BAB II
GAGASAN THOMAS S. KUHN TENTANG
REVOLUSI PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Kajian filsafat
ilmu, khususnya filsafat ilmu keagamaan Islam bagi pengembangan Pendidikan
Agama Islam merupakan kebutuhan mendasar. Yakni, sebagai
pisau analisa dalam menemukan hakikat dan nilai “kebenaran” menurut paradigma manusia. Diharapkan, kebenaran yang menjelma
menjadi ilmu pengetahuan dan produknya bisa bermanfaat bagi sendi kehidupan
manusia. Oleh karena itu, sebagai awal penguraian (starting point) isi buku ini, memahami terlebih dahulu gagasan
Thomas Samuel Kuhn dirasa sangat penting. Bagaimanapun, pemikiran
kontemporer Kuhn sangat bermanfaat dalam memahami filsafat ilmu dengan cara
yang baru. Kendati dapat dipahami bahwa pemikiran Kuhn
bukanlah pemikiran bebas dari kritik. Dengan demikian, mendalami mekanisme
revolusi perkembangan ilmu pengetahuan di Bab ini bisa menjadi dasar untuk mengkaji
dan mengembangkan sejumlah teori pada Bab-bab berikutnya.
Lebih lanjut, tulisan ini
difokuskan pada penelusuran peran Kuhn terkait gagasannya yang cemerlang. Hasil
kemampuan berfikirnya –salah satunya terinspirasi dari pendalamannya terhadap
kajian “sejarah ilmu pengetahuan”— menjadi landasan sekaligus peletup keberanian ilmuwan
agamais dalam mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan. Lebih
gamblangnya, teori Kuhn tentang revolusi ilmu pengetahuan menjadi jawaban atas
keraguan dari beberapa kalangan tentang keabsahan integrasi antara dua ilmu.
Selain juga, teori Kuhn bisa menjadi kritik atas dominasi luar biasa ilmu
pengetahuan, utamanya yang lahir dari rahim positivisme. Misalnya, karena
kegagalan ilmu pengetahuan sekuler dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang
begitu kompleks dan rumit, menyebabkan timbulnya perubahan “gagasan.” Kemudian,
muncullah gagasan baru sebagai pemecah masalah tersebut, yakni salah satunya
pengintegrasian antara agama dengan ilmu.
Bisa dikatakan gagasan Kuhn tentang
ilmu pengetahuan telah mendobrak persepsi manusia di abad modern ini yang
terlalu mengagungkan ilmu pengetahuan. Bahkan mengagungkan rasionalitas
manusia-manusia, sehingga dianggap sebagai mahkluk tak terbatas. Dengan
demikian, sangat wajar bila setelah periode Kuhn banyak ilmuwan –tak terkecuali
ilmuwan agamais— terpengaruh oleh gagasannya. Utamanya para ilmuwan dan pemikir
yang resah dengan kegagalan ilmu pengetahuan umum. Yakni, dalam mengatasi
adanya bencana sosial dan bencana alam yang salah satunya ditimbulkan oleh produk-produk
ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, Kuhn telah menginspirasi masyarakat
atau komunitas ilmuwan, terutama terkait konsep cerdasnya tentang “revolusi ilmu
pengetahuan” atau “pergeseran paradigma (paradigm
shift)”
Selama ini ilmu pengetahuan
dipandang sebagai sesuatu yang bebas nilai, harus independen, dan empiris.
Namun, menurut Kuhn ilmu pengetahuan tidak akan bisa bebas dari yang namanya
“paradigma.” Kendati disadari atau tidak, paradigma yang dipegang individu
selalu dipengaruhi oleh sesuatu di luar dirinya. Misalnya, organisasi
(kelompok) yang ia ikuti, ideologi yang ia anut, alur logika yang digunakan,
otoritas (tokoh) yang ia percayai, hingga fanatismenya terhadap sesuatu. Dengan
demikian, tidak ada satu ilmu pengetahuan pun yang hanya bisa dijelaskan dengan
satu teori saja, terlebih hanya melalui pembuktian empiris. Sebagaimana menurut
Tamtowi, bahwa pergeseran paradigma (shifting
paradigm) “merupakan perubahan yang bersifat mistik dan tidak bisa
dijangkau oleh rasio, maka ia berada dalam bidang psychology of discovery dan dibangun di atas logic of discovery.”
Dengan kata lain, pergeseran paradigma tidak dapat dipaksan dengan menggunakan
logika (rasional),
karena setiap paradigma bersifat incommensurable
(tidak dapat dibandingkan). Dapat disimpulkan, revolusi ilmu pengetahuan bisa
terjadi karena faktor psikologis, agamais, filosofis, sosiologis, historis, dan
sebagainya yang berada dalam “wadah” paradigma sehingga ikut berperan mendorong
perubahan.
Bagaimanapun, ilmu pengetahuan
terbangun tidak hanya karena manusia telah memiliki kesadaran (pencerahan)
berpikir dan berlogika. Pengembangan ilmu pengetahuan juga didasarkan pada
motif tertentu. Salah satunya karena ingin memperbaiki paradigma lama yang bila
tetap digunakan akan membahayakan bagi keadaan terbaru. Hal ini bukan berarti
paradigma lama itu adalah sesuatu yang salah, karena bisa disingkirkan oleh
paradigma baru. Melainkan, paradigma lama adalah sesuatu yang dianggap “benar”
(bermanfaat) di tempat dan masa kejayaanya terdahulu. Dapat disimpulkan, peluang
adanya gugatan (kegelisahan) atas keganjilan (anomali) yang terjadi pada setiap
paradigma senantiasa ada. Di mana, kadang bukti empiris tak bisa menjawab atas keganjilan
itu, tak pelak penggunaan “nilai kemanusiaan” (etika/moral) yang dianggap
subjektif lebih tepat untuk digunakan sebagai pemecah masalah.
Sebagai
penutup, Bab ini merupakan usaha penulis dalam mencoba menelusuri pokok-pokok
pemikiran Kuhn, kemudian dikaitkan dengan pengembangan PAI. Yakni, tentang pentingnya
gagasan “revolusi ilmu pengetahuan” bagi kesejahteraan kehidupan manusia.
Dengan kata lain, akan dibahas sejauh mana peran konsep “revolusi ilmu
pengetahuan” milik Kuhn tersebut bisa digunakan dalam masa kekinian. Termasuk
di dalamnya akan dibahas tentang penggunaan konsep pergeseran paradigma
ke dalam dunia Pendidikan Agama Islam. Mengingat, selama ini PAI masih dianggap
masih mengalami banyak permasalahan. Salah satu sebabnya tidak ada perubahan paradigma
lama PAI, atau paling tidak perubahan tersebut masih terjadi secara ragu-ragu
atau malu-malu. Meski kenyataan sekarang paradigma baru PAI yang belum “dimunculkan”
secara masif merupakan sebuah kebutuhan. Oleh karena itu, Bab ini selain
sebagai dasar juga diupayakan menjadi pendorong terhadap pengembangan PAI,
sehingga bisa bermanfaat bagi pemecahan masalah kontemporer.
Mengenai
paradigma PAI sebagai salah satu ilmu sosial, maka Tobroni menuliskan bahwa
“Ilmu sosial menurut Giddent memiliki multi paradigma. Paradigma adalah pangkal
tolak (starting point)
dan sudut pandang (point of
view) dalam mengkaji suatu hal. Perbedaan paradigma bukan hanya
akan menghasilkan pemahaman yang berbeda, melainkan juga nilai dan norma
berbepa pula. Contoh ekstrem diibaratkan ada beberapa orang buta yang berusaha
memahami seekor gajah. Ada yang meraba belalainya, telinganya, kakinya,
perutnya dan ekornya, dan lantas masing-masing mendefinisikan gajah. Hasilnya
adalah masing-masing memiliki pemahaman, pengertian dan perlakuan berbeda
terhadap gajah. Dalam kehidupan sosial, paradigma yang berbeda akan menyebabkan
keyakinan, nilai, dan norma yang berbeda pula.” Lihat, Tobroni, “Paradigma Pemikiran Islam,” dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/paradigma-pemikiran-islam/, 1 Desember 2010, diakses
tanggal 19 Februari 2015.
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya: