BAB VI
Pemikiran Tentang Pengembangan Program Studi pada
Perguruan Tinggi Agama Islam
Kajian tentang pengembangan program studi (prodi)
dalam arti pengembangan kurikulum,[1]
penambahan jumlah, dan penggantian namanya di Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI) merupakan salah satu wacana baru. Mengingat, selama ini PTAI[2]
masih identik dengan perguruan tinggi yang hanya mengurusi persoalan akhirat
dan cenderung fokus pada penguasaan ilmu keagamaan. Meski gagasan tentang
pengembangan kurikulum PTAI yang termanifestasikan dalam penambahan prodi umum
(nonkeagamaan) sudah cukup lama beredar, tapi baru masa reformasi gagasan ini
mulai mendapatkan jalan terang. Yakni, tatkala adanya Undang-undang Otonomi
Daerah tahun 1999 yang berimbas pada otonomisasi dalam bidang-bidang tertentu.
Termasuk di dalamnya otonomi pendidikan di semua jenjang. Kemudian
ditindaklanjuti dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 24 ayat 1 dan 2.[3]
Pada kurun beberapa waktu
setelahnya, muncul Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan yang bisa menjadi landasan bagi PTAI dalam melakukan
pengembangan prodi. Salah satu isi yang terkait dengan itu adalah Pasal 184 Ayat
5: ”Kewenangan membuka, mengubah, dan menutup program studi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 58F ayat (2) huruf (b) butir (1.b) diberikan secara
bertahap kepada perguruan tinggi.”[4]
Meskipun ada kalanya terjadi perbedaan aturan pada bidang tertentu antara
Perguruan Tinggi yang dikelola pemerintah dengan perguruan tinggi swasta yang
dikelola masyarakat.
Lebih detail, setelah hadirnya
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi semakin menguatkan posisi
(secara hukum positif) pengembangan PTAI. UU tersebut memberikan keleluasaan
dan kewenangan penuh kepada PTAI.[5]
Meskipun pada kenyataan hanya PTAI yang berbentuk Universitas-lah yang
mendapatkan porsi seluas-luasnya untuk membuka prodi baru, utamanya prodi umum
(berbasis ilmu pengetahuan umum). Sedangkan yang berbentuk Institut masih ada
keterbatasan, terlebih lagi untuk Sekolah Tinggi[6]
tidak memiliki keleluasaan bahkan tidak berwenang untuk membuka prodi umum.
Adapun yang berbentuk Institut pada kenyataannya ada yang membuka prodi umum,
akan tetapi fakultasnya tetap berada di rumpun lama yaitu fakultas yang
berbasis keagamaan.
Dari penjelasan di atas, dapat
dikatakan semua bentuk PTAI pada dasarnya diberi keleluasaan untuk
mengembangkan kurikulumnya. Baik dilakukan dengan cara pengembangan muatan dan
corak keilmuan pada setiap mata kuliahnya maupun dengan penambahan mata kuliah
baru (mata kuliah umum) untuk meningkatkan keilmuan mahasiswanya. Dengan kata
lain, pengembangan Program Studi di PTAI di sini ada dua katagori. Pertama, pengembangan kurikulum[7]
(utamanya muatan materi atau mata kuliah) pada setiap fakultas dan prodi yang
sudah ada oleh PTAI berbentuk Sekolah Tinggi dan Institut.[8]
Kedua, pengembangan dengan cara
penambahan Prodi dan fakultas baru nonkeagamaan yang hanya bisa dilakukan oleh
PTAI berbentuk Universitas dan “sebagian” institut.
Dalam scope
keindonesiaan, PTAI merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional.
Ia harus punya kesinambungan keilmuan dengan jenjang pendidikan lain.[9]
Konsekuensi lainnya, PTAI senantiasa terikat dengan aturan perundang-undangan
dan aturan pemerintah. Dengan demikian, PTAI harus bisa menyesuaikan ritme yang berlaku yaitu antara
kepentingan pendidikan nasional dengan kepentingan (tujuan) institusi. Di mana
kepentingan nasional sekarang ini sedang membutuhkan generasi penerus bangsa
yang unggul dalam penciptaan dan pengembangan bidang ilmu pengetahuan umum,
teknologi, dan seni. Implikasinya, PTAI diberi tanggung jawab untuk membantu
kesuksesan misi tersebut. Dapat disimpulkan, PTAI tidak bisa lepas dari
kenyataan-kenyataan bahwa masyarakat dalam kehidupan yang serba kompleks ini
tidak hanya membutuhkan ilmu agama. Terlebih bila lulusan dari fakultas atau
program studi agama Islam pada beberapa prodi telah overload.
Sedang untuk kalangan umat Islam sendiri, sesungguhnya umat
Islam tidak hanya butuh ahli agama untuk
menghadapi kehidupan modern ini, akan tetapi juga ahli bidang ilmu pengetahuan
umum. Hal ini dilakukan supaya seluruh kepentingan hidup umat Islam bisa tercover oleh umat Islam sendiri yang
ahli di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Asumsi tersebut terbukti bahwa PTAI sekarang
ini kurang diminati[10]
oleh masyarakat. Fenomena itu terjadi karena peran PTAI masih dirasa kurang
memberikan manfaat bagi “sistem” kehidupan umat Islam di Indonesia.[11]
Baik dari segi moral, misalnya terjadinya fenomena pacaran bebas, fenomena
“ayam kampus,” penyalahgunaan narkotika, tawuran, dan perilaku amoral lainnya
ternyata tidak mendapatkan perhatian serius dari sarjana lulusan PTAI. Bahkan
bisa dikatakan mereka tidak mampu memberikan jalan keluar. Sedangkan, dari segi
pengembangan keilmuan secara teori dan praktik oleh para sarjana dari PTAI
masih diragukan kualitasnya.[12]
Dari semua pembahasan di
atas, dapat disimpulkan bahwa PTAI memiliki tugas berat yang harus diemban. Di
antaranya, bisa menemukan jati diri yang sesungguhnya, sehingga peran dan
fungsinya bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Yakni, jati diri yang
mampu berdiri sendiri dalam mengembangkan ilmu atau tidak mengekor pada PTU
meski dalam sektor tertentu tetap harus menjalin kerja sama dengan PTU. Dengan
demikian, untuk mewujudkan misi tersebut dibutuhkan beberapa cara, salah
satunya dengan pengembangan kurikulum melalui penambahan atau perubahan nama
mata kuliah serta penambahan atau perubahan nama program studi. Tentunya
penambahan atau perubahan nama tersebut tidak sekedar formalitas, akan tetapi
terjadi pengembangan subtansinya yang dari beberapa muatannya lebih baik dari
sebelumnya. Di mana untuk melakukan langkah itu dibutuhkan konsep dan pemikiran
yang lebih detail dibahas dalam bab ini.
A. Konsep
Dasar
1.
Hal-hal Terkait Tentang Perguruan
Tinggi Agama Islam di Indonesia
Berdasarkan
catatan sejarah, secara kelembagaan proses pendirian PTAI masa awalnya masih
berorientasi pada pendidikan di Timur Tengah. Utamanya dipengaruhi corak
Universitas al Azhar di Mesir, dengan bukti nama fakultas dan gaya kerjanya
cenderung meniru kampus tersebut. Sifat yang “mengekor”[13]
inilah yang secara terus menerus menyebabkan umat Islam Indonesia mengalami
kemandekan tradisi keilmuan pada PTAI. Selain juga karena pada saat itu adanya
kekakuan aturan (intervensi) dari penguasa. Padahal fenomena seperti ini bukan
merupakan identitas perguruan tinggi di negara maju.[14]
Bisa dikatakan, pada fase ini pengembangan PTAI sangat minim, bahkan tidak ada
sama sekali.
Walaupun
demikian, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa model al Azhar tidak
sepenuhnya diadopsi secara buta. Pada perkembangan selanjutnya PTAI juga
mendopsi sebagian sistem pendidikan dari Barat yaitu sistem kredit semester. Selain
itu, ada
dua fakultas di IAIN yang tidak ditemukan pada al Azhar yaitu fakultas Tarbiyah
dan Dakwah. Ciri khas IAIN lain yang menjadi pembeda dengan al Azhar adalah
pada rumusan tujuannya. Yakni, untuk mencetak ahli ilmu agama yang aktif dalam
pengembangan harmoni antarumat beragama dalam bingkai masyarakat Indonesia yang
majemuk. Pada tingkat ideologi, salah satu alasan banyak ulama Indonesia untuk
diadakan pengembangan PTAI secara mandiri adalah keyakinan mereka bahwa Islam
telah berkembang melalui berbagai corak, sesuai dengan konteks histori dan
budaya[15]
yang berbeda-beda. Serta harapan mereka bahwa Islam terus berkembang sedemikian
rupa di masa depan. Oleh karena itu, ilmu agama Islam di Indonesia tidak
mengikuti secara mutlak dari model timur tengah atau model rujukan lain.[16]
Pada
tahap selanjutnya, karena berbagai dampak perkembangan politik, perundang-undangan
(aturan), dan peningkatan ekonomi bangsa Indonesia maka terjadilah pembaruan
PTAI melalui pembukaan program studi baru.[17]
Hal tersebut frekuensinya semakin tinggi utamanya pasca reformasi 1998,[18]
sehingga bisa dikatakan pada masa itu sebagai fase pembaruan PTAI. Sikap
fleksibel tersebut dilakukan guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui
jalur pengembangan ilmu-ilmu umum. Pada fase inilah pengembangan program studi
baru di PTAI dilakukan secara intensif, utamanya untuk PTAI yang berbentuk
universitas.
Selama
ini permasalahan pengembangan prodi PTAI masih berkutat (difokuskan) pada bagaimana
cara menambahkan mata kuliah baru yang didasarkan ilmu umum serta penambahan
prodi baru nonkeagamaanan. Padahal, sesungguhnya pembaruan dan pengembangan
kurilukum yang diwujudkan dalam pembentukan prodi baru saja tidaklah cukup.
Bagaimanapun, banyak kendala yang dihadapi ketika kurikulum tersebut
diberlakukan, diantaranya:
a.
Faktor Dosen[19]
yang belum memiliki kualitas keilmuan integratif yang memadai.
b.
Faktor mahasiswa yang diterima di IAIN kebanyakan berasal
dari mahasiswa yang tidak diterima di tempat lain (limpahan PTU).
c.
Faktor buku yang memenuhi standar pada masing-masing
bidang ilmu yang diajarkan di PTAI.
d.
Faktor jaringan dan penelitian di kalangan civitas
akademika.
e.
Faktor bidang ilmu dan mata kuiah yang diajarkan masih
tidak jauh beda seperti yang diajarkan pada pesantren.[20]
Kelemahan
lain pada IAIN sebagai PTAI pada umumnya
ada tiga yaitu, masih rendahnya orientasi akademik, rendahnya orientasi
manajemen, dan terlalu menjadikan agama sebagai objek akal semata. Salah satu
peluang untuk mengatasi masalah tersebut adalah adanya PP No. 60 tahun 1999. Dengan
itu kini IAIN mempunyai kewenangan luas untuk membentuk lembaga-lembaga yang
diperlukan dalam penyelenggaraikan Perguruan Tinggi (baik jurusan/prodi maupun
fakultas dan lembaga-lembaga lain).[21]
Dari
pembahasan di atas, dapat di simpulkan bahwa pada mulanya tujuan dibentuknya
PTAI di Indonesia sangat sederhana. Yakni, berkutat atau dilatar belakangi pada
masalah politik, mempertahankan corak keagamaan, dan karena hasrat umat Islam
untuk punya Perguruan Tinggi sendiri. Di mana untuk program studi yang
ditawarkan juga masih sangat sedikit serta hanya menyentuh aspek ilmu agama
Islam. Bisa dikatakan, landasan dasar pendirian PTAI pada saat itu masih dalam
sekup tujuan jangka pendek (pragmatis). Namun, setelah diadakan pengembangan
kurikulum di PTAI keadaan tersebut berangsur hilang. Sampai pada sekarang ini,
karena adanya kebebasan dalam pengembangan kurikulum telah menyebabkan banyak
PTAI berinovasi untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Ada yang diwujudkan pada
penambahan atau perubahan mata kuliah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
serta ada yang menambah prodi baru pada setiap fakultasnya.
2.
Landasan
Fondasional Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam
Secara bahasa “landasan” berarti alas, pijakan, dan
tumpuan. Sedangkan “fondasional” berasal dari kata fondasi yang berarti
fundamen, di mana kata “fundamen” memiliki arti mendasar (pokok). Sedangkan
kata “pengembangan” berarti proses atau cara yang dilakukan untuk mengembangkan
sesuatu.[22]
Adapun Program Studi memiliki arti “kesatuan kegiatan pendidikan dan
pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam
satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan
vokasi.”[23]
Dengan demikian, secara istilah kata “landasan fondasional” berarti pijakan
atau tumpuan yang dilakukan secara (bersifat) mendasar atau pada pokok
permasalahannya. Adapun “pengembangan program studi” memiliki arti proses atau
cara yang dilakukan untuk mengembangkan (merubah) kurikulum dan sistem
pembelajarannya pada satuan kegiatan pendidikan yang difokuskan pada satu jenis
pendidikan akademik, pendidikan profesi, atau pendidikan vokasi.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan, landasan
fondasional pengembangan prodi pada PTAI berarti alasan mendasar atau paling
pokok yang dijadikan pijakan dalam proses menjadikan lebih baik segala sesuatu
(utamanya kurikulum dan sistem pembelajarannya) yang terkait prodi pada PTAI.
Berpangkal tolak dari penjelasan tersebut dapat dirumuskan bahwa landasan
fondasional diadakannya pengembangan prodi pada PTAI adalah karena mutu (keilmuan)
PTAI masih dianggap rendah.[24]
Serta mutu lulusannya kurang memenuhi harapan masyarakat.
Bahkan sumbangannya terhadap pengembangan ilmu agama Islam pun belum dianggap
signifikan. Hal tersebut terjadi karena kelemahan kurikulum PTAI, yaitu:
a. Kurikulum
yang kurang relevan dengan PTAI tetap dipertahankan, banyak prodi yang tidak
diminati masyarakat tetap dipertahankan.
b. Kurikulum
yang kurang efektif, tidak ada jaminan bisa dihasilkan lulusan yang sesuai
harapan.
c. Kurikulum
yang kurang efisien, terlalu banyaknya mata kuliah, dan sks yang tidak bisa
menjamin dihasilkan lulusan yang sesuai harapan.
d.
Kurikulum yang kurang fleksibel, PTAI kurang berani
secara kreatif dan bertanggung jawab untuk memperbarui kurikulum yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
e.
Kurikulum yang readibility
sangat rendah, tidak komunikatif sehingga bisa menimbulkan salah tafsir.
f.
Kurikulum yang hanya terwujud dalam deretan mata kuliah
tanpa makna jelas.
g.
Kurikulum yang terfokus pada bagaimana isi serta
menyampaikan mata kuliah, bukan pada tujuan (nasional, institusional,
kurikuler, dan intruksional).
h.
Kurikulum yang hubungan fungsional antar mata kuliah yang
mengacu pada tujuan kurikuler masih kurang jelas.[25]
Masih menurut penjelasan
Muhaimin bahwa mengenai pengembangan kurikulum di PTAI harus memperhatikan hal
berikut ini:
Masyarakat Indonesia bersifat plural, serba ganda dan
beragam, sehingga tidak adil bila segala-galanya harus disamakan. Karena itu,
pengembangan kurikulum harus mampu memberi peluang kepada masing-masing PTAI
untuk berimprovisasi dan berkreasi untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhannya. Di samping itu masyarakat bersifat dinamis dan
berkembang, sehingga memerlukan kemampuan untuk beradaptasi dan/atau kesiapan
untuk berhadapan dengan dinamika perubahan dan perkembangan yang ada.[26]
Lebih detail, Ahmad Syafi’i
Maarif menyampaikan bahwa pada saat ini dunia telah memasuki peradaban modern
sekuler. Di mana cara pandang[27]
manusia tidak lagi hirau pada kehidupan hari esok yang jauh, terlebih untuk
kehidupan akhirat. Bukan sebuah perkara gampang bagi PTAI untuk menanamkan
nilai-nilai dasar Islam ke pada setiap mahasiswa. Selain itu, kurikulum PTAI
yang tergejawantah dalam pembagian prodi hingga ke mata kuliah dirasa masih
belum menyentuh kategori-katagori ilmu dalam al Quran yang sangat luas. Kurikulum yang “parsial”[28]
ini dirasa sudah tidak bisa lagi mengatasi arus modernisme yang semakin liar.[29]
Dengan kata lain, umat Islam sekarang ini membutuhkan kesegaran ilmu.[30]
Manusia sekarang ini tidak hanya membutuhkan ahli agama (ulama) yang kadangkala
arahnya saling bertolak belakang dengan kebutuhan hidup modern umat manusia.
Namun juga membutuhkan ahli-ahli di bidang ilmu lain yang bisa menunjang dan
mengatasi permasalahan kehidupan dunia modern yang semakin tak menentu arahnya.
Pernyataan
tersebut hampir sama dengan pendapat Fadil Lubis, sebagaimana yang dikutip oleh
Muhaimin, bahwa studi Islam mengandung makna luas,[31]
yang mencakup tiga bidang pokok kajian, yaitu:
a.
Studi Islam yang bertumpu pada studi kewahyuan yang
diwujudkan dalam bentuk mata kuliah sumber ajaran (al Quran dan Hadith)
beserta seperangkat ilmu yang terkait langsung dengannya.
b.
Studi Islam sebagai bagian dari pemikiran atau bagian
dari fiqh dalam arti luas. Dalam
sejarah pemikiran Islam setidak-tidaknya ada lima bidang pemikiran Islam yang
menonjol, di antaranya: akidah teologi, hukum dalam arti luas, filsafat,
akhlak-sufisme, dan ilmu pengetahuan-teknologi-seni. Untuk yang bidang terakhir
ini mencakup ilmu hitung, matematika, aristektektur, maupun astronomi dll.
Bidang yang terakhir ini masih belum banyak dikaji pada IAIN/STAIN.
c.
Studi Islam sebagaimana yang sedang dialami umat Islam,
diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan. Sumber kajiannya berasal dari al Quran dan Sunah, yang kemudian
dijabarkan dalam berbagai pemikiran, ajaran Islam kemudian diamalkan dan
diterapkan oleh umat Islam hingga membentuk peradaban Islam yang telah berabad-abad
menyinari dunia. Pada masa kini, dalam konteks PTAI masih mencakup bidang
tarbiyah (pendidikan), dakwah, dan hukum.[32]
Selanjutnya,
apabila dilihat dari dimensi filosofis, yaitu paradigma pendidikan Islam
sebagai upaya pengembangan pandangan hidup Islami, maka pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi seharusnya bertolak dari suatu pandangan yang theosentris.[33]
Di mana proses dan produk pencarian maupun penemuan IPTEK lewat studi,
penelitian, dan ekperimen serta pemanfaatnya dalam kehidupan merupakan
realisasi dari misi kekhalifahan dan pengabdiannya kepada Allah. Baik ketika di
dunia hingga pada kehidupan ukhrawi hanya
dalam rangka mencari ridha-Nya.[34]
Selain itu, bila dilihat perkembangan selanjutnya maka terdapat beberapa
kecenderungan baru sebagai respon dari tuntutan dan tantangan yang berkembang
di masyarakat. Beberapa kecenderungan itu adalah:
a.
Pelaksanaan studi keislaman yang mengarah pada pendekatan
non-mazhabi. Hal ini relevan dengan
fenomena pluralisme dan multikulturalisme yang sedang berkembang, sehingga
sektarianisme bisa diminimalkan.
b.
Pergeseran paradigma studi keislaman, dari yang bersifat
normatif ke arah yang lebih historis, sosiologis, da empiris. Dengan artian,
terjadi perpaduan antara empirik dengan sumber wahyu untuk saling mengontrol. Di
mana wahyu mengontrol untuk menghasilkan teori yang kredibel dan bermanfaat,
sedangkan hasil empirik mengontrol proses memahami (penafsiran) wahyu.
c.
Terkait orientasi keilmuan yang cakupannya lebih luas.[35]
Penjelasan
lain, yang menjadi alasan[36]
mengapa PTAI sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam perlu mengadakan
pengembangan prodi dikarenakan PTAI punya karakteristik berikut:
a.
Penekanan pada pencarian, penguasaan, dan pengembangan
ilmu pengetahuan (dalam semua bidang) atas dasar ibadah kepada Allah
b.
Pencarian, penguasaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan
merupakan proses yang berkesinambungan (long
life education). Asumsinya, ilmu menurut konsep Islam bukan dibuat, tapi
dicari oleh manusia sehingga tidak pernah ada henti-hentinya.
c.
Dalam proses pencarian, penguasaan, dan pengembangan ilmu
pengetahuan mengutamakan penekanan nilai-nilai akhlak.[37]
Asumsinya, ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai, akan tetapi bebas untuk
dinilai, sehingga mengkritisi atau menilainya merupakan salah satu akhlak
terpuji.
d.
Pengakuan akan potensi dan kemampuan individu untuk
berkembang sesuai denga kepribadian. Artinya, Islam mengakui eksistenis potensi
manusia yang dapat ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin dalam menjalankan tugas
hidupnya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya.
e.
Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab
kepada Allah dan masyarakat manusia sehingga pengembangan IPTEK tidak
menimbulkan malapetaka, tetapi untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemaslahatan umat manusia.[38]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa landasan
fondasional pengembangan prodi pada PTAI adalah terjadinya kecenderungan baru
(pergeseran paradigma) tentang keilmuan. Di mana, ilmu tidak lagi dipandang
sebagai kesatuan yang tunggal, tapi ilmu adalah sesuatu yang wilayah kajiannya
sangat luas bahkan tak terbatas. Oleh sebab itu, umat Islam tidak hanya
diwajibkan mempelajari ilmu agama saja, tapi juga ilmu lain (fardhu kifayah) sebagai sarana membangun
peradaban Islami. Selain itu, adanya semangat pengembangan prodi ini karena
kesadaran diri dari sebagian umat Islam untuk segera keluar dari kemandegan
pengembangan ilmu pengetahuan. Setelah selama beberapa abad terakhir ini ilmu
pengetahuan beserta produknya dikuasai Barat. Hal ini bukan berarti misi untuk
merebut kejayaan ilmu pengetahuan tersebut, langkah itu masih sangat terlalu
jauh. Namun, usaha tersebut masih dalam taraf penataan kembali epistemologi
Islam[39]
yang bisa menjadi dasar (acuan) ilmuwan Islam dalam pengembangan peradaban.
3.
Landasan Operasional
Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam
Kata “operasional” memiliki arti secara
(bersifat) operasi atau berhubungan dengan operasi. Sedangkan kata “operasi”
salah satunya berarti “pelaksanaan rencana yang telah dikembangkan.”[40]
Bila mengacu pada penjelasan sebelumnya maka “landasan operasional” punya arti
pijakan atau tumpuan yang dilakukan secara (bersifat) praktik dari rencana yang
telah dikembangkan. Dengan demikian, landasan operasional pengembangan prodi
pada PTAI berarti alasan praktis-implementatif yang dijadikan pijakan dalam
proses menjadikan lebih baik (sempurna) segala sesuatu (utamanya kurikulum dan
sistem pembelajarannya) yang terkait prodi pada PTAI.
Dari pemaparan tersebut, dapat digambarkan tentang
landasan operasional pengembangan prodi pada PTAI adalah agar lulusannya mampu
berkiprah di berbagai sektor kehidupan dan berbagai bidang
keahlian, serta berada pada seluruh strata kehidupan dan keahlian. Oleh karena
itu, perlu dikembangkan kajian bidang-bidang ilmu yang lebih luas,[41]
sehingga bisa mencetak generasi muslim yang ahli dalam dunia pendidikan,
psikologi, kebudayaan maupuan sastra, ekonomi, sosiologi, ilmu alam, dan ilmu
lainnya. di mana semua bidang keahlian tersebut didasarkan pada nilai-nilai
agama Islam.[42]
PTAI
saat ini berada pada taraf pengembangan diri, baik pada tataran kurikulumnya
maupun kelembagaannya. Oleh karena itu, dalam era informasi seperti sekarang ini
menjadi peluang dan tantangan bagi sistem pendidikan Islam pada PTAI, yaitu
dengan mengisi peluang dan menjawab tantangan tersebut. Dengan demikian PTAI
harus bisa membangun rancang-bangun sistem pendidikan Islam yang berwawasan
masa depan (the future thinking) dan
bisa menjadi pelopor dalam pelaksanaannya.[43]
Oleh karena itu, secara praktis operasional PTAI harus benar-benar memiliki
karakteristik perguruan tinggi yang benar-benar ideal dan bermanfaat bagi
peradaban. Sebagaimana menurut Jusuf Amir Faisal bahwa ada beberapa
karakteristik perguruan tinggi, yaitu:
a.
Lembaga pendidikan yang fleksibel, mudah bergabung atau
bekerja sama[44]
dengan lembaga lain sehingga dimungkinkan untuk diadakannya pembicaraan terkait
masalah-masalah tertentu yang di lembaga lain tidak dapat dibicarakan.
b.
Lembaga pendidikan tinggi yang berfungsi sebagai
peningkatan martabat masyarakat. Perguruan tinggi semacam ini hanya untuk
memenuhi hasrat akademis (intelektual) masyarakat, meskipun pada akhirnya lulusan tidak dibutuhkan oleh masyarakat
karena program studinya sudah terlalu banyak.
c.
Lembaga pendidikan tinggi yang berfungsi sebagai pencetak
generasi profesional.
d.
Lembaga pendidikan tinggi yang berfungsi sebagai pencetak
tenaga ahli dalam bidang masing-masing. Misalnya karena literatur yang
dikuasinya,maka ia mampu menyampaikan pendapat relatif lebih teratur dari pada
lulusan lembaga lainnya. Bisa juga karena pengalaman (sering praktik) ketika
menghadapi masalah, ia mempunyai gaya yang lebih meyakinkan (percaya diri) dari
pada lulusan lembaga lainnya.[45]
Selain
itu, secara teknis lapangan (dunia nyata) ada beberapa alasan untuk menuntut
lembaga pendidikan tinggi (termasuk PTAI) bisa berperan aktif dalam pembangunan
nasional. Hal ini tidak lain karena adanya perubahan kecenderungan secara
global yang dapat mengancam pembangunan nasional. Di antaranya adalah
terjadinya pergeseran paradigma tenaga kerja dari skill jobs menjadi knowledge
jobs, perbandingan yang tidak
seimbang antara jumlah lulusan perguruan tinggi dengan kesempatan kerja, dan perubahan
orientasi dari Teaching University ke
Research University. Kecenderungan
secara global lainnya adalah adanya penekanan orientasi terhadap pengembangan
ilmu, orientasi terhadap pembiayaan perguruan tinggi secara mandiri, berasal
dari hasil kekuatan intelektual (jasa, layanan, informasi, rekayasa). Serta penerapan
pola tunggal dalam pembinaan pendidikan tinggi yang mencakup PTN dan PTS.[46]
Adapun
dilihat dari sisi kajian sejarahnya, aspirasi umat Islam pada umumnya untuk
pengembangan PTAI didorong oleh beberapa tujuan. Pertama, agar ilmu agama Islam tidak mengalami stagnasi, sehingga
kajian dan pengembangan ilmunya dilakukan secara sistematis dan terarah. Kedua, sebagai misi dakwah Islam dalam
arti luas. Yakni, membawa dan menginternalisasikan nilai-nilai Islam masuk ke
dalam semua unsur kehidupan (politik, ekonomi, komunikasi, arsitektur,
teknologi, dan sebagainya). Ketiga,
sebagai upaya kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan
birokrasi maupun swasta, serta lembaga-lembaga lainnya.[47]
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa landasan operasional
pengembangan PTAI pada aspek sejarahnya adalah melakukan pengembangan lulusan,
lembaga, kurikulum, dan keilmuan dengan seluas-luasnya.
Sebagaiman
menurut Muhaimin, bila PTAI ingin mengemban misi pengembangan kajian ilmu
keislaman, maka perlu ditelaah dulu apa saja unsur atau kandungan ilmu agama
Islam itu.[48]
Kemudian dia membuat tabel tentang perkembangan ajaran Islam dalam realtias
sejarahnya yang telah berhasil mengantarkan pada kejayaan Islam di masa silam.
Dari kenyataan sejarah tersebut selanjutnya Muhaimin mengaitkannya dengan
pengembangan prodi di PTAI. Dari tabel tersebut, kemudian penulis adaptasikan
dalam bentuk tabel ringkas sebagaimana yang tergambar di bawah ini:[49]
Tabel 6.1 Pengembangan Prodi Berdasarkan Nilai
Kesejarahan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Dunia Islam
Ilmu dasar
(zaman perkembangan Islam)
|
Tafsir, hadith, aqidah, fiqh, falsafah Islam, tasawuf, dan tarekat.
|
|||||
Pengembangan ilmu dasar
|
Muammalah
|
Sains dan Seni
|
Bahasa dan Sastra
|
Kependidikan
|
Psikologi
|
Syiar dan Dakwah Islam
|
Pengembangan Prodi yang diusulkan
|
Ilmu politik,
Ilmu ekonomi,
Ilmu peradilan,
Antropologi,
Sosiologi,
Pendidikan, PKn/PPK, dll
|
Biologi,
Kedokteran,
Matematika,
Teknik Kimia-Fisika-Sipil,
Pendidikan IPA,Ttari tradisional, dll
|
Bahasa dan sastra arab,
Bahasa dan sastra
inggris,
Pendidikan bahasa asing,
dll
|
Pendidikan Islam
Pendidikan Dasar (PGMI dan PGSD)
Manajemen PI
Pendidikan Olah raga dll
|
Bimbingan dan konseling
Psikologi dll
|
Manajemen dakwah
Penyiaran dan komunikasi
Islam dll
|
Tujuan Umum
|
Syiar dan Dakwah Islam yang rahmatan
lil al-‘alamin dari semua
bidang keilmuan
|
Dari
tabel tersebut menunjukkan bahwa pada masing-masing bidang keilmuan Islam
terdapat aspek-aspek pengembangan “ilmu”. Hal ini sepantasnya menuntut Dosen
PTAI (sekaligus sebagai peneliti) untuk selalu mengkaji dan mengembangkan
ilmu-ilmu agama Islam tersebut di atas. Tentunya yang sesuai dengan bidang
keahliannya masing-masing.[50]
Dengan demikian diharapkan tidak hanya dosen mata kuliah “umum” saja yang
dituntut untuk memahami ajaran atau nilai-nilai Islam, akan tetapi dosen mata
kuliah “keagamaan” Islam juga dituntut untuk memahami ilmu pengetahuan umum
secara luas. Dari penjelasan tersebut maka penulis dapat menggambarkan skema
tentang upgrading seluruh dosen PTAI,
agar kualitasnya sesuai dengan misi pengembangan prodi sebagai berikut:
Gambar 6.1 Pola Upgrade
Dosen PTAI yang Diambil atau Berasal dari PTU
a.
Pelaksanaan ajaran al
Quran, yaitu agar banyak mempergunakan akal.
b.
Pelaksanaan ajaran Hadith,
yaitu supaya menuntut ilmu bukan hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu yang sampai
ada di negeri China.
c.
Adanya pengembangan ilmu agama melalui berijtihad
sekaligus pengembangan ilmu pengetahuan (sains) dengan mempelajari dan
menguasai ilmu pengetahuan serta filsafat Yunani yang terdapat di timur tengah
pada zaman mereka. Tidak mengherankan bila di masa itu banyak lahir ulama fiqh,
tauhid (kalam), tafsir, hadith, ulama (ilmuwan) bidang sains (kedokteran,
matematika, optik, kimia, fisika, geografi), dan lain-lain.
d.
Ulama pada saat itu independen, bahkan menolak tawaran
sultan untuk dijadikan pegawai negeri.[51]
Selanjutnya,
Minhaji dan BA mengatakan bahwa dasar-dasar yang dijadikan landasan dalam
pengembangan dan pembidangan ilmu[52]
agama Islam ada tiga. Pertama, bangunan
keilmuan yang lebih mengutamakan hasil (orientasi “diterima” pasar), sehingga
lulusan PTAI bisa bersaing dengan lulusan lembaga lain. Kedua, bangunan keilmuan yang hanya konsentrasi pada tradisi
pemikiran klasik, pertengahan, dan modern. Ketiga,
bangunan keilmuan yang mengakomodasi dua hal tersebut, dengan meletakkan
tradisi ilmu Islam sebagai modal atau objek kajian dan ilmu umum sebagai pisau
bedah analisis.[53]
Dari semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
landasan operasional pengembangan prodi pada PTAI adalah disebabkan kualiatas
lulusan PTAI yang dirasa belum mumpuni bila dibandingan dengan perguruan tinggi
jenis lain, sehingga perlu diadakan perubahan kurikulum. Selain itu, dari
sektor kelembagaannya (utamanya kualitas dan fasilitas dosen) masih dirasa
sangat sederhana dan belum mumpuni untuk mencetak generasi Islam yang unggul. Selanjutnya,
bila ditinjau dari segi keadaan masyarakat global dan nasional yang semakin
kompleks menuntut PTAI untuk mampu mencetak genarasi yang unggul. Bisa dikatakan,
pengembangan prodi PTAI tidak lagi merupakan sebuah kewajiban praktis, namun
juga sebagai kebutuhan mendasar bagi umat Islam pada khususnya yang harus
segera dipenuhi.
[1]Pengembangan kurikulum pada prodi di PTAI dilakukan
dengan cara menambah mata kuliah baru (biasanya mata kuliah umum atau non
keagamaan) yang dianggap relevan dengan kebutuhan masyarakat (pasar) dan bisa
juga dengan mengadakan integrasi ilmu agama dengan umum secara konsisten-serius
agar tercipta ilmu baru yang menjadi ciri khas PTAI.
[2]PTAI terdiri dari dua jenis pengelola, yaitu PTAI Negeri
yang dikelola pemerintah dan PTAI Swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat
(biasanya berbentuk yayasan). Di mana menurut aturan dan kebijakannya antara
PTAIN dengan PTAIS juga dibedakan. Salah satu contohnya adalah pada Peraturan
Pemerintah Nomo 66 Tahun 2010 Pasal 53 B ayat 1 di mana jumlah penerimaan
mahasiswa untuk Perguruan Tinggi Negeri (yang diselenggarakan Pemerintah) wajib
menjaring mahasiswa baru program sarjana melalui pola penerimaan secara nasional
paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari jumlah peserta didik baru yang
diterima untuk setiap program studi pada program pendidikan sarjana. Lihat, “Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan,” dalam http://spi.um.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/PP-Nomor-66-Tahun-2010-Perubahan-Atas-PP-Nomor-17-Tahun-2010.pdf,
didownload tanggal 31 Oktober 2014.
[3]Pasal 24 Ayat 1 berbunyi: “Dalam penyelenggaraan
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku
kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.” Sedang
Ayat 2 mengamanatkan: “Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri
lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah,
dan pengabdian kepada masyarakat.” Lihat,
Undang-undang Republik Indonesia No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta:
Cemerlang, 2003).
[5]“Sejak terbitnya Undang-Undang nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam
nomor 3389 Tahun 2013 tentang Penamaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Fakultas
dan Jurusan pada Perguruan Tinggi Agama Islam, mendorong PTAI untuk [berlomba-lomba]
mengajukan penambahan pembukaan program studi baru dalam rangka mendukung
persyaratan perubahan alih status Institusi. Sebagai contoh, lembaga pendidikan
yang akan alih status dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) menjadi Institut
Agama Islam (IAI) harus memiliki program studi minimal 3 rumpun keilmuan.” Lihat, Subdit Akademik, “Pembukaan
Program Studi Baru PTAI Meningkat,” http://diktis.kemenag.go.id/index.php?berita=detil&jd=232#.VFMC2Mmupdg,
diakses tanggal 31 Oktober 2014.
[6]PTAI berbentuk Sekolah Tinggi hanya diberi wewenang
untuk mengembangkan kurikulum seluas-luasnya. Namun untuk pembentukan prodi
baru hanya dibatasi pada prodi yang serumpun dengan prodi lama. Langkah ini
mungkin dilakukan karena hanya PTAI bernbentuk Universitaslah yang dianggap
mumpuni untuk melakukan penambahan prodi umum. Mengingat konsekuensi menambah
prodi umum berarti harus menambah tenaga pengajar (yang menguasai ilmu
pengetahuan umum sekaligus agama), sarana prasarana, dan pengembangan kurikulum
baru. Selain itu menurut amanat Undang-undang bahwa Universitas dapat
menyelenggarakan pendidikan dalam berbagai rumpun ilmu, sedang Institut diberi
wewenang untuk menyelenggarakan pendidikan dalam sejumlah rumpun ilmu, dan
Sekolah Tinggi berhak mengadakan pendidikan vokasi dalam satu rumpun ilmu. Lihat, Pasal 59 ayat 2,3,4
“Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012
Tentang Pendidikan Tinggi,” http://www.dpr.go.id/id/undang-undang/2012/12/uu/PENDIDIKAN-TINGGI,
didownload tanggal 31 Oktober 2014.
[7]Tujuan kurikulum suatu lembaga PTAI bisa terspesifikan ke
dalam: tujuan institusi, tujuan fakultas, tujuan mata kuliah, dan tujuan
pembelajaran. Di mana tujuan tersebut tidak hanya difokuskan pada “pemahaman”
monodisipliner, yaitu dari aspek ilmu agama saja. tapi juga didasarkan pada
ilmu-ilmu umum sebagai penunjang serta menjadi pisau analisa dalam menemukan
maupun menyelesaikan masalah.
[8]Perguruan tinggi yang berbentuk Sekolah Tinggi hanya boleh
mengajarkan ilmu yang satu rumpun, misalnya ilmu keagamaan saja.
[9]Sekarang ini
madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam kurikulumnya tidak lagi
terlalu fokus pada materi keagamaan. Bahkan, banyak lulusan madrasah secara
keilmuan lebih menguasai ilmu umum daripada ilmu agama. Meski dalam mengembangkan
ilmu umum itu serta menjalani kehidupan sehari-hari mereka tetap menerapkan
nilai-nilai Islam. Implikasinya, tak
jarang lulusan madrasah yang jauh lebih berminat melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi umum (PTU) dari pada PTAI. Hal ini, salah satunya karena
mereka ingin mendalami ilmu pengetahuan umum yang lebih mereka kuasai serta
mereka harapkan bisa menjadi “modal” kesuksesan dalam menjalani hidup. Masalah
lainnya adalah karena madrasah lebih cenderung mendalami ilmu pengetahuan umum
maka kebutuhan pendidik ilmu pengetahuan umum lebih banyak dari pada pendidik
yang dihasilkan dari Fakultas Tarbiyah PTAI. Hal inilah yang menuntut PTAI
menggeser paradigma lamanya untuk membuka diri dengan cara mengembangkan diri
melalui penambahan mata kuliah ilmu umum dan bahkan membuka atau mendirikan
program studi umum.
[10]Adapun yang masuk ke PTAI biasanya telah mendapat
beasiswa atau saat kuliah dijanjikan mendapat beasiswa dari pemerintah atau
donatur lain. Serta alasan masuk ke PTAI biasanya karena tidak diterima di
kampus lain (PTU). Bisa juga karena SPP di PTAI dirasa sangat murah sehingga
menimbulkan semangat untuk berkuliah dengan tujuan mengangkat harkat dan
martabat di mata masyarakat bila mendapat gelar sarjana.
[11]Muhaimin, Struktur dan Anatomi Kurikulum Program Magister
Pendidikan Agama Islam, Makalah disajikan pada Orientasi Pengembangan Kurikulum
Program Magister (S2) Pendidikan Agama Islam PPs STAIN Samarinda, Tanggal 12
Maret 2012.
[12]Lulusan PTAI selama ini dipandang tidak memiliki
keahlian yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Atas dasar hal itu, maka
peninjauan ulang terhadap pembidangan ilmu di lembaga peruguruan tinggi agama
menjadi mutlak diperlukan. Lihat,
Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman BA, Masa
Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam (Jogjakarta: Arruzz,
2003), hlm. 38.
[13]Tardisi al Azhar sebagai perguruan tinggi menjadi
salah satu rujukan utama saat pendirian IAIN. Diantara fakultas di IAIN, tiga
di antaranya sama dengan fakultas di al Azhar (tahun 1930) yaitu Ushuluddin,
Syari’ah, dan Adab. Sistem ujian tahunan juga diambil dari al Azhar. Salah satu
faktor yang mendukung pengaruh model al Azhar adalah banyaknya lulusan al Azhar
yang memegang kedudukan penting di Departemen Agama dan merancang pendirian
IAIN. Lihat, Johan Hendrik Muleman,
“IAIN di Persimpangan Jalan,” dalam Problem
dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat
dan Hendro Prasetyo (Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm.
44.
[14]A. Qodri Azizy, “Mengembangkan Struktur Kefakultasan
IAIN,” Problem dan Prospek IAIN: Antologi
Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo
(Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm. 19.
[15]Terkait ini secara detail lihat, Husni Rahim, “IAIN dan
Masa depan Islam Indonesia,” dalam Problem
dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat
dan Hendro Prasetyo (Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm.
422.
[16]Muleman, “IAIN di Persimpangan,” hlm. 44.
[17]Pada perkembangan terakhir menurut Azizy pada beberapa
PTAI di Indonesia dalam satu dasawarsa ini dapat dikatakan unik. Yakni, meski
nama fakultas dan jumlahnya tetap (belum ada perkembangan) dalam satu kampus
PTAI akan tetapi jumlah jurusan (program studi) mengalami perkembangan yang
tidak selalu sama antar kampus. Lihat, Azizy,
“Mengembangkan Struktur Kefakultasan,” hlm. 21.
[18]Sebelum tahun 1997 sebagian besar posisi PTAI di
Indonesia masih sangat terpinggirkan, utamanya dari segi keilmuannya. Oleh
sebab itu, agar terjadi peningkatan kedudukan dalam jangka pendek, maka PTAI
harus mampu memperbarui kurikulumnya secara mendasar. Dari kurikulum tersebut
hasil akhirnya adalah bisa memiliki lulusan yang bertipe manusia ideal
seutuhnya (al-insan al-kamil). Lihat, Zamroni, “Sosok Ideal Pendidikan Tinggi Islam,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial (Yogyakarta:
Aditya Media, 1997), hlm 30.
[19]Bandingkan dengan pendapat Muhaimin tentang
keharusan dosen dalam mengembangkan profesinya sehingga punya beberapa
karakteristik ideal. Lihat, Muhaimin,
Paradigma Pendidikan Islam: Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2001), hlm. 61.
[20]Minhaji dan BA, Masa
Depan Pembidangan, hlm. 49-50.
[21]M. Atho Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan
Tinggi,” dalam Problem dan Prospek IAIN:
Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro
Prasetyo (Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm. 71.
[22]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip,
didownload tanggal 21 April 2014.
[23]Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Pasal 1 nomer 17.
[24]Pernyataan ini sama dengan apa yang disampaian Imam
Suprayogo, gambaran pendidikan tinggi Islam yang kelahirannya didasarkan pada
motivasi nilai-nilai idealisme yang tinggi, yaitu Islam yang rahmatan lil al-‘alamin. Pada kenyataannya kampus Islam, bahkan yang
berstatus negeri sekalipun masih kalah bila dibandingkan dengan UI, ITB, IPG,
UGM, UNAIR, dan kampus lainnya yang setara. Dan lebih ironis, ternyata juga
masih kalah bila dibandingkandengan perguruan tinggi swasta yang berada di
naungan yayasan Kristen, seperti Universitas Parahyangan, UKI, Atmajaya, Satya
Wacana, Petra, dan lain-lain. Lihat,
Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma
al-Qur’an: Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam (Malang:
UIN Malanga, 2005), hlm. 112.
[25]Muhaimin, Arah Baru
Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga
Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa, 2003), hlm. 209.
[26]Muhaimin, “Arah
Baru Pengembangan,” hlm. 216.
[27]Apabila ditinjau dari sudut pandang dinamika yang ada di
tingkat nasional dan internasional (global) maka penggunaan “paradigma baru”
bagi perguruan tinggi di Indonesia merupakan sebuah keharusan. Selain itu,
sebagai penunjang utama maka perlu diadakan reformasi besar-besaran mencakup
perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan itu
diharapkan Perguruan Tinggi dengan contents
pendidikan, metode, dan penyampaian pendidikannya mampu menjangkau kebutuhan
masyarakat yang lebih beragama dan luas. Lihat,
Azyumardi Azra, “IAIN di Tengah
Paradigma Baru Perguruan Tinggi,” dalam Problem
dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat
dan Hendro Prasetyo (Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000),
hlm. 4.
[28]“Pembidangan ilmu agama yang ada selama ini sudah
sepatutnya ditinjau ulang. Sebab, dalam situasi global yang menuntut skill dan penguasaan bahasa asing
(inggris dan arab), bidang ilmu yang ditawarkan oleh PTAI hanya cocok untuk
mencetak generasi penghafal tradisi klasik Islam. Bukan hanya itu, bidang ilmu
yang ditawarkan oleh PTAI adalah masih bersifat teologis-normatif-deduktif, bukan
empiris-historis-induktif.. Padahal, untuk abad 21 dan seterusnya, model
empiris-historis-induktif yang sering digunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan
perlu mendapat perhatian” Lihat, Minhaji dan BA, Masa Depan Pembidangan, hlm. 79.
[29]Ahmad Syafii Maarif, “Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Tinggi Islam Menghadapi Peradaban Modern,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial,
ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 21-22.
[30]PTAI mestilah adaptif terhadap perkembangan zaman,
terutama terkait dengan keilmuannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan keilmuan di PTAI adalah pertama
PTAI harus membuka program keilmuan yang mencakup ilmu-ilmu agama (perenial knowledge) dan juga ilmu-imu
pengetahuan umum (acquierd knowledge)
yang dikembangkan oleh manusia. Misalnya membuka fakultas sains, sosial,
humaniora, dan tentunya fakultas keagamaan. Kedua,
PTAI harus memprogramkan islamisasi ilmu, baik pada tataran ontologis, epistemologis,
dan aksiologisnya. Lihat, Haidar
Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan
Islam di Indonesia (Jakarta: Rineke Cipta, 2009), hlm. 96.
[31]Pengembangan PTAI melalui fakultas dan program
studinya yang lebih menekankan pada pengembangan ilmu agama Islamnya saja (parennial knowledge) ternyata telah
mendapat kritik. Hal ini karena pengembangan tersebut masih bersifat sangat
sektoral, hanya untuk kebutuhan umat islam saja yaitu mencetak ahli agama
Islam. Bila demikian, maka PTAI dikatakan tidak relevan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan maupun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan nasional. Lihat, Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen,
Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi pembelajaran (Jakarta: Rajawali,
2009), hlm. 241.
[32]Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 68-69.
[33]Pernyataan hampir sama juga dikatakan oleh Azizy,
bahwa tuntutan kualitas pada sebuah lembaga pendidikan erat kaitannya dengan
tuntutan pasar (masyarakat) di era informasi yang pada akhirnya mengarah pada
pasar bebas. Dengan demikian, IAIN sebagai PTAI tidak hanya mempersiapkan
alumni atau SDM yang terfokus menjadi tenaga akademik dan profesional dalam
bidang ilmu agama Isalm. Namun, ikut berkompetisi dalam mempersiapkan SDM dalam
bidang ilmu-ilmu lain yang mempunyai landasan keislaman yang kuat. Lihat, Azizy, “Mengembangkan Struktur
Kefakultasan,” hlm. 31.
[34]Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 64-65.
[35]Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam:, hlm. 240-241.
[36]Bandingkan dengan alasan Daulay tentang perlu
diadakanya pengembangan dalam pembidangan ilmu (program studi) pada PTAI. Lihat, Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam, hlm. 82-83.
[37]“Perguruan tinggi atau yang biasa disebut kampus,
disamping sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga
mengemban misi kebudayaan. Metta Spencer dan Alex Inkeles (1982) dalam bukunya Foundation of Modern Sociology, menyebut
adanya delapan fungsi pendidikan. Empat
di antaranya, yang relevan dengan maksud ini, adalah pengalihan budaya,
mengajarkan nilai-nilai, memajukan mobilitas sosial, dan pemangunan hubungan
sosial.” Lihat, Imam Tholkhah dan
Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan
Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam (Jakarta:
RajaGrafindo, 2004), hlm. 118.
[38]Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 54.
[39]“Ilmu pendidikan Islam merupakan prinsip, struktur,
metodologi, dan objek yang memiliki karakteristik epistemologi ilmu Islami... Pengembangan
pendidikan Islam adalah upaya memperjuangkan sebuah sistem pendidikan
alternatif yang lebih baik dan relatif dapat memenuhi kebutuhan umat Islam
dalam menyelesaikan semua problematika kehidupan yang mereka hadapi
sehari-hari.” Lihat, Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam (Jakarta: Ciputat, 2002), hlm. 3.
[41]Pembidangan ilmu agama Islam di PTAI belum punya
orientasi yang jelas. Pembidangan tersebut masih terlalu luas dan sangat sulit
untuk diajarkan pada mahasiswa yang hanya menempuh sekitar 4 tahun. Ditambah
lagi, para lulusan PTAI harus dihadapkan (bersaing) dengan luusan dari PTU yang
kompetensinya cukup jelas dan spesifik. Lihat,
Minhaji dan BA, Masa Depan Pembidangan,
hlm. 50.
[42]Muhaimin, Arah
Baru Pengembangan, hlm. 297.
[43]Tholkhah dan Barizi, Membuka
Jendela Pendidikan, hlm. 107.
[44]Masalah IAIN (sebagai salah satu bentuk PTAI)
secara eksternal bisa dibenturkan terkait minimnya kerjasama kampus dengan
lembaga, instansi, dan perusahaan di
luar kampus. Permasalahan pokoknya terletak pada pola kerja sama antara pihak
kampus PTAI dengan lembaga pendidikan jenjang menangah (SMA) yang lulusannya sebagian besar masuk ke IAIN. Serta
hubungan dengan lembaga luar yang menggunakan lulusan IAIN sebagai “tenaga”
kerjanya. Di mana selama ini kerja sama dengan lembaga-lembaga di luar kampus
sangat tidak intensif bahkan tidak ada sama sekali. Tidak ada yang namanya
kerja sama saling evaluasi terhadap fakultas, jurusan, program studi serta
disiplin, dan kurikulum IAIN. Pada era mendatang hubungan timbal baik (kerja
sama) seperti ini sangat dibutuhkan, agar tercipta kesinambungan antara program
IAIN dengan kepentingan masyarakat. Lihat,
Azizy, “Mengembangkan Struktur Kefakultasan,” hlm. 30.
[45]Jusuf Amir Feisal, Reorientasi
Pendidikan Islam (Jakarta: Geman Insani, 1995), hlm. 142-143.
[46]Ishomuddin, Spektrum
Pendidikan Islam (Malang: UMM, 1996), hlm. 69.
[47]Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 54-55.
[48]Ibid., hlm. 55.
[49]Ibid., hlm. 70-71.
[50]Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 58.
[51]Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 58-59.
[52]“Pembidangan ilmu pada PTAI ke depan terkait erat
dengan bagaimana pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan kemudian
bagaimana menyikapinya. Diawali dari konsepsi idealnya, dan selanjutnya
ditindaklanjuti dengan kesatuan pandangan tentang hal tersebut, baik yang
berasal dari dalam PTAI sendiri maupun dari luar.” Lihat, Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam, hlm. 71.
[53]Minhaji dan BA, Masa
Depan Pembidangan, hlm. 51.