2.
Pengertian Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Kata pengembangan berarti “proses, cara, perbuatan mengembangkan.” Kata
tersebut merupakan satu akar dengan kata “berkembang” yang artinya pertama “mekar terbuka atau membentang
(tentang barang yang berlipat atau kuncup).” Kedua “menjadi besar (luas, banyak, dan sebagainya); memuai.” Ketiga “menjadi bertambah sempurna
(tentang pribadi, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya).” Keempat “menjadi banyak (merata, meluas, dan sebagainya).
Dengan demikian, pengembangan adalah suatu proses kerja cermat dalam merubah
suatu keadaan menjadi lebih baik dan lebih luas pengaruhnya dari sebelumnya.
Apa yang dimaksud dengan “suatu keadaan” di sini bisa berhubungan dengan
manusia, sistem, organisasi, teori, pemahaman (tafsir), benda, dan sebagainya
yang terkait dengan produk manusia lainnya.
Adapun yang dimaksud Pendidikan Agama Islam dalam
tulisan ini tidak lain yaitu usaha mengkaji ilmu secara terencana untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia beriman, serta dengan sadar dan tulus
menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan yang sedang atau
akan ditempuhnya. Hal itu artinya, dalam segala lingkungan kehidupan peserta
didik kelak mampu memilih dengan tegas terhadap adanya “dilema etika.” Yakni,
antara kenyataan bisa berpeluang melakukan tindakan negatif untuk memuluskan
keinginan (ego pribadi) kemudian ditandingkan dengan landasan moral yang sesuai
dengan cita-cita Islam. Misalnya, ketika ia menjadi ahli kimia, ia akan
tetap teguh mencegah dan meninggalkan diri melakukan tindakan-tindakan yang
tidak sesuai dengan cita-cita Islam meski ada peluang besar untuk melakukannya
seperti membuat bahan peledak untuk menteror pihak ke tiga. Begitu pula saat
menjadi arsitek, ia tidak akan membuat WC (toilet) menghadap atau
membelakangi kiblat meski hal itu akan sedikit menambah biaya karena memakan
sebagian tempat lain.
Dalam pengertian tersebut, salah satu kedudukan
PAI ditegaskan sebagai “usaha mengkaji ilmu.” Hal ini menandakan, kegiatan yang
ada padanya merupakan upaya ilmiah. Artinya, apa-apa yang dilakukan tidak
bersifat statis, sehingga bisa dikembangkan. Oleh karena itu, PAI secara asali
semestinya mempunyai jiwa dan semangat perubahan menuju terbaik. Baik perubahan
yang disebabkan reaksi maupun antisipasi atas “kenyataan” baru. Baik yang
berada dalam sistem maupun di luarnya. Dengan demikian, PAI bukan kegiatan yang
semata-mata mengarah pada kegiatan pendoktrinan peserta didik. Kendati
demikian, fokus utama PAI tetap harus jelas. Yakni, berupaya membentuk peserta
didik menjadi manusia beriman. Serta sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai
Islam dalam segala sektor dan sistem kehidupan
yang sedang atau akan ditempuh mereka.
Lebih aplikatif, Pendidikan
Agama Islam di sini tidak hanya tertuju pada lembaga pendidikan Islam, seperti
madrasah dan pesantren. Pelaksanaan PAI yang dimaksud di sini juga dilaksanakan
oleh negara maupun masyarakat pada semua lembaga pendidikan berbentuk sekolah
seperti SD, SMP, SMA, dan SMK. Serta tentunya pengembangan PAI yang
dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan tidak menutup
kemungkinan bagi Perguruan Tinggi Umum (PTU). Selain itu,
pengembangan PAI sesungguhnya bukan melulu pada tataran pembelajarannya yang
meliputi tujuan, materi, strategi, evaluasi, dan seterusnya. Namun, juga
melingkupi beberapa pengembangan lainnya, seperti pengembangan syiar Islam
melalui lembaga pendidikan, kurikulum, manajemen kelembagaan, landasan
filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologis, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, diharapkan efek dan maksud diadakannya pengembangan PAI tidak
hanya untuk memudahkan pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran.
Akan tetapi, juga bisa berpengaruh positif bagi masyarakat luas, negara, dan
seluruh umat manusia. Secara gamblang dapat dikategorisasikan pengembangan PAI
di lembaga pendidikan sebagaimana penulis kembangkan (ubah sesuaikan) dari
gambar Sutrisno dan Muhyidin berikut ini:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar 1 Kategorisasi
Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan
(Gambar dirubah seperlunya agar
sesuai dengan tema tulisan ini)
Skema tersebut menggambarkan bahwa yang dimaksud
PAI di sini ialah kegiatan pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
Sedangkan PAI di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tidak terlalu ditekankan
dalam tulisan ini. Dengan kata lain, pembahasan secara khusus tentang PAI di
PAUD tidak dibahas secara detail, seperti halnya pada jenjang pendidikan lain
(pesantren, madrasah, sekolah, dan PTAI). Alasannya, untuk PAUD dalam pasal 14
Undang-undang Sisdiknas 2003 tidak disebutkan sebagai salah satu jenjang
pendidikan formal. Dijelaskan bahwa “Jenjang
pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi.” Diperjelas dalam pasal 26 ayat 3 bahwa “Pendidikan nonformal meliputi
pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan,
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik.” Akan tetapi di pasal 28 ayat 2 juga dijelaskan “Pendidikan anak usia
dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau
informal.”
Hal ini bukan berarti jenjang pendidikan usia dini tidak penting. Bagaimanapun,
kajian tentang pengembangan PAI pada PAUD secara istemewa dibutuhkan kajian
tersendiri.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pengembangan Pendidikan Agama Islam berarti suatu proses kerja cermat untuk
merubah hal-hal yang terkait dengan produk (konsep dan benda) atau karya
manusia dalam membangun pendidikan Islam agar menjadi lebih baik pada segala
aspeknya dan lebih luas pengaruh maupun kemanfaatannya dari sebelumnya.
Artinya, yang dirubah dalam pembangunan PAI di sini bukan teks-teks (redaksi)
sumber dan landasan pokoknya yaitu al
Quran dan Hadith. Akan tetapi
salah satunya melakukan reinterpretasi terhadap pemahaman ilmuwan (ulama).
Khususnya tafsir ulama “pendidikan” terdahulu terhadap teks-teks yang tidak
lagi relevan dengan modernitas. Atau sebaliknya, “menemukan” atau
merevitalisasi
pemahaman dan praktik ilmuwan terdahulu yang ditinggalkan oleh ilmuwan
pendidikan sakarang tapi sangat relevan dengan hari ini. Dengan demikian suatu
pengembangan bukan hanya sebuah akibat
tapi juga bisa menjadi sebab. Serta
adanya pengembangan tidak hanya untuk memperbaiki
sesuatu yang ada tapi juga untuk mencegah
hal-hal negatif.
Dari
penjelasan tersebut bila dihubungkan dengan “daftar muatan” pengembangan PAI
(sebagai ilmu sosial) maka sebenarnya tidak berhenti pada aspek normatif dan
doktrin ajaran agamanya saja. Namun, bagaimana PAI mampu menjadikan peserta
didik memahami, menghayati, dan memanfaatkan alam ini menjadi lebih baik.
Yakni, dengan cara pengembangan ilmu pengetahuan yang muaranya bisa terciptanya
produk yang berguna bagi kehidupan manusia.
3.
Pengertian Sains
Kata “sains” berarti pertama ilmu pengetahuan pada umumnya, kedua pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, temasuk
ilmu tentang makhluk hidup dan benda mati secara detail (ilmu pengetahuan
alam), ketiga pengetahuan sistematis
yang diperoleh dari observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada
penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari,
dan sebagainya.
Dari keterangan itu dapat disimpulkan bahwa kata “sains” lebih cenderung pada lingkup kajian ilmu pengetahuan alam dan
kurang menekankan ilmu pengetahuan sosial. Di mana salah satu ciri dari ilmu
alam (yang positivistik) lebih mengutamakan logika (keruntutan berpikir), dapat
diikuti (diulangi) oleh orang lain, dan kebenarannya cenderung berada di objek
bukan di pikiran manusia. Sedangkan untuk mendapatkan “kebenaran” menggunakan
alat yang berupa panca indera manusia. Di mana indera manusia tersebut masih
ada kelemahannya.
Namun, permasalahan yang kerap
terjadi utamanya pada zaman sekarang yang merupakan era “ledakan” sains ialah
sains telah dicemari oleh kepentingan bisnis manusia. Bisa juga sains ditempuh
(dikaji) bukan untuk kepentingan umat manusia tapi untuk memperoleh kekuasaan
(pangkat), pengaruh, dan ketenaran pribadi belaka. Dengan demikian, dapat
disimpulkan dalam keadaan diam (pasif) ilmu alam atau sains merupakan sesuatu
yang netral, bebas nilai, dan objektif. Akan tetapi saat ada kepentingan
manusia mulai masuk ia tidak akan lagi bisa terbebasa dari “paradigma” yang
dimiliki ilmuwan (saintis). Misalanya, sudah nyata bahwa keadaan alam merupakan
suatu “kebenaran” yang tidak bisa ditolak lagi sehingga bisa menjadi sumber
belajar yang bersifat tetap. Akan tetapi kerakusan manusialah yang tidak
mempedulikan kerusakan alam demi untuk mewujudkan hasrat pribadi.
4.
Upaya Penggalian dan Pengembangan Sains Islami
Pada era mondial sekarang ini
umat Islam dalam urusan sains masih begitu tak acuh. Bahkan tertidur lelap
dalam romantisme kegemilangan sains umat Islam di masa lalu. Sebagian umat
Islam malah menganggap bahwa urusan sains biar menjadi urusan orang kafir.
Biarkan mereka disibukkan dengan urusan dunia (sains) sedangkan umat Islam
harus disibukan ibadah (urusan akhirat). Sains merupakan suatu kesalahan dan
dosa terbesar orang kafir karena meraka hidup hanya untuk menyembah sains. Pandangan seperti ini merupakan salah satu
penghambat umat Islam dalam melakukan penggalian dan pengembangan sains Islami.
Seakan-akan mengkaji sains merupakan tindakan haram.
Seharusnya,
umat Islam harus membuka semangat penggalian ilmu pengetahuan. Salah satunya
dengan cara “peniruan” (kajian) terhadap pengembangan ilmu pendidikan sekuler.
Kendati, sesungguhnya tidak semua ilmu pendidikan sekuler (utamanya dari Barat)
dapat menjawab permasalahan dan pertanyaan yang problematis. Utamanya persoalan
yang terkait dengan keyakinan dan pengalaman orang dalam beragama. Mengapa
manusia ini harus hidup? Dari mana alam semesta ini diciptakan? Mengapa manusia
di zaman modern, penuh intelektualitas, dan berperadaban tinggi tapi
masyarakatnya masih tetap gemar berperang? Mengapa mayoritas manusia di dunia
ini mau beragama (percaya hal gaib)? Apa manfaat terjadinya fenomena
menakjubkan (ajaib dan jarang terjadi) bagi kehidupan manusia? dll. Terkadang
justru pendidikan agama utamanya di negara-negara berkembang yang handal dalam
mengkaji dan menjelaskan masalah-masalah itu. Dengan kata lain, hanya agamalah
yang sanggup “menenangkan” keresahan mayoritas manusia ketika menghadapi
dialektika seperti itu.
Upaya
kritik yang lebih ekstrem dari itu adalah berupa pertanyaan adakah keterkaitan
antara “mekanisme takdir” dengan “teori peluang”? Misal, secara kenyataan atau
kepastian (takdir) bung Karno salah satu mantan Presiden RI menikahi ibu
Fatmawati, lalu apa akibatnya (peluang yang terjadi) bila beliau tidak
memperistrinya? Apakah menyebabkan tidak akan pernah ada proklamasi kemerdaan
Indonesia? Apakah nasib negara Indonesia akan jauh berbeda seperti sekarang
ini? Ataukah ada “pergeseran” ruang dan waktu yaitu proklamasi tidak dilakukan
pada tanggal 17 Agustus? Apapun jawabannya, yang pasti bila itu terjadi maka
Megawati (mantan Presiden RI) tak akan lahir, begitu pula Puan Maharani (cucu
Bung Karno). Dengan kata lain, bila perubahan sedikit itu (tidak menikahnya
bung Karno dengan Fatmawati) memang terjadi, akan sangat mempengaruhi keadaan
Indonesia dan kemungkinan juga dunia. Artinya, dengan tindakan (perlakukan)
sekecil apapun terhadap sesuatu akan berdampak pada perubahan bidang lainnya
meski sedikit. Bahkan bukan kemustahilan hasilnya jauh berbeda dari kenyataan
sekarang ini.
Dapat
disimpulkan, runtutan akibat (efek) karena adanya perubahan sekecil apapun di
masa lalu –baik yang bersifat kemungkinan
maupun yang pasti—tidak bisa terelakkan. Dengan kata lain, perubahan sekecil
apapun di suatu zaman dan tempat dapat berefek pada perubahan yang besar untuk
beberapa puluh, ratusan, hingga ribuan tahun berikutnya. Begitu pula apa yang
manusia lakukan sekarang ini. Sekecil apapun yang diperbuatnya di kala ini bisa
berakibat besar di kemudian hari. Inilah
penguat pendapat bahwa “takdir” sudah ditentukan secara detail, baik dari segi
waktu, tempat, dan dimensinya. Bergeser sedikit saja (waktu dan tempat) maka
tentu “takdir” akan mengalami perubahan yang besar. Sistem yang teramat rumit
itu memperlihatkan bahwa adanya keterlibatan Maha Cerdas untuk mengatur takdir
itu agar tidak bergeser sedikit pun. Asumsinya, bila ada kesalahan dalam
mengatur mekanisme takdir (bergeser sedikit saja) bisa berakibat fatal. Yakni, runtutan akibat
yang bisa merubah “nasib” dunia ini tidak seperti “seharusnya.”
Dari
penjelasan di atas, umat Islam sepatutnya meyakini bahwa konsep pengembangan
pendidikan Islam suatu saat hasilnya pasti jauh lebih bermanfaat dari ilmu
pendidikan sekuler. Utamanya bisa membentuk manusia bermental utuh dan
seimbang. Yakni, yang tidak ingin sukses di akhirat saja, atau sebaliknya di
dunia saja. Dapat disimpulkan, untuk memenuhi tantangan itu PAI harus bisa
membentuk manusia yang ahli dalam ilmu umum tetapi tidak mengalami kegersangan
hidup karena ilmunya dipadukan dengan nilai-nilai agama. Bisa juga membentuk
ahli agama Islam yang berwawasan dan berbudaya IPTEK, sehingga kajian
keagamaannya digunakan untuk mendorong umat Islam memanfaatkan dan menciptakan
IPTEK secara benar menurut akidah Islam.
Pernyataan
tersebut diperkuat oleh pemaparan Nurcholis Madjid bahwa penggunaan ayat-ayat
Allah yang Kauliyah beserta kauniah
perlu dipahami dan diberi interpretasi sesuai dengan kenyataan terkini. Dengan
interpretasi beserta reinterpretasi tersebut menjadikan agama mampu dan sejajar
atau bahkan posisinya lebih tinggi dan teratas dalam berdialog dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan demikian, pengembangan PAI itu bersifat open-ended. Artinya, senantiasa terbuka untuk dikritik, direduksi,
dan dirubah. Begitu pula pendidikan sekuler maupun pendidikan Islam –dalam
wilayahnya sebagai ilmu dan produk (konsep serta benda)
atau karya manusia— tidak bisa terus-menerus menghindarkan diri dari ketentuan itu. Di mana,
dalam kaidah seperti itu peran ilmu sejarah, psikologi, dan sosiologi sangat
penting. Bagaimanapun, pengalaman dinamika pendidikan Islam terdahulu hingga
pendidikan Islam sekarang ini sangat bertalian erat. Oleh karena itu,
pengembangan PAI tidak bisa berdiri sendiri hanya dengan menggunakan pemahaman
(tafsir) manusia terhadap ayat Kauliyah
(wahyu). Masih diperlukan kajian PAI di bidang lain yang bercorak
interdisipliner. Yakni, kajian mendalam terhadap ayat Kauniah beserta ilmu-ilmu
yang menyertainya untuk ikut andil dalam pengembangan PAI.
B.
“Paradigma” sebagai Alat (metode) Memahami Ayat Kauniyah
1.
Pengertian Paradigma
Salah satu orang yang mempopulerkan istilah “paradigma” ialah Thomas S. Kuhn.
Ia merupakan ahli
fisika, yang selanjutnya menjadi pengajar sejarah filsafat ilmu (cenderung ilmu
alam). Karya-karya tulisnya sebelum buku terkenalnya “The Structure of Scientific Revolutions” (1962) pun dipenuhi oleh
kajian ilmu-ilmu kealaman di antaranya tentang Copernican Revolution, Galileo, Kepler, Descartes, Newton, dll. Di
mana sebagian besar bahasannya tersebut tentang fisika dan astronomi.
Lebih
lanjut, menurut Zubaedi paradigma adalah
bagian dari “teori” lama yang pernah digunakan serta dipaparkan berdasarkan
pengujian-pengujian dan interpretasi dari sikap anggota masyarakat ilmiah yang
sudah ditentukan (disepakati) sebelumnya. Selain itu paradigma dipakai sebagai
kesuluruhan manifestasi keyakinan, nilai, teknik, dan lain-lain yang telah
diakui bahkan dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat ilmiah.
Dengan demikian dalam paradigma ada serangkaian keyakinan yang diadopsi ilmuwan
untuk praktik ilmiah, selain juga digunakan sebagai “contoh riset terdahulu”
sehingga menjadi inspirasi dan pemandu riset mereka.
Dapat disimpulkan bahwa
paradigma merupakan konsensus pemahaman (penafsiran) masyarakat ilmiah tentang
suatu “pandangan dasar” atau cara berfikir mengenai pokok persoalan pada
kajian-kajian ilmu tertentu.
Paradigma jugalah yang menjadi “roh” atau sumber kehidupan sehingga suatu teori
bisa terbangun. Tidak hanya itu, paradigma ternyata bisa menjadi gen konstruksi sosial, sehingga
menentukan corak (warna), sifat, dan bentuk ilmu pengetahuan berikutnya.
Menurut Kuhn, apa yang benar
menurut paradigma lama belum tentu benar menurut paradigma baru (adanya
relativisme).
Itu artinya paradigma tidak selalu terikat pada nilai benar atau salah. Akan
tetapi dapat terbimbing oleh sesuatu yang “baik” atau yang “terbaik” bagi
perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Dengan kata lain, penelitian yang
akan dilakukan ilmuwan seharusnya tidak hanya untuk menemukan “kebenaran” dan
kecanggihan. Namun, juga untuk memberikan nilai manfaat bagi kehidupan manusia.
Hal ini bukan berarti bahwa paradigma dalam menyelesaikan masalah keilmuan
tidak benar-benar objektif. Alasannya, nilai objektifnya tersebut bisa didapat
pada penggunaan metode tertentu yang disepakati dan dapat dipahamai bersama
oleh masyarakat ilmiah. Pada akhirnya, paradigma akan menentukan metode apa
yang cocok lalu disepakati mereka untuk dipakai dalam pemecahan suatu masalah.
“Kuhn
juga mengatakan bahwa membandingkan paradigma satu dengan lainnya bukanlah hal
yang mudah karena semua yang menyusun paradigma sangat berbeda dan tidak
analog.” Lebih rinci, salah satu prasyarat terjadinya percepatan pergantian
atau pergeseran paradigma dari yang lama menuju yang terbaru adalah melalui
dunia pendidikan (akademis). Hal ini karena hampir tidak mungkin illmuwan dapat
bekerja secara cepat jika melalui jalur otodidak. Yakni, tanpa menggunakan
konsep yang sudah mapan, tanpa latihan, dan dimulai dengan sesuatu yang masih
benar-benar baru (prematur).
Dapat dikatakan, paradigma merupakan konstelasi (tatanan)
beberapa gagasan yang saling terhubung disertai dengan asumsi-asumsi yang
dikemukakan oleh para ilmuwan di zamannya.
Oleh karena itu, antara paradigma lama dengan paradigma baru tidak bisa saling
mengklaim mana yang baik dan yang benar. Bagaimanapun di antara keduanya adalah
sama-sama benar dan baik untuk tempat dan zaman yang menaunginya.
Dapat disimpulkan, fungsi
paradigma adalah menyuplai “teka-teki” (puzzle)
bagi para ilmuwan untuk dipecahkan. Paradigma juga menyediakan “alat” sebagai
solusi bagi mereka.
Untuk memecahkan teka-teki (puzzle
solving) tersebut dibutuhkan dugaan dasar dan dugaan teoritis. Di mana pada
setiap “teka-teki” karakternya berbeda satu sama lain. Artinya, paradigma
menjadi dasar dalam melihat, memahami, dan mepersepsi realitas (fenomena).
Dengan kata lain, paradigma menjadi wordwiew
(cara pandang terhadap dunia) untuk menentukan metode apa yang akan dipakai
pada penelitian. Dengan landasan, setiap paradigma selalu berbeda tergantung
waktu dan tempatnya. Setiap kelompok atau komunitas ilmiah pun paradigmanya
berbeda. Bahkan setiap individu ilmuwan dalam satu komunitas pun “paradigmanya”
dimungkinkan bisa berbeda. Oleh karena itu, paradigma bisa menentukan sifat dan
karakter ilmu pengetahuan yang dibangun. Bisa dikatakan, ilmu pengetahuan
merupakan sekumpulan teori-teori yang terbalut dalam sebuah paradigma yang ada
pada masing-masing ilmuwan.
2.
Penggunaan Paradigma Holistik pada Pendidikan Agama Islam
Pengembangan PAI mesti disesuaikan dengan perkembangan ilmu (alam dan
sosial) serta fenomena masyarakat. Tak ketinggalan juga disesuaikan dengan
perkembangan sistem pendidikan nasional.
Oleh karena itu, PAI sebagai suatu sistem pembelajaran senantiasa menjanjikan
paradigma baru, salah satunya berupa paradigma pendidikan holistik. Paradigma
tersebut penting dalam melihat dinamika pendidikan secara utuh. Mengingat
selama ini, problem PAI masih terkendala pada cara pandang parsial, misalnya hanya
ditujukan untuk menyiapkan peserta didik bisa masuk ke jenjang pendidikan lebih
tinggi. Padahal, PAI salah satunya tidak bisa tidak (harus) mampu mengembangkan
potensi yang ada pada masing-masing peserta didik.
Dalam alur sejarahnya pun, sesungguhnya pengembangan PAI terutama pada
masa kemundurannya masih didominasi laju yang lambat bahkan bisa dikatakan
stagnan. Salah satu penyebabnya ialah manfaat dari hasil pembelajaran PAI masih
diprioritaskan pada ego relegiositas-dogmatis kalangan umat Islam sendiri.
Bukan ditujukan untuk kemaslahatan (utamanya terkait pengembangan ilmu
pengetahuan) bagi seluruh umat manusia.
Dengan demikian, tidak berlebihan bila dikatakan konsep Islam yang menjadi rahmatan lil
al-‘alamin secara serius, holistik, dan implementatif belum begitu ditekankan pada
PAI.
Lebih lanjut, selama ini ilmu pengetahuan kita masih
dihegemoni oleh paradigma posistivistik. Di mana, paradigma tersebut diturunkan
dari Cartesian (Descartes) dan Newtonian menjadi penyebab munculnya paradigma
tunggal (tidak utuh) di dunia Barat. Dengan paradigma tunggal itu, mereka
terpuruk ke lembah krisis dan penuh kontradiksi, yang menurut Capra disebabkan
oleh kekeliruan pemikiran. Ahmad
Tafsir sebagaimana dikutip Efendi menjelaskan bahwa yang dimaksud kekeliruan pemikiran menurut Capra adalah tidak digunakannya paradigma yang
tepat dalam penyusunan kebudayaan barat. Di mana, menurutnya budaya barat hanya
disusun berdasarkan satu paradigma, yaitu paradigma sains (scientific paradigm).
Padahal paradigma tersebut tidak sepenuhnya bisa melihat alam dan
kehidupan ini secara utuh dan menyeluruh (wholeness),
kecuali hanya melihat alam ini pada bagian yang empiris saja.
Bila “kebudayaan” barat tersebut dikaitkan dalam dunia
pendidikan, secara spesifik M. Zainuddin memaparkan perbedaannya dengan
pendidikan Islam sebagaimana berikut:
Tabel 1: Perbedaan Sistem Pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Barat
(Tabel diadaptasi dari
pemaparan M. Zainuddin dalam bentuk paragraf)
Katagori
|
Pendidikan Islam
|
Pendidikan Barat
|
Landasan Filosifis
|
Paradigmanya bertolak
dari sumber atau landasan (doktrin) Islam yang bercorak teo-antroposentris.
|
Paradigmanya
dilandaskan filsafat Yunani yang antroposentris-sekuler
sehingga terlepas dari dimensi moral dan spiritual.
|
Struktur Konsep Pendidikan
|
Terjadinya perbedaan:
tujuan, konsep tentang manusia (peserta didik), nilai, serta tanggung jawab
yang diembannya.
|
Ontologi
|
Terjadi perbedaan
dalam aspek: cara memandang dan menempatkan para peserta didik dalam proses
pembelajaran.
|
Sumber dan Metode Epistomologi
|
Berasal dari Allah
SWT, yang diperoleh melalui pancaindra, akal sehat, berita yang benar, dan
intuisi.
|
Semua objek (benda
/zat /materi) yang bisa diserap oleh pancaindra.
|
Sistem Etika
|
Bercorak teo-antroposentris yang menempatkan
manusia sebagai pelaku sejarah sekaligus sebagai makhluk (khalifah dan hamba)
Allah.
|
Menurut Syamsul Nizar:
bercorak antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari
segala-galanya, individu merdeka tanpa batas.
|
Dari tabel tersebut dengan jelas tergambar bahwa sistem
pendidikan barat adakalanya tidak sepenuhnya cocok apabila diterapkan dalam
sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, setiap teori dari barat, utamanya
teori tentang pendidikan tidak serta merta harus diserap sepenuhnya untuk digunakan dalam sistem pendidikan
Islam. Bagaimanapun, paradigma yang digunakan oleh umat Islam dengan paradigma
orang barat adakalanya berbeda. Implikasinya, bila dipaksakan akan mempengaruhi
dalam membuat konsep sistem pendidikan Islam. Artinya, pendidikan Islam akan
kehilangan jati diri keislamannya, melainkan yang ada berupa simbol, slogan,
dan ritus-ritusnya belaka.
Lebih dari itu, bila dikaitkan dengan pembelajaran secara
langsung, maka paradigma lama mengajar tentang pemberian reward and punishment atau pemberian rangsangan lain sudah tidak
berlaku lagi. Ataupun, paradigma pembelajaran yang hanya sebatas menyampaikan
pengetahuan dianggap sudah tidak relevan dengan kekinian. Diperlukan paradigma
baru, salah satunya adalah menciptakan “flow”
pada peserta didik. Paradigma baru lainnya adalah kegiatan mengajar difokuskan
pada proses mengatur lingkungan (kebudayaan). Beberapa alasannya menurut Wina
Sanjaya adalah:
1.
Peserta didik
bukanlah orang dewasa dalam bentuk anak kecil atau remaja, tetapi individu yang
sedang berkembang sehingga masih butuh proses pendidikan. Dengan demikian,
pendidik (sebagai orang dewasa) bukanlah satu-satu sumber belajar. Hal ini
karena kebutuhan orang dewasa dengan anak-anak berbeda. Oleh karena itu, tugas
pendidik adalah sebagai pengelola sumber belajar yang sesuai dengan tingkat
usia peserta didik.
2.
Adanya ledakan ilmu
pengetahuan berakibat pada ketidakmungkinan bagi setiap orang mampu menguasai
seluruh cabang keilmuan. Dengan demikian, belajar tidak sekedar menghafal informasi,
menghafal rumus-rumus, tapi belajar adalah bagaimana peserta didik mampu
menggunakan otaknya untuk mengasah kemampuan berfikir.
3.
Penemuan-penemuan
baru dalam bidang psikologi (menurut penulis juga bidang biologi), berakibat
pemahaman baru terhadap konsep (teori) perubahan perilaku manusia. Di mana
manusia sebagai makluk biologis (organisme) memiliki potensi bawaan yang
menentukan perilaku manusia. Implikasinya, proses pendidikan bukan lagi
memberikan stimulus untuk cerdas pada bidang tertentu, tetapi mengembangkan
potensi (kecerdasan) yang telah ada dan telah dimiliki peserta didik.
Bisa dikatakan bahwa antara
paradigma Pendidikan Agama Islam
dengan paradigma
pendidikan sekuler (yang cenderung positivistik) sesungguhnya sangat berbeda.
Kajian positivistik salah satunya berparadigma hegemonik dan empiris, sedang
PAI salah satunya berparadigma teologis.
Perbedaan tersebut menyebabkan PAI di mata positivistik bukan sebagai kajian
dari ilmu pengetahuan karena kajiannya tidak empiris dan tidak memenuhi standar
ilmiah (dipenuhi unsur metafisika dan transendetal).
Hal ini dalam kacamata Kuhn, bukan berarti dari salah satu keduanya terdapat
kebenaran, sedang yang satunya sebagai pihak yang salah. Namun keduanya
memiliki kaidah atau pola pikir sendiri yang telah disepakati oleh
masing-masing komunitas pendukungnya.
Sebagaimana pernyataan Tobroni bahwa paradigma dapat dijadikan asumsi atau
proposisi, bahkan dari itu bisa menjadi pijakan dalam berbagai kegiatan ilmiah.
Selanjutnya ia menjelaskan secara detail:
Berangkat dari konsep tentang paradigma ini lantas
melahirkan konsep-konsep turunannya seperti world view (pandangan
dunia), frame work (kerangka kerja), logical frame work analysis
dan mindset. Misalnya, keyakinan bahwa kitab suci merupakan wahyu dari
Tuhan dan memiliki kebenaran, lantas dijadikan rujukan dalam berfikir,
bersikap, dan berperilaku. Pola pikir yang berpedoman pada keyakinan akan
kebenaran firman Tuhan, disebut paradigma teologis, yaitu pandangan dunia
dan mindset yang muncul dari sebuah keyakinan teologis, bersumber dari
Tuhan.
Hampir sama
dengan pernyataan Muslih, pada wilayah paradigma sesungguhnya peran
“kesejarahan” ilmu pengetahuan menjadi terbukti. Yakni, ada beberapa faktor
lain di luar keilmuan (standar ilmiah) yang merupakan kesatupaduan dalam
membangun ilmu. Misalnya, faktor ekonomi, politik, budaya, dan ideologi. Atas
dasar ini maka semakin terbuka jalan bagi bangunan ilmu pengetahuan untuk
menerima berbagai “nilai.” Termasuk nilai etika-religius sebagaimana yang
didamba-dambakan pendidikan Islam. Oleh karena itu, berdasar dari paradigma
Kuhnian maka tidak benar bila semua aktivias pendidikan itu disamaratakan
(dianggap sama). Bagaimanapun, meski dalam suatu lingkup pendidikan itu
berbasis logika, teori, dan tarekat (jalan) yang sama tapi masing-masing
tradisi (organisasi dan pengalaman beragama) mengusung paradigmanya
sendiri-sendiri. Dengan demikian, wajar seandainya terdapat perbedaan dalam
model pendidikan seperti model pendidikan salaf
(ortodoks), khalaf (modern), Ma’arif (NU), Muhammadiyah, Gontor, dll. Lahirnya
berbagai model pendidikan ini terkait erat dengan pemahaman keislaman sekaligus
pemahaman tentang hakikat ilmu.
Ia juga menambahkan bahwa
paradigma dalam dunia pendidikan menjadi basis filosofis dan sosiohistoris
sekaligus. Dengan demikian, peran dan posisi eksistensi pendidik (ustaz, guru,
dan dosen), pengelola (penyelenggara, yayasan, organisasi afiliasi, dan
sebagainya) tidak dapat diabaikan. Bahkan hal itu semuanya menjadi bagian tak
terpisahkan dalam pengembangan keilmuaan dan proses pendidikan. Dari sini dapat
dipahami bahwa meskipun metodologi itu penting, akan tetapi bukanlah
segala-galanya, bagaimanapun “keberadaan” pendidik jauh lebih penting daripada
metodologi. Selain itu, dalam perspektif filsafat ilmu kontemporer, setiap
model pendidikan mestinya memberi perhatian lebih secara bersamaan pada tiga elemen filsafat. Di antaranya teori
serta metodologi pendidikan, filsafat serta sosiologi pendidikan, dan teologi
serta metafisika pendidikan. Tiga hal itu
membawa dunia pendidikan tampil lebih bercirikhas, kokoh, dan tidak pragmatis.
Hal ini karena keyakinan hingga keimanan Islam sebagai dasar teologis-metafisik
penyelenggaranya punya posisi yang kuat. Yakni, sebagai bagian tak terpisahkan
dalam proses pendidikan yang dikembangkannya.
Dari pernyataan di atas, dapat
dipahami bahwa pengembangan PAI tidak boleh berhenti sampai di sini. Hal ini
karena selama ini ada anggapan bahwa ilmu Islam, termasuk pendidikan Islam
telah mengalami kemandekan atau mencapai titik kulminasi (puncak). Artinya,
tidak ada yang boleh mengotak-atik metodologi dan teori dalam PAI. Padahal,
pengembangan PAI –dalam artian metodologi dan teorinya- merupakan suatu
kebutuhan bagi masyarakat dewasa ini. Asumsinya, dengan stagnannya segala apa
yang ada dalam PAI berimplikasi pada berhentinya kesadaran intelektual (ilmu
pengetahuan dan teknologi) umat Islam. Di mana umat Islam tidak ada yang mampu
menjadi penemu di berbagai bidang IPTEK. Bila dikaitkan dengan pemikiran Kuhn,
maka bisa dikatakan ilmu PAI sekarang ini berada pada fase anomali (anomaly). Yakni, masa di mana PAI telah
mengalami beberapa goncangan dan pertanyaan substansial yang menyerangnya. Hal
itu terjadi karena ilmu PAI sekarang ini dianggap tidak mampu lagi menopang
permasalahan yang terjadi pada masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan ilmu
PAI mutlak dilakukan agar menghasilkan gagasan PAI yang terbaru,
yang diharapkan bisa mengatasi segala permasalahan masyarakat luas.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan paradigma PAI adalah pandangan mendasar yang
terkait dengan permasalahan utama dalam suatu ilmu pendidikan, dengan
menggunakan ajaran Islam sebagai asasnya. Bisa dikatakan seseorang boleh
menggunakan berbagai sudut pandang (kajian interdisipliner) dalam
melihat, meneliti, dan mengetahui permasalahan PAI. Kemudian mencari solusinya
dengan menggunakan berbagai pendekatan yang memungkinkan. Di mana semuanya itu,
baik cara mengetahui maupun memecahkan masalahnya tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, PAI sebagai sebuah ilmu sekaligus keyakinan
dan pengalaman dalam beragama tidak bisa dimiliki atau diklaim oleh komunitas
tertentu saja.
Implikasinya, siapapun boleh melakukan pengembangan PAI sesuai dengan paradigma
masing-masing komunitas. Namun sekali lagi, pengembangan tersebut tidak
bertentangan dengan prinsip utama ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam konteks
ilmu PAI maka ajaran Islam yang universal (tidak parsial) berwenang memandu dan
mengkonstruk pengembangan ilmu pendidikan.
3.
Proses Terjadinya Pergeseran Paradigma
Pembahasan ini diawali dengan pernyataan Kuhn bahwa
revolusi perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak terjadi secara kumulatif atau
linier (kontinu), tapi terjadi secara non kumulatif dan diskontinu.
Hal ini menunjukkan perkembangan ilmu pengetahuan bukan berasal dari gabungan
beberapa ilmu pengetahuan yang telah ada. Lalu disimpulkan ilmu yang datangnya
paling akhir itu adalah yang benar atau yang paling matang. Namun, perkembangan
ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner. Yakni, terjadi perubahan secara
mendasar (terjadi pertentangan) antara paradigma lama dengan paradigma yang
baru.
Di mana terdapat lompatan-lompatan yang tak teratur dalam proses kelahiran ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, mekanisme revolusi ilmu pengetahuan dapat
disamakan dengan revolusi sosial dan politik.
Bagi Kuhn, penemuan teori tidak
menjadi kekuatan pendorong ilmu pengetahuan ke arah kemajuan. Bagaimanapun,
ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan kestabilan dan terus menerus ditambah dengan
penemuan baru. Akan tetapi, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian selingan
yang dimulai dari revolusi intelektual para pemikir. Setelah ada revolusi,
konsep baru akan menggantikan konsep ilmu pengetahuan lama, sehingga terjadi
pergantian konsep yang berbeda secara terus-menerus. Hal itu akan terus terjadi
sepanjang kehidupan sejarah manusia.
Dengan demikian, senyampang para ilmuwan dari generasi ke generasi terus aktif
melakukan pengembangan dan pembaruan gagasan, selama itu pula peluang revolusi
perkembangan ilmu pengetahuan terus berlangsung.
Kembali ditegaskan, perkembangan ilmu pengetahuan
merupakan proses yang tak menentu, sulit untuk ditebak, dan terjadi tanpa
keteraturan yang mana bisa terjadi sewaktu-waktu.
Agar tercipta pemahaman yang jelas tentang mekanisme revolusi perkembangan ilmu
pengetahuan maka perlu dipaparkan skema yang diberi nama Bukit Paradigma dari hasil analisis penulis sebagai berikut:
Keterangan:
P1 : Paradigma Pertama (ke-1)
IN : Ilmu Pengetahuan Normal
IS : Ilmu pengetahuan yang tak pernah
matang/mapan (immature science)
An : Keganjilan (anomali) yang ditemukan
pada IN
Kr : Krisis, kegagalan P dalam menjelaskan secara tepat tentang Anomali
Rev : Revolusi, meninggalkan paradigma lama
menuju paradigma baru
PP : Pertentangan antar Paradigma (paradigma
lama Vs paradigma baru)
P2 : Paradigma ke-2 (paradigma baru yang
berhasil menggantikan P1)
PG : Paradigma baru yang gagal menggantikan
paradigma lama
AP2 : Afirmasi (bangkitnya) paradigma lama (P2), paradigma baru gagal (PG) dalam merevolusi
P3 : Paradigma ke-3 (paradigma terbaru yang
berhasil menggantikan P2)
PPS : Pergeseran paradigma sebagian (tidak seluruhnya tergantikan
oleh paradigma baru)
Gambar 2.1 “Bukit Paradigma”: Skema
Diskontinuitas Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Dari gambar di atas
dapat disimpulkan, bahwa antar paradigma secara luas tidak saling berhubungan,
akan tetapi berdiri sendiri. Kendati harus diaku sebagian dari “kaki” bukit
paradigma terjadi keterkaitan antara paradigma lama dengan paradigma
penggantinya. Di sinilah letak revolusionernya, karena paradigma bertugas
membimbing jalannya perkembangan ilmu pengetahuan secara terus-menerus. Dari
hal tersebut, dapat dikatakan revolusi perkembangan ilmu pengetahuan adalah
perubahan mendasar tentang kumpulan-kumpulan paradigma yang tersusun
berdasarkan konteks masyarakat ilmiah (karena paradigma terbentuk dari konteks
masyarakat).
Artinya, dalam revolusi perkembangan ilmu pengetahuan terdapat unsur-unsur
perubahan secara mendasar bahkan saling bertolak belakang. Perubahan itu
terjadi secara undetermination (tidak
tentu arahnya) dan berjalan dengan mandiri. Hal itu disebabkan karena adanya
kegagalan paradigma (isi dan metodenya) yang lama dalam mempertahankan diri
dari paradigma baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan bisa dikatakan mengalami
perkembangan bila terjadi pergantian paradigma. Meski perlu ditekankan kembali
bahwa paradigma lama seringkali memberi inspirasi dan modalitas (nampak di kaki
bukit paradigma terutama pada “kolong” bagian Rev) bagi berkembangnya
paradigma baru.
C.
Antara Ayat Kauliyah
oriented Vs Ayat Kauniah Oriented
1.
Reinterpretasi Ayat Kauliyah dalam Pengembangan PAI
Agama Islam merupakan agama
yang benar dan sempurna. Oleh sebab itu, tak seorangpun bisa mengadakan
pembaruan terhadap teks Islam atau ayat Kauliyah.
Akan tetapi yang perlu diperbarui adalah “paradigma” manusia terhadap agama.
Serta bukan dinamika al Qur’an yang
harus digugat untuk menghadapi perkembangan zaman. Melainkan, dinamika umat
Islam dalam memahami teks al Qur’an-lah
yang harus dimulai dan terus-menerus dilakukan sepanjang zaman.
Pernyataan ini hampir sama maksudnya dengan pandangan Kuhn, bahwa “kunci utama
perubahan revolusioner ini ada pada metodologi. Alam tidak terlalu berubah
namun metode pencarian penjelasan akan gejala alam kadang-kadang revolutif.”
Dengan kata lain, bukan teks al Qur’an-nya
yang dirubah tapi “metodologi” dalam memahami teksnya yang harus dirubah
(direvolusi).
Berdasarkan pemaparan di atas,
ketika dalam proses pengembangan PAI ditemukan “anomali” (keganjilan) atas
paradigma manusia tentang isi al Qur’an,
maka perlu diadakan reinterpretasi terhadap teksnya.
Bagaimanapun, tafsir merupakan ilmu, sebagaimana dengan ilmu lainnya.
Walaupun tak dapat dinafikkan bahwa konteks dan kualitas “perumusnya” di zaman
dulu dengan sekarang tentu jauh berbeda. Proses tersebut dilakukan agar
pembelajaran PAI bisa kontekstual dan memiliki nilai praktis bagi masyarakat.
Serta tentunya agar PAI tidak dicap bertentangan dengan ilmu pengetahuan lain. Misalnya, bagaimana
pendidik PAI bisa menjelaskan keberadaan fosil manusia purba yang
nyata-nyatanya memang benar keberadaannya tak terpungkiri. Sedangkan di dalam al Qur’an secara qath’i belum pernah ditemukan penjelasan tentang “keberadaan” fosil
tersebut. Oleh karena itu, wajar bila ada penafsiran pada ayat-ayat terentu
terkait keberadaan fosil.
Lebih ekstrim daripada pernyataan itu, Mujtahid menyampaikan “kritik akal Islam berupaya untuk membongkar mitos
pemikiran (ijtihad) yang sudah tidak relevan dengan dinamika masyarakat
sekarang. Dengan demikian, tujuan utama kritik akal Islam adalah membebaskan
pemikiran dari segala macam citra dan gambaran yang sempit, karena tidak
mungkin bagi akal Islam, berpikir jernih selama citra-citra semacam ini melekat
dalam akal mereka.” Ia melanjutkan bahwa dengan mengkritik akal Islam (hasil
pemikiran umat Islam) bisa membedakan antara teks/wahyu dengan sejarah serta
analisisnya. Dengan demikian, seharusnya wahyu diposisikan kembali pada tempat
semula yang bersifat transenden. Alasannya, wahyu telah mengalami relasi dengan
sejarah manusia yang bermuatan ideologi, politik, dan kepentingan lainnya
sehingga mengalami reduksi nilai di dalamnya. Oleh karena itu, semua teologisme
termasuk epistemologi seperti fiqh, tafsir, dan sebagainya masih perlu
dikritisi dalam konteks hari ini. Bagaimanapun, semuanya merupakan ciptaan
manusia, sehingga layak untuk diletakkan di atas “meja” kritisisme. Pada
akhirnya, revolusi ilmiah tidak akan hilang dari panggung dunia pemikiran Islam
sepanjang dinamika kehidupan ini tetap berlangsung.
2.
Pengembangan Pendidikan Agama Islam Perspektif
Interdisipliner
Pendekatan interdisipliner dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Indonesia sekarang ini
menjadi sebuah kebutuhan. Terlebih dalam konteks upaya pengembangan IPTEK untuk
pemberdayaan alam secara ramah dan peningkatan kualitas hidup manusia dengan
resiko (efek samping) yang minim. Bagaimanapun, PAI sebagai salah satu wadah
“kaderisasi” umat Islam berperan penting dalam pengembangan IPTEK. Mengingat,
selama ini PAI dituding “membiarkan” begitu saja generasi Islam yang masih
menjauh (antipati) terhadap ilmu alam (sains). Oleh karena itu, tulisan ini
mencoba menawarkan jawaban atas skeptisme dan pesimisme terhadap PAI tersebut.
Salah satu bahasannya adalah terkait pembelajaran PAI melalui pendekatan kajian
sains.
Sesungguhnya Islam pada hakikatnya tidak hanya menyuruh
umatnya untuk pandai membaca ayat kauliyah
tapi juga menuntu umatnya untuk memahami sebagian “bacaan” ayat-ayat Kauniah
sebagai sumber ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, nilai-nilai filosofis bahwa
ayat kauniah itu juga penting dan bisa dimasukkan ke dalam kajian PAI merupakan
sebuah keniscayaan di zaman sekarang. Dengan perpanduan antara ayat kauliyah
dan “sebagian” ayat kauniah maka pemecahan masalah kehidupan (termasuk masalah
keilmuan) akan mudah dan efektif untuk diwujudkan.
Kenyataan
yang tak dapat dipungkiri ialah Indonesia berstatus sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, sehingga pendidikan Islam punya
peran yang signifikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan
karakter unggul. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa budaya, kebiasaan,
karakter, dan segala hal yang tercipta pada masyarakat merupakan cerminan dari
hasil pendidikan Islam. Oleh karena itu peran penting pendidikan Islam adalah
bagaimana agar ajaran Islam yang rahmatan
lilalamin benar-benar diterapkan oleh setiap insan Islam.
Sedang menurut
Hamka sebagaimana yang dikutip oleh Muh. Idris
bahwa Pendidikan Agama adalah sebuah kebutuhan yang harus diajarakan
agar bisa mencetak peserta didik yang paripurna (insan kamil) sekalipun pada lembaga pendidikan umum. Insan Kamil atau berkepribadian Muslim
adalah suatu kondisi fisik dan mental secara bersamaan terjadi satu kesatuan
yang terpadu sehingga dalam penampilan atau kegiatan kehidupan sehari-hari
tidak terjadi pendikotomian antara jasmani dengan rohani dan dunia dengan
akhirat.
Dengan kata lain pendidikan Agama Islam diharapkan mampu dalam pencetakan
generasi Muslim yang berkemampuan dalam IPTEK, ketauhidan, dan berkepribadian
Islam yang rahman lil alamin sehingga
terbentuklah insan paripurna.
Dengan
demikian dimensi ketauhidan tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam dunia
pendidikan, artinya adanya keterlibatan hubungan antara intrepretasi (pelibatan
logika) manusia terhadap kebenaran hakiki tentang Allah SWT melalui ayat kauniyah dengan ayat kauliyah yang didasari pada ketundukan
dan keimanan. Hal ini supaya dalam alam pikiran manusia tidak tercemari sifat
angkuh dan merasa terkuat dari segalanya padahal ada yang lebih kuat dari
segalanya yaitu yang Maha Kuat, sehingga kandungan inti dari pemahaman hubungan
tersebut adalah keimanan dan ketundukan mutlak manusia kepada Allah yang
tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku sebagai berikut:
1. Kebenaran mutlak hanya ada pada Allah semata,
dan yang dapat dicapai manusia hanyalah kebenaran relatif, serta dalam skala
temporal maupun spatial.
2. Kesadaran akan keterbatasan akal manusia pada
intrepretasi tersebut menjadikan timbulnya sikap dan perilaku manusia yang
tunduk dan patuh pada kehendak Allah SWT. Dengan kata lain adanya kesadaran bahwa
ilmu dan kemampuan teknologi yang dikuasai manusia adalah berasal sekaligus
amanah dari Allah, dan yang menjadi motivasi untuk penerapannya pun dalam
rangka pemenuhan amanah tersebut.
3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara
ilmu dengan agama. Dengan demikian jika ditemui pertentangan dalam praktiknya
adalah semu belaka, artinya sebagai akibat dari kesalahan atau ketidak mampuan
akal manusia dalam intepretasi terhadap ayat kauniyah, kauliyah, atau bahkan
keduanya.
4. Kesadaran bahwa ilmu pengetahuan umum bukan
satu-satunya kebenaran, bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi permasalah
kehidupan manusia.
Dari pemaparan tersebut maka sungguh nampak peran penting
pendidikan agama bagi sikap mental dan emosional manusia. Dengan kata lain
pendidikan agama mampu menjadi solusi bagi kefrustasian manusia dalam
menanggulangi problematika kehidupan. Secara grafik maka hubungan antara agama
dengan ilmu apabila dielaborasisasikan tergambar pada hubungan berikut ini:
Gambar 2 Hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan melalui proses intrepretasi
ayat-ayat
3.
Peran Komunitas Ilmiah dalam Pengembangan PAI
Dalam bahasa Indonesia istilah komunitas ilmiah memiliki padanan kata –yang
artinya tidak jauh beda— dengan masyarakat
ilmiah, komunitas akademis, dan masyarakat akademis. Komunitas ilmiah
erat kaitannya dengan aktivitas (praktik) ilmiah, metode ilmiah, sikap ilmiah,
dan produk (berbentuk teori atau benda) ilmiah. Menurut penulis, sebagaimana
hasil pemahaman dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, dapat dirumuskan bahwa komunitas ilmiah PAI memiliki arti
sekelompok orang ahli
yang aktivitas dan kajiannya terfokus dalam bidang PAI, dengan ciri utamanya
memiliki paradigma yang sama terutama terkait praduga (asumsi), nilai, aturan
(norma), tujuan, metode (model), dan keyakinan (faith) mereka. Biasanya, komunitas ilmiah PAI saling “berinteraksi”
(berargumen) satu sama lain melalui wadah dunia akademis (pendidikan, profesi,
dll), media tulis-menulis (jurnal, buku, makalah, laporan penelitian, dll), dan
forum ilmiah lainnya. Dengan demikian, tatkala komunitas ilmiah PAI memiliki
paradigma yang sama, misalnya ilmu PAI sekarang ini tidak perlu dikembangkan,
berdampak suatu pengembangan PAI tidak akan terjadi. Namun, jika ada satu
anggota (ilmuwan) komunitas ilmiah yang keluar jalur utama(mainstream) lalu diikuti oleh mayoritas komunitas ilmiah PAI, maka
suatu proses pengembangan telah terjadi. Pengembangan PAI dalam bidang tertentu
bisa pula terprakarsai adanya aklamasi atau konsensus “secara alami”
maupun yang terencana dari mayoritas
komunitas ilmiah PAI untuk mengadakan pembaharuan.
Menurut kacamata penulis, suatu
komunitas ilmiah PAI pada saat ini telah menunjukkan keberagamannya. Yakni,
komunitas ilmiah PAI yang konservatif (tradisional) berfungsi sebagai kritik
dan pengerem atas keblabasannya pembaharuan, komunitas ilmiah PAI yang moderat
(akomodatif) berfungsi penyeimbang, dan komunitas ilmiah PAI yang liberal (modernis) berfungsi sebagai pembaharu.
Di mana, ketiga macam komunitas tersebut saling berdialektika satu sama lain
dengan mengajukan argumen supaya gagasan mereka diterapkan di ranah nyata.
Implikasinya, karena paradigma dari ketiga jenis komunitas ilmiah PAI itu berbeda,
mengakibatkan masing-masing teori yang dibangun (dikembangkan) akan berbeda
pula. Selain itu bisa jadi metode, tujuan, nilai, dan sebagainya yang mereka
gunakan dalam “memahami” PAI pun akan berbeda. Oleh sebab itu, tidak
mengherankan ketika cara pandang sekaligus perlakukan mereka terhadap PAI juga
tidak sama. Apabila perbedaan tersebut tidak ada titik temu (kesepakatan) maka
menjadi suatu kepastian adanya beberapa varian ilmu PAI versi konservatif,
paradigma akomodatif, dan liberal. Serta, tidak menutup kemungkinan adanya
varian-varian lain yang salah satunya merupakan sintesis dari beberapa model
tersebut.
Dapat dikatakan, peran penting
komunitas ilmiah dalam pengembangan PAI adalah sebagai sumber paradigma,
sehingga apapun hasilnya dapat dijadikan panduan bagi praktisi PAI. Dengan kata
lain, pengembangan PAI –utamanya dalam scope
luas— tidak akan bisa berlangsung baik tatkala tidak didukung mayoritas
komunitas ilmiah. Meski sekalipun pengembangan itu hanya pada wilayah
instruksional (pembelajaran di kelas) tetap membutuhkan “penguat” dari
komunitas ilmiah. Bagaimanapun, kemampuan dan wawasan mayoritas pendidik bisa
berkembang karena adanya “paradigma” yang diusung oleh komunitas ilmiah PAI.
Yakni, paradigma tersebut mereka dapatkan ketika membaca buku, mengikuti
seminar, diklat (workshop), dan
tentunya juga paradigma yang berasal dari kampus ketika mereka masih proses
kuliah. Oleh karena itu, permasalahan
dalam dunia PAI harus diselesaikan oleh ahlinya, terlebih lagi adanya
kesepakatan dari komunitas ilmiah PAI. Ibaratnya, seorang yang sakit gigi akan
sangat kurang optimal penanganannya ketika paradigma pengobatan yang digunakan
menggunakan paradigma dokter umum. Penanganan dan penyembuhannya akan bisa
berjalan baik dan berefek samping paling sedikit kalau ditangani oleh dokter
gigi.
Dapat disimpulkan, keberadaan
komunitas ilmiah PAI merupakan cermin bagi dunia pendidikan Islam. Apabila
komunitas ilmiahnya aktif dalam mengadakan pengembangan PAI secara positif dan
konsisten, maka lambat laun akan menghasilkan proses pendidikan Islam yang baik
dalam segala aspeknya. Sebaliknya, ketika komunitas ilmiah PAI tidak peka
(sensitif) terhadap perubahan masyarakat dan merasa perlu mempertahankan
paradigma lama, dampaknya proses pendidikan Islam akan mengalami stagnansi.
Hasilnya, generasi umat Islam tidak akan memiliki perbedaan yang jauh dengan
generasi-generasi sebelumnya dalam mengatasi masalah. Padahal, paradigma umat
Islam terdahulu belum tentu handal untuk digunakan dalam pemecahan masalah di
masa kini. Oleh karena itu, “regenerasi” komunitas ilmiah PAI perlu terus
dilakukan dan dikembangkan. Alasannya, tanpa adanya komunitas ilmiah PAI yang
berkualitas, maka sebuah paradigma “berkualitas” tidak akan pernah ada.
Merekalah yang berperan memilihara bahkan seharusnya juga mengembangkan ilmu
pengetahuan. Secara moral, mereka adalah pengemban tugas penting untuk membawa
umat Islam menyusul dari ketertinggalan yang jauh hingga akhirnya bisa
mendahului. Pada akhirnya, umat Islam mampu mendukung bahkan pantas ikut serta
aktif dalam memajukan negara Indonesia.
D.
Penutup
Dari
semua pembahasan sebelumnya dapat simpulkan bahwa gagasan “paradigma” juga
“revolusi” ilmu pengetahuannya telah membuka jalan lebar bagi segala macam ilmu
untuk ikut serta dalam pengembangan diri. Bagaimanapun, Allah SWT telah memberi
dan menunjukkan berbagai “fenomena” kehidupan, sehingga tugas ilmuwan adalah
“membuat” teorinya. Termasuk di dalamnya “ilmu” Pendidikan Agama Islam yang
selama ini dianggap sebagai ilmu dogmatis yang tidak dapat dianggap (tidak
memenuhi syarat) sebagai ilmu pengetahuan.
Ilmu
Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu “alat” agama Islam untuk
mengembangkan ajarannya perlu diinovasi dan diperbarui. Yakni, salah satunya dengan
cara reinterpasi atau penafsiran ulang terhadap sebagian “paradigma” lama yang
dipandang sudah tidak mampu lagi memecahkan masalah kekinian. Dengan kata lain,
bila melihat konteks kehidupan masyarakat sekarang ini kebutuhan terhadap
revolusi perkembangan ilmu pengetahuan Pendidikan Agama Islam merupakan hal
yang mendesak.
Ide-ide
Kuhn tersebut memang di satu sisi oleh kalangan positivistik tidak bisa dikatan
ilmiah. Namun, berkat ide-ide yang cermelangnya tersebut, Khunian bisa
menyentuh konteks masyarakat yang tidak bisa dijangkau oleh kaum positivistik.
Misalnya, apakah kaum positivistik bisa menyentuh aspek sosiologis, psikologis,
dan kepercayaan yang menancap kuat (benar-benar ada) pada suatu fenomena secara
tepat dan mendalam. Selain itu dari gagasan Khun tersebut, sebenarnya ilmuwan
diajak untuk berfikir kritis. Di mana, dengan sikap kritis itu kemungkinan
besar intensitas perkembangan ilmu pengetahuan akan berjalan dinamis sesuai
zamannya.
Daftar Rujukan
JIKA ADA KESALAHAN (TIDAK SESUAI DENGAN AYAT
KAUNIYAH) DALAM AYAT KAULIYAH, MAKA ITU KARENA KELEMAHAN PARADIGMA YANG
DIGUNAKAN OLEH MANUSIA
MANUSIA MERIBUTKAN BUMI ITU BULAT ATAU DATAR,
MATAHARI ATAU BUMI YANG BEREVOLUSI (BERPUTAR), DLL TANPA ADA INSTRUMEN DAN ILMU
YANG MEMADAI........ HANYA FAKTOR YAKIN
GIGI KUDA; GEREJA VS ILMUWAN, HARUS ADA
INSTRUMEN DAN ILMU UNTUK MENGETAHUI GIGI KUDA..... UMAT ISLAM OGAH UNTUK
MELIHAT GIGI KUDA....
Hakekat Sains Adalah Sebagai Ayat
Khauniyah
1. Alam adalah kebenaran dan sumber belajar.
2. Kesalahan ada di pikiran manusia
Kendala pada Pelajaran Agama
} Guru agama:
◦
yang tidak memberi teladan hidup baik
◦
Tidak
memahami perkembangan sains
◦
Tidak
dapat menjelaskan konflik sains dan iman
} Pelajaran agama
◦
Terlalu
pengetahuan, kurang afeksi dan tindakan
◦
Selalu
lulus, maka tidak semangat
◦
Tidak
menjelaskan nilai yang terpenting dalam hidup
“...dinamika lingkungan
yang berlangsung sangat cepat telah memunculkan banyak tantangan baru bagi
dunia pendidikan Indonesia. Selain masalah ‘klasik’ seputar kualitas sumber
daya manusia (SDM) Indonesia yang terpuruk dalam era globalisasi, maraknya
korupsi, memudarnya semangat kebhinekaan, berkembangnya budaya kekerasan, dan
degradasi kualitas lingkungan adalah beberapa masalah kontemporer yang menuntut
respons dari dunia pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan Islam.” Selain itu
berdasarkan pemaparan Maarif bahwa “kualitas SDM Indonesia di tengah
kompetisi global adalah masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa
ini. Laporan United Nations Development Program (UNDP) Tahun 2014 menyebutkan
bahwa Indonesia, pada tahun 2013, memperoleh skor 0,684 dalam Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI).
Skor HDI Indonesia lebih tinggi dibandingkan Filipina (0,660),
Vietnam (0,638), Laos (0.569), dan Myanmar (0,524), namun lebih rendah
dibandingkan Singapura (0,901), Malaysia (0,769), dan Thailand (0,722).
Sungguhpun skor HDI menunjukkan peningkatan yang sangat pesat dalam
beberapa puluh tahun terakhir, kualitas SDM Indonesia masih tergolong
rendah pada tataran global, karena berada pada peringkat ke-108 dari 187 negara
di dunia.” Ia pun juga menjabarkan bahwa “Akar masalah dalam
kualitas SDM Indonesia terletak terutama pada ketimpangan akses
terhadap pendidikan. Jumlah penduduk yang sangat besar dan terdistribusi secara
tidak merata secara geografis mengakibatkan ketidakmerataan akses masyarakat untuk
mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas. Tantangan yang dihadapi
pendidikan Islam dalam hal ini ialah bagaimana mewujudkan layanan pendidikan
yang terjangkau oleh segala lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia...
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, misalnya, data statistik pendidikan
Islam, Kementerian Agama, menunjukkan bahwa lebih dari 50% satuan
pendidikan MI, MTs, MA, dan Pondok Pesantren berlokasi di
wilayah-wilayah pedesaan. Dengan pola distribusi geografis seperti ini, pendidikan
Islam memberikan kontribusi yang sangat bermakna dalam rangka pemerataan dan
perluasan akses pendidikan.” Lihat, Saiful Maarif, “Apresiasi Pendidikan Islam 2014: Bersama Memajukan
Pendidikan Islam untuk Indonesia yang Lebih Baik,” dalam http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=7084#.VOqZZPmsUyY, 23 Desember 2014, diakses tanggal 16 Maret 2015.
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab
(Malang: Uin Malang, 2010), hlm. 34-35.
Flow adalah perasaan
“kehilangan” kesadaran ruang dan waktu. Menurut Daniel Goleman “flow adalah keadaan ketika seseorang
sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatian
sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya
terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan.” Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan
Emosional,” dalam Emotional Intelligence,
terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 127. Lebih
lanjut menurut Gardner, flow dan
keadaan positif yang mencirikannya sebagai salah satu cara paling sehat untuk
mengajar anak-anak. Juga memberi motivasi mereka dari dalam diri, bukannya
dengan ancaman atau iming-iming.
Dengan kata lain, pendidik harus menggunakan keadaan positif anak-anak untuk
membuat mereka tertarik mempelajari bidang-bidang di mana mereka dapat mengembangkan
keahlian. Flow merupakan keadan batin
yang menandakan seorang anak sedang tenggelam dalam tugas yang cocok. Anak
didik harus menemukan sesuatu yang disukainya dan menekuninya baik-baik. Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan
Emosional,” hlm. 132.
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2007), hlm. 101-102.
“Jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni, tradisi dan termasuk
agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid sebagaimana sains. Di
sini [menurut pandangan posivistik] derajat sains memang menjadi lebih tinggi
dari segalanya. Maka pendidikan Islam sebagai pendidikan yang berbasis Islam,
akan sangat sulit memasuki diskursusnya [wacana], atau paling tidak perjuangan
penuh liku harus terlebih dulu dilaluinya.” Lihat,
Muslih, “Pendidikan Islam
dalam,” Hunafa: Jurnal Studia Islamika,
diakses tanggal 21 Desember 2014.
Menurut Amin
Abdullah sebagaimana ditulis Suharyanta dan Sutarman bahwa “konsep pendidikan
agama yang rahmatan lil al-‘alamin
merupakan wahyu Tuhan yang menjanjikan kebahagiaan hidup manusia dengan
memberikan konsep aturan kehidupan yang berupa aturan dan nilai-nilai ajaran
agama meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan
hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Sumber kebenaran, etika,
hukum, kebijaksanaan, dan pengetahuan dalam segala aspeknya memang berasal dari
agama. Agama tidak pernah mengajarkan bahwa wahyu Tuhan hanya sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam,
yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari
manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris. Agama memberikan
aturan bagaimana sebuah kebenaran ilmu dapat diukur, bagaimana ilmu diproduksi,
dan bagaimana seharusnya tujuan-tujuan ilmu diarahkan. Dimensi aksiologi [kebermanfaatan ilmu] dalam teologi ilmu
ini penting untuk digarisbawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu [termasuk
pengembangan pendidikan Islam]. Selain ontologi dan epistemologi keilmuan,
agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan. Ilmu yang lahir dari induk
agama harus menjadi ilmu yang objektif. Dalam artian, bahwa ilmu yang
dihasilkan tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama, dan
anti agama sebagai nilai normativitas semata, tetapi sebagai gejala keilmuan
objektif, meliputi sisi historisitas-empirisitas. Maka objektifikasi ilmu
merupakan hasil dari pemikiran dari orang-orang beriman untuk seluruh manusia
yang bersifat menyejukkan dan damai bukan sebaliknya. Jadi, hakikatnya
pengetahuan itu haruslah objektif, artinya harus dapat dirasakan dan bermanfaat
bagi seluruh umat manusia.” Lihat,
Suharyanta dan Sutarman, “Relevansi Epistemologi Keilmuan
Integratif-interkonektif Amin Abdullah bagi Ilmu Pendidikan Islam,” Mukaddimah,
Vol. 18, No. 1, 2012: hlm. 55-76, dalam http://www.aljamiah.org/mukaddimah/index.php/muk/article/download/6/6, didownload tanggal 18 Februari 2015.
James A. Marcum, Thomas Kuhn’s Revolution: An Historical
Philosophy of Science (New York: Coontinum, 2005), hlm. 68, 75.
Basuki, “Jejak Paradigma Kuhn,”
diakses tanggal 23 September 2014.
Anonim, “Pemikiran Karl Poper dan
Thomas Kuhn tentang ‘Science’. Apa Persamaan dan Perbedaannya?”, dalam http://www.wisnudewobroto.com/pemikiran-karl-popper-dan-thomas-kuhn-tentang-%E2%80%9Dscience%E2%80%9D-apa-persamaan-dan-perbedaannya/,
diakses tanggal 23 September 2014.
Mujtahid, “Islam
dan Nalar Ilmiah,” dalam http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1943:islam-dan-nalar-ilmiah-2&catid=35:artikel&Itemid=210, 12 Februari 2011, diakses tanggal 18
Februari 2015.