Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Tanya Jawab Tentang Pengembangan Pendidikan Agama Islam pada Pendidikan Anak Usia Dini, Sekolah/Madrasah, Pendidikan Tinggi, dan Pondok Pesantren



Tanya Jawab Tentang Pengembangan Pendidikan Agama Islam pada Pendidikan Anak Usia Dini, Sekolah/Madrasah, Pendidikan Tinggi, dan Pondok Pesantren





1.    Bacalah secara kritis 4 buku dan majalah tentang pengembangan pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah dan perguruan tinggi (berbahasa Inggris/bahasa Arab, atau berbahasa Indonesia).
a.    Baca secara kritis, ambilah 2-3 bab dari masing-masing isi buku dan ikhtisarkan kemudian buatlah kesimpulan secara menyeluruh (setiap sumber harus disebutkan dan dilampirkan)!
Jawab:
1)      A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015)
Iktisar bab 3 dan bab 4:
a)      Bab 3: memuat tentang “pengembangan PAI berbasis kecerdasan beragam (multiple intelligences)” yang ulasannya disarikan dari teori Howard Gardner. Di mana, dalam bab ini bahasannya menitik tekankan pada kesadaran pendidik terhadap keberagaman kondisi latar belakang peserta didik. Dengan asumsi, setelah pendidik mengetahui potensi, bidang, atau jenis kecerdasan peserta didik dengan cara tepat maka yang harus dilakukan ialah memberikan mereka kesempatan peserta didik untuk mengembangkan bidang kecerdasannya. Dengan kata lain, pendidik tidak boleh mengarahkan peserta didiknya untuk senantiasa fokus menguasai satu bidang kecerdasan saja.
b)      Bab 4: memuat tentang “masalah terorisme dan pengembangan konsep human security melalui pendidikan agama Islam berbudaya nirkekerasan” yang ulasannya disarikan dari beberapa pendapat ahli sosiologi, ahli ilmu agama, dan ahli pendidikan. Di mana,  dalam bab ini bahasannya menitik tekankan pada kesadaran pendidik terhadap potensi kekerasan yang dimiliki oleh peserta didik sehingga suatu saat nanti bisa berpotensi melakukan kekerasan. 





  Dengan asumsi, pendidik PAI harus mengetahui terlebih dahulu tentang konsep terorisem dan human security sehingga bisa menemukan paradigma yang tepat dalam mengembangakan PAI berbudaya nirkekerasan. Dengan kata lain, PAI sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional bisa berperan aktif dalam melakukan pencegahan tindakan kekerasan bahkan terorisme melalui penanaman nilai-nilai luhur Islam yang universal. Salah satunya ialah bagaimana Islam sebagai agama rahmatan lilalamin mampu dikenalkan lantas mampu diterapkan oleh peserta didik dalam menanggulangi bahkan melawan tindakan kekerasan maupun terorisme dalam dirinya sendiri maupun di luar dirinya dengan cara cerdas, elegan, bijaksana, dan berbasis nirkekerasan.
c)      Kesimpulan menyeluruh: Buku ini terdiri dari 7 Bab. Di mana Bab I Pendahuluan isinya terkait “konsep dasar” tentang Pengembangan Pendidikan Agama Islam. Maksud dibuatnya Bab ini ialah agar pembaca bisa mengetehui (secara tidak langsung) tentang apa-apa yang “dikehendaki” buku ini. Oleh karena itu, Bab ini menjadi pijakan penting bagi Bab-bab berikutnya, sehingga penjelasan secara rinci tentang istilah-istilah penting sebagai kata kunci mutlak diperlukan. Bisa dikatakan Bab ini sebagai penunjuk arah, dengan harapan tidak terjadi pemahaman yang melebar ke mana-mana terkait pengembangan PAI. Secara gamblang, di dalamnya terdeskripsikan pengertian pengembangan Pendidikan Agama Islam, urgensi pengembangan PAI, kerangka acuan pengembangan PAI, ruang lingkup pengembangan PAI, hal-hal yang terkait dengan pengembangan PAI, dan sistematika isi buku.
Dalam Bab II berisi penjabaran tentang mekanisme revolusi ilmu pengetahuan yang diusung oleh Thomas S. Kuhn. Kemudian dari gagasan tersebut dihubungkan dengan upaya pengembangan PAI dalam konteks kekinian. Apakah gagasan Kuhn bisa “menolong” dan menguatkan PAI sebagai suatu kajian yang bernilai ilmiah. Serta tentunya sebagai landasan filosofis dan nilai-nilai dasar (intagibel asset) mengapa pengembangan PAI itu perlu dilakukan. Bab ini juga membahas gambar “bukit paradigma,” yang disajikan secara imajinatif tentang bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan itu bisa berjalan secara revolusioner. Oleh karena itu, bukan suatu hal berlebihan bila dikatakan Bab ini menjadi dasar penting bagi Bab-bab selanjutnya. Salah satunya, sebagai landasan filosofis mengapa pengembangan PAI itu perlu diadakan terus-menerus.
Adapun Bab III lebih menekankan pada aspek psikologisnya, yaitu terkait teori multiple intelligences yang diprakarsai oleh ahli psikologi Howard Gardner. Tujuannya, untuk mengetahui apakah hasil ide Gardner tersebut sepenuhnya relevan dengan PAI. Ataukah PAI bisa melakukan pengembangan “tambahan,” sebagai penyempurna dari gagasan Gardner tersebut? Berangkat dari dialektika antara keduanya maka pada bagian ini menjadi acuan bagi Bab-bab berikutnya. Hal ini karena secara eksplisit Bab ketiga dapat membantu pendidik mengetahui aspek psikologis beserta latar belakang kehidupan peserta didik (pengembangan PAI berbasis psikologis). Dengan asumsi, setelah mengetahui kondisi psikologis (utamanya latar belakang jenis kecerdasannya) peserta didik –salah satunya dengan pretes psikologis—maka dapat membimbing dan menerangi kebijakan pengembangan PAI di bidang lainnya.
Pada Bab IV, diuraikan tentang sudut pandang sosiologisnya. Yakni, membahas masalah terorisme dan konsep human securty. Secara detail, teori-teori dalam Bab ini ingin menunjukkan bahwa di luar gedung lembaga pendidikan terdapat fenomena-fenomena sosial yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Salah satunya untuk mengetahui bagaimana suatu tindakan terorisme sebagai salah satu bentuk kekerasan bisa terjadi. Serta pengembangan PAI seperti apa yang dilakukan untuk meminimalisir bahkan menghilangkan terorisme hingga ke akar-akarnya. Bagaimanapun, fenomena sosial di luar lingkungan gedung lembaga merupakan aspek yang tidak kalah penting untuk dijadikan alasan sebuah pengembangan PAI dilakukan. Harapannya, PAI bisa berkonstribusi positif bagi negara Indonesia dalam membangun dan menciptakan budaya manusia Indonesia yang produktif dalam bidang positif, cinta damai, dan toleran. Oleh karena itu, Bab ini pantas dijadikan pijakan penting bagi Bab-bab selanjutnya, karena sebelum mengadakan pengembangan kelembagaan maka terlebih dahulu perlu meninjau dulu kondisi sosial masyarakat.
Sedangkan pada Bab V membicarakan tentang bentuk-bentuk pendidikan Islam di Indonesia meliputi madrasah, pesantren, dan sekolah. Maksud dibuatnya Bab ini ialah untuk mengetahui aspek kesejarahan dari bentuk-bentuk lembaga pendidikan tersebut. Kemudian diuraikan tentang konsep-konsep kelembagaan seperti apa yang telah berubah hingga berjalan seperti sekarang ini. Serta bagaimana ke depannya dalam pengembangan PAI yang ideal disesuaikan dengan kondisi maupun bentuk pendidikan Islam pada masing-masing lembaga itu sendiri. Bab ini menjadi landasan dasar bagi bab VI. Alasannya, sebelum mengadakan pengembangan kelembagaan PAI pada Perguruan Tinggi maka terlebih dahulu penting untuk mengetahui dulu kondisi pengembangan kelembagaan PAI pada jenjang pendidikan sebelumnya.
Bab VI mengupas tentang pengembangan pendidikan Islam di PTAI yang difokuskan pada pengembangan program studinya. Keunikan dalam Bab ini yaitu adanya landasan fondasional dan landasan operasional pengembangan PAI yang sulit ditemukan dalam buku lain. Di dalamnya juga menggambarkan tentang langkah-langkah pengembangannya. Serta diakhiri dengan semangat integrasi ilmu di lembaga PTAI. Sedangkan untuk bab terakhir, yaitu BAB VII Penutup berisi tentang refleksi dan kontemplasi dari semua pemaparan yang telah disampaikan. Mengungkap beberapa motivasi, rekomendasi, dan catatan penting dari penulis.

b.   Atas dasar bacaan tersebut, lakukan analisis landasan filosofis, teoritis, dan empiris pengembangan PAI di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT!
Jawab: Pendidikan Agama Islam merupakan suatu usaha mengkaji ilmu secara terencana untuk membentuk peserta didik menjadi manusia beriman, serta dengan sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan yang sedang atau akan ditempuhnya. Hal itu artinya, dalam segala lingkungan kehidupan peserta didik kelak mampu memilih dengan tegas terhadap adanya “dilema etika.” Yakni, antara kenyataan bisa berpeluang melakukan tindakan negatif untuk memuluskan keinginan (ego pribadi) kemudian ditandingkan dengan landasan moral yang sesuai dengan cita-cita Islam. Dalam pengertian tersebut, salah satu kedudukan PAI ditegaskan sebagai “usaha mengkaji ilmu.” Hal ini menandakan, kegiatan yang ada padanya merupakan upaya ilmiah. Artinya, apa-apa yang dilakukan tidak bersifat statis, sehingga bisa dikembangkan. Oleh karena itu, PAI secara asali semestinya mempunyai jiwa dan semangat perubahan menuju terbaik. Baik perubahan yang disebabkan reaksi maupun antisipasi atas “kenyataan” baru. Baik yang berada dalam sistem maupun di luarnya. Dengan demikian, PAI bukan kegiatan yang semata-mata mengarah pada kegiatan pendoktrinan peserta didik. Kendati demikian, fokus utama PAI tetap harus jelas. Yakni, berupaya membentuk peserta didik menjadi manusia beriman. Serta sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala sektor dan sistem kehidupan[1] yang sedang atau akan ditempuh mereka.[2]
Lebih aplikatif, Pendidikan Agama Islam sesungguhnya tidak hanya tertuju pada lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan pesantren. Pelaksanaan PAI juga dilaksanakan oleh negara maupun masyarakat pada semua lembaga pendidikan berbentuk sekolah seperti SD, SMP, SMA, dan SMK. Serta tentunya pengembangan PAI yang dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan tidak menutup kemungkinan bagi Perguruan Tinggi Umum (PTU). Selain itu, pengembangan PAI tidak melulu terjadi pada tataran pembelajarannya yang meliputi tujuan, materi, strategi, evaluasi, dan seterusnya. Namun, juga melingkupi beberapa pengembangan lainnya, seperti pengembangan syiar Islam melalui lembaga pendidikan, kurikulum, manajemen kelembagaan, landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologis, dan lain sebagainya. Dengan demikian, diharapkan efek dan maksud diadakannya pengembangan PAI tidak hanya untuk memudahkan pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, juga bisa berpengaruh positif bagi masyarakat luas, negara, dan seluruh umat manusia. Secara gamblang dapat dikategorisasikan pengembangan PAI di lembaga pendidikan sebagaimana penulis kembangkan (ubah sesuaikan) dari gambar Sutrisno dan Muhyidin berikut ini: [3]

 











Kategorisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan
(Gambar dirubah seperlunya)
Skema tersebut menggambarkan bahwa yang dimaksud PAI di sini ialah kegiatan pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Sedangkan PAI di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada umumnya tidak terlalu ditekankan dalam berbagai pembahasan karya tuli. Padahal, pembahasan secara khusus tentang PAI di PAUD secara detail, seperti halnya pada jenjang pendidikan lain (pesantren, madrasah, sekolah, dan PTAI) sangat penting. Meskipun, untuk PAUD dalam pasal 14 Undang-undang Sisdiknas 2003 tidak disebutkan sebagai salah satu jenjang pendidikan formal akan tetapi ia tidak bisa diabaikan begitu saja. Dijelaskan bahwa “Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.” Diperjelas dalam pasal 26 ayat 3 bahwa “Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan  hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.” Namun, kenyataannya di pasal 28 ayat 2 juga dijelaskan “Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.”[4] Hal ini bukan berarti jenjang pendidikan usia dini tidak penting. Bagaimanapun, kajian tentang pengembangan PAI pada PAUD secara istemewa dibutuhkan kajian tersendiri.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan Pendidikan Agama Islam berarti suatu proses kerja cermat untuk merubah hal-hal yang terkait dengan produk (konsep dan benda) atau karya manusia dalam membangun pendidikan Islam agar menjadi lebih baik pada segala aspeknya dan lebih luas pengaruh maupun kemanfaatannya dari sebelumnya. Artinya, yang dirubah dalam pembangunan PAI di sini bukan teks-teks (redaksi) sumber dan landasan pokoknya yaitu al Quran dan Hadith. Akan tetapi salah satunya melakukan reinterpretasi terhadap pemahaman ilmuwan (ulama). Khususnya tafsir ulama “pendidikan” terdahulu terhadap teks-teks yang tidak lagi relevan dengan modernitas. Atau sebaliknya, “menemukan” atau merevitalisasi[5] pemahaman dan praktik ilmuwan terdahulu yang ditinggalkan oleh ilmuwan pendidikan sakarang tapi sangat relevan dengan hari ini. Dengan demikian suatu pengembangan bukan hanya sebuah akibat tapi juga bisa menjadi sebab. Serta adanya pengembangan tidak hanya untuk memperbaiki sesuatu yang ada tapi juga untuk mencegah hal-hal negatif.
Lebih dari itu, pengembangan PAI menyangkut ketercapaian Indonesia bisa menjadi negara maju merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam sistem pendidikan Nasional. Dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia tidak akan bisa lepas dari kebudayaan umat Islam, utamanya masalah pendidikan Islam. Asumsinya, pendidikan termasuk pendidikan Islam punya andil besar dalam mewujudkan peradaban unggul bangsa. Bila ditilik dari tinjauan sejarahnya pun ternyata dinamika Pendidikan Islam berjalan secara menakjubkan. Dimulai dari masa kelahirannya hingga tumbuh kembang, lalu terjadilah masa kemajuan Pendidikan Islam. Di mana pada masa kejayaan itu pendidikan Islam telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar yang berpengaruh bagi negaranya. Bahkan juga berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern Barat. Meski, setelah itu karena minimnya daya intelektualitas dan ide “pengembangan” menyebabkan pendidikan Islam memasuki masa kemundurun. Baru pada sekitar awal abad 20-an akhirnya terdapat tanda-tanda spirit kebangkitan pendidikan Islam melalui beberapa pengembangan yang dilakukan hingga sekarang ini.
Pada dasarnya, pengembangan PAI diperlukan bagi umat Islam dan bangsa Indonesia untuk mencetak generasi unggul. Yakni, unggul sesuai dengan bidang kecerdasan masing-masing, salah satu contohnya dalam bidang sosial atau kealaman. Dengan pengembangan tersebut, PAI bisa membangkitkan kejayaan (kemajuan) pendidikan Islam. Tentu yang dibangkitkan ialah semangat keilmuan, keintelektualitasan, dan hasilnya bisa mencerahkan[6] bagi masyarakat lain. Dari itu, PAI akan terus-menerus mencetak ilmuwan yang mampu melahirkan IPTEK berlandaskan Islam. Salah satu fungsinya sebagai penyeimbang IPTEK sekuler yang pergerakannya semakin liar. Dalam artian, pengembangan IPTEK sekuler telah meningkatkan potensi dehumanisasi. Selain juga, ke depannya PAI dapat menciptakan situasi sosial-politik –khususnya di Indoneisa— menjadi lebih kondusif untuk mewujudkan keamanan, kedamaian, keadilan, meminimalisir kemiskinan, dan tercapainya kesejahteraan.
Lebih terperinci, pengembangan PAI pada setiap jenjang dan bentuk pendidikan Islam semakin mendesak untuk dilakukan. Mengingat, terdapat beberapa permasalahan yang tak terbendung lagi dan perlu ditanggulangi pada akhir-akhir ini. Misalnya, pertama masalah politik seperti korupsi, politik uang, nepotisme, kecurangan pemilu maupun pilkada, dan pejabat partisan yang hanya peduli pada sebagian kelompok masyarakat. Kedua masalah ekonomi meliputi terjadi jurang kesenjangan antara rakyat miskin dengan kaum borjuis, lapangan kerja yang minim, dan kurangnya semangat pemuda dalam berwirausaha. Ketiga masalah sosial-kemasyarakatan mencakup perilaku seks bebas maupun seks menyimpang, maraknya ayam kampus, kasus mutilasi, kasus kekerasan hingga terorisme, dan ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan alam.
Keempat masalah keilmuan terdiri dari minimnya ilmuwan pengetahuan umum yang menghayati agamanya dalam menciptakan teknologi, minimnya penciptaan-penciptaan yang bisa bermanfaat bagi kemajuan bangsa, dan masih ada kecenderungan dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum. Kelima, masalah “pergesekkan” antar ormas Islam yang menjurus pada hal-hal negatif, seperti perpecahan. Padahal semestinya gesekan tersebut bisa mengarah positif, yaitu dalam bingkai berlomba-lomba dalam bidang kebaikan dan takwa. Di mana tidak bisa tidak energi umat Islam bukan dihabiskan untuk “melawan” umat Islam sendiri. Namun, untuk berlomba-lomba mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga bisa bermanfaat bagi umat Islam pada khususnya dan tentunya untuk rakyat Indonesia lainnya.
Dari pernyataan di atas, pengembangan PAI merupakan salah satu bentuk nyata penyokong pengembangan kebudayaan di masyarakat. Artinya, untuk sekian kali ditekankan PAI sudah semestinya berkonstribusi dalam membangun kebudayaan unggul. Yakni, salah satunya kebudayaan yang bercirikan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan, cinta damai, berkarya serta mengabdi bagi masyarakat, dan inspiratif. Dengan asumsi, suatu pengembangan budaya (dalam bidang apapun itu) tidak akan bisa lepas dari perkembangan budaya dalam bentuk atau bidang lainnya di masyarakat. Baik budaya yang berwujud “ide atau gagasan” seperti penggunaan bahasa dalam komunikasi, maupun berwujud “benda” seperti teknologi berwujud telepon seluler. Dengan kata lain, pengembangan PAI terjadi karena dipengaruhi oleh perkembangan budaya lainnya, begitu pula sebaliknya. Misalnya, merebaknya budaya “melek” teknologi informasi menyebabkan generasi muda mampu menerima informasi dengan cepat dan mudah. Hal tersebut menuntut adanya pengembangan PAI berbasis teknologi informasi. Sebaliknya, dengan adanya pengembangan PAI berbasis teknologi informasi, maka bisa menggugah para ahli teknologi informasi maupun ilmuwan terkait untuk semangat dalam menciptakan media dan sumber pembelajaran PAI yang canggih.
Dari semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan PAI merupakan gagasan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Bahkan bila dilakukan dengan konsisten (tetap berlandaskan pada al Quran dan Hadith) bisa mencapai derajat “keutuhan” dalam beragama. Pengembangan PAI juga menjadi faktor penting bagi kesuksesan mewujudkan kemajuan negara Indonesia. Mengingat, kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural dan senantiasa rentan dengan gesekan-gesekan. Dapat dikatakan, pengembangan PAI menjadi langkah penting untuk tercapainya tujuan pendidikan Nasional. Terlebih, PAI merupakan bagian dari sistem pendidikan yang tidak dapat dipisahkan dari lainnya. Selain itu, dengan adanya pengembangan akan bisa memudahkan pendidik, peserta didik, serta seluruh manusia yang peduli dan terlibat pendidikan Islam dalam mewujudkan tujuan PAI. Oleh karena itu,  pengembangan PAI dimaksudkan tidak hanya untuk mengatasi permasalahan, akan tetapi juga bisa memberikan pencegahan terhadap masalah yang berpotensi terjadi.
Seorang pendidik PAI idealnya secara adaptif dan kreatif bisa melakukan pengembangan Pendidikan Agama Islam. Hal ini sangat penting karena merekalah yang sering berinteraksi dengan peserta didik, sehingga tidak mustahil mereka bisa mengetahui keadaan pendidikan Islam di lapangan secara utuh. Asumsinya, masukan atau anjuran dari pemerintahan pusat bahkan kadang di pemerintahan daerah sekalipun belum tentu cocok untuk diaplikasikan di ranah “nyata.” Begitu pula masukan dari ilmuwan Pendidikan Islam, dari tokoh agama, maupun dari pengkonsep lainnya belum tentu bisa menyelesaikan masalah secara baik dan komprehensif di satuan lembaga.[7] Bisa dikatakan, pendidiklah figur sejati pengembangan PAI. Oleh karena itu, sosok pendidik sudah seharusnya bisa menjadi panutan di segala hal dan bidang positif. Utamanya teladan dalam sikap progesif atau dinamis, sehingga selalu terbuka untuk menghadapi dan mengantisipasi perubahan. Bahkan bila perlu menuju level lebih tinggi, yaitu mengadakan “tandingan” pengembangan yang jauh lebih positif.
Sudah barang tentu, untuk mengadakan pengembangan eloknya pendidik mengembangkan keterampilan dan kompetensinya. Salah satunya, kemampuan dalam penelitian –terutama kemampuan menganalisis masalah— sehingga bisa menyelesaikan secara praktis permasalahan pendidikan.[8] Selain juga, pendidik mampu bekerja sama dengan seluruh manusia yang ada di dalamnya untuk menyukseskan program pengembangan tersebut. Dapat dikatakan, pengembangan pendidikan Islam tidak lain merupakan hasil dari proses controlling dalam mewujudkan harapan yang diinginkan. Artinya, apabila suatu upaya terkait dengan pendidikan Islam dirasa tidak “ampuh” lagi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efesien maka sudah barang tentu suatu pengembangan mesti dilakukan. Namun, kadangkala suatu pengembangan di lembaga tidak serta merta bisa dilakukan oleh seorang pendidik atau sekelompok pendidik. Suatu pengembangan mesti menjadi program yang disepakati dan dijalankan bersama oleh seluruh civitas pendidikan melalui peran mereka masing-masing. Dengan kata lain, suatu pengembangan tidak boleh dilakukan secara serampangan, tidak asal melakukan pengembangan, dan harus berorientasi pada tujuan konkrit.
Dalam setiap pengembangan PAI yang dilakukan juga wajib melihat landasan (rambu-rambu) baik yang bersifat formal (Undang-undang, peraturan pemerintah, dll) maupun nonformal (adat istiadat, kearifan lokal, kondisi manusia, dll). Di antara landasan formalnya adalah pertama untuk semua jenjang dan bentuk pendidikan Islam landasannya terdiri dari: Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Amandemen IV, Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendididikan Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dll.
Kedua untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi: Peraturan Menteri Agama RI No. 90 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah, Peraturan Menteri Agama RI No. 29 tahun 2014 tentang Kepala Madrasah, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia 211 tahun 2011 tentang Pedoman Pengembangan Standar Nasional Pendidikan Agama Islam pada Sekolah, dll. Ketiga untuk jenjang Pendidikan Tinggi mencakup: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 49 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembanan Kepribadian di Perguruan Tinggi, dll.
Keempat Undang-undang dan peraturan yang tidak terkait secara langsung dengan pendidikan tapi juga penting sebagai dasar pengembangan PAI diberbagai bidang, seperti: 1) Bidang kesosialan: Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang, Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Undang-undang No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, Undang-undang No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas), Undang-undang No. 13 tahun 2011 tentang Penangan Fakir Miskin, Undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-undang no. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan, dll.
2) Bidang kealaman (lingkungan): Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 1 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, Undang-undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantas Perusakan Hutan, dll. 3) Bidang administrasi: Undang-undang No. 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, Undang-undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-undang No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, Undang-undang No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-undang No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan, dll. Serta tentunya Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah lainnya yang relevan dengan pengembangan PAI.
Adapun landasan nonformalnya yaitu pertama landasan filosofis[9] yang melingkupi: berorientasi pada kearifan lokal (al ‘urf atau local wisdom), tidak ada dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum, semua manusia punya hak sama dan seimbang untuk berkembang, proses pengembanan bersifat fleksibel sehingga selalu terbuka untuk penyempurnaan, dll. Kedua landasan psikologis mencakup: manusia mempunyai kebutuhan kejiwaan yang tidak boleh dilanggar, manusia mempunyai kecerdasan (kemampuan) yang berbeda dalam menghadapi kehidupan, manusia secara umum memerlukan pengakuan dan perlakuan secara wajar dalam komunitasnya, dll. Ketiga landasan sosiologis meliputi: peristiwa terbaru yang sedang terjadi di mayarakat, kondisi makro sosial masyarakat, dinamika kehidupan masyarakat, dll. Keempat landasan historis, terdiri atas: meneruskan cita-cita mulia para ulama dan pahlawan terdahulu, memperbaiki kekurangan yang masih belum terselesaikan di masa lalu, mengacu pada tujuan Islam maupun tujuan didirikannya negara Indonesia, dll.
Selain landasan formal dan nonformal, pengembagan PAI perlu memperhatikan prinsip-prinsip yang tidak kalah penting. Di antaranya merupakan sebagai berikut:
1)        Setiap pengembangan yang dilakukan tidak menyebabkan permasalah baru di bidang lain. Misalnya, pengembangan SDM pendidik dengan bentuk memberikan pelatihan dan penaikan gaji –karena caranya tidak tepat dan pilih kasih— menyebabkan kecemburuan sosial antar pegawai sehingga menimbulkan ketidaknyamanan hingga timbul perpecahan.
2)        Setiap pengembangan dilakukan tidak untuk tujuan oportunis-pragmatis. Misalnya, untuk “mengenyangkan” perutnya sendiri atau kelompoknya sehingga terjadi missing link (ketidakpaduan) tujuan antar pengembang PAI dalam lingkup yang lebih besar lagi.
3)        Setiap pengembangan tentu peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4)        Setiap pengembangan harus relevan dengan kebutuhan kehidupan masa kini, bahkan bila perlu untuk beberapa tahun yang akan datang.
5)        Setiap pengembangan yang berhasil dilakukan tidak boleh merasa puas dan berhenti sampai di situ, karena pengembangan PAI merupakan proses yang terus berjalan sepanjang hayat. Sebagaimana prinsip long life education dalam memaknai hidup ini.
6)        Adanya keseimbangan antara kepentingan umat Islam dengan kepentingan nasional.
7)        Pengembangan tidak hanya untuk memecahkan masalah, akan tetapi untuk senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas kehidupan manusia.
8)        Terus-menerus mengadakan kontrol dan evaluasi pada setiap pengembangan yang dilakukan.
9)        Pengembangan PAI merupakan bagian dari rekayasa sosial. Oleh karena itu, ia dihadapkan pada beberapa pilihan. Yakni, terseret arus pengembangan yang ada, bertahan pada keadaan lama dengan resiko ditinggalkan, atau mengadakan pengembangan sendiri yang hasilnya dimungkinkan jauh lebih baik dari pada “diam” saja.
10)    Pengembangan PAI merupakan bentuk investasi “kebahagiaan”
bagi umat Islam, negara Indonesia, dan seluruh umat manusia.
11)    Pengembangan PAI bisa berjalan lancar bila seluruh manusia yang terlibat mempunyai kemampuan mapan, perencanaan matang, terorganisir, semangat, kesadaran, dan komitmen tinggi.
12)    Pengembanan senantiasa memiliki landasan yang kuat, bukan hanya semata-mata supaya tercipta suasana baru atau demi mengejar prestise.
13)    Terdapat nilai-nilai dasar pengembangan yang dijunjung bersama sebagai intagible asset bagi lembaga pendidikan Islam. Misalnya, seluruh manusia yang ada di dalamnya meyakini atau menilai bahwa proses pengembangan PAI merupakan bagian dari Ibadah yang kemungkinan besar pahalanya lebih banyak dari pada tidak melakukan pengembangan.

c.    Jelaskan teori belajar dan pembelajaran yang lebih cocok dan dibutuhkan dalam pembelajaran PAI di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT ditinjau dari landasan/dasar/asumsi, ciri, prinsip-prinsip teori dan proses perkembangan berpikir, sosial, emosi, dan spiritual!
Jawab: Sebelum membahas secara mendalam tentang teori pembelajaran PAI di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT maka terlebih dahulu akan lebih baik bila melihat keadaan latar belakang peserta didik pada masing-masing lembaga pendidikan yang ada PAI-nya. Hal ini karena kondisi peserta didik satu sama lain akan sangat berbeda bila dilihat dari jenjang pendidikan maupun bentuk pendidikan (pendididikan umum dan pendidikan agama) yang peserta didik atau orang tua pilih. Dengan kondisi yang berbeda itu maka seharusnya konsep dan praktik pembelajaran PAI di setiap jenjang maupun bentuk pendidikan harus berbeda. Bahkan antara satu lembaga dengan lembaga pendidikan lainnya juga harus berbeda. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap peserta didik mempunyai kemampuan dan minat yang berbeda satu sama lain. Bilapun ada persamaan kemampuan dan minat tentu cara perlakuannya harus berbeda, karena pasti ada perbedaan lainnya yang perlu digali diantara peserta didik itu yang sangat mungkin menjadi faktor keberhasilan pembelajaran PAI.
Bagaimanapun, sistem pembelajaran PAI di setiap lembaga pendidikan tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, untuk diketahui sebab akibat dari hasil pembelajarannya tidak akan pernah lepas dari sistem lainnya. Idealnya terdapat komponen penyokong baik di dalam maupun luar sekitarnya untuk tercapainya tujuan pembelajaran PAI. Komponen tersebut yang pertama berbentuk komponen fisik meliputi manusia, sarana prasarana, media pembelajaran, Masjid, laboratorium PAI, buku pedoman penyelenggaraan PAI, dan ruang khusus Dosen PAI untuk pengembangan diri serta sarana lain yang dipandang dibutuhkan. Sedang yang kedua berbentuk komponen non fisik meliputi latar belakang mahasiswa Islam, kepedulian pengelola lembaga terhadap perkembangan PAI, regulasi penyelenggaraan pembelajaran PAI yang seimbang dengan materi pembelajaran lainnya, dan antusiasme pendidik PAI untuk pengembangan diri (ikut workshop, pelatihan, seminar, ataupun kegiatan lain yang berperan dalam peningkatan kualitas).[10]
Terlebih lagi pembelajaran PAI pada Perguruan Tinggi lebih membutuhkan perhatian khusus. Hal ini karena mahasiswa sebagai peserta didik dipandang sebagai manusia yang sudah pada tahap pencapaian kematangan (kedewasaan) secara fisik, psikologis, dan cara berfikirnya. Mereka sudah mampu secara rasional pada dirinya sendiri dalam penentuan sikap, pengambilan keputusan, dan pengolahan terhadap resiko untuk setiap permasalahan yang dihadapi. Maka tentulah cara belajar antara di perguruan tinggi dengan di sekolah sangatlah berbeda karena berbeda pula suasana lingkungan belajar, strategi, dan bentuk tuntutan tugas-tugasnya. Selain itu yang menjadi ciri utama di perguruan tinggi adalah adanya kegiatan-kegiatan berupa pengabdian masyarakat dan penelitian ilmiah. Semua kegiatan itu diperlukan kematangan pola fikir ilmiah yang harus dimiliki mahasiswa. Lebih detailnya, mahasiswa sebagai pembelajar di perguruan tinggi punya perbedaan jenjang, usia, dan tingkatan kedewasaan berfikir yang jauh lebih matang. Apabila hal tersebut dibandingkan dengan pembelajar lain yang berada di tingkat pendidikan menengah seperti SMA, MA, SMK, dan MAK terlebih lagi pada tingkat pendidikan dasar seperti SMP, MTs, MI, dan SD atau bentuk lain yang sederajat. Hal ini selaras dengan pendapat Hisyam Zaini dkk. yang dikemukakan tentang “pembelajaran untuk mahasiswa di perguruan tinggi seyogyanya dibedakan dengan proses pembelajaran untuk siswa sekolah menengah.”[11] Oleh karena itu, sebagaimana juga disampaikan oleh Yahya Ganda bahwa sistem pembelajaran di perguruan tinggi harus dibedakan dengan sistem pembelajaran di pendidikan tingkat menengah dan dasar.[12]
Sebagai upaya pendalaman pembahasan tentang mahasiswa maka menurut Agus M. Hardjana semua pengarahan dan masukan dari Dosen kepada mahasiswa sebaiknya diolah dan dikaji penuh pendalaman (klarifikasi), serta mahasiswa seharusnya tidak sangat tergantung dan total dipengaruhi oleh pengarahan dan pemikiran Dosen.[13] Hal yang semakna disampaikan oleh E. P Hutabarat bahwa bahan atau materi pembelajaran ilmu pengetahuan umum yang disajikan oleh Dosen harus dikritisi oleh mahasiswa, yang mana bahan pembelajaran merupakan sebuah ‘fakta’ yang masih bisa berubah karena sebuah materi tersebut dilahirkan berdasarkan dari penelitian. Oleh karena itu Dosen bukan sekedar alat penyampai informasi, namun juga dilakukan penyampaian dan pemeriksaan kembali oleh Dosen terhadap dasar serta alasan kepada mahasiswa kenapa informasi tersebut harus dipercayai. Dengan asumsi mahasiswa harus aktif dalam pencarian referensi atau sumber ilmu lain yang berperan dalam peningkatan keilmuan. Walau demikian seharusnya sikap kritis dan rasional mahasiswa ini tidak menjadi sebuah ancaman bagi Dosen PAI, malah sebaliknya menjadi sebuah tantangan bagi Dosen PAI dalam pengembangan materi PAI sehingga bisa menjadi kajian keilmuan yang menarik seperti halnya ilmu pengetahuan umum.[14]
Hal tersebut hampir sama esensinya sebagaimana menurut Andreas Anangguru Yewangoe menyampaikan tentang sosok mahasiswa adalah seorang yang punya daya intelektual diharapkan mampu dalam proses pemilihan dan pemilahan ‘kebenaran’ sebuah persoalan secara kritis dan objektif. Selain itu mahasiswa dalam pergaulan sehari-hari dipandang cenderung mampu untuk penolongan seseorang dalam pengambilan jarak dengan permasalahan-permasalah dan mampu dalam pemberian solusi untuk membantu seseorang.[15] Dengan demikian mahasiswa sebagai manusia ‘ilmiah’ bisa berperilaku serta berfikir ilmiah, memiliki nalar yang kritis, logis, dan sistematis tidak hanya saat di perguruan tinggi saja namun saat lulus studi dari perguruan tinggi.[16] Oleh karena itu rasa cinta pada ilmu pengetahuan umum sekaligus ilmu pendidikan Islam secara integratif hendaknya tetap dimiliki mahasiswa setelah lulus.
Lebih detail, menurut Piaget sebagaimana dikutip Efendi menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan normal maka perkembangan kognitifnya akan melalui tahapan sebagai berikut:[17]
1)   Tahap senorimotor (usia antara 0-2 tahun), pada tahapan seorang anak secara intensif menggunakan sensomotirik dalam melakukan pengamatan dan pengindraan terhadap sekitarnya. Capain maksimal yang dapat terjadi pada tahapan ini adalah perkembangan bahasa, kemampuan mengkonsep objek, mengontrol skema, dan bahkan mulai mengenal hubungan sebab akibat.
2)   Tahap praoperasional (usia antara 2-7 tahun), tahapan ini terbagi menjadi dua yaitu pertama masa prekonsepstual (usia antara 2-4 tahun) yang sudah mulai bisa berpikir secara transduktif (menarik kesimpulan dua benda yang berbeda dengan cara menandai persamaannya kemudia menyamakannya). Misalnya setelah melihat sapi maka ketika melihat kerbau juga dikatakan sebagai sapai karena menurut si anak memiliki banyak persamaan. Kedua masa intuitif (usia antara 2-7 tahun) yang sudah bisa melakukan pengamatan secara egosentris (searah) sehingga belum mampu memahami bagaimana cara orang lain memandang objek yang sama dilihatnya.
3)   Tahap operasional konkret (usia antara 7-11/12 tahun), pada tahapan ini seorang anak telah memiliki tiga kemampuan baru yaitu pengklasifikasian, penyusunan, dan pengasosiasian angka-angak. Bahkan seorang anak sudah bisa memuli mengkoservasi pengetahuan tertentu.
4)    Tahap operasional formal (usia antara 11/12-13/14 tahun), pada masa ini seorang anak memiliki kemampuan dalam mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat oleh objek yang bersifat konkret.

2.    Bacalah secara kritis 3 Jurnal. Ambillah masing-masing 1 isi jurnal tentang  pengembangan pendidikan Agama Islam di sekolah/madarsah dan perguruan tinggi ( dengan ketentuan 2 jurnal penelitian dan 1 artikel. 2 berbahasa Inggris/arab, dan 1 berbahasa Indonesia) (setiap sumber harus disebutkan jelas dan dilampirkan)!
a.        Buatlah ikhtisar dan berikan komentar Anda pada setiap jurnal maksimal 1 hal ( judul yang dikhtisarkan dari Jurnal, pengarang, sumber - abstrak- deskrepsi isi- metode penelitian (jika ikhtisar jurnal penelitian) hasil – komentar Anda dari isi jurnal)!
Jawab:
1)      Jurnal (Penelitian) Pertama:
a)      Judul: Curriculum Development Model Islam Character Based Education (Studies Analysis in SMKN 2 Pandeglang Banten)
b)     Pengarang: Sisti Muhibah
c)      Sumber: International Journal of Scientific & Technology Research, Volume 3, Issue 7, July 2014, ISSN: 2277-8616, dalam http://www.ijstr.org/final-print/july2014/Curriculum-Development-Model-Islam-Character-Based-Education-studies-Analysis-In-Smkn-2-Pandeglang-Banten.pdf, didownload pada 03 Juli 2014
d)     Abstrak (setelah diterjemahkan): Inisiatif diadakannya penelitian ini adalah karena kurangnya nilai karakter di beberapa sekolah, terlebih lagi pada lembaga pendidikan yang berbasis keterampilan seperti pendidikan kejuruan. Pendidikan Islam berusaha menyoroti tentang isi kurikulum tentang kegiatan berdo’a yang mana pesan moral di dalamnya tidak tersampaikan kepada peserta didik. Materi ajarnya pun dengan sangat kuat didominasi hukum/tata cara berdo’a. Sedangkan kebiasaan dan makna do’a hampir terabaikan secara sistemik pada seluruh proses pembelajaran. bahkan guru PAI tidak mengimplementasikan materi atau kajian islam tentang karakter moral yang patut diteladani. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan beberapa strategi pengembangan kurikulum PAI yang didasarkan pada kajian yang terfokus pada pendidikan karakter melalui kegiatan pembelajaran di SMK 2 Pandeglang Banten. Seloah ini telah menerapkan kurikulum dan silabus yang bermuatan pendidikan karakter sehingga dapat digunakan sebagai bahan ajar yang sah oleh guru-gurunya. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif dan explanatory. Di mana pendekatan deskripsi digunakan untuk menjawab “apa” yang sedang terjadi, sementera pendekatan expalanatory untuk menjawab “mengapa” dan “bagaimana” yang semuanya dituangkan dalam bentuk tulisan. Teknik pengumpulan datanya menggunakan wawancara, tes, non-tes, kuesioner, dan dokumentasi. Adapaun analisis data yang telah terkumpu didasarkan pada tiga langkah, yaitu (1) Reduksi data; (2) display data; (3) Penarikan kesimpulan / verifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa strategi dalam pengembangan kurikulum untuk studi Islam di SMK 2 Pandeglang yaitu: (1) Mengintegrasikan nilai masing-masing karakter dalam materi pembelajaran, (2) Keadaan nilai karakter yang terkandung dalam materi pembelajaran, ( 3) Mengidentifikasi karakter dalam materi pembelajaran, (4) Pemberian contoh nilai karakter, (5) Menggunakan metode demonstrasi dalam praktek nilai karakter, (6) Pengklasifikasian.
Istilah Kunci: Model, Pengembangan Kurikulum, Pendidikan Islam, Pendidikan Karakter

e)      Deskripsi isi: Dari semua pembahasan tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi pengembangan kurikulum pendidikan karakter PAI berbasis di SMK 2 Pandeglang cukup baik, namun masih lemah dalam aplikasi dalam kehidupan sehari-hari di sekolah dan evaluasi nilai-nilai tersebut karakter, apakah itu diterapkan atau tidak oleh siswa dalam kehidupan nyata. Hal ini sangat penting karena pendidikan karakter tidak terbatas pada pengetahuan ketika “hanya” di kelas, tetapi harus diterapkan dan disosialisasikan dalam kehidupan sehari-hari, setidaknya di lingkungan sekolah, misalnya dalam aspek ibadah shalat, tidak cukup hanya dengan indikator peserta didik mampu praktek berdoa dengan baik, tetapi juga harus berlatih dan membiasakan diri berdoa di sekolah, sebagai bukti konkret menerapnya nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran di kelas. Demikian pula, disiplin siswa misalnya ketepatan waktu datang ke sekolah, kebersihan dan kesopanan dalam berpakaian dan lain-lain. Hal ini sangat diperlukan sebagai evaluasi keberhasilan pendidikan karakter.

f)       Metode Penelitian: Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif melalui yang bersifat deskriptif dan explanatory. Di mana pendekatan deskripsi digunakan untuk menjawab “apa” yang sedang terjadi, sementera pendekatan expalanatory untuk menjawab “mengapa” dan “bagaimana,yang kemudian dituangkan dalam tulisan. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan yang dilakukan secara intensif, detail, dan mendalam. Hal tersebut terutama untuk objek tertentu yang memerlukan analisis yang komprehensif dan menyeluruh. Adapun Studi Kasusnya difokuskan pada "karakter berdasarkan kurikulum pendidikan strategi pembangunan di SMKN 2 Pandeglang di Provinsi Banten)". Selanjutnya, langkah-langkah dalam penelitian ini dinyatakan sebagai berikut: (1) observasi, untuk mengetahui kondisi lapangan, (2) tes untuk mendapatkan data awal pada kemampuan siswa, (3) Menyebarkan Kuesioner (Non-Test) dan wawancara untuk menentukan persepsi guru dari belajar siswa masalah, (4) data dikumpulkan dan dianalisis (dengan tampilan data, reduksi data, dan kesimpulan), (5) mendapatkan draft awal (6) untuk menguji awal (terbatas trial), (7) Pre test (8) pengobatan (9) Posting Test (10) Lokakarya hasil penelitian, (11) memperoleh Pendidikan kurikulum dan silabus Berbasis Karakter di SMK.

g)      Hasil:Sekolah menengah kejuruan (SMK) Negeri 2 merupakan salah satu sekolah terkemuka yang banyak menarik masyarakat Pandeglang. Dengan jumlah guru yang dimiliki adalah 85 orang, sementara jumlah siswanya mencapai 1500 anak. Bila  melihat visi dan misi sekolah tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pentingnya penerapan nilai-nilai karakter sangat penting dilakukan pada setiap proses pembelajaran mata pelajaran apapun. Sebagaimana hasil penelitian tentang kurikulum silabus, dan RPP PAI yang diterpakan pada SMKN 2 Pandenglang dapat dirumuskan berbagai strategi pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter sebagai berikut: (1) Mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam setiap pelajaran. (2) Mengidentifiksi nilai-nilai karakter yang terkandung dalam bahan pembelajaran, misalnya, ketika siswa membahas surat Al-kafiruun nilai-nilai karakter yang dapat diambil adalah tentang toleransi, dan sebagainya. (3) Mengidentifikasi nilai-nilai karakter dalam materi pembelajaran yang akan diterapkan, sehingga anak dapat mengenali nilai-nilai yang baik. (4) Memberikan contoh nilai-nilai karakter dan mempraktekkan nilai-nilai karakter yang terkandung dalam materi pembelajaran. (5) Menggunakan metode demonstrasi dalam praktek ketika nilai-nilai karakter di dalam kelas. (6) Adanya Pengklasifikasian.






Kenyatan yang ada, nilai-nilai karakter dalam subjek pendidikan Islam lebih dominan pada upaya untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang religius, jujur, disiplin, menghargai keberagaman atau toleransi. Untuk menanamkan nilai-nilai agama maka guru harus membiasakan siswa berdoa di sekolah, seperti shalat dhuha dan doa Ḑuhūr. Bahkan bila pelru memberikan sanksi bagi siswa yang tidak berdoa berjamaah atau tidak disiplin. Oleh karena itu, perlu diadakan pelaksanaan Pengembangan Kurikulum PAI berbasis pendidikan karakter dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke subjek. Hal itu, terutama dalam pendidikan agama Islam perlu dibangun prosedur pengembangan pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) sosialisasi, tujuan sosialisasi adalah untuk menyamakan persepsi tentang konsep pendidikan karakter. (2) Magang / Studi Banding sekolah Best Practice, guru PAI Beberapa orang harus diberi kesempatan untuk magang di pendidikan sekolah terbaik praktik karakter di daerah lain. (3) Pengembangan dokumen kurikulum, dokumen pengembangan kurikulum dimulai dengan identifikasi dan analisis nilai-nilai karakter yang terkandung dalam Standar Kelulusan (SKL). (4) Mengembangkan rencana rencana aksi sekolah, aksi susun melalui review dari rencana aksi sekolah yang telah dikembangkan sebelumnya secara komprehensif. Pada elemen rencana aksi sekolah berkaitan dengan pendidikan karakter yang terintegrasi dalam pemrograman dan khususnya, (5) Dokumen Lokakarya Dokumen I dan II, di tahap ini, tim pengembangan harus memegang kurikulum lokakarya dokumen perbaikan I dan II dokumen yang mengintegrasikan karakter pendidikan dengan mempertimbangkan hasil analisis konteks SKL, aspirasi masyarakat dan Aksi Sekolah Rencana (RAS), Perbaikan dibuat untuk dokumen saya kurikulum (termasuk visi, misi, dan tujuan sekolah) dan Dokumen kedua (silabus dan RPP), (6) Perencanaan dan Pelaksanaan karakter Pendidikan, dalam pelaksanaan pendidikan karakter dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan karakter untuk mata pelajaran Pendidikan Islam, (7) Penilaian keberhasilan. Dari uraian di atas, strategi pengembangan kurikulum pendidikan karakter PAI berbasis adalah metode atau teknik untuk menerapkan nilai-nilai yang pendidikan karakter agama ke dalam kurikulum dan silabus.

h)     Komentar: Berdasarkan uraian di atas, menurut saya pendidikan karakter selain diterapkan (dibiasakan) di dalam kelas saat proses pembelajaran juga perlu diberlakukan dan dibiasakan pada perilaku sehari-hari (apa adanya) di lingkungan sekolah. Serta perlu adanya evaluasi terhadap perilaku peserta didik terhadap pelaksanaan nilai-nilai karakter yang tidak hanya didasarkan pada kemampuan kognitifnya saja tetapi juga afeksi dan psikomotorik.

2)      Jurnal (Penelitian) Kedua
a)      Judul: Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem Pendidikan Terpadu Insantama Bogor
b)     Pengarang: Agus Retnanto
c)      Sumber: EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam,  Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012, ISSN: 1693-6019, dalam  http://p3m.stainkudus.ac.id/files/empirik%20jan-jun%202012.pdf, didownload tanggal 03 Juli 2015.
d)     Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam tentang: (1) Mengapa Pendidikan Terpadu Insantama Bogor melakukan model pengembangan karakter melalui pendidikan terpadu? (2) Bagaimanakah model pengembangan karakter siswa pada Pendidikan Terpadu Insantama Bogor? (3) Bagaimanakah Budaya Sekolah yang dikembangkan pada Pendidikan Terpadu Insantama Bogor? (4) Bagaimanakah dampak penerapan model pengembangan karakter yang dilaksanakan di Pendidikan Terpadu Insantama Bogor?
Penelitian difokuskan pada: Bagaimanakah model pengembangan karakter siswa pada Pendidikan Terpadu Insantama Bogor? Dalam penelitian ini menggunakan penelitian etnografi yaitu metode penelitian kualitatif yang mengkaji perilaku manusia dalam setting alamiah dengan fokus interpretasi budaya terhadap perilaku tersebut. Teknik pengambilan data meliputi pengamatan (untuk sumber data peristiwa), wawancara (untuk sumber data responden), dan analisis dokumen (untuk sumber data dokumen). Teknik analisis data data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif model Spreadley. Analisis tersebut terdiri atas empat langkah, yaitu analisis domein, analisis taksonomi, analisis komponen, dan analisis tema.
Nilai kegunaan atau urgensi dari penelitian ini diharapkan mempunyai implikasi untuk membantu menyumbangkan pemikiran yang berkaitan pendidikan, dalam rangka pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional dalam Sistem Pendidikan Nasional sehingga dapat menambah khasanah ilmu pendidikan khususnya dalam rangka membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Membantu memberikan sebuah konsep sistem pendidikan yang dapat digunakan untuk menciptakan manusia cerdas sekaligus berakhlaq mulia yang mampu mengatasi berbagai macam problem yang sedang melanda manusia Indonesia yang sedang membangun.
Kata Kunci: Model Pengembangan Karakter, Sistem Pendidikan  Terpadu.
e)      Deskripsi isi: Berangkat dari paparan di atas, maka implemetasinya adalah dengan mewujudkan lembaga pendidikan Islam unggulan secara terpadu dalam bentuk Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Islam Terpadu (SMPIT), Sekolah Menengah Umum Terpadu (SMUIT), dan Perguruan Tinggi Islam Terpadu.
Pengembangan Karakter dengan Pendidikan Islam Terpadu:
1)        Keterpaduan Kurikulum Kepribadian Islam, Tsaqofah Islam dan Ilmu Kehidupan.
Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni (a) berkepribadian Islam, (b) menguasai tsaqofah Islam, (c) menguasai ilmu kehidupan (pengetahuan dan teknologi). Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim dalam seluruh aktivitas kesehariannya. Identitas kemusliman akan nampak pada kepribadian seorang muslim, yakni pada pola berpikir (aqliyah) dan pola bersikapnya (nafsiyah) yang distandarkan pada aqidah Islam. Islam mendorong setiap muslim untuk maju dengan cara men-taklif-nya (memberi beban hukum) kewajiban menuntut ilmu, baik ilmu yang berkaitan langsung dengan Islam (tsaqofah Islam) maupun ilmu pengetahuan umum (iptek). Menguasai ilmu kehidupan (iptek) dimaksudkan agar umat Islam dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT dengan baik di muka bumi ini. Lebih dari itu, Islam bahkan menjadikannnya sebagai fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu seperti teknik, kedokteran, pertanian dan sebagainya sangat dibutuhkan umat.
2)        Keterpaduan Pendidikan Sekolah, Keluarga dan Masyarakat
Secara faktual, pendidikan melibatkan tiga unsur pelaksana, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Kondisi faktual obyektif pendidikan saat ini, ketiga unsur pelaksana tersebut belum berjalan secara sinergis di samping masing-masing unsur tersebut juga belumlah berfungsi secara benar. Sinergi negatif antar ketiganya, memberikan pengaruh kualitas proses pendidikan secara keseluruhan. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya minimasi pengaruh negatif yang ada dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam. Selanjutnya, dibuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah – keluarga – masyarakat inilah yang akan menjadikan pribadi anak didik yang utuh sesuai dengan kehendak Islam.
3)        Keterpaduan Sekolah, Asrama/Pesantren dan Masjid
Untuk meciptakan kultur sekolah yang bersih dari pengaruh negatif masyarakat, program full-day school dan boarding school merupakan alternatif yang dapat dilakukan. Karena itu, tiga poros sekolah, asrama/pesantren dan masjid yang berperan penting dalam pengembangan SDM tapi selama ini terpisah-pisah, harus dapat diharmonisasikan. Sekolah berfungsi untuk mengintroduksikan kurikulum pendidikan secara formal sesuai dengan jenjang yang ada. Asrama merupakan sarana di luar sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pendidikan formal. Sikap disiplin, kemandirian, kepemimpinan dan tanggung jawab dapat diciptakan dalam asrama. Sedangkan masjid merupakan pusat kegiatan keislaman siswa. Di masjid, siswa akan melakukan shalat berjamaah, pembinaan kepribadian dan kegiatan lainnya. Jika ketiganya diintegrasikan, diharapkan akan tercipta budaya sekolah yang ideal. Sekolah Terpadu Insantama Bogor menyediakan serangkaian materi untuk mendidik seorang anak hingga dewasa termasuk perkembangan dirinya. Namun, tanggung jawab pendidikan bukan semata-mata menjadi tanggung jawab sekolah. Kunci menuju pendidikan yang baik adalah keterlibatan orang dewasa yaitu orang-tua yang penuh perhatian. Jika orang-tua terlibat langsung dalam pendidikan anak-anak di sekolah, maka prestasi anak tersebut akan meningkat. Setiap siswa yang berprestasi dan berhasil menamatkan pendidikan dengan hasil baik selalu memiliki orang-tua yang selalu bersikap mendukung. Apa yang dapat dilakukan oleh orang-tua bagi anaknya setelah mereka memasuki pendidikan di sekolah? Berikut ini beberapa hal yang perlu dilakukan oleh orang-tua agar anaknya dapat berprestasi di sekolah.
4)        Dukungan Orang-Tua
Orang-tua sebaiknya memberi perhatian kepada anak-anak mereka dan menanamkan kepada mereka nilai dan tujuan pendidikan. Mereka juga berupaya mengetahui perkembangan anak mereka di sekolah. Caranya adalah dengan berkunjung ke sekolah untuk melihat situasi dan lingkungan pendidikan di sekolah. Menaruh minat terhadap aktivitas sekolah akan secara langsung mempengaruhi pendidikan anak. Kerja Sama dengan Guru Biasanya apabila timbul masalah-masalah gawat, barulah beberapa orang-tua menghubungi guru anak-anak mereka. Sebaiknya, orang-tua perlu mengenal guru di sekolah dan menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Berkomunikasilah dengan guru untuk perkembangan anak. Guru juga perlu diberitahu bahwa orang tua memandang penting pendidikan anak di sekolah sebagai bagian kehidupannya. Ini akan membuat guru lebih memperhatikan anak. Hadir pada pertemuan orang-tua murid dan guru yang diselenggarakan oleh sekolah. Pada pertemuan ini, orang tua memiliki kesempatan untuk mengetahui prestasi akademis anak serta perkembangan anak di sekolah. Jika seorang guru mengatakan hal yang buruk mengenai anak, dengarkan guru tersebut dengan penuh respek, dan selidiki apa yang ia katakan. Orang tua juga dapat menanyai guru-guru di sekolah mengenai prestasi, sikap, dan kehadiran anak di sekolah. Jika seorang anak sering bermuka dua, maka penjelasan dari guru bisa jadi mengungkap hal-hal yang disembunyikan anak saat bersikap manis di rumah.
5)        Menyediakan waktu untuk anak
Selalu sediakan waktu yang cukup banyak bagi anak. Jika anak pulang sekolah, umumnya mereka cukup stres dengan beban pekerjaan rumah, ulangan, maupun problem lainnya. Sungguh ideal jika orang-tua misalnya seorang ibu berada di rumah pada saat anak-anak di rumah. Seorang anak akan senang bercerita ketika pulang sekolah seraya mengeluarkan semua keluhan dan bebannya kepada orang-tua. Bisa jadi mereka mulai menceritakan teman-temannya yang nakal yang mulai menawari rokok dan narkoba. Segera tanggap dengan hal tersebut jika menyediakan waktu bagi anak-anak.
6)        Mengawasi kegiatan belajar di rumah
Menunjukkan adanya rminat pada pendidikan anak Anda. Pastikan anak-anak Anda sudah mengerjakan pekerjaan rumah (PR) mereka. Wajibkan diri untuk mempelajari sesuatu bersama anak-anak. Membaca bersama-sama mereka. Jangan melupakan menjadwalkan waktu setiap hari untuk memeriksa pekerjaan rumah anak. Kendalikan waktu menonton TV, Internet dan bermain game dari anak-anak.
7)        Megajari tanggung jawab
Sekolah umumnya akan memberi banyak tugas untuk dipersiapkan anak di rumah dan di sekolah. Apakah mereka mengerjakan tugas-tugas itu dengan benar dan baik? Seorang anak dapat bertanggung jawab mengerjakan tugas mereka di sekolah jika telah mengajar mereka untuk mengerjakan tanggung jawab di rumah. Mencoba mulai memberikan anak pekerjaan rumah tangga rutin setiap hari seperti membersihkan tempat tidur sendiri menurut jadwal yang spesifik. Pelatihan di rumah seperti itu akan membutuhkan banyak upaya di pihak orang tua karena perlu diawasi. Tetapi hal itu akan mengajar anak rasa tanggung jawab yang mereka butuhkan agar berhasil di sekolah dan di kemudian hari dalam kehidupan.
8)        Disiplin
Jalankan disiplin dengan tegas namun dengan penuh kasih sayang. Jika Anda selalu menuruti keinginan anak, maka mereka akan menjadi manja dan tidak bertanggung jawab. Problem lain bisa muncul jika Anda terlalu memanjakan anak Anda seperti seks remaja, narkoba, prestasi yang buruk, dan masalah lainnya.
9)        Kesehatan
Jaga kesehatan anak agar prestasi belajarnya tidak terganggu. Buat jadwal tidur yang cukup untuk anak . Anak-anak yang kelelahan tidak dapat belajar dengan baik. Lalu hindari makanan seperti junk food, karena selain menyebabkan problem obesitas, juga mendatangkan pengaruh yang buruk terhadap kesanggupannya untuk berkonsentrasi.
10)    Menjadi teman terbaik
Menjadi teman terbaik bagi anak orang tua. Meluangkan waktu untuk berbagi berbagai hal dengan mereka. Seorang anak membutuhkan semua teman yang matang yang bisa ia dapatkan. Sebagai orang-tua, Anda dapat menghindari banyak problem dan kekhawatiran atas pendidikan anak Anda dengan mengingat bahwa kerja sama yang sukses dibangun di atas komunikasi yang baik. Kerja sama yang baik dengan para pendidik di sekolah juga dapat membantu melindungi anak.
11)    Mengembangkan Karakter melalui Budaya Pendidikan
Budaya pendidikan sebagai aspek penting bagi peningkatan mutu pendidikan. Budaya sebagai produk manusia merupakan eksternalisasi yang memproduksi tatanan sosial yang berlangsung terus-menerus mendasari pemahaman bagi setiap peran yang ada pada satuan pendidikan. Bahwa keberadaan manusia terus-menerus mengeksternalisasi diri dalam aktivitas. Aktivitas yang telah menjadi kebiasaan, menghasilkan makna-makna yang sudah tertanam sebagai hal yang rutin. Dengan demikian pembiasaan memberikan arah dan spesialisasi kegiatan yang berlangsung sepanjang watu dan membentuk suatu lembaga. Proses pelembagaan tindakan sehari-hari yang sudah dilakukan oleh masyarakat secara luas menjadi milik bersama. Demikian halnya dalam kehidupan di lingkungan sekolah terjadi proses pelembagaan tindakan sehari-hari yg dilakukan oleh semua unsur secara luas menjadi milik sekolah.

f)       Metode Penelitian: Pendekatan dan model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif model Spreadley. Analisis tersebut terdiri atas empat langkah, yaitu analisis domein, analisis taksonomi, analisis komponen, dan analisis tema. Analisis domein dimaksudkan untuk menentukan domein budaya yang berisi kategori-kategori yang bebih kecil yang meliputi istilah bagian, istilah acuan, dan hubungan semantik antara istilah bagian dan istilah acuan itu. Analisis taksonomi dimaksudkan untuk mengorganisasikan domein-domein beserta bagian-bagiannya itu sehingga terbentuk suatu konstelasi yang utuh. Analisis komponen dimaksudkan untuk mencari atribut-atribut unsur dalam setiap domein guna mengidentifikasi kontras diantara unsur-unsur dalam domein tersebut, sehingga masing-masing domein dapat diidentifikasikan secara jelas dan dapat dilihat kontrasnya dengan domein-domein lainnya. Analisis tema dimaksudkan untuk menentukan hubungan antar domein dan hubungan antara domein-domein tersebut dengan pemandangan budaya secara keseluruhan. Sesuai dengan sumber datanya, teknik pengambilan data meliputi pengamatan (untuk sumber data peristiwa), wawancara (untuk sumber data responden), dan analisis dokumen (untuk sumber data dokumen). Dari ketiga sumber yang dapat memberikan data tersebut, peneliti membidik peristiwa seperti kegiatan belajar mengajar baik di dalam ruang maupun di luar kelas. Respoden, baik kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa maupun masyarakat sekitar lembaga pendidikan. Dokumen, berupa segala bentuk informasi tertulis, seperti kurikulum, buku-buku administrasi lain yang mendukung proses pembelajaran. Peneliti juga memakai teknik snowball sampling denganmaksud tidak hanya mendatangi satu orang yang dipandang memiliki informasi yang dibutuhkan, namun pada tahap selanjutnya akan mendatangi orang lain atas rekomendasi orang yang sebelumnya ditemuinya. Pencarian data dapat dihentikan manakala peneliti menganggap bahwa informasi telah jenuh. Adapun teknis analisis data data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif model Spreadley. Analisis tersebut terdiri atas empat langkah, yaitu analisis domein, analisis taksonomi, analisis komponen, dan analisis tema.
g)      Hasil: (1) Tujuan Pendidikan Terpadu Insantama Bogor; tujuan pendidikan adalah suatu kondisi yang menjadi target penyampaian ilmu pengetahuan. Tujuan ini juga merupakan panduan dan acuan bagi seluruh kegiatan dalam sistem pendidikan. Matra, sebagaimana pengertiannya, Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni (a) berkepribadian Islam, (b) menguasai tsaqofah Islam, (c) menguasai ilmu kehidupan (iptek) dan (d) memiliki ilmu kehidupan (keterampilan) memadai. (2) Memiliki Ilmu Kehidupan (Keahlian/Keterampilan) Memadai; perhatian besar Islam pada ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian, menempatkannya sebagai salah satu tujuan pendidikan Islam. Penguasaan keterampilan yang serba material ini juga merupakan tuntutan yang harus dilakukan oleh umat ini diindikasikan dengan terdapatnya banyak nash dalam Al Qur’an dan yang mengisyaratkan kebolehan mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum atau keterampilan (seperti yang beberapa di antaranya telah diungkapkan sebelumnya). Sebagaimana hafnya dengan iptek, Islam juga menjaclikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan dan lainnya. (3) Unsur Pelaksana Pendidikan Terpadu Insantama Bogor; berdasarkan pengorganisasian, proses pendidikan bisa dibagi menjadi doa, yakni secara formal di sekolah/kampus dan secara nonformal di luar kampus sekolah/lingkungan, yakni keluarga dan masyarakat. (4) Pendidikan di tengah masyarakat; hampir sama dengan pendidikan di keluarga, pendidikan di tengah masyarakat pada hakikatnya juga merupakan proses pendidikan sepanjang hayat, khususnya berkenaan dengan praktek kehidupan seharihari yang dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di masyarakat, utamanya tetangga, teman pergaulan, lingkungan serta sistem nilai yang berjalan. Dalam sistem Islam, masyarakat adalah salah satu elemen penting penyangga tegaknya sistem selain rasa ketaqwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu serta keberadaan negara sebagai pelaksana syariat Islam.  Adanya sikap saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi tingkah laku penguasa pada masyarakat dimungkinkan mengingat masyarakat dalam perspektif Islam memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk perasaan taqwa dalam diri setiap individunya. Karena itu, dengan sendirinya, proses pendidikan di tengah masyarakat ini menempati posisi penting. Masyarakat Islam terbentuk dari individu-individu yang dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, dan peraturan yang mengikat mereka sehingga menjadi masyarakat yang solid persatuannya. (5) Asas Pendidikan Terpadu Insantama Bogor; menginat sangat pentingnya aqidah bagi kehidupan seorang muslim, maka Islam mengharuskan setiap muslim untuk memegang teguh aqidah itu dan menjadikannya dalam berfikir dan berbuat, termasuk ketika menyusun system pendidikan. Maka, kurikulum pendidikan yang dilaksanakan pun berlandaskan pada aqidah Islam. Karenanya, jika aqidah Islam teiah menjadi asas yang mendasar bagi kehidupan seorang muslim, asas bagi hubungan antar sesama Muslim, asas bagi aturan dan masyarakat umumnya, dan asas bagi kehidupan bemegaranya, Maka seluruh pengetahuan yang diterima seorang muslim harus berdasarkan aqidah Islam pula. Seluruh pengetahuan tidak terkecuali, balk itu berupa pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan pribadi, hubungan sosial, masalah ekonomi, hukum, politik dan kenegaraan atau masalah apa pun yang berkaitan dengan kehidupan dunia dan akhirat, wajib berlandaskan pada aqidah Islam. (6) Struktur Kurikulum Pendidikan Terpadu Insantama Bogor; Secara struktural, kurikulum pendidikan Islam di sekolah/kampus dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan utama yang sekaligus menjadi karakteristik khas, yakni: (a) Pembentukan SyakhSiyyah Islamiyyah (Kepribadian Islami), (b) Tsaqofah Islam dan (c) Ilmu Kehidupan (Iptek, keahlian dan Keterampilan). Sebagaimana, yang tercermin dalam Label di bawah ini, selain muatan penunjang proses pembentukan Syakhshiyyah lslamiyyah yang secara menerus pemberiannya untuk tingkat TK - SD dan SMP - SMU - PT, muatan staqofah Islam dan Ilmu Kehidupan (Iptek, keahlian dan Keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing. (7) Dana, Sarana dan Prasarana; berdasarkan sirah Nabi SAW dan tarikh Daulah Khilafah sebagaimana disarikan oleh Al Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, negara memberikan jaminan pendidikan secara cuma-cuma (bebas biaya) dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban yang harus dipikul negara serta diambil dari kas Baitul Maal. Sistem pendidikan bebas biaya tersebut didasarkan atas ijma sahabat yang memberi gaji kepada para pengajar dari baitul maal dengan jumlah tertentu. (7) Lembaga Pendidikan Islam Unggulan; di zaman pemerintahan Islam, sejak abad 4 Hijriah telah dibangun banyak sekolah Islam. Tetapi sebelum sekolah semodel itu dikembangkan, pendidikan ketika itu biasanya dilakukan di dalam masjid, majelis-majelis taklim dan tempat-tempat pendidikan keterampilan lainnya. Muhammad Athiyah Al Abrasi dalam buku dasar-dasar pendidikan Islam, memaparkan usaha-usaha para khalifah untuk membangun sekolah-sekolah itu. Dalam perkembangannya, setiap khalifah berlomba-lomba membangun sekolah tinggi Islam dan berusaha melengkapinya dengan sarana dan :)rasarananya. Pada setiap sekolah tinggi itu dilengkapi dengan iwan (auditorium, gedung pertemuan), asrama penampungan mahasiswa, perumahan dosen dan ulama. Selain itu, sekolah tinggi tersebut juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur dan ruang makan, bahkan juga taman rekreasi. (8) Kendala; dalam membangun model pendidikan sebagaimana yang dikehendaki Islam tentu saja akan menghadapi kendala utama, yakni belum diterapkannya bangunan secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Model pendidikan atau sekolah unggulan sedemikian hanya dapat diterapkan oleh Negara. (9) Upaya; mengingat kendapa di atas, maka harus ditempuh aksi individual atau kelompok kalangan muslim yang memang dibenarkan oleh hukum syara’ selama memenuhi persyaratan lembaga pendidikan Islam, dari mulai asas kurikulumnya hingga operasional pendidikan keseharian. Inilah yang ditempuh melalui Pendidikan Islam Terpadu Insantama Bogor. (10) Pengembangan Karakter Berdasar pada Landasan Budaya Sekolah; model pengembangan Karakter akan selalu melekat pada bagaimana kinerja sekolah tersebut dalam mengembangkan budaya sekolah. Budaya sekolah sebagai aspek penting bagi pengembangan kepribadian siswa. Budaya sebagai produk manusia merupakan eksternalisasi yang memproduksi tatanan sosial yang terus-menerus mendasari pemahaman bagi setiap peran yang ada pada satuan pendidikan. Konsep eksternalisasi bahwa keberadaan manusia terus-menerus mengeksternalisasi-kan diri dalam aktivitas. Aktivitas yang telah menjadi kebiasaan, menghasilkan makna-makna yang sudah tertanam sebagai hal yang rutin. Pembiasaan memberikan arah dan spesialisasi kegiatan yang berlangsung sepanjang waktu dan membentuk suatu lembaga. Proses pelembagaan tindakan sehari-hari yang sudah dilakukan oleh masyarakat secara luas menjadi milik bersama. Demikian halnya dalam kehidupan di lingkungan sekolah terjadi proses pelembagaan tindakan sehari-hari yang dilakukan oleh semua unsur yang secara luas menjadi milik sekolah.

h)     Komentar: Sistem pendidikan terpadu baik yang ada di Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Islam Terpadu (SMPIT), Sekolah Menengah Umum Terpadu (SMUIT), dan Perguruan Tinggi Islam Terpadu apakah harus disamakan sifatnya? Bagaimana pendidikan terpadu tidak hanya memadukan secara adminsitrasi tapi juga memadukan nilai-nilainya?

3)      Jurnal (Atikel B. Inggris) Ketiga
a)      Judul: Strategizing Islamic Education
b)     Pengarang: Muhammad Syukri Salleh
c)      Sumber: International Journal of Education and Research Vol. 1 No. 6 June 2013ISSN: 2201-6333 (Print) ISSN: 2201-6740 (Online), dalam http://www.ijern.com/journal/June-2013/13.pdf, didownload tanggal 03 Juli 2015.
d)     Abstrak (setelah diterjemahkan): Tulisan ini mencoba mengajukan rumusan strategi dalam usaha mewujudkan tujuan pendidikan Islam. Ruang lingkup pendidikan Islam di sini tidak dibatasi hanya untuk Muslim. Akan tetapi melampaui kelompok etnis-agama sehingga tidak untuk umat Islam saja. Dengan premis tersebut, artikel ini cenderung menekankan pada dua persyaratan mendasar dalam menyusun strategi pendidikan Islam. Pertama, pada sifat lembaga pendidikan Islam. Kedua, pada strategi dalam meningkatkan pendidikan Islam itu sendiri. Wacana terbentuk dengan keyakinan bahwa lembaga pendidikan Islam harus tertanam kuat dalam fondasi filosofis dan epistemologis Islam, sehingga bisa mencerminkan semua perbuatan, manajemen, metode belajar-mengajar, dan metodologi penelitian. Selanjutnya, misi lembaga pendidikan Islam menekankan akan dicapai melalui upaya inovatif, melampaui standar yang digunakan, dan bersaing dengan pendidikan yang lainnya, baik yang bercirikan Islam maupun non-Islam. Tujuannya adalah untuk menjadi perintis nyata dan menjadi institusi terkemuka, sehingga bisa terhempas ke depan melampaui pandangan pada umumnya dari banyak lembaga pendidikan Islam yang ada kontemporer saat ini.
Kata kunci: pendidikan, pembelajaran, strategi pendidikan Islam

e)      Deskripsi isi: Tidak diragukan lagi, pendidikan Islam telah menarik banyak Muslim untuk mengunakannya (menjadi pilihan) dan sekarang ini PAI tengah berusaha merelaisasikan minat umat Islam tersebut sehingga menjadi pilihan utama. Tujuan tertentu dari pendidikan Islam, sampai batas tertentu, memang telah tercapai. Namun, penyempurnaan dari prestasi tersebut harus dibarengi dengan latihan terus menerus. Sebuah strategi jenis tertentu harus dirancang dan secara teratur ditingkatkan. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menunjukkan tiga aspek yang harus diberikan pertimbangan dalam meningkatkan strategi. Pertama, penerapan metode manajemen Islam di lembaga pendidikan Islam. Kedua, penekanan pada metode belajar-mengajar yang diberi nama `hati ke hati 'metode. Ketiga, penciptaan inovasi sendiri, standar, dan arena bermain. Melalui ini, pendidikan Islam bisa menjadi usaha terbaik dalam menerapkan kehidupan yang harmonis dan aman bagi seluruh umat manusia, terlepas dari orientasi etnis dan agama. Melalui ini juga, pendidikan Islam bahkan di Barat memiliki masa depan yang mungkin dan dibenarkan dalam konteks Barat modern saat ini. Bahkan, mencapai keseimbangan pendidikan antara tradisi dengan pencerahan seperti yang diyakini oleh filsuf pendidikan Belanda yang terkenal, Wilna Meijer.

f)       Komentar: Bagaimana batas-batas untuk membedakan PAI untuk diterapkan bagi umat Islam sendiri dan PAI yang bisa diterapkan bagi seluruh umat manusia? Di mungkinkan PAI yang seperti itu bisa mengabaikan simbol-simbol, ritual, ibadah, dan aspek-aspek penting lain karena lebih mengutamakan nilai kemanusiaan universal. Dengan kata lain, PAI hanya dimanfaatkan sebagai nilai berkehidupan untuk seluruh umat manusia dan di dunia saja tidak terlalu menekankan pada upaya memperoleh ridha Allah SWT.

b.        Atas dasar ikhtisar isi jurnal tersebut, rumuskan apakah ada implikasi atau pemikiran Anda dalam penerapanya untuk Pengembangan pembelajaran PAI di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT!
Jawab: Pendidikan Karakter bisa menjadi satu ciri khas suatu bangsa. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan dan pengembangannya seharusnya berakar dari karakter (budaya) bangsa itu sendiri. Bukan mutlak berasal dari pendidikan barat yang paradigmanya jelas-jelas berbeda dengan bangsa Indonesia. di mana paradigma barat lebih banyak diturunkan dari Cartesian (Descartes) dan Newtonian sehingga menjadi penyebab munculnya paradigma tunggal (tidak utuh) di dunia Barat. Dengan paradigma tunggal itu, mereka terpuruk ke lembah krisis dan penuh kontradiksi, yang menurut Capra disebabkan oleh kekeliruan pemikiran. Ahmad Tafsir sebagaimana dikutip Efendi menjelaskan bahwa yang dimaksud kekeliruan pemikiran menurut Capra adalah tidak digunakannya paradigma yang tepat dalam penyusunan kebudayaan barat. Di mana, menurutnya budaya barat hanya disusun berdasarkan satu paradigma, yaitu paradigma sains (scientific paradigm).  Padahal paradigma tersebut tidak sepenuhnya bisa melihat alam dan kehidupan ini secara utuh dan menyeluruh (wholeness), kecuali hanya melihat alam ini pada bagian yang empiris saja.[18]
Bila “kebudayaan” barat tersebut dikaitkan dalam dunia pendidikan, secara spesifik M. Zainuddin memaparkan perbedaannya dengan pendidikan Islam sebagaimana berikut:[19]


Tabel 3.1: Perbedaan Sistem Pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Barat
(Tabel diadaptasi dari pemaparan M. Zainuddin dalam bentuk paragraf)

Katagori
Pendidikan Islam
Pendidikan Barat
Landasan Filosifis
Paradigmanya bertolak dari sumber atau landasan (doktrin) Islam yang bercorak teo-antroposentris.
Paradigmanya dilandaskan filsafat Yunani yang antroposentris-sekuler sehingga terlepas dari dimensi moral dan spiritual.
Struktur Konsep Pendidikan
Terjadinya perbedaan: tujuan, konsep tentang manusia (peserta didik), nilai, serta tanggung jawab yang diembannya.
Ontologi
Terjadi perbedaan dalam aspek: cara memandang dan menempatkan para peserta didik dalam proses pembelajaran.
Sumber dan Metode Epistomologi
Berasal dari Allah SWT, yang diperoleh melalui pancaindra, akal sehat, berita yang benar, dan intuisi.
Semua objek (benda /zat /materi) yang bisa diserap oleh pancaindra.
Sistem Etika
Bercorak teo-antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pelaku sejarah sekaligus sebagai makhluk (khalifah dan hamba) Allah.
Menurut Syamsul Nizar: bercorak antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala-galanya, individu merdeka tanpa batas.

Dari tabel tersebut dengan jelas tergambar bahwa sistem pendidikan barat adakalanya tidak sepenuhnya cocok apabila diterapkan dalam sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, setiap teori dari barat, utamanya teori tentang pendidikan tidak serta merta harus diserap sepenuhnya untuk digunaan dalam sistem pendidikan Islam. Bagaimanapun, paradigma yang digunakan oleh umat Islam dengan paradigma orang barat adakalanya berbeda. Implikasinya, bila dipaksakan akan mempengaruhi dalam membuat konsep sistem pendidikan Islam. Artinya, pendidikan Islam akan kehilangan jati diri keislamannya, melainkan yang ada berupa simbol, slogan, dan ritus-ritusnya belaka.
Lebih dari itu, bila dikaitkan dengan pembelajaran secara langsung, maka paradigma lama mengajar tentang pemberian reward and punishment atau pemberian rangsangan lain sudah tidak berlaku lagi. Ataupun, paradigma pembelajaran yang hanya sebatas menyampaikan pengetahuan dianggap sudah tidak relevan dengan kekinian. Diperlukan paradigma baru, salah satunya adalah menciptakan “flow[20] pada peserta didik. Paradigma baru lainnya adalah kegiatan mengajar difokuskan pada proses mengatur lingkungan (kebudayaan). Beberapa alasannya menurut Wina Sanjaya adalah:
1.    Peserta didik bukanlah orang dewasa dalam bentuk anak kecil atau remaja, tetapi individu yang sedang berkembang sehingga masih butuh proses pendidikan. Dengan demikian, pendidik (sebagai orang dewasa) bukanlah satu-satu sumber belajar. Hal ini karena kebutuhan orang dewasa dengan anak-anak berbeda. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah sebagai pengelola sumber belajar yang sesuai dengan tingkat usia peserta didik.
2.    Adanya ledakan ilmu pengetahuan berakibat pada ketidakmungkinan bagi setiap orang mampu menguasai seluruh cabang keilmuan. Dengan demikian, belajar tidak sekedar menghafal informasi, menghafal rumus-rumus, tapi belajar adalah bagaimana peserta didik mampu menggunakan otaknya untuk mengasah kemampuan berfikir.
3.    Penemuan-penemuan baru dalam bidang psikologi (menurut penulis juga bidang biologi), berakibat pemahaman baru terhadap konsep (teori) perubahan perilaku manusia. Di mana manusia sebagai makluk biologis (organisme) memiliki potensi bawaan yang menentukan perilaku manusia. Implikasinya, proses pendidikan bukan lagi memberikan stimulus untuk cerdas pada bidang tertentu, tetapi mengembangkan potensi (kecerdasan) yang telah ada dan telah dimiliki peserta didik.[21]

3.    Carilah isu-isu pendidikan PAI yang berkaitan dengan bentuk kurikulum di beberapa negara minimal 2 negara dan bandingkan dengan kurikulum di Indonesia. Berilah ulasan tentang isi kurikulum tersebut dan apa tanggapan/pendapat saudara tentang kurikulum di Negara tersebut!
Jawab: Perbandingan Kurikulum di Indonesia, Finalndia, dan Jepang Menurut Rini Wulandari:[22]
a)      Jenjang pendidikan: Pada umumnya jenjang pendidikan di Indonesia dan Jepang, dan Finlandia memiliki kesamaan. Ketiga negara tersebut juga sama – sama menerapkan wajib belajar sembilan tahun. Namun untuk jenjang sarjana di Finlandia hanya memerlukan waktu studi tiga tahun. Perbedaan yang sangat mencolok antara pendidikan di Indonesia dan di negara lain terletak pada kesan prestige jika dapat memasuki universitas, sehingga siswa berlomba – lomba masukke universitas bergengsi walaupun dengan kemampuan rendah. Di Finlandia siswa – siswa yang memiliki kemampuan rendah diarahkan untuk memasuki sekolah – sekolah vokasi untuk mempersiapkan diri masuk ke dunia kerja, sehingga kemampuan – kemampuan siswa benar – benar dimaksimalkan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
b)      Anggaran Pendidikan: Anggaran biaya pendidikan di In donesia memiliki kesamaan dengan Finlandia yaitu sekitar 20 % dari total anggaran belanja negara, sedangkan untuk Jepang, pemerintah memberikan anggaran biaya pendidikan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 31,6 % dari total anggaran belanja negara. Dalam aspek pembiayaan pendidikan, Jepang dan Indonesia memiliki kesamaan, yaitu penggratisan biaya pada jenjang pendidikan dasar. Sedangkan untuk jenjang selanjutnya siswa harus mengeluarkan biaya pribadi. Namun biaya pendidikan di Jepang tergolong rendah dibanding dengan Amerika dan Inggris. Sedangkan di Finlandia pemerintah menggratiskan biaya pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga universitas dan segala keperluan yang berhubungan dengan pendidikan, misalnya makan siang, ongkos transportasi, dan buku.
c)      Tenaga Pendidik: Untuk tenaga pendidik yaitu guru, Finlandia memiliki kualifikasi guru paling tinggi. Di Finlandia, guru merupakan profesi yang sangat diminati dan peluang untuk menjadi guru sangat kecil karena proses perekrutan yang sangat ketat. Sama halnya denggan di Finlandia, di Jepang, guru juga merupakan profesi yang sangat dihormati. Walaupun kualifikasi guru dijepang lebih rendah daripada di Finlandia, proses perekrutan guru di Jepang juga sangat ketat. Untuk di Indonesia sendiri, sedang digalakkan program – program untuk peningkatan kualitas guru. Program terbaru dari pemerintah ialah, adanya program PPG untuk mendapatkan sertifikat mengajar bagi guru. Kesejahteraan guru di Jepang dan Finlandia juga jauh diatas Indonesia jikka dilihat dari jumlah gaji yang diterima.
d)     Kurikulum per-mata pelajaran (matematika): Pada dasarnya kurikulum matematika di Indonesia, Jepang, dan Finlandia sama. Namun di Indonesia saat ini masih menekankan pada kuantitas pembelajaran bukan kualitas. Materi pembelajaran matematika di Indonesia jauh lebih banyak daripada di jepang dan Finlandia.
e)      Proses pembelajaran: Untuk proses pembelajaran, pada intinya sama yaitu berfokus pada peserta didik. Namun pada kenyataannya di Indonesia masih banyak pembelajaran yang berfokus pada guru. Jumlah mata pelajaran yang dipelajari di Indonesia lebih banyak daripada di Jepang dan Finlandia. Lagi – lagi Indonesia masih menekankan kuantitas daripada kualitas.
f)       Evaluasi: Pada sistem evaluasi terdapat perbedaan yang mencolok antara Indonesia dengan Jepang dan Finlandia. Sistem evaluasi di Indonesia cenderung membuat siswa tertekan dengan segala kriteria yang ada. Sedangkan di Finlandia menekankan pada progress belajar siswa itu sendiri, sehingga siswa tidak merasa tertekan. Adanya sistem peringkat juga membuat siswa dengan peringkat bawah merasa minder dan secara psikologi perasaan – perasaan tersebut dapat menghambat proses belajar siswa.
g)      Analisi untuk kurikulum di Indonesia: Pada umumnya sistem pendidikan di Indonesia sudah bagus apabila dilaksanakan sesuai dengan aturan ideal yang berlaku. Misalnya pada kurikulum 2013 yang menekankan adanya pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Namun kenyataannya proses pembelajaran yang berlangsung belum sesuai dengan idealnya. Hal ini disebabkan karena adanya faktor-faktor penghambat seperti kurangnya kesiapan guru, faslitas pendidikan yang kurang memadai, dan karakter – karakter masyarakat Indonesia yang kurang mendukung. Kekurangan lainnya yaitu pada sistem evaluasi yang masih menekankan pada kuantitas bukan kualitas.
Hal penting yang bisa dijadikan masukan untuk kemajuan pendidikan di Indonesia yaitu penekanan pada kualitas pendidikan bukan kuantitas. Misalnya dengan pengurangan materi pelajaran pada setiap jenjang pendidikan, pengurangan jam pelajaran yang disesuaikan dengan tahap perkembangan peserta didik, dan sistem evaluasi pendidikan yang tidak menekankan penilaian pada suatu kuantitas tertentu (nilai tertentu). Selain itu pemerintah perlu meningkatkan profesionalitas guru dengan program – program yang berkualitas. Misalnya dengan program perekrutan guru dengan kualifikasi yang di perketat dan pembatasan program jurusan guru di universitas sehingga guru – guru yang dihasilkan lebih profesional dan berkualitas.
Tanggapan: dalam pengembangan kurikulum sekolah, jepang tidak menekankan pada perubahan mata pelajaran atau metode belajar, akan tetapi pada sistem pendidikan di sekolah secara keseluruhan. Pendidikan moral yang dicanangkan di jpang mampu membentuk karakter bangsa Jepang yang terkenal bersifat ulet, pekerja keras, jujur, toleran, dan solidaritas yang tinggi. Pendidikan moral itu terinklud dalam kurikulum pendidikan secara menyeluruh, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan pada tiap mata pelajaran. Bahkan nomenklatur pendidikan moral juga tercantum dalam Undang-undang yaitu harus diberikan pada setiap jenjang pendidikan. Hal ini berbeda di Indonesia yang secara praktis-operasional pelaksanaannya belum nampak jelas.[23]
Dengan demikian, kurikulum yang ideal ialah yang bisa mengarahkan bangsa ini menjadi bangsa penemu (pencetak ide kreatif, peneliti, dan penganalisa). Bukan bangsa yang hanya bisa mencetak generasi yang difokuskan untuk mengoperasikan alat, melakukan pekerjaan rutin, dan keterampilan mengolah tubuh untuk bekerja. Kurikulum tidak hanya merubah komponen dan kemampuan fisik (hard-skill) manusia tapi juga merubah komponen dan kemampuan mental (soft-skill). Dengan itu diharapkan, kemampuan yang dimiliki manusia tidak akan bisa digantikan oleh mesin (robot) dan komputer sekalipun.
4.    Lakukan analisis tanggapan saudara terhadap pengembangan konsep dan implentasi kurikulum 2013 PAI  di sekolah dan Madrasah (Landasan, perubahan mindset, struktur kurikulum SKL- KI-KD, pembelajaran dan penilaianya)!
Jawab:
Seluruh jawaban nomer ini dikutip dari Model Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013[24]
a)      Landasan: Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan ketentuan yuridis yang mewajibkan adanya pengembangan kurikulum baru, landasan filosofis, dan landasan empirik. Landasan yuridis merupakan ketentuan hukum yang dijadikan dasar untuk pengembangan kurikulum dan yang mengharuskan adanya pengembangan kurikulum baru. Landasan filosofis adalah landasan yang mengarahkan kurikulum kepada manusia apa yang akan dihasilkan kurikulum. Landasan teoritik memberikan dasar-dasar teoritik pengembangan  kurikulum sebagai dokumen dan proses. Landasan empirik memberikan arahan berdasarkan pelaksanaan kurikulum yang sedang berlaku di lapangan.
1)      Landasan Yuridis: Landasan yuridis kurikulum adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 32 pengganti PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, PP 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama  dan Pendidikan Keagamaan, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor  22 tahun 2006 tentang Standar Isi.Lebih lanjut, pengembangan Kurikulum 2013 diamanatkan oleh Rencana Pendidikan Pendidikan Menengah Nasional (RJPMN). Landasan yuridis pengembangan Kurikulum 2013 lainnya adalah  Instruksi Presiden Republik Indonesia tahun 2010 tentang Pendidikan Karakter, Pembelajaran  Aktif dan Pendidikan Kewirausahaan.
2)      Landasan Filosofis: Secara singkat kurikulum adalah untuk membangun kehidupan masa kini dan masa akan datang bangsa, yang dikembangkan dari warisan nilai dan pretasi bangsa di masa lalu, serta kemudian diwariskan serta dikembangkan untuk kehidupan masa depan. Ketiga dimensi kehidupan bangsa, masa lalu-masa sekarang-masa yang akan datang, menjadi landasan filosofis pengembangan kurikulum. Pewarisan nilai dan pretasi bangsa di masa lampau memberikan dasar bagi kehidupan bangsa dan individu sebagai anggota masyarakat, modal yang digunakan dan dikembangkan untuk membangun kualitas kehidupan bangsa dan individu yang diperlukan bagi kehidupan masa kini, dan  keberlanjutan kehidupan bangsa dan warganegara di amsa mendatang. Dengan tiga dimensi kehidupan tersebut kurikulum selalu menempatkan peserta didik dalam lingkungan sosial-budayanya, mengembangkan kehidupan individu peserta didik sebagai warganegara yang tidak kehilangan kepribadian dan kualitas untuk kehidupan masa kini yang lebih baik, dan membangun kehidupan masa depan yang lebih baik lagi.
3)      Landasan Empiris: Pada saat ini perekonomian Indonesia terus tumbuh di tengah bayang-bayang resesi dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2005 sampai dengan 2008 berturut-turut  5,7%, 5,5%, 6,3%, 2008: 6,4% (www.presidenri.go.id/index.php/indikator). Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi negara – negara ASEAN sebesar 6,5 – 6,9 % (Agus D.W. Martowardojo, dalam Rapat Paripurna DPR, 31/05/2012).  Momentum pertumbuhan ekonomi ini harus terus dijaga dan ditingkatkan. Generasi muda berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif,ulet, jujur, dan  mandiri, sangat diperlukan untuk memantapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Generasi seperti ini seharusnya tidak muncul karena hasil seleksi alam, namun karena hasil gemblengan pada tiap jenjang satuan pendidikan dengan kurikulum sebagai pengarahnya.
Sebagai negara bangsa yang besar dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan beragamnya kemajuan pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun ancaman disintegrasi bangsa masih tetap ada. Maka, kurikulum harus mampu membentuk manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan untuk berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.
Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut berhulu dari kurikulum, namun beberapa ahli pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan direorganisasi terhadap beban belajar dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini.
Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan dengan beban belajar siswa, khususnya siswa sekolah dasar. Beban belajar ini bahkan secara kasatmata terwujud pada beratnya beban buku yang harus dibawa ke sekolah. Beban belajar ini salah satunya berhulu dari banyaknya matapelajaran yang ada di tingkat sekolah dasar. Maka, kurikulum pada tingkat sekolah dasar perlu diarahkan kepada peningkatan 3 (tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung, dan pembentukan karakter.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk masih adanya kecurangan di dalam Ujian Nasional menunjukkan mendesaknya upaya menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam satuan pendidikan. Maka, kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilai-nilai kejujuran pada peserta didik.
Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan manusia telah secara nyata mempengaruhi secara negatif lingkungan alam. Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih adanya potensi rawan pangan pada berbagai beahan dunia, dan pemanasan global merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang akan datang. Kurikulum seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan kepedulian generasi muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan untuk merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan ketahanan pangan.
Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai, mutu pendidikan Indonesia harus terus ditingkatkan. Hasil riset PISA (Program for International Student Assessment),studi yang memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPAmenunjukkan peringkat Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil Riset TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan siswa Indonesia berada pada rangking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil-hasil ini menunjukkan perlu ada perubahan orientasi kurikulum, dengan tidak membebani peserta didik dengan konten namun pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga negara untuk berperanserta dalam membangun negaranya pada abad 21.

4)      Landasan Teoritik: Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar teori “pendidikan berdasarkan standar” (standard-based education), dan teori kurikulum berbasis kompetensi. Pendidikan berdasarkan standar adalah pendidikan yang menetapkan standar nasional sebagai kualitas minimal warganegara untuk suatu jenjang pendidikan. Standar bukan  kurikulum  dan kurikulum dikembangkan agar peserta didik mampu mencapai kualitas standar nasional atau di atasnya. Standar kualitas nasional dinyatakan sebagai Standar Kompetensi Lulusan. Standar Kompetensi Lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Standar Kompetensi Lulusan dikembangkan menjadi Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan yaitu SKL SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, SMK/MAK.
Kompetensi adalah kemampuan sesorang untuk bersikap, menggunakan pengetahuan dan ketrampilan untuk melaksanakan suatu tugas di sekolah, masyarakat, dan lingkungan dimana yang bersangkutan berinteraksi.  Kurikulum berbasis kompetensi dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mengembangkan sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk membangun kemampuan yang dirumuskan dalam SKL. Hasil dari pengalaman belajar tersebut adalah hasil belajar peserta didik yang menggambarkan manusia dengan kualitas yang dinyatakan dalam SKL.
b)      Perubahan mindset: Pendidik memiliki sikap terbuka untuk menerima kurikulum 2013 dan memiliki keinginan yang kuat untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Agar tercapai itu semuanya maka pendidik harus mengetahui keadaan dan tantangan bangsa Indonesia pada Abad ke-21 sehingga pendidikan kita harus berubah. Selain iu cara berpikir (paradigma) yang digunakan pendidikan juga harus berubah menjadi lebih peka terhadap masalah dan memanfaatkan peluang yang ada. Bahkan pendidik harus memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi. Dengan demikian, cara baru dalam belajar juga harus dirubah.
c)      Struktur kurikulum SKL-KI-KD: Struktur kurikulum menggambarkan konseptualisasi konten kurikulum dalam bentuk mata pelajaran, posisi konten/mata pelajaran dalam kurikulum, distribusi konten/mata pelajaran dalam semester atau tahun, beban belajar untuk mata pelajaran dan beban belajar per minggu untuk setiap siswa. Struktur kurikulum adalah juga merupakan aplikasi konsep pengorganisasian konten dalam sistem belajar dan pengorganisasian beban belajar dalam sistem pembelajaran.  Pengorganisasian konten dalam sistem belajar yang digunakan untuk kurikulum yang akan datang adalah sistem semester sedangkan pengorganisasian beban belajar dalam sistem pembelajaran berdasarkan jam pelajaran per semester.

a)      STRUKTUR KURIKULUM SD/MI
Beban belajar dinyatakan dalam jam belajar setiap minggu untuk masa belajar selama satu semester. Beban belajar di SD/MI kelas I, II, dan III masing-masing 30, 32, 34 sedangkan untuk kelas IV, V, dan VI masing-masing 36 jam setiap minggu. Jam belajar SD/MI adalah 35 menit.
Struktur Kurikulum SD/MI adalah sebagai berikut:
MATA PELAJARAN
ALOKASI WAKTU BELAJAR
PER MINGGU
I
II
III
IV
V
VI
Kelompok A






1.
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
4
4
4
4
4
4
2.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
5
6
6
4
4
4
3.
Pendidikan Agama Islam
8
8
10
7
7
7
4.
Matematika
5
6
6
6
6
6
5.
 Ilmu Pengetahuan Alam
-
-
-
3
3
3
6.
 Ilmu Pengetahuan Sosial
-
-
-
3
3
3
Kelompok B






1.
Seni Budaya dan Prakarya
4
4
4
5
5
5
2.
Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan
4
4
4
4
4
4
Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu
30
32
34
36
36
36
= Pembelajaran Tematik Integratif
 

Keterangan: Mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya dapat Bahasa Daerah.
Integrasi Kompetensi Dasar IPA dan IPS didasarkan pada keterdekatan makna dari konten Kompetensi Dasar IPA dan IPS dengan konten Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama Islam, Matematika, serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan yang berlaku untuk kelas I, II, dan III. Sedangkan untuk kelas IV, V dan VI, Kompetensi Dasar IPA dan IPS berdiri sendiri dan kemudian diintegrasikan ke dalam tema-tema yang ada untuk kelas IV, V dan VI.
Dalam struktur kurikulum SMP/MTs ada penambahan jam belajar per minggu dari semula 32, 32, dan 32 menjadi 38, 38 dan 38 untuk masing-masing kelas VII, VIII, dan IX. Sedangkan lama belajar untuk setiap jam belajar di SMP/MTs tetap yaitu 40 menit.
Struktur Kurikulum SMP/MTS adalah sebagai berikut:



MATA PELAJARAN
ALOKASI WAKTU BELAJAR PER MINGGU
VII
VIII
IX
Kelompok A



1.
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
3
3
3
2.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
3
3
3
3.
Pendidikan Agama Islam
6
6
6
4.
Matematika
5
5
5
5.
Ilmu Pengetahuan Alam
5
5
5
6.
Ilmu Pengetahuan Sosial
4
4
4
7.
Bahasa Inggris
4
4
4
Kelompok B



1.
Seni Budaya
3
3
3
2.
Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan
3
3
3
3.
Prakarya
2
2
2
Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu
38
38
38
Keterangan: Mata pelajaran Seni Budaya dapat memuat Bahasa Daerah.
IPA dan IPS dikembangkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative social studies, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu. Keduanya sebagai pendidikan berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan alam. Disamping itu, tujuan pendidikan IPS menekankan pada pengetahuan tentang bangsanya, semangat kebangsaan, patriotisme, serta aktivitas masyarakat di bidang ekonomi dalam ruang atau space wilayah NKRI. IPA juga ditujukan untuk pengenalan lingkungan biologi dan alam sekitarnya, serta pengenalan berbagai keunggulan wilayah nusantara.
Seni Budaya terdiri atas empat aspek, yakni seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni teater. Masing-masing aspek diajarkan secara terpisah dan setiap satuan pendidikan dapat memilih aspek yang diajarkan sesuai dengan kemampuan (guru dan fasilitas) pada satuan pendidikan itu. Prakarya terdiri atas empat aspek, yakni kerajinan, rekayasa, budidaya, dan pengolahan. Masing-masing aspek diajarkan secara terpisah dan setiap satuan pendidikan menyelenggarakan pembelajaran prakarya paling sedikit dua aspek prakarya sesuai dengan kemampuan dan potensi daerah pada satuan pendidikan itu.
Struktur kurikulum SMA/MA/SMK/MAK terdiri atas:
-       Kelompok mata pelajaran wajib yang diikuti oleh seluruh peserta didik
-       Kelompok mata pelajaran peminatan yang diikuti oleh peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
Adanya kelompok mata pelajaran wajib dan mata pelajaran peminatan dimaksudkan untuk menerapkan prinsip kesamaan antara SMA/MA dan SMK/MAK. Mata pelajaran wajib sebanyak 9 (sembilan) mata pelajaran dengan beban belajar 24 jam per minggu. Kelompok mata pelajaran peminatan SMA/MA terdiri atas 18 jam per minggu untuk kelas X, dan 20 jam per minggu untuk kelas XI dan XII. Kelompok mata pelajaran peminatan SMK/MAK masing-masing 24 jam per kelas. Kelompok mata pelajaran peminatan SMA/MA bersifat akademik, sedangkan untuk SMK/MAK bersifat vokasional. Struktur ini menempatkan prinsip bahwa peserta didik adalah subjek dalam belajar dan mereka memiliki hak untuk memilih sesuai dengan minatnya.
1.    Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah
Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah adalah sebagaimana yang tertera di dalam tabel berikut ini:
Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah kelompok mata pelajaran wajib:
MATA PELAJARAN
ALOKASI WAKTU BELAJAR
PER MINGGU
X
XI
XII
Kelompok A (Wajib)



1.
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
3
3
3
2.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
2
2
2
3.
Pendidikan Agama Islam
4
4
4
4.
Matematika
4
4
4
5.
Sejarah Indonesia
2
2
2
6.
Bahasa Inggris
2
2
2
Kelompok B (Wajib)



7.
Seni Budaya
2
2
2
8.
Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan
3
3
3
9.
Prakarya dan Kewirausahaan
2
2
2
Jumlah Jam Pelajaran Kelompok A dan B per minggu
24
24
24
Kelompok C (Peminatan)



Mata Pelajaran Peminatan Akademik (SMA/MA)
18
20
20
Jumlah Jam Pelajaran yang Harus Ditempuh per Minggu
42
44
44

Beban belajar di SMA/MA untuk Tahun X, XI, dan XII masing-masing 43 jam belajar per minggu. Satu jam belajar adalah 45 menit.
2.    Struktur Kurikulum SMA/MA
MATA PELAJARAN
Kelas
X
XI
XII
Kelompok A dan B (Wajib)
24
24
24
C. Kelompok Peminatan



Peminatan Matematika dan Ilmu-Ilmu Alam



I
1
Matematika
3
4
4
2
Biologi
3
4
4
3
Fisika
3
4
4
4
Kimia
3
4
4
Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial



II
1
Geografi
3
4
4
2
Sejarah
3
4
4
3
Sosiologi
3
4
4
4
Ekonomi
3
4
4
Peminatan Ilmu-Ilmu Bahasa dan Budaya



III
1
Bahasa dan Sastra Indonesia
3
4
4
2
Bahasa dan Sastra Inggris
3
4
4
3
Bahasa dan Sastra Asing Lainnya
3
4
4
4
Antropologi
3
4
4
Mata Pelajaran Pilihan dan Pendalaman




Pilihan Lintas Minat dan/atau Pendalaman Minat
6
4
4
Jumlah jam pelajaran yang tersedia per minggu
66
76
76
Jumlah jam pelajaran yang harus ditempuh per minggu
42
44
44

Kelompok Peminatan terdiri atas Peminatan Matematika dan Ilmu-ilmu Alam, Peminatan Ilmu-ilmu Sosial, dan Peminatan Ilmu-ilmu Bahasa dan Budaya. Sejak kelas X peserta didik sudah harus memilih kelompok peminatan yang akan dimasuki. Pemilihan peminatan berdasarkan nilai rapor di SMP/MTsdan/atau nilai UN SMP/MTs dan/atau rekomendasi guru BK di SMP/MTs dan/atau hasil tes penempatan (placement test) ketika mendaftar di SMA/MA dan/atau tes bakat minat oleh psikolog dan/atau rekomendasi guru BK di SMA/MA. Pada akhir minggu ketiga semester pertama peserta didik masih mungkin mengubah pilihan peminatannya berdasarkan rekomendasi para guru dan ketersediaan tempat duduk. Untuk sekolah yang mampu menyediakan layanan khusus maka setelah akhir semester pertama peserta didik masih mungkin mengubah pilihan peminatannya. Untuk MA, selain ketiga peminatan tersebut ditambah dengan Kelompok Peminatan Keagamaan.
Semua mata pelajaran yang terdapat dalam suatu Kelompok Peminatanyang dipilih peserta didik harus diikuti. Setiap Kelompok Peminatan terdiri atas 4 (empat) mata pelajaran dan masing-masing mata pelajaran berdurasi 3 jampelajaran untuk kelas X, dan 4 jampelajaran untuk kelas XI dan XII.
Setiap peserta didik memiliki beban belajar per semester selama 42 jam pelajaran untuk kelas X dan 44 jam pelajaran untuk kelas XI dan XII. Beban belajar ini terdiri atas Kelompok Mata Pelajaran Wajib A dan B dengan durasi 24 jam pelajaran dan Kelompok Mata Pelajaran Peminatan dengan durasi 12 jam pelajaran untuk kelas X dan 16 jampelajaran untuk kelas XI dan XII.
Untuk Mata Pelajaran Pilihan Lintas Minat dan/atau Pendalaman Minat kelas X, jumlah jam pelajaran pilihan per minggu berdurasi 6 jam pelajaran yang dapat diambil dengan pilihan sebagai berikut:
1)    Dua  mata pelajaran di luar Kelompok Peminatan yang dipilihnya tetapi masih dalam satu Kelompok Peminatan lainnya, dan/atau
2)    Satu mata pelajaran dari masing-masing  Kelompok Peminatan yang lainnya.
Sedangkan pada kelas XI dan XII, peserta didik mengambil Pilihan Lintas Minat dan/atau Pendalaman Minat dengan jumlah jam pelajaran pilihan per minggu berdurasi 4 jam pelajaran yang dapat diambil dengan pilihan sebagai berikut:
a.    Satu mata pelajaran di luar Kelompok Peminatan yang dipilihnya tetapi masih dalam Kelompok Peminatan lainnya, dan/atau
b.    Mata pelajaran Pendalaman Kelompok Peminatan yang dipilihnya.

d)     Penilaian
Indikator Pencapaian Kompetensi
Teknik Penilaian
Bentuk Instrumen
a.       Doa sebelum dan sesudah belajar.

Penilaian Observasi

Lembar penilaian sikap


a.       Memiliki sikap tanggung jawab] peduli, responsif, dan santun dalam Memiliki sikap tanggung jawab peduli, responsif, dan santun Meyakini adanya Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
.
1.    Penilaian Observasi kinerja penulisan laporan.
1.     Tes tertulis.
2.     Rubrik penilaian kinerja.
a.       Menganalisis  Q.S. Al-Fatihah dan Q.S. Al-Ikhlas

b.      bersuci sebelum beribadah
c.       Terbiasa membaca Basmalah setiap memulai aktivitas
1.    Latihan
1.    Lembaran tugas latihan.
2.    Rubrik penilaian latihan.


Lampiran 1 Lembar Pengamatan

LEMBAR PENGAMATAN SIKAP
Mata Pelajaran  :..................................................................................................
Kelas/Semester:....................................................................................................
Tahun Ajaran     :....................................................................................................
Waktu Pengamatan: ............................................................................................
Bubuhkan tanda V pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan.

No.
Nama Siswa
Penggunaan Diksi
Keefektifan Kalimat
Kesesuaian konteks
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1.













2.













3













4













5














Keterangan
1                     = kurang
2                     = sedang
3                     = baik
4                     = sangat baik

Lampiran 2:  Lembar Pengamatan

LEMBAR PENGAMATAN PERKEMBANGAN AKHLAK DAN KEPRIBADIAN
Mata Pelajaran  :..................................................................................................
Kelas/Semester:....................................................................................................
Tahun Ajaran     :....................................................................................................
Waktu Pengamatan: ............................................................................................
Karakter yang diintegrasikan dan dikembangkan adalah kerja keras dan tanggung jawab.

Indikator perkembangan karakter kreatif, komunikatif, dan kerja keras
1.       BT (belum tampak) jika sama sekali tidak menunjukkan usaha sungguh-sungguh  dalam menyelesaikan tugas
2.       MT (mulai tampak) jika menunjukkan sudah ada  usaha sungguh-sungguh  dalam menyelesaikan tugas tetapi masih sedikit dan belum ajeg/konsisten
3.       MB (mulai berkembang) jika menunjukkan ada  usaha sungguh-sungguh  dalam menyelesaikan tugas yang  cukup sering dan mulai ajeg/konsisten
4.       MK (membudaya) jika menunjukkan adanya  usaha sungguh-sungguh  dalam menyelesaikan tugas secara terus-menerus dan ajeg/konsisten

Bubuhkan tanda V pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan.
No.
Nama Siswa
Kreatif
Komunikatif
Kerja keras
BT
MT
MB
MK
BT
MT
MB
MK
BT
MT
MB
MK
1.













2.













3













4













5













6













7













10













11
















Pedoman Penskoran

Aspek
Skor
Siswa menjawab pernyataan benar dengan alasan benar
3
Siswa menjawab pernyataan benar tapi tidak didukung oleh alasan benar
2
Siswa menjawab pernyataan salah
1
SKOR MAKSIMAL
6

Soal Nomor 2 dan 3
Rubrik penilaian
No.
Kriteria Penilaian
Skor
Bobot
1.
Pilihan kata
a.   tepat dan sesuai
b.   kurang tepat dan sesuai
c.    tidak tepat dan sesuai

3
2
1


5
2.
Kalimat
a.   mudah dipahami
b.   sedikit sulit dipahami
c.    sulit dipahami

2
1
0


3
3.
Ejaan dan tanda baca
a.   tidak ada yang salah
b.   sedikit yang salah
c.    banyak yang salah

2
1
0


2



Jakarta, Juni 2013

Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti

5.    Berdasarkan hasil analisis saudara, saudara diminta untuk merumuskan beberapa permasalahan yang paling penting untuk dapat diangkat sebagai usulan proposal penelitian bidang pengembangan PAI di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT di Lembaga Pendidikan Islam. Untuk menjawab masalah ini, saudara di minta untuk mengemukakan: (a) judul penelitian, (b) latar belakang masalah, (c) rumusan masalah, (d) tujuan dan manfaat penelitian, (e) kerangka teoritik, dan (f) metode penelitian yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah.
Jawab:
a.      Judul penelitian: Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan (Perspektif Psikologi, Biologi, dan Sosiologi) di STAIN Kediri

b.      Latar belakang masalah: Perilaku kekerasan dapat dilakukan oleh siapapun dan di manapun. Baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan non fisik (verbal dan non verbal). Bagaimanapun, manusia sebagai makhluk yang memiliki kebutuhan akan pengakuan kadangkala melakukan “tekanan” terhadap pihak lain untuk memperoleh kebutuhan itu. Potensi permasalahan itu, belum lagi dibandingkan dengan keadaan nyata yang dihadapi oleh bangsa ini seperti perekelahian, pemukulan, pembunuhan, terorisem, dan tindakan-tindakan kekerasan lainnya yang sering muncul di televisi. Dalam menanggulangi dan mencegah potensi perilaku seperti itu yang jamak maka PAI sebagai salah satu bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran yang penting untuk melaksanakan misi mulia ini. Oleh karena itu, pengembangan PAI mutlak diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan perkembangan biologis, psikologis, dan sosiologi peserta didik beserat masyarakat yang menaunginya.
c.       Rumusan masalah:
1)      Bagaimana pelaksanaan pengembangan pembelajaran mata kuliah Pendidikan Agama Islam berbudaya nirkekerasan di STAIN Kediri?
2)      Mengapa pengembangan pembelajaran Pendididikan Agama Islam berbudaya nirkekerasan sangat diperlukan di STAIN Kediri?
d.      Tujuan dan manfaat penelitian:
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, menggali, dan mengetahui:
1)      Pelaksanaan pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbudaya nirkekerasan di STAIN Kediri.
2)      Landasan pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbudaya nirkekerasan di STAIN Kediri.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1)      Mampu memberikan rumusan solusi (teori) baru tentang pola keterkaitan antara pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan kondisi latar belakang psikologi, biologis, dan sosiologis peserta didik dan masyarakat sekitar.
2)      Menjadi titik tolak bagi penelitian selanjutnya tentang pentingnya pengembangan PAI berbudaya nirkekerasan 
e.       Kerangka teoritik:      Pada zaman mondial ini, dinamika ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi, sangat berlangsung cepat dan instan. Hal itu menuntut PAI untuk mengimbanginya dengan pengembangan diri secara “cepat” pula. Di sisi lain, akibat dari lompatan cepat tersebut tantangan dan permasalahan PAI menjadi bertambah. Misalnya, zaman dulu “kekerasan” antar tubuh oleh manusia prasejarah sangat perlu dilakukan untuk mengendalikan keadaan sosial, simbol dominasi, dan untuk mencari makan (kekerasan pada hewan). Tapi pada zaman sekarang ini bukan “kekerasan” tubuh secara berhadap-hadapan yang dapat mengatur sistem sosial, tapi adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, dengan CCTV pemerintah bisa memantau rakyatnya dari jarak jauh, atau dengan satu tombol saja negara tertentu bisa meluluh lantakkan negara lain meski jauh lokasinya dengan bom atom. Bahkan bukan suatu kemustahilan bila suatu saat diciptakan robot yang diprogram melakukan “kekerasan.”
Namun, demikian bagaimanapun Islam adalah agama universal (rahmatan lil alamin) yang menjangkau kebutuhan zaman secara totalitas dan utuh. Artinya, pendidikan Islam tidak hanya mengurusi masalah keakhiratan (eskatologi), tapi juga urusan duniawi.[25] Artinya, manusia merupakan makhluk yang membutuhkan hal-hal bersifat fisik-biologis (homo economicus) sekaligus hal-hal yang bersifat psikologis dan spiritual atau maknawi (homo socius). Atas dasar itu, maka manusia bisa menjadi makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Namun demikian, betapa pun manusia punya kecerdasan tetap saja ia makhluk yang terbatas.[26] Dari keterbatasan itu manusia harus bekerjasama satu sama lain. Dari kenyataan tersebut PAI berperan sebagai pembangun kejiwaan, spiritualitas, dan kemaknaan hidup bersama sehingga bisa membentuk masyarakat berbudaya nirkekerasan.
Bisa dikakatan dalam posisi tersebut, PAI bertugas menyadarkan secara ilmu pengetahuan dan sikap, bahwa tindakan “kekerasan” dalam konteks yang tidak tepat, tidak manusiawi, dan dengan cara berlebih-lebihan merupakan larangan agama. Menurut Mark Jurgensmeyer, akan sangat mengejutkan dan memusingkan bila sesuatu yang buruk (kekerasan) justru dilakukan oleh orang “baik.” Yakni, yang mengabdikan diri pada pandangan moral dunia dan orang yang saleh. Dengan argumen dan retorika yang nampak luhur, padahal tindakan mereka telah menyebabkan penderitaan dan kekacauan kehidupan.[27] Oleh karena itu, PAI berserta institusinya seyogianya tidak hanya mendorong peserta didik hanya untuk bersabar, tabah, menerima takdir, dan pasrah pada keadaan zaman. Serta sebaliknya, “mendorong” mereka mengutuk dan mencemooh negara yang membuat teknologi yang menimbulkan kekerasan. Namun, PAI harus bisa memberikan dorongan untuk hidup damai serta mendorong peserta didik menciptakan teknologi canggih yang berbasis nirkekerasan.
Dari penjelasan di atas dapat dibuat rumusan gambar terkait peran PAI dalam pencegahan tindakan kekerasan di kemudian hari sebagai berikut:



 











Gambar 1. Upaya pemutusan rantai kekerasan “ideologis” melalui Pendidikan

Dari gambar di atas, dapat dikatakan peran pendidikan utamanya PAI cukup penting dalam membangun kerangka psikologis-ideologis peserta didik. Yakni, pemberian materi PAI yang bisa membangun nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan empati. Dengan itu peserta didik akan mampu membangun prinsip kehidupan damai yang mantap di kemudian hari, sehingga tidak mudah dipengaruhi paham-paham yang sesat. Mereka mampu membedakan mana tindakan biadab (tidak manusiawi) dan mana tindakan yang mampu mempertahankan nilai-nilai manusiawi. Misalnya, dalam keadaan damai melakukan penyerangan (kekerasan) terhadap masyarakat sipil merupakan tindakan tidak manusiawi. Namun, mengadakan penyerangan (kekerasan) terhadap musuh yang telah melakukan penyerangan terlebih dahulu bernilai jihad. Bahkan merupakan tindakan manusiawi yaitu demi mempertahankan nilai-nilai kehidupan.
Lebih lanjut, tugas PAI adalah mengakomodir peserta didik sebagai generasi umat Islam yang memiliki potensi (diprediksi) melakukan tindakan agresif dan kriminal. Utamanya, bagi mereka yang telah mengalami “kegagalan” dalam mengkonsep kepribadiannya dan yang mengalami benturan psikologis hebat, terutama di masa kecilnya. Cara lain adalah mengkonstruk tindakan dan nilai-nilai terorisme sebagai sesuatu yang tidak memiliki daya tarik sama sekali. Kemudian merubah arah “semangat” beragama mereka menuju hal-hal yang jauh lebih berdampak positif bagi kehidupan seluruh umat manusia. Misalnya dalam bidang ilmu pengetahuan alam memotivasi mereka untuk menciptkan karya yang bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan
Dalam mencari latar belakang (penyebab) terjadinya kekerasan, masih sulit diterima alasan bahwa aneka kekerasan itu hanya dipicu oleh provokasi para elit politik. Pun juga, logika manusia belum puas terhadap jawaban yang mengatakan pembakaran terhadap aneka tempat ibadah dan perkampungan dari kelompok (etnis) umat agama tertentu dilakukan oleh orang-orang yang tidak kuat imannya.[28] Di sinilah perlu analisis kritis adakah yang salah dengan pola “pengkaderan” generasi umat beragama. Lebih spesifik adakah yang salah dengan Pendidikan Agama termasuk PAI di lembaga pendidikan formal, informal, dan nonformal sehingga kekerasan masih jamak terjadi. Dikhawatirkan konsep keimanan yang dibangun dan dijadikan patokannya masih salah kaprah dan tidak utuh. Oleh karena itu, paling tidak dalam PAI harus ada upaya pencegahan secara aktif bagi peserta didik sehingga terhindar dari “kebiasaan” kekerasan.
Dalam hal ini Bandura membuat sebuah skema tentang manipulasi psikologi pelaku kekerasan sehingga rela bertindak kejam sebagai berikut:[29]



















-   Mencari pembenaran (atas nama moral dan agama)
-   Penamaan (label) yang halus (santun)
-   Pembandingan dengan “kekerasan” yang lain
 

Penafsiran ulang segala konsekuensi yang ada (demi mendapatkan kemanfaatan bersama yang lebih tinggi)
 

-   Dehumanisasi (pengkaburan nilai-nilai kemanusisaan)
-   Pelemparan kesalahan (tanggung jawab)
 



 















Keterangan:
Tindakan tercela (amoral): penafsiran ulang secara kognitif, sehingga perbuatan tersebut yang awalnya haram-terceal menjadi boleh-mulia bahkan wajib dilakukan.
Timbul kerusakan/kerugian: Kerusakan fisik dianggap sebagai simbol gerakan menekan “kemrosotan,” dengan dalih agar tujuan yang lebih mulia bisa tercapai.
Korban manusia: Pengorbanan tubuh manusia bahkan nyawanya dilakukan karena keadaan “terpaksa.” Manusia tidak lagi dianggap manusia melainkan hanya dijadikan tumbal perjuangan.

Gambar 2. Mekanisme psikologi kekerasan dalam mengkonstruk pembenaran diri (skema diadaptasi dari Albert Bandura)

Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa pada mulanya pelaku kekerasan menganggap bahwa merusak fasilitas umum dan melukai tubuh atau fisik (barang) orang lain adalah tindakan tercela (berdosa) dan diluar standar moral. Namun, kemudian untuk mengkaburkan sifat tercela tersebut pelaku kekerasan mencari dan mengumpulkan berbagai dalih pembenaran dengan berbagai cara. Termasuk salah satunya mengkambing hitamkan penyebab pada pihak lain. Oleh karena itu, sesungguhnya pembelajaran PAI hendaknya bisa memberikan tekanan kepada peserta didiknya tentang wawasan dan standar etika global. Hal ini penting, selain karena mengakui hak hidup nyaman manusia lain, tapi juga untuk membangkitkan kesadaran dan mengkritisi standar etika kelompok atau otoritas yang belum tentu sesuai dengan standar etika global bahkan etika Islam.
Dalam hal ini, biasanya individu atau kelompok tertentu memahami dan menghayati keagamaannya dari pihak otoritas. Misalnya, terafilisasi pada ideologi organisasi keagamaan tertentu, doktrin orang tua, guru (utamanya guru agama), tokoh agama, dan pihak-pihak lain yang dianggap pantas menjadi panutan dan penentu arah hidupnya. Kenyataan tersebut sangat sulit sekali dirubah apalagi tatkala fanitisme tersebut sudah terlanjur melekat, sehingga sulit untuk mengikuti dinamika. Implikasinya, daya kritis seseorang terhadap pemahaman agama menjadi lemah, sehingga pemahaman agamanya bisa dibelokkan untuk kepentingan kekerasan. Padahal sudah menjadi pemahaman bersama bagi umat Islam bahwa kenyataan tentang “perbedaan” adalah sunatullah, sesuatu yang tidak bisa dihindari (given). Di mana salah satu fungsinya hadir sebagai sarana ujian bagi manusia dari Allah SWT.
Kenyataan di Indonesia, mempermasalahkan kehidupan (cara) beragama di Indonesia masih dianggap tabu. Di mana pemeluk agama dibiasakan selalu menerima ajaran agama tanpa diperbolehkan mengkritisi sedikitpun (taking for granted). Implikasinya, kadang umat beragama akan merasa kehilangan daya kritis, inovaif, dan dinamis sehingga “lupa” caranya beragama dengan benar. Padahal, setiap pertanyaan yang diajukan hati nurani mengenai agama sebenarnya malah menjadi titik tolak baru untuk pendalaman dan penghayatan hidup beragama itu sendiri. Intinya, “ajaran” agama yang diutamakan hanya berhenti pada pemujaan Tuhan semata, sehingga berakibat memandang sepele terhadap etika kemanusiaan.[30] Pada akhirnya, karena keringnya etika tersebut, umat beragama akan menjadi ekslusif dalam penghayatan agama. Dengan demikian, Tuhan digambarkan hanya mengurusi umat beragama tertentu. Tuhan dipandang tidak mengurusi serta memberi kesempatan bagi umat yang lain untuk hidup nyaman di dunia ini.
Dengan bahasa lain, seringkali umat beragama menyamakan antara sifat Ketuhanan dengan sifat-sifat yang dimiliki manusia. Mereka begitu yakin bahwa Tuhan dapat marah seperti layaknya manusia cepat marah. Pun juga cepat percaya bahwa Tuhan mudah menaruh dendam seperti manusia yang serta merta menaruh dendam. Seakan-akan Tuhan hanya mencintai golongan tertentu sementara pada yang sama membenci yang lain, yang belum tentu jauh lebih buruk dariya. Dengan itu, mereka meyakini bahwa Tuhan memang menghendaki kematian atau kehancuran golongan “pelanggar” tersebut.[31] Bisa dikatakan, manusia seperti ini hanya membangun presepsi tentang Tuhan bukan berdasarkan teks-teks wahyu yang utuh tapi berdasarkan pengalaman dan kepentingan pribadi.
Didasarkan pada penjelasan tersebut, PAI seharusnya melakukan pengembangan atau perubahan paradigma. Salah satunya adalah dengan melakukan pengembangan materi. Misalnya pengembangan terhadap materi sejarah Islam terkait peperangan yang selama ini seakan “membolehkan” peserta didik untuk melakukan kekerasan (perang fisik). Seharusnya materi tentang sejarah peperangan dan kekerasan tidak boleh diberikan secara parsial, tendensius, dan hanya berbicara tentang kalah atau menang (dominan). Namun, harus diberikan secara utuh serta lebih banyak memunculkan nilai-nilai etika dalam peperangan tersebut. Bila muatan etika lebih ditekankan maka nilai-nilai kemanusiaan akan nampak, bukan nilai-nilai kekerasan yang ditonjolkan. Dengan demikian, diharapkan ideologi yang disampaikan pada peserta didik tidak “menyesatkan” atau tidak akan ditafsirkan secara salah oleh mereka.
Pada akhirnya, pembelajaran PAI bukan sekedar upaya untuk pemberian ilmu pengetahuan yang berorientasi pada target penguasan materi, misalnya materi tentang peperangan. Akan tetapi sebagaimana menurut penjelasan di atas pendidik juga ikut andil dalam pemberian pedoman hidup (pesan pembelajaran) misalnya tentang moralitas (akhlak) kepada peserta didik yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan manusia lain.[32] Komponen inilah yang ikut andil pada pemberian cetak biru khusus sehingga menjadi ciri utama pembelajaran PAI. Yakni, salah satunya dalam bidang pengendalian moralitas bangsa yang tidak lekat dengan tindakan kekerasan.
Secara terperinci, dalam konteks pendidikan, yaitu penanaman  ideologi agama yang benar (utuh) kepada peserta didik harus ditanamkan secara konsisten. Yakni, penanaman “ideologi” kedamaian yang bukan hanya untuk seagama sendiri. Artinya, untuk umat seagama sendiri bersikap lemah lembut tapi pada agama lain akan bersikap keras dan melemahkannya. Sebagaimana menurut menurut Syamsul Arifin bahwa “setiap gerakan fundamentalisme agama memiliki ideologi. Bagi gerakan sosial, keberadaan ideologi memiliki arti penting. Tanpa ditopang ideologi, keberadaan suatu gerakan sosial hanya akan menghadapi ketidakpastian yang berkepanjangan.” Kritik sosial dan gerakan fundamentalis tersebut ditujukan kepada berbagai macam penyakit sosial yang menimbulkan krisis kehidupan masyarakat. Krisis inilah yang ingin disematkan oleh mereka dengan mengembalikan pada tatanan kehidupan ideal pada masa lalu. Serta memberikan janji kemuliaan di masa akan datang (eksatologis).[33]

Perspektif Interdisipliner
Penggunaan perspektif interdisipliner dalam pengembangan PAI pada zaman sekarang ini sangat penting. Selain karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, juga dilandaskan pada pandangan bahwa penggunaan ayat kauliyah saja sebagai dasar utama PAI tidak cukup. Namun perlu, ayat-ayat kauniyah sebagai sumbangan bagi pengembangan PAI. Baik dalam bidang materi, strategi, tujuan, media, dan komponen pembelajaran lainnya. Oleh karena itu, untuk memfungsikan PAI secara optimal, salah satu konsep Muhaimin adalah dengan mengarahkan truth claim dengan tepat dan sah.[34] Berangkat dari pernyataan tersebut maka penulis memandang penting mengkaji tema “kekerasan” yang ditinjau melalui kajian psikologi, sosiologi, dan biologi.
Pertama, kajian psikologi. Bila dikaitkan dengan psikologi menurut Abuddin Nata pendidikan adalah pemindahan (transmission) nilai-nilai, ilmu, dan kecakapan dari generasi tua kepada generasi muda dalam rangka melanjutkan serta memelihara identitas (peradaban) dan kepribadian masyarakat tersebut. Di mana dalam proses transmisi “kepentingan” masyarakat tersebut, psikologi memiliki peran yang sangat penting.[35] Salah satu caranya adalah melakukan proses pembelajaran dengan metode nirkekerasan. Hal ini perlu dilakukan karena menurut Bashori Muchsin seorang anak yang didik dalam balutan kekerasan, suatu saat pengalaman kekerasan tersebut berpotensi besar akan ditiru oleh mereka di saat dewasa kelak.[36]
Lebih lanjut, kekerasan biasanya diidentikkan dengan agresifitas. Di mana Freud dan Lorenz sebagaimana yang dikutip Fromm memandang bahwa agresifitas seseorang merupakan sifat bawaan (genetis). Freud mengemukakan teori tentang insting, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (death instinct). Insting kematian bisa tertuju pada organisme itu sendiri yang beruwujud dorongan perusakan diri dan tertuju pada pihak luar. Dengan demikian, agresi bukanlah reaksi terhadap stimulus dari luar, tapi dorongan dari dalam diri sendiri yang menggelora dan berakar dari kondisi biologis (otak) manusia.[37]
Selanjutnya, sebagaimana menurut Lorenz, kehendak untuk agresif tersebut sebagai insting suatu saat akan “meledak” meski tak ada rangsangan dari luar. Hal ini bisa terjadi bila  “energi” yang tak tertahan (mempat) tak bisa ditampung lagi. Asumsinya, manusia dan binatang biasanya tidak akan pasif dalam menemukan stimulus tersebut. Bahkan, cenderung mencari dan bila perlu menciptakan stimulus. Dalam konteks sosial, manusia akan melepaskan “energi” (dorongan) agresifnya dalam bentuk “mencari perkara.” Misalnya, membuat partai politik yang bisa menyebabkan timbulnya agresi kepada orang lain. Namun, bila sama sekali tidak ada sitimulus yang dapat ditemukan dan diciptakan, maka dorongan agresif yang tertahan (tidak dilampiaskan) akan menjadi demikian besar dan siap meledak sewaktu-waktu. Dengan demikian, menurut Lorenz agresi pada dasarnya bukan respon atas stimulus dari luar. Melainkan rangsangan dalam diri yang sudah “terpasang,” sehingga butuh pelampiasan dan akan terekspresikan meski mendapat stimulus dari luar yang kecil. Model agresi ini sama seperti model libido Freud, yang dinamai model “hidrolik.” Yakni, tekanan yang ditimbulkan oleh air atau uap dalam tabung tertutup.[38]
Teori lain terkait dengan tindakan kekerasan adalah “kefrustasian.” Menurut Buss sebagaimana dikutip Fromm, fursatasi adalah penghilangan hasrat atau keinginan dari individu yang ingin mencapai tujuan tertentu, sehingga terjadi “putus harapan.” Misalnya seorang anak yang meminta roti kepada ibunya lalu ibunya menolak, atau seorang pria yang menembak wanita tapi hasilnya mendapat penolakan. Lebih rinci, timbulnya frustasi salah satunya ditentukan oleh karakter seseorang. Misalnya, seseorang yang sangat rakus, akan sangat marah bila ia tidak memperoleh makanan yang ia inginkan. Begitu pula orang kikir, akan sangat marah bila harus membayar makanan yang terlalu mahal. Adapun karakter narsistik akan meras frustasi bila tidak mendapatkan sanjungan (penghormatan) sesuai dengan yang dikehendaki.[39]
Namun, pernyataan tersebut dikritisi oleh Fromm. Ia berpendapat bahwa tidak ada hal istimewa, besar, dan membanggakan yang dapat diraih tanpa terlebih dahulu mengalami frustasi. Terlebih untuk menuju pencapaian pada tingkat keahlian tinggi. Dengan kata lain, tanpa kemampuan dalam menerima sekaligus mengalami frustasi manusia nyaris tidak dapat berkembang sama sekali. Asumsinya, dalam kehidupan sehari-hari banyak diketahui orang sedang mengalam frustasi (tekanan) tapi tidak memperlihatkan respon agresif. Meski, yang kerap memunculkan agresi adalah sesuatu yang diartikan (disebut) sebagai frustasi. Serta makna frustasi secara psikologis tentunya berbeda sesuai dengan kondisi sosial.
Dari semua pembahaan di atas, upaya pencegahan PAI agar tidak terciptanya kekerasan adalah dengan penekanan empati –misalnya konsep altruisme positif– pada pembelajarannya. Di mana empati sesungguhnya sangat erat kaitannya dengan etika (konsep baik dan buruk). Dengan kata lain, PAI idealnya bisa menumbuhkan empati peserta didik terhadap umat beragama lain. Salah satu caranya adalah melalui passing over (lintas batas/sekat). Secara rinci Syamsul Arifin menyatakan:[40]

Adanya suatu yang hilang dari agama, yaitu daya jelajah agama yang memungkinkan setiap orang melakukan ziarah spiritual – yang oleh John S. Donne disebut dengan passing over, kecuali akan menambah wawasan intelektual agama lain yang diperolehnya secara fenomenologis. Juga, akan dapat memperkaya pemahaman spiritual yang sebelumnya diperkaya oleh agama yang dipeluknya.

Lantas bagaimana individu dapat keluar dari penyandraan formalitas agama, sehingga bisa melakukan perjumpaan secara mendalam dengan agama lain? Semua itu menurut Syamsul Arifin, tergantung pada proses pembelajaran atas agama yang dipeluk.[41] Namun demikian, empati tidak boleh diwujudkan dengan menggunakan simbol-simbol agama lain dalam kehidupan sehari-hari atau bahkan melakukan ibadah agama lain. Penggunaan empati di sini cukup sebatas pada perkataan dan perilaku toleran dalam urusan muamalah yang tidak menjurus pada ritual keagamaan. Pernyataan tersebut sebagaimana saran Gadner (pencetus teori multiple intelligences) terhadap guru, bahwa mereka harus melatih anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan pribadi (intrapersonal) di sekolah.[42]
Lebih konkrit Gadner memandang penting adanya “flow” dalam setiap pembelajaran. Menurut Daniel GolemanFlow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan.” Dengan kata lain, segala tindakan yang dilakukan berasal dari kesadaran diri bukan paksaan atau doktrin buta dari orang lain.[43]
Kedua, kajian sosiologi. Di era sibernetika (komunikasi) seperti sekarang ini, seseorang semakin pontesial untuk dimanipulasi “pikirannya.” Baik itu dalam bidang profesi, konsumsi, dan ideologinya. Sebagaimana dalam konsep “pembiasaan positif” milik Skinner. Dalam kacamata ini, individu kehilangan “kesadaran” kritisnya dalam proses sosial. Ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Ia menjadi objek yang telah dikontrol oleh sosial, sehingga apabila tindakan dan pemikirannya tidak sesuai dengan tatanan sosial akan sangat merugikan bagi dia. Bila ia bertekat tetap menjadi dirinya sendiri, maka akan kehilangan identitas (status), terisolasi (terkucil), diusir, dan bahkan kehilangan nyawanya.[44] Hal ini tentunya juga dalam mewujudkan ekpresi keagamaan individu. Dalam praktik beragama, seseorang biasanya hanya ikut-ikutan (absolutisme agama) tanpa terlebih dahulu mengkritisi. Sebagaimana menurut Muchsin dan Wahid bahwa:[45]

Dalam kajian sosiologi, agama dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu: pertama, emosi keagamaan yang menyebabkan manusia memiliki rasa dan semangat beragama; kedua, sistem keyakinan yang mencakup segala keyakinan terutama terhadap Tuhan dan kehidupan ghaib, termasuk juga sistem nilai dan moral; ketiga, sistem ritus sebagai upaya manusia mengadakan hubungan dan melakukan pendekatan kepada Tuhan dan sikapnya menghadapi lingkungannya; dan keempat, konsep umat atau solidaritas sosial yang menganut sistem agama tersebut.

Lebih tegas, Syamsul Arifin menyatakan bahwa agama hanya digunakan sebagai pembentuk identitas diri dan kelompok. Dampaknya, dalam antropologi berpotensi pada penciptaan bounded system. Pada akhirnya muncul sikap psikosiologis, yaitu in group feeling dan out group feeling. Selanjutnya, sebagai pemerkokoh identitas, suatu komunitas agama melakukan pengembangan narasi besar yang bersumber dari Tuhan. Serta memunculkan ekspresi keagamaan tertentu dalam skala masif sebagai wujud public expose, sehingga menjadi penegas perbedaan antara kelompok agama tersebut dengan yang lainnya (Syamsul Arifin, http://rires2.umm.ac.id).[46] Dengan kata lain telah terjadi penutupan peluang untuk melakukan hubungan sosial (dialog) antar umat beragama. Di sinilah nampak terjadi pelemahan kecerdasan intrapersonal, kematian sikap kritis, dan ketiadaan “kesadaran subjektif” pemeluk agama dalam mengekspresikan dan mengahayati agamanya.
Dari pembahasan tersebut maka pembelajaran PAI hendaknya bisa menumbuhkan kecerdasan spiritual peserta didik. Dimana menurut Danah Zohar dan Ian Marshall bahwa ada tiga sebab yang menjadikan manusia dapat terhambat secara spiritual: a.tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sendiri sama sekali. b. telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak proposional, atau dengan cara yang negati atau destruktif. c. bertentangan atau buruknya hubungan antara bagian-bagian.”[47]
Lebih detail, menurut Zohar yang dikutip oleh Agus Efendi bahwa ada tujuh langkah praktis kecerdasan spiritual yang lebih tinggi. Di antaranya meliputi kesedaran akan keberadaan diri (di mana sekarang?), merasakan keinginan kuat untuk berubah, merenung dan menanyakan motivasi terdalam, menemukan dan mengatasi rintangan, menggali banyak peluang untuk melangkah maju, ketetapan hati pada sebuah jalan, dan kesadaran akan banyak jalan lain.[48]
Lebih detail, semangat kesuksesan untuk selalu menjadi lebih baik memberikan semangat manusia mencari jalan bagi spiritualnya.[49] Yakni, ketenangan hidup dan makna hidup. Semua itu tidak bisa terpenuhi hanya dengan kelimpahan materi, ketinggian jabatan, dan popularitas. Sebaliknya, keutuhan spiritual dapat dicapai dengan meningkatkan integritas diri, penghormatan (komitmen) pada kehidupan, dan penyebaran kasih sayang serta cinta. Namun demikian, hal-hal tersebut tidak berhubungan lansung dengan ritual agama. Artinya, tidak selalu orang yang rajin shalat, sering naik haji adalah orang yang memiliki spiritualitas tinggi dan utuh. Bahkan banyak agamawan yang kehilangan spiritualitas karena terlalu banyak mengandalkan ritual, upacara, dan formalitas agama. Dengan demikian, antara ritualitas (simbol) dan spiritualitas merupakan dua hal yang berbeda walaupun berkaitan.[50]
Ketiga, kajian biologi. Salah satu materi yang dikaji pada biologi adalah otak. Di mana otak merupakan organ vital utama manusia selain jantung dan paru-paru. Implikasinya, manusia secara fisik tanpa otak tidak akan berarti apa-apa, seluruh organ dalam dan panca indra tak akan berfungsi. Inilah yang disebut dengan kematian (meninggal dunia) secara fisik. Bisa dikatakan bahwa keadaan otak manusia secara fisis-biologis sangat menentukan bagi perkembangan kecerdasan.[51] Menurut Agus Efendi, tentang rahasia otak beserta kecerdasaannya[52] sampai sekarang masih belum terungkap secara memuaskan, bahkan dirasa masih sangat jauh dari jalan terang. Meskipun secara ilmiah di dalam otak terbukti ada tiga kategori yaitu otak rasional, otak emosional,[53] dan otak spiritual.[54]
Pernyataan tersebut sebagaimana menurut Pasiak bahwa otak merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai alat. Fungsi otak tidak hanya untuk berpikir rasional. Namun  fungsi otak terdiri dari 3 jenis kemampuan untuk memanajemen diri seperti mengutuhkan spiritualitas (SQ), mematangkan emosi (EQ), dan berpikir rasional (IQ). Bila ketiga fungsi otak tersebut dikelola dengan baik, manusia akan menjadi makhluk termulia.[55]
Bisa dikatakan, otak manusia menurut Zohar dan Marshall jauh lebih kompkes dari pada komputer manapun. “Otak bekerja dengan sistem pemikiran yang melintas. Artinya, otak tidak terdiri atas beberapa modul kecerdasan yang terpisah. Otak juga bukan sistem pemrosesan seri maupun sistem asosiatif yang terisolasi.” Akan tetapi dua sistem tersebut berinteraksi dan saling menguatkan sehingga memberi manusia bentuk kecerdasan yang lebih tinggi. Artinya, antara IQ dengan EQ terjadi sinergitas.[56]
Selain otak, secara biologis menurut Baron dan Byrane sebagaimana dikutip Rifa Hidayah bahwa perilaku agresi seseorang juga dipengaruhi oleh hormon tertentu, seperti serotonin dan testoterone.[57] Lebih detail, Iin Tri Rahayu menyampaikan bahwa menurut Davidoff diantara faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi adalah:[58]
1.         Gen. Pembentukan sistem neural (saraf) otak dipengaruhi oleh gen dalam mengatur perilaku agresi.
2.         Sistem otak. Bagian otak tertentu yang tidak terlibat dalam agresi dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Prescott menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kesenangan (nikmat) dan rasa santai akan cenderung sedikit melakukan agresif, begitu sebaliknya. Ia juga meyakini, keinginan yang kuat untuk “menghancurkan” disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal. Hal ini bisa saja disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan waktu bayi.
3.         Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan). Fenomena ini misalnya terjadi pada wanita yang sedang mengalami haid, di mana kadar hormon esterogen dan progresteron menurun. Perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang, dan bermusuhan. Kenyataannya, banyak wanita yang melakukan pelanggaran (agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid.
Pernyataan tersebut hampir sama dengan pendapat Lyndon Saputra, sebagaimana dikutip Abudin Nata  bahwa  menurut teori disiplin mental ternyata manusia sejak dari lahir telah memiliki potensi bawaan secara gen (hereditas). Dalam posisi ini, maka makna belajar merupakan upaya pengembangan terhadap potensi-potensi tersebut. Selanjutnya, Abudin Nata menjelaskan dalam teori mental humanistik, proses pendidikan lebih menekankan pada keseluruhan dan keutuhan.  Artinya, pendidikan harus menekankan pendidikan umum (general education). Asumsinya, bila individu menguasai persmasalahan umum, maka akan mudah diterima lalu diterapkan pada hal-hal lain yang bersifat khusus.[59] Namun tampaknya, nilai-nilai keuniversalan  agama Islam inilah yang sering kali ditinggalkan dalam pembelajaran PAI.  Di mana, kegiatan pembelajaran hanya difokuskan pada masalah fikih dan dibelokkan pada sentimen keagamaan yang menutup diri dari kenyataan bahwa “di luar” sana ada keberagaman agama.

f.      Metode penelitian yang digunakan: penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Di mana, studi kualitatif yagn dimaksud di sini dikonsep berdasarkan interdisipliner yang berawal dari pendekatan psikologi, biologi, dan sosiologi. Ketiga disiplin ilmu tersebut digunakan sebagai sumber jawaban terhadap permasalah yang ditemukan di lokasi penelitian. Melalui interdisipliner diharapkan analisis dan hasil penelitian bisa menjangkau berbagi aspek sehingga bisa tercapai kesimpulan yang menyatu (utuh) dan menyeluruh.



Daftar Rujukan

Amin, A. Rifqi. Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner. Yogyakarta: LKiS, 2015.

--------. Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: Deepublish, 2014.

“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.

Arifin, Syamsul. “Implementasi Studi Agama Berbasis Multikultural dalam Pendidikan,” dalam http://rires2.umm.ac.id/publikasi/lama/IMPLEMENTASI%20STUDI%20AGAMA2.pdf, didownload tanggal 16 Desember 2014.

--------. “Klaim Kemutlakan, Konflik Sosial, dan Reorientasi Keberagamaan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma, 2000.

--------. Studi Agama: Perspektif Sosiologis &Isu-isu Kontemporer. Malang: UMM, 2009.

Armstrong, Thomas. “Seven Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence,” dalam Seven Kinds of Smart: Identifying and Developing Your Multiple Intelligence, terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia, 2005.

Bandura, AlbertMekanisme Merenggangnya Moral,” dalam Walter Reich, “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.

Efendi, Mohammad. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi aksara, 2006.

Fathoni, Muhammad Kholid. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Pardigma Baru]. Jakarta: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005.

Fromm, Erich. “Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia,” dalam The Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Ganda, Yahya. Petunjuk Praktis: Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo, 2004.

Goleman, Daniel. “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence Terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Hardjana, Agus M. Kiat Sukses Studi di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Hidaya, Rifa. “Dampak Tayangan Kekerasan pada Anak,” dalam Psikoislamika, Vol. 1/No.2/Juli 2004.

Hutabarat, E.P.Cara Belajar: Pedoman Praktis untuk Belajar Secara Efisien dan Efektif. Pegangan bagi Siapa Saja yang Belajar di Perguruan Tinggi. Jakarta: Gunung Mulia, 1988.

Jurgensmeyer, Mark. “Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Nizam, 2002.

Muchsin, Bashori dan Wahid, Abdul. Pendidikan Islam Kontemporer. Bandung: Refika Aditama, 2009.

Muchsin, Bashori, dkk. Pendidikan Islam Humanistik: Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak. Bandung: Refika Aditama, 2010.

Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: PSAPM, 2003.

Mujtahid, Reformasi Pendidikan Islam. Malang: UIN Maliki, 2011.

Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al Tarbawiy). Jakarta: Rajawali, 2009.

Pasiak, Taufiq. Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup. Bandung: Mizan.

Rahayu, Iin Tri. “Kekerasan dan Agresifitas,” dalam PsikoIslamika, Vol. 1/No.2/Juli 2004.

Riyanto, Armada. “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma, 2000.

Sutrisno dan Muhyidin Albarobis. Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Tukiyo, “Sistem Pendidikan dan Pendidikan Karakter di Jepang serta Perbandingannya dengan di Inonesia,” dalam http://journal.unwidha.ac.id/index.php/proceeding/article/download/255/204, didownload tanggal 03 Juli 2015.

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003).

Wulandari, Rini. “Makalah Perbandingan Pendidikan di Indonesia, Finlandia, dan Jepang,” dalam https://www.academia.edu/7373047/Makalah_Perbandingan_Pendidikan_di_Indonesia_Jepang_dan_Finlandia, didownload tanggal 3 Juli 2015.

Yewangoe, Andreas Anangguru. “Agama dan Kerukunan,” Buku Google, (http://books.google.co.id/books?id=SykwKPJfFKkC&hl=id, diakses 26 Maret 2013).

Zaini, Hisyam. Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Center for Teaching Staff Development IAIN Yogyakarta, 2002.

Zainuddin, M. Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab. Malang: Uin Malang, 2010.

Zohar, Danah dan Marshall, Ian. SQ: Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, terj. Rahmani dkk. Bandung: Mizan, 2007.



Halaman Lampiran



1.     Lampiran Buku A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015)

2.    Lampiran Jurnal Penelitian
a)   Judul: Curriculum Development Model Islam Character Based Education (Studies Analysis in SMKN 2 Pandeglang Banten)
b)   Pengarang: Sisti Muhibah
c)    Sumber: International Journal of Scientific & Technology Research, Volume 3, Issue 7, July 2014, ISSN: 2277-8616, dalam http://www.ijstr.org/final-print/july2014/Curriculum-Development-Model-Islam-Character-Based-Education-studies-Analysis-In-Smkn-2-Pandeglang-Banten.pdf, didownload pada 03 Juli 2014

3.    Lampiran Jurnal Penelitian
a)   Judul: Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem Pendidikan Terpadu Insantama Bogor
b)   Pengarang: Agus Retnanto
c)    Sumber: EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam,  Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012, ISSN: 1693-6019, dalam  http://p3m.stainkudus.ac.id/files/empirik%20jan-jun%202012.pdf, didownload tanggal 03 Juli 2015.

4.    Lampiran Jurnal Artikel
a)   Judul: Strategizing Islamic Education
b)   Pengarang: Muhammad Syukri Salleh
c)    Sumber: International Journal of Education and Research Vol. 1 No. 6 June 2013ISSN: 2201-6333 (Print) ISSN: 2201-6740 (Online), dalam http://www.ijern.com/journal/June-2013/13.pdf, didownload tanggal 03 Juli 2015.



[1]Pada pengembangan PAI harus dibumikan kembali bahwa pendidikan merupakan bagian kecil dari sistem kehidupan. Dengan demikian, secara konsep maupun praktik PAI tidak dapat berdiri sendiri. Ia senantiasa terkait dengan sistem lainnya seperti ekonomi, politik, budaya, perindustrian, dan sebagainya. Oleh karena itu, mekanisme pengembangan PAI mesti menyadari bahwa peserta didik kelak akan menjalani kehidupan “nyata” di luar lembaga pendidikan. Hal ini bukan berarti demi kesuksesan peserta didik pada setiap pengembangan yang dilakukan menghalalkan segala cara. Namun, ia dengan sekreatif mungkin mampu mengemas nilai-nilai Islam dimasukkan ke dalam sistem-sistem itu.
[2]A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: Lkis, 2015)
[3]Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2012), hlm. 51.
[4]Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003).
[5]Pengembangan di sini bukan berarti suatu tindakan yang anti konservatif. Sebaliknya, suatu pengembangan kadang kala diadakan dalam misi penyuksesan fungsi konservasi (penyelamatan). Yakni, menjaga dan memunculkan kembali nilai-nilai agama Islam  yang luhur serta universal dari penyimpangan (pemahama parsial) dan penenggelaman.
[6]Hasil yang didapat dari pengembangan PAI diharapkan bisa membahagiakan lahir-batin, menjadi kabar gembira, menjadi solusi (inspirasi), dan menawarkan konsep keilmuan yang kokoh bagi umat manusia.
[7]Suatu masalah di lembaga biasanya dapat diketahui secara utuh bila di lembaga bersangkutan diadadakan penelitian secara mendalam dan totalitas. Namun, yang sering terjadi adalah dalam satu daerah diadakan penelitian terhadap beberapa lembaga yang menghasilkan suatu kesimpulan. Kemudian dari kesimpulan itu secara disamaratakan dengan lembaga lain. Padahal antar satu lembaga satu dengan yang lain meski masalahnya sama, tapi boleh jadi penyebabnya berbeda. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan masalah pada suatu lembaga tidak bisa serta-merta mengambil solusi dari hasil penelitian lembaga lain. Akan tetapi harus diadakan penelitian tersendiri terhadap lembaga yang bermasalah tersebut.
[8]Bila dilihat dari sudut pandang ilmu alam maka PAI merupakan sebuah ilmu terapan. Yakni, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penerapan atas prinsip-prinsip umum untuk memecahkan permasalahan yang terjadi di alam dan masyarakat manusia. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.. Sedangkan dalam pandangan sosiologi, PAI merupakan ilmu murni. Yakni, dalam konteks Islam merupakan ilmu yang terfokus pada pencarian pengetahuan, gejala alam (ayat kauniah), analisis (tafsir), dogma-dogma, dan dasar-dasar pendidikan Islam.
[9]Landasan Pengembangan PAI idealnya bertitik tolak pada pemikiran yang mendalam hingga ke akar-akarnya (terkait logika, etika, estetika, metafisika, hingga epestimologi, ontologi, dan aksiologi) sebagai penunjang dalam merumuskannya. Beberapa di antaranya, pertama pengembangan PAI mesti berakar pada pijakan teori atau konsep yang sudah kuat. Hal ini, salah satunya supaya setiap pengembangan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Kedua, pengembangan PAI idealnya disandarkan pada suatu penelitian utamanya yang dilakukan di tingkat daerah sekitar (kota/kabupaten). Serta penelitian di tingkat propinsi dan nasional sebagai penunjang pengembangannya. Salah satu langkahnya adalah memanfaatkan gabungan beberapa karya ilmiah lulusan perguruan tinggi. Misalnya skripsi, tesis, dan disertasi yang utamanya berasal dari fakultas Pendidikan. Ketiga, pengembangan PAI haruslah mempunyai daya keterukuran (tidak utopis) dan  tidak terlalu membebani Sumber Daya Manusia dan pemborosan finansial. Harapannya, agenda pengembangan tersebut berpeluang untuk dikaji kembali apabila ada kekurangan.
[10]A. Rifqi Amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Depublish, 2014) hlm.
[11]Hisyam Zaini, Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Center for Teaching Staff Development IAIN Yogyakarta, 2002), 4.
[12]Yahya Ganda, Petunjuk Praktis: Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan Tinggi (Jakarta: Grasindo, 2004), x.
[13]Agus M. Hardjana, Kiat Sukses Studi di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 34.
[14]E.P. Hutabarat, Cara Belajar: Pedoman Praktis untuk Belajar Secara Efisien dan Efektif. Pegangan bagi Siapa saja yang Belajar di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gunung Mulia, 1988), 115-116.
[15]Andreas Anangguru Yewangoe, “Agama dan Kerukuanan,” Buku Google, http:// books.google.co.id/books?id=SykwKPJfFKkC&hl=id, diakses tanggal 26 Maret 2013, hlm. 40.
[16]Ganda, Petunjuk Praktis: Cara, 2.
[17]Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan (Jakarta: Bumi aksara, 2006), hlm. 97.
[18]Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 22-23.
[19]M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab (Malang: Uin Malang, 2010), hlm. 34-35.
[20]Flow adalah perasaan “kehilangan” kesadaran ruang dan waktu. Menurut Daniel Goleman “flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan.” Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence ed. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm.  127. Lebih lanjut menurut Gardner, flow dan keadaan positif yang mencirikannya sebagai salah satu cara paling sehat untuk mengajar anak-anak. Juga memberi motivasi mereka dari dalam diri, bukannya dengan ancaman atau iming-iming. Dengan kata lain, pendidik harus menggunakan keadaan positif anak-anak untuk membuat mereka tertarik mempelajari bidang-bidang di mana mereka dapat mengembangkan keahlian. Flow merupakan keadan batin yang menandakan seorang anak sedang tenggelam dalam tugas yang cocok. Anak didik harus menemukan sesuatu yang disukainya dan menekuninya baik-baik. Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm.  132.
[21]Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 101-102.
[22] Dikutip seluruhnya dari Rini Wulandari, “Makalah Perbandingan Pendidikan di Indonesia, Finlandia, dan Jepang,” dalam https://www.academia.edu/7373047/Makalah_Perbandingan_Pendidikan_di_Indonesia_Jepang_dan_Finlandia, didownload tanggal 3 Juli 2015.
[23]Tukiyo, “Sistem Pendidikan dan Pendidikan Karakter di Jepang serta Perbandingannya dengan di Inonesia,” dalam http://journal.unwidha.ac.id/index.php/proceeding/article/download/255/204, didownload tanggal 03 Juli 2015.
[24]Softfile ada di CD.
[25]Mujtahid, Reformasi Pendidikan Islam (Malang: UIN Maliki, 2011), hlm. 103-104.
[26]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 2.
[27]Mark Jurgensmeyer, “Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. M. Sadat Ismail (Jakarta: Nizam, 2002), hlm. 9.
[28]Armada Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma, 2000), hlm. 24.
[29]Albert Bandura, Mekanisme Merenggangnya Moral,” dalam Walter Reich, “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” terj. Sugeng Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 206.
[30]Armada Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma, 2000), hlm. 24-25.
[31] Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup,” hlm. 24-25.
[32]Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Pardigma Baru] (Jakarta: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005), hlm. 51.
[33] Syamsul Arifin, Studi Agama: Perspektif Sosiologis &Isu-isu Kontemporer (Malang: UMM, 2009), hlm. 199.
[34]Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Surabaya: PSAPM, 2003), hlm. 170-172.
[35]Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al Tarbawiy) (Jakarta: Rajawali, 2009), hlm. 163.
[36]Bashori Muchsin, dkk. Pendidikan Islam Humanistik: Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 109.
[37] Erich Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia,” dalam The Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 6.
[38] Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis,” hlm. 8-9.
[39] Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis,” hlm.  83-84.
[40]Syamsul Arifin, “Klaim Kemutlakan, Konflik Sosial, dan Reorientasi Keberagamaan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma, 2000), hlm. 51.
[41]Arifin, “Klaim Kemutlakan, Konflik,”, hlm. 51.
[42]Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 56.
[43]Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 127.
[44]Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis,” hlm. 45.
[45]Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 47-48.
[46] Syamsul Arifin, “Implementasi Studi Agama Berbasis Multikultural dalam Pendidikan,” dalam http://rires2.umm.ac.id/publikasi/lama/IMPLEMENTASI%20STUDI%20AGAMA2.pdf, didownload tanggal 16 Desember 2014.
[47]Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, ed. Rahmani dkk (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 144.
[48]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, 236-237.
[49]Pada dasarnya manusia adalah makhluk spiritual. Manusia terdorong oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan mendasar dan pokok. Mengapa saya dilahairkan? Apa makn hidup saya? Apa yang membuat semua itu berharga? Manusia merindukan untuk menemukan makna dan nilai dari apa yang telah diperbuat dan dialami.
[50] Taufiq Pasiak, Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup (Bandung: Mizan), hlm. 255.
[51]Setiap kecerdasan rawan terhadap cacat akibat kerusakan atau cedera pada wilayah otak tertentu; menurut garder teori kecerdasan dapat berlaku bila didasarkan pada biologi (struktur otak). Kecerdasan linguistik berfungsi dibelahan otak kiri, kecerdasan musikal, spasila, dan antarpribadi cenderung pada belahan otak kanan. Kecerdasan kinestetik menyangkut korteks motor, ganglia basal, dan serebelum (otak kecil). Thomas Amstrong, “Seven Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence,” dalam Seven Kinds of Smart: Identifying anda Developing Your Multiple Intelligences ed. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 7.
[52]Pembahasan mengenai teori “kecerdasan,” pada awalnya identik dengan dunia Psikologi, akan tetapi ilmu biologi utamanya bidang neurosains juga memiliki peran yang tak kalah penting. Dengan demikian pembahasan terkait “kecerdasan” bukanlah kajian dunia abstrak (terkait proses berpikir dan berimajenasi). Namun juga menenyuh aspek “organ” tubuh manusia yang memiiki peran utama dalam “menyusun” kecerdasan, yaitu otak dan yang bersangkut paut dengannya.
[53]Menurut penulis dalam otak emosional terdapat kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional berarti “kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadap frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban strest tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati dan berdoa.” Lihat, Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 45.
[54]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 55.
[55]Pasiak, Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan, hlm. 250-251.
[56]Zohar dan Ian Marshall, SQ: Kecerdasan Spiritual,” hlm. 50.
[57] Rifa Hidayah, “Dampak Tayangan Kekerasan Pada Anak,” dalam Psikoislamika, Vol.1/No.2/Juli 2004. hlm. 203-216.
[58] Iin Tri Rahayu, “Kekerasan dan Agresifitas,” dalam Psikoislamika, Vol.1/No.2/Juli 2004. hlm. 167-175.
[59]Nata, Tafsir Ayat-Ayat, hlm. 172-173.




Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Tanya Jawab Tentang Pengembangan Pendidikan Agama Islam pada Pendidikan Anak Usia Dini, Sekolah/Madrasah, Pendidikan Tinggi, dan Pondok Pesantren"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*