Masalah Terorisme dan Pengembangan Human
Security Melalui Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan[1]
Manusia adalah makhluk yang berperadaban, berbudi, dan memiliki konstruk
cita-cita. Pernyataan ini memang benar bila dibandingkan dengan makhluk lain
yang “peradabannya” cenderung statis. Kenyataannya, dalam konteks lain ada pula
manusia yang tidak beradab, tidak berbudi, dan tidak punya konstruk cita-cita
mulia (di dunia). Penilaian tersebut muncul setelah diperbandingkan dengan
perilaku manusia lain yang dikatakan lebih beradab, berbudi luhur, dan punya
cita-cita mulia. Misalnya, adanya pelabelan terhadap individu atau komunitas sebagai
manusia sadis (pembantai), perusak, dan “pencinta” konflik. Manusia seperti itu
disebut tak beradab karena tindakannya yang anti (kontraproduktif) terjadinya kehidupan
damai. Yakni, mereka yang menafikkan hak, keamanan, dan kedamaian hidup semua
manusia. Hal itu bisa jadi disebabkan[2] demi mewujudkan
kepentingan (balas dendam, memenuhi cita-cita pribadi, dan sebagainya),
meluapkan emosi (amarah), kesalahan dalam meletakkan fanatisme, dan bentuk
pelampiasaan akibat keputus-asaan akut.[3]
Ciri-ciri manusia yang disebutkan tersebut juga cenderung melekat pada para
pelaku terorisme.
Selanjutnya dari sudut pandang terorisme, sesungguhnya konsep human securty[4]
sangat relevan digunakan sebagai bentuk pencegahannya. Asumsinya, dengan itu setiap
manusia akan peduli bahkan ikut menjaga keamanan manusia lainnya. Artinya,
sesama manusia terjadi saling percaya, memiliki, mengasihi, dan adanya dialog[5] antar satu dengan yang
lain untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan. Tidak ada lagi segregasi (sekat
pembatas apapun itu wujudnya) antara manusia satu dengan yang lain untuk saling
berdialog. Pada akhirnya, manusia satu menghormati manusia yang lain,[6]
sehingga terjadi komunikasi yang seimbang dan saling mengisi. Di sinilah akan
terjadi persamaan derajat, hak, dan kewajiban antara manusia satu dengan
manusia yang lain. Tidak ada yang merasa tertekan, tertindas, terbohongi,
terhasut, dan menjadi korban akibat kerakusan manusia lainnya.
Dalam konteks Indonesia, pada beberapa waktu lalu aksi terorisme sebagai salah
satu bentuk anti human securty telah
mengkhawatirkan keamanan bangsa. Meski akhir-akhir ini mulai menurun, meski
potensi timbulnya kembali masih cukup besar. Hanya menunggu waktu yang tepat
dan situasi yang memungkinkan untuk muncul kembali. Potensi ini bukan hanya dari
segi sumber daya finansial dan sumber daya peralatan yang tersedia banyak. Akan
tetapi, yang patut diperhatikan adalah potensi generasi muda yang kelak mau
melakukan aksi terosime. Bahkan, bisa juga suatu saat akan menjadi pengkader
dan pencari “bakat” untuk melaksanakan misi terorisme berikutnya. Praduga
seperti ini sangat wajar, terutama bila kondisi negara Indonesia masih seperti
ini.
Sebagaimana yang telah banyak diketahui, bahwa sebagian besar pelaku
teorisime di Indonesia adalah warga Indonesia. Bahkan sebagian merupakan pemuda
usia sekolah[7]
dan kuliah. Atas dasar itu, wajar ketika ada suatu pertanyaan besar apa yang
salah dengan pola pendidikan Indonesia? Mengapa jaringan pendidikan Indonesia
gagal dalam mendidik generasinya? Padahal seharusnya mereka dilatih kepekaan
terhadap konsep human security. Lebih
rinci lagi, bagaimana peran Pendidikan Islam dalam membangun budaya human security sebagai pedoman umat
Islam untuk bergaul dengan masyarakat global?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya sebagai upaya penggugah
terhadap pendidik PAI agar lebih giat dalam pengembangan konsep human security di lembaga masing-masing.
Mengingat, banyaknya kasus ketidakpedulian atau acuh tak acuh peserta didik
terhadap manusia lain mengakibatkan mereka rentan melakukan tindakan negatif
terhadap sesama. Termasuk salah satunya melakukan tindakan teorisme.[8]
Asumsinya, seharusnya peserta didik diajak lebih peka terhadap keberadaan
manusia lain, menghargai nyawa mereka, menghormati hak-haknya, dan bisa bekerja
sama[9] secara produktif dengan the other.
Hal ini perlu dilakukan karena selama ini PAI masih mengusung “misi”
tersembunyi seperti semangat primodialisme,[10]
ritualitas, hegemoni simbol, dan menafikkan komunitas lain. Kenyataannya,
semangat “membanggakan” diri yang seharusnya hanya pada ranah ketauhidan
(aqidah Islam) dan taqwa, meluas menjadi ingin menunjukkan kekuatan. Terlebih
lagi, bila kekuatan yang ditunjukkan bukanlah kekuatan pengembangan ilmu
pengetahuan. Akan tetapi, kekuatan yang bersumber dari keyakinan salah
(fanatisme buta) dan tubuh /fisik semata. Akibatnya, kekuatan tersebut tidak
mendatangkan kemaslahatan malah menjadi ancaman bagi masyarakat.
Berangkat dari pembahasan di atas, dapat
disimpulkan dalam pendidikan –utamanya pendidikan Islam— perlu adanya
pengembangan konsep human security.
Dalam prakteknya, tentu konsep itu harus dikaitkan nilai-nilai keuniversalan
yang ada dalam ajaran Islam. Salah satunya, nilai Islam yang menjaga dan
menjamin nilai-nilai kemanusiaan seluruh umat manusia. Dengan kata lain, dalam
bersaing dan menghadapi kehidupan ini, generasi umat Islam sejak dini harus
dididik supaya menghadapinnya dengan cerdas dan elegan. Yakni, tidak mudah
terprovokasi[11]
untuk melakukan kekerasan, tidak terpengaruh mengikuti gerakan terorisme, dan
mantap dalam menjaga ketauhidan maupun ketakwaan. Oleh karena itu, dibutuhkan
beberapa konsep pengembangan pendidikan Islam yang secara detail dipaparkan
dalam Bab ini.
A.
Konsep
Dasar
1.
Pengertian
Terorisme
Perumusan tentang definisi “terorisme”[12]
secara internasional sampai sekarang belum mencapai kesepakatan dan keutuhan.
Mengingat, banyak sekali kepentingan dari negara-negara di dunia[13]
ini tertarik menggunakan label “teroris” sebagai alat propaganda dan politik.[14]
Atas dasar itu, dalam merumuskan pengertian ini penulis akan berusaha mencari
arti yang utuh.[15]
Utamanya untuk diterapkan dalam konteks Pendidikan Agama Islam di Indonesia.
Dengan maksud, agar bisa diterapkan dalam aksi pencegahan terorisme sampai
keakar-akarnya, sehingga sulit untuk dibangkitkan kembali.
Kata teroris
memiliki arti “orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbukan rasa takut,
biasanya untuk tujuan politik.” Bila diimbuhi dengan “-isme” menjadi
“terorisme” maka artinya “penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan
dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror.”[16]
Sedangkan menurut Martha Crenshaw sebagaimana dikutip Joseph S. Tuman bahwa “terrorism
is a conspiratorial style of violence calculated to alter the attitudes and
behavior of multitude audiences. It targets the few in a way that claims the
attention ot the many. Terrorism is not mass or collective violence but rather
the direct activity of small groups.”[17] Lebih ringkas, mengenai
teroris Martin berpendapat “Terrorism
is the intentional generation of massive fear by human beings for the purpose
of securing or maintaining control over other human beings.”[18]
Dari pernyataan itu, bisa dikatakan terorisme telah memporak-porandakan
sendi-sendi kehidupan manusia. mulai dari menurunnya kegiatan ekonomi dan
terusikknya rasa kemanusiaan serta hilangnya nilai-nilai keberadaban (hidup
normal) di masyarakat. Dengan kata lain aksi terorisme adalah kejahatan[19]
terhadap peradaban dan kemanusiaan yang telah mengancam seluruh masyarakat
serta musuh dari semua agama di dunia ini.[20]
Secara detail, Menurut Loudewijk
F. Paulus sebagaimana yang dikutip oleh Wahid, ada empat macam karakteristik
terorisme yaitu:
a)
Karakteristik organisasi
yang meliputi penataan organisasi, rekrutmen anggota, pendanaan, dan hubungan
internasional.
b)
Karakteristik operasi
yang meliputi perencanaan, waktu, strategi (taktik), dan kolusi
c)
Karakteristik perilaku
yang meliputi motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh, dan keinginan
menyerah hidup-hidup.
d)
Karakteristik sumber
daya yang meliputi latihan/kemampuan, pengalaman perorangan di bidang
teknologi, persenjataan, perlengkapan, dan transportasi.[21]
Dari pemaparan tersebut dapat dikatakan, bahwa memahami hakikat teroris itu sangat sulit.
Sebagaimana menurut Walter Reich “Terorisme
masih merupakan fenomena yang demikian bervariasi dan kompleks hingga dia akan
membuat orang-orang yang berusaha memahami terorisme berpikir sejenak---atau,
lebih tepatnya lagi, barang siapa berusaha memahami terorisme maka dia harus
mempelajari begitu banyak aspek terorisme yang dikandung oleh satu istilah
itu.”[22] Akan tetapi pada umumnya tindakan terorisme
adalah untuk tujuan politik. Bukan politik[23]
dalam artian secara kasat mata (formal), tapi politik dalam artian merebut
pengaruh, atau paling tidak sebagai bentuk intervensi kepada pihak ketiga.
Yakni, di antara dua pilihan yang pertama
untuk mempertahankan kekuasaan (pengaruh) atau untuk menunjukkan kekuatan dan kedua untuk merebut kekuasaan
(pengaruh). Dengan demikian, dapat diduga bahwa hakikat terorisme atas nama
apapun itu (agama, ideologi, perjuangan kemanusiaan, dll), sebenarnya adalah
untuk mewujudkan salah satu di antar dua hal itu.
Dapat disimpulkan, terorisme adalah tindakan kekerasan yang menimbulkan[24]
kerusakan fisik secara sengaja maupun tidak, hingga hilangnya nyawa manusia
yang tidak bersalah atau yang tidak terkait dengan tujuan secara langsung, dengan
maksud mencari perhatian dan menakut-nakuti pihak ketiga (kelompok, agama, negara).
Ini artinya, tindakan terorisme merupakan tindakan ilegal yang melanggar hukum
kenegaraan dan hukum internasional. Artinya, suatu kekerasan bisa dikatakan
sebagai tindakan terorisme bila dilakukan oleh individu maupun organisasi yang
tidak resmi dengan sasaran masyarakat yang tidak terkait secara langsung.
2.
Pengertian Human
Security
Berdasar kajian historis, istilah human security baru dipopulerkan pada
awal 1990-an. Lebih tepatnya pasca berakhirnya Perang Dingin.[25]
Salah satu fungsinya adalah sebagai cara menghubungkan berbagai isu-isu
kemanusiaan, ekonomi, dan sosial untuk meringankan penderitaan manusia dan
menjamin keamanannya. Sekarang, istilah tersebut menjadi kosakata harian pejabat
pemerintah, militer, non-pemerintah, komunitas bantuan kemanusiaan, dan para
pembuat kebijakan. Hal ini diterapkan karena untuk melindungi keamanan umat
manusia (human security) secara internasional. Walaupun secara
implementasi sangat terbukti sulit.[26]
Secara kebahasaan kata human memiliki arti manusia, sedangkan
kata security berarti jaminan,
keamanan, perlindungan, dan tanggungan.[27]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata keamanan berarti “keadaan aman atau ketentramanan.[28]
Adapun hasil dari penelusuran internet, pada wikipedia dikatakan bahwa “human
security is an emerging paradigm for understanding global vulnerabilities
whose proponents challenge the traditional notion of national security by arguing that
the proper referent for security should be the individual rather than the state.”[29]
Lebih detail pendapat lain mengatakan “Human
Security focuses primarily on protecting people while promoting peace and
assuring sustainable continuous development. It emphasizes aiding individuals
by using a people-centered approach for resolving inequalities that affect
security.”[30]
Secara lebih luas, Aqimuddin mengungkapkan bahwa:
Human Security merupakan perubahan konsep dalam politik internasional.
Perhatian utama keamanan dunia saat ini tidak hanya difokuskan kepada keamanan
negara dalam definisi politik (perang) semata namun juga fokus terhadap
pemenuhan hak-hak dasar manusia. Asumsi dasarnya adalah jika tiap-tiap manusia
terpenuhi kebutuhan dasarnya maka keamanan dunia akan terwujud secara otomatis.
Tentu saja, strategi pemenuhan hak-hak dasar tersebut tidak menghilangkan
tujuan PBB untuk menjaga stabilitas keamanan dunia. Saat ini masyarakat dunia sedang menghadapi
setidaknya tiga ancaman besar. Pertama adalah soal keamanan internasional
khususnya krisis di Timur Tengah dan juga sebagian Afrika. Kedua; krisis pangan
dan ketiga yaitu permasalahan perubahan iklim (climate change).[31]
Seperti halnya konsep
terorisme, Kristiadi memaparkan bahwa pengertian dari human security berbeda-beda antara negara satu dengan yang lain.
Namun, dari itu dapat disimpulkan “tujuan human
security adalah menjamin kelangsungan hidup dan martabat serta harga diri
umat manusia. Jadi human security
harus menjangkau lebih dari sekedar melindungi kehidupan manusia dalam situasi
konflik.” Sementara
itu menurut Sverre Lodgaard (2000) sebagaimana dikutip Kristiadi lebih
mempersempit definisi dan jangkauan konsep human
security. Ia berpandangan bahwa human
security supaya tidak dikaburkan dengan memasukan konsep human development. Di mana, human security tidak perlu menjangkau fenomena
bencana alam dan bencana lain yang tidak dapat dikontrol manusia. Misalnya
kelaparan, penyakit menular serta kontaminasi lingkungan, dan lain sebagainya.
Ia menekankan satu poin penting sebagai kata kunci dalam mendefiniskan human security. Yakni, perlindungan
terhadap pihak-pihak yang lemah selama terjadinya konflik kekerasan. Alasannya
adalah sebagai berikut:[32]
Pertama, masalah keamanan muncul pada waktu
ada ancaman kekerasan. Oleh sebab itu kasus bencana sosial-ekonomi tidak dapat
dikategorikan dalam ruang lingkup human security mengingat hal itu tidak selalu
dapat mengarah kepada tindakan kekerasan. Kedua, masalah keamanan selalu
berdomensi “politik' dalam arti melibatkan manusia dan kontrol. Sementara itu bencana
alam sangat jarang dapat dicegah, karena hal itu adalah kejadian yang berada
diluar kontrol manusia. Dengan demikian bantuan kemanusiaan paling baik
dilakukan dengan cara-cara yang sama sekali menghilangkan pertimbangan politik
dan keamanan. Bantuan semacam itu harus dilakukan dibawah semangat imparialitas
dan netralitas. Dalam perspektif ini human security dirumuskan sebagai
kebebasan dari takut akibat ulah manusia yang dapat menimbulkan kekerasan fisik
kepada warga negara. Perluasan Pengertian human security lebih dari sekedar
yang dikemukakan sebagai pembebasan dari kekerasan struktural (structural
violence) akan mengaburkan gagasan tersebut dan pada gilirannya akan
mempersulit penyusunan kebijakan yang efektif.
Dari penjelasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa human security
adalah sebuah paradigma baru yang dibangun untuk menjamin keamanan yang tidak
hanya dalam sekup wilayah tertentu atau negara, tapi hingga pada setiap level
individu manusia. Artinya, paradigma human
security berfokus untuk menjamin hak-hak individu serta menjunjung nilai
perdamaian[33]
sehingga bisa tercipta keamanan global. Konsep tersebut juga menekankan pada
proses secara cerdas dan damai dalam penyelesaian “kesenjangan” yang berpotensi
merusak keamanan.
3.
Pengertian Pendidikan Agama Islam
Seperti yang dijelaskan dalam Bab I bahwa
pengertian Pendidikan Agama Islam yaitu
sebagai usaha mengkaji ilmu secara terencana dengan tujuan supaya peserta didik
mampu menerapkan nilai-nilai Islam secara sadar (tanpa paksaan) dan tulus dalam
segala sektor kehidupan yang sedang atau akan ditempuhnya. Lebih lanjut, kesadaran
tersebut meliputi penerapan nilai ibadah atau penghambaan terhadap Tuhan dengan
benar,[34] nilai humanisme,
keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme (nasionalisme),[35]
nilai semangat dalam pengembangan diri[36]
(ijtihad) maupun pengembangan masyarakat, dan nilai-nilai perdamaian dalam
kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik
aktif pada pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar
dalam pengimplementasian nilai-nilai universalisme ajaran Islam. Tentu nilai
tersebut terwujud secara konsisten dengan segenap logika serta alam pikirnya
dan alam spiritualitasnya.[37]
Sebagaimana pendapat Syukri Fathuddin bahwa hendaknya “... Pendidikan Agama
Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan
dapat dikatakan way of life seseorang.”[38]
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan, PAI hakikatnya secara
duniawi muatan aksiologinya (kegunaan) tidak hanya ditujukan bagi umat Islam
sendiri. Akan tetapi juga untuk seluruh umat manusia. PAI seharusnya bisa
menjadi pengarah dan penyumbang terbentuknya tatanan masyarakat yang damai,
berperadaban modern, beretika[39]
(tidak berpenyakit moral), dan manusiawi. Pada akhirnya, umat Islam bisa
menjadi umat yang toleran dan bertenggang rasa. Yakni, menjadi muslim yang kuat sebagai pelindung non
muslim yang lemah. Bisa juga dengan
menjadi muslim yang mayoritas untuk pengayom terhadap minoritas dan menjadi
muslim yang kokoh sebagai penjaga non muslim yang rapuh. Serta dalam jangka
panjang bisa menjadi muslim yang cerdas dalam bidang ilmu pengetahuan untuk
digunakan nonmuslim yang tertinggal. Memang harapan tersebut pada saat ini
masih terlalu tinggi untuk digapai. Meskipun, sesungguhnya semangat seperti
inilah yang telah dicontohkan nabi Muhammad.
4.
Tujuan Pendidikan Agama Islam
Manusia
merupakan makhluk yang sadar akan tujuan. Artinya, setiap tindakan yang
dilakukan senantiasa bermuatan dan disadari tujuan yang ingin diperoleh. Baik
itu secara individu maupun kelompok dan yang diinginkan untuk dicapai pada masa
yang pendek atau panjang. Identifikasi tujuan tersebut sangatlah penting, yaitu
sebagai ukuran normatif (gambaran ideal), preskriptif (pemberi arah), dan
evaluatif. Secara rinci, menurut Tobroni tujuan PAI dapat dijabarkan dalam dua
perspektif, yaitu perspektif pembentukan manusia (individu) ideal dalam arti
biologis, psikologis, dan spiritualitas. Selanjutnya adalah perspektif
pembentukan masyarakat (makhluk sosial) ideal dalam arti sebagai warga negara
atau ikatan kemasyarakatan.[40]
Dari kedua perspektif tersebut, sesungguhnya Pendidikan Islam hendaknya bisa
membentuk manusia yang punya kemantapan akidah, kedalaman spiritual, keluhuran
akhlak (etika), keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Inilah yang disebut
sebagai gambaran manusia ideal (waladun
saleh) yaitu memiliki integritas dan keutuhan (insan kamil).[41]
Sedang dari sudut pandang lain, menurut Muhammad
Kosim dikemukakan tentang PAI sangat sarat dengan nilai (full value), termasuk dalam penanaman nilai-nilai kasih sayang dan
keharmonisan antar sesama manusia.[42] Dengan kata lain, pendidikan Agama
Islam tujuan dan hasilnya (muara) sesungguhnya bukan hanya untuk “kejayaan”
umat Islam sendiri, tapi juga untuk “kebahagiaan” seluruh umat manusia. Ujungnya
adalah bagaimana PAI mampu mencetak generasi yang tidak sempit dalam berfikir,
berperilaku, dan memandang realitas keberagaman (kemajemukan). PAI mesti
mencetak generasi kreatif, yang tidak mengandalkan dan gemar menggunakan jalan
kekerasan. Dengan demikian, PAI di satu sisi pengembangannya disesuaikan dengan
kebutuhan (perkembangan) masyarakat, tapi di sisi lain tetap berpedoman dan
berpegang kuat pada nilai-nilai agama Islam.
Sebagaimana menurut amanat Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada
Pasal 3 bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[43]
Pernyataan tersebut dijabarkan lagi oleh PP No. 55 Tahun 2007 Pasal 2 ayat 1 tentang Pendidikan
Agama dan Keagamaan yang menyatakan “pendidikan agama berfungsi membentuk
manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian
dan kerukunan hubungan inter dan
antarumat beragama.” Adapun dalam ayat 2 lebih dipertegas lagi bahwa
“pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam
memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan
penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.”[44]
Dari semua pemaparan di atas dapat simpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam utamanya
dalam konteks pengembangan human security
adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT secara
benar, sehingga salah satunya senantiasa berpikir kritis, dinamis, peduli
terhadap kedamaian hidup (keamanan manusia lain), produktif, dan kreatif sesuai
keahlian masing-masing dalam berbangsa. Dengan itu diharapkan karyanya
bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.
5.
Melacak
Akar Terorisme
Pada kurun waktu akhir-akhir ini fenomena
globalisasi[45]
terorisme telah menggejala. Persitiwa tersebut merupakan kelanjutan dari
sejarah panjang kekerasan yang terjadi dalam skala domestik (regional).
Kemudian, karena mengikuti perkembangan zaman maka aksi terorisme menyebar ke
seluruh penjuru dunia dengan karakteristik yang berbeda-beda. Meski secara
khusus ciri utamanya bersifat ideologis. Terlebih, pasca serangan pada gedung
kembar World Trade Center, menjadi
legitimasi negara untuk mengadakan misi “perang global melawan terorisme.”[46]
Dengan kata lain, peperangan terhadap terorisme tidak lagi hanya menjadi urusan
negara tertentu. Lebih luas, terorisme merupakan tanggung jawab moral bersama
seluruh umat manusia. Oleh karena itu, dapat disimpulkan terorisme sekarang ini
telah mengalami evolusi, sehingga bisa jadi hasil-hasil penelitian tentang
terorisme di bebarapa dekade silam tidak lagi relevan untuk konteks hari ini.
Implikasinya, diperlukan paradigma terbaru untuk memandu penelitian, penanganan,
dan pencegahan terorisme kontemporer.
Biasanya ciri utama tindakan terorisme adalah tidak
hanya sekedar ingin melakukan kerusakan semata. Namun, para pelakunya
sebenarnya juga ingin menyampaikan “pesan” dibalik itu semua.[47]
Oleh sebab itu, agar pesan tersebut tampak dramatis –dan mungkin karena memang
keadaan memaksa— maka pelakunya rela melakukan aksinya dengan bunuh diri.[48]
Dari sini, dapat dikatakan bahwa peran psikologi ada dalam setiap kajian
tentang terorisme. Alasannya, psikologi digunakan sebagai pisau analisa mengapa
pelaku terorisme mau bertindak di luar nalar kemanusiaan pada umumnya.
Bagaimana individu yang awalnya beretika (taat norma) pada suatu saat tanpa
dinyana melakukan aksi terorisme? Apakah teroris akan memperhatikan reaksi psikologi
para korban tak berdosanya? Atau mereka lebih responsif terhadap reaksi
psikologis dari pejabat negara (penguasa) yang menjadi tujuan (alasan) utama
tindakannya?
Crenshaw menegaskan bahwa agaknya sangat sulit bila
memahami masalah terorisme tanpa menggunakan teori psikologi. Bagaimanapun,
penjelasan tentang masalah terorisme harus dimulai dari analisi dasar dari
tujuan teroris (secara pribadi) dan reaksi emosional dari para penontonya.[49]
Bisa dikatakan tindakan terorisme yang dilakukan terhadap orang-orang yang
tidak bersalah dan tidak terkait langsung dengan tujuan utamanya, merupakan
misi yang lebih menakutkan dari pada kerusuhan politik secara terbuka.
Bagaimanapun, diperlukan manipulasi psikologis (dengan melakukan training secara intensif) yang lebih
kuat. Hal ini untuk penghilangan nilai-nilai moral dalam melakukan tindakan
terorisme. Dengan demikian, para pelaku tanpa rasa bersalah sanggup menjadi
pembantai berdarah dingin terhadap wanita-wanita dan anak-anak yang tidak
berdosa.[50]
Dapat disimpulkan, sebelum mencari sebab secara luas dan sebab-sebab yang ada
di luar pelaku terorisme, akan jauh lebih penting bila terlebih dahulu melacak
motif pribadi dan keadaan psikologi[51]
dari pelakunya. Dengan demikian cara pencegahannya pun seharusnya melalui
pendekatan psikologi.
Selain karena faktor
individual,[52]
aksi terorisme biasanya juga karena pengaruh kelompok. Sebagaimana menurut
Gamson yang dikutip oleh Cernshaw bahwa masalah utama dalam terorisme adalah
bila organisasi-organisasi ekstrim menganggap kegiatan terorisme itu sebagai
sebuah hal yang membawa manfaat. Dengan aksi teror, mereka berharap bisa
terjadi perubahan radikal di masyarakat[53]
dari status quo, sehingga bisa
memberikan manfaat baru. Padahal bila berpola pikir luas, sesungguhnya
terorisme bukanlah jalan satu-satunya bagi pihak yang merasa tidak puas terhadap
suatu negara, suatu paham, suatu sistem, dan suatu keadaan. Ada beberapa
alternatif lain yang bisa digunakan untuk mencari perhatian publik selain itu. Misalnya,
menyuarakan “misinya” melalui saluran media massa, melalui organisasi resmi
(legal), dan melalui saluran politik. Serta melakukan tindakan-tindakan cerdas,
kreatif, dan inovatif lainnya. Akan tetapi, pada kenyataannya aksi terorisme
seringkali dijadikan pembenaran[54]
dari kegagalan aksi-aksi yang lain. Bisa jadi karena tindakan teror dianggap
satu-satunya jalan yang efektif[55]
dan efisien[56]
untuk mencapai tujuan tersebut.[57]
6.
Teror
Atas Nama Agama
Menurut Mark Juergensmeyer idealnya ajaran agama berperan dalam memberikan
rasa nyaman dan kedamaian pada masyarakat, bukannya teror. Kenyataannya, pada
sebagian kasus, agama tidak hanya memberikan ideologi, tapi juga motivasi dan
struktur organisasi bagi para pelaku aksi-aksi kekerasan.[58]
Kekerasan agama pada masa sekarang ini –serta hampir di setiap kurun perjalanan
sejarah— kerap kali dijustifikasi oleh kejadian historis kekarasan agama pada
masa lalu. Bahkan, potensi yang terpadu dalam kekerasan agama menyimpan sifat
partikularisme pada masing-masing kepentingan sejarahnya.[59]
Dengan kata lain, “pemahaman” seseorang terhadap agama (beserta sejarahnya)
turut bertanggung jawab dalam membangun paradigma baru tentang terorisme
kontemporer.
Pada dasarnya, terorisme atas nama agama dilakukan
oleh sebagian pelaku karena mereka merasa telah mendapat legitimasi dari wahyu
Illahi atau telah sesuai dengan nilai Suci[60]
Tuhan. Kekuatan dari gagasan tersebut sangat luar biasa dampaknya. Bahkan,
mampu melebihi semua klaim otoritas politik pada pemerintahan yang ada. Dengan
kata lain, terorisme atas nama agama telah mengangkat ideologi agama[61]
pada tingkat lebih tinggi dari segala-galanya.[62]
Keyakinan keagamaan seseorang yang terlalu kuat[63]
mampu mengkaburkan sifat individualistik. Tidak mengherankan bila mereka mau
mengorbankan hidup serta apapun itu demi keyakinannya.[64]
Dalam ranah ini, individu merasa tidak lagi punya kekuasaan mutlak, karena
hanya keyakinannya (agama) yang mampu mengatur dan menentukan hidupnya.[65]
Bahkan bila perlu keluarga (anak, istri, dan orang tua) dipandang tidak lagi
mempunyai hak atas dirinya. Akibatnya, mereka bisa ditelantarkan begitu saja
demi menjalankan keyakinnya itu. Dengan kata lain, hanya agamalah yang mampu
membuat manusia seperti apapun itu mau untuk melakukan hal-hal diluar “nalar.”
Serta mau melakukan kegiatan fisik keagamaan yang kadang mengurangi vitalitas
tubuhnya. Tak jarang juga mau mengorbakan apapun itu (harta, pikiran, waktu,
bahkan nyawa) untuk agama.
Meskipun semua orang sudah menyadari fenomena
tersebut, tapi belum ada yang membedakan karakterisitk antara teror suci (atas
nama Tuhan) dengan teror politis (sekuler). Hal ini terjadi salah satunya
karena, masih ada anggapan bahwa tidak mungkin seseorang melakukan pembunuhan
atau bunuh diri karena alasan agama.[66]
Para teroris suci atau pelaku terorisme agama[67]
yakin bahwa tujuan dan cara mereka mendapat restu Tuhan. Di mana, manusia tidak
berhak untuk mengubahnya. Di satu pihak,
bila teroris sekuler memandang tentang masa depan di dunia, maka para teroris
suci lebih melihat ke belakang (romantisme sejarah). Yakni, bisa terwujudnya
masyarakat yang sesuai dengan kehidupan awal ketika agama mulai berkembang.
Kadang, tujuan dan cara para teroris terlihat begitu jelas dan tegas, sehingga
para agamawan mendeskripsikan sebagai bentuk tindakah ritual (ibadah) agama.[68]
Pernyaata tersebut dalam konteks sekarang ini dapat dikritisi. Mengingat, aksi
terorisme di Indonesia akhir-akhir ini (masa reformasi) secara pribadi tujuannya adalah untuk
mendapatkan kemuliaan di akhirat. Misalnya ingin mendapatkan “manten” atau
bidadari di surga dan sebagainya. Dengan kata lain, harus dibedakan antara
tujuan individu teroris dengan tujuan (penguasa) kelompoknya.
Dapat dirumuskan,
terorisme agama terjadi bisa jadi karena sebagian pemeluk agama mempersepsikan
adanya penguasa atau negara (pemerintahan) tertentu yang cenderung tidak
mempedulikan agama bahkan memusuhi agama. Dengan kata lain, peran dan posisi
agama terhadap peradaban manusia telah dilecehkan oleh mereka. Bagi kalangan
yang menjadi musuh teroris tersebut, agama dipandang tidak lagi memberikan
solusi tepat untuk kehidupan modern sekarang ini. Pergolakan itu menjadi pemicu
frustasisme para pemeluk ekstrem agama[69]
yang keblinger. Serta secara simultan melakukan tindakan terorisme atas nama
agama. Yakni, dengan tujuan membela Tuhan atau membela agama dari tindakan
semena-mena kelompok atau negara tertentu.
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan, teror atas nama agama tidak serta merta bisa
berdiri sendiri. Lalu menjustifikasi bahwa agama mengajarkan melegalkan bahkan
mengajarkan terorisme. Artinya, agama tidak bisa dikambinghitamkan sebagai
penyebab tindakan tersebut. Bisa jadi, terjadi kesalahpamahan pelaku dalam
memahami ajaran agamanya, sehingga agama dimaknai secara sempit. Serta terdapat
faktor-faktor lain yang ikut menentukan baik secara langsung maupun tidak
langsung dan baik dengan intensites kuat maupun lemah. Misalnya, adanya
pengaruh kuat dari otoritas, faktor latar belakang[70]
kehidupan pelaku, konteks kemasyarakatan, dan sebagainya.
[1]Pada Bab ini, khususnya untuk
Subbab “B. Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan” penulis
banyak mengutip (menulis) ulang dengan sedikit perubahan dan penambahan dari
Jurnal “Salam” Pascasarjana UMM. Artikel tersebut merupakan salah satu karya
dari penulis yang hingga kini masih tahap proses penerbitan. Penulisan ulang
menjadi sebuah buku dipandang sangat penting sebagai tambahan referensi utama
pada Bab ini. Terkait “nirkekerasan” penulis banyak sekali menerima “bantuan”
dari Prof. Dr. H. Syamsul Arifin, M.Si (Guru Besar Sosiologi Agama Universitas
Muhammadiyah Malang). Sebagai bentuk tawaduk, maka penulis ucapkan terima kasih
banyak pada beliau. Kendati demikian, segala isi di Bab ini (utamanya terkait
nirkekerasan) secara akademis sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.
[2]Nyoman, menyebutkan ada tiga
pemicu tindakan kekerasan, pertama ketidakadilan,
baik dalam bidang ekonomi dan politik. Pengadilan (aparat berwenang) tidak bisa
dipercaya lagi sehingga orang menegakkan keadilan dengan caranya sendiri, termasuk
melalui kekerasan. Kedua, perbedaan,
baik perbedaan secara fisik (simbol, warna, bentuk, dll) maupun non fisik
(tujuan, pemahaman, ideologi, dll). Ketiga,
kambing hitam, dengan mengorbankan salah satu pihak sebagai sasaran utama (yang
dianggap paling berdosa) dalam sebuah kemelut yang sedang terjadi. Lihat, Paskalis Edwin Nyoman, “Agama dan Kekerasan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme,
ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma, 2000), hlm. 39-42.
[3]Agama
hanya dijadikan media untuk balas dendam. Yakni, sebagai pelindung atau penutup
wajah “kenaifan” para sebagian kelompok untuk meluapkan urusan pribadinya.
Misalnya, karena disebabkan kalah kompetisi menyebabkan ia menaruh “dendam”
pada kelompok lain. Hal itu sebagaimana menurut Qodir bahwa “kompetisi tidak selalu berakhir dengan
hasil yang baik. Seringkali kekalahan membawa luka dan dendam kesumat. Dan luka
serta dendam kesumat itulah yang membuat kerusuhan seringkali menjadi hasil
akhir dari persoalan persaingan antar etnis dan sekaligus agama. Etnis dan
agama oleh antropolog Malinowsky dikatakan sebagai dua entitas yang sampai saat
ini, saat dunia menginjak era modern bahkan postmodernisme akan menjadi salah
satu perekat sekaligus ketegangan, kerengganan antar elemen dalam masyarakat
yang paling mujarab. Etnisitas dan agama merupakan dua entitas yang bersifat
bagai pedang bermata dua. Membuat integrasi sekaligus membuat disintegrasi
antar anggota masyarakat. Terlebih jika etnisitas dan agama dipahami secara
sempit (narrow religion and ethnicity)
akan dengan mudah mendorong adanya semangat gerakan perlawanan berdasarkan
sentiment etnisitas dan agama tertentu. Inilah mengapa dibeberapa daerah
persoalan etnisitas dan agama masih dikatakan rentan dan menguntungkan. Rentan
terkait akan kemungkinan konflik antar etnis. Menguntungkan karena akan membawa
dampak pada asosiasi-asosiasi dan akomodasi kebudayaan.” Lihat, Zuly Qodir, “’Involusi Pemekaran,” Etnisitas dan Agama,”
dalam http://csps.ugm.ac.id/site/wp-content/uploads/2014/12/2012-social-cohesion-in-north-maluku-1.pdf, didownload tanggal 26 Desmber 2014,
hlm. 4.
[4]Konsep Human Security seharusnya dijadikan norma (nilai) masyarakat
sehingga menjadi bagian moral luhur yang dijunjung tinggi masyarakat. Artinya,
setiap individu pada masyarakat mesti menggunakan prinsip ini sebagai
pedomannya dalam menjalani hidup.
[5]Dialog antar iman harus dilakukan dalam
segala bidang kehidupan. Misalnya, dengan pembentukan forum-forum dan pertemuan
antar umat beragama baik formal maupun informal secara berkala maupun
insidental. Bisa juga dengan aneka macam kerjasama dalam bidang sosial,
pendidikan, kesehatan, pertanian, studi ilmiah, dan sebagainya. Gotong-royong
dalam pembangunan kembali rumah ibadah yang rusak akibat tindak kekerasan,
serta tentunya bahu-membahu untuk pembangunan ekonomi bangsa harus digalakkan.
Semangat kemanusiaan universal dan mengatasi ekslusivisme inilah yang mampu
meningkatkan mutu kehidupan bersama antar masyarakat Indonesia. Lihat, Armada Riyanto, “Membongkar
Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam dalam Agama
Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma,
2000), hlm. 13-14. Dengan kata lain, umat Islam memerlukan
umat lain untuk menghadapi permasalahan
kehidupan yang serba kompleks ini.
[6]Faktor human security dalam pergaulan sesama manusia merupakan salah satu
penentu kebebasan (menjunjung tinggi hak) atas setiap individu menjalani hidup.
Yakni, terbebas dari bentuk kekerasan fisik meliput: konflik sosial, kerusuhan
massal, dan perusakan. Serta terbebas dari kekerasan psikis seperti: ancaman
(teror verbal), ketidakadilan, kebohongan (korupsi dll), dan pelecehan verbal.
Oleh sebab itu, semua kategori ancaman yang datang terhadap individu akan
dinilai sebagai ancaman keamanan bagi semua umat manusia. Ini artinya, suatu
kebebasan yang diberikan pada individu tidak boleh menyebabkan melanggar
kebebasan orang lain untuk menjalani hidup damai. Misalnya, melakukan provokasi
yang menyebabkan terganggunya kebebasan hidup tenang orang lain, sehingga orang
tersebut terpancing untuk anarkis.
[7]Apabila dijabarkan maka sumber
permasalahan generasi muda adalah termarginalkannya aspek pendidikan dan
ketidakkomitmenan dalam menjaga prinsip dan materi pendidikan Islam. Utamanya
dalam hal kecerdasan spiritual, emosi, moral, rasional, dan sosial. Selain itu,
tidak adanya dialog antara masing-masing anggota dalam rumah tangga. Di mana,
titah mutlak orang tua kepada anakya sangat mencolok tanpa terlebih dahulu
memahami (peka) terhadap perasaan dan perubahan mereka. Serta hal yang paling
urgen adalah hilangnya peranan Masjid dalam mengarahkan generasi muda. Hampir
tidak didapati pengajian yang diselenggarakan khusus kalangan pemuda. Faktor
ini mungkin salah satunnya disebabkan karena ketidakmampuan pendakwah dalam
mencermati problem riil generasi muda. Lihat,
Suhailah Zain al-Abidin Hammad, “Bagaimana Mengatasi Terorisme,” dalam Irhaab, Asbaabuhu, Ahdaafuhu, Manaabi’uhu,
wa ‘Illa juhu, terj. Nasruddin Atha’ (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005), hlm.
115-116.
[8]Dalam keadaan situasi global dan masalah
terorisme seperti sekarang ini, untuk mengatasinya harus merubah strategi.
Yakni, dari kebijakan hard power atau
kekerasan bersenjata menjadi human
security atau keamanan manusia dengan kerjasama jaringan masyarakat global.
Sedangkan untuk kalangan internal Islam sendiri guna menanggulangi aksi
terorisme seharusnya ada pengembangan makna jihad Islahiyyah. Misalnya melakukan pengembangan ekonomi, pendidikan,
kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Lihat, “Kontra Terorisme: Perlu Perubahan Paradigma Menuju Human Security,” dalam http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,19992-lang,id-c,warta-t,Perlu+Perubahan+Paradigma+Menuju+Human+Security-.phpx,
11 November 2009, diakses tanggal 31 Desember 2014.
[9]“Dengan demikian hubungan
antarumat beragama perlu mendapat nama baru, dan substansi baru. Selain
menimbulkan sikap apologetis, juga kerukunan atau toleransi hanya cocok untuk
masyarakat agraris, tetapi tidak sesuai untuk masyarakat industrial. Kerukunan
itu mengarah ke dalam masyarakat beragama sendiri, berorientasi ke belakang ke
zaman “normal”, dan merujuk pada status quo. Yang diperlukan adalah
konsep baru yang bersifat keluar dan tidak asyik dengan diri sendiri saja,
melihat ke depan dengan bersama-sama menghadapi masa depan kemanusiaan, dan
dinamis yang merujuk pada kerjasama. Oleh karena itu, kerukunan atau
toleransi sudah saatnya digantikan dengan kerjasama atau koperasi;
di masa depan yang diperlukan bukan kerukunan atau toleransi, tetapi kerjasama
atau koperasi antarumat beragama (ta`awun `ala al-birri wa at-taqwa).” Lihat, Syamsul Arifin, “Implementasi
Studi Agama Berbasis Multikultural dalam Pendidikan,” dalam http://rires2.umm.ac.id/publikasi/lama/IMPLEMENTASI%20STUDI%20AGAMA2.pdf,
didownload tanggal 16 Desember 2014.
[10]Selama ini konsep human security oleh umat Islam masih
diterapkan hanya dilokalisir untuk sesama umat Islam sendiri. Bahkan
dipersempit hanya untuk mazhab, organisasi, dan kelompok (suku) agama Islam
tertentu saja. Padahal, ajaran Islam memerintahkan untuk menjamin kemananan
“manusia” lain.
[11]Terprovokasi di
sini artinya umat Islam mudah tersulut amarahnya dan mudah diadu domba,
sehingga rentan melakukan kekerasan (perusakan) bahkan tindakan terorisme.
Dalam melawan ancaman provokasi seperti ini, idealnya umat Islam menguatkan
ukhuwah Islamiah secara holistik. Harapannya, umat Islam tidak akan mudah
curiga pada golongan lain yang seagama maupun yang beda agama. Dengan kata
lain, umat Islam mesti menggunakan cara-cara damai dalam menyuarakan “teguran”
kepada kalangan beda agama, terlebih lagi dengan yang seagama harus
diperhatikan secara totalitas.
[12]Definisi terorisme sampai saat ini
masih menimbulkan perbedaan pendapat. Kompleksitas masalah yang terkait
dengannya mengakibakan pengertian terorisme dipahami secara berbeda-beda.
Walter Laqueur mengkaji setidaknya lebih dari seratus definisi terorisme. Dari
temuan itu, disimpulkan bahwa terorisme memiliki ciri utama yaitu digunakannya
ancaman kekerasan serta tindak kekerasan dan umumnya didorong oleh motivasi
politik atau sebagian lain juga karena fanatisme keagamaan. Lihat, Luqman Hakim, Terorisme di Indonesia (Surakarta: Forum
Studi Islam Surakarta, 2004), hlm. 9-10.
[13]Wahid
dkk. menerangkan bahwa kata terorisme berasal dari bahasa latin terrere yang berarti membuat atau
menimbulkan gemetar atau menggetarkan (kecemasan). Secara konsep dasar, istilah
terorisme lebih berkonotasi sangat sensitif karena terorisme menghalalkan
pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Hingga
kini, belum ada definisi terorisme yang bisa diterima secara universal.
Masing-masing kelompok (negara) mendefiniskan terorisme menurut kepentingan dan
keyakinan mereka sendiri untuk mendukung semua aspek kepentingannya. Lihat, Abdul Wahid, dkk. Kejahatan Terorisme: Prepektif Agama, HAM,
dan Hukum (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm. 22.
[14]Pendefinisian terorisme tidak mencapai
kesepakatan secara bulat dalam lingkup global karena ada beberapa pihak yang
melihat dan memaknai permasalahan terorisme dari sudut pandang kepentingan
masing-masing. Lihat, Moch. Faisal
Salam, Motivasi Tindakan Terorisme
(Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm. 3.
[15]Disebabkan definisi terorisme yang
tidak utuh dan tidak tunggal maka banyak kalangan tertentu dengan mudah
menyatakan seseorang sebagai teroris dan seseorang yang lain sebagai pahlawan.
Meskipun, keduanya sama-sama melakukan hal yang sama yaitu menteror, melakukan,
kekerasan, pelanggaran etika, dan melakukan pelanggaran hukum. Dengan kata
lain, definisi atau pelabelan teroris sangat tergantung pada sejauh mana
kemampuan komunitas dalam mempengaruhi opini publik. Lihat, Muhammad Taufiq, Terorisme
dalam Demokrasi (Solo: Law Firm, 2005), hlm. 22. Oleh karena itu, tugas
lembaga pendidikan adalah membentuk opini publik tentang agama Islam yang rahmatan lil al-‘alamin. Yakni, salah satunya yang tidak
gemar melakukan kekerasan, dan mempunyai peradaban yang unggul. Hal itu untuk
menangkis stereotip tentang Islam yang menyebar di alam pikiran Barat. Bisa
jadi, masyarakat Barat memang tidak tahu hakikat agama Islam yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, tugas lembaga pendidikanlah yang memperkenalkan Islam secara
benar kepada masyarakat luas utamanya yang masih buta tentang kebenaran Islam.
[16]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar
Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi
1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip,
didownload tanggal 21 April 2014.
[17]Joseph S. Tuman, Communicating Terror: The Rhetorical Dimensions of Terrorism (California:
Sage, 2003), hlm. 5.
[18]Gus Martin, The New Era of Terrorism: Secected
Readings (California: Sage, 2004).
[19]Menurut Kosno Adi sebagaimana yang
dikutip oleh Abdul Wahid, dkk. bahwa terorisme merupakan suatu kejahatan yang
unik (aneh). Terdapat banyak hal yang membedakan antara terorisme dengan bentuk
kejahatan biasa. Dalam tindakan terorisme biasanya sering terjadi unsur
radikalimse (ekstrim), adanya tujuan tertentu, penggunaan teknologi tertentu
dalam setiap rencanaya dan gerakan dilakukan secara tertutup. Lihat, Wahid, dkk. Kejahatan Terorisme: Prepektif, 40.
[20]Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, hlm. 1.
[21]Abdul Wahid, dkk. Kejahatan Terorisme: Prepektif, hlm. 33
[22]Walter Reich, “Memahami Perilkau
Teroris: Keterbatasan dan Kesempatannya Bagi Penelitian Psikologi,” dalam “Origins
of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” Judul
asli: Origins of Terrorism: Psychologies,
Ideologies, Theologies, States of Mind, ed. Walter Reich, terj. Sugeng
Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 336.
[23]Dijelaskan lebih
detail dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 pasal 5 bahwa “Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang
berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan
tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi.”
Selain itu dalam Bab III Tindak Pidana Terorisme pada Pasal 6 dikatakan:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.” Lihat, “Undang-undang Republik Indonesia Nomor
15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi
Undang-undang,” dalam http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2003_15.pdf dan http://www.setneg.go.id/components/com_perundangan/docviewer.php?id=1548&filename=PP_Pengganti_UU_No_1_th_2002.pdf, diakses 08 Maret
2015.
[24]Dampak “utama” terorisme adalah
terjadi kerusakan sarana prasarana (jalan raya, gedung, instalasi listrik
maupun telepon, taman, dll), timbulnya korban jiwa, cacat fisik, dan trauma.
Sedangkan dampak “limbahnya” adalah dari aspek ekonomi mengalami kelesuan atau
penurunan (sektor pariwisata, perdangang, perbankan, perhotelan, dan devasi
negara turun), dari aspek politik terjadinya kegaduhan politik dan menurunnya
kepercayaan masyarakat pada negara, dan dari aspek sosial-budaya menyebabkan
kesalingcurigaan antar golongan dan terjadinya konflik yang berkepanjangan.
Secara rinci, Abullah Sumrahadi sebagaimana dikutip Wibowo menyebutkan aksi
terorisme dapat menyebabkan malapetaka secara kompleks, antara lain: (a)
Kehidupan sosial dan masyarakat menjadi tertekan, sehingga hak individu maupun
kelompok terganggu (b) Kerusakan sendi-sendi politik, politik dijadikan sebagai
media utuk melakukan kejahatan (c) Kehidupan ekonomi menjadi terganggu, karena
sentimen pasar dipengaruhi oleh kondisi politik dan keamanaan nasional dan
internasional (d) Lunturnya nilai-nilai kedamaian dan kearifan lokal karena
masyarakat terlarut dalam suasana anarkis (e) Lunturnya idependensi agama
sebagai jalan pembebas dari penindasaan, karena agama dijadikan motif (kambing
hitam) tindakan terorisme. Lihat, Ari
Wibowo, Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan
Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di
Indonesia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 75-77.
[25]Menurut Wandelt, “Beberapa faktor yang timbul akibat perubahan lingkungan
politik sejak akhirnya Perang Dingin menentukan timbulnya sektor keamanan dan reformasinya: Hilangnya bentuk-bentuk perang lama yang
simetris, dengan negara sebagai aktor utamanya, dan daerah peperangan yang terbatas.
Munculnya aktor-aktor perang baru, bentuk-bentuk perang baru, yang semuanya
mengakibatkan perluasan bentuk-bentuk ancaman terhadap negara dan masyarakat.
Ancaman baru menciptakan bentuk-bentuk Hankam baru yang sedang dikembangkan
terus-menerus. Negara tidak lagi stabil secara absolut. States can vanish, and vanish they did (at least some). Dengan kata singkat: Segala-galanya berpotensial menjadi
ancaman, dan segala-galanya perlu dikerahkan untuk mencari jawaban terhadap
skala ancaman yang luas itu. Keamanan dinaikkan menjadi kategori utama,
menggantikan pertahanan. Keamanan makin didefinisikan secara total dan
menyeluruh dan jauh melampaui kategori Hankam
lama. Keamanan menjadi keamanan terpadu (istilah Dephan) atau keamanan
komprehensif (internasional).” Lihat,
Ingo Wandelt “Perkembangan Reformasi Sektor Keamanan: Kebutuhan Bahasa dan
Komunikasi,” dalam csps.ugm.ac.id/Download-document/Perkembangan-Reformasi-Sektor-Keamanan-Kebutuhan-Bahasa-dan-Komunikasi.html, diakses tanggal 26 Desember 2014,
hlm. 3-4.
[26]Anonim, “Definition of Human Security,”
dalam http://www.humansecurityinitiative.org/definition-human-security,
28 Februari 2011, diakses tanggal 25 Desember 2014.
[27]John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggirs-Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 2013), hlm. 306 dan 509.
[28]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal
21 April 2014.
[29]Anonim, “Human Security,” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Human_security, diakses
tanggal 25 Desember 2014.
[30]Anonim, “Definition of Human,” diakses
tanggal 25 Desember 2014.
[31]Eka An Aqimuddin, “PBB dan Tantangan
Human Sucurity,” dalam http://www.negarahukum.com/hukum/pbb-dan-tantangan-human-security.html,
29 Oktober 2012, diakses tanggal 31 Desember 2014.
[32]J. Kristiadi, “National Security, Human
Security, HAM dan Demokrasi,” dalam http://ina.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/Human%20Security%20dan%20Hak%20Asasi%20Manusia%20-%20J.%20Kristiadi.pdf,
diakses 31 Desember 2014.
[33]Menurut Habib Chirzin, “perdamaian
positif (\"positive peace\") tidak hanya berarti tidak adanya perang
atau konflik bersenjata, tetapi terpenuhinya semua hak-hak dasar manusia untuk
hidup dalam sistem kemasyarakatan dan kenegaraan yang demokratis sesuai dengan
harkat dan martabat manusia.” Lebih lanjut ia mengatakan “Ketua Commission on
Human Security (2003) Dr Sadako Ogata, mengemukakan, keharusan mengubah
paradigma keamanan dari berpusat pada Negara (state centric) menjadi berpusat
pada individu manusia.” Dengan kata lain, “masalah perdamaian dan keamanan
bukanlah sekedar mengenai perang dan konflik, tapi juga mengenai kemiskinan,
penyakit dan kerusakan lingkungan, kata Habib Chirzin mengutip Sekjen PBB Koffi
Annan (2005). Di bidang keamanan pangan, ia mengatakan, jika tidak hati-hati
menangani pangan maka akan menyebabkan banyak kematian dan bisa juga berujung
kepada perang.” Lihat, Anonim, “Human
Security Makin Jadi Model
Perdamaian,” dalam http://www.pelita.or.id/baca.php?id=56862, diakses tanggal 31 Desember
2014.
[34]Dalam ibadah ritual salat misalnya,
salat yang dilakukan biasanya belum ke ranah konstruksi suci dari ucapan
syahadat dan bentuk sujud kepada Allah. Artinya, belum pada tingkatan pengakuan
diri bahwa dirinya adalah hamba yang wajib menyembah, membesarkan, dan
mengabsolutkan-Nya. Kenyataannya malah mengutamakan kepentingan diri dan orang
lain yang ada dalam bingkai (frame)
sama dengannya. Pada akhirnya dikerucutkan pada pemutlakan, pembenaran, dan
pengabsolutan diri sendiri atau seseorang yang ada di dalam frame tersebut. Dengan kata lain,
pengabsolutan diri masih lebih
mendominasi dibandingkan dengan pengakuan kedaulatan Tuhan. Lihat, Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung:
Refika Aditama, 2009), hlm. 174.
[35]Nilai nasionalisme didefinisikan
sebagai nilai-nilai dalam menjaga keutuhan dan keamanan bangsa yang didasarkan
pada peraturan Undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, umat Islam sebagai
warga negara harus patuh terhadap Undang-undang yang ada di Indonesia. Pada intinya
UUD 1945 tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Salah satu amanatnya
adalah pada pasal 28J ayat “(1) Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Serta dalam Pasal 28E ayat
1 dan 2 serta Pasal 28I ayat 1. Lihat,
“Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04
Oktober 2014.
[36]Generasi muda yang tidak berani
melakukan ijtihad (pengembangan diri) hanya akan memperlakukan agama sebagai
alat pencapai kepentingannya. Aspek pragmatisme dan hedonisme lebih dimenangkan
dibandingkan dengan melakukan kajian mendalam tentang filosofi sosial
keagamaan. Implikasinya, agama gagal memasuki wilayah pemikiran progresif, dan
stagnan sehingga berkutat dalam ekslusivisme. Artinya, telah terjadi
pragmatisme agama yaitu melakukan kegiatan atas nama agama tapi kenyataannya
hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri.
[37]A. Rifqi Amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta:
Deepublish, 2014), hlm. 39.
[38]Syukri Fathuddin, “Pendidikan Islam,”
dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama
Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman (Yogyakarta: UNY Press,
2008), hlm. 130.
[39]Beberapa prinsip etika dalam al Qur’an menurut Hendar Riyadi
sebagaimana dikutip Naim terkait hubungan sosial antar umat beragama meliputi,
egalitarianisme, prinsip keadilan, prinsip toleransi, prinsip saling
menghormati (bekerjasama dan berteman), prinsip ko-eksistensi damai, dan dialog
yang arif-konstruktif-transformatif. Lihat,
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari
Titik Temu dalam Keragaman (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 53-55.
[40]Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis Filosofis, dan Spiritualitas
(Malang: UMM, 2008), hlm. 49-50.
[41]Ibid., hlm. 153.
[42]Muhammad Kosim, “Sistem Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural,” dalam Pendidikan Agama Islam dalam Prespektif Multikulturalisme, ed.
Zainal Abidin dan Neneng Habibah (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Jakarta, 2009), hlm. 219.
[43]Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003
Beserta Penjelasannya (Jakarta:
Cemerlang, 2003), hlm. 7.
[44]“Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,” dalam http://www.setneg.go.id//components/com_perundangan/docviewer.php?id=1786&filename=PP_No_55_th_2007.pdf didownload 22 Desember 2014.
[45]Terorisme sekarang ini mengalami sebuah
perkembangan, salah satuya adalah cakupan wilayahnya tidak lagi terpusat pada
suatu negara tertentu. Kendati, biasanya saling terkait dengan teroris-teroris
di negara lain atau transnasional (terorganisi secara global). Artinya, telah
melampaui berbagai aspek kehidupan dan batas-batas antar negara. Oleh karena
itu, pantas bila tindakan terorisme digolongkan sebagai salah satu dari trans national crimes. Di mana, tindakan
kekerasan tersebut dilakukan tidak hanya dimotifkan untuk ‘menggertak’ keadaan
politik lokal (nasional), akan tetapi telah memporak-porandakan sendi-sendi
kehidupan manusia. Lihat, Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, hlm. 1.
[46]Sapto Waluyo, Kontra-Terorisme: Dilema Indonesia Era Transisi (Jakarta: Media
Center, 2009), hlm. 3.
[47]Menurut Merari, terkait motif bunuh diri
dalam tindakan terorisme ada tiga sumber kerancuannya. Di antaranya, pembedaan
antara kesiapan untuk mati dengan mencari kematian. Selanjutnya, kesulitan
membedakan antara orang yang ingin mati dengan orang yang sebenarnya tidak
ingin mati tapi ditipu oleh teroris “senior” untuk melaksanakan misi teror yang
sebenarnya sangat mematikan baginya. Serta keragaman konteks situasional dari
tindakan bunur diri, yaitu membedakan antara teoris yang hanya membunuh dirinya
sendiri dengan yang bunuh diri untuk membunuh orang lain. Lihat, Ariel Merari, “Kesediaan untuk Membunuh dan Terbunuh:
Terorisme Bunuh Diri di Timur Tengah,” dalam “Origins of Terrorism: Tinjauan
Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” Judul asli: Origins of Terrorism: Psychologies,
Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng
Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 249.
[48]Pernyataan tersebut sebagaimana menurut
Merari bahwa “kebudayaan pada umumnya dan agama khususnya menjadi unsur yang
relatif tidak penting dalam fenomena terorisme bunuh diri. Bunuh dirinya teroris,
seperti kasus bunuh diri lainnya, pada pokoknya lebih merupakan perbuatan
perseorangan dibandingkan fenomena kelompok, yakni perbuatan ini dilakukan oleh
orang-orang yang ingin mati karena alasan-alasan pribadi. Kerangka teroris
hanyalah menawarkan alasan (bukan dorongan yang sebenarnya) untuk melakukannya
dan legitimasi untuk bisa dilakukan melalui cara kekerasan.” Ibid. hlm. 266.
[49]Martha Crenshaw, “Pertanyaan yang Harus
Dijawab, Riset yang Harus Dikerjakan, Pengetahuan yang Harus Diterapkan,” dalam
“Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap
Mental,” Judul asli: Origins of
Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter
Reich, terj. Sugeng Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 319.
[50]Albert Bandura, “Mekanisme Merenggangnya
Moral,” dalam “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan
Sikap Mental, Judul asli: Origins of
Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter
Reich, terj. Sugeng Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 208.
[51]Menurut W. Laqueur (1987) dan O.
Kernberg (1975) sebagaimana yang dikutip oleh Post bahwa karakteristik teroris
secara ciri kepribadiannya cenderung pada tindakan agresifisme yang peka pada
rangsangan dan pencari kegembiraan. Mekanisme psikologis yanng mengalami
gangguan kepribadian narsistik dan berkepribadiaan ganda. Tentu hal ini tidak
berlaku bagi seluruh pelaku terorisme, tapi terkesan nyata bahwa mekanisme
tersebut sering kali ditemukan pada kalangan teroris. Di mana, diantara mereka
satu sama lain terdapat keseragaman gaya retorika dan psikologinya. Yakni,
melemparkan bagian tak bermoral dan yang dehumanisasi
dari dalam dirinya ke lingkungan antar manusia serta mengkambinghitamkan
musuh yang di luar dirinya. Kemudian, karena ketidakmampuan mengatasi kelemahaan
dan keterbatasannya sendiri, individu dengan jenis kepribadian ini membutuhkan
sasaran lain untuk disalahkan dan diserang demi menutupi kelemahan dan ketidakmampuannya
sendiri. Keterbelahan kepribadian ini terjadi bisa saja karena pada masa perkembangan
kepribadian mereka (utamanya masa kecil) mengalami gangguan, sehingga terjadi
luka narsistik. Lihat, Jerrold M. Post, “Psiko-logika Teroris:
Perilaku Teroris Sebagai Hasil Tekanan Psikologis,” dalam “Origins of
Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” Judul
asli: Origins of Terrorism: Psychologies,
Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng
Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm.30.
[52]Latar belakang kehidupan pelaku
terorisme berdasarkan penelitian Clark (1981-1984) sebagaimana dikutip Post
adalah pertama berasal dari keluarga
yang berantakan: yatim, korban perceraian, dan mengalami konflik hebat dengan
keluarga. Kedua, adanya kegagalan dalam mengasuh, baik secara edukasional dan
vokasional (kegagalan pendidikan). Ketiga,
secara sosiologis termarginalkan. Lihat,
Ibid. hlm. 31-33.
[53]Dalam situasi tertentu, suatu organisasi
teroris (radikal) mungkin percaya bahwa sebenarnya sebagian masyarakat
mendukung tindakan mereka, meski masyarakat pendukung tidak berani menunjukkan
diri. Kenyataannya, pendukung laten ini jumlahnya tidak dapat diprediksi atau
dimobilisasi untuk melakukan aksi “damai.” Kondisi semacam ini membuat kaum
radikal menjadi frustasi. Akibatnya, bisa membangkitkan harapan yang tidak
realistis (utopis). Dapat dikatakan, dalam kasus ini telah terjadi kesalahan
presepsi terhadap realitas yang ada sehingga bisa melahirkan harapan baru yang
tidak realistis. Lihat, Crenshaw,
“Pertanyaan yang harus,” hlm. 11.
[54]Alasan kaum radikal memilih aksi
terorisme dan menyingkirkan opsi lainnya karena pertimbangan jumlah anggotanya
terlalu kecil dan adanya kendala waktu. Selain itu, para teroris tidak sabar
(adanya tekanan psikologis, perintah dari pimpinan, tuntutan dari para
pengikut, dan kompetesi dari pesaing yang menjadi halangan untuk melakukan
pemikiran yang strtegis, jernih, dan berjangka panjang) untuk segera mewujudkan
tujuannnya. Serta karena tersedianya target-target yang menggoda sebagai objek
tindakan terorisme. Lihat, Crenshaw,
“Pertanyaan yang harus,” hlm. 11-12.
[55]Terorisme merupakan alat (senjata)
penyambung lidah yang ampuh sekaligus satu-satunya kekuatan dari pihak yang
lemah dan sedikit jumlahnya terhadap pihak yang kuat dan berjumlah banyak. Hal
ini, tentu akan berbeda dengan pihak yang meski sedikit jumlahnya tapi punya
pengaruh (kekuasaan/kekuatan besar) dalam sektor kehidupan tertentu (misalnya
ekonomi dan politik) yang sangat kuat.
[56]Terorisme merupakan sebuah metode
kekerasan yang sangat ekonomis dibandingkan dengan cara lainnya. Tidak
membutuhkan logistik banyak untuk menghasilkan tujuan dengan cepat.
[57]Crenshaw, “Pertanyaan yang harus,” hlm.
7-8.
[58]Mark Juergensmeyer, “Terorisme Para
Pembela Agama,” dalam Terror in the Mind
of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. Amien Rozany Pane
(Yogyakarta: Tarawang, 2003), hlm. 6.
[59]Ibid., hlm. 8-9.
[60]“perkembangan yang paling menarik dan
tak diduga akhir-akhir ini adalah kebangkitan aktivitas teroris untuk mendukung
tujuan agama atau teror yang dilegalkan secara teologis. Ini adalah sebuah
fenomena yang dapat disebut sebagai teror “suci” atau “sakral.” Lihat, David C. Rapoport, “Teror Suci:
Contoh Terkini dari Islam,” dalam “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi,
Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” Judul asli: Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of
Mind, ed. Walter Reich, terj. Sugeng Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2003), hlm. 131-132. Yakni, teror yang dilakukan dengan
mengatasnamakan agama, menunjukkan identitas keagamaan, dan sasaran kepada
komunitas agama tertentu.
[61]Fungsi kekerasan dalam agama disini
tidak hanya untuk memberi kekuasaan dan keberdayaan individu serta cita-cita
ideologi mereka. Namun, juga mengentaskan geraka-gerakan agama marginal pada
posisi kekuasaan yang berhadap-hadapan dengan pesaing-pesaing moderat mereka. Lihat, Juergensmeyer, “Terorisme Para
Pembela Agama,” hlm. 332.
[62]Ibid. hlm. 325.
[63]Dilakukan secara berlebih-lebihan atau
melebihi batas kewajaran. Akibatnya, terjadi fanatisme buat (fanitisme tercela)
dan menimbulkan kesalahan dalam memahami (menafsiri) wahyu Tuhan.
[64]Selain karena faktor keyakinan
(agama) yang dalam memaknainya terlalu berlebih-lebihan, faktor tekanan
psikologis, kebencian, balas dendam, dan reaksi atas penindasan atau kekejaman
juga menjadi alasan mengapa seseorang mau mengorbankan nyawa, harta, dan kehormantannya.
Perbedaannya adalah faktor keyakinan keagamaan memberikan nilai-nilai suci
(transendental) pada gagasan terorisme, sehingga apa yang dikorbankan
sepenuhnya dilakukan secara sukarela tanpa tekanan. Sedangkan faktor selain
keyakinan merupakan sebuah pilihan “rasional” untuk melakukan terorisme karena
pengaruh psikologis. Lihat, Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, hlm. 67.
[65]Ibid.
[66]Rapoport, “Teror Suci: Contoh,”
hlm. 135.
[67]Menurut Juergensmeyer “terorisme agama
adalah bahwa ia secara ekslusif bersifat simbolik, dilakukan dengan cara-cara
yang luar biasa dramatis. Tetapi, tampilan atau pertunjukkan kekerasan yang
sangat mengganggu dibarengi dengan klaim justifikasi moral (moral justification) dan absolutisme
yang amat kuat, dicirikan melalui intensitas komitmen para aktivis agama dan
jangkauan transhistoris (transhistorical
scope) tujuan mereka. Lihat,
Juergensmeyer, “Terorisme Para Pembela,” hlm. 326.
[68]Rapoport, “Teror Suci: Contoh,” hlm.
152.
[69]Yang melandasi terjadinya tindakan
terorisme oleh suatu kelompok biasanya disebabkan adanya pandangan kosmis dalam
agama tertentu tentang kejadian perang. Dengan kata lain, pelaku terorisme
biasanya menjadikan ajaran agama dipakai sebagai pembenaran tindakan kekerasan.
Di mana, kekerasan yang dilakukan menjadi dalih untuk penegakan kebenaran dan
melenyapnya sistem aturan (norma) yang kacau. Lihat, Salam, Motivasi
Tindakan Terorisme , hlm. 6.
[70]Latar belakang di sini meliputi ekonomi,
politik, pendidikan, pekerjaan, cara bersosial, kejiwaan, organisasi keagamaan,
dan latar belakang lainnya yang dipandang penting.