Kedudukan
PAI di PTU adalah sebagai mata kuliah wajib yang harus diikuti oleh seluruh
mahasiswa Islam di seluruh PTU baik pada perguruan tinggi negeri maupun suasta.
Hal ini agar mahasiswa mampu menjadi manusia yang punya kepribadian muslim
secara utuh, yaitu yang taat pada perintah agama Islam, dan bukan hanya sekedar
menjadi mahasiswa yang ahli dalam bidang ilmu agama Islam tanpa diamalkan. Atau
hanya mengamalkan perintah ritual Agama tapi tanpa penuh makna dan manfaat yang
berarti bagi masyarakat. Dengan demikian kedudukan PAI di PTU adalah sangat
penting yaitu menjadi suatu mata kuliah yang diharapkan darinya mampu
dihasilkan para sarjana yang punya jiwa agama (religius) dan taat pada perintah
agamanya. Tidak hanya menjadi manusia yang hanya ahli dalam bidang pengetahuan
tentang agama Islam tanpa pengamalan secara konkrit dalam sehari-hari.[1]
Idealnya mata
kuliah PAI menjadi mata kuliah kunci dan terintegrasi secara fungsional dengan
mata kuliah lain. Setidaknya mata kuliah umum tersebut dipelajari sarat dengan
muatan moral agama, disesuaikan dengan tingkat, dan jenis lembaga
pendidikannya.[2] Lebih konkritnya adalah dalam
pembelajaran PAI mahasiswa didorong dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dengan lebih dalam disesuaikan dengan kerangka pengembangan konsep-konsep
keilmuan didasarkan pada prodi yang dia pilih. Oleh karena itu bidang ilmu atau
keahlian sesuai dengan prodi yang mahasiswa tekuni benar-benar dipandu dan
disumberkan pada ajaran-ajaran Islam. Pada akhirnya dalam jangka panjang bisa
terbentuk kehidupan kampus yang akademis religius sebagai pengisi sempitanya
waktu pembelajaran PAI yang hanya 3 sks.[3]
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Bawani secara lengkap sebagai
berikut:
Kemungkinan banyak dan heterogennya
fakultas atau program studi yang ada di sebuah perguruan tinggi, maka perlu
adanya penjabaran dalam kurikulum, yang kemudian direalisasikan secara bertahap
pada tujuan pembelajaran sehari-hari. Jadi, dari tujuan akhir yang
menggambarkan sosok manusia ideal menurut ajaran Islam, diupayakan
perwujudannya melalui tujuan institusional pada level perguruan tinggi umum.
Lebih lanjut, dilakukan spesialisasi tujuan kurikuler untuk setiap fakultas
atau program studi yang ada, dan akhirnya dijabarkan dalam bentuk tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai langsung di lokal perkuliahan.[4]
Namun
menurut Mastuhu pada kenyataannya posisi mata kuliah PAI masi berada dalam
garis pinggiran. Selain itu mata kuliah PAI dipadang bukan sebagai mata kuliah
keahlian (terapan), tapi sebagai mata kuliah umum yang bersifat melayani. Sedang
dalam konteks integrasi dijelaskan bahwa pengembangan dan pengimplementasian
IPTEK dalam perilaku keseharian kurang dikaitkan dengan nilai-nilai luhur
agama. Artinya belum ada kemampuan dalam pengembangan teori atau konsep
keilmuan yang benar-benar murni bersumber pada ajaran–ajaran atau nilai Islam.[5]
Dengan demikian dapat disimpulkan PAI di PTU bukan hanya sebagai ilmu agama
yang lebih diacu pada ranah kognitif, namun dipandang lebih pada acuan ranah
afektif. Serta PAI di PTU sebagai dasar pembentukan manusia Indonesia yang
berkepribadian utuh, beriman, serta bertaqwa kepada Allah SWT. Dan yang terakhir
PAI menjadi sumber inspirasi etika, moral, serta spiritual sebagai penangkal
perubahan sosial budaya bangsa yang beraspek negatif karena dampak modernitas.[6]
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan mata kuliah PAI tidak
berada di bawah atau teraleniasi dari mata kuliah lainnya. Bahkan untuk
Kedudukan Dosennya pun juga harus disejajarkan dengan Dosen lainnya. Artinya
Dosen PAI punya peluang yang sama untuk mendapatkan hak akademisi maupun
peluang untuk menjalankan kewajiban serta tanggung jawab jabatan tertentu untuk
peningkatan karirnya. Kenyataannya selama ini hampir semua posisi atau potensi
untuk pengembangan diri oleh Dosen PAI dalam satu lingkup lembaga PTU (terutama
suasta) kebanyakan berada di posisi merata (homogen). Dosen PAI hanya
ditugaskan untuk mengajar saja, lebih tingginya dijadikan sebaga rohaniawan
(ulama) yang kharismatik oleh pihak kampus kemudian di ‘penjarakan’ di dalam
Masjid kampus. Padahal sebagaimana pada penjalasan Bab I bahwa Dosen PAI harus
dikader, diangkat, dan dipromosikan untuk memperoleh jabatan atau karier yang
lebih tinggi sesuai dengan bidang, minat, dan kemampuan masing-masing. Tentunya
sebelum konsep tersebut dijalankan terlebih dahulu kualitas Dosen PAI harus
ditingkatkan sampai batas optimal.
[1]Zainul
Muhibbin, Pendidikan Agama Islam: Membangun Karakter Madani (Surabaya, ITS
Prress, 2012), 5-6.
[3]Ibid., 34.
[4]Imam Bawani, “Metodologi Pendidikan Agama
Islam di Perguruan Tinggi Umum,” Jurnal
IAIN Sunan Ampel: Media Komunikasi dan Informasi Keagamaan, Edisi 12
(1998), 18.
[5]Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,” 30-31.
[6]Heman Hudojo, “Tolok Ukur dan Sistem
Evaluasi Terhadap Keberhasilan Pengajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi,” dalam Dinamika Pemikiran Islam
di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), 184.