BAB V
Pendidikan Islam di Indonesia: Pesantren, Madrasah, dan
Sekolah
Kajian tentang perbandingan
madrasah, pondok pesantren, dan sekolah –sebagai tiga “bentuk pendidikan” yang
terbesar di Indonesia– khususnya terkait dengan implementasi Pendidikan Agama
Islam bukan sebuah hal baru. Diskusi tentang itu, sebagaimana diketahui secara
jamak telah ada utamanya sejak pemerintah Indonesia “meresmikan” madrasah
melalui SKB Tiga Menteri Tahun 1975 sebagai lembaga pendidikan yang diakui
sebagaimana sekolah umum. Lalu pada akhir-akhir ini pun pesantren –sebagai
corak pendidikan asli milik masyarakat Indonesia– pasca disahkan Undang-undang
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 juga telah mendapat tempat yang “sejajar” dengan
lembaga pendidikan lainnya di mata pemerintah.
Meskipun keberadaan pesantren “murni” kebanyakan di mata pemerintah diletakkan
pada jalur pendidikan nonformal.
Oleh sebab itu, wajar bila setelahnya terjadi penilaian, perbandingan, dan
pembaharuan terhadap ketiga bentuk pendidikan tersebut.
Diakui atau tidak, perkembangan
yang dilakukan secara terencana maupun secara “alami” oleh ketiga bentuk
pendidikan tersebut tidak lepas dari fenomena eksternal. Di antaranya semakin bertambahnya jumlah
penduduk, semakin kritisnya orang tua murid, dan semakin kompleksnya
permasalahan (konteks sosial) masyarakat. Tentu intervensi pemerintah juga
memiliki peranan, melalui peraturan (Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dll)
dan pemberian dana kepada lembaga pendidikan Islam.
Dari keadaan tersebut mulai muncul kesadaran, bahwa pendidikan nonformal saja terlebih
lagi informal dipandang tidak cukup. Hal ini bisa dilihat ketika ada seseorang yang
punya keahlian tertentu yang tidak diragukan kapabelitasnya, tapi bila tidak
memiliki ijazah
maka ia tidak bisa “melamar” atau berkarir pada bidang pekerjaan formal.
Misalnya menjadi PNS, menjadi bupati, melamar caleg, dan bahkan untuk melanjutkan
ke jenjang pendidikan selanjutnya. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan Islam
dalam bentuk formalisasi, khususnya di pesantren pada akhir-akhir ini merupakan
sebuah keniscayaan. Salah satunya dengan cara mendirikan pesantren formal
(terakreditasi sesuai Standar Nasional Pendidikan), mendirikan madrasah atau
sekolah “umum” yang berada di bawah naungan pesantren. Bisa juga dengan melalui
program paket A, B, dan C terlebih dahulu untuk mendapatkan ijazah formal.
Oleh sebab itu, kajian ini
dipandang masih tetap layak untuk dibahas, terutama dalam menghadapi dinamika
masyarakat yang senantiasa terus berjalan cepat.
Terlebih, bila dinamika tersebut terkait dengan permasalahan-permasalahan yang membutuhkan
penyelesaian secara komprehensif. Dengan demikian, idealnya mempelajari dan
mendalami dunia pendidikan berarti juga harus mempelajari ilmu lain, yaitu ilmu
politik, ilmu manajemen, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu informasi, dan
ilmu-ilmu yang relevan. Di mana, dalam konteks ini kajian ilmu tersebut sangat
penting untuk digunakan. Yakni, sebagai dasar analisis keadaan sosio-psikologis
masyarakat dalam memilih (menentukan) bentuk lembaga pendidikan dan sebagainya.
Oleh karena itu, sebagai sebuah konsep dasar,
maka “mengkritisi” bentuk pendidikan –madrasah, pondok pesantren, dan sekolah– secara
detail merupakan modal awal yang sangat
penting.
Apabila menengok pada keadaan sebelum
lahirnya Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, sesungguhnya posisi
pesantren diasingkan dan terdiskriminasi dari sistem pendidikan nasional. Pada
waktu itu pesantren dipandang bukanlah sebagai lembaga pendidikan yang “pantas”
untuk disandingkan dengan lembaga sekolah umum. Meski demikian, peran pesantren
dalam pembangunan bangsa Indonesia sangat besar, utamanya dalam mendidik moral anak
bangsa yang sebagian besar dari kalangan “miskin” dan termarjinalkan. Yakni,
dari kalangan masyarakat yang tidak terserap oleh lembaga pendidikan formal yang
kala itu cenderung mahal dan sekuler.
Dari sudut pandang itu, dapat dirasakan jasa mencolok pesantren selama ini adalah
sungguh besar. Salah satunya meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak
mulia.
Hal ini bukan berarti menafikan peran bentuk pendidikan selain pesantren.
Bagaimanapun, PAI di madrasah dan sekolah pada saat itu bisa membantu
menempatkan lulusannya di pekerjaan formal.
Lebih
detail, pada Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 posisi pesantren sebagai lembaga
pendidikan keagamaan sekarang ini memiliki kesetaraan dengan bentuk pendidikan
Islam lainnya. Syaratnya adalah lembaga pesantren tersebut telah terakreditasi
(sesuai dengan ketentuan Standar Nasional Pendidikan). Sebagaimana yang
tertuang pada pasa 11 ayat 1-3:
(1)
Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah
yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD),
Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah
(MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat
setelah memenuhi persyaratan. (2) Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau
informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal
keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah. (3) Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal
yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat
melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis
pendidikan yang lainnya
Adapun dari sudut perbandingan
istilahnya (terminologi), antara madrasah dan pesantren tidak memiliki
perbedaan. Artinya, keduanya sama-sama sebagai lembaga pendidikan yang ciri
utamanya adalah untuk mendalami dan mengamalkan nilai-nilai Islam. Namun
demikian, sesungguhnya bila dikaji lebih mendalam dan holistis tetap ada
perbedaan. Utamanya dari tinjauan historis, bahwa awal berdirinya madrasah di
Indonesia ditengarai banyak keinginan untuk mengadakan pembaruan (transformasi)
sistem pendidikan Islam yang lama, yaitu pesantren. Meski pada mulanya
perubahan tersebut hanya pada aspek nama (label) saja yaitu dari pesantren
berganti menjadi madrasah. Serta terdapat perubahan di dalam ruang
pembelajaran, yaitu terdapat bangku-bangku sebagi menulis. Dengan demikian
materi, metode, dan manajemen pendidikan madrasah pada saat itu tidak jauh
berbeda dengan pesantren. Namun, pada akhir-akhir ini –sebagaimana yang akan
dibahas secara mendalam pada buku ini— tujuan secara terperinci dan metode
pengelolaan (manajemen) dari kedua bentuk lembaga pendidikan Islam tersebut
benar-benar berbeda.
Lebih lanjut, sesungguhnya
pesantren secara formal diposisikan ke dalam jenis pendidikan
keagamaan.
Sedangkan madrasah dan sekolah (MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA) diposisikan sebagai
jenis pendidikan umum, serta (MAK/SMK) masuk dalam jenis pendidikan kejuruan.
Dari situ dapat dikatakan bahwa pesantren hanya memfokuskan diri pada
pembelajaran keagamaan Islam. Sedangkan madrasah selain mempelajari ilmu agama
Islam juga memberikan ilmu umum. Adapun sekolah kebalikannya, selain mempelajari
ilmu umum juga wajib memberikan ilmu agama meski porsinya sangat minim.
Implikasinya, pesantren cenderung diminati oleh masyarakat yang ingin mendalami
agama Islam saja tanpa ilmu lain. Serta Madrasah diminati oleh masyarakat yang mendambakan
keterpaduan di antara dua ilmu tersebut.
Berangkat
dari semua asumsi penulis di atas, maka pembahasan ini seoptimal mungkin bisa terbebas
dari kesubjektifitasan. Yakni, adanya pengaruh “emosional” dan keterikatan
batin penulis dengan bentuk lembaga pendidikan tertentu. Hal ini ditekankan
karena biasanya kalangan dari lulusan (alumni) atau yang peduli terhadap
madrasah akan mengunggulkan bentuk pendidikan madrasah dalam setiap pengkajian
dengan berbagai argumennya. Sebaliknya pula, lulusan yang berasal dari bentuk
pendidikan pesantren maupun sekolah. Atas dasar itu, maka faktor “kefanatikan” tersebut
dalam pembahasan ini berusaha dikesampingkan oleh penulis. Oleh karena itu,
penulis akan mengumpulkan referensi sebanyak dan seheterogen mungkin untuk
menemukan sebuah kesimpulan yang terpercaya. Dengan harapan agar bisa ditemukan
konsep bentuk pendidikan
yang ideal dan bisa menjadi solusi terbaik bagi umat Islam dan bangsa. Sungguh
pun demikian, penulis menyadari bahwa tulisan pada Bab ini hanya menampilkan
gambaran kecil tentang sistem pendidikan Islam yang amat luas di Indonesia.
A. Konsep
Dasar
1.
Bentuk Pendidikan Agama Islam di
Indonesia
Sebenarnya bentuk dan penyebutan lembaga Pendidikan
di Indonesia sangat banyak. Namun, secara garis besar –salah satunya yang mempunyai
siswa terbanyak— adalah lembaga pendidikan yang berbentuk pesantren, madrasah,
dan sekolah. Lebih lanjut, menurut Mohammad Ali pendidikan Islam dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk. Pertama,
pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk Pendidikan Agama Islam (PAI) di
satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Itu artinya dalam
pemahaman penulis, pendidikan Islam hanya berwujud alokasi mata pelajaran saja
pada sekolah umum, yang wajib diberikan pada muridnya. Kedua, pendidikan umum yang berciri khas Islam pada satuan
pendidikan di semua jenjang dan jalur pendidikan. Menurut penulis, baik
Madrasah maupun Sekolah umum yang bercirikan Islam (sekolah Islam)
misalnya SMP Islam, SMP Maarif, dan SMP Muhammadiyah masuk ke dalam bentuk
nomer dua ini. Ketiga, pendidikan
keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan pesantren yang
diselenggarakan pada semua jalur pendidikan (tidak ada penjelasan tentang jenjang
pendidikannya).
Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa
pesantren adalah pendidikan keagamaan secara “kejenjangannya” tidak bisa
disetarakan dengan pendidikan Madrasah dan sekolah. Implikasinya, peserta didik
dari pesantren murni (tanpa terlebih dahulu berproses di madrasah atau sekolah
umum) atau diniyah tidak bisa berpindah (utamanya) ke jenjang pendidikan dasar
dan menengah pada sekolah umum. Kendati demikian, apabila didasarkan pada Undang-undang
Sisdiknas 2003 (pasal 26 ayat 6 dan pasal 27) digambarkan bahwa pendidikan
keagamaan (termasuk pesantren dan diniyah) dimungkinkan masuk dan diakui
keberadaannya sederajat dan setera (bila sudah diadakan penilaian penyetaraan
yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan /SNP) dengan pendidikan formal
lain (Madrasah dan sekolah umum).
Meski kenyataannya tidak banyak pondok pesantren
yang menempuh program penyetaraan/pengakuan agar sesuai dengan standar sistem
pendidikan nasional. Padahal bila pesantren murni itu sesuai dengan SNP, maka
seluruh bentuk pendidikan yang sederajat bisa menerima pindahan dari pesantren.
Tentunya juga bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Dapat
dikatakan, pesantren yang dulu sistem pendidikannya tidak pernah disentuh oleh
pemerintah, kini telah diresmikan menjadi bagian dari sistem pendidikan
Nasional. Implikasinya, kesejahteraan dan pengelolaan pesantren juga mendapat
perhatian dari pemerintah. Bahkan, pesantren kemudian “dituntut” untuk
melakukan pengembangan-pengembangan. Salah satu hal yang menjadi perhatiannya
adalah kurikulumnya.
Dari pembahasan di atas, agar
terjadi kejernihan pemahaman tentang tiga bentuk pendidikan tersebut maka dipandang
perlu untuk mendefinisikannya. Di mana, perumusan definisi tersebut secara
lebih konkret didasarkan konteks kekinian. Hal ini untuk membatasi pengertian, supaya
ada dasar pijakan yang jelas, dan agar terhindar dari kerancuan atau multi
tafsir. Oleh karena itu, dapat dirumuskan penjelasan tentang tiga istilah tersebut
sebagai berikut:
a.
Pesantren
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pesantren
berasal dari kata dasar “santri,” sehingga bisa menjadi kata pesantrian atau yang lebih dikenal
dengan pesantren. Di mana, kata pesantren berarti “asrama tempat santri atau
tempat murid-murid belajar mengaji” atau bisa diartikan sebagai “pondok.”
Sedangkan kata pondok punya arti pertama “bangunan untuk tempat
sementara” (seperti yang didirikan di ladang, di hutan), kedua “rumah (sebutan untuk merendahkan diri),” ketiga bangunan tempat tinggal yang
berpetak-petak dan berdinding bilik dan beratap rumbai (tempat tinggal beberapa
keluarga), empat “madrasah dan asrama
(tempat mengaji, belajar agama Islam).”
Dari
pernyataan tersebut, dapat dikatakan secara kebahasaan, istilah “Pondok
Pesantren” merupakan bentuk istilah pemborosan kata. Terutama, bila hal ini
digunakan sebagai tema kajian dalam tulisan ilmiah akan memakan cukup banyak
tempat pada setiap halamannya. Selain itu, kata “pondok,” sebagaimana
penjelasan di atas bisa bermakna luas.
Salah satunya bisa kepada konotasi negatif yaitu sebagai istilah pengganti kata
“rumah” yang diungkapkan untuk merendahkan diri. Adapun menurut Mujamil Qomar
istilah pondok bisa menjadi pembeda dengan pesantren tatkala di dalamnya
terdapat asrama. Di mana, makna pondok sebagai asrama itu pada kenyataannya
telah mengalami pergeseran “fungsi.”
Awalnya untuk memperlancar proses belajar dan adanya keterjalinan
hubungan peserta didik dengan ustad atau Kiai, pada akhirnya hanya sebagai
tempat tidur semata bagi pelajar atau mahasiswa yang belajar di lembaga (umum)
lain.
Oleh karena itu, penggunaan istilah pesantren
menurut penulis pada pembahasan selanjutnya lebih tepat untuk digunakan secara
konsisten dari pada istilah pondok
pesantren.
Dalam
kajian hukum kenegaraan Indonesia, pesantren merupakan jenis pendidikan
keagamaan. Dimana menurut Undang-undang bahwa “Pendidikan keagamaan berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.”
Dari sudut pandang itu, dapat dikatakan bahwa pesantren merupakan lembaga yang
menfungsikan diri sebagai lembaga yang hanya memfokusikan pada hal-hal yang
terkait dengan ajaran agama Islam. Artinya, pada pesantren bisa terdapat pondok
(asrama) untuk menginap santri atau bisa juga tidak ada sehingga santri pulang
pergi dari rumah.
Pesantren merupakan lembaga yang tumbuh dari bawah, yaitu
karena dikehendaki dan dibangun oleh masyarakat bahkan oleh perangkat
pemerintahan desa. Namun demikian, peran Kiai sebagai sosok utama dalam
pendirian dan pengembangannya sangat dominan. Bisa dikatakan bahwa pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang paling otonom. Artinya, lembaga yang
tidak bisa diintervensi dari sudut pandang apapun oleh pihak-pihak luar kecuali
atas izin Kiai.
Dari sini dapat dilihat bahwa Kiai merupakan sosok pemimpin yang menentukan
kebijakan secara mutlak, sebagai pusat kurikulum, dan sebagai “pemilik” pondok
pesantren. Bisa dikatakan, pesantren “murni” merupakan bentuk pendidikan Islam
yang paling orisinil dan berwibawa karena terjaga atau meminimalisir
pengaruh-pengaruh eksternal.
b.
Madrasah
Madrasah
adalah sekolah atau perguruan yang didasarkan pada agama Islam. Sedangkan,
jenjangnya ada Madrasah Ibtidaiyah yaitu sekolah agama Islam tingkat dasar
(SD), Madrasah Sanawiyah yaitu sekolah agama (Islam) pada tingkat menengah
pertama (SMP), dan Madrasah Aliah yaitu sekolah agama (Islam) pada tingkat
menengah atas (SMA).
Sesungguhnya, istilah “madrasah” bukanlah asli dari Indonesia, tapi ia muncul
pertama kali pada abad X atau XI Masehi di Timur Tengah. Dalam konteks
Indonesia, pendirian madrasah merupakan fenomena modernisasi pendidikan Islam
di Indonesia. Salah satu upayanya adalah pengembangan sistem pendidikan
tradisional Islam yang awalnya diadakan di Masjid, langgar, dan pesantren tanpa
batas waktu dan batas usia peserta didiknya dikembangkan menjadi sistem
klasikal. Yakni, terdapat penjenjangan, penggunaan fasilitas bangku serta papan
tulis, hingga memasukan materi pengetahuan umum dalam kurikulumnya. Bisa
dikatakan, dalam konteks Keindonesiaan penggunaan istilah “madrasah”
dimaksudkan untuk membedakan antara lembaga pendidikan Islam modern dengan
lembaga pendidikan Islam tradisional maupun pendidikan “sekolah” ala Belanda
yang cenderung sekuler.
Menindaklanjuti
penjelasan di atas, apabila ditinjau dari aspek sejarah, setidaknya ada dua
faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah. Pertama, adanya penggugatan atas sistem pendidikan Islam
tradisional yang kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas cepatnya
perkembangan lembaga “sekolah” yang dipelopori oleh Belanda, sehingga bisa
menimbulkan pemikiran yang sekuler di Masyarakat. Oleh karena itu, untuk
mengatasi masalah tersebut masyarakat Muslim (utamanya modernis) berusaha
melakukan reformasi melalui upaya pengembangan pendidikan dan pemberdayaan
madrasah.
Lebih detail, Kiai Haji Sahal memaparkan:
Setelah menyadari perlunya
perubahan atau penambahan sistem pendidikannya, maka baru pada awal abad ke-20,
pesantren memperkenalkan sistem klasikal yang disebut madrasah. Sistem ini
dilengkapi dengan pengetahuan umum -walaupun masih sangat terbatas- sebagai
jawaban positif atas terjadinya perubahan-perubahan akibat politik etis
kolonial. Madrasah sudah mengajarkan pengetahuan umum sejak awal, sesuai dengan
kebutuhan. Namun ia tetap merupakan pengembangan dari pesantren, menekankan
pendidikan keagamaan Islam, terutama menyangkut disiplin akidah, syari'ah dan
akhlak. Titik tekan ini masih mampu dipertahankan secara mencolok sampai akhir
masa penjajahan Jepang. Prestasi yang dapat dilihat adalah munculnya para
alumni yang mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai. Mereka
dinilai tangguh dan mampu mengembangkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam,
juga memiliki kepekaan tinggi terhadap masalah sosial dan lingkungan. Madrasah
dengan titik tekan materi pendidikannya di atas, diperkuat lagi dengan sikap
non-kooperatif para pendirinya terhadap pemerintah kolonial Belanda, sengaja
tidak menelorkan anak didik sebagai tenaga kerja dan birokrat kolonial.
Kegiatan pendidikan yang diciptakan pesantren dan madrasahnya tidak
diproyeksikan pada produktifitas kerja. Madrasah dan pesantren bahkan menentang
paham priyayiisme yang sengaja diangkat oleh Belanda untuk menarik pengaruh
masyarakat terhadap timbulnya 'nilai lain' akibat perbedaan status sosial.
Ijazah-ijazah formal sebagai tanda keberhasilan pendidikan murid, belum mampu
mempengaruhi mereka untuk mengubah pandangan, dari dasar menuntut ilmu li
wajhillah ke arah pandangan yang bersifat duniawi. Dari sini timbul watak kemandirian,
sebuah ciri utama dan identitas madrasah waktu itu,
sesuai dengan induk pengembangnya yaitu pesantren.
Pada
masa kini, pengembangan madrasah bukan hanya terjadi pada kurikulum-silabusnya
dengan referensi baru. Madrasah mulai membuka dan mengembangkan wawasan
kurikulumnya. Orientasi akan kebutuhan hidup peserta didik dan status sosial
mereka di masa mendatang sangat diperhatikan. Misalnya, perlunya ijazah formal madrasah
atau ijazah ujian persamaan negeri menjadi amat penting dan cenderung mengubah ke
paradigma duniawi semata. Implikasinya, nila belajar untuk memeroleh rida Allah
telah memudar, digeser dengan niat untuk meraih ijazah. Selain itu, paradigma priyayiisme ang dulu ditentang madrasah,
sekarang malah ditolerir. Serta penilaian prestasi madrasah diukur secara
kuantitif, salah satunya dengan mengukur banyak sedikitnya peserta didik yang
lulus ujuan negara. Dari segi kelembagaan, madrasah mulai kehilangan jati
dirinya sebaga lembaga yang mandiri. Data tersebut mengindikasikan telah
terjadi pergeseran nilai di madrasah. Konsekuensinya, bila hal tersebut tidak
dibenahi menjadikan posisi madrasah menjadi tidak jelas. Pada akhirnya,
madrasah di mata peserta didik kurang mendapat perhatian serius kecuali hanya
sebagai tempat pelarian.
Dapat disimpulkan, madrasah adalah lembaga pendidikan
yang diakui secara hukum yang orientasi utamanya untuk mengadakan pembaharuan
pendidikan Islam. Baik dari segi keilmuan, manajemen, sistem pembelajaran, dan
pasca terbitnya SKB 3 Menteri 1975 yaitu untuk memenuhi formalitas (ijazah,
memakai seragam, terdapat manajemen profesional, dll).
Dengan maksud bisa tercapainya generasi umat Islam yang mampu menguasai ilmu
pengetahuan agama sekaligus ilmu pengetahuan umum secara seimbang. Madrasah
juga bisa dimaksudkan sebagai bentuk eksistensi sekaligus identitas kultur
keagamaan umat Islam dalam dunia pendidikan Modern. Artinya, dengan memberikan
label atau menggunakan istilah “madrasah” pada lembaga pendidikan maka terkesan
memiliki nilai kelebihan
dan prestise tersendiri. Oleh karena itu, hakikatnya keberadaan madrasah di
Indonesia baik secara historis maupun konsep pengembangannya secara umum
merupakan bentuk pendidikan Islam yang paling fleksibel di antara yang lainnya.
c.
Sekolah
Kata
“sekolah” salah satunya memiliki arti “bangunan atau lembaga untuk belajar dan
mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.” Serta salah satu dari
beberapa arti lainnya yaitu “usaha menuntut kepandaian (ilmu pengetahuan);
pelajaran; pengajaran.” Sedangkan secara khusus sekolah agama diartikan sebagai
sekolah yang memberikan pendidikan dalam bidang keagamaan.
Ada yang mengatakan bahwa kata sekolah berasal dari bahasa Inggris school yang berarti sekolah. Dari
pengertian tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan sekolah diselenggarakan
tidak hanya dikhususkan untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum saja. Akan
tetapi sebuah usaha untuk menuntu kepandaian dan pembelajaran pada semua aspek
ilmu pengetahuan, termasuk agama.
Menurut H. A. R Tilaar yang
dikutip oleh Agus Sholeh dalam sejarahnya, sekolah merupakan lembaga pendidikan
yang didirikan oleh Kolonial Belanda. Oleh sebab itu, wajar bila lembaga sekolah
diposisikan secara istimewa oleh Belanda, sehingga tidak memberikan ruang yang
proposional bagi umat Islam untuk mengembangkan potensinya.
Selain itu, menurut Nasution “tujuan
utama [Belanda mendirikan sekolah] rupanya untuk melenyapkan agama Katolik
dengan menyebarkan agama Protestan.” Di mana, pada permulaannya semangat
mendirikan sekolah oleh Belanda (sekitar tahun 1607) diutamakan pada
daerah-daerah yang pernah dimasuki oleh Portugis sebagai pembawa agama Katolik,
seperti daerah Ambon dan Maluku. Setelah agama Katolik lenyap, maka program
pendirian sekolah pada abad ke-18 mulai menurun. Kendati demikian, di Indonesia
timur “Belanda tidak mempunyai hasrat sedikit pun untuk mempengaruhi orang
Islam menjadi Kristen.” Namun, di sisi lain ternyata kurikulum sekolah selama
VOC sangat bertalian erat dengan gereja. Pada tahun 1617, para gubernur di
Indonesia harus menyebarluaskan agama Kristen dan mendirikan “sekolah” untuk
menyukseskan tujuan itu.
Lebih lanjut, terkait sistem pendidikan sekolah maka Nasution menyampaikan:
Pada zaman kolonial pemerintah Belanda menyediakan
sekolah yang beraneka ragam bagi orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
berbagai lapisan masyarakat. Ciri yang khas dari sekolah-sekolah ini ialah
tidak adanya hubungan berbagai ragam sekolah itu. Namun lambat laun,.. terdapat
suatu sistem yang menunjukkan kebulatan. Pendidikan bagi anak-anak Indonesia
semula terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara
vertikal sehingga anak-anak Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat
mencapai pendidikan tinggi, sekalipun melalui jalan yang sulit dan sempit...
Lahirnya suatu sistem pendidikan [sekolah] bukanlah hasil suatu perencanaan
menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong
oleh kebutuhan praktis di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik
di Nederland maupun Hindia Belanda.
Dapat disimpulkan bahwa sekolah
bukanlah produk sistem pendidikan asli Nusantara. Ia merupakan warisan dan
hasil reproduksi dari kolonialsime Belanda. Tidak seperti halnya pesantren yang secara
kultur merupakan asli Indonesia. Paling tidak pesantren lahir di Indonesia
dengan kesahajaannya, tanpa kepentingan duniawi dan menyatu dengan kultur
pribumi. Sedangkan madrasah adalah hasil pengembangan yang berasal dari
sinergitas (sintesis) antara bentuk pendidikan pesantren yang asli dari pribumi
dengan bentuk pendidikan sekolah yang berasal dari barat. Oleh karena itu, pada
konteks masa kini dalam upaya melakukan program pembudayaan religius berbasis
Islam di sekolah umum oleh pendidik PAI perlu strategi yang cerdas dan lebih
rumit dari pada di lembaga pendidikan berciri khas Islam.
2.
Sejarah Singkat Pendidikan Islam di
Indonesia
Secara
historis, menurut Daulay fase pendidikan Islam di Indonesia
dapat di bagi menjadi tiga macam.
Pertama, awal masuk dan
menyebarnya Islam di Indonesia.
Pada tahap ini
dimulai dengan munculnya pendidikan informal
(utamanya dalam lingkungan keluarga). Awalnya nilai esensi
yang diajarkan adalah tentang pengenalan agama Islam. Selanjutnya, setelah itu
baru muncul lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ditandai
dengan adanya masjid, pesantren, surau, dll. Ciri utama
dari fase pertama ini adalah:
a.
Materi pelajaran; hanya terkonsentrasi pada
pengembangan dan pendalaman pada cabang ilmu-ilmu agama saja seperti tauhid,
fiqh, tasawuf, akhlak, tafsir, hadith, dan ilmu-ilmu dasar agama lainnya yang
sumber ilmu dan pembahasannya berasal dari kitab-kitab klasik berbahasa arab.
b.
Metode: sorogan, wetonan, dan muzakarah
(musyawarah).
c.
Sistem pembelajarannya memakai sistem halaqah.
d.
Output: menjadi ulama, kiai, ustad, guru agama,
mufti (ulamanya negara), dan modin (ulama desa) yang mengurusi upacara
kematian.
Kedua,
masuknya
ide-ide pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Adanya dorongan pengembangan tersebut secara internal disebabkan faktor
keterdesakan dan kesadaran diri untuk melepaskan dari penjajahan, di mana salah
satu jalannya adalah melalui pembaharuan pendidikan (tidak mungkin mengubah
keadaan dengan menggunakan cara yang sama secara terus menerus).
Adapun faktor
eksternalnya
adalah
banyak lulusan pelajar dan mahasiswa Indonesia
dari Timur Tengah yang menelurkan berbagai pemikiran
dan gerakan pembaruan. Ketiga, sejak diresmikan
(formal) dalam undang-undang UUSPN No. 2 tahun 1987, kemudian dipertegas dengan
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Madrasah
kedudukannya sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. Sedangkan
pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan.
Adapun menurut Supani, pada hakikatnya perkembangan
pendidikan dan pembelajaran Islam dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan
dari sistem tradisional.
Yakni, yang diadakan di suaru, langgar, Masjid, dan pesantren. Lebih lanjut, “Mengenai perubahan sistem halaqah menuju sistem klasikal yang
dikembangkan di madrasah di Indonesia, hal itu lebih dipengaruhi oleh sistem sekolah-sekolah
pemerintahan Kolonial Belanda. Hal ini dilakukan untuk menandingi sekolah-sekolah Belanda yang
diskriminatif dan netral agama, yang dinilai tidak sesuai dengan cita-cita Islam. Pengaruh itu
juga datang dari orang-orang Indonesia yang belajar di negerinegeri Islam atau dari para guru dan ulama
negeri tersebut yang datang ke Indonesia.”
Dalam sejarahnya, pada Undang-undang No. 4 tahun 1950
Junto No. 12 tahun 1954 tidak disebutkan sama sekali tentang aturan terkait
pendidikan agama. Hal ini menggambarkan bahwa undang-undang tersebut hanya berlaku untuk
pendidikan dan pembelajaran di sekolah umum. Ia tidak berlaku di sekolah agama
maupun “lembaga” pendidikan yang dimiliki atau dibina oleh masyarakat. Hal itu
artinya, baik madrasah maupun pesantren tidak diakui dalam sistem pendidikan
nasional. Meski, ada salah satu diktum yang menerangkan bahwa peserta didik
yang belajar di sekolah agama dengan status lembaganya diakui oleh Menteri
Agama, maka mereka dianggap sah dalam memenuhi kewajiban belajar sebagai
program pemerintah.
Secara detail, terkait dengan sejarah pendidikan Islam di pesantren, madrasah,
dan sekolah diuraikan secara
terintegrasi pada anak subbab tertentu.
3.
Karakteristik Pendidikan Agama Islam di
Pesantren, Madrasah, dan Sekolah
Menurut banyak kalangan, proses pendidikan banyak
dipengaruhi atau malah ditentukan oleh dinamika politik (kekuasaan),
budaya, dan dinamika masyarakat luas. Dengan demikian, corak atau karakteristik
pendidikan juga pasti mengalami pengembangan sesuai dengan keadaan zaman.
Meskipun, ada nilai-nilai serta identitas (simbol) tertentu yang tidak bisa
digerus zaman dengan mudah, hingga bisa dikatakan sangat sulit dirubah bahkan
oleh kekuasaan politik sekalipun. Lembaga seperti ini biasanya memiliki basis
pendukung (utamanya masyarakat) yang kuat, sehingga bisa mempertahankan diri
dari intervensi luar. Meski, pada sudut lainnya dengan terpaksa harus mengikuti
perkembangan zaman, misalnya penggunaan alat, sarana, dan prasarana pendidikan
yang sudah dimodernisasi.
Salah satu fenomena seperti itu yang akan menjadi
titik tekan penulis dalam kajian di anak subbab ini. Yakni, karakteristik
Pendidikan Agama Islam terkini seperti apakah yang sedang “terjadi” pada Pesantren,
Madrasah, dan Sekolah. Apakah masing-masing dari mereka benar-benar kehilangan
karakter atau corak (identitas) yang sejak awal telah melekat kuat. Atau justru
masing-masing semakin menjauh satu sama lain, lalu saling bertolak belakang dan
saling bertentangan. Kemungkinan lain bisa jadi dari ketiga bentuk pendidikan
tersebut melakukan “akulturasi” sistem pendidikan. Yakni, melakukan tambal
sulam dengan mengambil sistem pendidikan lain yang dipandang cocok diterapkan dengan
karakteristik awal mereka. Namun, tetap mempertahankan dengan kuat semangat dan
tujuan awal dari didirikannya lembaga tersebut.
Sebagai
dasar analisis fenomena di atas, telah ditemukan berupa hasil penelitian pada
sebuah pesantren di Pekanbaru. Di mana tiap pola dan sistem pendidikan yang
diterapkan antara pesantren tradisional
dengan pesantren modern masing-masing
memberikan keunggulan (dampak positif) dan kelemahan (dampak negatif) yang
berbeda satu sama lain. Pertama, keunggulan pola pesantren tradisional
adalah fokus perhatian sekaligus penghafalan al Quran dan upaya penggalian “kitab kuning” bisa terlestarikan.
Adapun kelemahannya adalah sulit bersaing dengan lembaga lain yang berbentuk
sekolah umum dan dalam pengembangan Ilmu pengetahuan teknologi. Sedangkan yang kedua keunggulan pola pesantren modern
adalah mampu bersaing dengan lulusan sekolah unggulan umum. Akan tetapi
kelemahan dalam bidang bahasa dan kajian kitab kuning (kitab klasik) tidak
optimal. Namun demikian, adanya keberagaman pola pendidikan pesantren tersebut
membuat kekayaan khazanah pendidikan Islam semakin nampak.
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa corak atau model pesantren modern
dengan pesantren tradisional juga akan menghasilkan kompetensi (corak) peserta
didik yang berbeda pula. Walaupun, resikonya adalah akan tercipta kader-kader
umat Islam yang beranekaragam kemampuannya. Dengan adanya dialog antar
“keragaman” tersebut, diharapkan akan terjadi pengembangan-pengembangan
terbaru. Salah satunya bisa menemukan solusi permasalahan yang tepat bagi
kebutuhan masyarakat. Selain itu, dengan begitu beragamnya corak pendidikan (khususnya
pendidikan Islam) diharapkan bisa ditemukan suatu sistem pendidikan yang ramah
bagi umat Islam untuk mengkaji, menerapkan, dan menghayati nilai-nilai Islam.
Lebih nyata, fenomena unik pada dunia pendidikan
telah terjadi di kehidupan masyarakat sekarang ini. Salah satu faktornya adalah
terdapat adaptasi yang berlebihan (di luar pakem/acuan) oleh lembaga pendidikan.
Hal ini dilakukan agar lembaga tersebut tetap diminati dan bisa diterima oleh
masyarakat. Implikasinya, secara simbol (identitas) atau corak terjadi
pengkaburan batas antara mana yang pesantren, mana yag madrasah, dan mana yang
sekolah umum.
Misalnya, banyak sekolah umum baik yang negeri maupun swasta peserta didik
beragama Islam diwajibkan sholat Zuhur berjamaah dan sholat Jumat bahkan sholat
Duha di Masjid atau Mushola sekolah. Hal itu utamanya bagi sekolah yang
mayoritas atau bahkan 100% peserta didiknya beragama Islam. Ada pula SD dan SMP
swasta maupun negeri yang mewajibkan peserta didik putrinya memakai jilbab dan bagi
peserta didik putranya diwajibkan mengenakan celana panjang. Fenomana itu
terutama pada lembaga pendidikan umum yang lokasinya dekat dengan lembaga
pendidikan Madrasah.
Adanya difusi yang ekstrem
tersebut menyebabkan masyarakat sulit membedakan bentuk pendidikan seperti apa
yang disuguhkan kepada mereka. Di mana yang agak mudah dibedakan dari ketiga
bentuk tersebut hanya rohnya –yang menjadi ciri khas (hakikat) perjuangan
masing-masing lembaga–, nama institusi (label), dan kurikulum tersembunyi (hidden curiculum) secara detail-operasional. Namun, secara kasat mata baik
itu berupa anggaran yang diterima (terutama dana BOS), kemegahan gedung,
prestasi, dan semacamnya sulit untuk dibedakan. Dengan kata lain, banyak
institusi pendidikan yang mulai menyadari bahwa masyarakatlah yang menjadi
“raja,” sehingga bebas menentukan ke mana mereka akan menyekolahkan anaknya. Sebagai
gambaran detail dari penjelasan di atas, maka penulis bisa rumuskan ke dalam
tabel sebagai berikut:
Tabel 5.1 Kasus Tertentu:
Terjadi Kelunturan Identitas/Karakteristik
Sistem Pendidikan
|
Nama (sebagai label)
|
Isi (muatan)/ hakikatnya
|
Analogi rasa buah-buahan
|
Keterangan
|
Konteks Masyarakat
|
Madrasah
|
Sekolah
|
Berbentuk Duren tapi rasanya Mangga
|
Tidak terjadi integrasi, yang
ada hanya penambahan jam mata pelajaran PAI. (lebih banyak mempelajari ilmu
umum)
|
Santri modern, pragmatis, dan
formalis.
|
Pesantren
|
Madrasah
|
Berbentuk Jeruk tapi berasa Duren
|
Mendalami ilmu pengetahuan
umum yang diintegrasikan dengan ilmu agama
|
Santri reformasi-progresif,
dan realistis
|
Sekolah
|
Pesantren
|
Berwujud Mangga tapi rasanya Jeruk
|
Memunculkan nilai-nilai
keislaman yang berciri khas kepesantrenan dalam keseharian proses pendidikan
|
Santri tradisionalis
(kemapanan) dan formalis
|
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa proses
“akulturasi” lembaga dari bentuk lembaga “lama” dengan bentuk lembaga yang lain
dilakukan karena dipengaruhi oleh konteks atau latar belakang masyarakat di
sekitar lembaga. Hal itu dilakukan agar eksistensi lembaga tetap terjaga karena
lembaga tersebut benar-benar bermanfaat bagi kehidupan jangka panjang
masyarakat. Penggunaan nama hanya sebagai label (bungkus) untuk formalitas
supaya masyarakat dan bahkan pemerintah mau menerima lembaga tersebut seperti
halnya lembaga lain yang senama (selabel). Dengan kata lain, apa yang dibutuhkan
oleh masyarakat secara umum maka produk pembelajaran itulah yang harus “dijual”
oleh lembaga pendidikan. Walaupun sebenarnya juga ada faktor lain yang lebih
kompleks tentang alasan seseorang memilih sebuah lembaga atau bentuk pendidikan
tertentu. Untuk lebih detailnya masalah ini telah penulis paparkan pada halaman
selanjutnya.
Dapat disimpulkan meskipun masih berupa “kasus”
tertentu, akhir-akhir ini telah terjadi yang namanya fenomena unik. Yakni,
banyak lulusan dari pesantren, madrasah, dan sekolah yang sangat sulit
dibedakan kemampuannya. Artinya, ada lulusan pesantren yang menguasai ilmu umum.
Di sisi lain, tak sedikit lulusan sekolah yang menguasai dan menerapakan
nilai-nilai Islam dengan baik. Bila itu terjadi, masyarakat akan sulit
membedakan mana lulusan dari madrasah, mana yang dari pesantren, dan mana yang
dari sekolah. Secara kasat mata (kulitnya) semua seakan sama saja. Akan tetapi,
yang perlu dikritisi adalah apakah kemampuan tersebut benar-benar integratif
atau hanya kemampuan parsial? Artinya, keunggulan siswa tersebut pada satu
bidang keilmuan saja misalnya ilmu agamanya atau hanya ilmu umum. Pertanyaan
selanjutnya, apakah ada keterpaduan (integrasi) antara kedua jenis ilmu itu?
Atau penyelenggaraan pendidikan hanya menyentuh permukaannya atau pada tataran
simbol sebagai identitas diri (bungkus) saja? Idealnya, pada hakikatnya antara
keduanya harus saling mengokohkan (terintegrasi) satu sama lain, sehingga
antara roh ilmu keagamaan dengan roh ilmu umum terjadi penyatuan
Berangkat dari semua penjalasan
di atas, penulis menganggap perlu diadakan pembedahan pada tiga bentuk
pendidikan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan karakteristik
masing-masing. Dengan itu diharapkan bisa ditemukan kelebihan dan kelemahan
masing-masing. Oleh karena itu, penulis memaparkan secara detail terkait hal
itu sebagai berikut:
a.
Pesantren
Membicarakan pesantren tidak akan pernah lepas dari
sosok seorang Kiai. Menurut Imam Bawani posisi Kiai dalam pesantren laksana
jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas peran Kiai yang begitu kuat dalam
membina pesantren disebabkan karena merekalah yang umumnya menjadi perintis,
pendiri, dan bahkan juga pemilik tunggal dari pesantren.
Oleh karena itu, wajar bila pola kepemimpinan pesantren didasarkan pada
keturunan dari pendiri pesantren tersebut karena pesantren merupakan “hak”
pribadi. Meskipun demikian, Kiai dengan kharismanya juga mampu menggandeng
masyarakat luas dan kadangkala pemerintah untuk ikut membangun dan
mengembangkan pesantren menjadi lebih besar.
Pesantren juga erat kaitannya dengan “paradigma
dikotomi” dalam memandang sebuah ilmu. Yakni, memisahkan antara ilmu agama
dengan ilmu umum. Keduanya diyakini memiliki derajat, hukum, dan fungsi yang
berbeda. Menurut Muhammad Kholid Fathoni paradigma tersebut bisa terjadi karena
dilandasi oleh pola pikir semacam ini:
1)
Pesantren merupakan benteng
terakhir bagi “keutuhan” agama dan budaya Islam di Indonesia.
2)
Pengaruh politik penjajahan
yang menyemai perlawanan di kalangan rakyat sehinga berujung pada penolakan
atas corak pendidikan umum (sekolah) yang notabene produk atau dibawa oleh
Belanda.
3)
Doktrin-doktrin dari kitab
klasik di pesantren yang mengutamakan ilmu agama (dihukumi wajib) dari pada
ilmu umum ( dihukumi fardu kifayah). Termasuk di dalamnya terdapat ajaran anti
“cinta dunia” secara berlebihan.
Karakteristik pesantren yang terkesan kaku tersebut
bukan berarti sepenuhnya tak memiliki makna (nilai positif) sama sekali.
Bahkan, berdasarkan fakta-kongkrit di masyarakat menunjukkan bahwa pesantren
bisa memajukan mutu pendidikan dengan cara mereka sendiri.
Tentunya dengan kadar kompetensi lulusan yang mereka bangun sendiri (sesuai
dengan ciri khas pesantren masing-masing). Kepatuhan lembaga pendidikan
terhadap aturan dari pemerintah, dinilai berdampak pada fenomena pendidikan
yang terkooptasi (terkekang) oleh birokrasi. Dampaknya, visi dan misi yang
dibangun sejak awal dapat hilang, sehingga terjadi penumpulan pandangan
pesantren dalam membaca arah kebutuhan (bukan kemauan atau keinginan)
masyarakat yang sebenarnya.
Disamping itu, selama ini pesantren telah menawarkan
budaya tersendiri. Yakni, adanya nilai-nilai tauhid, kesederhanaan,
kemanusiaan,, keadilan, kejujuran, kepedulian, kemandirian, dan sebagainya.
Bagi pesantren, ukuran keberhasilan bukan semata-mata dilihat dari seberapa
banyak harta terkumpul dan pekerjaan atau karir apa yang tercapai. Akan tetapi
dijangkau dari seberepa dekat diri manusia kepada Tuhan. Dengan demikian,
pesantren harus dilihat sebagai pesantren, bukan yang lainnya. Pesantren
memiliki orientasi hidup tersendiri dalam pengertian seluas-luasnya. Pesantren
tidak perlu ditarik-tarik ke dalam budaya hidup hedonis, materialis, dan
kapitalis yang cenderung menindas rakyat kecil yang menjadi mayoritas.
Dapat disimpulkan, bahwa selama
ini pesantren dikesankan hanya melatih peserta didik (santri) untuk bertirakat
sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah melalui jalan “ibadah.” Sedangkan
“tarikat” dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan umum (kecuali praktik ilmu
sosial: komunikasi, antropologi dan sosiologi untuk kepentingan dakwah agama)
belum pernah ada. Padahal dengan menyingkap alam beserta fenomenanya (sebagai
ayat kauniah) secara komprehensif bisa menghantarkan manusia dekat kepada
Tuhannya. Serta tentu pada akhirnya juga bisa mewujudkan pengembangan IPTEK
secara produktif sehingga bermanfaat bagi umat Islam. Peran inilah yang
selanjutnya diharapkan bisa diambil oleh Madrasah secara utuh.
Sebagaimana pernyataan Kiai
Haji Sahal Mahfud, bahwa “Mulanya falsafah pendidikan pesantren melulu
bertujuan pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keagamaan. Dalam perkembangan
selanjutnya, untuk mencetak santri menjadi tenaga-tenaga terampil yang mampu terjun ke bidang kemasyarakatan dengan baik,
harus dibekali dengan pengetahuan yang luas.” Lebih lanjut, karena kebutuhan
masyarakat akan pengetahuan umum semakin terlihat, sehingga ketertarikan mereka
terhadap ilmu menjadi lebih tinggi. Hal itu menjadi pendorong pesantren secara
bertahap, mengubah struktur dan sistem pendidikannya. Dengan kata lain,
transformasi dalam pesantren tidak dilakukan secara radikal mengubah dan
menghapus sistem dan struktur pendidikan yang menjadi dinamika pesantren. Akan
tetapi, “lebih menekankan pemeliharaan cara lama yang masih relevan dan
[melakukan] pengembangan sesuai dengan cara baru yang lebih baik.” Secara
gamblang mantan ketua MUI tersebut memaparkan bahwa:
Lambat laun visi kepesantrenan
terhadap [ilmu] pengetahuan [umum] menjadi semakin mantap. Dan sebagai lembaga
pendidikan, pesantren tidak lagi hanya berorientasi pada pengetahuan
keagamaaan, melainkan lebih luas lagi pada bidang-bidang pengetahuan umum.
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan secara luas, yang menjadi pembahasan di
sini, pesantren menempati posisi yang sangat berperan, karena posisinya sebagai
lembaga pendidikan yang langsung berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Namun untuk
menggariskan suatu konsep yang tepat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan
[umum] di masa yang akan datang, masih harus mempertimbangkan beberapa alternatif
dan kemungkinan-kemungkinan.
Dapat dikatakan, pesantren
punya peranan yang cukup signifikan, utamanya dalam bidang keagamaan. Selain
itu, secara kultural ia telah menciptakan pandangan hidup yang berciri khas
kesantrian. Di mana, paradigma tersebut dapat dirumuskan dalam sebuah sistem
nilai yang lengkap (utuh). Sistem tersebut, selain untuk menumbuhkan
keterikatan santri satu sama lain juga menjadi filter sekaligus penyerap nilai-nilai baru yang
datang dari luar. Pada zaman dulu, paradigma pesantren tradisional ini
termanifestai pada bentuk gaya hidup yang bersahaja, rela berkorban demi
tercapainya cita-cita, dan rasa bangga bergaya hidup sebagai santri. Sedangkan
secara sosial ekonomi, tata nilai pesantren tergejawantahkan dalam serangkaian
etika sosial-ekonomi. Salah satunya kecenderungan untuk mengutamakan
kolegialitas saat melakukan transaksi perdagangan. Selain itu, ada
“kecenderungan memulai usaha dari modal yang kecil, kurangnya perhatian pada
usaha akumulasi modal sebagai tujuan berniaga, dan kurangnya kesediaan untuk
merintis usaha-usaha berjenis baru.” Lebih dari itu, berkembang pula etika
sosial yang bercoark pengayoman. Yakni, bagi yang beruntung hidupnya diwajibkan
meratakan sebagian darinya kepada para pekerja dan pembantu yang hidupnya serba
kekurangan. Salah satunya melalui kegiatan zakat. Etika sosial seperti ini yang
menghasilkan kultur lembaga pendidikan yang berwatak populis. Disebabkan,
adanya kegiatan pelestarian melalui ajakan berbelas kasihan kepada mereka yang
ditimpa kemalangan dan kekurangan.
b.
Madrasah
Sebagaimana yang telah banyak diketahui, bahwa
Madrasah merupakan lembaga pendidikan pembaharuan dari pola pendidikan pesantren.
Walaupun menurut Arief Furchan pembaharuan pada awalnya hanya sekedar mekanisme
dan tampilan saja. Sedangkan kurikulumnya 100% masih berisi pelajaran agama.
Perbedaannya dengan pesantren adalah di Madrasah terdapat bangku, papan tulis,
ulangan, ujian, dan adminstrasi lainnya. Akibatnya, karena kurikulumnya berbeda
maka lulusan atau siswa dari madrasah pada masa itu tidak dapat melanjutkan
atau pindah ke sekolah umum. Adapun orang tua yang ingin anaknya mendapat ilmu
agama sekaligus ilmu umum harus menyekolahkan anaknya di dua tempat, di sekolah
umum dan di madrasah.
Dengan kata lain, madrasah seperti itu secara nyata dan meyakinkan hakikatnya
adalah pesantren tapi berlabel madrasah.
Menurut Maksum, “dibandingkan dengan pesantren,
madrasah relatif terorganisasi secara baik, dalam hal tujuan, kurikulum,
kepemimpinan, dan proses belajar mengajarnya.” Contoh konkrit dari lembaga
pendidikan madrasah adalah Madarasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah
(MTs), dan Madrasah Aliyah (MA).
Dengan kata lain, sesungguhnya Madrasah secara konsep merupakan bentuk
pendidikan yang lebih “mapan” dari pada bentuk pendidikan di pesantren. Hal ini
karena sistem pendidikannya dilaksanakan secara terencana, terorganisir,
terlaksana berdasar acuan, terkontrol, dan ada evaluasi dari sistemnya.
Padak perkembangan selanjutnya,
pembaharuan pada madrasah dilakukan dengan cara pengkombinasian pemikiran,
konsep, kurikulum, dan manajemen dari lembaga pendidikan pesantren dengan
lembaga sekolah. Bisa dikatakan, bahwa masyarakat (khususnya masyarakat Islam)
seiring dengan perkembangan zaman tidak hanya membutuhkan pengkaderan umat
dalam bidang keagamaan saja (menjadi ahli agama, ulama, dan Kiai). Namun, di
sisi lain umat Islam juga butuh pengkaderan umat dalam bidang ilmu umum. Dapat
disimpulkan, pendidikan pesantren saja dirasa tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, begitu pula hanya pendidikan sekolah umum juga tidak akan
cukup. Di sinilah peran madrasah dimunculkan sehingga bisa menjadi daya tarik
tersendiri, utamanya bagi masyarakat santri modern.
Kenyataan tersebut menimbulkan
ambivalensi pada diri madrasah. Salah satu indikatornya ialah kehilangan
identitas diri dan orientasi menjadi tidak jelas. Tanpa disadari pula, telah
terjadi pendangkalan misi awal madrasah yang berciri intrinsik yaitu
nilai-nilai Islam. Salah satu cirinya yaitu tata nilai Islami sebagai sumber
pijakan dalam melakukan tranformasi kultural dan pembentukan sikap rasional
Islam sehingga menjadi manusia seutuhnya telah terabaikan. Adapun “Problem masyarakat
yang belum mendapat perhatian serius dari kalangan madrasah, ialah kian meledaknya
secara dahsyat jumlah anak usia sekolah yang
sangat memerlukan bimbingan dan pendidikan agama Islam.” Di mana, mereka
sangat rawan sekali melakukan tindakan pacaran bebas, penyalahgunaan narkoba,
minuman keras, dan sebagainya. Ketertinggalan
tersebut bila tidak dicari solusinya akan menghambat pengembangan madrasah itu
sendiri..
c.
Sekolah
Dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pada
pasal 12 ayat 1 poin (a) mengutarakan “Setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai
dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;...” Lebih
rinci pada Pasal 37 Ayat 1 poin (a) mengamanatkan bahwa “Kurikulum pendidikan dasar
dan menengah wajib memuat: a. Pendidikan Agama;...” Dengan demikian
menyelenggarakan pendidikan Islam tak terkecuali di lembaga pendidikan
berbentuk sekolah merupakan sebuah kewajiban. Tentunya bila dalam lembaga
tersebut terdapat hal-hal yang memenuhi syarat. Salah satunya peserta didik
yang beragama Islam pada satu lembaga tersebut jumlah minimalnya sudah memenuhi
syarat (diestimasikan antara 15-25 orang) untuk menyelenggarakan proses
pembelajaran pada ruang kelas. Meski kenyataannya banyak
pelanggaran-pelanggaran terkait hal ini, utamanya oleh lembaga pendidikan yang
berciri khas agama nonislam.
Namun demikian, penyeleggaraan pendidikan Islam
melalui mata pelajaran PAI di sekolah saja dirasa sangat tidak cukup. Terlebih,
pada sekolah-sekolah yang cenderung sekuler dan yang terlalu mengagung-agungkan
ilmu pengetahuan umum. Di mana salah satu ciri kesekulerannya adalah “tidak
mengapresiasi” dan tidak memberikan kesempatan peserta didik untuk mengekspresikan
diri melaui bidang keagamaan. Misalnya, terjadi diskriminasi terhadap peserta
didik yang memakai jilbab dan kupyah sebagai ekspresi/simbol keagamaan, tidak
ada kepedulian lembaga pada kesejahteraan Mushola di sekolah, dan cenderung
menggiring siswa untuk menjauhi atau meminimalisir kegiatan-kegiatan/ritual
keagamaan. Sebagaimana menurut Haidar Putra Daulay, bahwa peran trilogi
pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat penting bagi
kesuksesan tujuan pendidikan Islam. Di mana sesungguhnya PAI di sekolah hanya
sebagian dari upaya pendidikan. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan
agama harus ada jaringan kerja sama antar tiga wilayah tersebut. Setidaknya
sejauh mana hubungan timbal balik antara sekolah dengan keluarga (rumah tangga)
dalam menyelenggarakan pendidikan Islam bisa terjalin dengan serius.
Dari uraian tersebut, tidak terlalu salah bila ada
pernyataan bahwa pendidikan berbentuk sekolah, utumanya sekolah berstatus
negeri menimbulkan ambiguitas. Hal ini disebabkan karena sekolah negeri
cenderung mematuhi serta menjadi anak emas pemerintah pusat dan daerah.
Implikasinya, saking ingin mengayomi hak beberapa agama yang dipeluk oleh
peserta didik membuat mereka ingin lebih menonjolkan simbol nasionalismenya.
Lebih parah lagi, menurut An-Nahidl, dkk sekolah yang “murni” dari warisan
budaya Belanda, sekaligus warisan kebijakan dan ideologi pendidikan
kolonialismenya yang diskriminatif belum sepenuhnya hilang di Indonesia.
Buktinya, ada kesan seakan-akan kebijakan pemerintah lebih mengutamakan dan
mensuperiorkan sekolah dari pada bentuk pendidikan lain. Sebab secara tersirat,
pemisahan antara sekolah yang menjadi anak emas pemerintah dengan madrasah dan
pesantren yang didukung oleh masyarakat masih terus berlanjut.
Adapun dari segi ideologi dan pengalaman beragama
peserta didiknya, institusi sekolah bila tidak dibina dengan tepat bisa
memunculkan pendangkalan ajaran Islam. Akibatnya, muncul sikap
radikalisme-ekstrim bahkan ke depannya bisa berpeluang menimbulkan aksi
terorisme. Atau paling tidak, di sekolah umum rentan terhadap kegiatan-kegiatan
agama Islam yang berpola ekslufis. Yakni, kegiatan Islam di lembaga pendidikan
yang cenderung tertutup untuk umum. Hal itu terjadi karena mereka merasa yang
paling benar dan punya kunci kebenaran dalam memahami Islam, tanpa
memperhatikan budaya plural di sekitarnya. Kelemahan inilah yang menjadi
ancaman bagi kelompok lain yang merasa termarginalkan. Implikasinya, eksisteni
simbol, kegiatan, dan penghayatan nilai Islam di lembaga pendidikan berbentuk
sekolah mulai mendapat sorotan dan kritikan. Hal ini salah satunya karena
kegiatan keislaman yang diadakan terlalu berlebihan (mendominasi) dan tidak
mengakomodir keberagaman.
Dapat disimpulkan bahwa asal
usul “istilah” sekolah merupakan produk dari kolonial Belanda. Kendati
demikian, diharapkan semangat dan tujuan pendidikannya tidak mengacu pada
“sekolah” di zaman Belanda. Bagaimanapun, Indonesai bukanlah Belanda. Oleh
karena itu, sistem pendidikan nasionalnya hendaknya juga didasarkan pada
konteks hukum dan masyarakat Indonesia. Di mana, pendidikan agama utamanya
pendidikan agama Islam di sekolah harus diperhatikan secara serius. Harapannya
adalah supaya bisa membentuk manusia yang utuh sesuai dengan amanat UUD 1945.
4.
Tujuan Pendidikan Agama Islam di Pesantren,
Madrasah, dan Sekolah
Indonesia merupakan negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Kenyataan tersebut menjadi sebuah nilai yang tidak bisa dielakkan dan
ditafsir-tafsrikan untuk kepentingan yang lainnya. Setiap elemen warga negara
wajib mengimplimentasikan perilaku, aturan, dan termasuk juga pendidikan yang didasarkan pada Ketuhan
Yang Maha Esa. Dengan kata lain, semua yang bersangkut paut pada dunia
pendidikan dimuarakan pada satu dasar utama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Baru
kemudian diturunkan ke dasar-dasar yang lain. Untuk cara pelaksanaannya lebih
rinci tergantung dan disesuaikan pada masing-masing bentuk pendidikannya. Hal
ini sesuai dengan pembahasan sebelumnya, yaitu tentang UUD 1945 amandemen ke-4
Pasal 31 ayat 3. Serta menurut amanat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 bahwa “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Lebih
rinci berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Keagamaan pada pasal 2 ayat 2 mengamanatkan “pendidikan
agama bertujuan untuk berkembangnya keamampuan peserta didik dalam memahami,
menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya
dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni." Adapun pada pasal 26 ayat 1
menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan pesantren adalah menanamkan
keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren
untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik
untuk menjadi ahli ilmu agama Islam serta menjadi muslim yang punya
keterampilan atau keahlianan sebagai penunjang pembangunan kehidupan yang
Islami di masyarakat. Dari
pemaparan tersebut terdapat beberapa implikasi yang harus dilaksanakan oleh
seluruh elemen pendidikan bangsa, yaitu:
a.
Tidak ada pandang bulu atau pengecualian bahwa semua
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan harus bermuatan nilai-nilai ”ketuhanan.”
Misalnya, dituangkan dalam visi dan misinya.
b.
Pendidikan “berketuhanan” lebih diutamakan, baru kemudian
pendidikan ilmu lain. Misalnya, anggaran dan program kerja difokuskan untuk
kegiatan berketuhanan. Atau paling tidak meski itu untuk kegiatan pengembangan
ilmu pengetahuan tapi di dalamnya harus termuat nilai-nilai ketuhanan.
Dari penjelasan tersebut, maka PAI di pesantren,
madrasah, dan sekolah punya cara masing-masing dalam menanamkan nilai-nilai
Islam. PAI di Pesantren sebagai nilai utama bahkan kadang satu-satunya yang
dijunjung tinggi. Sedang di madrasah, PAI menjadi nilai terpenting, tetapi
secara perhatian diberikan seimbang dengan pendidikan umum. Adapun di sekolah,
PAI merupakan bagian kurikulum yang terwujud dalam sebuah mata pelajaran
pendidikan Islam. Oleh karena itu, antara pola pendidikan pesantren, madrasah,
sekolah tidak patut untuk diperbandingkan. Terlebih dengan memperbandingkan
kualitas lulusannya dalam bidang-bidang tertentu misalnya kemampuan berbahasa
asing (arab dan inggris), kemampuan nahu saraf, kemampuan matematika, kemampuan
beramian musik, dan sebagainya. Sebaiknya, yang diperbandingkan ialah sejauh
mana lulusan mereka mampu menghayati nilai-nilai Islam. Asumsinya, peserta
didik mampu di bidang apapun itu sesuai dengan bidangnya tapi mereka tetap
mempertahankan nilai-nilai Islam dalam mengaktulaliasikan diri di masyarakat.
Dapat disimpulkan,
dari tiga bentuk pendidikan dalam pembahasan ini maka tujuan pendidikan
Islamnya tidak serta merta secara detail harus disamakan. Harus diadakan assessment outcome, yaitu menelaah terlebih dahulu tolak ukur “kesuksesan”
seperti apa yang ingin dicapai atau diutamakan oleh lembaga pendidikan. Hal itu
sekaligus dikaitkan dengan pengetahuan pendidik tentang sejauh mana kemampuan
peserta didik dalam bidang pendidikan Islam. Misalnya, tolok ukurnya adalah
bisa mengerjakan Salat Duha secara rutin, bisa membaca bacaan Salat dengan
benar, membaca kitab kuning, bisa memimpin Tahlilan, atau bisa menghafal ayat
al Quran, dan sebagainya. Oleh karena itu, setiap lembaga pendidikan harus
memperhatikan hasil pendidikan Islam yang berupa produk, output, dan outcome
seperti apa yang ingin dicapai.
5.
Pengembangan Pendidikan Agama Islam di
Pesantren, Madrasah, dan Sekolah
Idealnya pengembangan yang dilakukan oleh pesantren, madrasah, dan
sekolah terkait mewujudkan tujuan pendidikan Islam difungsikan untuk
“berlomba-lomba” dalam kebaikan dan takwa.
Untuk mendukung semangat itu, maka antara lembaga pendidikan pesantren,
madrasah, dan sekolah saling kerja sama dalam memberikan masukan terkait
permasalahan dan pengembangan PAI. Bila
perlu menjalin kerja sama dengan berbagai ormas Islam yang memiliki keunggulan
bidang tertentu. Dengan kerja sama dan dialog dalam lingkup intern umat Islam diharapkan
ukhuwah Islamiah bisa semakin kuat dan bermanfaat bagi umat. Bagaimanapun, pengembangan
pendidikan Islam merupakan sarana mengkader generasi umat Islam dan bangsa. Bukan
wadah pengkaderan organisasi, kelompok, suku, dan dikhususkan pada segmen
masyarakat tertentu. Pengembangan
pendidikan Islam juga mengarah pada upaya “memfasilitasi” seluruh kalangan umat
Islam yang ingin mengembangkan diri.
Dari konsep itu, seharusnya
pesantren dan madrasah sebagai pendidikan yang paling merakyat dan pembela rakyat
jelata harus dipertahankan. Salah satunya ialah tetap menerima dan mendidik
dengan serius pesera didik yang berasal dari kalangan kelas menengah ke bawah
dan termarginalkan. Dengan kata lain, seperti apapun bentuk pengembangan
institusi pendidikan Islam nilai-nilai kesahajaannya tidak boleh dihilangkan.
Meski lembaga tersebut telah berhasil mengembangkan sarana dan prasarana
pendidikan seperti membangun gedung mewah, membangun laboratorium, dll.
a.
Pesantren
Menghadapi arus deras perkembangan dunia –salah
satunya melalui globalisasi— sesungguhnya pesantren disuguhi beberapa perubahan
kehidupan sosial-budaya yang tak terelakkan. Dalam mengahadapi kenyataan itu,
“pesantren mau tak mau harus memberikan respon yang mutualis. Sebab, pesantren
tidak dapat melepaskan diri dari bingkai perubahan-perubahan itu. kemajuan
informasi-komunikasi telah menembus benteng budaya pesantren. Dinamika
sosial-ekonomi (lokal, nasional, internasional) telah mengharuskan pesantren
tampil dalam persaingan dunia pasar bebas.” Terlebih, permasalahan lain yang
lebih spesifik dan pelik terkait perubahan orientasi hidup masyarakat. Di mana,
semua itu menimbulkan pertanyaan sejauh mana reisistensi, responsibilitas,
kapabilitas, dan kecanggihan pesantren dalam menghadapi perubahan besar itu.
Salah satu bentuk pengembangan pesantren yang
direncanakan adalah dengan mendirikan pondok pesantren maritim. Yakni,
pesantren yang berada di wilayah pesisir. Di mana, untuk menyukseskan program
itu Kementerian Agama melakukan kerja sama dengan Kementerian Koordinator
Bidang Pembangunan Manusia dan Kebuayaan. Dengan itu, diharapkan mampu
memunculkan banyak pesantren yang bergerak dalam usaha-usaha kelautan. Sebagai
penunjangnya, akan diadakan pendidikan, pelatiah, pemberian bantuan,
pengembangan usaha-usaha kelautan bagi pesantren di berbagai wilayah di pesisir
Indonesia. Selain pengembangan pesantren pesisir, beberapan program prioritas
lainnya adalah:
Kementerian Agama juga telah bekerjasama dengan
dengan Bank Indonesia untuk Pengambangan Ekonomi.
Juga bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi, lanjut Mohsen, untuk memberikan
pemahaman konstitusi terhadap lembaga pendidikan agama dan keagamaan Islam. Mohsen
menambahkan bahwa Kementerian Agama juga mempunyai program prioritas tahun
2015, yakni: Program 10.000 Hafizh Al-Quran, Pendidikan Kader Ulama, Program
Takhasus Tafaqquh Fiddin, Pengembangan Pesantren Bahari, Pengembangan Lifeskill
dan Enterpreneurship, Pendidikan Keagamaan Terpadu di Daerah Tertinggal,
Terluar dan Terdepan.
Menanggapi beberapa agenda prestisius di atas,
Mohsen Al-Idrus sebagai Direktrur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
mengatakan bahwa program tersebut didesain bukan dalam rangka mengkerdilkan
atau membonsai kemandirian (mengkooptasi) pesantren. Menurutnya, pesantren hadir
di tengah masyarakat karena kemandiriiannya. Sebaliknya, program tersebut
diupayakan dalam kerangkan memperkuat kemandirian pesantren. Dia berujar “Kita
harus pro aktif dalam penguatan
kemandirian pesantren. Jangan buat pesantren tergantung pada pemerintah.
Pemerintah hadir dan ikut memfasilitasi dalam hal dan batas tertentu.”
Selain didukung oleh kebijakan pemerintah pusat,
pengembangan pesantren idealnya juga diapresiasi oleh pemerintah daerah.
Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pemerintahan Kota Padang, Sumatera Barat,
yang terus mendorong pengembangan pesantren di daerahnya yang telah dimulai
sejak tahun 2010. Semangat pengembangan ini menurut Wali Kota Padang Mayeldi
Ansyarullah salah satunya karena pesantren di Padang saat ini mulai menjadi
pilihan bagi orang tua untuk pendidikan anaknya. Dia mengatakan “Pendidikan
pesantren lebih unggul dari sekolah umum, makanya tidak jarang orang tua
memasukkan anaknya ke pesantren."
Selain itu,
''Hal itu membuktikan
sudah ada pergeseran pemahaman para orang tua untuk pendidikan anaknya, sebab
siapapun orang tua pasti menginginkan ketenangan bagi anak-anakanya dalam
pendidikan,'' ungkapnya.
b.
Madrasah
Pengembangan madrasah bukanlah pengembangan
sederhana sebagaimana yang diduga selama ini. Madrasah tak hanya sekeder bentuk
pendidikan Islam yang merupakan perpaduan antara bentuk pendidikan Islam di
pesantren dengan di sekolah. Bagaimanapun, madrasah adalah madrasah, pesantren
adalah pesantren, dan sekolah adalah sekolah. Dalam masalah pengembangan PAI
ketiganya tidak dapat disebandingkan satu sama lain.
Mereka memiliki tugas pokok, fokus, dan bidang kajian masing-masing dalam
pengembangannya. Begitu pula dalam memahami dan mempelajari ajaran Islam secara
detail, kelihatannya mereka punya titik penekanan tersendiri. Dengan kata lain,
membandingkan lulusan madrasah dengan lulusan pesantren itu adalah perbuatan
yang salah kaprah. Terlebih, membandingkan lulusan madrasah dengan lulusan
sekolah. Hal itu karena, sampai sekarang ini madrasah sebagai lembaga yang
digadang-gadang berciri tranformatif masih membentuk jati diri. Ingin dibawa ke
manakah lulusan mereka? Ataukah madrasah memberi kebebasan kepada peserta
didiknya untuk menjadi apapun itu asal tetap dalam naungan nilai-nilai Islam?
Tidak harus dikhususkan menjadi ahli agama atau ulama.
Belum lagi, jika melihat misinya kemudian dikaitkan
dengan kualitas masukan (raw input)
madrasah yang jauh lebih berbeda dengan pesantren dan sekolah. Asumsinya,
sebagai lembaga dakwah di segala sektor bidang kehidupan yang lebih luas maka
madrasah dituntut untuk “melebihi” pesantren dan sekolah. Dengan tanggung jawab
yang sedahsyat itu ternyata kondisi SDM (guru, tenaga kependidikan, karyawan,
dll) madrasah masih minim dari perhatian. Keadaan ini menuntut pengembangan
madrasah dilakukan serius guna mengoptimalkan fungsi madrasah sebagaimana
mestinya. Tidak menyeret-nyeret madrasah ke mana-mana (disetarakan dengan
sekolah umum favorit) demi memperoleh predikat favorit di masyarakat. Tanpa
label favorit atau unggulan, madrasah telah memiliki “konsumen” tersendiri dari
berbagai kalangan masyarakat.
Dengan semua tantangan dan potensi itu, harapannya bisa menjadikan madrasah
beserta karakteristiknya sebagai sumber kekuatan baru umat Islam dalam
mengembangkan kualitas hidup secara holistik.
Sebagaimana strategi
pengembangan yang dilakukan oleh MI Global Ma’arif dalam mensikapi kemajuan
zaman supaya eksistensinya di era pendidikan modern ini tetap terjaga. Di
antara strategi yang di gunakan adalah pertama
“MI Global
Ma’arif melakukan strategi penggunaan bahasa Arab dan Inggris dalam percakapan
sehari-hari, menjunjung tinggi kedisiplinan, hal ini terlihat dari digunakannya
bel otomatis yang mengatur jam pelajaran, dan pembenahan Fisik Sarana berupa
kelas multimedia, yang dilengkapi dengan perpustakaan, ruang ganti dan kamar
mandi.” Kedua, “MI Ma’arif Kutowinangun
melakukan usaha, membangun professional guru dan pembenahan manajemen.” Ketiga, “MI Kalibening melakukan
usaha pembenahan sarana prasarana dan menjalin hubungan dengan masyarakat.”
c.
Sekolah
Pengembangan PAI di sekolah
umum titik tekan utamanya terletak pada pengembangan pendidik PAI-nya.
Mengingat, pada dasarnya sekolah umum tidak terlalu mengutamakan dan fokus pada
pendidikan agama. PAI di sekolah umum hanya berkedudukan sebagai mata
pelajaran. Oleh karena itu, dibutuhkan ketelatenan, kecerdasan, kekreatifan
pendidikan PAI supaya bisa melakukan pengembangan PAI seluas mungkin di
tengah-tengah minimnya dukungan. Bagaimana agar status PAI di sekolah umum
tidak hanya sebagai “pemanis” kurikulum atau sebagai pemenuhan kewajiban
undang-undang semata. Dengan kata lain, PAI harus difungsikan sebagaimana
mestinya sebagai suatu nilai yang dijunjung tinggi oleh peserta didiknya. Bukan
hanya sebagai ilmu pengetahuan yang cukup dikaji dan diketahui tanpa ada
implimentasi dan penghayatan.
Memang harus diakui, adakalanya
kepala sekolah beserta jajarannya bahkan wali muridnya sangat apresitif dan
mendukung pengembangan PAI di lembaga sekolah. Terutama pada sekolah umum yang
mayoritas hingga 100% peserta didiknya beragama Islam. Salah satu perannnya
adalah adanya kegiatan ekstra Baca Tulis Alquran (BTA), pengelolaan maupun
perawatan Mushola atau Masjid terjamin dengan baik, tersedianya buku-buku Islam
yang cukup banyak di perpustakaan, kegiatan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI)
yang didukung penuh dan diarahkan dengan baik, dan sebagainya.
Kenyataan itu, sesungguhnya
berdampak pada perbedaan strategi pengembangan PAI di beberapa sekolah umum
antara satu dengan yang lainnya. Strategi pengembangan PAI di sekolah umum yang
“mendukung” atau kondusif untuk melakukan pengembangan PAI secara leluasa tentu
berbeda dengan strategi di lembaga yang memperketat ruang gerak kebebasan
berekspresi dalam beragama di lingkup lembaga pendidikan. Terlebih lagi, pengembangan
PAI yang dilakukan di sekolah umum tertentu yang dihadapkan dengan Pendidikan
Agama selain Islam. Pada ranah ini akan terjadi dilema yang cukup kuat bila pengembangan
PAI terlalu mendominasi atau mengesampingkan keberadan perbedaan agama lain di
lingkungan sekolah. Dilemanya adalah bila pengembangan PAI terlalu dekat dalam
berbagai aspek dengan mereka ditakutkan terjadi pembiasaan ajaran agama Islam.
Pun bila terlalu menjauh ditakutkan arah pengembangan PAI dikatakan “mencontohkan”
sikap intoleransi.
B. Kecenderungan
Masyarakat dalam Memilih Bentuk Pendidikan Islam
Dalam menghadapi masa (pasca)
transisi pendidikan Islam sekarang ini, sikap orang tua dalam memilih sekolah
untuk anaknya dapat dibagi dalam tiga kecenderungan garis beras:
1.
Menjadikan agama sebagai hal
yang lebih penting dari pada sekolah. Kendati terpaksa harus dimasukan pada
sekolah umum, maka akan diselingi dengan pendidikan agama di pesantren.
2.
Menjadikan sekolah umum
(utamanya favorit) sebagai tujuan utama. Dengan pertimbangan pendidikan agama
bisa dikesampingkan karena bisa dipelajari lewat media atau jalur pendidikan
lain.
3.
Menjadikan sekolah dan agama
sebagai pilihan yang sama-sama penting. Orang tua seperti ini sebisa mungkin
akan menghindari sekolah yang berbasis non muslim.
Sedangkan Menurut Malik Fajar yang dikutip oleh Agus
Sholeh mengemukakan ada tiga alasan yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam
memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama), status sosial, dan cita-cita.
Masyarakat yang terpelajar akan semakin beragam pertimbangannya dalam memilih
pendidikan untuk anak-anaknya.
Dari penjelasan tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa pesantren, madrasah,
dan sekolah memiliki pangsa pasar tersendiri yang fanatik. Meski keadaan
madrasah dan pesantren serba minim, akan tetapi masih tetap ada yang
meminatinya. Lebih lanjut dari pernyataan tersebut dapat digambarkan secara
detail sebagai berikut:
Gambar 5.1 Konsumen
Fanatik Bentuk Pendidikan Pesantren, Madrasah, dan Sekolah
Dari gambar tersebut dapat
dijelaskan bahwa kondisi sosial masyarakat (sebagai konsumen) sangat menentukan
ke bentuk pendididikan seperti apa yang dipilih masyarakat. Misalnya masyarakat
dari latar belakang abangan, nasioanalis, dan pragmatis akan cenderung memilih
bentuk pendidikan sekolah. Akan tetapi bisa dalam keadaan mendesak dimungkinkan
bisa juga memilih bentuk pendidikan madrasah atau pesantren. Hal itu dilakukan
bila faktor-faktor lain yang menentukan ternyata intesitasnya lebih banyak dan
lebih kuat. Misalnya, karena lokasi madrasah atau pesantren lebih dekat dari
rumah, biaya madrasah dan pesantren lebih murah, dan ingin menyelematkan anak
dari kenakalan remaja. Adapun faktor-faktor lain yang menjadikan pandangan
masyarakat dalam memilih bentuk pendidikan berdasarkan analisis penulis adalah
sebagai berikut:
a.
Visi dan misi lembaga; arah
pendidikannya ke kultur mana, bidang apa, keahlian apa, dan ingin dibentuk
menjadi apa.
b.
Kualitas pendidikan; biasanya
ukuran yang digunakan adalah lulus UN, juara lomba (sains), bisa diterima
kampus favorit, dan memiliki keunggulan khusus (bahasa inggris/arab, nahwu
saraf dan hafal al Quran).
c.
Outcome;
bisa ikut peran serta dalam kehidupan masyarakat, berkarir, bekerja, dan
berkarya.
d.
Fasilitas lembaga; kondisi dan
kelengkapan sarana maupun prasarana (fasilitas dan label yang bonafit).
e.
Biaya non operasional; jarak
jauh atau dekatnya (untuk biaya kost, transportasi, dll), biaya tambahan dari
sekolah, dan biaya lain.
f.
Ijazah; bisa mendapatkan ijazah
atau bisa bersekolah untuk meningkatkan martabat dan harga diri.
Dapat disimpulkan, orientasi
peserta didik beserta orang tuanya dalam menyekolahkan anaknya di suatu lembaga
berbeda-beda. Adakalanya seseorang memilih lembaga tertentu karena faktor
ideologi. Namun, juga bisa jadi seseorang mengesampingkan ideologinya karena
minimnya biaya sehingga terpaksa harus menyekolahkan anaknya di lembaga
pendidikan terdekat dan yang murah. Orientasi yang berbeda tersebut
berimplikasi pada sejauh mana “minat” mereka dalam mendalami agama Islam ketika
mereka sudah memasuki proses pembelajaran. Tentu, penanganan antara peserta
didik yang memiliki orientasi kuat untuk mendalami agama Islam dengan peserta
didik yang ogah-ogahan terhadap PAI
akan berbeda. Oleh karena itu, menelusuri orientasi, minat, dan latar belakang
peserta didik di rasa sangat penting sebelum dilaksankan proses pembelajaran
PAI di pesantren, madrasah, dan sekolah.
C. Konsep
Bentuk Pendidikan Islam yang Ideal
1.
Konsep Pendidikan
Agama Islam di Pesantren
Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua di
Indonesia. Sampai sekarangpun sistem pendidikan –yang murni- pesantren masih
ada tak tergerus dengan dinamika zaman. Salah satu yang menjadi ciri menarik
dan tak tergerus zaman adalah sistem pendidikan di pesantren terdapat
keintegrasian antara keislamaan dengan keindonesiaan (budaya), kesederhaan, dan
hubungan Kiai dengan santri yang begitu emosional.
Meskipun pada sebagian pesantren tertentu telah
mengadakan keterbukaan, penyerapan, bahkan melakukan pembaharuan pada sistem
pendidikannya. Mulai yang paling ringan adalah membolehkan santri untuk
mengikuti pendidikan umum di luar lingkungan pesantren, karena pesantren tidak
memfasitilasi pembelajaran ilmu umum. Adapun yang paling berani adalah
pesantren (utamanya yang baru/mulai didirikan) telah merubah sistem pendidikan
pesantren lama, dari tradisional menjadi benar-benar baru (modern). Salah satu
contohnya adalah melakukan pengembangan pesantren berbasis agribisnis.
Sedang gejala lain adalah pada pesantren tertentu membolehkan peserta didiknya
membawa laptop dan telepon seluler. Hal itu terutama bagi pesantren yang
peserta didiknya berlatar belakang sebagai mahasiswa.
Adapun, keungulan pesantren dalam karekter kehidupan
adalah melatih peserta didik untuk istiqomah (disiplin), beradab unggul
(berkarakter), dan adanya keberkahan (penuh makna).
Selama ini pesantren sebagai lembaga pendidikan dikesankan sebagai lembaga yang
tradisional, tak tersentuh dinamika masyarakat,
dan terselimuti oleh bentuk pembelajaran yang monoton. Dalam konteks
sistem pendidikan Nasional sekarang ini, pernyataan itu tidak sepenuhnya benar.
Pada masa sekarang ini, banyak pesantren yang sudah melakukan transformasi
diri. Baik dari segi kurikulum, manajeman serta pengelolaan (kepemimpinan),
metode pengajaran, dan metode pendekatan terhadap zaman.
Secara detail, Sugiarti
memaparkan tentang beberapa strategi umum pengembangan pesantren dalam upaya
membangun peradaban Islam di Indonesia, diantaranya:
1.
Memahami landasan dan konsep
perubahan yang akan dilakukan utamanya dari aspek filosofinya atau paradigma
pendidikannya.
2.
Reformulasi tujuan pesantren
3.
Pembenahan sistem pendidikan
pesantren meliputi SDM, Kurikulum, metode pendidikan, dan sebagainya.
4.
Peningkatan manajemen pesantren
melalui fungsi manajemen POACE (Planning, Organizing, Actuating (Actuate), Controlling, dan Evaluating.
5.
Peningkatan kualitas output
pesantren, salah satunya dengan meningkatkan dan memperluas standar lulusan.
6.
Refungsionalsiasi pesantren bagi
negara Indonesia dan kehidupan global. Pesantren tidak hanya berkutat pada
masalah politik dan kompetisi yang hanya dapat menguras energi. Pesantren harus
bisa membangun karakter jujur, mandiri, dan kesahajaan sehingga bisa
meminimalisir tindakan korupsi.
7.
Pengadaan kerja sama dan
kemitraan dengan berbagai pihak untuk kesuksesan program pengembangannya.
8.
Peningkatan peran pesantren
secara terus-menerus.
9.
Modernisasi teknologi infromasi dan komunikasi
(sarana dan prasarana)
10.
Mengakan program ungulan di era globalisasi.
Dapat disimpulkan, konsep
Pendidikan Agama Islam di pesantren sekarang ini sulit sekali bila harus tetap
berdiri sendiri tanpa melibatkan unsur lain. Bilapun masih ada, pesantren
tersebut memiliki jaringan yang kuat dalam dirinya sehingga mampu berjalan
dengan kakinya sendiri. Itupun kebanyakan mereka telah melalukan pengembangan
atau moderniasi diri.
2.
Konsep Pendidikan Agama Islam di
Madrasah
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan
bahwa pesantren dan madrasah kini mampu tampil percaya diri dalam melakukan
perubahan-perubahan. Bahkan bisa dikatakan madrasah menjadi pengendali “model”
bukan sekedar sebagai “pengikut” arus model pendidikan di Indonesia.
Dengan pengertian itu, sesungguhnya upaya pembaharuan Madrasah harus terus
dilakukan. Baik terkait dengan kurikulum, sarana-prasarana, akuntabilitas,
pelayanan, dan sebagainya. Pada akhirnya Madrasah bisa menjadi madrasah yang
sesungguhnya dan sesuai dengan semangat awal berdirinya, yaitu semangat pembaharuan.
Selain itu menurut Nur Kholis Setiawan, madrasah
juga diklaim telah berhasil mendidik anak bangsa dalam dua hal secara
sekaligus. Yakni, ilmu (intelektual) dan moral (akhlakul karimah). Jarang
sekali atau bahkan tidak pernah ditemukan siswa dari madrasah melakukan
tawuran. Hal inilah yang menjadi keunggulan sekaligus kekuatan madrasah. Lebih
lanjut indikator keberhasilan pendidikan di Madrasah adalah ketika mampu
mencetak siswa dengan penguasaan ilmu pengetahuan sekaligus mampu
mempertanggungjawabkan atas ilmunya. Oleh karena itu semua guru diharapkan
selalu menggali dan mengkaji sekaligus menerapkan teori-teori pengetahun Islam
untuk mengembangkan mutu madrasah. Diharapkan adanya penguasaan mata pelajaran
umum harus diimbangi dengan penguasaan ilmu agama.
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, sesungguhnya
Madrasah berdiri, tumbuh, dan berkembang karena adanya keterlibatan masyarakat.
Dengan demikian, sesungguhnya Madrasah telah lebih dulu menerapkan konsep pendidikan
berbasis masyarakat.
Masyarakat sebagai individu maupun organisasi telah membangun madrasah untuk
memenuhi kebutuhan pendidikan agama sekaligus pendidikan “formal” untuk mereka.
Di mana hal itu sesuai dengan isi Undang-undang Sisdiknas 2003 Pasal 55 ayat 1
yang menyatakan bahwa “Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis
masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama,
lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.”
Dari kenyataan itu, tidak berlebihan bahwa visi
madrasah sesuai dengan khitah awalnya sebaga lembaga yang populis, Islami, dan
berkualitas. Popolusi berarti bahwa madrasah lahir dan dibesarkan dari serta
oleh masyarakat. Dari itu, maka visinya ingin mengembalikan posisi madrasah
sebagai milik masyarakat, sehingga berpihak pada masyarakat dan tidak menjadi
lembaga ekslusif. Islami, menggambarkan suasana dan kehidupan pendidikan
peserta didiknya serta seluruh manusia di dalamya mengamalkan ajaran Islam.
Karakteristik kesilaman ini tidak hanya muncul dalam tataran simbul tapi juga
tergejawantahkan dalam kurikulumnya secara intregratif. Berkualitas, artinya
lulusan yang diinginkan lebih mengutamakan berorientasi pada mutu bukan hanya
asal jadi atau asal lulus. Yakni, peserta didik memiliki berbagai prestasi di
bidang akademik, seni, teknologi, olah raga, keterampilan, dan sebagainya. Harapan akhirnya adalah lulusan madrasah mampu
mewarnai bahkan menentukan arah kehidupan global di masa datang.
Adapun
menurut Muhaimin Kurikulum madrasah
perlu dikembangkan secara terpadu, dengan memposisikan nilai-nilai Islam
sebagai petunjuk dan sumber konsultasi bagi pengembangan berbagai mata
pelajaran umum. Secara operasional, guru mata pelajaran umum berkerja sama
dengan guru PAI untuk menyusun disain pembelajaran secara konkret dan detail.
Dengan kata lain, dalam madrasah perlu dilakukan upaya spirtualisasi pendidikan
atau menginternalisasikan nilai-nilai agam Islam melalui proses pendidikan ke
dalam seluruh aspek pendidikan Madrasah. Hal ini untuk mengintegrasikan
nilai-nilai ilmu pengetahuan umum dan seni dengan keimanan dan kesalehan dalam
diri siswa.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk
pendidikan madrasah sesungguhnya memiliki nilai potensial yang lebih besar dari
pada yang lainnya. utamanya dari segi keilmuan yang dikaji. Hal itu dengan
artian bahwa madrasah harus mampu mengadakan pengintragasian antara ilmu umum
dengan ilmu agama. Bukan hanya mengadakan penambahan (penjumlahan) antara jam
di pendidikan sekolah dengan jam pendidikan di pesantren tanpa diadakan
integrasi.
3.
Konsep PAI di Sekolah Berbasis
Pesantren atau Sekolah Berbasis Islam
Dalam bentuk pendidikan
“sekolah,” penulis memandang ada dua persepsi yang bisa dibangun. Pertama,
sekolah didudukan sebagai sekolah umum yang menyelenggerakan pembelajaran ilmu
umum dan juga diwajibkan untuk memberikan sedikit sekali mata pelajaran PAI,
misalnya SDN/SMPN/SMAN. Kedua, sekolah didudukan sebagai sebuah lembaga
Pendidikan Islam. Yakni, lembaga “sekolah” selain madrasah
yang bercirikan atau bernafaskan nilai-nilai Islam secara totalitas. Misalkan
Sekolah berbasis Pesantren seperti ar Risalah Lirboyo Kediri, sekolah berbasis
atau berciri khas agama Islam SD/SMP/SMA al Maarif atau al Falah, dan
SD/SMP/SMA Muhammadiyah. Khusus untuk persepsi yang kedua, yaitu sekolah umum
berbasis pesantren menurut Mujamil Qomar ada dua latar belakang timbulnya
sekolah umum di pesantren:
a.
Bentuk adaptasi pesantren
terhadap perkembangan sistem pendidikan nasional, atau menurut Mastuhu karena
dampak global dari pembangunan nasional serta kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
b.
Kepentingan menyelamatkan
“nyawa” pesantren dari kematian selamanya. Bentuk penyelematan pesantren ini
merupakan tindakan yang strategis dan spontan.
Dengan adanya sekolah yang
berbasis pesantren tersebut para Kiai bisa menempuh kebijakan dua jalur. Pertama, Santri dilibatkan dalam
pendidikan umum (sekolah) agar bisa melanutkan pendidikan ke jenjang berikutnya
(mendapat ijazah/pengakuan). Kedua, Siswa
pada pendidikan umum (sekolah) diwajibkan mengikuti kegiatan pesantren. Kedua
jalur tersebut memadukan antara kelebihan dan kekurangan masing-masing,
sehingga bisa saling melengkapi. Santri dari pesantren bisa menyerap ilmu
pengetahuan umum sedangkan siswa SD, SMP, dan SMA dapat menyerap ilmu agama
yang cukup mendalam dari pesantren.
Secara terperinci dengan adanya
sekolah berbasis pesantren ini bisa menghasilkan peserta didik bisa memperoleh
nilai-nilai yang berciri khas pesantren. Beberapa diantaranya adalah nilai
keberkahan, keikhlasan, ketawadhu’an, do’a Kiai atau ustad, menutup aurat, dan
terpisahnya antara peserta didik putra. dengan putri. Nilai-nilai tersebut
merupakan kurikulum tersembunyi yang ada pada pesantren. Sehingga apabila
dibuat tabel akan tergambar sebagai berikut:
Tabel. 5.2 Nilai-nilai
Karakter pada Sekolah Berbasis Pesantren (SMK Salafiyah Pati Jawa Tengah
Nilai
Dasar
|
Nilai
Personal
|
Nilai
Sosial
|
Moderat
|
Keamanan
|
Kemampuan baik dalam kinerja
|
Seimbang
|
Ketakwaan
|
Sopan-santun
|
Toleran
|
Kemampuan baik
|
Menghormati guru
|
Adil
|
Disiplin
|
Memuliakan kitab
|
|
Kepatuhan
|
Menyayangi teman
|
|
Kemandirian
|
Uswah hasanah
|
|
Cinta Ilmu
|
Tawadhu’
|
|
Ikhlas
|
Do’a guru
|
|
Menutup aurat
|
Berkah
|
|
|
Pisah antara siswa-siswi
|
Peta
Konsep: Dari Mekanisme lama menuju mekanisme Baru Bentuk Pendidikan Islam
Gambar 5.2 Mekanisme Lama Bentuk Pendidikan Islam di Indonesia
Gambar 5.3 Mekanisme Baru (Sebagai Adaptasi) Sistem
Pendidikan Islam di Indonesia
D.
Penutup
Dari semua pembahasan dapat disimpulkan pelaksanaan
pendidikan Islam di Indonesia secara “kurikulum” tidak pernah bisa lepas dari
pengaruh tokoh agama (kiai dan ulama). Sedangkan, pengembangan dan
pembangunannya tidak bisa lepas dari peran serta masyarakat dan kekuasaan
(pemerintah) meski hanya sedikit. Kedudukan madrasah dan pesantren tidak hanya
sebagai identitas (simbol) keislaman, tapi juga sebagai tempat untuk
indoktrinasi nilai-nilai Islam. Sedangkan sekolah umum belum tentu akan mau
menanamkan nilai-nilai Islam dalam setiap aktivitasnya. Bila sekolah “umum” itu
berbasis pesantren maka nilai-nilai Islam akan ditanamkan. Namun, bila sekolah
itu berbasis “nasional” dan “dikendalikan” pemerintah maka akan menanamkan
nilai-nilai keindonesaan. Tentunya itu juga akan tergantung Stakeholders dan otoritas dari sekolah
tersebut.
Dengan kata lain, Kemandirian (idependensi) madrasah
dan pesantren ditentukan oleh masyarakat bukan pemerintah. Asumsinya,
masyarakat “dapat” merubah madrasah dan pesantren, serta sebaliknya madrasah
dan pesantrenlah yang merubah masyarakat. Dengan kata lain, dinamika madrasah
tidak lepas dari arah dinamika masyarakat, begitu juga sebaliknya. Sedangkan untuk pendidikan berbentuk sekolah
(utamanya manajemen) lebih banyak yang tunduk pada aturan “kaku” pemerintah. Namun
demikian, harus diakui pada akhir-akhir ini bahwa teori semacam itu agaknya sudah
tidak relevan dengan kondisi masyarakat yang mulai kritis dalam memilih
pendidikan bagi generasi mudanya.
Dengan demikian, sebagai dasar konsistensi dan
standar maka konsep pendidikan Islam yang paling ideal adalah bukanlah lembaga
pendidikan pesantren, madrasah, dan sekolah. Semuanya merupakan bentuk
pendidikan Islam yang ideal. Masing-masing bertugas dan berperan menurut
wilayah dan ciri khas peserta didik yang cenderung melekat padanya. Paradigma
pendidikan Islam di pesantren tentu berbeda dengan paradigmanya di madrasah,
begitu pula pada sekolah. Mereka harus berkembang menurut paradigmanya. Di
mana, pesantren tujuan utamanya harus tetap membentuk peserta didik yang ahli
bidang agama secara totalitas. Adapun madrasah melakukan integrasi ilmu secara
konsisten. Bukan madrasah “kamuflase” yang hanya menggabungkan jam pelajaran
antara jam pelajaran agama di pesantren dengan jam pelajaran di sekolah umum. Sedangkan
pendidikan Islam di sekolah mesti mampu dan berani menunjukkan diri sebagai teladan
yang baik dan mulia bagi nonmuslim. Serta tentunya PAI di sana harus mampu
bekerja sama dengan guru mata pelajaran lain guna mensinkronkan bahkan memasukkan
nilai-nilai agama Islam ke dalamnya.
“Pengalaman
sejarah menunjukkan bahwa perkembangan pendidikan Islam dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijakan politik pada umumnya, dan kebijakan politik pendidikan
khususnya. Azyumardi Azra mencatat bahwa hubungan antara pendidikan dengan
politik bukanlah hal baru, karena telah tumbuh sejak masa pertumbuhan madrasah
di Timur Tengah.” Lihat, Tasman
Hamami, “Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum Sebagai Keharusan Sejarah,” Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 2,
No. 2, 2004: hlm. 171-191, dalam http://digilib.uin-suka.ac.id/8665/1/TASMAN%20HAMAMI%20PENDIDIKAN%20AGAMA%20ISLAM%20DI%20SEKOLAH%20UMUM%20SEBAGAI%20KEHARUSAN%20SEJARAH.pdf, didownload
tanggal 23 Februari 2015.
Nurhasanah Bakhtiar, “Pola
Pendidikan Pesantren: Studi Terhadap Pesantren se-Kota Pekanbaru,” dalam ftk.uin-suska.ac.id/attachments/article/12/nurhasanah_pola.pdf, didownload tanggal 08
Oktober 2014.
“Pesantren adalah
lembaga pendidikan dengan bentuk khas sebagai proyeksi totalitas kepribadiannya.
Secara mendasar sistem pendidikan yang dipilihnya memberikan kebebasan bagi
pesantren untuk menentukan pola dinamis kebijaksanaan pendidikannya. Sehingga,
setiap tawaran pengembangan, berupa transfer ilmu dari luar (non-pesantren)
maupun atas prakarsa sendiri, akan melalui pertimbangan dari dalam pesantren
sendiri. Yaitu, pertimbangan tata nilai yang berlaku dalam pesantren.” Lihat,
Kyai Haji Sahal Mahfud, “Pesantren dan Pengembangan Sains,” NU Online dalam
www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,54057-lang,id-c,taushiyah-t,Pesantren+dan+Pengembangan+Sains-.phpx, diakses 19 Februari 2015.
“Pengembangan
ekonomi pesantren oleh Kementerian Agama dan Bank Indonesia diapresiasi. Selain
dekat dengan masyarakat, ada pesantren yang terbukti sukses mengembangkan
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang memberi manfaat. Ketua
Asosiasi BMT Se- Indonesia (Absindo), Aries Muftie, mengatakan dengan adanya
kerja sama resmi antara Kementerian Agama dengan Bank Indonesia, dukungan untuk
mengembangkan pesantren jadi makin kuat. Ia menyebut
di antara banyak BMT, BMT yang sukes umumnya BMT berbasis pesantren, ormas Islam
atau kelolaan individu yang profesional. BMT Unit Gabungan Terpadu di Pesantren
Sidogiri dan BMT Bina Umat Sejahtera yang dilelola Muhammadiyah jadi contoh
yang baik... Pakar ekonomi Islam, KH Didin Hafidhuddin
mengapresiasi jika program pengembangan ekonomi pesantren bisa dilakukan serius
dan berhasil. Pesantren adalah institusi yang dekat dengan masyarakat. Jika
ekonomi pesantren berhasil, maka masyarakat bisa ikut merasakan dampaknya. Ia
menekankan pengembangan ekonomi pesantren baik melalui BMT maupun koperasi
harus difokuskan pada sektor-sektor produktif seperti UKM atau pertanian.
‘'Lembaga
keuangan untuk pembiayaan konsumtif sudah banyak. Pesantren harus jadi model
pengembangan yang produktif,’' kata guru besar IPB
itu... Pesantren yang sudah memiliki model bisnis
seperti Pesantren al-Ittifaq, Jawa Barat dan Pesantren Sidogiri, Jawa Timur
rencananya akan dijadikan percontohan.” Lihat, “Pengembangan Ekonomi Pesantren Diapresiasi,” dalam http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/15/02/09/njhxka-pengembangan-ekonomi-pesantren-diapresiasi,
09 Februari 2015, diakses tanggal 19 Februari 2015. Lebih
detail lihat Rudi Hendrik, “BI Bantu
Pengembangan Bisnis Syariah di Pondok Pesantren,” dalam http://mirajnews.com/id/ekonomi/bi-bantu-pengembangan-bisnis-syariah-di-pondok-pesantren/,
04 Februari 2015, diakses tanggal 19 Februari 2015.
Abdulloh Hamid dan Putu Sudira, “Penanaman
Nilai-nilai Karakter Siswa SMK Salafiyah Program Keahlian Tekni Komputer dan
Jaringan (TKJ) Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah,” email: doelhamid07@gmail.com, file didownload
tanggal 08 Oktober 2014.
|
Pesantren, Madrasah, dan Sekolah (Sumber gambar City Store) |