Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

BAB V Pendidikan Islam di Indonesia: Pesantren, Madrasah, dan Sekolah



BAB V
Pendidikan Islam di Indonesia: Pesantren, Madrasah, dan Sekolah


Kajian tentang perbandingan madrasah, pondok pesantren, dan sekolah –sebagai tiga “bentuk pendidikan” yang terbesar di Indonesia– khususnya terkait dengan implementasi Pendidikan Agama Islam bukan sebuah hal baru. Diskusi tentang itu, sebagaimana diketahui secara jamak telah ada utamanya sejak pemerintah Indonesia “meresmikan” madrasah melalui SKB Tiga Menteri Tahun 1975 sebagai lembaga pendidikan yang diakui sebagaimana sekolah umum. Lalu pada akhir-akhir ini pun pesantren –sebagai corak pendidikan asli milik masyarakat Indonesia– pasca disahkan Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 juga telah mendapat tempat yang “sejajar” dengan lembaga pendidikan lainnya di mata pemerintah.[1] Meskipun keberadaan pesantren “murni” kebanyakan di mata pemerintah diletakkan pada jalur pendidikan nonformal.[2] Oleh sebab itu, wajar bila setelahnya terjadi penilaian, perbandingan, dan pembaharuan terhadap ketiga bentuk pendidikan tersebut.
Diakui atau tidak, perkembangan yang dilakukan secara terencana maupun secara “alami” oleh ketiga bentuk pendidikan tersebut tidak lepas dari fenomena eksternal.  Di antaranya semakin bertambahnya jumlah penduduk, semakin kritisnya orang tua murid, dan semakin kompleksnya permasalahan (konteks sosial) masyarakat. Tentu intervensi pemerintah juga memiliki peranan, melalui peraturan (Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dll) dan pemberian dana kepada lembaga pendidikan Islam.[3] Dari keadaan tersebut mulai muncul kesadaran, bahwa pendidikan nonformal saja terlebih lagi informal dipandang tidak cukup. Hal ini bisa dilihat ketika ada seseorang yang punya keahlian tertentu yang tidak diragukan kapabelitasnya, tapi bila tidak memiliki ijazah[4] maka ia tidak bisa “melamar” atau berkarir pada bidang pekerjaan formal. Misalnya menjadi PNS, menjadi bupati, melamar caleg, dan bahkan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan Islam dalam bentuk formalisasi, khususnya di pesantren pada akhir-akhir ini merupakan sebuah keniscayaan. Salah satunya dengan cara mendirikan pesantren formal (terakreditasi sesuai Standar Nasional Pendidikan), mendirikan madrasah atau sekolah “umum” yang berada di bawah naungan pesantren. Bisa juga dengan melalui program paket A, B, dan C terlebih dahulu untuk mendapatkan ijazah formal.



Oleh sebab itu, kajian ini dipandang masih tetap layak untuk dibahas, terutama dalam menghadapi dinamika masyarakat yang senantiasa terus berjalan cepat.[5] Terlebih, bila dinamika tersebut terkait dengan permasalahan-permasalahan yang membutuhkan penyelesaian secara komprehensif. Dengan demikian, idealnya mempelajari dan mendalami dunia pendidikan berarti juga harus mempelajari ilmu lain, yaitu ilmu politik, ilmu manajemen, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu informasi, dan ilmu-ilmu yang relevan. Di mana, dalam konteks ini kajian ilmu tersebut sangat penting untuk digunakan. Yakni, sebagai dasar analisis keadaan sosio-psikologis masyarakat dalam memilih (menentukan) bentuk lembaga pendidikan dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagai sebuah konsep dasar,[6] maka “mengkritisi” bentuk pendidikan –madrasah, pondok pesantren, dan sekolah– secara detail merupakan  modal awal yang sangat penting.
Apabila menengok pada keadaan sebelum lahirnya Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, sesungguhnya posisi pesantren diasingkan dan terdiskriminasi dari sistem pendidikan nasional. Pada waktu itu pesantren dipandang bukanlah sebagai lembaga pendidikan yang “pantas” untuk disandingkan dengan lembaga sekolah umum. Meski demikian, peran pesantren dalam pembangunan bangsa Indonesia sangat besar, utamanya dalam mendidik moral anak bangsa yang sebagian besar dari kalangan “miskin” dan termarjinalkan. Yakni, dari kalangan masyarakat yang tidak terserap oleh lembaga pendidikan formal yang kala itu cenderung mahal dan sekuler.[7] Dari sudut pandang itu, dapat dirasakan jasa mencolok pesantren selama ini adalah sungguh besar. Salah satunya meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.[8] Hal ini bukan berarti menafikan peran bentuk pendidikan selain pesantren. Bagaimanapun, PAI di madrasah dan sekolah pada saat itu bisa membantu menempatkan lulusannya di pekerjaan formal.[9]
Lebih detail, pada Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan sekarang ini memiliki kesetaraan dengan bentuk pendidikan Islam lainnya. Syaratnya adalah lembaga pesantren tersebut telah terakreditasi (sesuai dengan ketentuan Standar Nasional Pendidikan). Sebagaimana yang tertuang pada pasa 11 ayat 1-3:

(1) Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan. (2) Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. (3) Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya

Adapun dari sudut perbandingan istilahnya (terminologi), antara madrasah dan pesantren tidak memiliki perbedaan. Artinya, keduanya sama-sama sebagai lembaga pendidikan yang ciri utamanya adalah untuk mendalami dan mengamalkan nilai-nilai Islam. Namun demikian, sesungguhnya bila dikaji lebih mendalam dan holistis tetap ada perbedaan. Utamanya dari tinjauan historis, bahwa awal berdirinya madrasah di Indonesia ditengarai banyak keinginan untuk mengadakan pembaruan (transformasi) sistem pendidikan Islam yang lama, yaitu pesantren. Meski pada mulanya perubahan tersebut hanya pada aspek nama (label) saja yaitu dari pesantren berganti menjadi madrasah. Serta terdapat perubahan di dalam ruang pembelajaran, yaitu terdapat bangku-bangku sebagi menulis. Dengan demikian materi, metode, dan manajemen pendidikan madrasah pada saat itu tidak jauh berbeda dengan pesantren. Namun, pada akhir-akhir ini –sebagaimana yang akan dibahas secara mendalam pada buku ini— tujuan secara terperinci dan metode pengelolaan (manajemen) dari kedua bentuk lembaga pendidikan Islam tersebut benar-benar berbeda.
Lebih lanjut, sesungguhnya pesantren secara formal diposisikan ke dalam jenis pendidikan[10] keagamaan.[11] Sedangkan madrasah dan sekolah (MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA) diposisikan sebagai jenis pendidikan umum, serta (MAK/SMK) masuk dalam jenis pendidikan kejuruan.[12] Dari situ dapat dikatakan bahwa pesantren hanya memfokuskan diri pada pembelajaran keagamaan Islam. Sedangkan madrasah selain mempelajari ilmu agama Islam juga memberikan ilmu umum. Adapun sekolah kebalikannya, selain mempelajari ilmu umum juga wajib memberikan ilmu agama meski porsinya sangat minim.[13] Implikasinya, pesantren cenderung diminati oleh masyarakat yang ingin mendalami agama Islam saja tanpa ilmu lain. Serta Madrasah diminati oleh masyarakat yang mendambakan keterpaduan di antara dua ilmu tersebut.
Berangkat dari semua asumsi penulis di atas, maka pembahasan ini seoptimal mungkin bisa terbebas dari kesubjektifitasan. Yakni, adanya pengaruh “emosional” dan keterikatan batin penulis dengan bentuk lembaga pendidikan tertentu. Hal ini ditekankan karena biasanya kalangan dari lulusan (alumni) atau yang peduli terhadap madrasah akan mengunggulkan bentuk pendidikan madrasah dalam setiap pengkajian dengan berbagai argumennya. Sebaliknya pula, lulusan yang berasal dari bentuk pendidikan pesantren maupun sekolah. Atas dasar itu, maka faktor “kefanatikan” tersebut dalam pembahasan ini berusaha dikesampingkan oleh penulis. Oleh karena itu, penulis akan mengumpulkan referensi sebanyak dan seheterogen mungkin untuk menemukan sebuah kesimpulan yang terpercaya. Dengan harapan agar bisa ditemukan konsep bentuk pendidikan[14] yang ideal dan bisa menjadi solusi terbaik bagi umat Islam dan bangsa. Sungguh pun demikian, penulis menyadari bahwa tulisan pada Bab ini hanya menampilkan gambaran kecil tentang sistem pendidikan Islam yang amat luas di Indonesia.

A.  Konsep Dasar
1.    Bentuk Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Sebenarnya bentuk dan penyebutan lembaga Pendidikan di Indonesia sangat banyak. Namun, secara garis besar –salah satunya yang mempunyai siswa terbanyak— adalah lembaga pendidikan yang berbentuk pesantren, madrasah,[15] dan sekolah. Lebih lanjut, menurut Mohammad Ali pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk. Pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk Pendidikan Agama Islam (PAI) di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Itu artinya dalam pemahaman penulis, pendidikan Islam hanya berwujud alokasi mata pelajaran saja pada sekolah umum, yang wajib diberikan pada muridnya. Kedua, pendidikan umum yang berciri khas Islam pada satuan pendidikan di semua jenjang dan jalur pendidikan. Menurut penulis, baik Madrasah maupun Sekolah umum yang bercirikan Islam (sekolah Islam)[16] misalnya SMP Islam, SMP Maarif, dan SMP Muhammadiyah masuk ke dalam bentuk nomer dua ini. Ketiga, pendidikan keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan pesantren yang diselenggarakan pada semua jalur pendidikan (tidak ada penjelasan tentang jenjang pendidikannya).[17]
Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa pesantren adalah pendidikan keagamaan secara “kejenjangannya” tidak bisa disetarakan dengan pendidikan Madrasah dan sekolah. Implikasinya, peserta didik dari pesantren murni (tanpa terlebih dahulu berproses di madrasah atau sekolah umum) atau diniyah tidak bisa berpindah (utamanya) ke jenjang pendidikan dasar dan menengah pada sekolah umum. Kendati demikian, apabila didasarkan pada Undang-undang Sisdiknas 2003 (pasal 26 ayat 6 dan pasal 27) digambarkan bahwa pendidikan keagamaan (termasuk pesantren dan diniyah) dimungkinkan masuk dan diakui keberadaannya sederajat dan setera (bila sudah diadakan penilaian penyetaraan yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan /SNP) dengan pendidikan formal lain (Madrasah dan sekolah umum).[18]
Meski kenyataannya tidak banyak pondok pesantren yang menempuh program penyetaraan/pengakuan agar sesuai dengan standar sistem pendidikan nasional. Padahal bila pesantren murni itu sesuai dengan SNP, maka seluruh bentuk pendidikan yang sederajat bisa menerima pindahan dari pesantren. Tentunya juga bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Dapat dikatakan, pesantren yang dulu sistem pendidikannya tidak pernah disentuh oleh pemerintah, kini telah diresmikan menjadi bagian dari sistem pendidikan Nasional. Implikasinya, kesejahteraan dan pengelolaan pesantren juga mendapat perhatian dari pemerintah. Bahkan, pesantren kemudian “dituntut” untuk melakukan pengembangan-pengembangan. Salah satu hal yang menjadi perhatiannya adalah kurikulumnya.
Dari pembahasan di atas, agar terjadi kejernihan pemahaman tentang tiga bentuk pendidikan tersebut maka dipandang perlu untuk mendefinisikannya. Di mana, perumusan definisi tersebut secara lebih konkret didasarkan konteks kekinian. Hal ini untuk membatasi pengertian, supaya ada dasar pijakan yang jelas, dan agar terhindar dari kerancuan atau multi tafsir. Oleh karena itu, dapat dirumuskan penjelasan tentang tiga istilah tersebut sebagai berikut:

a.    Pesantren
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pesantren berasal dari kata dasar “santri,” sehingga bisa menjadi kata pesantrian atau yang lebih dikenal dengan pesantren. Di mana, kata pesantren berarti “asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji” atau bisa diartikan sebagai “pondok.” Sedangkan kata pondok punya arti pertama “bangunan untuk tempat sementara” (seperti yang didirikan di ladang, di hutan), kedua “rumah (sebutan untuk merendahkan diri),” ketiga bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak dan berdinding bilik dan beratap rumbai (tempat tinggal beberapa keluarga), empat “madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar agama Islam).”[19]
Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan secara kebahasaan, istilah “Pondok Pesantren” merupakan bentuk istilah pemborosan kata. Terutama, bila hal ini digunakan sebagai tema kajian dalam tulisan ilmiah akan memakan cukup banyak tempat pada setiap halamannya. Selain itu, kata “pondok,” sebagaimana penjelasan di atas bisa bermakna luas.[20] Salah satunya bisa kepada konotasi negatif yaitu sebagai istilah pengganti kata “rumah” yang diungkapkan untuk merendahkan diri. Adapun menurut Mujamil Qomar istilah pondok bisa menjadi pembeda dengan pesantren tatkala di dalamnya terdapat asrama. Di mana, makna pondok sebagai asrama itu pada kenyataannya telah mengalami pergeseran “fungsi.”  Awalnya untuk memperlancar proses belajar dan adanya keterjalinan hubungan peserta didik dengan ustad atau Kiai, pada akhirnya hanya sebagai tempat tidur semata bagi pelajar atau mahasiswa yang belajar di lembaga (umum) lain.[21] Oleh karena itu, penggunaan istilah pesantren menurut penulis pada pembahasan selanjutnya lebih tepat untuk digunakan secara konsisten dari pada istilah pondok pesantren.
Dalam kajian hukum kenegaraan Indonesia, pesantren merupakan jenis pendidikan keagamaan. Dimana menurut Undang-undang bahwa “Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.”[22] Dari sudut pandang itu, dapat dikatakan bahwa pesantren merupakan lembaga yang menfungsikan diri sebagai lembaga yang hanya memfokusikan pada hal-hal yang terkait dengan ajaran agama Islam. Artinya, pada pesantren bisa terdapat pondok (asrama) untuk menginap santri atau bisa juga tidak ada sehingga santri pulang pergi dari rumah.
Pesantren merupakan lembaga yang tumbuh dari bawah, yaitu karena dikehendaki dan dibangun oleh masyarakat bahkan oleh perangkat pemerintahan desa. Namun demikian, peran Kiai sebagai sosok utama dalam pendirian dan pengembangannya sangat dominan. Bisa dikatakan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang paling otonom. Artinya, lembaga yang tidak bisa diintervensi dari sudut pandang apapun oleh pihak-pihak luar kecuali atas izin Kiai.[23] Dari sini dapat dilihat bahwa Kiai merupakan sosok pemimpin yang menentukan kebijakan secara mutlak, sebagai pusat kurikulum, dan sebagai “pemilik” pondok pesantren. Bisa dikatakan, pesantren “murni” merupakan bentuk pendidikan Islam yang paling orisinil dan berwibawa karena terjaga atau meminimalisir pengaruh-pengaruh eksternal.

b.    Madrasah
Madrasah adalah sekolah atau perguruan yang didasarkan pada agama Islam. Sedangkan, jenjangnya ada Madrasah Ibtidaiyah yaitu sekolah agama Islam tingkat dasar (SD), Madrasah Sanawiyah yaitu sekolah agama (Islam) pada tingkat menengah pertama (SMP), dan Madrasah Aliah yaitu sekolah agama (Islam) pada tingkat menengah atas (SMA).[24] Sesungguhnya, istilah “madrasah” bukanlah asli dari Indonesia, tapi ia muncul pertama kali pada abad X atau XI Masehi di Timur Tengah. Dalam konteks Indonesia, pendirian madrasah merupakan fenomena modernisasi pendidikan Islam di Indonesia. Salah satu upayanya adalah pengembangan sistem pendidikan tradisional Islam yang awalnya diadakan di Masjid, langgar, dan pesantren tanpa batas waktu dan batas usia peserta didiknya dikembangkan menjadi sistem klasikal. Yakni, terdapat penjenjangan, penggunaan fasilitas bangku serta papan tulis, hingga memasukan materi pengetahuan umum dalam kurikulumnya. Bisa dikatakan, dalam konteks Keindonesiaan penggunaan istilah “madrasah” dimaksudkan untuk membedakan antara lembaga pendidikan Islam modern dengan lembaga pendidikan Islam tradisional maupun pendidikan “sekolah” ala Belanda yang cenderung sekuler.[25]
Menindaklanjuti penjelasan di atas, apabila ditinjau dari aspek sejarah, setidaknya ada dua faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah. Pertama, adanya penggugatan atas sistem pendidikan Islam tradisional yang kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas cepatnya perkembangan lembaga “sekolah” yang dipelopori oleh Belanda, sehingga bisa menimbulkan pemikiran yang sekuler di Masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut masyarakat Muslim (utamanya modernis) berusaha melakukan reformasi melalui upaya pengembangan pendidikan dan pemberdayaan madrasah.[26] Lebih detail, Kiai Haji Sahal memaparkan:

Setelah menyadari perlunya perubahan atau penambahan sistem pendidikannya, maka baru pada awal abad ke-20, pesantren memperkenalkan sistem klasikal yang disebut madrasah. Sistem ini dilengkapi dengan pengetahuan umum -walaupun masih sangat terbatas- sebagai jawaban positif atas terjadinya perubahan-perubahan akibat politik etis kolonial. Madrasah sudah mengajarkan pengetahuan umum sejak awal, sesuai dengan kebutuhan. Namun ia tetap merupakan pengembangan dari pesantren, menekankan pendidikan keagamaan Islam, terutama menyangkut disiplin akidah, syari'ah dan akhlak. Titik tekan ini masih mampu dipertahankan secara mencolok sampai akhir masa penjajahan Jepang. Prestasi yang dapat dilihat adalah munculnya para alumni yang mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai. Mereka dinilai tangguh dan mampu mengembangkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam, juga memiliki kepekaan tinggi terhadap masalah sosial dan lingkungan. Madrasah dengan titik tekan materi pendidikannya di atas, diperkuat lagi dengan sikap non-kooperatif para pendirinya terhadap pemerintah kolonial Belanda, sengaja tidak menelorkan anak didik sebagai tenaga kerja dan birokrat kolonial. Kegiatan pendidikan yang diciptakan pesantren dan madrasahnya tidak diproyeksikan pada produktifitas kerja. Madrasah dan pesantren bahkan menentang paham priyayiisme yang sengaja diangkat oleh Belanda untuk menarik pengaruh masyarakat terhadap timbulnya 'nilai lain' akibat perbedaan status sosial. Ijazah-ijazah formal sebagai tanda keberhasilan pendidikan murid, belum mampu mempengaruhi mereka untuk mengubah pandangan, dari dasar menuntut ilmu li wajhillah ke arah pandangan yang bersifat duniawi. Dari sini timbul watak kemandirian, sebuah ciri utama dan identitas madrasah waktu itu, sesuai dengan induk pengembangnya yaitu pesantren.[27]

Pada masa kini, pengembangan madrasah bukan hanya terjadi pada kurikulum-silabusnya dengan referensi baru. Madrasah mulai membuka dan mengembangkan wawasan kurikulumnya. Orientasi akan kebutuhan hidup peserta didik dan status sosial mereka di masa mendatang sangat diperhatikan. Misalnya, perlunya ijazah formal madrasah atau ijazah ujian persamaan negeri menjadi amat penting dan cenderung mengubah ke paradigma duniawi semata. Implikasinya, nila belajar untuk memeroleh rida Allah telah memudar, digeser dengan niat untuk meraih ijazah. Selain itu, paradigma priyayiisme ang dulu ditentang madrasah, sekarang malah ditolerir. Serta penilaian prestasi madrasah diukur secara kuantitif, salah satunya dengan mengukur banyak sedikitnya peserta didik yang lulus ujuan negara. Dari segi kelembagaan, madrasah mulai kehilangan jati dirinya sebaga lembaga yang mandiri. Data tersebut mengindikasikan telah terjadi pergeseran nilai di madrasah. Konsekuensinya, bila hal tersebut tidak dibenahi menjadikan posisi madrasah menjadi tidak jelas. Pada akhirnya, madrasah di mata peserta didik kurang mendapat perhatian serius kecuali hanya sebagai tempat pelarian.[28]
Dapat disimpulkan, madrasah adalah lembaga pendidikan yang diakui secara hukum yang orientasi utamanya untuk mengadakan pembaharuan pendidikan Islam. Baik dari segi keilmuan, manajemen, sistem pembelajaran, dan pasca terbitnya SKB 3 Menteri 1975 yaitu untuk memenuhi formalitas (ijazah, memakai seragam, terdapat manajemen profesional, dll).[29] Dengan maksud bisa tercapainya generasi umat Islam yang mampu menguasai ilmu pengetahuan agama sekaligus ilmu pengetahuan umum secara seimbang. Madrasah juga bisa dimaksudkan sebagai bentuk eksistensi sekaligus identitas kultur keagamaan umat Islam dalam dunia pendidikan Modern. Artinya, dengan memberikan label atau menggunakan istilah “madrasah” pada lembaga pendidikan maka terkesan memiliki nilai kelebihan[30] dan prestise tersendiri. Oleh karena itu, hakikatnya keberadaan madrasah di Indonesia baik secara historis maupun konsep pengembangannya secara umum merupakan bentuk pendidikan Islam yang paling fleksibel di antara yang lainnya.

c.    Sekolah
Kata “sekolah” salah satunya memiliki arti “bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.” Serta salah satu dari beberapa arti lainnya yaitu “usaha menuntut kepandaian (ilmu pengetahuan); pelajaran; pengajaran.” Sedangkan secara khusus sekolah agama diartikan sebagai sekolah yang memberikan pendidikan dalam bidang keagamaan.[31] Ada yang mengatakan bahwa kata sekolah berasal dari bahasa Inggris school yang berarti sekolah. Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan sekolah diselenggarakan tidak hanya dikhususkan untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum saja. Akan tetapi sebuah usaha untuk menuntu kepandaian dan pembelajaran pada semua aspek ilmu pengetahuan, termasuk agama.
Menurut H. A. R Tilaar yang dikutip oleh Agus Sholeh dalam sejarahnya, sekolah merupakan lembaga pendidikan yang didirikan oleh Kolonial Belanda. Oleh sebab itu, wajar bila lembaga sekolah diposisikan secara istimewa oleh Belanda, sehingga tidak memberikan ruang yang proposional bagi umat Islam untuk mengembangkan potensinya.[32] Selain itu,  menurut Nasution “tujuan utama [Belanda mendirikan sekolah] rupanya untuk melenyapkan agama Katolik dengan menyebarkan agama Protestan.” Di mana, pada permulaannya semangat mendirikan sekolah oleh Belanda (sekitar tahun 1607) diutamakan pada daerah-daerah yang pernah dimasuki oleh Portugis sebagai pembawa agama Katolik, seperti daerah Ambon dan Maluku. Setelah agama Katolik lenyap, maka program pendirian sekolah pada abad ke-18 mulai menurun. Kendati demikian, di Indonesia timur “Belanda tidak mempunyai hasrat sedikit pun untuk mempengaruhi orang Islam menjadi Kristen.” Namun, di sisi lain ternyata kurikulum sekolah selama VOC sangat bertalian erat dengan gereja. Pada tahun 1617, para gubernur di Indonesia harus menyebarluaskan agama Kristen dan mendirikan “sekolah” untuk menyukseskan tujuan itu.[33] Lebih lanjut, terkait sistem pendidikan sekolah maka Nasution menyampaikan:

Pada zaman kolonial pemerintah Belanda menyediakan sekolah yang beraneka ragam bagi orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Ciri yang khas dari sekolah-sekolah ini ialah tidak adanya hubungan berbagai ragam sekolah itu. Namun lambat laun,.. terdapat suatu sistem yang menunjukkan kebulatan. Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertikal sehingga anak-anak Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi, sekalipun melalui jalan yang sulit dan sempit... Lahirnya suatu sistem pendidikan [sekolah] bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Nederland maupun Hindia Belanda.[34]

Dapat disimpulkan bahwa sekolah bukanlah produk sistem pendidikan asli Nusantara. Ia merupakan warisan dan hasil reproduksi dari kolonialsime Belanda.  Tidak seperti halnya pesantren yang secara kultur merupakan asli Indonesia. Paling tidak pesantren lahir di Indonesia dengan kesahajaannya, tanpa kepentingan duniawi dan menyatu dengan kultur pribumi. Sedangkan madrasah adalah hasil pengembangan yang berasal dari sinergitas (sintesis) antara bentuk pendidikan pesantren yang asli dari pribumi dengan bentuk pendidikan sekolah yang berasal dari barat. Oleh karena itu, pada konteks masa kini dalam upaya melakukan program pembudayaan religius berbasis Islam di sekolah umum oleh pendidik PAI perlu strategi yang cerdas dan lebih rumit dari pada di lembaga pendidikan berciri khas Islam.

2.    Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia
Secara historis, menurut Daulay fase pendidikan Islam di Indonesia dapat di bagi menjadi tiga macam.[35] Pertama, awal masuk dan menyebarnya Islam di Indonesia. Pada tahap ini dimulai dengan munculnya pendidikan informal (utamanya dalam lingkungan keluarga). Awalnya nilai esensi yang diajarkan adalah tentang pengenalan agama Islam. Selanjutnya, setelah itu baru muncul lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ditandai dengan adanya masjid, pesantren, surau, dll. Ciri utama dari fase pertama ini adalah:
a.    Materi pelajaran; hanya terkonsentrasi pada pengembangan dan pendalaman pada cabang ilmu-ilmu agama saja seperti tauhid, fiqh, tasawuf, akhlak, tafsir, hadith, dan ilmu-ilmu dasar agama lainnya yang sumber ilmu dan pembahasannya berasal dari kitab-kitab klasik berbahasa arab.
b.    Metode: sorogan, wetonan, dan muzakarah (musyawarah).
c.    Sistem pembelajarannya memakai sistem halaqah.
d.    Output: menjadi ulama, kiai, ustad, guru agama, mufti (ulamanya negara), dan modin (ulama desa) yang mengurusi upacara kematian.
Kedua, masuknya ide-ide pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Adanya dorongan pengembangan tersebut secara internal disebabkan faktor keterdesakan dan kesadaran diri untuk melepaskan dari penjajahan, di mana salah satu jalannya adalah melalui pembaharuan pendidikan (tidak mungkin mengubah keadaan dengan menggunakan cara yang sama secara terus menerus). Adapun faktor eksternalnya adalah banyak lulusan pelajar dan mahasiswa Indonesia dari Timur Tengah yang menelurkan berbagai pemikiran dan gerakan pembaruan. Ketiga, sejak diresmikan (formal) dalam undang-undang UUSPN No. 2 tahun 1987, kemudian dipertegas dengan UU  Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Madrasah kedudukannya sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. Sedangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan.
Adapun menurut Supani, pada hakikatnya perkembangan pendidikan dan pembelajaran Islam dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan dari sistem tradisional.[36] Yakni, yang diadakan di suaru, langgar, Masjid, dan pesantren. Lebih lanjut, “Mengenai perubahan sistem halaqah menuju sistem klasikal yang dikembangkan di madrasah di Indonesia, hal itu lebih dipengaruhi oleh sistem sekolah-sekolah pemerintahan Kolonial Belanda. Hal ini dilakukan untuk menandingi sekolah-sekolah Belanda yang diskriminatif dan netral agama, yang dinilai tidak sesuai dengan cita-cita Islam. Pengaruh itu juga datang dari orang-orang Indonesia yang belajar di negerinegeri Islam atau dari para guru dan ulama negeri tersebut yang datang ke Indonesia.”[37]
Dalam sejarahnya, pada Undang-undang No. 4 tahun 1950 Junto No. 12 tahun 1954 tidak disebutkan sama sekali tentang aturan terkait pendidikan agama. Hal ini menggambarkan bahwa  undang-undang tersebut hanya berlaku untuk pendidikan dan pembelajaran di sekolah umum. Ia tidak berlaku di sekolah agama maupun “lembaga” pendidikan yang dimiliki atau dibina oleh masyarakat. Hal itu artinya, baik madrasah maupun pesantren tidak diakui dalam sistem pendidikan nasional. Meski, ada salah satu diktum yang menerangkan bahwa peserta didik yang belajar di sekolah agama dengan status lembaganya diakui oleh Menteri Agama, maka mereka dianggap sah dalam memenuhi kewajiban belajar sebagai program pemerintah.[38] Secara detail, terkait dengan sejarah pendidikan Islam di pesantren, madrasah, dan sekolah  diuraikan secara terintegrasi pada anak subbab tertentu.

3.    Karakteristik Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Sekolah
Menurut banyak kalangan, proses pendidikan banyak dipengaruhi atau malah ditentukan oleh dinamika politik (kekuasaan),[39] budaya, dan dinamika masyarakat luas. Dengan demikian, corak atau karakteristik pendidikan juga pasti mengalami pengembangan sesuai dengan keadaan zaman. Meskipun, ada nilai-nilai serta identitas (simbol) tertentu yang tidak bisa digerus zaman dengan mudah, hingga bisa dikatakan sangat sulit dirubah bahkan oleh kekuasaan politik sekalipun. Lembaga seperti ini biasanya memiliki basis pendukung (utamanya masyarakat) yang kuat, sehingga bisa mempertahankan diri dari intervensi luar. Meski, pada sudut lainnya dengan terpaksa harus mengikuti perkembangan zaman, misalnya penggunaan alat, sarana, dan prasarana pendidikan yang sudah dimodernisasi.
Salah satu fenomena seperti itu yang akan menjadi titik tekan penulis dalam kajian di anak subbab ini. Yakni, karakteristik Pendidikan Agama Islam terkini seperti apakah yang sedang “terjadi” pada Pesantren, Madrasah, dan Sekolah. Apakah masing-masing dari mereka benar-benar kehilangan karakter atau corak (identitas) yang sejak awal telah melekat kuat. Atau justru masing-masing semakin menjauh satu sama lain, lalu saling bertolak belakang dan saling bertentangan. Kemungkinan lain bisa jadi dari ketiga bentuk pendidikan tersebut melakukan “akulturasi” sistem pendidikan. Yakni, melakukan tambal sulam dengan mengambil sistem pendidikan lain yang dipandang cocok diterapkan dengan karakteristik awal mereka. Namun, tetap mempertahankan dengan kuat semangat dan tujuan awal dari didirikannya lembaga tersebut.[40]
Sebagai dasar analisis fenomena di atas, telah ditemukan berupa hasil penelitian pada sebuah pesantren di Pekanbaru. Di mana tiap pola dan sistem pendidikan yang diterapkan antara pesantren tradisional dengan pesantren modern masing-masing memberikan keunggulan (dampak positif) dan kelemahan (dampak negatif) yang berbeda satu sama lain. Pertama, keunggulan pola pesantren tradisional adalah fokus perhatian sekaligus penghafalan al Quran dan upaya penggalian “kitab kuning” bisa terlestarikan. Adapun kelemahannya adalah sulit bersaing dengan lembaga lain yang berbentuk sekolah umum dan dalam pengembangan Ilmu pengetahuan teknologi. Sedangkan yang kedua keunggulan pola pesantren modern adalah mampu bersaing dengan lulusan sekolah unggulan umum. Akan tetapi kelemahan dalam bidang bahasa dan kajian kitab kuning (kitab klasik) tidak optimal. Namun demikian, adanya keberagaman pola pendidikan pesantren tersebut membuat kekayaan khazanah pendidikan Islam semakin nampak.[41]
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa corak atau model pesantren modern dengan pesantren tradisional juga akan menghasilkan kompetensi (corak) peserta didik yang berbeda pula. Walaupun, resikonya adalah akan tercipta kader-kader umat Islam yang beranekaragam kemampuannya. Dengan adanya dialog antar “keragaman” tersebut, diharapkan akan terjadi pengembangan-pengembangan terbaru. Salah satunya bisa menemukan solusi permasalahan yang tepat bagi kebutuhan masyarakat. Selain itu, dengan begitu beragamnya corak pendidikan (khususnya pendidikan Islam) diharapkan bisa ditemukan suatu sistem pendidikan yang ramah bagi umat Islam untuk mengkaji, menerapkan, dan menghayati nilai-nilai Islam.
Lebih nyata, fenomena unik pada dunia pendidikan telah terjadi di kehidupan masyarakat sekarang ini. Salah satu faktornya adalah terdapat adaptasi yang berlebihan (di luar pakem/acuan) oleh lembaga pendidikan. Hal ini dilakukan agar lembaga tersebut tetap diminati dan bisa diterima oleh masyarakat. Implikasinya, secara simbol (identitas) atau corak terjadi pengkaburan batas antara mana yang pesantren, mana yag madrasah, dan mana yang sekolah umum.[42] Misalnya, banyak sekolah umum baik yang negeri maupun swasta peserta didik beragama Islam diwajibkan sholat Zuhur berjamaah dan sholat Jumat bahkan sholat Duha di Masjid atau Mushola sekolah. Hal itu utamanya bagi sekolah yang mayoritas atau bahkan 100% peserta didiknya beragama Islam. Ada pula SD dan SMP swasta maupun negeri yang mewajibkan peserta didik putrinya memakai jilbab dan bagi peserta didik putranya diwajibkan mengenakan celana panjang. Fenomana itu terutama pada lembaga pendidikan umum yang lokasinya dekat dengan lembaga pendidikan Madrasah.
Adanya difusi yang ekstrem tersebut menyebabkan masyarakat sulit membedakan bentuk pendidikan seperti apa yang disuguhkan kepada mereka. Di mana yang agak mudah dibedakan dari ketiga bentuk tersebut hanya rohnya –yang menjadi ciri khas (hakikat) perjuangan masing-masing lembaga–, nama institusi (label), dan kurikulum tersembunyi (hidden curiculum) secara detail-operasional. Namun, secara kasat mata baik itu berupa anggaran yang diterima (terutama dana BOS), kemegahan gedung, prestasi, dan semacamnya sulit untuk dibedakan. Dengan kata lain, banyak institusi pendidikan yang mulai menyadari bahwa masyarakatlah yang menjadi “raja,” sehingga bebas menentukan ke mana mereka akan menyekolahkan anaknya. Sebagai gambaran detail dari penjelasan di atas, maka penulis bisa rumuskan ke dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 5.1 Kasus Tertentu: Terjadi Kelunturan Identitas/Karakteristik

Sistem Pendidikan
Nama (sebagai label)
Isi (muatan)/ hakikatnya
Analogi rasa buah-buahan
Keterangan
Konteks Masyarakat
Madrasah
Sekolah
Berbentuk Duren tapi rasanya Mangga
Tidak terjadi integrasi, yang ada hanya penambahan jam mata pelajaran PAI. (lebih banyak mempelajari ilmu umum)
Santri modern, pragmatis, dan formalis.
Pesantren
Madrasah
Berbentuk Jeruk tapi berasa Duren
Mendalami ilmu pengetahuan umum yang diintegrasikan dengan ilmu agama
Santri reformasi-progresif, dan realistis
Sekolah
Pesantren
Berwujud Mangga tapi rasanya Jeruk
Memunculkan nilai-nilai keislaman yang berciri khas kepesantrenan dalam keseharian proses pendidikan
Santri tradisionalis (kemapanan) dan formalis

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa proses “akulturasi” lembaga dari bentuk lembaga “lama” dengan bentuk lembaga yang lain dilakukan karena dipengaruhi oleh konteks atau latar belakang masyarakat di sekitar lembaga. Hal itu dilakukan agar eksistensi lembaga tetap terjaga karena lembaga tersebut benar-benar bermanfaat bagi kehidupan jangka panjang masyarakat. Penggunaan nama hanya sebagai label (bungkus) untuk formalitas supaya masyarakat dan bahkan pemerintah mau menerima lembaga tersebut seperti halnya lembaga lain yang senama (selabel). Dengan kata lain, apa yang dibutuhkan oleh masyarakat secara umum maka produk pembelajaran itulah yang harus “dijual” oleh lembaga pendidikan. Walaupun sebenarnya juga ada faktor lain yang lebih kompleks tentang alasan seseorang memilih sebuah lembaga atau bentuk pendidikan tertentu. Untuk lebih detailnya masalah ini telah penulis paparkan pada halaman selanjutnya.
Dapat disimpulkan meskipun masih berupa “kasus” tertentu, akhir-akhir ini telah terjadi yang namanya fenomena unik. Yakni, banyak lulusan dari pesantren, madrasah, dan sekolah yang sangat sulit dibedakan kemampuannya. Artinya, ada lulusan pesantren yang menguasai ilmu umum. Di sisi lain, tak sedikit lulusan sekolah yang menguasai dan menerapakan nilai-nilai Islam dengan baik. Bila itu terjadi, masyarakat akan sulit membedakan mana lulusan dari madrasah, mana yang dari pesantren, dan mana yang dari sekolah. Secara kasat mata (kulitnya) semua seakan sama saja. Akan tetapi, yang perlu dikritisi adalah apakah kemampuan tersebut benar-benar integratif atau hanya kemampuan parsial? Artinya, keunggulan siswa tersebut pada satu bidang keilmuan saja misalnya ilmu agamanya atau hanya ilmu umum. Pertanyaan selanjutnya, apakah ada keterpaduan (integrasi) antara kedua jenis ilmu itu? Atau penyelenggaraan pendidikan hanya menyentuh permukaannya atau pada tataran simbol sebagai identitas diri (bungkus) saja? Idealnya, pada hakikatnya antara keduanya harus saling mengokohkan (terintegrasi) satu sama lain, sehingga antara roh ilmu keagamaan dengan roh ilmu umum terjadi penyatuan
Berangkat dari semua penjalasan di atas, penulis menganggap perlu diadakan pembedahan pada tiga bentuk pendidikan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan karakteristik masing-masing. Dengan itu diharapkan bisa ditemukan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, penulis memaparkan secara detail terkait hal itu sebagai berikut:

a.    Pesantren
Membicarakan pesantren tidak akan pernah lepas dari sosok seorang Kiai. Menurut Imam Bawani posisi Kiai dalam pesantren laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas peran Kiai yang begitu kuat dalam membina pesantren disebabkan karena merekalah yang umumnya menjadi perintis, pendiri, dan bahkan juga pemilik tunggal dari pesantren.[43] Oleh karena itu, wajar bila pola kepemimpinan pesantren didasarkan pada keturunan dari pendiri pesantren tersebut karena pesantren merupakan “hak” pribadi. Meskipun demikian, Kiai dengan kharismanya juga mampu menggandeng masyarakat luas dan kadangkala pemerintah untuk ikut membangun dan mengembangkan pesantren menjadi lebih besar.
Pesantren juga erat kaitannya dengan “paradigma dikotomi” dalam memandang sebuah ilmu. Yakni, memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Keduanya diyakini memiliki derajat, hukum, dan fungsi yang berbeda. Menurut Muhammad Kholid Fathoni paradigma tersebut bisa terjadi karena dilandasi oleh pola pikir semacam ini:
1)   Pesantren merupakan benteng terakhir bagi “keutuhan” agama dan budaya Islam di Indonesia.
2)   Pengaruh politik penjajahan yang menyemai perlawanan di kalangan rakyat sehinga berujung pada penolakan atas corak pendidikan umum (sekolah) yang notabene produk atau dibawa oleh Belanda.
3)   Doktrin-doktrin dari kitab klasik di pesantren yang mengutamakan ilmu agama (dihukumi wajib) dari pada ilmu umum ( dihukumi fardu kifayah). Termasuk di dalamnya terdapat ajaran anti “cinta dunia” secara berlebihan.[44]
Karakteristik pesantren yang terkesan kaku tersebut bukan berarti sepenuhnya tak memiliki makna (nilai positif) sama sekali. Bahkan, berdasarkan fakta-kongkrit di masyarakat menunjukkan bahwa pesantren bisa memajukan mutu pendidikan dengan cara mereka sendiri.[45] Tentunya dengan kadar kompetensi lulusan yang mereka bangun sendiri (sesuai dengan ciri khas pesantren masing-masing). Kepatuhan lembaga pendidikan terhadap aturan dari pemerintah, dinilai berdampak pada fenomena pendidikan yang terkooptasi (terkekang) oleh birokrasi. Dampaknya, visi dan misi yang dibangun sejak awal dapat hilang, sehingga terjadi penumpulan pandangan pesantren dalam membaca arah kebutuhan (bukan kemauan atau keinginan) masyarakat yang sebenarnya.[46]
Disamping itu, selama ini pesantren telah menawarkan budaya tersendiri. Yakni, adanya nilai-nilai tauhid, kesederhanaan, kemanusiaan,, keadilan, kejujuran, kepedulian, kemandirian, dan sebagainya. Bagi pesantren, ukuran keberhasilan bukan semata-mata dilihat dari seberapa banyak harta terkumpul dan pekerjaan atau karir apa yang tercapai. Akan tetapi dijangkau dari seberepa dekat diri manusia kepada Tuhan. Dengan demikian, pesantren harus dilihat sebagai pesantren, bukan yang lainnya. Pesantren memiliki orientasi hidup tersendiri dalam pengertian seluas-luasnya. Pesantren tidak perlu ditarik-tarik ke dalam budaya hidup hedonis, materialis, dan kapitalis yang cenderung menindas rakyat kecil yang menjadi mayoritas.[47]
Dapat disimpulkan, bahwa selama ini pesantren dikesankan hanya melatih peserta didik (santri) untuk bertirakat sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah melalui jalan “ibadah.” Sedangkan “tarikat” dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan umum (kecuali praktik ilmu sosial: komunikasi, antropologi dan sosiologi untuk kepentingan dakwah agama) belum pernah ada. Padahal dengan menyingkap alam beserta fenomenanya (sebagai ayat kauniah) secara komprehensif bisa menghantarkan manusia dekat kepada Tuhannya. Serta tentu pada akhirnya juga bisa mewujudkan pengembangan IPTEK secara produktif sehingga bermanfaat bagi umat Islam. Peran inilah yang selanjutnya diharapkan bisa diambil oleh Madrasah secara utuh.













Sebagaimana pernyataan Kiai Haji Sahal Mahfud, bahwa “Mulanya falsafah pendidikan pesantren melulu bertujuan pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keagamaan. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk mencetak santri menjadi tenaga-tenaga terampil yang mampu terjun ke bidang kemasyarakatan dengan baik, harus dibekali dengan pengetahuan yang luas.” Lebih lanjut, karena kebutuhan masyarakat akan pengetahuan umum semakin terlihat, sehingga ketertarikan mereka terhadap ilmu menjadi lebih tinggi. Hal itu menjadi pendorong pesantren secara bertahap, mengubah struktur dan sistem pendidikannya. Dengan kata lain, transformasi dalam pesantren tidak dilakukan secara radikal mengubah dan menghapus sistem dan struktur pendidikan yang menjadi dinamika pesantren. Akan tetapi, “lebih menekankan pemeliharaan cara lama yang masih relevan dan [melakukan] pengembangan sesuai dengan cara baru yang lebih baik.” Secara gamblang mantan ketua MUI tersebut memaparkan bahwa:[48]

Lambat laun visi kepesantrenan terhadap [ilmu] pengetahuan [umum] menjadi semakin mantap. Dan sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak lagi hanya berorientasi pada pengetahuan keagamaaan, melainkan lebih luas lagi pada bidang-bidang pengetahuan umum. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan secara luas, yang menjadi pembahasan di sini, pesantren menempati posisi yang sangat berperan, karena posisinya sebagai lembaga pendidikan yang langsung berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Namun untuk menggariskan suatu konsep yang tepat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan [umum] di masa yang akan datang, masih harus mempertimbangkan beberapa alternatif dan kemungkinan-kemungkinan.

Dapat dikatakan, pesantren punya peranan yang cukup signifikan, utamanya dalam bidang keagamaan. Selain itu, secara kultural ia telah menciptakan pandangan hidup yang berciri khas kesantrian. Di mana, paradigma tersebut dapat dirumuskan dalam sebuah sistem nilai yang lengkap (utuh). Sistem tersebut, selain untuk menumbuhkan keterikatan santri satu sama lain juga menjadi filter  sekaligus penyerap nilai-nilai baru yang datang dari luar. Pada zaman dulu, paradigma pesantren tradisional ini termanifestai pada bentuk gaya hidup yang bersahaja, rela berkorban demi tercapainya cita-cita, dan rasa bangga bergaya hidup sebagai santri. Sedangkan secara sosial ekonomi, tata nilai pesantren tergejawantahkan dalam serangkaian etika sosial-ekonomi. Salah satunya kecenderungan untuk mengutamakan kolegialitas saat melakukan transaksi perdagangan. Selain itu, ada “kecenderungan memulai usaha dari modal yang kecil, kurangnya perhatian pada usaha akumulasi modal sebagai tujuan berniaga, dan kurangnya kesediaan untuk merintis usaha-usaha berjenis baru.” Lebih dari itu, berkembang pula etika sosial yang bercoark pengayoman. Yakni, bagi yang beruntung hidupnya diwajibkan meratakan sebagian darinya kepada para pekerja dan pembantu yang hidupnya serba kekurangan. Salah satunya melalui kegiatan zakat. Etika sosial seperti ini yang menghasilkan kultur lembaga pendidikan yang berwatak populis. Disebabkan, adanya kegiatan pelestarian melalui ajakan berbelas kasihan kepada mereka yang ditimpa kemalangan dan kekurangan.[49]

b.    Madrasah
Sebagaimana yang telah banyak diketahui, bahwa Madrasah merupakan lembaga pendidikan pembaharuan dari pola pendidikan pesantren. Walaupun menurut Arief Furchan pembaharuan pada awalnya hanya sekedar mekanisme dan tampilan saja. Sedangkan kurikulumnya 100% masih berisi pelajaran agama. Perbedaannya dengan pesantren adalah di Madrasah terdapat bangku, papan tulis, ulangan, ujian, dan adminstrasi lainnya. Akibatnya, karena kurikulumnya berbeda maka lulusan atau siswa dari madrasah pada masa itu tidak dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah umum. Adapun orang tua yang ingin anaknya mendapat ilmu agama sekaligus ilmu umum harus menyekolahkan anaknya di dua tempat, di sekolah umum dan di madrasah.[50] Dengan kata lain, madrasah seperti itu secara nyata dan meyakinkan hakikatnya adalah pesantren tapi berlabel madrasah.
Menurut Maksum, “dibandingkan dengan pesantren, madrasah relatif terorganisasi secara baik, dalam hal tujuan, kurikulum, kepemimpinan, dan proses belajar mengajarnya.” Contoh konkrit dari lembaga pendidikan madrasah adalah Madarasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA).[51] Dengan kata lain, sesungguhnya Madrasah secara konsep merupakan bentuk pendidikan yang lebih “mapan” dari pada bentuk pendidikan di pesantren. Hal ini karena sistem pendidikannya dilaksanakan secara terencana, terorganisir, terlaksana berdasar acuan, terkontrol, dan ada evaluasi dari sistemnya.
Padak perkembangan selanjutnya, pembaharuan pada madrasah dilakukan dengan cara pengkombinasian pemikiran, konsep, kurikulum, dan manajemen dari lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga sekolah. Bisa dikatakan, bahwa masyarakat (khususnya masyarakat Islam) seiring dengan perkembangan zaman tidak hanya membutuhkan pengkaderan umat dalam bidang keagamaan saja (menjadi ahli agama, ulama, dan Kiai). Namun, di sisi lain umat Islam juga butuh pengkaderan umat dalam bidang ilmu umum. Dapat disimpulkan, pendidikan pesantren saja dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, begitu pula hanya pendidikan sekolah umum juga tidak akan cukup. Di sinilah peran madrasah dimunculkan sehingga bisa menjadi daya tarik tersendiri, utamanya bagi masyarakat santri modern.
Kenyataan tersebut menimbulkan ambivalensi pada diri madrasah. Salah satu indikatornya ialah kehilangan identitas diri dan orientasi menjadi tidak jelas. Tanpa disadari pula, telah terjadi pendangkalan misi awal madrasah yang berciri intrinsik yaitu nilai-nilai Islam. Salah satu cirinya yaitu tata nilai Islami sebagai sumber pijakan dalam melakukan tranformasi kultural dan pembentukan sikap rasional Islam sehingga menjadi manusia seutuhnya telah terabaikan. Adapun “Problem masyarakat yang belum mendapat perhatian serius dari kalangan madrasah, ialah kian meledaknya secara dahsyat jumlah anak usia sekolah yang sangat memerlukan bimbingan dan pendidikan agama Islam.”[52] Di mana, mereka sangat rawan sekali melakukan tindakan pacaran bebas, penyalahgunaan narkoba, minuman keras, dan sebagainya. Ketertinggalan tersebut bila tidak dicari solusinya akan menghambat pengembangan madrasah itu sendiri.[53].

c.    Sekolah
Dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pada pasal 12 ayat 1 poin (a) mengutarakan “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:  a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;...” Lebih rinci pada Pasal 37 Ayat 1 poin (a) mengamanatkan bahwa “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. Pendidikan Agama;...” Dengan demikian menyelenggarakan pendidikan Islam tak terkecuali di lembaga pendidikan berbentuk sekolah merupakan sebuah kewajiban. Tentunya bila dalam lembaga tersebut terdapat hal-hal yang memenuhi syarat. Salah satunya peserta didik yang beragama Islam pada satu lembaga tersebut jumlah minimalnya sudah memenuhi syarat (diestimasikan antara 15-25 orang) untuk menyelenggarakan proses pembelajaran pada ruang kelas. Meski kenyataannya banyak pelanggaran-pelanggaran terkait hal ini, utamanya oleh lembaga pendidikan yang berciri khas agama nonislam.
Namun demikian, penyeleggaraan pendidikan Islam melalui mata pelajaran PAI di sekolah saja dirasa sangat tidak cukup. Terlebih, pada sekolah-sekolah yang cenderung sekuler dan yang terlalu mengagung-agungkan ilmu pengetahuan umum. Di mana salah satu ciri kesekulerannya adalah “tidak mengapresiasi” dan tidak memberikan kesempatan peserta didik untuk mengekspresikan diri melaui bidang keagamaan. Misalnya, terjadi diskriminasi terhadap peserta didik yang memakai jilbab dan kupyah sebagai ekspresi/simbol keagamaan, tidak ada kepedulian lembaga pada kesejahteraan Mushola di sekolah, dan cenderung menggiring siswa untuk menjauhi atau meminimalisir kegiatan-kegiatan/ritual keagamaan. Sebagaimana menurut Haidar Putra Daulay, bahwa peran trilogi pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat penting bagi kesuksesan tujuan pendidikan Islam. Di mana sesungguhnya PAI di sekolah hanya sebagian dari upaya pendidikan. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan agama harus ada jaringan kerja sama antar tiga wilayah tersebut. Setidaknya sejauh mana hubungan timbal balik antara sekolah dengan keluarga (rumah tangga) dalam menyelenggarakan pendidikan Islam bisa terjalin dengan serius.[54]
Dari uraian tersebut, tidak terlalu salah bila ada pernyataan bahwa pendidikan berbentuk sekolah, utumanya sekolah berstatus negeri menimbulkan ambiguitas. Hal ini disebabkan karena sekolah negeri cenderung mematuhi serta menjadi anak emas pemerintah pusat dan daerah. Implikasinya, saking ingin mengayomi hak beberapa agama yang dipeluk oleh peserta didik membuat mereka ingin lebih menonjolkan simbol nasionalismenya.[55] Lebih parah lagi, menurut An-Nahidl, dkk sekolah yang “murni” dari warisan budaya Belanda, sekaligus warisan kebijakan dan ideologi pendidikan kolonialismenya yang diskriminatif belum sepenuhnya hilang di Indonesia. Buktinya, ada kesan seakan-akan kebijakan pemerintah lebih mengutamakan dan mensuperiorkan sekolah dari pada bentuk pendidikan lain. Sebab secara tersirat, pemisahan antara sekolah yang menjadi anak emas pemerintah dengan madrasah dan pesantren yang didukung oleh masyarakat masih terus berlanjut.[56]
Adapun dari segi ideologi dan pengalaman beragama peserta didiknya, institusi sekolah bila tidak dibina dengan tepat bisa memunculkan pendangkalan ajaran Islam. Akibatnya, muncul sikap radikalisme-ekstrim bahkan ke depannya bisa berpeluang menimbulkan aksi terorisme. Atau paling tidak, di sekolah umum rentan terhadap kegiatan-kegiatan agama Islam yang berpola ekslufis. Yakni, kegiatan Islam di lembaga pendidikan yang cenderung tertutup untuk umum. Hal itu terjadi karena mereka merasa yang paling benar dan punya kunci kebenaran dalam memahami Islam, tanpa memperhatikan budaya plural di sekitarnya. Kelemahan inilah yang menjadi ancaman bagi kelompok lain yang merasa termarginalkan. Implikasinya, eksisteni simbol, kegiatan, dan penghayatan nilai Islam di lembaga pendidikan berbentuk sekolah mulai mendapat sorotan dan kritikan. Hal ini salah satunya karena kegiatan keislaman yang diadakan terlalu berlebihan (mendominasi) dan tidak mengakomodir keberagaman.
Dapat disimpulkan bahwa asal usul “istilah” sekolah merupakan produk dari kolonial Belanda. Kendati demikian, diharapkan semangat dan tujuan pendidikannya tidak mengacu pada “sekolah” di zaman Belanda. Bagaimanapun, Indonesai bukanlah Belanda. Oleh karena itu, sistem pendidikan nasionalnya hendaknya juga didasarkan pada konteks hukum dan masyarakat Indonesia. Di mana, pendidikan agama utamanya pendidikan agama Islam di sekolah harus diperhatikan secara serius. Harapannya adalah supaya bisa membentuk manusia yang utuh sesuai dengan amanat UUD 1945.

4.    Tujuan Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Sekolah
Indonesia merupakan negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[57] Kenyataan tersebut menjadi sebuah nilai yang tidak bisa dielakkan dan ditafsir-tafsrikan untuk kepentingan yang lainnya. Setiap elemen warga negara wajib mengimplimentasikan perilaku, aturan, dan termasuk juga pendidikan yang didasarkan pada Ketuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, semua yang bersangkut paut pada dunia pendidikan dimuarakan pada satu dasar utama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Baru kemudian diturunkan ke dasar-dasar yang lain. Untuk cara pelaksanaannya lebih rinci tergantung dan disesuaikan pada masing-masing bentuk pendidikannya. Hal ini sesuai dengan pembahasan sebelumnya, yaitu tentang UUD 1945 amandemen ke-4 Pasal 31 ayat 3. Serta menurut amanat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003  bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[58]
Lebih rinci berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada pasal 2 ayat 2 mengamanatkan “pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya keamampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni." Adapun pada pasal 26 ayat 1 menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan pesantren adalah menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam serta menjadi muslim yang punya keterampilan atau keahlianan sebagai penunjang pembangunan kehidupan yang Islami di masyarakat.[59] Dari pemaparan tersebut terdapat beberapa implikasi yang harus dilaksanakan oleh seluruh elemen pendidikan bangsa, yaitu:
a.     Tidak ada pandang bulu atau pengecualian bahwa semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan harus bermuatan nilai-nilai ”ketuhanan.” Misalnya, dituangkan dalam visi dan misinya.
b.    Pendidikan “berketuhanan” lebih diutamakan, baru kemudian pendidikan ilmu lain. Misalnya, anggaran dan program kerja difokuskan untuk kegiatan berketuhanan. Atau paling tidak meski itu untuk kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan tapi di dalamnya harus termuat nilai-nilai ketuhanan.
Dari penjelasan tersebut, maka PAI di pesantren, madrasah, dan sekolah punya cara masing-masing dalam menanamkan nilai-nilai Islam. PAI di Pesantren sebagai nilai utama bahkan kadang satu-satunya yang dijunjung tinggi. Sedang di madrasah, PAI menjadi nilai terpenting, tetapi secara perhatian diberikan seimbang dengan pendidikan umum. Adapun di sekolah, PAI merupakan bagian kurikulum yang terwujud dalam sebuah mata pelajaran pendidikan Islam. Oleh karena itu, antara pola pendidikan pesantren, madrasah, sekolah tidak patut untuk diperbandingkan. Terlebih dengan memperbandingkan kualitas lulusannya dalam bidang-bidang tertentu misalnya kemampuan berbahasa asing (arab dan inggris), kemampuan nahu saraf, kemampuan matematika, kemampuan beramian musik, dan sebagainya. Sebaiknya, yang diperbandingkan ialah sejauh mana lulusan mereka mampu menghayati nilai-nilai Islam. Asumsinya, peserta didik mampu di bidang apapun itu sesuai dengan bidangnya tapi mereka tetap mempertahankan nilai-nilai Islam dalam mengaktulaliasikan diri di masyarakat.
Dapat disimpulkan, dari tiga bentuk pendidikan dalam pembahasan ini maka tujuan pendidikan Islamnya tidak serta merta secara detail harus disamakan. Harus diadakan assessment outcome, yaitu menelaah terlebih dahulu tolak ukur “kesuksesan” seperti apa yang ingin dicapai atau diutamakan oleh lembaga pendidikan. Hal itu sekaligus dikaitkan dengan pengetahuan pendidik tentang sejauh mana kemampuan peserta didik dalam bidang pendidikan Islam. Misalnya, tolok ukurnya adalah bisa mengerjakan Salat Duha secara rutin, bisa membaca bacaan Salat dengan benar, membaca kitab kuning, bisa memimpin Tahlilan, atau bisa menghafal ayat al Quran, dan sebagainya. Oleh karena itu, setiap lembaga pendidikan harus memperhatikan hasil pendidikan Islam yang berupa produk, output, dan outcome seperti apa yang ingin dicapai.

5.    Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Sekolah
Idealnya pengembangan yang dilakukan oleh pesantren, madrasah, dan sekolah terkait mewujudkan tujuan pendidikan Islam difungsikan untuk “berlomba-lomba” dalam kebaikan dan takwa.[60] Untuk mendukung semangat itu, maka antara lembaga pendidikan pesantren, madrasah, dan sekolah saling kerja sama dalam memberikan masukan terkait permasalahan dan pengembangan  PAI. Bila perlu menjalin kerja sama dengan berbagai ormas Islam yang memiliki keunggulan bidang tertentu. Dengan kerja sama dan dialog dalam lingkup intern umat Islam diharapkan ukhuwah Islamiah bisa semakin kuat dan bermanfaat bagi umat. Bagaimanapun, pengembangan pendidikan Islam merupakan sarana mengkader generasi umat Islam dan bangsa. Bukan wadah pengkaderan organisasi, kelompok, suku, dan dikhususkan pada segmen masyarakat tertentu.  Pengembangan pendidikan Islam juga mengarah pada upaya “memfasilitasi” seluruh kalangan umat Islam yang ingin mengembangkan diri.
Dari konsep itu, seharusnya pesantren dan madrasah sebagai pendidikan yang paling merakyat dan pembela rakyat jelata harus dipertahankan. Salah satunya ialah tetap menerima dan mendidik dengan serius pesera didik yang berasal dari kalangan kelas menengah ke bawah dan termarginalkan. Dengan kata lain, seperti apapun bentuk pengembangan institusi pendidikan Islam nilai-nilai kesahajaannya tidak boleh dihilangkan. Meski lembaga tersebut telah berhasil mengembangkan sarana dan prasarana pendidikan seperti membangun gedung mewah, membangun laboratorium, dll.

a.    Pesantren
Menghadapi arus deras perkembangan dunia –salah satunya melalui globalisasi— sesungguhnya pesantren disuguhi beberapa perubahan kehidupan sosial-budaya yang tak terelakkan. Dalam mengahadapi kenyataan itu, “pesantren mau tak mau harus memberikan respon yang mutualis. Sebab, pesantren tidak dapat melepaskan diri dari bingkai perubahan-perubahan itu. kemajuan informasi-komunikasi telah menembus benteng budaya pesantren. Dinamika sosial-ekonomi (lokal, nasional, internasional) telah mengharuskan pesantren tampil dalam persaingan dunia pasar bebas.” Terlebih, permasalahan lain yang lebih spesifik dan pelik terkait perubahan orientasi hidup masyarakat. Di mana, semua itu menimbulkan pertanyaan sejauh mana reisistensi, responsibilitas, kapabilitas, dan kecanggihan pesantren dalam menghadapi perubahan besar itu.[61]
Salah satu bentuk pengembangan pesantren yang direncanakan adalah dengan mendirikan pondok pesantren maritim. Yakni, pesantren yang berada di wilayah pesisir. Di mana, untuk menyukseskan program itu Kementerian Agama melakukan kerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebuayaan. Dengan itu, diharapkan mampu memunculkan banyak pesantren yang bergerak dalam usaha-usaha kelautan. Sebagai penunjangnya, akan diadakan pendidikan, pelatiah, pemberian bantuan, pengembangan usaha-usaha kelautan bagi pesantren di berbagai wilayah di pesisir Indonesia. Selain pengembangan pesantren pesisir, beberapan program prioritas lainnya adalah:[62]

Kementerian Agama juga telah bekerjasama dengan dengan Bank Indonesia untuk Pengambangan Ekonomi.[63] Juga bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi, lanjut Mohsen, untuk memberikan pemahaman konstitusi terhadap lembaga pendidikan agama dan keagamaan Islam. Mohsen menambahkan bahwa Kementerian Agama juga mempunyai program prioritas tahun 2015, yakni: Program 10.000 Hafizh Al-Quran, Pendidikan Kader Ulama, Program Takhasus Tafaqquh Fiddin, Pengembangan Pesantren Bahari, Pengembangan Lifeskill dan Enterpreneurship, Pendidikan Keagamaan Terpadu di Daerah  Tertinggal, Terluar dan Terdepan. 

Menanggapi beberapa agenda prestisius di atas, Mohsen Al-Idrus sebagai Direktrur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren mengatakan bahwa program tersebut didesain bukan dalam rangka mengkerdilkan atau membonsai kemandirian (mengkooptasi) pesantren. Menurutnya, pesantren hadir di tengah masyarakat karena kemandiriiannya. Sebaliknya, program tersebut diupayakan dalam kerangkan memperkuat kemandirian pesantren. Dia berujar “Kita harus  pro aktif dalam penguatan kemandirian pesantren. Jangan buat pesantren tergantung pada pemerintah. Pemerintah hadir dan ikut memfasilitasi dalam hal dan batas tertentu.”[64]
Selain didukung oleh kebijakan pemerintah pusat, pengembangan pesantren idealnya juga diapresiasi oleh pemerintah daerah. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pemerintahan Kota Padang, Sumatera Barat, yang terus mendorong pengembangan pesantren di daerahnya yang telah dimulai sejak tahun 2010. Semangat pengembangan ini menurut Wali Kota Padang Mayeldi Ansyarullah salah satunya karena pesantren di Padang saat ini mulai menjadi pilihan bagi orang tua untuk pendidikan anaknya. Dia mengatakan “Pendidikan pesantren lebih unggul dari sekolah umum, makanya tidak jarang orang tua memasukkan anaknya ke pesantren." Selain itu,  ''Hal itu membuktikan sudah ada pergeseran pemahaman para orang tua untuk pendidikan anaknya, sebab siapapun orang tua pasti menginginkan ketenangan bagi anak-anakanya dalam pendidikan,'' ungkapnya.[65]

b.    Madrasah
Pengembangan madrasah bukanlah pengembangan sederhana sebagaimana yang diduga selama ini. Madrasah tak hanya sekeder bentuk pendidikan Islam yang merupakan perpaduan antara bentuk pendidikan Islam di pesantren dengan di sekolah. Bagaimanapun, madrasah adalah madrasah, pesantren adalah pesantren, dan sekolah adalah sekolah. Dalam masalah pengembangan PAI ketiganya tidak dapat disebandingkan satu sama lain.[66] Mereka memiliki tugas pokok, fokus, dan bidang kajian masing-masing dalam pengembangannya. Begitu pula dalam memahami dan mempelajari ajaran Islam secara detail, kelihatannya mereka punya titik penekanan tersendiri. Dengan kata lain, membandingkan lulusan madrasah dengan lulusan pesantren itu adalah perbuatan yang salah kaprah. Terlebih, membandingkan lulusan madrasah dengan lulusan sekolah. Hal itu karena, sampai sekarang ini madrasah sebagai lembaga yang digadang-gadang berciri tranformatif masih membentuk jati diri. Ingin dibawa ke manakah lulusan mereka? Ataukah madrasah memberi kebebasan kepada peserta didiknya untuk menjadi apapun itu asal tetap dalam naungan nilai-nilai Islam? Tidak harus dikhususkan menjadi ahli agama atau ulama.
Belum lagi, jika melihat misinya kemudian dikaitkan dengan kualitas masukan (raw input) madrasah yang jauh lebih berbeda dengan pesantren dan sekolah. Asumsinya, sebagai lembaga dakwah di segala sektor bidang kehidupan yang lebih luas maka madrasah dituntut untuk “melebihi” pesantren dan sekolah. Dengan tanggung jawab yang sedahsyat itu ternyata kondisi SDM (guru, tenaga kependidikan, karyawan, dll) madrasah masih minim dari perhatian. Keadaan ini menuntut pengembangan madrasah dilakukan serius guna mengoptimalkan fungsi madrasah sebagaimana mestinya. Tidak menyeret-nyeret madrasah ke mana-mana (disetarakan dengan sekolah umum favorit) demi memperoleh predikat favorit di masyarakat. Tanpa label favorit atau unggulan, madrasah telah memiliki “konsumen” tersendiri dari berbagai kalangan masyarakat.[67] Dengan semua tantangan dan potensi itu, harapannya bisa menjadikan madrasah beserta karakteristiknya sebagai sumber kekuatan baru umat Islam dalam mengembangkan kualitas hidup secara holistik.
Sebagaimana strategi pengembangan yang dilakukan oleh MI Global Ma’arif dalam mensikapi kemajuan zaman supaya eksistensinya di era pendidikan modern ini tetap terjaga. Di antara strategi yang di gunakan adalah pertamaMI Global Ma’arif melakukan strategi penggunaan bahasa Arab dan Inggris dalam percakapan sehari-hari, menjunjung tinggi kedisiplinan, hal ini terlihat dari digunakannya bel otomatis yang mengatur jam pelajaran, dan pembenahan Fisik Sarana berupa kelas multimedia, yang dilengkapi dengan perpustakaan, ruang ganti dan kamar mandi.Kedua, MI Ma’arif Kutowinangun melakukan usaha, membangun professional guru dan pembenahan manajemen. Ketiga, MI Kalibening melakukan usaha pembenahan sarana prasarana dan menjalin hubungan dengan masyarakat.[68]

c.    Sekolah
Pengembangan PAI di sekolah[69] umum titik tekan utamanya terletak pada pengembangan pendidik PAI-nya. Mengingat, pada dasarnya sekolah umum tidak terlalu mengutamakan dan fokus pada pendidikan agama. PAI di sekolah umum hanya berkedudukan sebagai mata pelajaran. Oleh karena itu, dibutuhkan ketelatenan, kecerdasan, kekreatifan pendidikan PAI supaya bisa melakukan pengembangan PAI seluas mungkin di tengah-tengah minimnya dukungan. Bagaimana agar status PAI di sekolah umum tidak hanya sebagai “pemanis” kurikulum atau sebagai pemenuhan kewajiban undang-undang semata. Dengan kata lain, PAI harus difungsikan sebagaimana mestinya sebagai suatu nilai yang dijunjung tinggi oleh peserta didiknya. Bukan hanya sebagai ilmu pengetahuan yang cukup dikaji dan diketahui tanpa ada implimentasi dan penghayatan.
Memang harus diakui, adakalanya kepala sekolah beserta jajarannya bahkan wali muridnya sangat apresitif dan mendukung pengembangan PAI di lembaga sekolah. Terutama pada sekolah umum yang mayoritas hingga 100% peserta didiknya beragama Islam. Salah satu perannnya adalah adanya kegiatan ekstra Baca Tulis Alquran (BTA), pengelolaan maupun perawatan Mushola atau Masjid terjamin dengan baik, tersedianya buku-buku Islam yang cukup banyak di perpustakaan, kegiatan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) yang didukung penuh dan diarahkan dengan baik, dan sebagainya.
Kenyataan itu, sesungguhnya berdampak pada perbedaan strategi pengembangan PAI di beberapa sekolah umum antara satu dengan yang lainnya. Strategi pengembangan PAI di sekolah umum yang “mendukung” atau kondusif untuk melakukan pengembangan PAI secara leluasa tentu berbeda dengan strategi di lembaga yang memperketat ruang gerak kebebasan berekspresi dalam beragama di lingkup lembaga pendidikan. Terlebih lagi, pengembangan PAI yang dilakukan di sekolah umum tertentu yang dihadapkan dengan Pendidikan Agama selain Islam. Pada ranah ini akan terjadi dilema yang cukup kuat bila pengembangan PAI terlalu mendominasi atau mengesampingkan keberadan perbedaan agama lain di lingkungan sekolah. Dilemanya adalah bila pengembangan PAI terlalu dekat dalam berbagai aspek dengan mereka ditakutkan terjadi pembiasaan ajaran agama Islam. Pun bila terlalu menjauh ditakutkan arah pengembangan PAI dikatakan “mencontohkan” sikap intoleransi.

B.  Kecenderungan Masyarakat dalam Memilih Bentuk Pendidikan Islam
Dalam menghadapi masa (pasca) transisi pendidikan Islam sekarang ini, sikap orang tua dalam memilih sekolah untuk anaknya dapat dibagi dalam tiga kecenderungan garis beras:
1.    Menjadikan agama sebagai hal yang lebih penting dari pada sekolah. Kendati terpaksa harus dimasukan pada sekolah umum, maka akan diselingi dengan pendidikan agama di pesantren.
2.    Menjadikan sekolah umum (utamanya favorit) sebagai tujuan utama. Dengan pertimbangan pendidikan agama bisa dikesampingkan karena bisa dipelajari lewat media atau jalur pendidikan lain.
3.    Menjadikan sekolah dan agama sebagai pilihan yang sama-sama penting. Orang tua seperti ini sebisa mungkin akan menghindari sekolah yang berbasis non muslim.[70]
Sedangkan Menurut Malik Fajar yang dikutip oleh Agus Sholeh mengemukakan ada tiga alasan yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama), status sosial, dan cita-cita. Masyarakat yang terpelajar akan semakin beragam pertimbangannya dalam memilih pendidikan untuk anak-anaknya.[71] Dari penjelasan tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa pesantren, madrasah, dan sekolah memiliki pangsa pasar tersendiri yang fanatik. Meski keadaan madrasah dan pesantren serba minim, akan tetapi masih tetap ada yang meminatinya. Lebih lanjut dari pernyataan tersebut dapat digambarkan secara detail sebagai berikut:
 

Gambar 5.1 Konsumen Fanatik Bentuk Pendidikan Pesantren, Madrasah,  dan Sekolah

Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa kondisi sosial masyarakat (sebagai konsumen) sangat menentukan ke bentuk pendididikan seperti apa yang dipilih masyarakat. Misalnya masyarakat dari latar belakang abangan, nasioanalis, dan pragmatis akan cenderung memilih bentuk pendidikan sekolah. Akan tetapi bisa dalam keadaan mendesak dimungkinkan bisa juga memilih bentuk pendidikan madrasah atau pesantren. Hal itu dilakukan bila faktor-faktor lain yang menentukan ternyata intesitasnya lebih banyak dan lebih kuat. Misalnya, karena lokasi madrasah atau pesantren lebih dekat dari rumah, biaya madrasah dan pesantren lebih murah, dan ingin menyelematkan anak dari kenakalan remaja. Adapun faktor-faktor lain yang menjadikan pandangan masyarakat dalam memilih bentuk pendidikan berdasarkan analisis penulis adalah sebagai berikut:
a.    Visi dan misi lembaga; arah pendidikannya ke kultur mana, bidang apa, keahlian apa, dan ingin dibentuk menjadi apa.
b.    Kualitas pendidikan; biasanya ukuran yang digunakan adalah lulus UN, juara lomba (sains), bisa diterima kampus favorit, dan memiliki keunggulan khusus (bahasa inggris/arab, nahwu saraf dan hafal al Quran).
c.    Outcome; bisa ikut peran serta dalam kehidupan masyarakat, berkarir, bekerja, dan berkarya.
d.    Fasilitas lembaga; kondisi dan kelengkapan sarana maupun prasarana (fasilitas dan label yang bonafit).
e.    Biaya non operasional; jarak jauh atau dekatnya (untuk biaya kost, transportasi, dll), biaya tambahan dari sekolah, dan biaya lain.
f.     Ijazah; bisa mendapatkan ijazah atau bisa bersekolah untuk meningkatkan martabat dan harga diri.
Dapat disimpulkan, orientasi peserta didik beserta orang tuanya dalam menyekolahkan anaknya di suatu lembaga berbeda-beda. Adakalanya seseorang memilih lembaga tertentu karena faktor ideologi. Namun, juga bisa jadi seseorang mengesampingkan ideologinya karena minimnya biaya sehingga terpaksa harus menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan terdekat dan yang murah. Orientasi yang berbeda tersebut berimplikasi pada sejauh mana “minat” mereka dalam mendalami agama Islam ketika mereka sudah memasuki proses pembelajaran. Tentu, penanganan antara peserta didik yang memiliki orientasi kuat untuk mendalami agama Islam dengan peserta didik yang ogah-ogahan terhadap PAI akan berbeda. Oleh karena itu, menelusuri orientasi, minat, dan latar belakang peserta didik di rasa sangat penting sebelum dilaksankan proses pembelajaran PAI di pesantren, madrasah, dan sekolah.

C.  Konsep Bentuk Pendidikan Islam yang Ideal
1.     Konsep Pendidikan Agama Islam di Pesantren
Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua di Indonesia. Sampai sekarangpun sistem pendidikan –yang murni- pesantren masih ada tak tergerus dengan dinamika zaman. Salah satu yang menjadi ciri menarik dan tak tergerus zaman adalah sistem pendidikan di pesantren terdapat keintegrasian antara keislamaan dengan keindonesiaan (budaya), kesederhaan, dan hubungan Kiai dengan santri yang begitu emosional.[72]
Meskipun pada sebagian pesantren tertentu telah mengadakan keterbukaan, penyerapan, bahkan melakukan pembaharuan pada sistem pendidikannya. Mulai yang paling ringan adalah membolehkan santri untuk mengikuti pendidikan umum di luar lingkungan pesantren, karena pesantren tidak memfasitilasi pembelajaran ilmu umum. Adapun yang paling berani adalah pesantren (utamanya yang baru/mulai didirikan) telah merubah sistem pendidikan pesantren lama, dari tradisional menjadi benar-benar baru (modern). Salah satu contohnya adalah melakukan pengembangan pesantren berbasis agribisnis.[73] Sedang gejala lain adalah pada pesantren tertentu membolehkan peserta didiknya membawa laptop dan telepon seluler. Hal itu terutama bagi pesantren yang peserta didiknya berlatar belakang sebagai mahasiswa.
Adapun, keungulan pesantren dalam karekter kehidupan adalah melatih peserta didik untuk istiqomah (disiplin), beradab unggul (berkarakter), dan adanya keberkahan (penuh makna).[74] Selama ini pesantren sebagai lembaga pendidikan dikesankan sebagai lembaga yang tradisional, tak tersentuh dinamika masyarakat,  dan terselimuti oleh bentuk pembelajaran yang monoton. Dalam konteks sistem pendidikan Nasional sekarang ini, pernyataan itu tidak sepenuhnya benar. Pada masa sekarang ini, banyak pesantren yang sudah melakukan transformasi diri. Baik dari segi kurikulum, manajeman serta pengelolaan (kepemimpinan), metode pengajaran, dan metode pendekatan terhadap zaman.
Secara detail, Sugiarti memaparkan tentang beberapa strategi umum pengembangan pesantren dalam upaya membangun peradaban Islam di Indonesia, diantaranya:
1.    Memahami landasan dan konsep perubahan yang akan dilakukan utamanya dari aspek filosofinya atau paradigma pendidikannya.
2.    Reformulasi tujuan pesantren
3.    Pembenahan sistem pendidikan pesantren meliputi SDM, Kurikulum, metode pendidikan, dan sebagainya.
4.    Peningkatan manajemen pesantren melalui fungsi manajemen POACE (Planning, Organizing, Actuating (Actuate), Controlling, dan Evaluating.
5.    Peningkatan kualitas output pesantren, salah satunya dengan meningkatkan dan memperluas standar lulusan.
6.    Refungsionalsiasi pesantren bagi negara Indonesia dan kehidupan global. Pesantren tidak hanya berkutat pada masalah politik dan kompetisi yang hanya dapat menguras energi. Pesantren harus bisa membangun karakter jujur, mandiri, dan kesahajaan sehingga bisa meminimalisir tindakan korupsi.
7.    Pengadaan kerja sama dan kemitraan dengan berbagai pihak untuk kesuksesan program pengembangannya.
8.    Peningkatan peran pesantren secara terus-menerus.
9.     Modernisasi teknologi infromasi dan komunikasi (sarana dan prasarana)
10.                    Mengakan program ungulan di era globalisasi.[75]
Dapat disimpulkan, konsep Pendidikan Agama Islam di pesantren sekarang ini sulit sekali bila harus tetap berdiri sendiri tanpa melibatkan unsur lain. Bilapun masih ada, pesantren tersebut memiliki jaringan yang kuat dalam dirinya sehingga mampu berjalan dengan kakinya sendiri. Itupun kebanyakan mereka telah melalukan pengembangan atau moderniasi diri.

2.    Konsep Pendidikan Agama Islam di Madrasah
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa pesantren dan madrasah kini mampu tampil percaya diri dalam melakukan perubahan-perubahan. Bahkan bisa dikatakan madrasah menjadi pengendali “model” bukan sekedar sebagai “pengikut” arus model pendidikan di Indonesia.[76] Dengan pengertian itu, sesungguhnya upaya pembaharuan Madrasah harus terus dilakukan. Baik terkait dengan kurikulum, sarana-prasarana, akuntabilitas, pelayanan, dan sebagainya. Pada akhirnya Madrasah bisa menjadi madrasah yang sesungguhnya dan sesuai dengan semangat awal berdirinya, yaitu semangat pembaharuan.
Selain itu menurut Nur Kholis Setiawan, madrasah juga diklaim telah berhasil mendidik anak bangsa dalam dua hal secara sekaligus. Yakni, ilmu (intelektual) dan moral (akhlakul karimah). Jarang sekali atau bahkan tidak pernah ditemukan siswa dari madrasah melakukan tawuran. Hal inilah yang menjadi keunggulan sekaligus kekuatan madrasah. Lebih lanjut indikator keberhasilan pendidikan di Madrasah adalah ketika mampu mencetak siswa dengan penguasaan ilmu pengetahuan sekaligus mampu mempertanggungjawabkan atas ilmunya. Oleh karena itu semua guru diharapkan selalu menggali dan mengkaji sekaligus menerapkan teori-teori pengetahun Islam untuk mengembangkan mutu madrasah. Diharapkan adanya penguasaan mata pelajaran umum harus diimbangi dengan penguasaan ilmu agama.[77]
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, sesungguhnya Madrasah berdiri, tumbuh, dan berkembang karena adanya keterlibatan masyarakat. Dengan demikian, sesungguhnya Madrasah telah lebih dulu menerapkan konsep pendidikan berbasis masyarakat.[78] Masyarakat sebagai individu maupun organisasi telah membangun madrasah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agama sekaligus pendidikan “formal” untuk mereka.[79] Di mana hal itu sesuai dengan isi Undang-undang Sisdiknas 2003 Pasal 55 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.”[80]
Dari kenyataan itu, tidak berlebihan bahwa visi madrasah sesuai dengan khitah awalnya sebaga lembaga yang populis, Islami, dan berkualitas. Popolusi berarti bahwa madrasah lahir dan dibesarkan dari serta oleh masyarakat. Dari itu, maka visinya ingin mengembalikan posisi madrasah sebagai milik masyarakat, sehingga berpihak pada masyarakat dan tidak menjadi lembaga ekslusif. Islami, menggambarkan suasana dan kehidupan pendidikan peserta didiknya serta seluruh manusia di dalamya mengamalkan ajaran Islam. Karakteristik kesilaman ini tidak hanya muncul dalam tataran simbul tapi juga tergejawantahkan dalam kurikulumnya secara intregratif. Berkualitas, artinya lulusan yang diinginkan lebih mengutamakan berorientasi pada mutu bukan hanya asal jadi atau asal lulus. Yakni, peserta didik memiliki berbagai prestasi di bidang akademik, seni, teknologi, olah raga, keterampilan, dan sebagainya. [81] Harapan akhirnya adalah lulusan madrasah mampu mewarnai bahkan menentukan arah kehidupan global di masa datang.





Adapun menurut Muhaimin Kurikulum madrasah perlu dikembangkan secara terpadu, dengan memposisikan nilai-nilai Islam sebagai petunjuk dan sumber konsultasi bagi pengembangan berbagai mata pelajaran umum. Secara operasional, guru mata pelajaran umum berkerja sama dengan guru PAI untuk menyusun disain pembelajaran secara konkret dan detail. Dengan kata lain, dalam madrasah perlu dilakukan upaya spirtualisasi pendidikan atau menginternalisasikan nilai-nilai agam Islam melalui proses pendidikan ke dalam seluruh aspek pendidikan Madrasah. Hal ini untuk mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan umum dan seni dengan keimanan dan kesalehan dalam diri siswa.[82]
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk pendidikan madrasah sesungguhnya memiliki nilai potensial yang lebih besar dari pada yang lainnya. utamanya dari segi keilmuan yang dikaji. Hal itu dengan artian bahwa madrasah harus mampu mengadakan pengintragasian antara ilmu umum dengan ilmu agama. Bukan hanya mengadakan penambahan (penjumlahan) antara jam di pendidikan sekolah dengan jam pendidikan di pesantren tanpa diadakan integrasi.

3.    Konsep PAI di Sekolah Berbasis Pesantren atau Sekolah Berbasis Islam
Dalam bentuk pendidikan “sekolah,” penulis memandang ada dua persepsi yang bisa dibangun. Pertama, sekolah didudukan sebagai sekolah umum yang menyelenggerakan pembelajaran ilmu umum dan juga diwajibkan untuk memberikan sedikit sekali mata pelajaran PAI, misalnya SDN/SMPN/SMAN. Kedua, sekolah didudukan sebagai sebuah lembaga Pendidikan Islam. Yakni, lembaga “sekolah” selain madrasah[83] yang bercirikan atau bernafaskan nilai-nilai Islam secara totalitas. Misalkan Sekolah berbasis Pesantren seperti ar Risalah Lirboyo Kediri, sekolah berbasis atau berciri khas agama Islam SD/SMP/SMA al Maarif atau al Falah, dan SD/SMP/SMA Muhammadiyah. Khusus untuk persepsi yang kedua, yaitu sekolah umum berbasis pesantren menurut Mujamil Qomar ada dua latar belakang timbulnya sekolah umum di pesantren:
a.    Bentuk adaptasi pesantren terhadap perkembangan sistem pendidikan nasional, atau menurut Mastuhu karena dampak global dari pembangunan nasional serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b.    Kepentingan menyelamatkan “nyawa” pesantren dari kematian selamanya. Bentuk penyelematan pesantren ini merupakan tindakan yang strategis dan spontan.[84]
Dengan adanya sekolah yang berbasis pesantren tersebut para Kiai bisa menempuh kebijakan dua jalur. Pertama, Santri dilibatkan dalam pendidikan umum (sekolah) agar bisa melanutkan pendidikan ke jenjang berikutnya (mendapat ijazah/pengakuan). Kedua, Siswa pada pendidikan umum (sekolah) diwajibkan mengikuti kegiatan pesantren. Kedua jalur tersebut memadukan antara kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga bisa saling melengkapi. Santri dari pesantren bisa menyerap ilmu pengetahuan umum sedangkan siswa SD, SMP, dan SMA dapat menyerap ilmu agama yang cukup mendalam dari pesantren.[85]
Secara terperinci dengan adanya sekolah berbasis pesantren ini bisa menghasilkan peserta didik bisa memperoleh nilai-nilai yang berciri khas pesantren. Beberapa diantaranya adalah nilai keberkahan, keikhlasan, ketawadhu’an, do’a Kiai atau ustad, menutup aurat, dan terpisahnya antara peserta didik putra. dengan putri. Nilai-nilai tersebut merupakan kurikulum tersembunyi yang ada pada pesantren. Sehingga apabila dibuat tabel akan tergambar sebagai berikut:[86]

Tabel. 5.2 Nilai-nilai Karakter pada Sekolah Berbasis Pesantren (SMK Salafiyah Pati Jawa Tengah

Nilai Dasar
Nilai Personal
Nilai Sosial
Moderat
Keamanan
Kemampuan baik dalam kinerja
Seimbang
Ketakwaan
Sopan-santun
Toleran
Kemampuan baik
Menghormati guru
Adil
Disiplin
Memuliakan kitab

Kepatuhan
Menyayangi teman

Kemandirian
Uswah hasanah

Cinta Ilmu
Tawadhu’

Ikhlas
Do’a guru

Menutup aurat
Berkah


Pisah antara siswa-siswi




Peta Konsep: Dari Mekanisme lama menuju mekanisme Baru Bentuk Pendidikan Islam
 


Gambar 5.2 Mekanisme Lama Bentuk Pendidikan Islam di Indonesia
 
Gambar 5.3 Mekanisme Baru (Sebagai Adaptasi) Sistem Pendidikan Islam di Indonesia



D.    Penutup
Dari semua pembahasan dapat disimpulkan pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia secara “kurikulum” tidak pernah bisa lepas dari pengaruh tokoh agama (kiai dan ulama). Sedangkan, pengembangan dan pembangunannya tidak bisa lepas dari peran serta masyarakat dan kekuasaan (pemerintah) meski hanya sedikit. Kedudukan madrasah dan pesantren tidak hanya sebagai identitas (simbol) keislaman, tapi juga sebagai tempat untuk indoktrinasi nilai-nilai Islam. Sedangkan sekolah umum belum tentu akan mau menanamkan nilai-nilai Islam dalam setiap aktivitasnya. Bila sekolah “umum” itu berbasis pesantren maka nilai-nilai Islam akan ditanamkan. Namun, bila sekolah itu berbasis “nasional” dan “dikendalikan” pemerintah maka akan menanamkan nilai-nilai keindonesaan. Tentunya itu juga akan tergantung Stakeholders dan otoritas dari sekolah tersebut.
Dengan kata lain, Kemandirian (idependensi) madrasah dan pesantren ditentukan oleh masyarakat bukan pemerintah. Asumsinya, masyarakat “dapat” merubah madrasah dan pesantren, serta sebaliknya madrasah dan pesantrenlah yang merubah masyarakat. Dengan kata lain, dinamika madrasah tidak lepas dari arah dinamika masyarakat, begitu juga sebaliknya.  Sedangkan untuk pendidikan berbentuk sekolah (utamanya manajemen) lebih banyak yang tunduk pada aturan “kaku” pemerintah. Namun demikian, harus diakui pada akhir-akhir ini bahwa teori semacam itu agaknya sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat yang mulai kritis dalam memilih pendidikan bagi generasi mudanya.






Dengan demikian, sebagai dasar konsistensi dan standar maka konsep pendidikan Islam yang paling ideal adalah bukanlah lembaga pendidikan pesantren, madrasah, dan sekolah. Semuanya merupakan bentuk pendidikan Islam yang ideal. Masing-masing bertugas dan berperan menurut wilayah dan ciri khas peserta didik yang cenderung melekat padanya. Paradigma pendidikan Islam di pesantren tentu berbeda dengan paradigmanya di madrasah, begitu pula pada sekolah. Mereka harus berkembang menurut paradigmanya. Di mana, pesantren tujuan utamanya harus tetap membentuk peserta didik yang ahli bidang agama secara totalitas. Adapun madrasah melakukan integrasi ilmu secara konsisten. Bukan madrasah “kamuflase” yang hanya menggabungkan jam pelajaran antara jam pelajaran agama di pesantren dengan jam pelajaran di sekolah umum. Sedangkan pendidikan Islam di sekolah mesti mampu dan berani menunjukkan diri sebagai teladan yang baik dan mulia bagi nonmuslim. Serta tentunya PAI di sana harus mampu bekerja sama dengan guru mata pelajaran lain guna mensinkronkan bahkan memasukkan nilai-nilai agama Islam ke dalamnya.


[1]Penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah wajib membiayai seluruh penyelenggaraan pendidikan. Salah satunya, dengan memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada Pesantren, Madrasah, dan Sekolah yang mempunyai izin operasional. Ketentuan itu  sesuai dengan amanat UUD 1945 amandemen ke-4 Pasal 31 ayat 1 sampai 4 bahwa: “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undangundang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangku-rangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.Lihat, “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014.
[2]“Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.” Di mana ciri utama pendidikan formal adalah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Lihat, Pasal 1 nomor 11 dan 12 serta Pasal 13 ayat 1 pada Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003, dalam http://dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2003_20.pdf, didownload tanggal 23 Februari 2015.
[3]Kiai Haji Sahal Mahfudh memaparkan ketika awal kemerdekaan, madrasah sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam cenderung menolak campur tangan pemerintah. Salah satu alasannya, karena negara pada waktu itu dituding berwatak duniawi dan nasionalistis. Adapun madrasah yang dikelola pihak swasta punya tradisi keagamaan yang kental. Baru saat ada program Madrasah Wajib Belajar (MWB) sekitar 1958, madrasah mulai bersikap lunak. Subsidi dari pemerintah dalam bentuk material mulai diterima, guru agama negeri (PNS) mulai dizinkan masuk madrasah meski dilakukan secara selektif, dan gagasan peningkatan madrasah yang berasal dari pemerintah untuk mengubah orientasi kepada pola sistem pendidikan umum mulai dipertimbangkan bahkan diterima. Hal itu dapat dimaknai bahwa madrasah mengawali untuk membuka diri atas keterlibatan pemerintahan. Sejak saat itu, banyak perubahan besar yang ada di madrasah. Kendati, secara ideal madrasah dapat konsisten pada titik tekan disiplin ilmu keagamaannya, tapi dipandang dari sudut prestasinya mengalami penurunan. Dapat disimpulkan, dari fenomena itu sesungguhnya madrasah mampu menunjukkan daya adaptasi untuk menyerap unsur-unsur pengembangan yang ada. Selain juga, punya daya tangkap mengatasi permasalahan yang di hadapi oleh masyarakat sekitarnya. Namun, Kiai Sahal menegaskan “Yang menjadi masalah sekarang ialah, apakah proses penyerapan unsur-unsur baru dan perubahan hasil daya tangkap terhadap persoalan masyarakat itu memperkuat identitasnya semula (karakter keagamaan dan kemandiriannya), atau justru memperlemah dan akhirnya menghilangkan sama sekali identitasnya? Apakah proses dan perubahan itu memberikan makna baru bagi identitas lama tersebut?” Lihat, Kiai Haji Sahal Mahfudh, “Madrasah dari Masa ke Masa,” NU Online dalam http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,54304-lang,id-c,taushiyah-t,Madrasah+dari+Masa+ke+Masa-.phpx, diakses 19 Februari 2015.
[4]Ijazah formal menjadi amat penting, bahkan manfaat ekonomisnya selalu diintrodusir [ditekankan] kepada para peserta didik sebagai motivasi kegairahan peningkatan proses belajar-mengajar. Ironisnya, menurut Dr. Ir. Seno Sastroamidjojo -guru besar Universitas Diponegoro- masyarakat sendiri mendukungnya. Opini umum mengatakan, ijazah merupakan legitimasi untuk memperoleh pekerjaan. Jadi proses pendidikan sekarang ini tidak lagi memacu kreativitas alumninya untuk menciptakan pekerjaan, namun mencari dan menunggu datangnya pekerjaan. Ini suatu proses ketergantungan. Lebih tandas lagi, sosiolog Dr. Loekman Sutrisno dari UGM- mengatakan, ‘Yang ada sekarang adalah intelektual-intelektual yang hanya berorientasi pada ekonomi. Kemudian timbul erosi, di antaranya gejala mahasiswa ingin cepat selesai, dapat pekerjaan dan jadi birokrat’.” Lihat, Mahfudh, “Madrasah dari Masa,” diakses 19 Februari 2015.
[5]Sebagaimana dalam penjelasan Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dituliskan bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Lihat, Pasal 4 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia, didownload tanggal 23 Februari 2015.
[6]Untuk mendalami pelaksanaan Pendidikan Agama Islam yang ideal di Indonesia. Utamanya pada jenjang pendidikan dasar dan pendikan menengah di Indonesia.
[7]Pesantren murni (konservatif atau meminimalisir pengembangan) harus tetap ada. Fungsinya sebagai benteng terakhir tradisi pendidikan Islam asli Indonesia sekaligus menjadi outokritik bagi bentuk pendidikan Islam lain yang kadang terlalu menjauhi nilai-nilai inti Islam atau ajaran utama Islam. Kendati, disatu sisi terpaksa harus tetap ada pengembangan diri untuk memenuhi kebutuhan/keinginan sebagian masyarakat.
[8]Hal isi sesuai dengan amanat Amandemen ke-4 Undang-undang Dasar 1945 secara jelas dan meyakinkan bahwa pada Pasal 31 ayat 1 dikatakan “setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan.”  Serta Pada ayat 3 disebutkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Lihat, “Undang-undang Dasar Negara,” didownload 04 Oktober 2014.
[9]Bagaimanapun, pendidikan pesantren murni (tradisional) atau pesantren yang nonformal tanpa diimbangi dengan pendidikan formal dirasa sudah tidak mumpuni lagi untuk menghadapi keadaan mondial sekarang ini. Oleh karena itu, banyak pesantren yang mengadakan pengembangan. Beberapa di antaranya dengan mendirikan sekolah berbasis Islam, mendirikan madrasah berkultur pesantren,  dan memodernisasikan (memformalkan) sistem pendidikan pesantren. Begitu pula pendidikan Islam berbentuk madrasah dan sekolah, tanpa disediakan “kelas khusus” bagi peserta didik tertentu yang memenuhi kualifikasi mendalami pendidikan keagamaan yang mumpuni seperti pesantren masih memiliki kekurangan.
[10]Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Pasal 15 tertulis bahwa “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.” Pembedaan antara pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan dikhawatirkan terdapat dikotomi (diskriminasi) antara pendidikan agama dengan pendidikan umum. Baik dari segi pembedaan pada kebijakan, fasilitas, anggara dan perhatian dari pemerintah. Bahkan yang lebih mengerikan adalah pendikotomian dalam bidang keilmuan. Di mana jenis pendidikan umum (seperti sekolah) difokuskan untuk pendalaman ilmu umum tanpa ada campur tangan ilmu agama. Lihat, Muh. Sain Hanafy, “Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Upaya Menjawab Tantangan Global,” Lentera Pendidikan, Vol. 12 No.2 (Desember, 2009), 174.
[11]Menurut Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Pasal 30 ayat 3 bahwa “Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.” Dimana pada ayat 4 disebutkan bahwa “pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.” Lihat, Undang-undang Republik Indonesia, didownload tanggal 23 Februari 2015.
[12]Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 17 ayat 2 serta Pasal 18 ayat 2 dan 3. Lihat, Undang-undang Republik Indonesia, didownload tanggal 23 Februari 2015.
[13]Pendidikan Agama Islam di sekolah yang sepekan hanya 2-3 jam mata pelajaran menyebabkan pendidik harus kreatif dan cerdas dalam mengadakan pengembangan. Dengan itu, diharapkan bisa mengoptimalkan segala potensi yang ada di lembaga berbentuk sekolah sehingga tujuan pembelajaran PAI bisa tercapai secara efektif dan efisien.
[14]Yang dimaksud “bentuk pendidikan” di sini adalah difokuskan untuk pendidikan dasar (MI/SD dan MTs/SMP) dan jenjang pendidikan menengah (MA/SMA dan MAK/SMK).
[15]“Kemunculan dan perkembangan madrasah di Indonesia tidak lepas dari adanya gerakan pembaruan Islam yang diawali oleh usaha sejumlah tokoh intelektual agama Islam yang kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam baik di Jawa, Sumatra, maupun Kalimantan. Organisasi sosial keagamaan yang menerima sistem pendidikan modern di Indonesia kemudian berlomba-lomba mendirikan madrasah yang tersebar di berbagai wilayah. Namun, sulit sekali memastikan kapan tepatnya istilah madrasah itu dipakai di Indonesia dan madrasah mana yang pertama kali didirikan. Tim penyusun Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia dari Dirjen Binbaga Depag RI menetapkan bahwa madrasah yang pertama kali didirikan adalah Madrasah Adabiyah di Padang (Sumatra Barat) yang didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909.M. Terlepas dari apa yang ditetapkan Tim dari Depag RI tersebut, terdapat data bahwa sebelum tahun 1909 itu telah didirikan madrasah oleh organisasi Jam’iyyatul Khoir pada tahun 1905 M, kemudian di Surakarta pada tahun 1905 M didirikan Madrasah Manba’ul ‘Ulum oleh R. Hadipati Sosrodiningrat atas gagasan dan perintah Paku Buwono IX dengan masa belajar sampai 12 tahun. Di Surabaya berdiri Madrasah Nahdlatul Wathan, Madrasah Hizbul Wathan dan Madrasah Tasywirul Afkar. Di Minangkabau didirikan Madrasah Diniyyah (1915) oleh Zainuddin Labay El-Yunusi, dan Madrasah Diniyyah Putri (1923) oleh Rahmah El-Yunusiyyah. Selain itu, berdiri pula Madrasah Sumatra Thawalib (1916) yang merupakan pengembangan dari Surau Jembatan Besi. Madrasah di Indonesia berkembang setelah berdirinya organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan, seperti Jam’iyyatul Khair (1905), Muhammadiyah (1912) oleh K.H. Ahmad Dahlan [1869-1923]), Al-Irsyad (1913) oleh Ahmad Ibn Muhammad Surkatî al-Anshâri [w.1943]), Mathla’ul Anwar (1916) di Banten, Persis (1923) di Bandung oleh Haji Zamzam (1894-1952) dan Haji Muhammad Junus serta Ahmad Hassan (1887-1958), Nahdlatul ‘Ulama (1926) oleh K.H. Hasyim Asy’ari, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1928), dan al-Jami’atul Washliyyah (1930) Setelah Indonesia merdeka (1945) dan Departemen Agama berdiri (3 Januari 1946), pembinaan madrasah menjadi tanggung jawab departemen ini. Sesuai dengan tuntutan zaman dan masyarakat, Departemen Agama menyeragamkan nama, jenis, dan tingkatan madrasah yang beragam tersebut, sebagaimana yang ada sekarang.” Lihat, Supani, “Sejarah Perkembangan Madrasah di Indonesia,” Insania Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, Vol. 14. No.3 September-Desember 2009: hlm. 560-579.
[16]Sri Haningsih dalam artikelnya menyebutkan ada tiga istilah bentuk pendidikan Islam yaitu “Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Islam,” Lihat, Sri Haningsih, “Peran Strategis Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Islam di Indonesia,” el-Tarbawi Jurnal Pendidikan Islam No. 1 Vol. 1 2008, 27-39.
[17]Mohammad Ali, “Pengembangan Pendidikan Islam di Sekolah,” dalam  http://www.ispi.or.id/2010/09/19/pengembangan-pendidikan-agama-islam-di-sekolah/, 19 September 2010, diakses tanggal 08 Oktober 2014.
[18]Undang-undang Republik Indonesia, didownload tanggal 23 Februari 2015.
[19]Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[20]Istilah pondok bisa berarti suatu penginapan yang katagorinya lebih rendah daripada hotel karena memiliki kamar sedikit. Adapun istilah pesantren memiliki pemahaman yang sangat banyak, tergantung mau dipakai dalam sudut mana pendalaman dan mempelajari isinya. Pesantren oleh sebagian orang bisa dipandang sebagai lembaga ritual, lembaga pendidikan moral, lembaga dakwah, lembaga penyembuhan kejiwaan, atau bisa saja diposisikan sebagai lembaga pendidikan Islam.
[21]Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga, tanpa tahun), hlm.  1.
[22]Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 30 ayat 2. Lihat, Undang-undang Republik Indonesia, didownload tanggal 23 Februari 2015.
[23]Qomar, Pesantren: Dari Transfomasi, hlm. xiii.
[24]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[25]Supani, “Sejarah Perkembangan Madrasah,” Insania, Vol. 14. No.3 September-Desember 2009: hlm. 560-579.
[26]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: RajaGrafindo, 2005), hlm. 183.
[27]Kiai Haji Sahal Mahfudh, “Madrasah dari Masa,” diakses tanggal 19 Februari 2015.
[28]Kiai Haji Sahal Mahfudh, “Madrasah dari Masa,” diakses tanggal 19 Februari 2015.
[29]Menurut Maksum sebagaimana dikutip Anwar bahwa “SKB tiga Menteri ini dapat dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional yang tuntas. Dengan SKB tersebut, madrasah memperoleh definisinya yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah sekalipun pengelolaannya tetap berada pada Departemen Agama. Dalam hal ini madrasah tidak lagi hanya dipandang lembaga pendidikan keagaaman yang penyelenggara wajib belajar tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30 %, disamping mata pelajaran umum.Lihat, Shabri Shaleh Anwar, “Rencana Pengembangan Madrasah,” dalam http://www.indragiri.com/2013/11/shabri-rencana-pengembangan-madrasah.html 12 November 2013, diakses tanggal 19 Februari 2015.
[30]Kelebihan madrasah salah satunya dalam metode dan materinya dianggap merupakan gabungan dari bentuk pendidikan pesantren dan sekolah. Kendati demikian, tak dipungkiri ada beberapa lembaga pendidikan yang berlabel “pondok pesantren” tapi pengelolaan, metode, dan materinya jauh lebih canggih dari madrasah dan sekolah pada umumnya.
[31]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[32]Agus Sholeh, “Posisi Madrasah di Tengah Tuntutan Kualitas,” dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 243.
[33]“Menurut peraturan sekolah 1643 tugas guru ialah: memupuk rasa takut terhadap Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama Kristen, mengajar anak berdoa, bernyanyi, pergi ke gereja, mematuhi orang tua, penguasa, dan guru-guru.” Lihat, S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara Cet. II, 2001), hlm. 4-5.
[34]Ibid. hlm. 1.
[35]Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 5-8.
[36]Sebagaimana menurut Daulay bahwa adanya madrasah di Indonesia sekarang ini erat kaitannya dengan “sejarah” masuknya islam di bumi nusantara. Islam disebarkan oleh pedagang dan pendakwah secara damai, bukan dengan tindakan ekspansi secara halus atau bahkan perebutan wilayah atau melenyapkan sebuah kekuasaan yang telah ada. Lebih lanjut, awalnya salah satu media yang digunakan oleh mereka dalam proses islamisasi adalah memalui jalur pendidikan. Dalam pendidikan ini, --seperti halnya dalam budaya— dalam implementasi pendidikan para penyebar agama islam tetap menggunakan dan mengutamkan kearifan lokal masyarakat islam sekitar. Lihat, Daulay, Pendidikan Islam: Dalam, hlm. 4.
[37]Supani, “Sejarah Perkembangan Madrasah,” Insania, Vol. 14. No.3 September-Desember 2009: hlm. 560-579.
[38]Kenyataan itu, ditindaklanjuti dengan mencetuskan program strategis dalam melakukan pengembangan sistem pendidikan di madrasah. Salah satunya dicanangkannya secara resmi oleh Menteri Agama tentang konsep Madrasah Wajib Belajar (MWB) dengan masa tempuh selama 8 tahun. Tujuan diadakan program MWB adalah diprioritaskan pada pembangunan jiwa bangsa. Yakni, kemajuan di bidang ekonomi, industri dan transigrasi. Oleh sebab itu, kurikulum MWB diberi muatan agar bisa menciptakan keselarasan tiga aspek. Di antaranya adalah perkembangan otak, perkembangan hati, dan perkembangan keterampilan. Setelah itu, disusul dengan kebijakan lain berupa Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1960 tentang Bantuan dan Subsidi kepada Madrasah. Lihat, Abdul Rahman Halim, “Aktualisasi Implementasi Kebijakan Pendidikan pada Madrasah Swasta di Sulawesi Selatan,” Lentera Pendidikan. Vol. 11 No. 1 Juni 2008: hlm. 83-100.
[39]“Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa perkembangan pendidikan Islam dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik pada umumnya, dan kebijakan politik pendidikan khususnya. Azyumardi Azra mencatat bahwa hubungan antara pendidikan dengan politik bukanlah hal baru, karena telah tumbuh sejak masa pertumbuhan madrasah di Timur Tengah.” Lihat, Tasman Hamami, “Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum Sebagai Keharusan Sejarah,” Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 2, No. 2, 2004: hlm. 171-191, dalam http://digilib.uin-suka.ac.id/8665/1/TASMAN%20HAMAMI%20PENDIDIKAN%20AGAMA%20ISLAM%20DI%20SEKOLAH%20UMUM%20SEBAGAI%20KEHARUSAN%20SEJARAH.pdf, didownload tanggal 23 Februari 2015.
[40]Berdasarkan sejarah atau faktor utama dan pertama berdirinya, maka pesantren tujuan umumnya adalah untuk melakukan dakwah dan menyebarkan agama Islam dan tujuan khususnya adalah mencetak kader ulama atau pendakwah yang unggul. Sedangkan Madrasah adalah sebagai upaya untuk melakukan pengembangan pendidikan di kalangan umat Islam sehingga bisa mencetak kader umat yang menguasi ilmu agama dan ilmu umum secara integratif (menjadi ulama yang ilmuwan dan ilmuwan yang ulama). Adapun sekolah sejarah awal didirikan oleh Belanda adalah salah satu tujuannya menandingi sistem pendidikan lain di Indonesia dan untuk mencetak manusia yang unggul di bidang keduniaan.
[41]Nurhasanah Bakhtiar, “Pola Pendidikan Pesantren: Studi Terhadap Pesantren se-Kota Pekanbaru,” dalam ftk.uin-suska.ac.id/attachments/article/12/nurhasanah_pola.pdf, didownload tanggal 08 Oktober 2014.
[42]Kelunturan atau Kehilangan identitas diri satuan lembaga pendidikan merupakan konsekuensi dari pengembangan yang telah dilakukan. Namun demikian, untuk lembaga pendidikan Islam harus tetap menjaga nilai-nilai keislamannya. Lembaga pendidikan Islam pun tidak boleh melakukan pengembangan diri semata-mata karena ingin memperoleh keduniawian seperti meraup uang sebanyak-banyaknya, meraih prestasi dengan suap, menodong (menjilat) penguasa, dan sebagainya.
[43]Zuman Malaka, “Peranan Pondok Pesantren Dalam Tatanan Global,” http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=berita&var=detail&id=323, 18 Pebruari 2012, diakses tanggal 08 Oktober 2014.
[44]Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Paradigma Baru] (Jakarta: Depag RI Dirjend Kelembagaan Agama Islam, 2005), hlm. 160.
[45]“Pesantren adalah lembaga pendidikan dengan bentuk khas sebagai proyeksi totalitas kepribadiannya. Secara mendasar sistem pendidikan yang dipilihnya memberikan kebebasan bagi pesantren untuk menentukan pola dinamis kebijaksanaan pendidikannya. Sehingga, setiap tawaran pengembangan, berupa transfer ilmu dari luar (non-pesantren) maupun atas prakarsa sendiri, akan melalui pertimbangan dari dalam pesantren sendiri. Yaitu, pertimbangan tata nilai yang berlaku dalam pesantren.” Lihat, Kyai Haji Sahal Mahfud, “Pesantren dan Pengembangan Sains,” NU Online dalam www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,54057-lang,id-c,taushiyah-t,Pesantren+dan+Pengembangan+Sains-.phpx, diakses 19 Februari 2015.
[46]Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan, hlm. 98-99.
[47]Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam (Malang: UIN Malang, 2004), hlm. 224.
[48]Mahfud, “pesantren dan Pengembangan,” diakses 19 Februari 2015.
[49]Mohammad Yusuf, “Model Pengembangan Pendidikan Pesantren (Kasus di Pondok Pesantren Nurul Hakim Nusa Tenggara Barat,”  Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. III, No. 1 Juni 2002: hlm. 58-83, dalam http://digilib.uin-suka.ac.id/8165/1/MOHAMMAD%20YUSUF%20MODEL%20PENGEMBANGAN%20PENDIDIKAN%20PESANTREN.pdf, didownload tanggal 19 Februari 2015.
[50]Arief Furchan, “Pemberdayaan Madrasah dan Tantangan Globalisasi,” http://www.pendidikanislam.net/index.php/makalah/41-makalah-tertulis/293-pemberdayaan-madrasah-, 14 November 2009, diakses tanggal 08 Oktober 2014.
[51]Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm 8.
[52]Kiai Haji Sahal Mahfudh, “Madrasah dari Masa,” diakses 19 Februari 2015.
[53]Namun, bila pengembangan tidak dilakukan, sudah barang tentu lembaga pendidikan Islam akan semakin tertinggal. Di sisi lain, juga diperlukan penelaahan kembali tentang posisi PAI dalam sistem pendidikan nasional sekaligus kehidupan masyarakat atas pengembangan yang telah dilakukan. Ditakutkan, bila pengembangan dilakukan secara berlebihan akan berakibat kehilangan identitas diri dan mengekor pada bentuk pendidikan lain, misalnya sekolah.
[54]Daulay, Pendidikan Islam: Dalam, hlm. 44.
[55]Padahal dengan menggunakan simbol agama, sesungguhnya secara tidak langsung juga menonjolkan simbol nasionalisme. Alasaannya, penerapan keagamaan merupakan salah satu asas negara Indonesia.
[56]Nunu Ahmad An-Nahidl, dkk., Posisi Madrasah dalam Pandangan Masyarakat (Jakarta: Gaung Persada, 2007), hlm. 14-15.
[57]Ketentuan ini tertuang pada alenia ke-4 Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. Lihat, “Undang-undang Dasar Negara,” didownload 04 Oktober 2014.
[58]Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 3. Lihat, Undang-undang Republik Indonesia, didownload tanggal 23 Februari 2015.
[59]“Peraturan Pemerintah RI No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan,” dalam http://www.setneg.go.id//components/com_perundangan/docviewer.php?id=1786&filename=PP_No_55_th_2007.pdf, didownload tanggal 22 Desember 2014.
[60]Banyak pengembangan lembaga pendidikan yang dalam penyusunan rencana kegiatan tahunannya terkesan berorientasi pada penggunaan atau pemanfaatan dana semata. Dengan kata lain, tujuannya adalah menghabiskan dana tanpa peduli apa yang dikembangkan bermanfaat atau tidak bagi terwujudnya visi, misi, dan tujuan lembaga pendidikan. “Cara pandang bahwa rencana kegiatan tahunan yang bernuansa “penggunaan/pemanfaatan” dana yang dimiliki, karena kekurangpahaman elemen madrasah/sekolah terhadap cara penyusunan rencana pengembangan madrasah/sekolah. Akibatnya, ketika madrasah/sekolah harus membuat rencana kegiatan tahunan, yang terjadi adalah bagaimana memanfaatkan anggaran yang tersedia sebaik dan semaksimal mungkin. Tidak adanya rencana pengembangan madrasah/sekolah yang komprehensif juga menyebabkan rencana kegiatan tahunan madrasah/sekolah tidak berkesinambungan dari tahun ke tahun.Lihat, “Madrasah/sekolah harus Memiliki Rencana Pengembangan Madrasah/Sekolah,” dalam http://kabarwashliyah.com/2014/06/03/madrasahsekolah-harus-memiliki-renacana-pengembangan-madrasahsekolah/, 03 Juni 2014, diakses tanggal 19 Februari 2015.
[61]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 118.
[62]“Kemenag Akan Kembangkan Pesantren Maritim,” dalam http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=240012, 17 Februari 2015, diakses tanggal 19 Februari 2015.
[63]Pengembangan ekonomi pesantren oleh Kementerian Agama dan Bank Indonesia diapresiasi. Selain dekat dengan masyarakat, ada pesantren yang terbukti sukses mengembangkan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang memberi manfaat. Ketua Asosiasi BMT Se- Indonesia (Absindo), Aries Muftie, mengatakan dengan adanya kerja sama resmi antara Kementerian Agama dengan Bank Indonesia, dukungan untuk mengembangkan pesantren jadi makin kuat. Ia menyebut di antara banyak BMT, BMT yang sukes umumnya BMT berbasis pesantren, ormas Islam atau kelolaan individu yang profesional. BMT Unit Gabungan Terpadu di Pesantren Sidogiri dan BMT Bina Umat Sejahtera yang dilelola Muhammadiyah jadi contoh yang baik... Pakar ekonomi Islam, KH Didin Hafidhuddin mengapresiasi jika program pengembangan ekonomi pesantren bisa dilakukan serius dan berhasil. Pesantren adalah institusi yang dekat dengan masyarakat. Jika ekonomi pesantren berhasil, maka masyarakat bisa ikut merasakan dampaknya. Ia menekankan pengembangan ekonomi pesantren baik melalui BMT maupun koperasi harus difokuskan pada sektor-sektor produktif seperti UKM atau pertanian.  'Lembaga keuangan untuk pembiayaan konsumtif sudah banyak. Pesantren harus jadi model pengembangan yang produktif,' kata guru besar IPB itu... Pesantren yang sudah memiliki model bisnis seperti Pesantren al-Ittifaq, Jawa Barat dan Pesantren Sidogiri, Jawa Timur rencananya akan dijadikan percontohan.” Lihat, “Pengembangan Ekonomi Pesantren Diapresiasi,” dalam http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/15/02/09/njhxka-pengembangan-ekonomi-pesantren-diapresiasi, 09 Februari 2015, diakses tanggal 19 Februari 2015. Lebih detail lihat Rudi Hendrik, “BI Bantu Pengembangan Bisnis Syariah di Pondok Pesantren,” dalam http://mirajnews.com/id/ekonomi/bi-bantu-pengembangan-bisnis-syariah-di-pondok-pesantren/, 04 Februari 2015, diakses tanggal 19 Februari 2015.
[64]“Kemenag Akan Kembangkan,” diakses tanggal 19 Februari 2015.
[65]“Pemerintah Kota Padang Dorong Pengembangan Pesantren,” dalam http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/02/05/njauf2-pemerintah-kota-padang-dorong-pengembangan-pesantren, 05 Februari 2015, diakses tanggal 19 Februari 2015.
[66]Memang  disadari kondisi madrasah pada saat ini memang masih mengalami ketertinggalan jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum. Bahkan madrasah kian terpinggirkan dengan semakin banyaknya sekolah umum yang bercirikan Islam berkembang secara lebih cepat. Sebuah hal yang sangat ironis manakala model pendidikan madrasah yang sudah cukup ideal tersebut tidak dapat dikembangkan dan diberdayakan menjadi sebuah desain madrasah yang unggul... Untuk itu madrasah semestinya tidak perlu terpengaruh untuk mengikuti pola pengembangan sekolah umum yang dianggap lebih baik, sebaliknya madrasah justru perlu mempertahankan karakteristiknya dan mengembangkannya. Sebab pendidikan madrasah adalah pendidikan masa depan yang memayungi antara agama dan umum  (jasmani dan rohani) manusia, oleh sebab itu dibutuhkan pengembangan yang fokus dan serius untuk masa-masa akan datang.Lihat, Anwar, “Rencana Pengembangan Madrasah,” diakses 19 Februari 2015.
[67]Ahmadi sebagai Kepala Kementerian Agama Jawa tengah menyampaikan kepedulian, partisipasi, dan pengelolaan masyarakat terhadap pendirian madrasah mulai meningkat, sehngga banyak madrasah baru yang berdiri pada akhir-akhir ini. Indikasinya, selama dua bulan menjabat Kepala Kemenag Jateng telah meneriman 20 pengajuan pendirian madrasah baru. Selain itu masyarakat mulai mempercayakan pendidikan putra-putrinya kepada madrasah. Hal ini menandakan bahwa kepedulian beragama masyarakat mulai meningkat dari tahun ke tahun. melihat kenyataan ini, pihak yang terkait dalam pengelolaan madrasah harus saling bekerjasama dalam mewujudkan visi memajukan madrasah. Melihat animo masyarakat terhadap pendirian madrasah yang begitu besar harapannya antara lembaga satu dengan yang terjadi persaingan yang sehat. Lihat, Muslihudin el Hasanudin, “Kakemenag Jateng: Sinkronisasi Pengembangan Madrasah Mutlak Diperlukan,” dalam http://maarifnujateng.or.id/2015/01/kakemenag-jateng-sinkronisasi-pengembangan-madrasah-mutlak-diperlukan/, diakses tanggal 19 Februari 2015.
[68]M. Gufron, “Strategi Pengembangan Madrasah di Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif Nahdatul Ulama Kota Salatiga,” dalam http://inferensi.stainsalatiga.ac.id/strategi-pengembangan-lembaga-pendidikan-lp-maarif-nahdlatul-ulama-studi-multi-situs-mi-maarif-global-mi-maarif-kutowinangun-dan-mi-maarif-asas-kali-bening-k/, diaksest tanggal 19 Februari 2015.
[69]Yang dimaksud dengan “sekolah” di sini adalah sekolah umum bukan sekolah yang berciri khas agama Islam.
[70]Fathoni, Pendidikan Islam dan, hlm. 153.
[71]Sholeh, “Posisi Madrasah di,” hlm. 226.
[72]Kusasi, “Perhatian Pemerintahan Terhadap Pondok Pesantren,” http://kaltim.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=22574, 04 Desember 2013, diakses tanggal 08 Oktober 2014.
[73]Terkait pengembengan pesantren berbasis agribisnis ini, Kiai Haji Abdul Ghofur menyampaikan “...salah satu keunggulan pesantren dalam upaya pengembangan pertanian atau agribisnis adalah Kiai dan santri yang menjadi panutan masyarakat desa sehingga dapat menjadi penggerak pembangunan pedesaan.” Ia juga mengungkapkan “Saya telah membuktikannya dengan keberhasilan pesantren dalam mensosialisasikan penanaman mengkudu di Lamongan, padahal hal tersebut gagal dilaksanakan oleh departemen pertanian.” Selanjutnya Fuad Affandi menekankan bahwa “Dunia pesantren dan pertanian sulit dipisahkan. Jika pesantren tidak dapat maju, maka Indonesia juga tidak akan maju, karena pesantren adalah bagian integral dari Indonesia dengan jumlah yang sangat banyak di Indonesia. Untuk itu dukungan terhadap pengembangan pesantren berbasis agribis merupakan suatu yang mendesak.” Lihat, “Pengembangan Pesantren Berbasis Agribisnis Perlu Didukung,” NU Online dalam www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,pdf-ids,1-id,465-lang,id-c,warta-t,Pengembangan+Pesantren+Berbasis+Agribisnis+Perlu+Didukung-.phpx, 13 Agustus 2003, diakses tanggal 19 Februari 2015. Selain daripada itu, Farahdillah Kutsiyah dari hasil temuan Disertasinya tentang pengembangan agribisnis di Pesantren menyatakan “modal sosial pesantren mencakup norma atau suatu tata nilai keinginan untuk mendapatkan barokah, kepatuhan terhadap kiai dan kepercayaan sebagai pengejawantahan nilai-nilai yang selalu dikumandangkan dalam bermuamalah seperti harus jujur dan dapat dipercaya mengakar dalam kehidupan petani yang tinggal di sekitar pesantren. Dampaknya adalah, pada akhirnya menjadi modal sosial petani yang dapat dilihat dari 'tingginya' harapan petani untuk mendapatkan barokah, tingkat kepatuhan terhadap kiai, kehadiran dalam pengajian, kepercayaan petani terhadap pesantren dalam bentuk mengandalkan pesantren sebagai alternatif untuk membantu masalah yang dihadapinya, sumbangsih petani terhadap pembangunan pesantren dan kepatuhan terhadap kontrak. Sementara perilaku ekonomi petani/santri yang dipengaruhi tata nilai barokah, menurutnya cenderung memunculkan sikap tidak opportunis selama bertransaksi dengan pesantren. Secara khusus Farahdilla menyarankan agar pesantren dapat menjadi fasilitator pemerintah atau pelaku aktif dalam pengentasan kemiskinan di pedesaan dengan urun rembug dalam program pembangunan pemerintah. Karena, menurutnya, lembaga pesantren dapat mengurangi biaya biaya transaksi petani dengan cara memberi bantuan dalam bentuk pinjaman dana ataupun input, yang dampaknya adalah dapat menekan biaya eksekusi seminimal mungkin. Selain itu, dengan modal social yang dimilikinya, menurut Farahdilla pesantren dapat mengurangi perilaku oportunis petani.” Lihat, “Disertasi Farahdilla Kutsiyah: Pengembangan Agribisnis di Pesantren,” dalam http://prasetya.ub.ac.id/berita/Disertasi-Farahdilla-Kutsiyah-Pengembangan-Agribisnis-di-Pesantren-4738-id.html, 18 Juli 2008, diakses tanggal 19 Februari 2015.
[74]Saiful Asyhad, “Keunggulan Pembelajaran Pesantren Salaf,” dalam http://www.lirboyo.net/keunggulan-pembelajaran-pesantren-salaf/, diakses tanggal 08 Oktober 2014.
[75]Diyah Yuli Sugiarti, “Strategi Pengembangan Pondok Pesantren dalam Membangun Peradaban Muslim di Indonesia,” Edukasi, Vol. 3, No. 1, Maret 2011: hlm. 8-37, dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=19727&val=1238, diaskes tanggal 19 Februari 2015.
[76]“Menag: Madrasah Kini Jadi “Trendsetter,” http://beritasore.com/2014/09/22/menag-madrasah-kini-jadi-trendsetter/, 22 September 2014, diakses tanggal 08 Oktober 2014.
[77]Anonim, “Intelektualitas dan Moralitas adalah Keunggulan Madrasah,” http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=7039#.VDT-WVdHUwo, 07 April 2014, diakses tanggal 08 Oktober 2014.
[78]Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Lihat, Pasal 1 poin 16 Undang-undang Republik Indonesia, didownload tanggal 23 Februari 2015.
[79]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, hlm.184.
[80]Undang-undang Republik Indonesia, didownload tanggal 23 Februari 2015.
[81]Siswanto, “Pengembangan Mutu Madrasah Menuju Madrasah Bertaraf Internasional,” Tadrís Vol. 6 No. 2 Desember 2011: hlm. 281-302, dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=267563&val=7084&title=MENGEMBANGKAN%20MUTU%20MADRASAH%20%20MENUJU%20MADRASAH%20BERTARAF%20INTERNASIONAL, diakses 19 Februari 2015.
[82]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, hlm. 209-210.
[83] Perbedaan antara “sekolah” dengan madrasah di sini utamanya adalah kementerian yang menaunginya. Di mana lembaga “sekolah” dibawah kementerian pendidikan dan kebudayaan sedangkan madrasah dibawah kementerian agama.
[84]Qomar, Pesantren: Dari Transformasi, hlm. 98.
[85]Ibid., hlm. 99.
[86]Abdulloh Hamid dan Putu Sudira, “Penanaman Nilai-nilai Karakter Siswa SMK Salafiyah Program Keahlian Tekni Komputer dan Jaringan (TKJ) Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah,” email: doelhamid07@gmail.com, file didownload tanggal 08 Oktober 2014.




Pesantren, Madrasah, dan Sekolah (Sumber gambar City Store)







Baca tulisan menarik lainnya: