E. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kualitas Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Hasil pencermatan dari fenomena yang terjadi di
masyarakat sekarang ini baik secara global maupun nasional perlu ada perhatian
serius pada penggalian format dan model sistem PAI di lembaga pendidikan umum.[1] Di
mana PAI ada muatan akomodasi antara tuntutan dan kebutuhan zaman dengan ajaran
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Oleh karena itu orientasi PAI
dalam zaman informasi mendatang perlu diubah, yang semula berorientasi kepada
kehidupan ukhrawy menjadi duniawy-ukhrawy.[2]
Untuk pemaparan yang lebih rinci dan praktis maka perlu
dipaparkan beberapa faktor yang bisa menjadi pengaruh pada sistem pembelajaran
PAI. Faktor yang mempengaruhi Kualitas sistem pembelajaran PAI secara langsung
saat pembelajaran di kelas atau di luar kelas dapat di bagi menjadi tiga yaitu:
a.
Pendidik
Permasalahan
pembelajaran adalah permasalahan yang rumit dan dinamis dimana pendidik
merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Secara
intensif tugas pendidik adalah berperan untuk pembangunan interaksi dan
komunikasi pada proses pembelajaran dengan peserta didik secara efektif.
Kesuksesan Dosen sebagai pendidik dalam pembangungan suasana harmonis,
komunikatif, dan pembelajaran yang efektif tergantung pada metode pembelajarannya.
Tentunya juga peran Dosen dalam pemanfaatan media pembelajaran. Ketidaklancaran
komunikasi di kelas dapat berakibat terhadap pesan atau materi yang bermuatan
afektif, kognitif, dan ketrampilan yang disampaikan oleh pendidik bisa tidak terserap
dengan sempurna oleh peserta didik.[3]
Kompetensi pendidik juga menjadi
pengaruh pada kualitas
pembelajaran. Hal ini karena pendidik yang bertugas dalam
pembangunan interaksi antara
pendidik dengan peserta didik, peserta didik dengan
peserta didik lainnya, dan peserta didik dengan sumber belajar. Dengan asumsi pendidik adalah penanggung
jawab dan teladan hidup bagi anak didiknya dalam proses pembelajaran.
Di sisi lain kualitas dan profesionalitas Dosen juga penting karena
bagaimanapun bagusnya dan lengkapnya strategi/metode, sarana prasarana, tujuan
pembelajaran, dan canggihnya teknologi pembelajaran jika tidak diimbangi dengan
kualitas Dosen yang terjamin maka hal tersebut akan tidak berefek yang
signifikan bagi kualitas sistem pembelajaran.[4]
Dengan demikian dapat
disimpulkan tentang faktor pengaruh Dosen dalam pembelajaran merupakan komponen
penting yang dapat menjadi pengaruh terhadap kualitas pembelajaran PAI. Artinya
pembelajaran khususnya pada PAI tanpa pendampingan Dosen atau bahkan Dosen
hanya duduk diam di dalam kelas atau hanya sebagai pemberi perintah dalam
pengerjaan tugas kepada mahasiswa. Serta tanpa pemberian materi pendalaman yang
bersifat wawasan, aplikatif, dan penciptaan suasana pembelajaran yang canggih
maka bisa menjadi penyebab pembelajaran PAI hanya berhenti pada aspek kognitif
saja. Padahal menurut pembahasan sebelumnya PAI merupakan ajaran dan pedoman
hidup untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. Yang mana harus dilaksanakan oleh
setiap mahasiswa dengan sadar, mandiri, dan konsisten dalam beribadah serta
dinamis untuk pengembangan IPTEK hingga kematiannya tiba.
Pernyataan tersebut
secara detail sesuai dengan pendapat Suryo Subroto yaitu faktor-faktor
pembelajaran yang terlekat pada pendidik adalah kepribadiannya, penguasaan
bahan, penguasaan kelas, cara berbicara (intonasi, penguasaan bahasa, dan
pengulangan), penciptaan suasana kelas, pembedaan individu (mahasiswa), dan
yang paling penting adalah seorang pendidik PAI harus terbuka, mau bekerja
sama, tanggap terhadap inovasi, dan secara rutin mampu untuk konsisten dalam penelitian
pada kegiatan pengajarannya.[5]
Selama ini profil dan performa pendidik dalam sistem pembelajaran PAI
dianggap masih kurang untuk peningkatan kualitas pembelajaran PAI. Di mana
penggunaan metode pembelajaran PAI di lembaga pendidikan umum masih banyak
digunakan cara-cara pembelajaran tradisional, yaitu ceramah monoton dan statis
kontekstual.[6]
Hal ini berarti pendidik PAI lebih cenderung menjauhi teks-teks keilmuan dan
lebih condong pada penguatan teks-teks al-Quran, Hadis, dan pendapat Ulama
dengan minimnya keterkaitan dengan realitas yang ada. Padahal berdasarkan pada
pembahasan sebelumnya seorang mahasiswa kapasitasnya tidak lagi hanya
memperoleh sumber belajar dari ceramah Dosen. Namun perlu dibiasakan dalam
aktivitas pembacaan teks-teks ilmiah yang didasarkan pada kredibilitasnya yang
mumpuni dan merupakan hasil dari penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan
secara akademis maupun moral.
Sebagaimana menurut Nurcholish Madjid disampaikan tentang peran
PAI dalam dunia akademik yang sarat dengan nilai keilmiahan tidak hanya
diposisikan pada ranah pembenaran (context
of justification). Namun juga yang
terpenting adalah pada lingkup penemuan (context
of discovery) serta visi baru ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena
itu penggunaan ayat-ayat Allah yang kauliyah beserta kauniyah perlu dipahami
dan diberi intrepretasi sesuai dengan kenyataan terkini. Dengan intrepretasi
beserta reintrepretasi tersebut menjadikan agama mampu dan sejajar atau bahkan
posisinya lebih tinggi dan teratas dalam berdialog dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.[7]
Permasalahan lain yang sering dijumpai pada pendidik dalam pembelajaran
PAI adalah bagaimana cara penyajian materi kepada peserta didik secara baik dan
sistematis sehingga diperoleh hasil yang efektif dan efisien. Hal ini dilakukan
agar kesan PAI di mata peserta didik bukan mata kuliah kaku dan kuno. Dengan
kata lain pendidik PAI terbiasa dalam penggunaan variasi metode pembelajaran
dan pengembangan materi PAI menjadi lebih menarik bagi mahasiswa sehingga
mereka tertantang untuk aktif pada pendalaman materi karena kedinamisan isinya.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Armai Arif yang dikutip oleh Ismail
dikatakan tentang persoalan-persoalan yang selalu menjadi selimut pada dunia
PAI sampai saat ini adalah seputar tujuan dan hasil yang tidak sejalan dengan
kebutuhan masyarakat, dengan kata lain PAI belum bisa membumi dengan realitas
yang terjadi di masyarakat. Selain itu metode pembelajaran yang statis dan
kaku, sikap dan mental pendidik yang dirasa kurang dalam pendukungan proses,
dan materi pembelajaran yang tidak progresif.[8]
Ketelitian lain yang
perlu diperhatikan oleh pendidik tentang anak didiknya adalah karakteristiknya
yang berbeda satu dengan yang lain. Karakteristik tersebut meliputi tingkat
kemampuannya, tingkat perkembangannya, usia, latar belakang pendidikan, dan
unsur lain yang berhubungan dengan proses pembelajaran mahasiswa. Sehinga hal
ini dibutuhkan suatu usaha untuk penentuan pendekatan yang tepat. Jika ditinjau
dari cara mahasiswa belajar maka salah satu caranya adalah dengan penggunaan
pendekatan pembelajaran kooperatif. Artinya
mahasiswa dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk pembahasan suatu
masalah, atau pemahanan terhadap suatu teori. Kelompok yang dibentuk bisa
heterogen dan homogen, walaupun dari masing-masing cara itu terdapat kelemahan
dan keunggulan. Mahasiswa dalam kelompok tersebut belajar bersama melalui
diskusi. Pendekatan kooperatif ini digunakan untuk masalah bidang tertentu agar
terjadi pengurangan kecemasan pada mahasiswa.[9]
Langkah ini diambil supaya metode pembelajaran PAI tidak didominasi oleh
tipe pembelajaran teacher centered,
yang mana pendidik dianggap berhak atas kepemilikan otoritas penuh dalam
penentuan segala permasalahan pembelajaran. Padahal mahasiswa bisa bermain
peran pada penyelesaian masalah yang di-setting
oleh Dosen. Aktif dalam penggunaan metode-metode yang tidak menimbulkan
kejenuhan, dinamis, dan penggunaan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang
sesuai dengan konteks kekinian. Dengan demikian cara pendekatan emosional dan
untuk menumbuhkan empati mahasiswa oleh Dosen dengan berbagai strategi juga
ikut mempengaruhi dalam keberhasilan pembelajaran PAI yang efektif.
Penyebab lain yang masih menjadi problem pendidik dalam pengembangan PAI
adalah minimnya semangat dan produktifitas Dosen dalam penciptaan serta
penemuan. Hal ini dibuktikan dengan masih minimnya produk penelitian tentang
pendidikan, khususnya penelitian yang berkaitan dengan PAI. Sebagaimana yang
telah dipaparkan dari hasil penelitian pada Perguruan Tinggi Umum dinyatakan Dosen
PAI di Universitas Pendidikan Indonesia telah ikut aktif pada penelitian ilmiah.[10]
Gejala lain yang menjadi problematika adalah pembaruan serta reorientasi Dosen
dalam implementasi pembelajaran PAI. Reorientasi ke dalam bisa dihasilkan
pernyataan-pernyataan seperti untuk apa aku mengajar PAI, untuk siapa aku
mengajar, bagaimana aku mengajar, mengapa materi ini diajarkan, dan sebagainya.
Dan reorientasi ke luar dihasilkan pernyataan-pernyataan akan diarahkan ke mana
mahasiswa dan bagaimana agar peserta didik suka terhadap materi serta
pembelajaran PAI.
Oleh karena itu untuk
penyelesaian permasalahan yang terjadi pada Dosen maupun mahasiswa perlu
dibentuk suatu wadah profesi Dosen PAI di PTU yang menjadi tempat kegiatan
akademik, saling berbagi, dan belajar untuk pemertajaman keahlian
masing-masing. Diharapkan dengan adanya wadah ini bisa dilanjutkan dengan
kegiatan studi bersama seperti seminar, diskusi, penelitian, dan kegiatan
ilmiah lainnya yang dapat menjadi cara dalam peningkatan wawasan keilmuan Dosen
PAI. Melalui wadah ini juga bisa digunakan sebagai sarana komunikasi dengan Dosen-dosen
lain dari berbagai bidang disiplin ilmu. Dengan kata lain adanya sinergitas dan
hubungan antara Dosen PAI dengan Dosen bidang ilmu lain. Hal ini tujuannya
untuk penambahan wawasan keilmuan dari berbagai disiplin keilmuan umum bagi Dosen
PAI dan wawasan keagamaan bagi Dosen-dosen di bidang lain.[11]
b.
Peserta
didik
Peserta didik sebagai manusia adalah makhluk yang unik dan penuh misteri,
makhluk yang dinamis, dan punya potensi yang pada setiap perkembangannya
dimiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karena manusia sebagai makhluk hidup
punya perbedaan yang khusus dengan makhluk lain. Manusia punya hak untuk
kepemilikan iman dan ilmu sedangkan makhluk lain tidak diberi anugerah itu.[12] Namun kadangkala pendidik luput untuk
menyadari kenyataan ini, sehingga menganggap peserta didik bisa dibentuk dan
diarahkan sesuai dengan keinginannya. Tanpa melihat keadaan peserta didik
sebagai pelaku pembelajaran.
Motivasi mahasiswa dalam pelaksanaan proses pembelajaran PAI ditentukan
oleh tujuan atau alasan untuk ikut serta dalam pembelajaran mata kuliah PAI.
Penentu lain untuk motivasi mahasiswa dalam belajar secara aktif adalah
tersedianya fasilitas (buku, media, dan sarana prasarana) yang sesuai dengan kapasitas
mahasiswa untuk pencapaian tujuan pembelajaran. Jika tujuan atau motivasi
peserta didik untuk melakukan proses pembelajaran tidak sesuai dengan
nilai-nilai Islam maka tugas pendidik adalah bertindak dalam pelurusan ‘niat’ mahasiswa
untuk ikut serta kuliah. Misalnya ikut kuliah PAI tujuannya hanya untuk
menggugurkan kewajiban kurikulum kampus saja. Atau untuk sekedar mendapatkan
nilai mata kuliah PAI yang terbaik agar bisa mendongkrak IPK di akhir
perkuliahan.
Lebih rinci apabila dikaji dan dianalisis dari gejala sosial akademik,
maka yang menjadi latar belakang pada kekurang minatan atau menjadi beban yang
besar bagi mahasiswa untuk ikut aktif dalam pembelajaran PAI disebabkan oleh
beberapa hal. Di antaranya terbagi dalam berbagai orientasi berikut ini yaitu
banyak tugas yang terlalu sulit secara kuantitas dan kualitasnya. Banyaknya
pekerjaan lain yang jauh lebih penting dari pada kuliah PAI misalnya tugas
mengajar, bekerja di perusahaan, atau untuk pengerjaan tugas mata kuliah lain. Ketidak
cocokan dengan Dosen atau teman sekelas, materi PAI yang sulit karena penuh
dengan bahasa Arab, adanya peraturan lembaga atau kontrak belajar dengan Dosen
yang tidak sesuai dengan keinginannya. Materi maupun metode serta media yang
monoton dan yang terakhir adalah terjadi kesalahan motivasi yang tidak sesuai
semangat ajaran Islam.
Pernyataan tersebut sebagaimana menurut Abdul Aziz dan Martin Handoko
disampaikan tentang problematika mahasiswa yang bisa menjadi penghambat pada sistem
pembelajaran adalah segala sesuatu yang bisa menjadi penyebab adanya kelambatan atau ketidak lancaran dalam pencapaian hasil pembelajaran. Hambatan-hambatan tersebut meliputi
terjadinya kelambatan dan alenialisasi perkembangan psikologi, terjadinya
kelambatan dan alenialisasi daya fikir (kognitif), terjadinya kelambatan komunikasi
(linguistik) dan kelambatan dalam pemahaman kehidupan sosial,[13]
dan terjadinya kesalahan dalam pembangunan tujuan awal dan kemauan mahasiswa
aktif pada proses pembelajaran (motivasi).[14]
c.
Suasana
atau kondisi pembelajaran
Menurut Muhaimin dalam sistem pembelajaran PAI
terdapat tiga komponen utama yang saling berpengaruh satu sama lain, yaitu
kondisi pembelajaran PAI, metode pembelajaran, dan hasil pembelajaran PAI. Yang
mana kondisi pembelajaran PAI seperti tujuan intruksional, karakteristik bidang
studi PAI, karakter peserta didik, dan kendala pembelajaran PAI merupakan
faktor yang mempengaruhi penggunaan metode dalam upaya peningkatan hasil
pembelajaran PAI.[15]
Dengan kata lain hasil pembelajaran PAI ditentukan oleh metode pembelajarannya
dan kondisi pembelajaran di lapangan. Oleh karena itu Dosen dituntut untuk
memahami kondisi pembelajaran lebih mendalam yang kemudian kondisi tersebut
dikendalikan dan diarahkan dengan metode atau strategi yang tepat.
Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam menentukan suasana
pembelajaran adalah metode serta waktu dalam pengimplementasian evaluasi. Menurut
Muhaimin evaluasi bermanfaat untuk diketahuinya tingkat perubahan belajar
mahasiswa terhadap bahan atau materi ajar, metode, dan sarana tertentu yang
digunakan untuk tercapainya tujuan yang telah direncanakan. Intinya evaluasi
merupakan alat pengukur tercapainya proses interaksi pembelajaran.[16]
Dapat disimpulkan evaluasi merupakan salah satu faktor penting dalam proses
pembelajaran di kelas. Evaluasi di sini tidak hanya berupa ujian formal saja
semisal Ulangan Harian, UTS, dan UAS namun juga evaluasi secara bertahap tiap
satu kali pertemuan untuk diketahui perkembangan kognitif, afektif, dan
psikomotorik mahasiswa.
Lebih detailnya menurut Husnul Atiah tentang kualitas sistem
pembelajaran disampaikan “proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik
apabila seorang pendidik mampu mengatur waktu yang tersedia dengan sebaik
mungkin.”[17]
Dapat disimpulkan faktor waktu dan kemampuan Dosen dalam pengaturan waktu
berperan pada pengaruh kualitas pembelajaran. Berikut telah diidentifikasikan
oleh Husnul ada empat fungsi umum yang merupakan ciri pekerjaan seorang
pendidik sebagai manajer sehingga sangat berpengaruh pada kualitas kondisi
pembelajaran PAI adalah:
1) Perencanaan;
merupakan pekerjaan pendidikan dalam penyusunan tujuan belajar.
2) Pengorganisasian;
adalah kemampuan pendidik dalam pengaturan dan berperan aktif pada penghubungan
sumber-sumber belajar terhadap peserta didik, sehingga dapat terwujud tujuan
pembelajaran dengan cara yang paling efektif dan efisien.
3) Kepemimpinan;
adalah tugas pendidik untuk pemberian motivasi, pendorong, dan pemberi
stimulasi peserta didiknya sehingga mereka akan siap dalam upaya perwujudan
tujuan pembelajaran.
4) Pengawasan;
adalah pekerjaan seorang pendidik pada penentuan apakah fungsinya dalam
pengorganisasan dan kepemimpinan telah berhasil dalam mewujudkan tujuan yang
telah dirumuskan.[18]
Lebih spesifik selain dari beberapa
poin faktor di atas menurut Rohmat ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas
pendidikan yaitu ”faktor pendidik, faktor peserta didik, faktor kurikulum,
faktor pembiayaan, dan lain-lain.”[19]
Sedang untuk mempertegas realitas kualitas proses pembelajaran PAI selama ini,
maka perlu dipaparkan pendapat Sukirman, berikut pendapatnya:
Suatu kenyataan yang dihadapi dunia pendidikan
khususnya Pendidikan Agama Islam di lembaga pendidikan formal saat ini, adalah
rendahnya kualitas manajerial pembelajaran baik pada tataran perencanaan,
pelaksanaan maupun cara pengendaliannya, akibatnya proses pembelajaran
pendidikan Agama Islam kurang berhasil dalam pembentukan perilaku positif
peserta didik. Lemahnya aspek metodologi yang dikuasai oleh guru juga merupakan
penyebab rendahnya kualitas pembelajaran. Metode yang banyak dipakai adalah
model konvensional yang kurang menarik. Ketidakberdayaan pendidikan agama dalam
menginternalisasikan nilai-nilai agama juga merupakan salah satu faktor
penyebab munculnya output yang tidak mampu mengemban misi pendidikan nasional
yaitu menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. Oleh
karenanya rekonstruksi terhadap manajemen program-program pembelajaran agama
mutlak dilakukan demi tercapainya tujuan yang diharapkan.[20]
Selain beberapa
faktor di atas, kualitas sistem
pembelajaran PAI juga dipengaruhi oleh karakteristik kelas. Variabel
karakteristik kelas tersebut antara lain pertama
besarnya ukuran kelas (class size) artinya banyak sedikitnya jumlah
mahasiswa yang ikut serta pada proses pembelajaran. Kedua suasana pembelajaran yaitu suasana pembelajaran yang
demokratis dapat menjadi pemberi peluang dalam pencapaian hasil pembelajaran
yang optimal dibandingan dengan suasana yang kaku, disiplin yang ketat dengan
otoritas penuh pada pendidik. Dan ketiga
fasilitas serta sumber pembelajaran yang tersedia
di mana sering ditemukan dalam proses pembelajaran di kelas posisi
pendidik sebagai sumber pembelajaran satu-satunya.
Padahal seharusnya peserta didik diberi kesempatan untuk berperan sebagai
sumber pembelajaran pada proses pembelajaran.[21]
Faktor pembelajaran
PAI di kelas juga bisa dititik tekankan pada organisasi kelas dan organisasi
lembaga perguruan tinggi secara umum, baik secara formal maupun non formal.
Misalnya hirarkinya, kekuatan pengaruh, nilai-nilai yang tertanam dalam kelas
atau pada lembaga perguruan tinggi yang dibangun oleh mahasiswa, dan iklim
sosial psikologisnya.[22]
Dengan kata lain tiap mahasiswa berada tidak bisa lepas dari lingkungan sosial
kelembagaan perguruan tinggi. Di dalamnya juga mereka berhak atas kepemilikan
kebutuhan dalam berkedudukan dan berperan untuk mendapat pengakuan temannya dan
lingkungan kampusnya. Jika seorang mahasiswa diterima, maka ia dengan mudah
menyesuaikan diri dan segera dapat belajar. Sebaliknya, jika ia tertolak, maka
ia akan merasa tertekan.[23]
Hal ini tentu juga berlaku bagi Dosen PAI yang membutuhkan pengakuan secara
akademis, sosial, moral, dan administrasi terutama dari sesama Dosen PAI dan
juga dari lingkungan kampus secara umum.
Faktor-faktor
di atas dalam
banyak hal sering saling berkaitan dan berpengaruh satu sama lain. Seorang
mahasiswa yang bersikap konservatif (faktor internal) terhadap ilmu pengetahuan
atau bermotif eksentrik (faktor eksternal) biasanya cenderung mengambil
pendekatan belajar sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seorang mahasiswa
yang berinteligensi tinggi (faktor internal) dan ada dorongan positif dari
orang tuanya (faktor eksternal) akan cenderung digunakan pendekatan belajar
yang lebih pada kepentingan kualitas hasil belajar.[24]
Oleh karena itu sebagaimana penjelasan sebelumnya Dosen memiliki peran penting
untuk mengatur dan melusurkan niat (motivasi) mahasiswa dalam ikut serta kuliah
PAI.
Dari pembahasan
dia atas maka dapat disimpulkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kualitas sistem pembelajaran PAI adalah sebagaimana berikut:
1) Faktor mahasiswa; mahasiswa punya
karakteristik dan perbedaan satu sama lain, mulai dari fisik, gaya belajar,
motivasi belajar, kecerdasan, orientasi bersekolah, cita-cita, dan berbagai
perbedaan lain.[25]
2) Faktor sarana prasarana; sarana adalah
segala yang jadi pendukung secara langsung terhadap proses pembelajaran, contohnya
media, alat, perlengkapan sekolah, dan perpustakaan. Sedangkan prasarana
merupakan segala yang jadi pendukung secara tidak langsung bagi keberhasilan
proses pembelajaran seperti kamar kecil, penerangan, taman, dan infrakstuktur
kampus yang lain.
3) Faktor lingkungan; dibagi menjadi dua
faktor yaitu faktor organisasi kelas dan
faktor iklim sosio psikologis.[26]
4) Faktor Keluarga; mahasiswa berangkat ke kampus dari rumah tidak hanya
membawa buku serta peralatan dan sumber belajar lainnya. Namun juga membawa latar
belakang ideologi dari rumah (mazhab),
serta dibawa pula asumsi-asumsi dasar yang ia bangun dari lingkungan keluarga.
Hal tersebut sebagaimana menurut Slameto Faktor keluarga dibagi menjadi tiga
yaitu cara orang tua dalam pendidikan anak, relasi antar anggota keluarga,
suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar
belakang budaya.[27]
5) Faktor Waktu; Faktor waktu dapat dibagi
dua, yaitu yang bersangkutan dengan jumlah waktu dan kondisi waktu. Di mana
jumlah waktu diidentifikasikan ke dalam berapa jumlah jam pelajaran yang
tersedia untuk proses pembelajaran. Sedangkan yang menyangkut kondisi waktu
ialah kapan pembelajaran itu dilaksanakan. Pagi, siang, sore atau malam,
kondisinya akan berbeda. Hal tersebut akan menjadi pengaruh terhadap proses
pembelajaran yang terjadi.[28]
[1]Tidak mengherankan jika terdapat
kesimpulan dari sebagian kalangan ahli pendidikan bahwa terjadi ketidak efektifan metode pembelajaran PAI. Hal ini
sebagaimana pendapat Armai Arif yang dikutip oleh Ismail dikatakan bahwa persoalan-persoalan yang selalu
menyelimuti dunia PAI sampai saat ini adalah seputar tujuan dan hasil yang
tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat, dengan kata lain PAI belum bisa
membumi dengan realitas yang terjadi di Masyarakat. Selain itu metode
pembelajaran yang statis dan kaku, sikap dan mental pendidik yang
dirasa kurang mendukung proses, dan materi pembelajaran yang tidak progresif.
Lihat http://www.majalahpendidikan.com/2011/04/problematika-pai-di-sekolah.html, diakses pada tanggal 03 Januari
2013.
[2]H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan – Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara,
1995), 7.
[3]Asnawir & Basyaruddin Usman, Media
Pembelajaran (Jakarta: Ciputat Press 2002), 1.
[5]Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 2009),
153-154.
[6]Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan, 92.
[7]Nurcholish Madjid, “Masalah Pendidikan
Agama di Perguruan Tinggi Umum,” dalam Dinamika
Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 58.
[8]http://
www.majalahpendidikan.com/2011/04/problematika-pai-di-sekolah.html, diakses pada tanggal 03 Januari 2013.
[9]Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik
Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 179-180.
[10]Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag
RI, Pelaksanaan Pendidikan Agama, 24.
[11]Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,”
37-38.
[13]Abdul Aziz
Asy Syakhs, Kelambanan
dalam Belajar dan Cara Penanggulangannya (Jakarta: Gema Insani), 25-30.
[15]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam
di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 146.
[16]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, 148-149.
[17]Husnul Atiah, “Manajemen
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Sebagai Upaya Guru Dalam Menciptakan
Peserta didik Aktif di Sekolah Dasar Negeri 120/V Tungkal Harapan,” (Skripsi,
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) An – Nadwah Kuala Tungkal Kopertais Wilayah
XIII, Jambi,2010).
[18]Atiah, “Manajemen Pembelajaran
Pendidikan,” (Skripsi, Sekolah Tinggi Agama Islam ( STAI ) An – Nadwah Kuala
Tungkal Kopertais Wilayah XIII, Jambi,2010).
[19]Ali
Rohmad, Kapita Selekta Pendidikan (Tulungagung: STAIN Tulungagung,
2004), 20.
[20]Sukirman, “Manajemen Pengembangan Program Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di
Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Malang,” (Tesis MA., Universitas
Islam Negeri Malang, Malang, 2010), v.
[22]Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum
Tingkat Satuan pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), 202.
[24]“Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,“ http:// www.id.shvoong.com/social-sciences/education/2194125-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-pembelajaran/#ixzz2F0ahy41L, diakses
tanggal 05 Desember 2013.
[25]Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohammad, Belajar dengan Pendekatan PAILKEM: Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),
198-202.
[26]Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, 197-201.