Menurut Oemar
Hamalik evaluasi adalah sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen
masukan, proses, dan produk. Di mana komponen masukan terdiri dari beberapa
aspek yaitu mahasiswa yang dinilai, perlengkapan instrumen yang digunakan dalam
penilaian, biaya yang disediakan, dan informasi tentang mahasiswa. Sedang
komponen proses meliputi program penilaian, prosedur dan teknik penilaian,
teknik penganalisaan data, dan kriteria penentuan kelulusan. Dan komponen
produk merupakan hasil-hasil penilaian yang berguna untuk pembuatan keputusan
dan sebagai bahan balikan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan sistem
penilaian atau evaluasi merupakan komponen atau bagian terpenting dari sistem
pembelajaran. Oleh karena itu, pengadaan evaluasi merupakan keharusan untuk
dilaksanakan. Hal ini berfungsi sebagai pusat informasi tentang proses
pembelajaran maupun keberhasilan studi para mahasiswa. Sedang tujuan dari
diadakannya evaluasi adalah sebagai pegidentifikasian apakah mahasiswa sudah
mampu dalam pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan bahan yang disajikan dalam
mata kuliah. Selain itu sebagai dasar atau acuan pengelompokan mahasiswa ke
dalam beberapa kriteria atau tingkatan prestasi belajarnya. Dan tujuan evaluasi
bagi Dosen adalah untuk diketahui derajat kesesuaian antara bahan mata kuliah
yang disajikan dengan cara penyajiannya.[1]
Menurut
Undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 58 ayat 1 diterangkan evaluasi hasil
belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik dalam rangka sebagai pemantau
proses, kemajuan, dan perbaikan hasil proses pembelajaran peserta didik secara
berkesinambungan.[2] Namun pada kenyataannya
menurut Muhaimin selama ini pendidik PAI lebih diprioritaskan model evaluasi
acuan yang normatif serta evaluasi yang diacukan pada patokan atau berdasarkan
kriteria dari pada evaluasi yang didasarkan pada etik. Dengan asumsi bahwa
pendidikan agama tidak hanya berkutat pada penilaian mengenai sejauh mana
tingkat hafalan mahasiswa tentang sejarah Islam maupun hafalan kitab-kitab dan
ayat. Tidak hanya fokus pada penilaian kemampuan pelaksanaan ibadah, dan
kemampuan dalam penjelasan kembali tentang ajaran-ajaran (kandungan) Islam baik
secara lisan maupun tulisan. Namun hendaknya juga dinilai dari perilaku
mahasiswa secara objektif, rutin, dan benar yang ditinjau baik dari perilaku
moral, ibadah, pola fikirnya, perannya bagi masyarakat, dan tutur kata yang
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.[3]
Masih dijelaskan
oleh Muhaimin bahwa sebelum diadakan tes atau pengukuran keberhasilan belajar
oleh pendidik, maka terlebih dahulu harus dipertimbangkan model evaluasi apa
yang cocok dilakukan terhadap materi tertentu. Misalnya jika yang akan dites
adalah kemampuan dasar mahasiswa maka evaluasi yang digunakan adalah acuan
norma/kelompok. Namun jika yang akan dites adalah prestasi belajar maka
evaluasi yang cocok digunakan adalah acuan patokan (kriteria). Dan yang
terakhir jika yang akan dites adalah kepribadian mahasiswa maka evaluasi yang
digunakan adalah evaluasi acuan etik. Yang mana evaluasi pada PAI lebih banyak
terkait dengan masalah yang terakhir yaitu evaluasi acuan etik.[4]
Hal tersebut sebagaimana pada penjelasan sebelumnya bahwa PAI bukanlah materi
kuliah retorika namun materi kuliah aplikatif sehingga untuk penilainnya juga
lebih banyak tentang kepribadian mahasiswa.
Dalam sistem
pembelajaran PAI di PTU ujian yang dilakukan di akhir semester hanya merupakan
salah satu syarat saja bagi mahasiswa agar diperoleh kelulusan mata kuliah PAI.
Ada beberapa syarat lain yang perlu dijadikan acuan atau bahkan menjadi
prioritas dan punya tingkat presentase pengaruh kelulusan lebih besar.
Sebagaimana menurut Yahya Ganda disampaikan bahwa ujian yang dilakukan permata
kuliah untuk diketahuinya tingkat penguasaan mahasiswa telah pada capaian
standar akademik atau belum. Apabila sudah maka bisa dinyatakan lulus mata
kuliah tersebut. Oleh karena itu pemberian nilai pada mahasiswa tidak hanya
semata-mata terhadap hasil pengerjaan ujian pada lembar kertas ujian saja. Namun
juga didasarkan pada kehadiran mahasiswa secara kuantitas dan kualitas saat di
dalam kelas, karya tulis ilmiah, tugas-tugas yang terprogram, tugas insidental
yang dianggap perlu oleh Dosen, dan sikap ilmiah dalam mata kuliah itu.[5]
Tindakan tersebut
sesuai dengan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006
tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi bahwa dalam penilaian PAI di PTU ditentukan sebagai berikut:
(1)
Penilaian hasil belajar mahasiswa dilakukan berdasarkan data yang diperoleh
melalui penugasan individual atau berkelompok, ujian tengah semester, ujian
akhir semester, penilaian-diri (self-assessment), penilaian-sejawat
(peer-assessment), dan observasi kinerja mahasiswa melalui tampilan
lisan atau tertulis. (2) Kriteria penilaian dan pembobotannya diserahkan kepada
Dosen pengampu dan disesuaikan dengan Pedoman Evaluasi Akademik yang berlaku
pada perguruan tinggi masing-masing. (3) Sistem penilaian perlu dijelaskan
kepada mahasiswa pada awal perkuliahan.[6]
Dari penjelasan tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa Dosen PAI diberi wewenang untuk mengatur kriteria penilaian
dan pembobotannya pada mata kuliah PAI. Artinya Dosen diberi wewenang dalam
penentuan aspek mana yang punya peran pesar dalam kelulusan mahasiswa. Tentu
hal tersebut disesuiakan dengan pedoman evaluasi akademik yang berlaku pada
lembaga PTU masing-masing. Dikuatkan oleh Peraturan pemerintah bahwa perguruan
tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah memiliki otonomi atau menentukan
sendiri satuan pendidikan termasuk salah satunya dalam penilaian hasil belajar.[7]
Secara konkrit salah satu cara dalam
pengukuruan tingkat keberhasilan pembelajaran PAI dilakukan penilaian dengan
cara mahasiswa ditugaskan untuk membuat laporan aktivitas keagamaan di tempat
tinggal masing-masing. Sedang untuk komponen-komponen yang dinilai pada saat
proses pembelajaran di dalam lokal pembelajaran disusun dalam format khusus dan
diberikan kepada setiap kelompok pada pertemuan pertama. Komponen tersebut meliputi
penyajian makalah, penyampaian gagasan, cara bertanya, cara menjawab, cara
pengambilan kesimpulan, keterampilan menjadi moderator, dan keterampilan
menjadi notulen.[8] Sebagaimana menurut Kholidah bahwa
penilaian pada domain pengetahuan dan pemahaman mahasiswa dapat diperoleh
melalu tes tulis dan tes lisan. Sedangkan penilaian pada domain sikap dilakukan
dengan tes perbuatan dan pengamatan sehari-hari.[9]
Lebih spesifik Zainul Muhibbin, dkk.
menjelaskan tentang bentuk-bentuk evaluasi PAI yang digunakan di
Perguruan tinggi umum dapat diuraikan
sebagai berikut : “1. Keikutsertaan dalam mentoring.
2. Sikap Islam (akhlak) dalam perilaku sehari-hari. 3. Penilaian terhadap
pelaksaan tugas-tugas. 4. Keaktifan mengikuti kuliah, diskusi, dan presentasi
makalah. 5. Ujian tulis.”[10]
Sejalan dengan penjelasan di atas menurut
pendapat Kholidah dalam pembelajaran PAI idealnya digunakan pendekatan
pembelajaran yang mampu dalam pengakomodiran aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Dengan demikian saat evaluasipun seharusnya yang dievaluasi
meliputi tiga aspek tersebut. Pada domain kognitif pelaksanaan pembelajaran PAI
dilakukan sampai pada tingkat analisis, sintesis, dan evaluasi sehingga
mahasiswa punya kemampuan dalam pengambilan keputusan. Pada domain afektif
mahasiswa mampu berperilaku konsisten (ajeg),
secara spontan tanpa pengaruh, mampu dalam pengorganisasian sejumlah nilai yang
diwujudkan dalam perilaku. Serta mahasiswa
punya sejumlah perilaku yang menyatu dalam kesatuan kebiasaan. Dan pada domain
psikomotorik mahasiswa terampil dalam penggunaan keahliaan secara spontan.[11]
Diyakini hasil dari proses penilaian aspek
afektif mahasiswa sangat sulit untuk diukur. Oleh karena itu perlu
pengkorversian dalam pensekoran dari data kualitatif (keterangan-keterangan
bentuk perilaku) menjadi data kuantitatif (angka). Setelah dikonversi dalam
bentuk angka kemudian dijumlahkan dengan aspek penilain psikomotorik dan
kognitif yang secara presentase dan perumasannya sebagai berikut:
Keterangan:
NA : Nilai Akhir
Afektif : Total semua penilaian afektif
yang sudah diangkakan
Psikomotirik : Total semua penilaian psikomotorik
Kognitif : Total semua penilaian kognitif
Dari perumusan di atas diterangkan bahwa yang
dimaksud NA adalah Nilai Akhir, sedangkan afektif adalah total semua penilaian
afektif yang didapat dan sudah diangkakan. Untuk psikomotoriknya adalah total
semua penilaian psikomotorik dan untuk kognitifnya adalah total semua penilaian
kognitif. Tentu perumusan di atas tersebut tidaklah pasti dan tidak harus sama
untuk setiap PTU namun utamanya disesuaikan dengan Pedoman Evaluasi pada
lembaga pendidikan tinggi masing-masing serta lainnya. Karena perguruan tinggi
berdasarkan Undang-undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003, bab VI, pasal 24, ayat 2 dinyatakan “perguruan
tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat.”[12]
Secara detail sebagai penjelas rumus di atas
maka untuk afektif yang dinilai meliputi etika, kedisiplinan, stabilitas emosi,
sosialisasi, perasaan, kepedulian (empati), dan ketaatan. Misalnya aspek yang
dinilai adalah kehadiran mahasiswa, partisipasi dalam kelas, akhlak mahasiswa,
kepekaan mahasiswa untuk berperilaku yang sesuai dengan perintah agama, dan kesungguhan
mahasiswa untuk mengembangan ilmu pengetahuan yang dilandaskan oleh ajaran
islam (taat pada ajaran agama). Untuk psikomotorik meliputi kemampuan
mempraktekan ilmu dan tanggung jawab terhadap ilmunya. Misalnya yang dinilai
adalah hasil praktikum di laboratorium PAI dan kegiatan keagamaan yang
bersinggungan langsung dengan masyarakat sebagai praktek.
Sedangkan untuk logika (ditekankan pada
kemampuan dalam pencarian kebenaran), kemampuan bereferensi, penguasaan materi,
dan kemampuan memindai (meneliti) untuk memecahkan suatu masalah masuk pada
aspek kognitif. Misalnya yang dinilai adalah Ujian Tengah Semester, Ujian Akhir
Semester, tugas mandiri maupun kelompok, dan kemampuan dalam mengutarakan logika
dalam bentuk lisan. Tentu untuk rincian tersebut ada beberapa evaluasi yang
wajib diikuti oleh mahasiswa sebagai syarat kelulusan misalnya ikut UTS, UAS,
dan mengerajakan tugas. Serta presentase kehadiran atau absensi minimal yang
harus dimiliki mahasiswa adalah 80% dan mahasiswa setidak-tidaknya melakukan
satu kali praktikum selama mengikuti kuliah PAI.
1.
Bentuk Penilaian dengan Ujian dan Non Ujian
Bentuk penilaian yang digunakan Dosen PAI sebagai
penilaian terhadap mahasiswa meliputi kegiatan Ujian dan Non Ujian. Artinya,
tidak hanya digunakan metode pengujian terhadap mahasiswa untuk diketahui hasil
pencapain yang telah diperolehnya setelah dilakukan pembelajaran PAI. Misalnya
melalui tes soal pertanyaan secara lisan, tulis, dan tes praktek. Namun juga
digunakan bentuk penilaian non ujian yaitu dengan pengamatan perilaku serta
perkataan yang dilakukan secara alami atau tanpa perintah dari Dosen. Penilaian
non ujian ini dilakukan terhadap perilaku, perkataan, dan segala sesuatu yang
melekat di dalam mahasiswa yang mereka lakukan secara spontan. Oleh karena itu
diharapkan penilaian non ujian ini bisa menjadi nilai pembanding bagi nilai
ujian yang biasanya dilaksakan dengan terencana, terstruktur, dan terbuka
sehingga cenderung untuk dihasilkan nilai-nilai yang kredibilitasnya diragukan.
Diragukan karena bisa jadi mahasiswa menyontek (bermain curang) dan bisa jadi
antara apa yang ditulis atau dipraktekan mahasiswa saat ujian diselenggarakan
dengan apa yang dipraktikan dalam dunia nyata sehari-hari tidak selaras.
Pengamatan atau
observasi sebagai bentuk penilaian non ujian sangat penting. Sebagaimana
menurut Pauline Young seperti yang dikutip oleh Siti Wuryan Indrawati, dkk.
bahwa pengertian observasi adalah “suatu studi yang dilakukan dengan
sengaja/terencana dan sistematis melalui penglihatan/pengamatan terhadap
gejala-gejala spontan yang terjadi saat itu.”[13]
Dengan demikian karena dilakukan berdasarkan dari hasil kajian studi,
terencana, dan sistematis maka observasi merupakan tindakan ilmiah sehingga
bisa digunakan untuk kepentingan ilmiah pula. Oleh karena itu, observasi dapat
dilakukan di bidang ilmu pengetahuan apapun termasuk dalam dunia pendidikan yang
mana di dalamnya untuk kepentingan penilaian terhadap peserta didik. Sedang didasarkan
pada tata cara dan penerapannya menurut Pauline Young sebagaimana yang dikutip
oleh Siti Wuryan Indrawati, dkk. membagi observasi menjadi dua yaitu:
a.
Observasi terstruktur (controlled observation) adalah sebuah observasi yang dilakukan
dengan tata cara dan penerapannya sangat
terperinci, teliti, dan ketat. Biasanya digunakan instrumen yang terpilih,
peka, dan terkontrol (sesuai dengan objek dan subjek yang diamati) sehingga
dimungkinkan untuk dilakukan observasi kembali sebagai pendalaman. Oleh karena
itu, idealnya sebelum diadakan observasi yang sesungguhnya terlebih dahulu
diadakan simulasi-simulasi.
b.
Observasi tidak terstruktur (uncontrolled observation) adalah proses
observasi yang dilaksanakan secara spontan (tanpa persiapan) sebagai respon
terhadap sebuah gejala tertentu. Oleh karena itu dalam observasi ini tidak
digunakan instrumen yang terperinci sehingga hanya dihasilkan gambaran umum
tentang suatu gejala tersebut. Dengan demikian observasi jenis ini tidak
dimungkinkan untuk diadakan pengontrolan kembali terhadap hasil observasi yang
telah didapat.[14]
Di sisi lain apabila ditinjau dari segi
pengobservasi (orang yang mengobservasi) dan objek serta subjek yang
diobservasi maka observasi dapat dibedakan menjadi:
a.
Observasi partisipan yaitu observasi yang
dilakukan secara langsung (tanpa perantara) oleh pihak yang berkepentingan
terhadap hasil observasi. Dengan kata lain pengobservasi terlibat atau berada
pada peristiwa serta lingkungan di mana subjek atau objek yang diobservasi
sedang menunjukkan gejala sosial.
b.
Observasi
non partisipan adalah observasi yang dilakukan dengan cara mewakilkan tindakan
observasi kepada pihak lain yang dikira punya kemampuan dan kapasitas terhadap
objek dan subjek yang diobservasi. Dengan demikian pengobservasi tidak perlu
berada di lingkungan atau situasi dari gejala yang diobservasi. [15]
Dari penjelasan di atas maka Dosen PAI bisa
melakukan pengamatan terhadap subjek (mahasiswa) dan objek (masalah, topik,
atau aspek) secara spontan dengan lembar atau catatan observasi seadanya.
Terutama untuk kejadian atau gejala yang dipandang sangat penting dan mendesak
untuk segera dicatat. Pencatatan sesegera mungkin dilakukan untuk mencegah bias
konstruksi atau salah pemaknaan terhadap gejala yang diobservasi, sehingga
apabila data yang ditemukan tidak segera dicatat dikhawatirkan akan berkurangnya
objektivitas. Selain itu untuk menjaga objektivitas hasil observasi atau data
yang telah ditemukan maka Dosen PAI bisa mewakilkan proses observasi kepada beberapa
pihak lain. Tentu wakil tersebut punya kapasitas, kapabilitas, dan berada pada
satu lingkungan dari subjek (mahasiswa) yang diobservasi. Dalam hal ini salah
satu contohnya adalah diwakilkan kepada Dosen mata kuliah lain.
2.
Aspek Penilaian Afektif
Sedangkan,
untuk aspek afektif dilakukan oleh guru agama secara langsung melalui
pengamatan terhadap perilaku dan sikap peserta didik. Dimungkinkan juga melalui
laporan hasil penilaian Dosen mata kuliah lain tentang akhlak peserta didik
berdasarkan pengamatan yang dilakukannya. Informasi tentang akhlak peserta
didik yang disampaikan Dosen mata kuliah lain digabung dengan hasil pengamatan
yang dilakukan oleh Dosen PAI. Kemudian dijadikan bahan untuk menentukan nilai
akhir aspek afektif dengan benuk pernyataan yang kemudian dikonversikan dalam
bentuk angka.
Dalam penentuan Nilai Akhir mata kuliah PAI yang
dilakukan oleh Institusi PTU untuk aspek afektif didasarkan pada hasil penilaian
Dosen PAI terhadap perilaku mahasiswa terutama melalui pengamatan. Artinya
peran Dosen sangat diutamakan, dalam hal ini seperti ketelitian, keadilan,
objektif, instrumen penilaian yang tepat, kerutinan, merata, dan kepekaan dalam
mengevaluasi hasil belajar mahasiswa dalam bidang afektif. Selain itu aspek
perkembangan mahasiswa juga harus diperhatikan, misalnya berdasarkan dari
proses penilain afektif pada awal ditemukan mahasiswa berperilaku negatif yaitu
tidak jujur maka sekita itu ia mendapatkan nilai kualitatif rendah atau kurang.
Namun suatu saat mengalami perkembangan kepribadian perilaku kesehariannya
lebih sering jujur maka tentu penilaian yang terakhirlah yang dijadikan patokan.
Evaluasi yang dilakukan oleh Dosen PAI di PTU idealnya lebih
ditekankan pada aspek afektif, sedang cara penilaiannya diutamakan melalui
observasi serta cara lain yang dinilai objektif. Cara penilaian yang benar
tentu akan bisa mengoptimalkan fungsi evalausi PAI yaitu salah satunya untuk
mengetahui perilaku atau kepribadian mahasiswa berubah. Tentu perubahan tersebut
tidak hanya bisa diketahui dan dinilai secara komperhensif jika cara
penilainnya hanya dilakukan saat di dalam lokal pembelajaran atau lingkungan
kampus saja. Secara spesifik evaluasi afektif layak dijadikan tolak ukur atau
menjadi penentu Nilai Akhir serta kelulusan mata kuliah PAI. Misalnya penilaian
ditentukan oleh perilaku mahasiswa terhadap Dosen serta mahasiswa lain,
kedisiplinan, minat serta antusiasme dalam pembelajaran PAI, dan kepekaan
(empati) mahasiswa ketika dihadapkan pada permasalahan sosial dalam
pembelajaran PAI. Dengan demikian evaluasi pada aspek afektif lebih cenderung
pada bagaimana cara mahasiwa dalam pengimplementasian nilai-nilai ajaran Islam
dalam kehidupan sehari-hari. Lebih konkrit penilaian afektif untuk menilai
sejauh mana kemampuan atau kompetensi mahasiswa dalam bidang ketauhidan
(aqidah) dan kompetensi dalam akhlak mulia secara spontan.
Evaluasi afektif sangat penting dalam mata kuliah PAI,
karena mata kuliah PAI adalah mata kuliah terapan bukan hanya mata kuliah konsep
sehingga diperlukan penilaian dari sikap mahasiswa. Dengan demikian diperlukan
penyusunan intstrumen penilaian afektif yang bisa dihasilkan skor yang
benar-benar sesuai dengan keadaan sesungguhnya mahasiswa di dunia nyata. Sungguh
tidak adil jika penilaian hanya dilakukan di dalam kelas saja namun tidak
disertai penilaian afektif mahasiswa di luar kelas. Bisa jadi adanya ketidak
sesuaian antara perilaku mahasiswa di lingkungan masyarakat dengan apa yang ia
katakan atau tunjukkan di dalam kelas saat berdiskusi. Bila perlu kerja sama
dengan Dosen mata kuliah lain untuk mendapatkan nilai afektitf mahasiswa. Hal
ini salah satunya untuk mengetahui apakah nilai-nilai ajaran Islam sudah
mahasiswa praktikan untuk pengembangan IPTEK yang diampu oleh Dosen mata kuliah
lain.
Penekanan dan pengutamaan aspek afektif pada mata kuliah
PAI tersebut seperti di atas sesuai dengan pendapat Heman Hudojo bahwa materi
PAI bukan sebagai ilmu agama yang lebih diacukan pada ranah kognitif, namun
dipandang lebih pada acuan ranah afektif. Hal ini karena PAI sebagai dasar
pembentukan manusia Indonesia yang berkepribadian utuh, beriman, dan bertaqwa
kepada Allah SWT. Sehingga PAI bisa menjadi sumber inspirasi etika, moral, dan
spiritual sebagai penangkal perubahan sosial budaya bangsa yang beraspek
negatif karena dampak modernisasi yang tak terkendali.[16]
Secara spesifik berdasarkan tujuan institusional Pembelajaran PAI di PTU jika
ditinjau dari aspek Afektif meliputi pembudayaan diri dan lingkungannya dengan
nilai-nilai Islam.[17]
3.
Aspek Penilaian Psikomotorik
Secara umum penggunaan evaluasi psikomotorik sangat minim
digunakan pada mata kuliah PAI di PTU. Selain itu apabila dilakukan tes kepada
mahasiswa melalui pengujian ketrampilan bisa menimbulkan kecemasan pada
mahasiswa karena rata-rata mereka masih lemah dari segi praktik ibadah. Masalah
lain jika evaluasi terlalu difokuskan pada aspek psikomotorik ditakutkan aspek
afektif akan terabaikan. Atau lebih parahnya adalah timbul presepsi pada
mahasiswa bahwa aspek terpenting dalam PAI berhenti pada psikomotorik dan
kognitif saja. Oleh karena itu inilah pentingnya bagi Dosen PAI untuk
menjelaskan pada pertemuan pertama bahwa aspek penilaian yang diprioritaskan
pada mata kuliah ini adalah afektif.
Secara spesifik berdasarkan tujuan institusional
Pembelajaran PAI di PTU jika ditinjau dari aspek Psikomotorik meliputi
pengamalan, penghayatan, dan keyakinan pada syari’ah Islam baik ibadah maupun
muamalah sehingga ia mampu berzikir pada Allah dan bertafakur tentang
ciptaan-Nya (Q.S ali Imran: 190-191).[18]
Sedang menurut Kholidah bahwa pada domain psikomotorik mahasiswa dinilai
pada keterampilan dalam penggunaan
keahliaan secara spontan.[19]
Idealnya PAI tidak cukup diukur pada ranah kognitif namun juga ada pelibatan
ranah afektif dan psikomotorik secara berimbang. Artinya bahwa mata kuliah PAI
diharapkan mampu diktualisasikan oleh mahasiswa sebagai wujud penghayatan
sehingga sikap, tutur kata, dan tingkah laku mahasiswa akan sejalan (paralel)
dengan pengetahuan agama yang dia miliki. Oleh karena itu diharapkan mahasiswa
tidak hanya cakap dalam berdiskusi dengan rasionalitasnya, mampu dalam
penjelasan praktik ibadah serta hukum-hukum dalam agama, dan mampu dalam
beretorika keagamaan saja. Melainkan mereka juga dituntut adanya konsistensi
antara ucapan dengan perbuatan sebagaimana peringatan dalam al Quran dalam
surat as Shaf yang terjemahnya adalah “wahai orang-orang yang beriman mengapa
kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? Allah murka kepada orang-orang
yang mengatakan sesuatu tetapi tidak mau melakukannya.”[20]
4.
Aspek Penilaian Kognitif
Penilaian aspek kognitif yang dilakukan Dosen PAI
terhadap mahasiswa biasanya melalui kegiatan ujian tulis (UTS dan UAS), ujian
lisan (tes pertanyaan), kualitas subtansi (konten) tugas kelompok maupuan tugas
individu, dan penjelasan serta jawaban saat presentasi (kualitas dalam
penganalisaan masalah). Semua bentuk kegiatan penilaian kognitif tersebut digunakan
dalam jangka waktu berbeda untuk diketahui perkembangan pemahaman mahasiswa
terhadap materi dan juga sebagai salah satu instrumen pengklarifikasian dari
hasil metode penilaian yang lain. Salah satunya caranya adalah penilaian
kemampuan mahasiswa dalam penganalisaan permasalahan sosial terkini (aktual)
yang ada pada koran sebagai pengklarifikasi dari hasil penilaian tugas
pembuatan makalah. Dengan demikian dapat diketahui sejauh mana perkembangan
kemampuan mahasiswa Islam dalam penguasaan materi, berlogika (mencari
kebenaran), pencarian referensi buku-buku atau bacaan tentang Islam, dan
kemampuan mahasiswa dalam memecahkan masalah keagamaan (secara teori) yang
terjadi di masyarakat.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
penilaian aspek kognitif pada mahasiswa ditekankan pada pengetahuan, pemahaman,
dan kemampuannya pada pengambilan keputusan apakah sudah terkait dan menyatu
dengan nilai-nilai agama Islam. Hal ini sebagaimana pendapat Kholidah bahwa
pada domain kognitif pelaksanaan pembelajaran PAI dilakukan sampai pada tingkat
analisis, sintesis, dan evaluasi. Sehingga mahasiswa punya kemampuan dalam
pengambilan keputusan.[21]
Secara spesifik berdasarkan tujuan institusional pembelajaran PAI di PTU jika
ditinjau dari aspek kognitif meliputi pengetahuan, pemahaman, dan pengertian
tentang akidah dan syariah Islam (Q.S al-Tawbah: 122).[22]
[1]Hamalik, Manajemen Belajar di, 148-149.
[3]Muhaimin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan, 53.
[5]Ganda, Petunjuk Praktis Cara, 69-70.
[7]Peraturan Pemberintah Republik Indonesia
Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelengaraan Pendidikan Pasal 58F Ayat 2 Huruf b.
[13] Siti Wuryan Indrawati, dkk., “Handout Mata
Kuliah Psikodiagnotik II (Observasi)” Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia 2007,
http://file.upi.edu/direktori/
FIP/JUR._PSIKOLOGI/195010101980022-SITI_WURYAN_INDRAWATI/PD2-Teori_Observasi.pdf, diakses tanggal 13 September 2013.
[14] Ibid.
[15] Siti Wuryan Indrawati, dkk., “Handout Mata
Kuliah,” diakses tanggal 13 September 2013.
[16]Hudojo,
“Tolok Ukur dan,” 184.
[17]Anonim,
dalam Dinamika Pemikiran Islam di
Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), 142.
[18]Anonim,
dalam Dinamika Pemikiran Islam di
Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), 142.
[20]Madjid,
“Masalah Pendidikan Agama,” 38.
[22]Anonim,
dalam Dinamika Pemikiran Islam di
Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), 142.
Topik lain:
Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
Kompetensi Mahasiswa yang Diharapkan setelah Ikut Serta Perkuliahan Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
Materi Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
Berbagai Kemungkinan yang Mempengaruhi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
Kedudukan Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
Berbagai Kemungkinan yang Mempengaruhi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Evaluation (Sumber gambar sudut pendidikan) |