang Maha Hebat di luar jangkauan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan serta dikembangkan oleh manusia. Dengan kesadaran posisi tersebut maka mahasiswa dikehendaki mampu dalam pengendalian diri secara proprosional dalam upaya pendalaman IPTEK. Oleh karena itu secara spesifik harapan Dosen PAI di PTU tidak hanya berhenti pada kemantapan dan kekukuhan mahasiswa pada kepercayaan tentang adanya Allah SWT dan tidak malu mengakui Islam sebagai agamanya. Namun juga harapan mahasiswa mampu mewujudkan nilai-nilai tauhid yang dipadukan dengan kemampuan akademisnya tersebut untuk kesejahteraan dirinya terlebih pada masyarakat.



Kemampuan atau penguasaan mahasiswa dalam ketauhidan sangat penting, yaitu agar mahasiswa tidak sombong (bangga diri), tidak mudah terbujuk pada kesenangan sesaat yang semu, terkendali dalam penggunaan logika (rasionalitasnya), dan sebagai dasar mahasiswa untuk pengembangan ilmu yang ada di mata kuliah lain. Selain itu pula kompetensi ketauhidan harus  dimiliki oleh mahasiswa sejak awal masa-masa perkuliahan PAI, karena ketauhidan menjadi dasar mahasiswa dalam mengikuti mata kuliah PAI pada pertemuan-pertemuan selanjutnya sampai akhir perkuliahan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kompetensi ketauhidan adalah roh atau unsur terpenting untuk keberhasilan tujuan pembelajaran PAI secara luas yang harus dimilik oleh mahasiswa. Oleh karena itu tidak bisa ditawar-tawar lagi kompetensi ketaudian harus dimiliki oleh mahasiswa dan biasa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dapat disimpulkan bahwa penekanan pada ranah ketauhidan sangat penting bagi mahasiswa hal ini sebagaimana menurut Hasan Langgulung di mana ia menempatkan tentang ketaudian (Keesaan Tuhan) di urutan pertama dari dasar-dasar ajaran Islam (fundamental doctrines of Islam) yang telah ia rumuskan.[8] Lebih lanjut secara konsep yang lebih detail maka pengaruh ketahudian seharusnya berdampak pada perilaku dan penyikapan mahasiswa terhadap pola fikir dalam memandang ilmu pengetahuan secara umum. Sebagaimana menurut Malikhah Towaf yang dikutip oleh Nurcholish Madjid bahwa tantangan internal PAI di perguruan tinggi umum adalah seharusnya mahasiswa sebagai calon ilmuwan Islam punya konsep filosofi tentang kesatuan ilmu pengetahuan. Artinya antara konsep Ketuhanan (ketauhidan) dengan konsep ilmu pengetahuan diintregasikan. Di mana konsep dan prinsip ketauhidan tidak hanya dipahami dari tinjauan teologis tentang keesaan Allah saja namun juga kerangaka berfikir tentang kesatuan ilmu pengetahuan, penggalian, dan pengembangannya.[9]

2.    Mahasiswa Diharapkan Punya Kompetensi dalam perilaku (akhlak) mulia
Kompetensi akhlak mulia merupakan aspek yang sangat mudah diamati jika dibandingkan dengan aspek ketauhidan, sehingga kompetensi ini bisa digunakan sebagai salah satu tolak ukur sejauh mana kemampuan ketauhidan mahasiswa setelah ikut serta dalam mata kuliah PAI. Pengukuran aspek akhlak mulia bisa dilakukan melalui perilaku, perkataan, dan tulisan yang spontan oleh mahasiswa kepada Dosen dan teman sekelasnya. Lebih jauh lagi setelah mahasiswa menguasai secara konsep tentang perilaku-perilaku mulia yang Islami maka mahasiswa diupayakan untuk mewujudkan konsep perilaku tersebut pada kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain kompetensi ini sangat penting untuk dimiliki mahasiswa Islam karena sebagai pembeda secara konkrit dan jelas bagi mahasiswa antara sebelum mengikuti mata kuiah PAI dengan sesudahnya.
Secara spesifik kompetensi akhlak yang dimaksud adalah akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap mahkluk. Misalnya mahasiswa berperilaku lebih sopan terhadap orang yang lebih tua terutama pada Dosen. Selain itu perilaku yang mulia dapat disimbolkan sebagai perbuatan Islami sudah biasa digunakan, misalnya pada pelaksanaan mata kuliah PAI mahasiswa terbiasa mengucapkan salam saat masuk ke dalam kelas, mahasiswa perempuan banyak yang memakai jilbab, dan saat pergaulan di lingkungan kampus dengan lawan jenis. Oleh karena itu dapat disimpulkan adanya keterkaitan antara kompetensi akhlak mulia yang diharapkan dengan bentuk penilaian yang mengutamakan aspek afketif.
Perilaku mulia merupakan salah satu aspek yang harus dikuasi oleh mahasiswa Islam, karena akhlak mulia merupakan bentuk pengimplementasian dari ajaran Islam yang telah disampaikan oleh Dosen. Dengan kata lain kompetensi akhlak mulia merupakan bentuk aktualisasi mahasiswa, sehingga diharapkan tujuan perkuliahan PAI tidak hanya berhenti pada penguasaan konsep saja. Namun juga diterapkan oleh mahasiswa dalam kehidupan atau perilaku sehari-hari sebagai bentuk kepribadian dan karakter mahasiswa. Dengan demikian setelah kompetensi ketauhidan sudah dimiliki oleh mahasiswa pada awal perkuliahan PAI, langkah selanjutnya adalah kompetensi akhlak mulia yang harus mereka miliki. Hal ini supaya dalam berperilaku mulia seperti sopan santun, ibadah, dan belajar dengan rajin yang dilakukan oleh mahasiswa semata-mata ditujukan untuk Allah SWT (implementasi konsep ketauhidan).
Sebagaimana menurut Nur Kholidah bahwa salah satu pencapaian hasil pembelajaran PAI adalah termanifestasinya perilaku yang didasarkan pada kesanggupan individu dalam pengelolaan diri secara optimal untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada.[10] Dengan kata lain perilaku moral mahasiswa dilandasi oleh keinsyafan dan keteguhan untuk dijadikan ketentuan atau aturan moral sebagai prinsip hidup. Dengan penekanan bahwa komitmen dan perilaku moral ini dilaksankan bukan karena tekanan, rasa takut terhadap hukuman, dan pengharapan pujian. Namun benar-benar suatu pilihan otonom yang didasarkan pada kesadaran nilai. Dengan kata lain mahasiwa melakukan suatu kebaikan karena ada keyakinan bahwa hal tersebut memang baik, benar, dan mulia bukan karena adanya faktor tekanan dari Dosen.[11]
Hal tersebut sebagaimana menurut Satriyo bahwa dalam PAI dikehendaki terwujudnya mahasiswa yang mampu dalam penguasaan IPTEK sekaligus penerapan (perilaku) ajaran-ajaran Islam yang dilandaskan pada ketaqwaan dan keimanan pada Allah SWT.[12] Maka dengan demikian PAI pada PTU diharapkan mampu ikut berkiprah dalam penghasilan sarjana yang memiliki jiwa agama (religius) dan taat menjalankan perintah agamanya. Bukan hanya sebagai penghasil mahasiswa yang berpengetahuan agama tapi tanpa pengamalan.[13] Seperti makna agama menurut Chapps yang dikutip oleh Kholidah bahwa terdapat aspek yang  harus diperhatikan yaitu adanya kepercayaan terhadap sesuatu yang transenden, adanya ritual keagamaan sebagai manifestasi kepercayaanya, adanya ajaran (nilai-nilai), dan adanya pola perilaku keberagaman baik dalam konteks sosiologis mapun kosmologis.[14]







[1]Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 142.
[2]Ibid., 82.
[3]Sudrajat, Din-al-Islam Pendidikan Agama, iv.
[4]Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 83.
[5]Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
[6]Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam, 33-34.
[7]Muhibbin, Pendidikan Agama Islam, 6-7.
[8]Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologi (Jakarta: Pustaka al Husna, 1985), 98.
[9]Soedarto, “Tantangan, Kekuatan, dan Kelemahan,” 74-75.
[10]Lilik Nur Kholidah, “Implementasi Strategi Pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Surabaya” (Disertasi Doktor, Universitas Negeri Malang, Malang),  64.
[11]Ibid., 64-65.
[12]Satryo Soemantri Brodjonegoro, “Strategi Kebijakan Pembinaan, 11.
[13]Muhibbin, Pendidikan Agama Islam:, 6.
[14]Kholidah, “Implementasi Strategi Pembelajaran,” 50.



Competence (Sumber gambar binakarir)




Baca tulisan menarik lainnya: