Salah satu ciri utama perguruan tinggi umum adalah
adanya Tri Dharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian
yang mana menurut Muhammad Nuh dari ketiganya harus dilakukan secara utuh tidak
boleh dibeda-bedakan.[1]
Sebagaimana pada amanat Undang-undang Sisdiknas pada bab
VI tentang Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan pada Bagian keempat Pasal 20
ayat 2 “perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat.”[2]
Dari pernyataan tersebut konsekuensi
logisnya adalah seluruh Dosen tidak terkecuali Dosen PAI dituntut menjadi
contoh bagi mahasiswa dan elemen lainnya di kampus untuk aktif dalam tiga hal
tersebut, terutama dalam dunia penelitian.
Namun berdasarkan temuan Nana Sudjana dan
Awalkusumah bahwa penelitian yang dilakukan oleh para Dosen di perguruan tinggi
masih belum optimal, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini
karena umumnya Dosen lebih tertarik pada tugas pengajaran jika dibandingkan
dengan penelitian.[3]
Padahal dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, bab VI, pasal
24, ayat 2 dinyatakan “perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola
sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian
ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.”[4] Dengan
demikian dapat digambarkan bahwa kegiatan penelitian di perguruan tinggi
beserta hasil yang diperolehnya sangat penting sebagai penunjang dalam
pengembangan pembelajaran PAI.
Secara spesifik tugas utama Dosen dalam amanat
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada BAB XI
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pasal 39 ayat 2 diterangkan “pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan,
serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik pada perguruan tinggi.”[5] Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa hak serta kewajiban Dosen PAI baik di PTU suasta
maupun Negeri punya kesetaraan dengan Dosen mata kuliah lain, dalam konteks
penekannya adalah bidang penelitian. Dengan kata lain PAI tidak hanya berkutat
pada bidang pendidikan saja namun juga berperan aktif dalam penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat.
Secara umum pada perguruan
tinggi strategi pendidikan ditujukan pada penguasaan IPTEK (Ilmu Pengetahuan
Teknologi) agar mahasiswa dapat berkarya dan bersaing dalam forum
internasional. Paling tidak mahasiswa dituntut mampu menjadi pioner dalam penanggulangan
arus globalisasi yang lambat laun pasti terjadi semakin tak terkendali. Namun
IPTEK saja tidak cukup perlu penekanan pada budaya kerja atau etos kerja yang
positif. Etos kerja sangat penting sebagai pembentukan karakter masyarakat
walaupun pembentukannya relatif sulit karena sifatnya yang sangat mendasar. Di
mana pembentukan etos kerja dapat dilakukan melalui pembentukan pribadi dengan
berbagai kegiatan pendidikan, keteladanan, dan bimbingan.[6]
Di mana PAI sebagai mata kuliah pengembangan kepribadian punya peran dalam
pembentukan karakter seperti tersebut.
Secara ideal ciri lain Pendidikan Agama Islam
di PTU adalah “perguruan tinggi mengupayakan terwujudnya suasana lingkungan
kampus yang kondusif dan tersedianya fasilitas yang mampu menumbuhkan interaksi
lintas agama yang religius untuk seluruh sivitas akademika.” Oleh karena itu
guna terwujudnya tujuan tersebut diperlukan sarana fisik meliputi perpustakaan
dengan literatur berbagai agama dalam judul dan jumlah yang memadai. Serta
disediakan ruang serbaguna untuk kegiatan akademik secara kelompok. Sedang
sarana non fisiknya adalah adanya peraturan yang menjadi pengantar sistem
interaksi akademik yang religius.[7]
Sedang
untuk penunjang tercapainya tujuan pembelajaran PAI perlu diadakan kegiatan
keagamaan di perguruan tinggi dilakukan dengan penuh makna. Artinya kegiatan
tersebut tidak hanya pengulangan-pengulangan (rutinitas) aspek ritual semata. Namun
lebih berperan sebagai manifestasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sunguh-sungguh bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan
umat. Serta diupayakan kehadiran PAI di PTU mampu menjadi payung atas kemajuan
ilmu pengetahuan teknologi, yang senantiasi berada pada rel agama dan diperoleh
dari inspirasi wahyu Allah.[8]
Dari
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri utama pembelajaran PAI di PTU
jika sandingkan dengan pembelajaran PAI pada jenjang pendidikan menengah adalah
keaktifan Dosen PAI dalam produktifitas penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Sedang jika disandingkan dengan pembelajaran mata kuliah agama
Islam di Perguruan Tinggi Agama maka pembelajaran PAI di PTU berfungsi sebagai
instrumen pengembangan kepribadian mahasiswa. Selain itu juga sebagai instrumen
bagi pengembangan mata kuliah lain, yang salah satunya terwujud dengan
mahasiswa berhasrat dalam pengembangan IPTEK secara progresif dan berkesinambungan.
Dapat dikatakan PAI di PTU merupakan mata kuliah yang bercirikan sebagai
pondasi bagi pembentukan mahasiswa yang cinta dalam pengembangan IPTEK untuk
kemaslahatan masyarakat dan dilandaskan pada nilai-nilai agama Islam.
[1]Dinna
Handini, “Nuh: Tri Dharma Perguruan Tinggi Harus Ditumbuhkan dan Ditegakkan,” Dikti on Line, http://www dikti.go.id/?p=8628&lang=id, 22
Maret 2013, diakses tanggal 12 Juni 2013.
[3]Nana
Sudjana dan Awalkusumah, Proposal
Penelitian di Perguruan Tinggi: Panduan bagi Tenaga Pengajar (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2008), 21-22.
[6]Satryo Soemantri Brodjonegoro,
“Strategi Kebijakan Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada PTU,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi,
ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 10.
[7]Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor:
43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu
Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi Pasal 11 (1).
[8]Madjid, “Masalah Pendidikan Agama,”
38.
University (sumber gambar todayline) |