Sahabat
*Banjir Embun* (Sabem) bisa melihat dan mengklik satu persatu seluruh
bagian buku "Pengembangan Pendidikan Agama Islam". Sahabat
tinggal memilih menu yang tersaji dari beberapa pilihan judul website
(bagian buku) sesuai dengan yang kalian inginkan. Dibaca secara
perlahan, dicermati dulu, baru kemudia diklik.
Untuk melihatnya silakan
klik >> di sini <<
BAB III
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan
Beragam (Multiple Intelligences)
Kajian tentang “kecerdasan
beragam”
atau yang sering disebut dengan multiple
intelligences
tidak akan pernah lepas dari pencetusnya, seorang ahli psikologi yaitu Howard
Earl Gardner.
Berkat teori tersebut paradigma baru pada bidang pendidikan dan psikologi tentang
kecerdasan telah bersemi (mendapat
pengakuan berbagai kalangan).
Pada akhirnya, revolusi ilmu pengetahuan tentang teori kecerdasan telah
terjadi. Di mana, ciri utama teori ini adalah mendudukan semua peserta didik
sama derajat satu sama lain. Yakni, semua individu punya potensi kecerdasan
luar biasa. Akan tetapi, belum tentu semua kecerdasan yang dimiliki masing-masing
dari mereka adalah sama. Bisa jadi, kemungkinan besar jenis atau bidang
kecerdasan peserta didik berbeda satu sama lain. Artinya, setiap peserta didik
punya bidang kecerdasan masing-masing dan pendidik tidak boleh mengarahkan
siswa hanya pada satu jenis kecerdasan. Oleh karena itu, pengklasifikasian tingkat
kecerdasan peserta didik berdasarkan tes IQ sebagai satu-satunya tolok ukur
tidaklah tepat. Sejatinya, mereka harus dibantu menemukan dan menguasai jenis
kecerdasan yang benar-benar sesuai dengan bakatnya.
Kenyataannya, anggapan
(paradigma) yang selama ini masih terjadi adalah manusia (peserta didik)
dikatakan hanya memiliki satu jenis “kecerdasan” dan yang dapat diukur melalui
tes standar saja. Namun, Howard memperkirakan pada manusia punya 7 hingga 10 “kecerdasan
utama” yang berbeda antara satu individu dengan yang lain.
Ini artinya, tidak ada dalam lingkungan manapun bahwa peserta didik yang satu
lebih cerdas dari peserta didik lainnya. Melainkan, yang ada adalah peserta
didik mana yang sudah menemukan bidang kecerdasannya serta mana yang belum
menemukan. Bahkan dimungkinkan ada peserta didik yang menemukan atau cenderung
punya lebih dari satu bidang kecerdasan yang ia kuasai. Meski secara asali
(tanpa proses/latihan) diyakini hanya satu jenis kecerdasan saja yang dimiliki
secara dominan.
Masalahnya, para pakar
“kecerdasan” –sebagaimana yang telah umum diketahui dalam beberapa dekade—
terutama dalam dunia pendidikan hanya menggunakan tes intelligence quotient (IQ). Di mana, hasil tes itu sebagai pijakan
satu-satunya dalam “menilai” kemampuan (kecerdasan) anak. Bahkan, juga
digunakan sebagai bahan utama dan rujukan satu-satunya dalam memprediksi masa
depan anak. Padahal, utamanya untuk zaman yang serba kompleks sekarang ini,
faktor-faktor (kecerdesan) lain sebenarnya juga bisa menjadi andil bagi penentu
dasar masa depan mereka. Dengan kata lain, di zaman yang serba butuh aspek
“kompleksitas” ini, IQ saja tidak akan pernah bisa menjadi solusi masalah
kehidupan bagi pribadi maupun kehidupan masyarakat luas.
Dunia sekarang ini,
utamanya pada negara miskin dan berkembang, dilanda ledakan jumlah penduduk
serta dilanda “persaingan” politik hingga ekonomi. Hal tersebut berakibat munculnya
permasalahan yang amat kompleks. Misalnya minimanya lapangan kerja, bertambahnya
polusi udara, rawan penyakit menular, dan perkembangan IPTEK yang tak
terkontrol. Implikasinya, masyarakat sekarang ini tidak membutuhkan generasi
yang difoluskan pada pengembangan satu jenis kecerdasan saja. Artinya, semakin
beragamnya potensi kecerdasan yang dimiliki lingkungan masyarakat maka kemungkinan
besar segala aspek kebutuhan serta permasalahan kehidupan masyarakat tersebut
akan terpenuhi. Asumsinya, apapun yang dibutuhkan oleh masyarakat maka
generasi-generasi yang punya kecerdasan beragam mampu untuk memenuhi dan
mengatasinya sesuai dengan bidang kecerdasan masing-masing. Misalkan, dengan
kecerdasan “natural” atau kealaman seseorang akan mampu mengatasi pencemaran udara
di lingkungannya. Salah satu tindakan nyatanya dengan mengadakan program
penghijauan secara mandiri atau terorganisir dan memprotes pabrik-pabrik
pembuang limbah sembarangan. Contoh lain, dengan kecerdasan musikalnya
seseorang dimungkinkan mampu menciptakan dan memainkan lirik lagu yang
menginspirasi dan menggugah semangat hidup dan berkembangnya generasi muda.
Dapat dikatakan, tidak
mengherankan bila teori milik Gardner
telah merangsang dunia pendidikan di berbagai negara untuk melakukan inovasi
bidang kecerdasan. Bahkan, bisa dikatakan menyebabkan lahirnya revolusi
kecerdasan.
Baik yang dilakukan secara utuh (totalitas) maupun diadakan filter dan
pengembangan-pengembangan yang disesuikan dengan nilai dan budaya di negera
masing-masing.
Inovasi dilakukan biasanya untuk memenuhi “kerinduan” masyarakat agar bisa
merasakan sesuatu yang baru, sehingga bisa meninggalkan model (paradigma) lama.
Kendati demikian, dalam setiap inovasi pasti akan mendapat respon berbeda-beda
dari masyarakat. Ada yang menolak secara mutlak, ada yang mendukung secara
mutlak, ada yang memfilter dengan ketat, dan ada yang menanggapinya secara
biasa-biasa saja. Begitu pula dengan teori kecerdasan beragam (multiple intelligences) ini.
Bila melihat keadaan beberapa jenis
lembaga pendidikan
di Indonesia akhir-akhir ini –utamanya untuk lembaga pendidikan Islam yang
mulai mendapat tempat di masyarakat umum— tidak sedikit yang mengalami
peningkatan jumlah peserta didik.
Di sisi lain, kenyataannya jumlah peserta didik tersebut tidak diimbangi dengan
sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini tentu menyebabkan pengelola lembaga
harus ekstra keras mengerahkan otak agar bisa mengoptimalkan kegiatan
pembelajaran. Dengan kata lain, jumlah peserta didik yang banyak merupakan
sebuah potensi sekaligus menjadi masalah di tengah minimnya anggaran, sarana,
dan prasarana. Adapun nilai potensinya adalah dengan jumlah yang banyak maka
kemungkinan tingkat beragamnya jenis kecerdasan peserta didik yang diterima pada
lembaga pendidikan pun semakin tinggi. Artinya, peserta didik dapat dipilah
(dikelompokkan) berdasarkan jenis kecerdasannya.
Selanjutnya, mereka diberi tambahan jam pembelajaran untuk mendalami jenis
kecerdasan dominan yang ia miliki. Tentunya, tatkala jumlah (populasi) peserta
didiknya di dalam kelas cukup ideal melakukan pembelajaran.
Kenyataannya, selama ini
pembelajaran PAI pada umumnya masih didasarkan pada dua jenis kecerdasan saja
yaitu linguistik-verbal dan intrapersonal.
Yakni, peserta didik diasumsikan “pasti” semuanya menguasai dengan cakap bidang
kecerdasan linguistik-verbal dan intrapersonal.
Walaupun sering kali –utamanya pada kelas yang jumlah peserta didiknya banyak–
pada hakikatnnya tidak demikian. Di dalam kelas terdapat kecerdasan beragam
yang masing-masing dimiliki oleh peserta didik. Akibatnya, mereka yang tidak
memiliki jenis kecerdasan yang diutamakan (diagungkan) dalam kegiatan
pembelajaran akan merasa tertekan. Hal itu, bisa jadi karena ia tidak punya
“kecerdasan” tertentu seperti teman lainnya yang mampu menguasai materi
tertentu dengan cepat. Dengan kata lain, untuk memahami materi tertentu seorang
peserta didik kadangkala butuh strategi pembelajaran ekstra khusus. Biasanya
bagi mereka yang merasa lemah dan tak menguasi materi dalam menghafal dan
membaca al Qur’an, praktik ibadah, memahami materi sejarah Islam, dan memahami
materi-materi yang terlalu dogmatis.
Padahal, semestinya pola
pembelajaran PAI mampu mengakomodasi semua jenis kecerdasan tersebut. Hal ini
dilakukan selain untuk “memanusiakan” dan memberikan “hak” kepada peserta didik
agar berkembang dengan optimal sesuai bidang kecerdasannya, juga untuk
mengoptimalkan misi dakwah Islam. Asumsinya, bila peserta didik kemudian hari mampu
“berprofesi” sesuai dengan kecerdasan dominannya –semisal menjadi wartawan (
kecerdasan linguistik), penemu teknologi baru komputer (kecerdasan logis-matematis),
penyanyi (kecerdasan musik), pelukis (kecerdasan spasial-visual), politikus (kecerdasan
interpersonal), motivator atau psikolog (kecerdasan intrapersonal), dan ahli lingkungan
hidup (kecerdasan naturalis)— maka semuanya dilakukan atas dasar atau dimaksudkan
untuk menjalankan misi dakwah Islam. Oleh sebab itu, dalam setiap karya atau
produk yang diciptakannya di dalamnya termuat nilai-nilai Islam sebagai bentuk
“ajakan berislam” secara halus (tersembunyi) kepada masyarakat. Dengan kata
lain, PAI tentunya memberikan ruang aktualisasi diri
peserta didik untuk “melampiaskan” jenis kecerdasan peserta didik. Pada
akhirnya, nilai-nilai Islam yang universal dan rahmatan
lil al-‘alamin tidak hanya dipersempit pada satu atau dua jenis
kecerdasan.
Dari semua pemaparan di atas, penulis mengasumsikan bahwa teori Gardner
cukup relevan untuk diterapkan dalam pembelajaran PAI meski ada beberapa hal
yang masih perlu dikritisi.
Teori ini akan sangat membantu peserta didik, membantu pendidik, membantu
sekolah, dan membantu misi dakwah Islam untuk membentuk generasi Islam yang
unggul sesuai dengan bidang kecerdasannya. Alasannya, bila seseorang berprofesi
atau mendalami sesuatu yang terkait dengan bidang kecerdasan yang ia punyai
maka ia akan cenderung bisa menikmati. Bahkan sangat dimungkinkan mampu
menghasilkan nilai yang jauh lebih “berharga” apabila ia tetap berada pada
“zona” profesi di luar bidang kecerdasannya. Sebagai penutup, dalam pengembangan pembelajaran PAI berbasis multiple intelligences ini penulis tidak
membuat gagasan baru tetapi melakukan pengembangan dari teori Gardner.
Dalam referensi lain adakalanya digunakan istilah
“kecerdasan ganda,” “kecerdasan jamak,” “ragam kecerdasan,” dan “kecerdasan
majemuk” sebagai pengganti istilah multiple
intelligences yang digunakan oleh Gardner dalam mengembangkan teorinya
terkait kecerdasan.
Lembaga
pendidikan di Indonesia terdiri dari beberapa jenis. Salah satu di antaranya
adalah pendidikan umum seperti sekolah (SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi Umum)
dan pendidikan umum berciri khas Islam (MI, MTs, MA, Perguruan Tinggi Agama
Islam), pendidikan kejuruan (SMK dan MAK), keagamaan (pondok pesantren, ma’had
aly, dll), dan sebagainya. Lebih
lanjut, untuk PTAI berbentuk Sekolah Tinggi (STAI) idealnya hanya menerima
peserta didik yang mempunyai kecerdasan linguistik-verbal, interpersonal, dan
kecerdasan intrapersonal. Hal ini, karena STAI difokuskan untuk mencetak
generasi ahli agama. Oleh karena itu, jenis kecerdasan tertentu tidak terlalu
dibutuhkan seperti kecerdasan naturalis dan kecerdasan spasial. Adapun untuk
PTAI berbentuk Universitas (Universitas Islam) bisa menerima seluruh peserta
didik dari berbagai jenis kecerdasan apapun. Terutama yang tingkat keberagaman
prodi sangat tinggi. Kendati mahasiswa harus tetap diseleksi, kecerdasan apa
yang sekiranya cocok untuk dimasukkan pada prodi-prodi tertentu. Misalnya,
kecerdasan spasial dimasukan pada prodi arsitektur, kecerdasan matematis serta
naturalis dimasukan pada prodi MIPA, dan kecerdasan musik dimasukkan pada prodi
dakwah. Adapun untuk PAI di jenis pendidikan umum implementasi kecerdasan
beragam disesuaikan dengan visi dan misi lembaga sekolah masing-masing.
Tentunya, tetap dikaitkan dengan nilai-nilai agama Islam. Kemudian, untuk jenis
pendidikan kejuruan disesuaikan dengan jurusan yang diambil peserta didik.
Sedangkan, implimentasi teori kecerdaan beragam di PTU hendaknya juga
memperhatikan di prodi mana pendidik mengajar. Pembahasan lebih lanjut tentang pembalajaran
PAI di PTU sebagai penguat teori mutlitple
intelligences (kecerdasan beragam) diulas cukup lengkap oleh penulis di
buku lain. Lihat, A. Rifqi amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Deepublish, 2014).
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya: