Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Pengantar (pendahuluan) BAB III Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam (Multiple Intelligences)

Sahabat *Banjir Embun* (Sabem) bisa melihat dan mengklik satu persatu seluruh bagian buku "Pengembangan Pendidikan Agama Islam". Sahabat tinggal memilih menu yang tersaji dari beberapa pilihan judul website (bagian buku) sesuai dengan yang kalian inginkan. Dibaca secara perlahan, dicermati dulu, baru kemudia diklik. 
Untuk melihatnya silakan klik >> di sini <<


 



BAB III
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam (Multiple Intelligences)



Kajian tentang “kecerdasan beragam”[1] atau yang sering disebut dengan multiple intelligences[2] tidak akan pernah lepas dari pencetusnya, seorang ahli psikologi yaitu Howard Earl Gardner.[3] Berkat teori tersebut paradigma baru pada bidang pendidikan dan psikologi tentang kecerdasan telah bersemi (mendapat pengakuan berbagai kalangan).[4] Pada akhirnya, revolusi ilmu pengetahuan tentang teori kecerdasan telah terjadi. Di mana, ciri utama teori ini adalah mendudukan semua peserta didik sama derajat satu sama lain. Yakni, semua individu punya potensi kecerdasan luar biasa. Akan tetapi, belum tentu semua kecerdasan yang dimiliki masing-masing dari mereka adalah sama. Bisa jadi, kemungkinan besar jenis atau bidang kecerdasan peserta didik berbeda satu sama lain. Artinya, setiap peserta didik punya bidang kecerdasan masing-masing dan pendidik tidak boleh mengarahkan siswa hanya pada satu jenis kecerdasan. Oleh karena itu, pengklasifikasian tingkat kecerdasan peserta didik berdasarkan tes IQ sebagai satu-satunya tolok ukur tidaklah tepat. Sejatinya, mereka harus dibantu menemukan dan menguasai jenis kecerdasan yang benar-benar sesuai dengan bakatnya.
Kenyataannya, anggapan (paradigma) yang selama ini masih terjadi adalah manusia (peserta didik) dikatakan hanya memiliki satu jenis “kecerdasan” dan yang dapat diukur melalui tes standar saja. Namun, Howard memperkirakan pada manusia punya 7 hingga 10 “kecerdasan utama” yang berbeda antara satu individu dengan yang lain.[5] Ini artinya, tidak ada dalam lingkungan manapun bahwa peserta didik yang satu lebih cerdas dari peserta didik lainnya. Melainkan, yang ada adalah peserta didik mana yang sudah menemukan bidang kecerdasannya serta mana yang belum menemukan. Bahkan dimungkinkan ada peserta didik yang menemukan atau cenderung punya lebih dari satu bidang kecerdasan yang ia kuasai. Meski secara asali (tanpa proses/latihan) diyakini hanya satu jenis kecerdasan saja yang dimiliki secara dominan.
Masalahnya, para pakar “kecerdasan” –sebagaimana yang telah umum diketahui dalam beberapa dekade— terutama dalam dunia pendidikan hanya menggunakan tes intelligence quotient (IQ). Di mana, hasil tes itu sebagai pijakan satu-satunya dalam “menilai” kemampuan (kecerdasan) anak. Bahkan, juga digunakan sebagai bahan utama dan rujukan satu-satunya dalam memprediksi masa depan anak. Padahal, utamanya untuk zaman yang serba kompleks sekarang ini, faktor-faktor (kecerdesan) lain sebenarnya juga bisa menjadi andil bagi penentu dasar masa depan mereka. Dengan kata lain, di zaman yang serba butuh aspek “kompleksitas” ini, IQ saja tidak akan pernah bisa menjadi solusi masalah kehidupan bagi pribadi maupun kehidupan masyarakat luas.
Dunia sekarang ini, utamanya pada negara miskin dan berkembang, dilanda ledakan jumlah penduduk serta dilanda “persaingan” politik hingga ekonomi. Hal tersebut berakibat munculnya permasalahan yang amat kompleks. Misalnya minimanya lapangan kerja, bertambahnya polusi udara, rawan penyakit menular, dan perkembangan IPTEK yang tak terkontrol. Implikasinya, masyarakat sekarang ini tidak membutuhkan generasi yang difoluskan pada pengembangan satu jenis kecerdasan saja. Artinya, semakin beragamnya potensi kecerdasan yang dimiliki lingkungan masyarakat maka kemungkinan besar segala aspek kebutuhan serta permasalahan kehidupan masyarakat tersebut akan terpenuhi. Asumsinya, apapun yang dibutuhkan oleh masyarakat maka generasi-generasi yang punya kecerdasan beragam mampu untuk memenuhi dan mengatasinya sesuai dengan bidang kecerdasan masing-masing. Misalkan, dengan kecerdasan “natural” atau kealaman seseorang akan mampu mengatasi pencemaran udara di lingkungannya. Salah satu tindakan nyatanya dengan mengadakan program penghijauan secara mandiri atau terorganisir dan memprotes pabrik-pabrik pembuang limbah sembarangan. Contoh lain, dengan kecerdasan musikalnya seseorang dimungkinkan mampu menciptakan dan memainkan lirik lagu yang menginspirasi dan menggugah semangat hidup dan berkembangnya generasi muda.
Dapat dikatakan, tidak mengherankan bila teori milik Gardner telah merangsang dunia pendidikan di berbagai negara untuk melakukan inovasi bidang kecerdasan. Bahkan, bisa dikatakan menyebabkan lahirnya revolusi kecerdasan.[6] Baik yang dilakukan secara utuh (totalitas) maupun diadakan filter dan pengembangan-pengembangan yang disesuikan dengan nilai dan budaya di negera masing-masing.[7] Inovasi dilakukan biasanya untuk memenuhi “kerinduan” masyarakat agar bisa merasakan sesuatu yang baru, sehingga bisa meninggalkan model (paradigma) lama. Kendati demikian, dalam setiap inovasi pasti akan mendapat respon berbeda-beda dari masyarakat. Ada yang menolak secara mutlak, ada yang mendukung secara mutlak, ada yang memfilter dengan ketat, dan ada yang menanggapinya secara biasa-biasa saja. Begitu pula dengan teori kecerdasan beragam (multiple intelligences) ini.
Bila melihat keadaan beberapa jenis lembaga pendidikan[8] di Indonesia akhir-akhir ini –utamanya untuk lembaga pendidikan Islam yang mulai mendapat tempat di masyarakat umum— tidak sedikit yang mengalami peningkatan jumlah peserta didik.[9] Di sisi lain, kenyataannya jumlah peserta didik tersebut tidak diimbangi dengan sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini tentu menyebabkan pengelola lembaga harus ekstra keras mengerahkan otak agar bisa mengoptimalkan kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain, jumlah peserta didik yang banyak merupakan sebuah potensi sekaligus menjadi masalah di tengah minimnya anggaran, sarana, dan prasarana. Adapun nilai potensinya adalah dengan jumlah yang banyak maka kemungkinan tingkat beragamnya jenis kecerdasan peserta didik yang diterima pada lembaga pendidikan pun semakin tinggi. Artinya, peserta didik dapat dipilah (dikelompokkan) berdasarkan jenis kecerdasannya.[10] Selanjutnya, mereka diberi tambahan jam pembelajaran untuk mendalami jenis kecerdasan dominan yang ia miliki. Tentunya, tatkala jumlah (populasi) peserta didiknya di dalam kelas cukup ideal melakukan pembelajaran.
Kenyataannya, selama ini pembelajaran PAI pada umumnya masih didasarkan pada dua jenis kecerdasan saja yaitu linguistik-verbal dan intrapersonal.[11] Yakni, peserta didik diasumsikan “pasti” semuanya menguasai dengan cakap bidang kecerdasan linguistik-verbal dan intrapersonal.[12] Walaupun sering kali –utamanya pada kelas yang jumlah peserta didiknya banyak– pada hakikatnnya tidak demikian. Di dalam kelas terdapat kecerdasan beragam yang masing-masing dimiliki oleh peserta didik. Akibatnya, mereka yang tidak memiliki jenis kecerdasan yang diutamakan (diagungkan) dalam kegiatan pembelajaran akan merasa tertekan. Hal itu, bisa jadi karena ia tidak punya “kecerdasan” tertentu seperti teman lainnya yang mampu menguasai materi tertentu dengan cepat. Dengan kata lain, untuk memahami materi tertentu seorang peserta didik kadangkala butuh strategi pembelajaran ekstra khusus. Biasanya bagi mereka yang merasa lemah dan tak menguasi materi dalam menghafal dan membaca al Qur’an, praktik ibadah, memahami materi sejarah Islam, dan memahami materi-materi yang terlalu dogmatis.
Padahal, semestinya pola pembelajaran PAI mampu mengakomodasi semua jenis kecerdasan tersebut. Hal ini dilakukan selain untuk “memanusiakan” dan memberikan “hak” kepada peserta didik agar berkembang dengan optimal sesuai bidang kecerdasannya, juga untuk mengoptimalkan misi dakwah Islam. Asumsinya, bila peserta didik kemudian hari mampu “berprofesi” sesuai dengan kecerdasan dominannya –semisal menjadi wartawan ( kecerdasan linguistik), penemu teknologi baru komputer (kecerdasan logis-matematis), penyanyi (kecerdasan musik), pelukis (kecerdasan spasial-visual), politikus (kecerdasan interpersonal), motivator atau psikolog (kecerdasan intrapersonal), dan ahli lingkungan hidup (kecerdasan naturalis)— maka semuanya dilakukan atas dasar atau dimaksudkan untuk menjalankan misi dakwah Islam. Oleh sebab itu, dalam setiap karya atau produk yang diciptakannya di dalamnya termuat nilai-nilai Islam sebagai bentuk “ajakan berislam” secara halus (tersembunyi) kepada masyarakat. Dengan kata lain, PAI tentunya memberikan ruang aktualisasi diri[13] peserta didik untuk “melampiaskan” jenis kecerdasan peserta didik. Pada akhirnya, nilai-nilai Islam yang universal dan rahmatan lil al-‘alamin tidak hanya dipersempit pada satu atau dua jenis kecerdasan.
Dari semua pemaparan di atas, penulis mengasumsikan bahwa teori Gardner cukup relevan untuk diterapkan dalam pembelajaran PAI meski ada beberapa hal yang masih perlu dikritisi.[14] Teori ini akan sangat membantu peserta didik, membantu pendidik, membantu sekolah, dan membantu misi dakwah Islam untuk membentuk generasi Islam yang unggul sesuai dengan bidang kecerdasannya. Alasannya, bila seseorang berprofesi atau mendalami sesuatu yang terkait dengan bidang kecerdasan yang ia punyai maka ia akan cenderung bisa menikmati. Bahkan sangat dimungkinkan mampu menghasilkan nilai yang jauh lebih “berharga” apabila ia tetap berada pada “zona” profesi di luar bidang kecerdasannya. Sebagai penutup, dalam pengembangan pembelajaran PAI berbasis multiple intelligences ini penulis tidak membuat gagasan baru tetapi melakukan pengembangan dari teori Gardner.


[1]Dalam referensi lain adakalanya digunakan istilah “kecerdasan ganda,” “kecerdasan jamak,” “ragam kecerdasan,” dan “kecerdasan majemuk” sebagai pengganti istilah multiple intelligences yang digunakan oleh Gardner dalam mengembangkan teorinya terkait kecerdasan.
[2]Teori Gardner awalnya hanya mengidentifikasikan tujuh jenis kecerdasan, yaitu linguistik, logis-matematis, musik, kinestetik-jasmani, spasial-visual, interpersonal, dan intrapersonal. Ia kemudian menambahkan satu jenis kecerdasan lagi yaitu naturalis. Selain itu Gardner juga mengatakan bahwa mungkin saja ada beberapa kecerdasan lain lagi. Walaupun seiring waktu, teori "multiple intelligences" ini entah bagaimana bisa menjadi identik dengan konsep "gaya belajar" meskipun kedua hal tersebut sangat berbeda. Lihat, Valeria Strauss, “Howard Gardner: ‘Multiple Intelligences’ are not ‘Learning Styles’,” dalam http://www.washingtonpost.com/blogs/answer-sheet/wp/2013/10/16/howard-gardner-multiple-intelligences-are-not-learning-styles/?tid=auto_complete, 16 Oktober 2013, diakses 23 Oktober 2014.
[3]Howard Gardner adalah tokoh revolusioner dunia pendidikan dan psikologi. Bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (terbit pertama kali 1983) telah mengguncang paradigma kecerdasan yang lama. Menurut pengamatan penulis, sampai sekarang ini (Oktober 2014) ia masih hidup. Bahkan masih aktif melakukan kegiatan ilmiah di dunia maya. Di internet ia sering mem-posting pendapat maupun kritikannya terhadap pelaksaan serta perkembangan Multiple Intelelligences di berbagai negara.
[4]Menurut penjelasan Hoerr, bahwa teori tentang kecerdasan telah bertambah baik, sehingga menjadi instrumen yang mendapat sambutan antusias dari para pendidik di seluruh dunia. Meski memang diakui, awalnya teori “kecerdasan” hanya dimaksudkan untuk dunia psikologi. Lihat, Thomas R. Hoerr, Becoming a Multiple Intelligences School (Virginia USA: Association for Supervision and Curriculum Development, 2000), hlm. 1.
[5]StraussHoward Gardner: ‘Multiple,” diakses tanggal 23 Oktober 2014.
[6]MI theory makes its greatest contribution to education by suggesting that teachers need to expand their repertoire of techniques, tools, and strategies beyond the typical linguistic and logical ones premonimantly used in American classrooms.” Lihat, Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in The Classroom 3rd Edition (Alexandria USA: Association for Supervision and Curriculum Development, 2009), hlm. 54.
[7]Ibid. hlm. 199.
[8]Lembaga pendidikan di Indonesia terdiri dari beberapa jenis. Salah satu di antaranya adalah pendidikan umum seperti sekolah (SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi Umum) dan pendidikan umum berciri khas Islam (MI, MTs, MA, Perguruan Tinggi Agama Islam), pendidikan kejuruan (SMK dan MAK), keagamaan (pondok pesantren, ma’had aly, dll), dan sebagainya. Lebih lanjut, untuk PTAI berbentuk Sekolah Tinggi (STAI) idealnya hanya menerima peserta didik yang mempunyai kecerdasan linguistik-verbal, interpersonal, dan kecerdasan intrapersonal. Hal ini, karena STAI difokuskan untuk mencetak generasi ahli agama. Oleh karena itu, jenis kecerdasan tertentu tidak terlalu dibutuhkan seperti kecerdasan naturalis dan kecerdasan spasial. Adapun untuk PTAI berbentuk Universitas (Universitas Islam) bisa menerima seluruh peserta didik dari berbagai jenis kecerdasan apapun. Terutama yang tingkat keberagaman prodi sangat tinggi. Kendati mahasiswa harus tetap diseleksi, kecerdasan apa yang sekiranya cocok untuk dimasukkan pada prodi-prodi tertentu. Misalnya, kecerdasan spasial dimasukan pada prodi arsitektur, kecerdasan matematis serta naturalis dimasukan pada prodi MIPA, dan kecerdasan musik dimasukkan pada prodi dakwah. Adapun untuk PAI di jenis pendidikan umum implementasi kecerdasan beragam disesuaikan dengan visi dan misi lembaga sekolah masing-masing. Tentunya, tetap dikaitkan dengan nilai-nilai agama Islam. Kemudian, untuk jenis pendidikan kejuruan disesuaikan dengan jurusan yang diambil peserta didik. Sedangkan, implimentasi teori kecerdaan beragam di PTU hendaknya juga memperhatikan di prodi mana pendidik mengajar. Pembahasan lebih lanjut tentang pembalajaran PAI di PTU sebagai penguat teori mutlitple intelligences (kecerdasan beragam) diulas cukup lengkap oleh penulis di buku lain. Lihat, A. Rifqi amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Deepublish, 2014).
[9]Terkait implementasi teori mutliple intelligences pada jenjang pendidikan dasar (Elementary Schools), pendidikan menengah (Middle-Level Schools), dan pendidikan tinggi (High Schools) Linda Campbell dan Bruce Campbell dalam bukunya menjelaskan secara detail. Lihat, Linda Cambell dan Bruce Campbell, Multiple Intelligences and Student Achievement: Succes Stories from Six Schools (Alexandria USA: Association for Supervision and Curriculum Development, 1999).
[10]Untuk melakukan pemilahan perindividu berdasarkan kecerdasan yang ia kuasai maka perlu dilakukan tes tertentu agar diketahui kecenderungan kecerdasan apa yang dimiliki peserta didik. Bahkan dimungkinkan, individu memiliki kecenderungan kecerdasan lebih dari satu bidang. Strategi pemilahan ini sering ditemukan pada beberapa lembaga pendidikan yang murni dan totalitas melaksanakan teori multiple intelligences. Sedangkan untuk lembaga yang belum mampu melaksanakannya, pengadaan tes identifikasi jenis kecerdaan peserta didik dirasa tetap penting. Salah satunya sebagai “peta” pendidik PAI dalam melakukan pembelajaran berbasis kecerdasan beragam yang efektif. Paling tidak, dengan peta itu pendidik bisa memahami maupun memandu kecenderungan bakat dan potensi peserta didik, sehingga pendidik tidak salah dalam mendoktrin peserta didik dengan ayat al Qur’an dan Hadith.
[11]Kecerdasan linguistik-verbal salah satunya kemampuan dalam bidang kebahasaan, seperti membaca, menghafal, maupun menulis ayat-ayat al Qur’an dan Hadith. Sedangkan kecerdasan intrapersonal adalah salah satunya kemampuan dalam bidang memahami kelemahan diri sendiri, peka terhadap etika (moral), mudah berempati, peka terhadap suatu perubahan, mudah menerima dogma agama, dan cenderung menguasai hingga mengimplementasikan ilmu tasawuf.
[12]Bila dianalogikan dengan “bakat” bawaan hewan (bukan berarti permisalan ini dimaksudkan untuk menyamakan peserta didik dengan binatang), maka guru mempresepsikan semua binatang adalah burung. Oleh karena itu, semuanya diasumsikan punya kemampuan yang sama yaitu terbang untuk mencapai tujuan. Padahal, kenyataannya tidak semua hewan bisa terbang. Ada bermacam jenis kemampuan lain yang dimiliki oleh beberapa hewan lainnya yaitu berenang, lari, melompat, bernyanyi (berkicau), dan sebagainya. Kenyataannya guru PAI selama ini masih menghendaki ikan, harimau, dan kodok supaya mempunyai kemampuan terbang. Dampaknya, tiga hewan tersebut tidak akan mampu mencapai tujuan yang dikendaki secara efektif. Bahkan, tujuan yang dikehendaki tidak akan tercapai sama sekali. Hal itu karena energi maupun pikirannya terkuras dan disibukkan untuk mendalami sesuatu yang di luar bidang atau jenis “kecerdasannya.”
[13]Kenyataan yang terjadi secara umum dalam dunia pembelajaran PAI adalah terjadinya penyeragaman peserta didik. Yakni, peserta didik diseragamkan strategi pembelajarannya. Bahkan, diseragamkan kemampuannya dalam menghayati dan “mengamalkan” nilai-nilai Islam hanya dari dua sudut kecerdasan saja. Di satu sisi, peserta didik diajarkan atau diarahkan untuk menjadi muslim yang baik, tapi ironisnya strategi pembelajarannya tidak menunjukkan sebagai muslim baik yang mampu menghargai jenis kecerdasan yang dimiliki individu. Artinya, dalam suatu materi tertentu strategi pembelajaran dan pemberlakuan peserta didik satu dengan lainnya disamakan tanpa memedulikan jenis kecerdasan yang dimiliki masing-masing individu. Pada akhirnya pendidik akan memfonis peserta didik yang mengalami kesulitan belajar membaca al Qur’an, kesulitan praktik berceramah, kesulitan praktik ibadah, kesulitan memahami dogma-dogma tertentu, dan kelemahan-kelemahan lain sebagai individu yang bodoh dan tidak taat agama. Padahal, kesalahannya terletak pada kegagalan pendidik dalam mengidentifikasi jenis kecerdasan apa yang dominan dimiliki individu. Kemudian ditindaklanjuti dengan pendekatan atau strategi apa yang cocok, sehingga materi-materi yang dianggap sulit tersebut tidak menurunkan motivasi peserta didik dalam belajar PAI. Bahkan dengan strategi tepat, individu akan mampu memahami materi yang awalnya dianggap sulit menjadi lebih mudah dicerna. Pada akhirnya mereka akan merasa puas karena telah melakukan proses pembelajaran sesuai dengan dunia kecerdasannya.
[14]Sebagian dari gagasan teori multiple intelligence tidak sepenuhnya harus diserap oleh “teori” pembelajaran PAI. Ada sebagaian gagasan Gardner yang perlu digunakan dan ada yang tidak cocok untuk diterapkan karena tidak sesuai dengan karakter PAI. Oleh karena itu, penulis melakukan analisis kritis terhadap teori Gardner untuk mengetahui faktor-faktor apa yang membuat teori ini tidak sepenuhnya bisa diterapkan dalam pembelajaran PAI. Yakni, menganalisis ketepatan teori tersebut untuk digunakan dalam pembelajaran PAI. Kemudian diformulasikan sebuah gagasan yang merupakan kesimpulan dari beberapa gagasan yang ditemukan.


Pendahuluan (sumber gambar sarjanaku)




Baca tulisan menarik lainnya: