Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Pengantar (Pendahuluan) BAB II Gagasan Thomas S. Kuhn Tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan



BAB II
GAGASAN THOMAS S. KUHN TENTANG REVOLUSI PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN



Kajian filsafat ilmu, khususnya filsafat ilmu keagamaan Islam bagi pengembangan Pendidikan Agama Islam[1] merupakan kebutuhan mendasar. Yakni, sebagai pisau analisa dalam menemukan hakikat dan nilai “kebenaran” menurut paradigma[2] manusia. Diharapkan, kebenaran yang menjelma menjadi ilmu pengetahuan dan produknya bisa bermanfaat bagi sendi kehidupan manusia. Oleh karena itu, sebagai awal penguraian (starting point) isi buku ini, memahami terlebih dahulu gagasan Thomas Samuel Kuhn[3] dirasa sangat penting. Bagaimanapun, pemikiran kontemporer Kuhn sangat bermanfaat dalam memahami filsafat ilmu dengan cara yang baru.[4] Kendati dapat dipahami bahwa pemikiran Kuhn bukanlah pemikiran bebas dari kritik. Dengan demikian, mendalami mekanisme revolusi perkembangan ilmu pengetahuan di Bab ini bisa menjadi dasar untuk mengkaji dan mengembangkan sejumlah teori pada Bab-bab berikutnya.
Lebih lanjut, tulisan ini difokuskan pada penelusuran peran Kuhn terkait gagasannya yang cemerlang. Hasil kemampuan berfikirnya –salah satunya terinspirasi dari pendalamannya terhadap kajian “sejarah ilmu pengetahuan”[5]— menjadi  landasan sekaligus peletup keberanian ilmuwan agamais dalam mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan. Lebih gamblangnya, teori Kuhn tentang revolusi ilmu pengetahuan menjadi jawaban atas keraguan dari beberapa kalangan tentang keabsahan integrasi antara dua ilmu. Selain juga, teori Kuhn bisa menjadi kritik atas dominasi luar biasa ilmu pengetahuan, utamanya yang lahir dari rahim positivisme. Misalnya, karena kegagalan ilmu pengetahuan sekuler dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang begitu kompleks dan rumit, menyebabkan timbulnya perubahan “gagasan.” Kemudian, muncullah gagasan baru sebagai pemecah masalah tersebut, yakni salah satunya pengintegrasian antara agama dengan ilmu.


Bisa dikatakan gagasan Kuhn tentang ilmu pengetahuan telah mendobrak persepsi manusia di abad modern ini yang terlalu mengagungkan ilmu pengetahuan. Bahkan mengagungkan rasionalitas manusia-manusia, sehingga dianggap sebagai mahkluk tak terbatas. Dengan demikian, sangat wajar bila setelah periode Kuhn banyak ilmuwan –tak terkecuali ilmuwan agamais— terpengaruh oleh gagasannya. Utamanya para ilmuwan dan pemikir yang resah dengan kegagalan ilmu pengetahuan umum. Yakni, dalam mengatasi adanya bencana sosial dan bencana alam yang salah satunya ditimbulkan oleh produk-produk ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, Kuhn telah menginspirasi masyarakat atau komunitas ilmuwan, terutama terkait konsep cerdasnya tentang “revolusi ilmu pengetahuan” atau “pergeseran paradigma (paradigm shift)”
Selama ini ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang bebas nilai, harus independen, dan empiris. Namun, menurut Kuhn ilmu pengetahuan tidak akan bisa bebas dari yang namanya “paradigma.” Kendati disadari atau tidak, paradigma yang dipegang individu selalu dipengaruhi oleh sesuatu di luar dirinya. Misalnya, organisasi (kelompok) yang ia ikuti, ideologi yang ia anut, alur logika yang digunakan, otoritas (tokoh) yang ia percayai, hingga fanatismenya terhadap sesuatu. Dengan demikian, tidak ada satu ilmu pengetahuan pun yang hanya bisa dijelaskan dengan satu teori saja, terlebih hanya melalui pembuktian empiris. Sebagaimana menurut Tamtowi, bahwa pergeseran paradigma (shifting paradigm) “merupakan perubahan yang bersifat mistik dan tidak bisa dijangkau oleh rasio, maka ia berada dalam bidang psychology of discovery dan dibangun di atas logic of discovery.”[6] Dengan kata lain, pergeseran paradigma tidak dapat dipaksan dengan menggunakan logika (rasional),[7] karena setiap paradigma bersifat incommensurable (tidak dapat dibandingkan). Dapat disimpulkan, revolusi ilmu pengetahuan bisa terjadi karena faktor psikologis, agamais, filosofis, sosiologis, historis, dan sebagainya yang berada dalam “wadah” paradigma sehingga ikut berperan mendorong perubahan.
Bagaimanapun, ilmu pengetahuan terbangun tidak hanya karena manusia telah memiliki kesadaran (pencerahan) berpikir dan berlogika. Pengembangan ilmu pengetahuan juga didasarkan pada motif tertentu. Salah satunya karena ingin memperbaiki paradigma lama yang bila tetap digunakan akan membahayakan bagi keadaan terbaru. Hal ini bukan berarti paradigma lama itu adalah sesuatu yang salah, karena bisa disingkirkan oleh paradigma baru. Melainkan, paradigma lama adalah sesuatu yang dianggap “benar” (bermanfaat) di tempat dan masa kejayaanya terdahulu. Dapat disimpulkan, peluang adanya gugatan (kegelisahan) atas keganjilan (anomali) yang terjadi pada setiap paradigma senantiasa ada. Di mana, kadang bukti empiris tak bisa menjawab atas keganjilan itu, tak pelak penggunaan “nilai kemanusiaan” (etika/moral) yang dianggap subjektif lebih tepat untuk digunakan sebagai pemecah masalah.
Sebagai penutup, Bab ini merupakan usaha penulis dalam mencoba menelusuri pokok-pokok pemikiran Kuhn, kemudian dikaitkan dengan pengembangan PAI. Yakni, tentang pentingnya gagasan “revolusi ilmu pengetahuan” bagi kesejahteraan kehidupan manusia. Dengan kata lain, akan dibahas sejauh mana peran konsep “revolusi ilmu pengetahuan” milik Kuhn tersebut bisa digunakan dalam masa kekinian. Termasuk di dalamnya akan dibahas tentang penggunaan konsep pergeseran paradigma[8] ke dalam dunia Pendidikan Agama Islam. Mengingat, selama ini PAI masih dianggap masih mengalami banyak permasalahan. Salah satu sebabnya tidak ada perubahan paradigma lama PAI, atau paling tidak perubahan tersebut masih terjadi secara ragu-ragu atau malu-malu. Meski kenyataan sekarang paradigma baru PAI yang belum “dimunculkan” secara masif merupakan sebuah kebutuhan. Oleh karena itu, Bab ini selain sebagai dasar juga diupayakan menjadi pendorong terhadap pengembangan PAI, sehingga bisa bermanfaat bagi pemecahan masalah kontemporer.




[1]Yang dimaksud Pendidikan Agama Islam di sini meliputi pendidikan makro sekaligus pendidikan mikro. Di mana pendidikan makro salah satunya menelaah bidang pendidikan tertentu dalam wilayah luas. Misalnya, lingkup kajiannya pada jenjang pendidikan dasar seperti menelaah SD dan SMP. Tentu ini akan sedikit banyak berbeda bila mengkaji MI (Madrasah Ibtidaiah) dan MTs (Madrasah Tsanawiyah). Oleh karena itu, ilmu yang dibutuhkan untuk pengembangannya pu juga akan berbeda. Yakni, membutuhkan ilmu-ilmu seperti psikologi, sosiologi, manajemen, filsafat, dan beberapa lainnya. Sedangkan pendidikan mikro salah satunya mengkaji pendidikan dalam wilayah sempit. Misalnya, hanya menelaah individunya saja yaitu salah satunya terkait dengan bakat-minat serta perubahan sikapnya, sehingga ilmu yang diperlukan untuk pengembangannya lebih sedikit seperti psikologi saja.
[2]Mengenai paradigma PAI sebagai salah satu ilmu sosial, maka Tobroni menuliskan bahwa “Ilmu sosial menurut Giddent memiliki multi paradigma. Paradigma adalah pangkal tolak (starting point) dan sudut pandang (point of view) dalam mengkaji suatu hal. Perbedaan paradigma bukan hanya akan menghasilkan pemahaman yang berbeda, melainkan juga nilai dan norma berbepa pula. Contoh ekstrem diibaratkan ada beberapa orang buta yang berusaha memahami seekor gajah. Ada yang meraba belalainya, telinganya, kakinya, perutnya dan ekornya, dan lantas masing-masing mendefinisikan gajah. Hasilnya adalah masing-masing memiliki pemahaman, pengertian dan perlakuan berbeda terhadap gajah. Dalam kehidupan sosial, paradigma yang berbeda akan menyebabkan keyakinan, nilai, dan norma yang berbeda pula.” Lihat, Tobroni, “Paradigma Pemikiran Islam,” dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/paradigma-pemikiran-islam/, 1 Desember 2010, diakses tanggal 19 Februari 2015.
[3]Thomas Samuel Kuhn penulis buku “The Structure of Scientific Revolutions,” terbit pertama kali tahun 1962. Untuk bukunya edisi kedua tahun 1970 terdapat beberapa penambahan. Buku tersebut telah diterjemahkan lebih dari dua puluh bahasa dan terjual lebih dari satu juta copy (salinan). Lihat, N. M. Swerdlow, Thomas S. Kuhn 1922-1996 a Biographical Memoir (tanpa kota: National Academy of Sciences: 2013), hlm 15.
[4]Kuhn telah berjasa besar, terutama dalam mendobrak citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu dan mendobrak citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan yang punya kebenaran seakan-akan sui-generis, objektif. Disamping itu, teori yang dibangun Kuhn mempunyai implikasi yang sangat besar dan luas dalam bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Lihat, Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 210-211.
[5]Sejarah ilmu pengetahuan adalah “studi tentang sejarah perkembangan sains dan pengetahuan ilmiah, termasuk ilmu alam dan ilmu sosial... Dari abad ke-18 sampai akhir abad ke-20, sejarah sains, khususnya ilmu fisika dan biologi, sering disajikan dalam narasi progresif yang mana teori yang benar menggantikan keyakinan yang salah. Interpretasi sejarah yang lebih baru, seperti dari Thomas Kuhn, menggambarkan sejarah sains dalam istilah yang lebih bernuansa, seperti paradigma-paradigma yang saling bersaing atau sistem konseptual dalam matriks yang lebih luas yang mencakup tema intelektual, budaya, ekonomi dan politik luar sains.” Pendapat Thomas Kuhn lainnya adalah “pengetahuan ilmiah bergerak melalui ‘pergeseran paradigma’ dan belum tentu progresif.” Oleh karena itu, “sejak publikasi Kuhn The Structure of Scientific Revolutions pada tahun 1962, sejarawan, sosiolog, dan filsuf sains telah mendebat makna dan objektivitas dari sains.” Lihat, Anonim, “Sejarah Sains,” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_sains, diakses tanggal 16 Februari 2015.
[6]Moh. Tamtowi, “Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos bagi Pengembangan Studi Islam,” Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011: hlm 32-41, hlm. 33, dalam http://www.substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52, didownload 21 Desember 2014.
[7]“[pergeseran paradigma] Ini bukan proses rasional; ada langkah imajenatif dan tak terduga ke dalam yang tidak diketahui, semua dipengaruhi oleh metafora, perumpamaan, dan asumsi yang diambil dari bidang lain. Kuhn tampaknya menyarankan bahwa faktor-faktor estetika, sosial, sejarah, dan psikologi juga terlibat, sehingga cita-cita “ilmu murni” adalah sebuah angan-angan.” Lihat, Karen Armstrong, “Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme,” dalam The Case for God; What Religion Really Means, terj. Yuliani Liputo (Bandung: Mizan Cet. III, 2011), hlm. 456.
[8]Menurut Kuhn, ide “pergeseran paradigma” diartikan sebagai peralihan secara terus-menerus (berturut-turut) dari satu paradigma ke paradigma yang lain melalui revolusi. Hal itu merupakan hal biasa dalam pola perkembangan saat tercapai ilmu matang. Saat ini, kemungkin studi Islam di Indonesa menunjukkan dinamika. Bahkan mulai mencapai tahap kematangannya. Menurut Khun, perlu ada pergeseran paradigma ketika para ilmuwan menemukan anomali yang belum terpecahkan dan adanya arus paradigma baru yang menantang paradigma lama. Oleh karena itu, disiplin ilmu lama (paradigma lama) berhak dilempar ke atas meja “krisis.” Lihat, Muhammad Sirozi, “In Search of a Distinctive Paradigm for Indonesia Islamic Studies: Some Note From 13th AICIS 2013,” dalam http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY, diakses tanggal 23 Februari 2015.



Ilustrasi sedang membuat pengantar BAB II (sumber gambar mufidakhyani)





Baca tulisan menarik lainnya: