Tanya Jawab Tentang Pengembangan Pendidikan Agama Islam pada Pendidikan Anak Usia Dini, Sekolah/Madrasah, Pendidikan Tinggi, dan Pondok Pesantren
Oleh: A. Rifqi Amin
1.
Bacalah secara kritis 4 buku dan majalah tentang pengembangan pendidikan
Agama Islam di sekolah/madrasah dan perguruan tinggi (berbahasa Inggris/bahasa
Arab, atau berbahasa Indonesia).
a.
Baca secara kritis, ambilah 2-3 bab dari masing-masing isi buku dan ikhtisarkan
kemudian buatlah kesimpulan secara menyeluruh (setiap sumber harus disebutkan
dan dilampirkan)!
Jawab:
1)
A. Rifqi Amin, Pengembangan
Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner
(Yogyakarta: LKiS, 2015)
Iktisar bab 3 dan bab 4:
a)
Bab 3: memuat tentang “pengembangan PAI berbasis kecerdasan
beragam (multiple intelligences)”
yang ulasannya disarikan dari teori Howard Gardner. Di mana, dalam bab ini
bahasannya menitik tekankan pada kesadaran pendidik terhadap keberagaman
kondisi latar belakang peserta didik. Dengan asumsi, setelah pendidik
mengetahui potensi, bidang, atau jenis kecerdasan peserta didik dengan cara
tepat maka yang harus dilakukan ialah memberikan mereka kesempatan peserta
didik untuk mengembangkan bidang kecerdasannya. Dengan kata lain, pendidik
tidak boleh mengarahkan peserta didiknya untuk senantiasa fokus menguasai satu
bidang kecerdasan saja.
b)
Bab 4: memuat tentang “masalah terorisme dan pengembangan
konsep human security melalui
pendidikan agama Islam berbudaya nirkekerasan” yang ulasannya disarikan dari
beberapa pendapat ahli sosiologi, ahli ilmu agama, dan ahli pendidikan. Di
mana, dalam bab ini bahasannya menitik
tekankan pada kesadaran pendidik terhadap potensi kekerasan yang dimiliki oleh
peserta didik sehingga suatu saat nanti bisa berpotensi melakukan kekerasan.
Dengan asumsi, pendidik PAI harus mengetahui terlebih dahulu tentang konsep terorisem dan human security sehingga bisa menemukan paradigma yang tepat dalam mengembangakan PAI berbudaya nirkekerasan. Dengan kata lain, PAI sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional bisa berperan aktif dalam melakukan pencegahan tindakan kekerasan bahkan terorisme melalui penanaman nilai-nilai luhur Islam yang universal. Salah satunya ialah bagaimana Islam sebagai agama rahmatan lilalamin mampu dikenalkan lantas mampu diterapkan oleh peserta didik dalam menanggulangi bahkan melawan tindakan kekerasan maupun terorisme dalam dirinya sendiri maupun di luar dirinya dengan cara cerdas, elegan, bijaksana, dan berbasis nirkekerasan.
Dengan asumsi, pendidik PAI harus mengetahui terlebih dahulu tentang konsep terorisem dan human security sehingga bisa menemukan paradigma yang tepat dalam mengembangakan PAI berbudaya nirkekerasan. Dengan kata lain, PAI sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional bisa berperan aktif dalam melakukan pencegahan tindakan kekerasan bahkan terorisme melalui penanaman nilai-nilai luhur Islam yang universal. Salah satunya ialah bagaimana Islam sebagai agama rahmatan lilalamin mampu dikenalkan lantas mampu diterapkan oleh peserta didik dalam menanggulangi bahkan melawan tindakan kekerasan maupun terorisme dalam dirinya sendiri maupun di luar dirinya dengan cara cerdas, elegan, bijaksana, dan berbasis nirkekerasan.
c)
Kesimpulan menyeluruh: Buku ini terdiri dari 7 Bab. Di mana Bab I
Pendahuluan isinya terkait “konsep dasar” tentang Pengembangan Pendidikan Agama Islam. Maksud dibuatnya Bab ini ialah
agar pembaca bisa mengetehui (secara tidak langsung) tentang apa-apa yang
“dikehendaki” buku ini. Oleh karena itu, Bab ini menjadi pijakan penting bagi
Bab-bab berikutnya, sehingga penjelasan secara rinci tentang istilah-istilah
penting sebagai kata kunci mutlak diperlukan. Bisa dikatakan Bab ini sebagai
penunjuk arah, dengan harapan tidak terjadi pemahaman yang melebar ke mana-mana
terkait pengembangan PAI. Secara gamblang, di dalamnya terdeskripsikan
pengertian pengembangan Pendidikan Agama Islam, urgensi pengembangan PAI,
kerangka acuan pengembangan PAI, ruang lingkup pengembangan PAI, hal-hal yang
terkait dengan pengembangan PAI, dan sistematika isi buku.
Dalam Bab II berisi penjabaran tentang mekanisme revolusi ilmu pengetahuan
yang diusung oleh Thomas S. Kuhn. Kemudian dari gagasan tersebut dihubungkan
dengan upaya pengembangan PAI dalam konteks kekinian. Apakah gagasan Kuhn bisa
“menolong” dan menguatkan PAI sebagai suatu kajian yang bernilai ilmiah. Serta
tentunya sebagai landasan filosofis dan nilai-nilai dasar (intagibel asset) mengapa pengembangan PAI itu perlu dilakukan. Bab
ini juga membahas gambar “bukit paradigma,” yang disajikan secara imajinatif
tentang bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan itu bisa berjalan secara
revolusioner. Oleh karena itu, bukan suatu hal berlebihan bila dikatakan Bab
ini menjadi dasar penting bagi Bab-bab selanjutnya. Salah satunya, sebagai
landasan filosofis mengapa pengembangan PAI itu perlu diadakan terus-menerus.
Adapun Bab III lebih menekankan pada aspek psikologisnya, yaitu terkait
teori multiple intelligences yang
diprakarsai oleh ahli psikologi Howard Gardner. Tujuannya, untuk mengetahui
apakah hasil ide Gardner tersebut sepenuhnya relevan dengan PAI. Ataukah PAI
bisa melakukan pengembangan “tambahan,” sebagai penyempurna dari gagasan
Gardner tersebut? Berangkat dari dialektika antara keduanya maka pada bagian
ini menjadi acuan bagi Bab-bab berikutnya. Hal ini karena secara eksplisit Bab
ketiga dapat membantu pendidik mengetahui aspek psikologis beserta latar
belakang kehidupan peserta didik (pengembangan PAI berbasis psikologis). Dengan
asumsi, setelah mengetahui kondisi psikologis (utamanya latar belakang jenis
kecerdasannya) peserta didik –salah satunya dengan pretes psikologis—maka dapat
membimbing dan menerangi kebijakan pengembangan PAI di bidang lainnya.
Pada Bab IV, diuraikan tentang sudut pandang sosiologisnya. Yakni,
membahas masalah terorisme dan konsep human
securty. Secara detail, teori-teori dalam Bab ini ingin menunjukkan bahwa
di luar gedung lembaga pendidikan terdapat fenomena-fenomena sosial yang tidak
boleh diabaikan begitu saja. Salah satunya untuk mengetahui bagaimana suatu
tindakan terorisme sebagai salah satu bentuk kekerasan bisa terjadi. Serta
pengembangan PAI seperti apa yang dilakukan untuk meminimalisir bahkan
menghilangkan terorisme hingga ke akar-akarnya. Bagaimanapun, fenomena sosial
di luar lingkungan gedung lembaga merupakan aspek yang tidak kalah penting
untuk dijadikan alasan sebuah pengembangan PAI dilakukan. Harapannya, PAI bisa
berkonstribusi positif bagi negara Indonesia dalam membangun dan menciptakan
budaya manusia Indonesia yang produktif dalam bidang positif, cinta damai, dan
toleran. Oleh karena itu, Bab ini pantas dijadikan pijakan penting bagi Bab-bab
selanjutnya, karena sebelum mengadakan pengembangan kelembagaan maka terlebih
dahulu perlu meninjau dulu kondisi sosial masyarakat.
Sedangkan pada Bab V membicarakan tentang bentuk-bentuk pendidikan Islam
di Indonesia meliputi madrasah, pesantren, dan sekolah. Maksud dibuatnya Bab
ini ialah untuk mengetahui aspek kesejarahan dari bentuk-bentuk lembaga
pendidikan tersebut. Kemudian diuraikan tentang konsep-konsep kelembagaan
seperti apa yang telah berubah hingga berjalan seperti sekarang ini. Serta
bagaimana ke depannya dalam pengembangan PAI yang ideal disesuaikan dengan
kondisi maupun bentuk pendidikan Islam pada masing-masing lembaga itu sendiri.
Bab ini menjadi landasan dasar bagi bab VI. Alasannya, sebelum mengadakan
pengembangan kelembagaan PAI pada Perguruan Tinggi maka terlebih dahulu penting
untuk mengetahui dulu kondisi pengembangan kelembagaan PAI pada jenjang
pendidikan sebelumnya.
Bab VI mengupas tentang pengembangan pendidikan Islam di PTAI yang
difokuskan pada pengembangan program studinya. Keunikan dalam Bab ini yaitu
adanya landasan fondasional dan landasan operasional pengembangan PAI yang
sulit ditemukan dalam buku lain. Di dalamnya juga menggambarkan tentang
langkah-langkah pengembangannya. Serta diakhiri dengan semangat integrasi ilmu
di lembaga PTAI. Sedangkan untuk bab terakhir, yaitu BAB VII Penutup berisi
tentang refleksi dan kontemplasi dari semua pemaparan yang telah disampaikan.
Mengungkap beberapa motivasi, rekomendasi, dan catatan penting dari penulis.
b. Atas dasar bacaan tersebut,
lakukan analisis landasan filosofis, teoritis, dan empiris pengembangan PAI di
TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT!
Jawab: Pendidikan Agama
Islam merupakan suatu usaha mengkaji ilmu secara terencana untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia beriman, serta dengan sadar dan tulus menerapkan
nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan yang sedang atau akan
ditempuhnya. Hal itu artinya, dalam segala lingkungan kehidupan peserta didik
kelak mampu memilih dengan tegas terhadap adanya “dilema etika.” Yakni, antara
kenyataan bisa berpeluang melakukan tindakan negatif untuk memuluskan keinginan
(ego pribadi) kemudian ditandingkan dengan landasan moral yang sesuai dengan
cita-cita Islam. Dalam pengertian tersebut, salah satu kedudukan PAI ditegaskan
sebagai “usaha mengkaji ilmu.” Hal ini menandakan, kegiatan yang ada padanya
merupakan upaya ilmiah. Artinya, apa-apa yang dilakukan tidak bersifat statis,
sehingga bisa dikembangkan. Oleh karena itu, PAI secara asali semestinya
mempunyai jiwa dan semangat perubahan menuju terbaik. Baik perubahan yang
disebabkan reaksi maupun antisipasi atas “kenyataan” baru. Baik yang berada
dalam sistem maupun di luarnya. Dengan demikian, PAI bukan kegiatan yang
semata-mata mengarah pada kegiatan pendoktrinan peserta didik. Kendati
demikian, fokus utama PAI tetap harus jelas. Yakni, berupaya membentuk peserta
didik menjadi manusia beriman. Serta sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai Islam
dalam segala sektor dan sistem kehidupan[1]
yang sedang atau akan ditempuh mereka.[2]
Lebih aplikatif, Pendidikan Agama Islam sesungguhnya
tidak hanya tertuju pada lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan
pesantren. Pelaksanaan PAI juga dilaksanakan oleh negara maupun masyarakat pada
semua lembaga pendidikan berbentuk sekolah seperti SD, SMP, SMA, dan SMK. Serta
tentunya pengembangan PAI yang dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI) dan tidak menutup kemungkinan bagi Perguruan Tinggi Umum (PTU). Selain itu,
pengembangan PAI tidak melulu terjadi pada tataran pembelajarannya yang
meliputi tujuan, materi, strategi, evaluasi, dan seterusnya. Namun, juga
melingkupi beberapa pengembangan lainnya, seperti pengembangan syiar Islam
melalui lembaga pendidikan, kurikulum, manajemen kelembagaan, landasan
filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologis, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, diharapkan efek dan maksud diadakannya pengembangan PAI tidak
hanya untuk memudahkan pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran.
Akan tetapi, juga bisa berpengaruh positif bagi masyarakat luas, negara, dan
seluruh umat manusia. Secara gamblang dapat dikategorisasikan pengembangan PAI
di lembaga pendidikan sebagaimana penulis kembangkan (ubah sesuaikan) dari
gambar Sutrisno dan Muhyidin berikut ini: [3]
Kategorisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan
(Gambar
dirubah seperlunya)
Skema tersebut menggambarkan bahwa yang dimaksud PAI di sini ialah
kegiatan pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Sedangkan PAI di
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada umumnya tidak terlalu ditekankan dalam berbagai
pembahasan karya tuli. Padahal, pembahasan secara khusus tentang PAI di PAUD
secara detail, seperti halnya pada jenjang pendidikan lain (pesantren,
madrasah, sekolah, dan PTAI) sangat penting. Meskipun, untuk PAUD dalam pasal
14 Undang-undang Sisdiknas 2003 tidak disebutkan sebagai salah satu jenjang
pendidikan formal akan tetapi ia tidak bisa diabaikan begitu saja. Dijelaskan
bahwa “Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.” Diperjelas dalam pasal 26 ayat 3
bahwa “Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan
anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik.” Namun, kenyataannya di pasal 28 ayat 2 juga
dijelaskan “Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur
pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.”[4]
Hal ini bukan berarti jenjang pendidikan usia dini tidak penting. Bagaimanapun,
kajian tentang pengembangan PAI pada PAUD secara istemewa dibutuhkan kajian
tersendiri.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan Pendidikan
Agama Islam berarti suatu proses kerja cermat untuk merubah hal-hal yang
terkait dengan produk (konsep dan benda) atau karya manusia dalam membangun
pendidikan Islam agar menjadi lebih baik pada segala aspeknya dan lebih luas
pengaruh maupun kemanfaatannya dari sebelumnya. Artinya, yang dirubah dalam
pembangunan PAI di sini bukan teks-teks (redaksi) sumber dan landasan pokoknya
yaitu al Quran dan Hadith. Akan tetapi salah satunya
melakukan reinterpretasi terhadap pemahaman ilmuwan (ulama). Khususnya tafsir
ulama “pendidikan” terdahulu terhadap teks-teks yang tidak lagi relevan dengan
modernitas. Atau sebaliknya, “menemukan” atau merevitalisasi[5]
pemahaman dan praktik ilmuwan terdahulu yang ditinggalkan oleh ilmuwan
pendidikan sakarang tapi sangat relevan dengan hari ini. Dengan demikian suatu
pengembangan bukan hanya sebuah akibat
tapi juga bisa menjadi sebab. Serta
adanya pengembangan tidak hanya untuk memperbaiki
sesuatu yang ada tapi juga untuk mencegah
hal-hal negatif.
Lebih dari itu, pengembangan PAI menyangkut ketercapaian Indonesia bisa
menjadi negara maju merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam sistem
pendidikan Nasional. Dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia tidak akan
bisa lepas dari kebudayaan umat Islam, utamanya masalah pendidikan Islam.
Asumsinya, pendidikan termasuk pendidikan Islam punya andil besar dalam
mewujudkan peradaban unggul bangsa. Bila ditilik dari tinjauan sejarahnya pun
ternyata dinamika Pendidikan Islam berjalan secara menakjubkan. Dimulai dari
masa kelahirannya hingga tumbuh kembang, lalu terjadilah masa kemajuan
Pendidikan Islam. Di mana pada masa kejayaan itu pendidikan Islam telah
melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar yang berpengaruh bagi negaranya. Bahkan juga
berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan modern Barat. Meski, setelah itu karena minimnya daya
intelektualitas dan ide “pengembangan” menyebabkan pendidikan Islam memasuki
masa kemundurun. Baru pada sekitar awal abad 20-an akhirnya terdapat
tanda-tanda spirit kebangkitan pendidikan Islam melalui beberapa pengembangan
yang dilakukan hingga sekarang ini.
Pada dasarnya, pengembangan PAI diperlukan bagi umat
Islam dan bangsa Indonesia untuk mencetak generasi unggul. Yakni, unggul sesuai
dengan bidang kecerdasan masing-masing, salah satu contohnya dalam bidang
sosial atau kealaman. Dengan pengembangan tersebut, PAI bisa membangkitkan
kejayaan (kemajuan) pendidikan Islam. Tentu yang dibangkitkan ialah semangat
keilmuan, keintelektualitasan, dan hasilnya bisa mencerahkan[6]
bagi masyarakat lain. Dari itu, PAI akan terus-menerus mencetak ilmuwan yang
mampu melahirkan IPTEK berlandaskan Islam. Salah satu fungsinya sebagai
penyeimbang IPTEK sekuler yang pergerakannya semakin liar. Dalam artian,
pengembangan IPTEK sekuler telah meningkatkan potensi dehumanisasi. Selain
juga, ke depannya PAI dapat menciptakan situasi sosial-politik –khususnya di
Indoneisa— menjadi lebih kondusif untuk mewujudkan keamanan, kedamaian,
keadilan, meminimalisir kemiskinan, dan tercapainya kesejahteraan.
Lebih terperinci, pengembangan PAI pada
setiap jenjang dan bentuk pendidikan Islam semakin mendesak untuk dilakukan.
Mengingat, terdapat beberapa permasalahan yang tak terbendung lagi dan perlu
ditanggulangi pada akhir-akhir ini. Misalnya, pertama masalah politik seperti korupsi, politik uang, nepotisme,
kecurangan pemilu maupun pilkada, dan pejabat partisan yang hanya peduli pada
sebagian kelompok masyarakat. Kedua
masalah ekonomi meliputi terjadi jurang kesenjangan antara rakyat miskin dengan
kaum borjuis, lapangan kerja yang minim, dan kurangnya semangat pemuda dalam
berwirausaha. Ketiga masalah
sosial-kemasyarakatan mencakup perilaku seks bebas maupun seks menyimpang,
maraknya ayam kampus, kasus mutilasi,
kasus kekerasan hingga terorisme, dan ketidakpedulian manusia terhadap
lingkungan alam.
Keempat masalah
keilmuan terdiri dari minimnya ilmuwan pengetahuan umum yang menghayati
agamanya dalam menciptakan teknologi, minimnya penciptaan-penciptaan yang bisa
bermanfaat bagi kemajuan bangsa, dan masih ada kecenderungan dikotomi antara
ilmu agama dengan ilmu umum. Kelima,
masalah “pergesekkan” antar ormas Islam yang menjurus pada hal-hal negatif,
seperti perpecahan. Padahal semestinya gesekan tersebut bisa mengarah positif,
yaitu dalam bingkai berlomba-lomba dalam bidang kebaikan dan takwa. Di mana
tidak bisa tidak energi umat Islam bukan dihabiskan untuk “melawan” umat Islam
sendiri. Namun, untuk berlomba-lomba mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga
bisa bermanfaat bagi umat Islam pada khususnya dan tentunya untuk rakyat
Indonesia lainnya.
Dari pernyataan di atas, pengembangan PAI merupakan salah satu bentuk
nyata penyokong pengembangan kebudayaan di masyarakat. Artinya, untuk sekian
kali ditekankan PAI sudah semestinya berkonstribusi dalam membangun kebudayaan
unggul. Yakni, salah satunya kebudayaan yang bercirikan aktif mengembangkan
ilmu pengetahuan, cinta damai, berkarya serta mengabdi bagi masyarakat, dan
inspiratif. Dengan asumsi, suatu pengembangan budaya (dalam bidang apapun itu)
tidak akan bisa lepas dari perkembangan budaya dalam bentuk atau bidang lainnya
di masyarakat. Baik budaya yang berwujud “ide atau gagasan” seperti penggunaan
bahasa dalam komunikasi, maupun berwujud “benda” seperti teknologi berwujud
telepon seluler. Dengan kata lain, pengembangan PAI terjadi karena dipengaruhi
oleh perkembangan budaya lainnya, begitu pula sebaliknya. Misalnya, merebaknya
budaya “melek” teknologi informasi menyebabkan generasi muda mampu menerima
informasi dengan cepat dan mudah. Hal tersebut menuntut adanya pengembangan PAI
berbasis teknologi informasi. Sebaliknya, dengan adanya pengembangan PAI
berbasis teknologi informasi, maka bisa menggugah para ahli teknologi informasi
maupun ilmuwan terkait untuk semangat dalam menciptakan media dan sumber
pembelajaran PAI yang canggih.
Dari semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa pengembangan PAI merupakan gagasan yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Bahkan bila dilakukan dengan konsisten (tetap berlandaskan
pada al Quran dan Hadith) bisa mencapai derajat “keutuhan”
dalam beragama. Pengembangan PAI juga menjadi faktor penting bagi kesuksesan
mewujudkan kemajuan negara Indonesia. Mengingat, kondisi masyarakat Indonesia
yang multikultural dan senantiasa rentan dengan gesekan-gesekan. Dapat
dikatakan, pengembangan PAI menjadi langkah penting untuk tercapainya tujuan
pendidikan Nasional. Terlebih, PAI merupakan bagian dari sistem pendidikan yang
tidak dapat dipisahkan dari lainnya. Selain itu, dengan adanya pengembangan akan bisa memudahkan pendidik, peserta didik,
serta seluruh manusia yang peduli dan terlibat pendidikan Islam dalam
mewujudkan tujuan PAI. Oleh karena itu,
pengembangan PAI dimaksudkan tidak hanya untuk mengatasi permasalahan,
akan tetapi juga bisa memberikan pencegahan terhadap masalah yang berpotensi terjadi.
Seorang pendidik PAI idealnya secara adaptif dan kreatif bisa melakukan
pengembangan Pendidikan Agama Islam. Hal ini sangat penting karena merekalah
yang sering berinteraksi dengan peserta didik, sehingga tidak mustahil mereka
bisa mengetahui keadaan pendidikan Islam di lapangan secara utuh. Asumsinya,
masukan atau anjuran dari pemerintahan pusat bahkan kadang di pemerintahan
daerah sekalipun belum tentu cocok untuk diaplikasikan di ranah “nyata.” Begitu
pula masukan dari ilmuwan Pendidikan Islam, dari tokoh agama, maupun dari
pengkonsep lainnya belum tentu bisa menyelesaikan masalah secara baik dan
komprehensif di satuan lembaga.[7]
Bisa dikatakan, pendidiklah figur sejati pengembangan PAI. Oleh karena itu,
sosok pendidik sudah seharusnya bisa menjadi panutan di segala hal dan bidang
positif. Utamanya teladan dalam sikap progesif atau dinamis, sehingga selalu
terbuka untuk menghadapi dan mengantisipasi perubahan. Bahkan bila perlu menuju
level lebih tinggi, yaitu mengadakan “tandingan” pengembangan yang jauh lebih
positif.
Sudah barang tentu, untuk mengadakan pengembangan eloknya pendidik
mengembangkan keterampilan dan kompetensinya. Salah satunya, kemampuan dalam
penelitian –terutama kemampuan menganalisis masalah— sehingga bisa
menyelesaikan secara praktis permasalahan pendidikan.[8]
Selain juga, pendidik mampu bekerja sama dengan seluruh manusia yang ada di
dalamnya untuk menyukseskan program pengembangan tersebut. Dapat dikatakan,
pengembangan pendidikan Islam tidak lain merupakan hasil dari proses controlling dalam mewujudkan harapan
yang diinginkan. Artinya, apabila suatu upaya terkait dengan pendidikan Islam
dirasa tidak “ampuh” lagi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efesien maka
sudah barang tentu suatu pengembangan mesti dilakukan. Namun, kadangkala suatu
pengembangan di lembaga tidak serta merta bisa dilakukan oleh seorang pendidik
atau sekelompok pendidik. Suatu pengembangan mesti menjadi program yang
disepakati dan dijalankan bersama oleh seluruh civitas pendidikan melalui peran
mereka masing-masing. Dengan kata lain, suatu pengembangan tidak boleh
dilakukan secara serampangan, tidak asal melakukan pengembangan, dan harus
berorientasi pada tujuan konkrit.
Dalam setiap pengembangan PAI yang dilakukan juga wajib melihat landasan
(rambu-rambu) baik yang bersifat formal (Undang-undang, peraturan pemerintah,
dll) maupun nonformal (adat istiadat, kearifan lokal, kondisi manusia, dll). Di
antara landasan formalnya adalah pertama
untuk semua jenjang dan bentuk pendidikan Islam landasannya terdiri dari:
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Amandemen IV,
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah RI
No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendididikan Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah
No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan, dll.
Kedua untuk jenjang
pendidikan dasar dan menengah meliputi: Peraturan Menteri Agama RI No. 90 tahun
2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah, Peraturan Menteri Agama RI
No. 29 tahun 2014 tentang Kepala Madrasah, Keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia 211 tahun 2011 tentang Pedoman Pengembangan Standar Nasional
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah, dll. Ketiga
untuk jenjang Pendidikan Tinggi mencakup: Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Pemerintah No. 4 tahun
2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan
Tinggi, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 49 Tahun 2014
Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor:
43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah
Pengembanan Kepribadian di Perguruan Tinggi, dll.
Keempat Undang-undang dan
peraturan yang tidak terkait secara langsung dengan pendidikan tapi juga
penting sebagai dasar pengembangan PAI diberbagai bidang, seperti: 1) Bidang kesosialan: Undang-undang No. 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang,
Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, Undang-undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan, Undang-undang No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial, Undang-undang No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas), Undang-undang No. 13 tahun 2011
tentang Penangan Fakir Miskin, Undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang
Pornografi, Undang-undang no. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis, Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang No. 40
tahun 2009 tentang Kepemudaan, dll.
2) Bidang kealaman (lingkungan):
Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Undang-undang No. 1 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, Undang-undang No. 18
tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantas Perusakan Hutan, dll. 3) Bidang administrasi: Undang-undang No.
43 tahun 2009 tentang Kearsipan, Undang-undang No. 2 tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Undang-undang No. 41
tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, Undang-undang No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan,
Undang-undang No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-undang No. 19 tahun 2002
tentang Hak Cipta, Undang-undang No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan, dll. Serta
tentunya Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah lainnya yang relevan dengan
pengembangan PAI.
Adapun landasan nonformalnya yaitu pertama
landasan filosofis[9]
yang melingkupi: berorientasi pada kearifan lokal (al ‘urf atau local wisdom),
tidak ada dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum, semua manusia punya hak
sama dan seimbang untuk berkembang, proses pengembanan bersifat fleksibel sehingga
selalu terbuka untuk penyempurnaan, dll. Kedua
landasan psikologis mencakup: manusia mempunyai kebutuhan kejiwaan yang tidak
boleh dilanggar, manusia mempunyai kecerdasan (kemampuan) yang berbeda dalam
menghadapi kehidupan, manusia secara umum memerlukan pengakuan dan perlakuan
secara wajar dalam komunitasnya, dll. Ketiga
landasan sosiologis meliputi: peristiwa terbaru yang sedang terjadi di
mayarakat, kondisi makro sosial masyarakat, dinamika kehidupan masyarakat, dll.
Keempat landasan historis, terdiri
atas: meneruskan cita-cita mulia para ulama dan pahlawan terdahulu, memperbaiki
kekurangan yang masih belum terselesaikan di masa lalu, mengacu pada tujuan
Islam maupun tujuan didirikannya negara Indonesia, dll.
Selain landasan formal dan nonformal, pengembagan PAI perlu memperhatikan
prinsip-prinsip yang tidak kalah penting. Di antaranya merupakan sebagai
berikut:
1)
Setiap pengembangan yang dilakukan tidak menyebabkan permasalah baru di
bidang lain. Misalnya, pengembangan SDM pendidik dengan bentuk memberikan
pelatihan dan penaikan gaji –karena caranya tidak tepat dan pilih kasih—
menyebabkan kecemburuan sosial antar pegawai sehingga menimbulkan
ketidaknyamanan hingga timbul perpecahan.
2)
Setiap pengembangan dilakukan tidak untuk tujuan oportunis-pragmatis.
Misalnya, untuk “mengenyangkan” perutnya sendiri atau kelompoknya sehingga
terjadi missing link (ketidakpaduan)
tujuan antar pengembang PAI dalam lingkup yang lebih besar lagi.
3)
Setiap pengembangan tentu peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.
4)
Setiap pengembangan harus relevan dengan kebutuhan kehidupan masa kini,
bahkan bila perlu untuk beberapa tahun yang akan datang.
5)
Setiap pengembangan yang berhasil dilakukan tidak boleh merasa puas dan
berhenti sampai di situ, karena pengembangan PAI merupakan proses yang terus
berjalan sepanjang hayat. Sebagaimana prinsip long life education dalam memaknai hidup ini.
6)
Adanya keseimbangan antara kepentingan umat Islam dengan kepentingan
nasional.
7)
Pengembangan tidak hanya untuk memecahkan masalah, akan tetapi untuk
senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas kehidupan manusia.
8)
Terus-menerus mengadakan kontrol dan evaluasi pada setiap pengembangan
yang dilakukan.
9)
Pengembangan PAI merupakan bagian dari rekayasa sosial. Oleh karena itu,
ia dihadapkan pada beberapa pilihan. Yakni, terseret arus pengembangan yang
ada, bertahan pada keadaan lama dengan resiko ditinggalkan, atau mengadakan
pengembangan sendiri yang hasilnya dimungkinkan jauh lebih baik dari pada
“diam” saja.
10) Pengembangan PAI
merupakan bentuk investasi “kebahagiaan”
bagi umat Islam, negara Indonesia, dan seluruh umat manusia.
bagi umat Islam, negara Indonesia, dan seluruh umat manusia.
11) Pengembangan PAI
bisa berjalan lancar bila seluruh manusia yang terlibat mempunyai kemampuan
mapan, perencanaan matang, terorganisir, semangat, kesadaran, dan komitmen
tinggi.
12) Pengembanan senantiasa memiliki landasan yang kuat, bukan hanya semata-mata
supaya tercipta suasana baru atau demi mengejar prestise.
13) Terdapat nilai-nilai dasar pengembangan yang dijunjung bersama sebagai intagible asset bagi lembaga pendidikan
Islam. Misalnya, seluruh manusia yang ada di dalamnya meyakini atau menilai
bahwa proses pengembangan PAI merupakan bagian dari Ibadah yang kemungkinan
besar pahalanya lebih banyak dari pada tidak melakukan pengembangan.
c.
Jelaskan teori belajar dan pembelajaran yang lebih cocok dan dibutuhkan
dalam pembelajaran PAI di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT ditinjau
dari landasan/dasar/asumsi, ciri, prinsip-prinsip teori dan proses perkembangan
berpikir, sosial, emosi, dan spiritual!
Jawab: Sebelum membahas secara mendalam tentang teori pembelajaran PAI di TK/RA,
SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT maka terlebih dahulu akan lebih baik bila
melihat keadaan latar belakang peserta didik pada masing-masing lembaga
pendidikan yang ada PAI-nya. Hal ini karena kondisi peserta didik satu sama
lain akan sangat berbeda bila dilihat dari jenjang pendidikan maupun bentuk
pendidikan (pendididikan umum dan pendidikan agama) yang peserta didik atau
orang tua pilih. Dengan kondisi yang berbeda itu maka seharusnya konsep dan
praktik pembelajaran PAI di setiap jenjang maupun bentuk pendidikan harus
berbeda. Bahkan antara satu lembaga dengan lembaga pendidikan lainnya juga
harus berbeda. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap peserta didik
mempunyai kemampuan dan minat yang berbeda satu sama lain. Bilapun ada
persamaan kemampuan dan minat tentu cara perlakuannya harus berbeda, karena
pasti ada perbedaan lainnya yang perlu digali diantara peserta didik itu yang
sangat mungkin menjadi faktor keberhasilan pembelajaran PAI.
Bagaimanapun, sistem pembelajaran PAI di setiap lembaga
pendidikan tidak bisa
berdiri sendiri. Artinya, untuk
diketahui sebab akibat dari hasil pembelajarannya tidak akan pernah lepas dari
sistem lainnya. Idealnya terdapat
komponen penyokong baik di dalam maupun luar sekitarnya untuk tercapainya
tujuan pembelajaran PAI. Komponen tersebut yang pertama berbentuk komponen
fisik meliputi manusia, sarana prasarana, media pembelajaran, Masjid,
laboratorium PAI, buku pedoman penyelenggaraan PAI, dan ruang khusus Dosen PAI
untuk pengembangan diri serta sarana lain yang dipandang dibutuhkan. Sedang
yang kedua berbentuk komponen non fisik meliputi latar belakang mahasiswa
Islam, kepedulian pengelola lembaga terhadap perkembangan PAI, regulasi
penyelenggaraan pembelajaran PAI yang seimbang dengan materi pembelajaran
lainnya, dan antusiasme pendidik PAI untuk pengembangan diri (ikut workshop,
pelatihan, seminar, ataupun kegiatan lain yang berperan dalam peningkatan
kualitas).[10]
Terlebih lagi pembelajaran PAI pada Perguruan Tinggi
lebih membutuhkan perhatian khusus. Hal ini karena mahasiswa sebagai peserta didik dipandang sebagai manusia
yang sudah pada tahap pencapaian kematangan (kedewasaan) secara fisik,
psikologis, dan cara berfikirnya. Mereka sudah mampu secara rasional pada
dirinya sendiri dalam penentuan sikap, pengambilan keputusan, dan pengolahan
terhadap resiko untuk setiap permasalahan yang dihadapi. Maka tentulah cara
belajar antara di perguruan tinggi dengan di sekolah sangatlah berbeda karena
berbeda pula suasana lingkungan belajar, strategi, dan bentuk tuntutan
tugas-tugasnya. Selain itu yang menjadi ciri utama di perguruan tinggi adalah
adanya kegiatan-kegiatan berupa pengabdian masyarakat dan penelitian ilmiah. Semua
kegiatan itu diperlukan kematangan pola fikir ilmiah yang harus dimiliki
mahasiswa. Lebih detailnya, mahasiswa sebagai pembelajar di perguruan tinggi
punya perbedaan jenjang, usia, dan tingkatan kedewasaan berfikir yang jauh
lebih matang. Apabila hal tersebut dibandingkan dengan pembelajar lain yang
berada di tingkat pendidikan menengah seperti SMA, MA, SMK, dan MAK terlebih
lagi pada tingkat pendidikan dasar seperti SMP, MTs, MI, dan SD atau bentuk
lain yang sederajat. Hal ini selaras dengan pendapat Hisyam Zaini dkk. yang
dikemukakan tentang “pembelajaran untuk mahasiswa di perguruan tinggi
seyogyanya dibedakan dengan proses pembelajaran untuk siswa sekolah menengah.”[11]
Oleh karena itu, sebagaimana juga disampaikan oleh Yahya Ganda bahwa sistem
pembelajaran di perguruan tinggi harus dibedakan dengan sistem pembelajaran di
pendidikan tingkat menengah dan dasar.[12]
Sebagai upaya pendalaman
pembahasan tentang mahasiswa maka menurut Agus M. Hardjana semua pengarahan dan
masukan dari Dosen kepada mahasiswa sebaiknya diolah dan dikaji penuh
pendalaman (klarifikasi), serta mahasiswa seharusnya tidak sangat tergantung
dan total dipengaruhi oleh pengarahan dan pemikiran Dosen.[13]
Hal yang semakna disampaikan oleh E. P Hutabarat bahwa bahan atau materi
pembelajaran ilmu pengetahuan umum yang disajikan oleh Dosen harus dikritisi
oleh mahasiswa, yang mana bahan pembelajaran merupakan sebuah ‘fakta’ yang
masih bisa berubah karena sebuah materi tersebut dilahirkan berdasarkan dari
penelitian. Oleh karena itu Dosen bukan sekedar alat penyampai informasi, namun
juga dilakukan penyampaian dan pemeriksaan kembali oleh Dosen terhadap dasar
serta alasan kepada mahasiswa kenapa informasi tersebut harus dipercayai.
Dengan asumsi mahasiswa harus aktif dalam pencarian referensi atau sumber ilmu
lain yang berperan dalam peningkatan keilmuan. Walau demikian seharusnya sikap
kritis dan rasional mahasiswa ini tidak menjadi sebuah ancaman bagi Dosen PAI,
malah sebaliknya menjadi sebuah tantangan bagi Dosen PAI dalam pengembangan
materi PAI sehingga bisa menjadi kajian keilmuan yang menarik seperti halnya
ilmu pengetahuan umum.[14]
Hal tersebut hampir sama
esensinya sebagaimana menurut Andreas Anangguru Yewangoe menyampaikan tentang sosok mahasiswa
adalah seorang yang punya daya intelektual diharapkan mampu dalam proses
pemilihan dan pemilahan ‘kebenaran’ sebuah persoalan secara kritis dan
objektif. Selain itu mahasiswa dalam pergaulan sehari-hari dipandang cenderung
mampu untuk penolongan seseorang dalam pengambilan jarak dengan
permasalahan-permasalah dan mampu dalam pemberian solusi untuk membantu
seseorang.[15]
Dengan demikian mahasiswa sebagai manusia ‘ilmiah’ bisa berperilaku serta
berfikir ilmiah, memiliki nalar yang kritis, logis, dan sistematis tidak hanya
saat di perguruan tinggi saja namun saat lulus studi dari perguruan tinggi.[16]
Oleh karena itu rasa cinta pada ilmu pengetahuan umum sekaligus ilmu pendidikan
Islam secara integratif hendaknya tetap dimiliki mahasiswa setelah lulus.
Lebih detail, menurut
Piaget sebagaimana dikutip Efendi menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki
kecerdasan normal maka perkembangan kognitifnya akan melalui tahapan sebagai
berikut:[17]
1) Tahap senorimotor (usia antara 0-2
tahun), pada tahapan seorang anak secara intensif menggunakan sensomotirik
dalam melakukan pengamatan dan pengindraan terhadap sekitarnya. Capain maksimal
yang dapat terjadi pada tahapan ini adalah perkembangan bahasa, kemampuan
mengkonsep objek, mengontrol skema, dan bahkan mulai mengenal hubungan sebab
akibat.
2) Tahap praoperasional (usia antara
2-7 tahun), tahapan ini terbagi menjadi dua yaitu pertama masa prekonsepstual (usia antara 2-4 tahun) yang sudah
mulai bisa berpikir secara transduktif (menarik kesimpulan dua benda yang
berbeda dengan cara menandai persamaannya kemudia menyamakannya). Misalnya
setelah melihat sapi maka ketika melihat kerbau juga dikatakan sebagai sapai
karena menurut si anak memiliki banyak persamaan. Kedua masa intuitif (usia antara 2-7 tahun) yang sudah bisa
melakukan pengamatan secara egosentris (searah) sehingga belum mampu memahami
bagaimana cara orang lain memandang objek yang sama dilihatnya.
3) Tahap operasional konkret (usia
antara 7-11/12 tahun), pada tahapan ini seorang anak telah memiliki tiga
kemampuan baru yaitu pengklasifikasian, penyusunan, dan pengasosiasian
angka-angak. Bahkan seorang anak sudah bisa memuli mengkoservasi pengetahuan
tertentu.
4)
Tahap operasional formal
(usia antara 11/12-13/14 tahun), pada masa ini seorang anak memiliki kemampuan
dalam mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat oleh objek
yang bersifat konkret.
2.
Bacalah secara kritis 3 Jurnal. Ambillah masing-masing 1 isi jurnal
tentang pengembangan pendidikan Agama
Islam di sekolah/madarsah dan perguruan tinggi ( dengan ketentuan 2 jurnal
penelitian dan 1 artikel. 2 berbahasa Inggris/arab, dan 1 berbahasa Indonesia)
(setiap sumber harus disebutkan jelas dan dilampirkan)!
a.
Buatlah ikhtisar dan berikan komentar Anda pada setiap jurnal maksimal 1
hal ( judul yang dikhtisarkan dari Jurnal, pengarang, sumber - abstrak-
deskrepsi isi- metode penelitian (jika ikhtisar jurnal penelitian) hasil –
komentar Anda dari isi jurnal)!
Jawab:
1) Jurnal (Penelitian) Pertama:
a) Judul: Curriculum Development Model Islam
Character Based Education (Studies
Analysis in SMKN 2 Pandeglang Banten)
b) Pengarang: Sisti Muhibah
c) Sumber: International Journal of
Scientific & Technology Research, Volume 3, Issue 7, July 2014, ISSN:
2277-8616, dalam http://www.ijstr.org/final-print/july2014/Curriculum-Development-Model-Islam-Character-Based-Education-studies-Analysis-In-Smkn-2-Pandeglang-Banten.pdf, didownload pada 03 Juli 2014
d) Abstrak (setelah diterjemahkan):
Inisiatif diadakannya penelitian ini adalah karena kurangnya nilai
karakter di beberapa sekolah, terlebih lagi pada lembaga pendidikan yang
berbasis keterampilan seperti pendidikan kejuruan. Pendidikan Islam berusaha
menyoroti tentang isi kurikulum tentang kegiatan berdo’a yang mana pesan moral
di dalamnya tidak tersampaikan kepada peserta didik. Materi ajarnya pun dengan
sangat kuat didominasi hukum/tata cara berdo’a. Sedangkan kebiasaan dan makna
do’a hampir terabaikan secara sistemik pada seluruh proses pembelajaran. bahkan
guru PAI tidak mengimplementasikan materi atau kajian islam tentang karakter
moral yang patut diteladani. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan beberapa
strategi pengembangan kurikulum PAI yang didasarkan pada kajian yang terfokus
pada pendidikan karakter melalui kegiatan pembelajaran di SMK 2 Pandeglang
Banten. Seloah ini telah menerapkan kurikulum dan silabus yang bermuatan
pendidikan karakter sehingga dapat digunakan sebagai bahan ajar yang sah oleh
guru-gurunya. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat
deskriptif dan explanatory. Di mana
pendekatan deskripsi digunakan untuk menjawab “apa” yang sedang terjadi,
sementera pendekatan expalanatory
untuk menjawab “mengapa” dan “bagaimana” yang semuanya dituangkan dalam bentuk tulisan. Teknik pengumpulan datanya
menggunakan wawancara, tes, non-tes, kuesioner, dan dokumentasi. Adapaun
analisis data yang telah terkumpu didasarkan pada tiga langkah, yaitu (1) Reduksi data; (2)
display data; (3) Penarikan kesimpulan / verifikasi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa beberapa strategi dalam pengembangan kurikulum untuk studi
Islam di SMK 2 Pandeglang yaitu: (1) Mengintegrasikan nilai masing-masing
karakter dalam materi pembelajaran, (2) Keadaan nilai karakter yang terkandung dalam materi pembelajaran, ( 3)
Mengidentifikasi karakter dalam materi pembelajaran, (4) Pemberian contoh nilai karakter, (5) Menggunakan metode
demonstrasi dalam praktek nilai karakter, (6) Pengklasifikasian.
Istilah Kunci: Model, Pengembangan Kurikulum,
Pendidikan Islam, Pendidikan Karakter
e) Deskripsi isi: Dari semua pembahasan tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi
pengembangan kurikulum pendidikan karakter PAI berbasis di SMK 2 Pandeglang
cukup baik, namun masih lemah dalam aplikasi dalam kehidupan sehari-hari di
sekolah dan evaluasi nilai-nilai tersebut karakter, apakah itu diterapkan atau
tidak oleh siswa dalam kehidupan nyata. Hal ini sangat penting karena
pendidikan karakter tidak terbatas pada pengetahuan ketika “hanya” di kelas,
tetapi harus diterapkan dan disosialisasikan dalam kehidupan sehari-hari,
setidaknya di lingkungan sekolah, misalnya dalam aspek ibadah shalat, tidak
cukup hanya dengan indikator peserta didik mampu praktek berdoa dengan baik,
tetapi juga harus berlatih dan membiasakan diri berdoa di sekolah, sebagai
bukti konkret menerapnya nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran di
kelas. Demikian pula, disiplin siswa misalnya ketepatan waktu datang ke
sekolah, kebersihan dan kesopanan dalam berpakaian dan lain-lain. Hal ini
sangat diperlukan sebagai evaluasi keberhasilan pendidikan karakter.
f) Metode Penelitian: Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif melalui yang bersifat deskriptif
dan explanatory. Di mana pendekatan deskripsi digunakan untuk menjawab “apa” yang
sedang terjadi, sementera pendekatan expalanatory
untuk menjawab “mengapa” dan “bagaimana,” yang kemudian dituangkan dalam tulisan. Penelitian ini
termasuk dalam jenis penelitian lapangan yang dilakukan secara intensif,
detail, dan mendalam. Hal tersebut terutama untuk objek tertentu yang
memerlukan analisis yang komprehensif dan menyeluruh. Adapun Studi Kasusnya
difokuskan pada "karakter berdasarkan kurikulum pendidikan strategi
pembangunan di SMKN 2 Pandeglang di Provinsi Banten)". Selanjutnya,
langkah-langkah dalam penelitian ini dinyatakan sebagai berikut: (1) observasi,
untuk mengetahui kondisi lapangan, (2) tes untuk mendapatkan data awal pada
kemampuan siswa, (3) Menyebarkan Kuesioner (Non-Test) dan wawancara untuk
menentukan persepsi guru dari belajar siswa masalah, (4) data dikumpulkan dan
dianalisis (dengan tampilan data, reduksi data, dan kesimpulan), (5)
mendapatkan draft awal (6) untuk menguji awal (terbatas trial), (7) Pre test
(8) pengobatan (9) Posting Test (10) Lokakarya hasil penelitian, (11)
memperoleh Pendidikan kurikulum dan silabus Berbasis Karakter di SMK.
g) Hasil:Sekolah menengah kejuruan (SMK) Negeri 2 merupakan salah
satu sekolah terkemuka yang banyak menarik masyarakat Pandeglang. Dengan jumlah
guru yang dimiliki adalah 85 orang, sementara jumlah siswanya mencapai 1500
anak. Bila melihat visi dan misi sekolah
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pentingnya penerapan nilai-nilai karakter
sangat penting dilakukan pada setiap proses pembelajaran mata pelajaran apapun.
Sebagaimana hasil penelitian tentang kurikulum silabus, dan RPP PAI yang
diterpakan pada SMKN 2 Pandenglang dapat dirumuskan berbagai strategi
pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter sebagai berikut: (1)
Mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam setiap pelajaran. (2) Mengidentifiksi
nilai-nilai karakter yang terkandung dalam bahan pembelajaran, misalnya, ketika
siswa membahas surat Al-kafiruun nilai-nilai karakter yang dapat diambil adalah
tentang toleransi, dan sebagainya. (3) Mengidentifikasi nilai-nilai karakter
dalam materi pembelajaran yang akan diterapkan, sehingga anak dapat mengenali
nilai-nilai yang baik. (4) Memberikan contoh nilai-nilai karakter dan
mempraktekkan nilai-nilai karakter yang terkandung dalam materi pembelajaran.
(5) Menggunakan metode demonstrasi dalam praktek ketika nilai-nilai karakter di
dalam kelas. (6) Adanya Pengklasifikasian.
Kenyatan yang ada, nilai-nilai karakter dalam subjek pendidikan Islam lebih dominan pada upaya untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang religius, jujur, disiplin, menghargai keberagaman atau toleransi. Untuk menanamkan nilai-nilai agama maka guru harus membiasakan siswa berdoa di sekolah, seperti shalat dhuha dan doa Ḑuhūr. Bahkan bila pelru memberikan sanksi bagi siswa yang tidak berdoa berjamaah atau tidak disiplin. Oleh karena itu, perlu diadakan pelaksanaan Pengembangan Kurikulum PAI berbasis pendidikan karakter dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke subjek. Hal itu, terutama dalam pendidikan agama Islam perlu dibangun prosedur pengembangan pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) sosialisasi, tujuan sosialisasi adalah untuk menyamakan persepsi tentang konsep pendidikan karakter. (2) Magang / Studi Banding sekolah Best Practice, guru PAI Beberapa orang harus diberi kesempatan untuk magang di pendidikan sekolah terbaik praktik karakter di daerah lain. (3) Pengembangan dokumen kurikulum, dokumen pengembangan kurikulum dimulai dengan identifikasi dan analisis nilai-nilai karakter yang terkandung dalam Standar Kelulusan (SKL). (4) Mengembangkan rencana rencana aksi sekolah, aksi susun melalui review dari rencana aksi sekolah yang telah dikembangkan sebelumnya secara komprehensif. Pada elemen rencana aksi sekolah berkaitan dengan pendidikan karakter yang terintegrasi dalam pemrograman dan khususnya, (5) Dokumen Lokakarya Dokumen I dan II, di tahap ini, tim pengembangan harus memegang kurikulum lokakarya dokumen perbaikan I dan II dokumen yang mengintegrasikan karakter pendidikan dengan mempertimbangkan hasil analisis konteks SKL, aspirasi masyarakat dan Aksi Sekolah Rencana (RAS), Perbaikan dibuat untuk dokumen saya kurikulum (termasuk visi, misi, dan tujuan sekolah) dan Dokumen kedua (silabus dan RPP), (6) Perencanaan dan Pelaksanaan karakter Pendidikan, dalam pelaksanaan pendidikan karakter dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan karakter untuk mata pelajaran Pendidikan Islam, (7) Penilaian keberhasilan. Dari uraian di atas, strategi pengembangan kurikulum pendidikan karakter PAI berbasis adalah metode atau teknik untuk menerapkan nilai-nilai yang pendidikan karakter agama ke dalam kurikulum dan silabus.
h) Komentar: Berdasarkan uraian di atas, menurut saya pendidikan
karakter selain diterapkan (dibiasakan) di dalam kelas saat proses pembelajaran
juga perlu diberlakukan dan dibiasakan pada perilaku sehari-hari (apa adanya)
di lingkungan sekolah. Serta perlu adanya evaluasi terhadap perilaku peserta
didik terhadap pelaksanaan nilai-nilai karakter yang tidak hanya didasarkan
pada kemampuan kognitifnya saja tetapi juga afeksi dan psikomotorik.
2) Jurnal (Penelitian) Kedua
a) Judul: Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem
Pendidikan Terpadu Insantama Bogor
b) Pengarang: Agus Retnanto
c) Sumber: EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam, Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012, ISSN: 1693-6019, dalam http://p3m.stainkudus.ac.id/files/empirik%20jan-jun%202012.pdf,
didownload tanggal 03 Juli 2015.
d) Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui secara mendalam tentang: (1) Mengapa Pendidikan Terpadu Insantama
Bogor melakukan model pengembangan karakter melalui pendidikan terpadu? (2)
Bagaimanakah model pengembangan karakter siswa pada Pendidikan Terpadu
Insantama Bogor? (3) Bagaimanakah Budaya Sekolah yang dikembangkan pada
Pendidikan Terpadu Insantama Bogor? (4) Bagaimanakah dampak penerapan model
pengembangan karakter yang dilaksanakan di Pendidikan Terpadu Insantama Bogor?
Penelitian difokuskan pada: Bagaimanakah model
pengembangan karakter siswa pada Pendidikan Terpadu Insantama Bogor? Dalam
penelitian ini menggunakan penelitian etnografi yaitu metode penelitian
kualitatif yang mengkaji perilaku manusia dalam setting alamiah dengan fokus
interpretasi budaya terhadap perilaku tersebut. Teknik pengambilan data
meliputi pengamatan (untuk sumber data peristiwa), wawancara (untuk sumber data
responden), dan analisis dokumen (untuk sumber data dokumen). Teknik analisis
data data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data
kualitatif model Spreadley. Analisis tersebut terdiri atas empat langkah, yaitu
analisis domein, analisis taksonomi, analisis komponen, dan analisis tema.
Nilai kegunaan atau urgensi dari penelitian ini
diharapkan mempunyai implikasi untuk membantu menyumbangkan pemikiran yang
berkaitan pendidikan, dalam rangka pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional dalam
Sistem Pendidikan Nasional sehingga dapat menambah khasanah ilmu pendidikan
khususnya dalam rangka membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Membantu
memberikan sebuah konsep sistem pendidikan yang dapat digunakan untuk
menciptakan manusia cerdas sekaligus berakhlaq mulia yang mampu mengatasi
berbagai macam problem yang sedang melanda manusia Indonesia yang sedang
membangun.
Kata
Kunci: Model Pengembangan Karakter, Sistem
Pendidikan Terpadu.
e) Deskripsi isi: Berangkat dari paparan di atas, maka implemetasinya
adalah dengan mewujudkan lembaga pendidikan Islam unggulan secara terpadu dalam
bentuk Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT), Sekolah Dasar Islam Terpadu
(SDIT), Sekolah Menengah Islam Terpadu (SMPIT), Sekolah Menengah Umum Terpadu
(SMUIT), dan Perguruan Tinggi Islam Terpadu.
Pengembangan
Karakter dengan Pendidikan Islam Terpadu:
1)
Keterpaduan
Kurikulum Kepribadian Islam, Tsaqofah
Islam dan Ilmu
Kehidupan.
Pendidikan
Islam yang merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis
bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni (a) berkepribadian
Islam, (b) menguasai tsaqofah Islam, (c) menguasai ilmu kehidupan
(pengetahuan dan teknologi). Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang
muslim dalam seluruh aktivitas kesehariannya. Identitas kemusliman akan nampak
pada kepribadian seorang muslim, yakni pada pola berpikir (aqliyah) dan
pola bersikapnya (nafsiyah) yang distandarkan pada aqidah Islam. Islam
mendorong setiap muslim untuk maju dengan cara men-taklif-nya (memberi beban
hukum) kewajiban menuntut ilmu, baik ilmu yang berkaitan langsung dengan Islam
(tsaqofah Islam) maupun ilmu pengetahuan umum (iptek). Menguasai ilmu
kehidupan (iptek) dimaksudkan agar umat Islam dapat menjalankan fungsinya
sebagai khalifah Allah SWT dengan baik di muka bumi ini. Lebih dari itu, Islam
bahkan menjadikannnya sebagai fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus
dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu seperti teknik, kedokteran,
pertanian dan sebagainya sangat dibutuhkan umat.
2)
Keterpaduan Pendidikan
Sekolah, Keluarga dan Masyarakat
Secara
faktual, pendidikan melibatkan tiga unsur pelaksana, yakni keluarga, sekolah
dan masyarakat. Kondisi faktual obyektif pendidikan saat ini, ketiga unsur
pelaksana tersebut belum berjalan secara sinergis di samping masing-masing
unsur tersebut juga belumlah berfungsi secara benar. Sinergi negatif antar
ketiganya, memberikan pengaruh kualitas proses pendidikan secara keseluruhan.
Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya
minimasi pengaruh negatif yang ada dan pada saat yang sama meningkatkan
pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada
pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam. Selanjutnya,
dibuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar dapat berperan
optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor
pendidikan sekolah – keluarga – masyarakat inilah yang akan menjadikan pribadi
anak didik yang utuh sesuai dengan kehendak Islam.
3)
Keterpaduan Sekolah,
Asrama/Pesantren dan Masjid
Untuk
meciptakan kultur sekolah yang bersih dari pengaruh negatif masyarakat, program
full-day school dan boarding school merupakan alternatif yang
dapat dilakukan. Karena itu, tiga poros sekolah, asrama/pesantren dan masjid
yang berperan penting dalam pengembangan SDM tapi selama ini terpisah-pisah,
harus dapat diharmonisasikan. Sekolah berfungsi untuk mengintroduksikan
kurikulum pendidikan secara formal sesuai dengan jenjang yang ada. Asrama
merupakan sarana di luar sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung
pendidikan formal. Sikap disiplin, kemandirian, kepemimpinan dan tanggung jawab
dapat diciptakan dalam asrama. Sedangkan masjid merupakan pusat kegiatan
keislaman siswa. Di masjid, siswa akan melakukan shalat berjamaah, pembinaan
kepribadian dan kegiatan lainnya. Jika ketiganya diintegrasikan, diharapkan
akan tercipta budaya sekolah yang ideal. Sekolah Terpadu Insantama Bogor
menyediakan serangkaian materi untuk mendidik seorang anak hingga dewasa
termasuk perkembangan dirinya. Namun, tanggung jawab pendidikan bukan
semata-mata menjadi tanggung jawab sekolah. Kunci menuju pendidikan yang baik
adalah keterlibatan orang dewasa yaitu orang-tua yang penuh perhatian. Jika
orang-tua terlibat langsung dalam pendidikan anak-anak di sekolah, maka
prestasi anak tersebut akan meningkat. Setiap siswa yang berprestasi dan
berhasil menamatkan pendidikan dengan hasil baik selalu memiliki orang-tua yang
selalu bersikap mendukung. Apa yang dapat dilakukan oleh orang-tua bagi anaknya
setelah mereka memasuki pendidikan di sekolah? Berikut ini beberapa hal yang
perlu dilakukan oleh orang-tua agar anaknya dapat berprestasi di sekolah.
4)
Dukungan Orang-Tua
Orang-tua
sebaiknya memberi perhatian kepada anak-anak mereka dan menanamkan kepada
mereka nilai dan tujuan pendidikan. Mereka juga berupaya mengetahui
perkembangan anak mereka di sekolah. Caranya adalah dengan berkunjung ke
sekolah untuk melihat situasi dan lingkungan pendidikan di sekolah. Menaruh
minat terhadap aktivitas sekolah akan secara langsung mempengaruhi pendidikan
anak. Kerja Sama dengan Guru Biasanya apabila timbul masalah-masalah gawat,
barulah beberapa orang-tua menghubungi guru anak-anak mereka. Sebaiknya,
orang-tua perlu mengenal guru di sekolah dan menjalin hubungan yang baik dengan
mereka. Berkomunikasilah dengan guru untuk perkembangan anak. Guru juga perlu
diberitahu bahwa orang tua memandang penting pendidikan anak di sekolah sebagai
bagian kehidupannya. Ini akan membuat guru lebih memperhatikan anak. Hadir pada
pertemuan orang-tua murid dan guru yang diselenggarakan oleh sekolah. Pada
pertemuan ini, orang tua memiliki kesempatan untuk mengetahui prestasi akademis
anak serta perkembangan anak di sekolah. Jika seorang guru mengatakan hal yang
buruk mengenai anak, dengarkan guru tersebut dengan penuh respek, dan selidiki
apa yang ia katakan. Orang tua juga dapat menanyai guru-guru di sekolah
mengenai prestasi, sikap, dan kehadiran anak di sekolah. Jika seorang anak
sering bermuka dua, maka penjelasan dari guru bisa jadi mengungkap hal-hal yang
disembunyikan anak saat bersikap manis di rumah.
5)
Menyediakan waktu
untuk anak
Selalu
sediakan waktu yang cukup banyak bagi anak. Jika anak pulang sekolah, umumnya
mereka cukup stres dengan beban pekerjaan rumah, ulangan, maupun problem
lainnya. Sungguh ideal jika orang-tua misalnya seorang ibu berada di rumah pada
saat anak-anak di rumah. Seorang anak akan senang bercerita ketika pulang
sekolah seraya mengeluarkan semua keluhan dan bebannya kepada orang-tua. Bisa
jadi mereka mulai menceritakan teman-temannya yang nakal yang mulai menawari
rokok dan narkoba. Segera tanggap dengan hal tersebut jika menyediakan waktu
bagi anak-anak.
6)
Mengawasi kegiatan
belajar di rumah
Menunjukkan
adanya rminat pada pendidikan anak Anda. Pastikan anak-anak Anda sudah
mengerjakan pekerjaan rumah (PR) mereka. Wajibkan diri untuk mempelajari
sesuatu bersama anak-anak. Membaca bersama-sama mereka. Jangan melupakan
menjadwalkan waktu setiap hari untuk memeriksa pekerjaan rumah anak. Kendalikan
waktu menonton TV, Internet dan bermain game dari anak-anak.
7)
Megajari tanggung
jawab
Sekolah
umumnya akan memberi banyak tugas untuk dipersiapkan anak di rumah dan di
sekolah. Apakah mereka mengerjakan tugas-tugas itu dengan benar dan baik?
Seorang anak dapat bertanggung jawab mengerjakan tugas mereka di sekolah jika
telah mengajar mereka untuk mengerjakan tanggung jawab di rumah. Mencoba mulai
memberikan anak pekerjaan rumah tangga rutin setiap hari seperti membersihkan
tempat tidur sendiri menurut jadwal yang spesifik. Pelatihan di rumah seperti itu
akan membutuhkan banyak upaya di pihak orang tua karena perlu diawasi. Tetapi
hal itu akan mengajar anak rasa tanggung jawab yang mereka butuhkan agar
berhasil di sekolah dan di kemudian hari dalam kehidupan.
8)
Disiplin
Jalankan
disiplin dengan tegas namun dengan penuh kasih sayang. Jika Anda selalu
menuruti keinginan anak, maka mereka akan menjadi manja dan tidak bertanggung
jawab. Problem lain bisa muncul jika Anda terlalu memanjakan anak Anda seperti
seks remaja, narkoba, prestasi yang buruk, dan masalah lainnya.
9)
Kesehatan
Jaga
kesehatan anak agar prestasi belajarnya tidak terganggu. Buat jadwal tidur yang
cukup untuk anak . Anak-anak yang kelelahan tidak dapat belajar dengan baik.
Lalu hindari makanan seperti junk food, karena selain menyebabkan problem
obesitas, juga mendatangkan pengaruh yang buruk terhadap kesanggupannya untuk
berkonsentrasi.
10) Menjadi teman terbaik
Menjadi
teman terbaik bagi anak orang tua. Meluangkan waktu untuk berbagi berbagai hal
dengan mereka. Seorang anak membutuhkan semua teman yang matang yang bisa ia
dapatkan. Sebagai orang-tua, Anda dapat menghindari banyak problem dan
kekhawatiran atas pendidikan anak Anda dengan mengingat bahwa kerja sama yang
sukses dibangun di atas komunikasi yang baik. Kerja sama yang baik dengan para
pendidik di sekolah juga dapat membantu melindungi anak.
11)
Mengembangkan
Karakter melalui Budaya Pendidikan
Budaya
pendidikan sebagai aspek penting bagi peningkatan mutu pendidikan. Budaya
sebagai produk manusia merupakan eksternalisasi yang memproduksi tatanan sosial
yang berlangsung terus-menerus mendasari pemahaman bagi setiap peran yang ada
pada satuan pendidikan. Bahwa keberadaan manusia terus-menerus
mengeksternalisasi diri dalam aktivitas. Aktivitas yang telah menjadi
kebiasaan, menghasilkan makna-makna yang sudah tertanam sebagai hal yang rutin.
Dengan demikian pembiasaan memberikan arah dan spesialisasi kegiatan yang
berlangsung sepanjang watu dan membentuk suatu lembaga. Proses pelembagaan
tindakan sehari-hari yang sudah dilakukan oleh masyarakat secara luas menjadi
milik bersama. Demikian halnya dalam kehidupan di lingkungan sekolah terjadi
proses pelembagaan tindakan sehari-hari yg dilakukan oleh semua unsur secara
luas menjadi milik sekolah.
f) Metode Penelitian: Pendekatan dan model penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif model Spreadley. Analisis
tersebut terdiri atas empat langkah, yaitu analisis domein, analisis taksonomi,
analisis komponen, dan analisis tema. Analisis domein dimaksudkan untuk
menentukan domein budaya yang berisi kategori-kategori yang bebih kecil yang
meliputi istilah bagian, istilah acuan, dan hubungan semantik antara istilah
bagian dan istilah acuan itu. Analisis taksonomi dimaksudkan untuk
mengorganisasikan domein-domein beserta bagian-bagiannya itu sehingga terbentuk
suatu konstelasi yang utuh. Analisis komponen dimaksudkan untuk mencari
atribut-atribut unsur dalam setiap domein guna mengidentifikasi kontras
diantara unsur-unsur dalam domein tersebut, sehingga masing-masing domein dapat
diidentifikasikan secara jelas dan dapat dilihat kontrasnya dengan
domein-domein lainnya. Analisis tema dimaksudkan untuk menentukan hubungan
antar domein dan hubungan antara domein-domein tersebut dengan pemandangan
budaya secara keseluruhan. Sesuai dengan sumber datanya, teknik pengambilan
data meliputi pengamatan (untuk sumber data peristiwa), wawancara (untuk sumber
data responden), dan analisis dokumen (untuk sumber data dokumen). Dari ketiga
sumber yang dapat memberikan data tersebut, peneliti membidik peristiwa seperti
kegiatan belajar mengajar baik di dalam ruang maupun di luar kelas. Respoden,
baik kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa maupun masyarakat sekitar
lembaga pendidikan. Dokumen, berupa segala bentuk informasi tertulis, seperti
kurikulum, buku-buku administrasi lain yang mendukung proses pembelajaran.
Peneliti juga memakai teknik snowball sampling denganmaksud tidak hanya
mendatangi satu orang yang dipandang memiliki informasi yang dibutuhkan, namun
pada tahap selanjutnya akan mendatangi orang lain atas rekomendasi orang yang
sebelumnya ditemuinya. Pencarian data dapat dihentikan manakala peneliti
menganggap bahwa informasi telah jenuh. Adapun teknis analisis data data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif model Spreadley.
Analisis tersebut terdiri atas empat langkah, yaitu analisis domein,
analisis taksonomi, analisis komponen, dan analisis tema.
g)
Hasil: (1) Tujuan
Pendidikan Terpadu Insantama Bogor; tujuan
pendidikan adalah suatu kondisi yang menjadi target penyampaian ilmu
pengetahuan. Tujuan ini juga merupakan panduan dan acuan bagi seluruh kegiatan
dalam sistem pendidikan. Matra, sebagaimana pengertiannya, Pendidikan Islam
merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis bertujuan untuk
membentuk manusia yang berkarakter, yakni (a) berkepribadian Islam, (b)
menguasai tsaqofah Islam, (c) menguasai ilmu kehidupan (iptek)
dan (d) memiliki ilmu kehidupan (keterampilan) memadai. (2) Memiliki Ilmu Kehidupan
(Keahlian/Keterampilan) Memadai; perhatian besar Islam pada ilmu-ilmu
teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian,
menempatkannya sebagai salah satu tujuan pendidikan Islam. Penguasaan
keterampilan yang serba material ini juga merupakan tuntutan yang harus
dilakukan oleh umat ini diindikasikan dengan terdapatnya banyak nash dalam
Al Qur’an dan yang mengisyaratkan kebolehan mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan
umum atau keterampilan (seperti yang beberapa di antaranya telah diungkapkan
sebelumnya). Sebagaimana hafnya dengan iptek, Islam juga menjaclikan penguasaan
keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang
harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu tersebut sangat
dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan dan
lainnya. (3) Unsur Pelaksana Pendidikan
Terpadu Insantama Bogor; berdasarkan pengorganisasian, proses pendidikan
bisa dibagi menjadi doa, yakni secara formal di sekolah/kampus dan secara
nonformal di luar kampus sekolah/lingkungan, yakni keluarga dan masyarakat. (4)
Pendidikan di tengah masyarakat; hampir sama dengan pendidikan di keluarga,
pendidikan di tengah masyarakat pada hakikatnya juga merupakan proses
pendidikan sepanjang hayat, khususnya berkenaan dengan praktek kehidupan
seharihari yang dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di masyarakat,
utamanya tetangga, teman pergaulan, lingkungan serta sistem nilai yang
berjalan. Dalam sistem Islam, masyarakat adalah salah satu elemen penting
penyangga tegaknya sistem selain rasa ketaqwaan yang tertanam dan terbina pada
setiap individu serta keberadaan negara sebagai pelaksana syariat Islam. Adanya sikap saling mengontrol pelaksanaan
hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi tingkah laku penguasa pada
masyarakat dimungkinkan mengingat masyarakat dalam perspektif Islam memiliki
karakteristik tersendiri dalam membentuk perasaan taqwa dalam diri setiap
individunya. Karena itu, dengan sendirinya, proses pendidikan di tengah
masyarakat ini menempati posisi penting. Masyarakat Islam terbentuk dari
individu-individu yang dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, dan peraturan yang
mengikat mereka sehingga menjadi masyarakat yang solid persatuannya. (5) Asas Pendidikan Terpadu Insantama Bogor; menginat
sangat pentingnya aqidah bagi kehidupan seorang muslim, maka Islam mengharuskan
setiap muslim untuk memegang teguh aqidah itu dan menjadikannya dalam berfikir
dan berbuat, termasuk ketika menyusun system pendidikan. Maka, kurikulum
pendidikan yang dilaksanakan pun berlandaskan pada aqidah Islam. Karenanya,
jika aqidah Islam teiah menjadi asas yang mendasar bagi kehidupan seorang
muslim, asas bagi hubungan antar sesama Muslim, asas bagi aturan dan masyarakat
umumnya, dan asas bagi kehidupan bemegaranya, Maka seluruh pengetahuan yang
diterima seorang muslim harus berdasarkan aqidah Islam pula. Seluruh
pengetahuan tidak terkecuali, balk itu berupa pengetahuan yang berkaitan dengan
kehidupan pribadi, hubungan sosial, masalah ekonomi, hukum, politik dan
kenegaraan atau masalah apa pun yang berkaitan dengan kehidupan dunia dan
akhirat, wajib berlandaskan pada aqidah Islam. (6) Struktur Kurikulum Pendidikan Terpadu Insantama Bogor; Secara
struktural, kurikulum pendidikan Islam di sekolah/kampus dijabarkan dalam tiga
komponen materi pendidikan utama yang sekaligus menjadi karakteristik khas,
yakni: (a) Pembentukan SyakhSiyyah Islamiyyah (Kepribadian Islami), (b)
Tsaqofah Islam dan (c) Ilmu Kehidupan (Iptek, keahlian dan Keterampilan). Sebagaimana,
yang tercermin dalam Label di bawah ini, selain muatan penunjang proses
pembentukan Syakhshiyyah lslamiyyah yang secara menerus pemberiannya untuk
tingkat TK - SD dan SMP - SMU - PT, muatan staqofah Islam dan Ilmu Kehidupan
(Iptek, keahlian dan Keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan
daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya
masing-masing. (7) Dana, Sarana dan
Prasarana; berdasarkan sirah Nabi SAW dan tarikh Daulah Khilafah
sebagaimana disarikan oleh Al Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan
di Masa Khilafah Islam, negara memberikan jaminan pendidikan secara
cuma-cuma (bebas biaya) dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan tinggi dengan fasilitas (sarana dan
prasarana) sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat
diperhatikan dan merupakan beban yang harus dipikul negara serta diambil dari
kas Baitul Maal. Sistem pendidikan bebas biaya tersebut didasarkan atas ijma
sahabat yang memberi gaji kepada para pengajar dari baitul maal dengan jumlah
tertentu. (7) Lembaga Pendidikan Islam
Unggulan; di zaman pemerintahan Islam, sejak abad 4 Hijriah telah
dibangun banyak sekolah Islam. Tetapi sebelum sekolah semodel itu dikembangkan,
pendidikan ketika itu biasanya dilakukan di dalam masjid, majelis-majelis
taklim dan tempat-tempat pendidikan keterampilan lainnya. Muhammad Athiyah Al
Abrasi dalam buku dasar-dasar pendidikan Islam, memaparkan usaha-usaha para
khalifah untuk membangun sekolah-sekolah itu. Dalam perkembangannya, setiap
khalifah berlomba-lomba membangun sekolah tinggi Islam dan berusaha melengkapinya
dengan sarana dan :)rasarananya. Pada setiap sekolah tinggi itu dilengkapi
dengan iwan (auditorium, gedung pertemuan), asrama penampungan mahasiswa,
perumahan dosen dan ulama. Selain itu, sekolah tinggi tersebut juga dilengkapi
dengan kamar mandi, dapur dan ruang makan, bahkan juga taman rekreasi. (8) Kendala; dalam membangun model
pendidikan sebagaimana yang dikehendaki Islam tentu saja akan menghadapi
kendala utama, yakni belum diterapkannya bangunan secara menyeluruh dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Model pendidikan atau sekolah unggulan
sedemikian hanya dapat diterapkan oleh Negara. (9) Upaya; mengingat kendapa di
atas, maka harus ditempuh aksi individual atau kelompok kalangan muslim yang
memang dibenarkan oleh hukum syara’ selama memenuhi persyaratan lembaga
pendidikan Islam, dari mulai asas kurikulumnya hingga operasional pendidikan
keseharian. Inilah yang ditempuh melalui Pendidikan Islam Terpadu Insantama
Bogor. (10) Pengembangan Karakter
Berdasar pada Landasan Budaya Sekolah; model pengembangan Karakter akan
selalu melekat pada bagaimana kinerja sekolah tersebut dalam mengembangkan
budaya sekolah. Budaya sekolah sebagai
aspek penting bagi pengembangan kepribadian siswa. Budaya sebagai produk
manusia merupakan eksternalisasi yang memproduksi tatanan sosial yang
terus-menerus mendasari pemahaman bagi setiap peran yang ada pada satuan
pendidikan. Konsep eksternalisasi bahwa keberadaan manusia terus-menerus
mengeksternalisasi-kan diri dalam aktivitas. Aktivitas yang telah menjadi kebiasaan,
menghasilkan makna-makna yang sudah tertanam sebagai hal yang rutin. Pembiasaan
memberikan arah dan spesialisasi kegiatan yang berlangsung sepanjang waktu dan
membentuk suatu lembaga. Proses pelembagaan tindakan sehari-hari yang sudah
dilakukan oleh masyarakat secara luas menjadi milik bersama. Demikian halnya
dalam kehidupan di lingkungan sekolah terjadi proses pelembagaan tindakan
sehari-hari yang dilakukan oleh semua unsur yang secara luas menjadi milik
sekolah.
h) Komentar: Sistem pendidikan terpadu baik yang ada di Taman
Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah
Menengah Islam Terpadu (SMPIT), Sekolah Menengah Umum Terpadu (SMUIT), dan
Perguruan Tinggi Islam Terpadu apakah harus disamakan sifatnya? Bagaimana pendidikan terpadu tidak hanya memadukan secara
adminsitrasi tapi juga memadukan nilai-nilainya?
3) Jurnal (Atikel B. Inggris) Ketiga
a) Judul: Strategizing
Islamic Education
b) Pengarang: Muhammad Syukri Salleh
c) Sumber: International Journal of Education and Research Vol. 1 No. 6 June 2013ISSN:
2201-6333 (Print) ISSN: 2201-6740 (Online), dalam http://www.ijern.com/journal/June-2013/13.pdf, didownload
tanggal 03 Juli 2015.
d) Abstrak (setelah diterjemahkan):
Tulisan ini mencoba mengajukan
rumusan strategi dalam usaha mewujudkan tujuan pendidikan Islam. Ruang lingkup
pendidikan Islam di sini tidak dibatasi hanya untuk Muslim. Akan tetapi melampaui
kelompok etnis-agama sehingga tidak untuk umat Islam saja. Dengan premis
tersebut, artikel ini cenderung menekankan pada dua persyaratan mendasar dalam
menyusun strategi pendidikan Islam. Pertama, pada sifat lembaga
pendidikan Islam. Kedua, pada strategi dalam meningkatkan pendidikan
Islam itu sendiri. Wacana terbentuk dengan keyakinan bahwa lembaga pendidikan
Islam harus tertanam kuat dalam fondasi filosofis dan epistemologis Islam,
sehingga bisa mencerminkan semua perbuatan, manajemen, metode belajar-mengajar,
dan metodologi penelitian. Selanjutnya, misi lembaga pendidikan Islam
menekankan akan dicapai melalui upaya inovatif, melampaui standar yang
digunakan, dan bersaing dengan pendidikan yang lainnya, baik yang bercirikan
Islam maupun non-Islam. Tujuannya adalah untuk menjadi perintis nyata dan
menjadi institusi terkemuka, sehingga bisa terhempas ke depan melampaui
pandangan pada umumnya dari banyak lembaga pendidikan Islam yang ada
kontemporer saat ini.
Kata kunci: pendidikan, pembelajaran,
strategi pendidikan Islam
e) Deskripsi isi: Tidak diragukan lagi, pendidikan Islam telah menarik banyak Muslim untuk
mengunakannya (menjadi pilihan) dan sekarang ini PAI tengah berusaha
merelaisasikan minat umat Islam tersebut sehingga menjadi pilihan utama. Tujuan
tertentu dari pendidikan Islam, sampai batas tertentu, memang telah tercapai.
Namun, penyempurnaan dari prestasi tersebut harus dibarengi dengan latihan
terus menerus. Sebuah strategi jenis tertentu harus dirancang dan secara
teratur ditingkatkan. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menunjukkan tiga
aspek yang harus diberikan pertimbangan dalam meningkatkan strategi. Pertama, penerapan metode manajemen
Islam di lembaga pendidikan Islam. Kedua,
penekanan pada metode belajar-mengajar yang diberi nama `hati ke hati 'metode. Ketiga, penciptaan inovasi sendiri,
standar, dan arena bermain. Melalui ini, pendidikan Islam bisa menjadi usaha
terbaik dalam menerapkan kehidupan yang harmonis dan aman bagi seluruh umat
manusia, terlepas dari orientasi etnis dan agama. Melalui ini juga, pendidikan
Islam bahkan di Barat memiliki masa depan yang mungkin dan dibenarkan dalam
konteks Barat modern saat ini. Bahkan, mencapai keseimbangan pendidikan antara
tradisi dengan pencerahan seperti yang diyakini oleh filsuf pendidikan Belanda
yang terkenal, Wilna Meijer.
f) Komentar: Bagaimana batas-batas untuk membedakan PAI untuk diterapkan bagi umat Islam
sendiri dan PAI yang bisa diterapkan bagi seluruh umat manusia? Di mungkinkan
PAI yang seperti itu bisa mengabaikan simbol-simbol, ritual, ibadah, dan
aspek-aspek penting lain karena lebih mengutamakan nilai kemanusiaan universal.
Dengan kata lain, PAI hanya dimanfaatkan sebagai nilai berkehidupan untuk
seluruh umat manusia dan di dunia saja tidak terlalu menekankan pada upaya
memperoleh ridha Allah SWT.
b.
Atas dasar ikhtisar isi jurnal tersebut, rumuskan apakah ada implikasi atau
pemikiran Anda dalam penerapanya untuk Pengembangan pembelajaran PAI di TK/RA,
SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT!
Jawab: Pendidikan Karakter bisa menjadi satu ciri khas suatu bangsa. Oleh karena
itu, dalam pelaksanaan dan pengembangannya seharusnya berakar dari karakter
(budaya) bangsa itu sendiri. Bukan mutlak berasal dari pendidikan barat yang
paradigmanya jelas-jelas berbeda dengan bangsa Indonesia. di mana paradigma
barat lebih banyak diturunkan dari Cartesian (Descartes) dan Newtonian sehingga
menjadi penyebab munculnya paradigma tunggal (tidak utuh) di dunia Barat.
Dengan paradigma tunggal itu, mereka terpuruk ke lembah krisis dan penuh
kontradiksi, yang menurut Capra disebabkan oleh kekeliruan pemikiran. Ahmad Tafsir sebagaimana dikutip Efendi
menjelaskan bahwa yang dimaksud kekeliruan
pemikiran menurut Capra adalah tidak
digunakannya paradigma yang tepat dalam penyusunan kebudayaan barat. Di mana,
menurutnya budaya barat hanya disusun berdasarkan satu paradigma, yaitu
paradigma sains (scientific paradigm). Padahal paradigma tersebut tidak sepenuhnya
bisa melihat alam dan kehidupan ini secara utuh dan menyeluruh (wholeness), kecuali hanya melihat alam
ini pada bagian yang empiris saja.[18]
Bila “kebudayaan” barat tersebut dikaitkan dalam dunia pendidikan, secara
spesifik M. Zainuddin memaparkan perbedaannya dengan pendidikan Islam
sebagaimana berikut:[19]
Tabel 3.1: Perbedaan Sistem Pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Barat
(Tabel diadaptasi dari
pemaparan M. Zainuddin dalam bentuk paragraf)
Katagori
|
Pendidikan Islam
|
Pendidikan Barat
|
Landasan Filosifis
|
Paradigmanya bertolak
dari sumber atau landasan (doktrin) Islam yang bercorak teo-antroposentris.
|
Paradigmanya
dilandaskan filsafat Yunani yang antroposentris-sekuler
sehingga terlepas dari dimensi moral dan spiritual.
|
Struktur Konsep Pendidikan
|
Terjadinya perbedaan: tujuan, konsep tentang manusia
(peserta didik), nilai, serta tanggung jawab yang diembannya.
|
|
Ontologi
|
Terjadi perbedaan dalam aspek: cara memandang dan
menempatkan para peserta didik dalam proses pembelajaran.
|
|
Sumber dan Metode Epistomologi
|
Berasal dari Allah
SWT, yang diperoleh melalui pancaindra, akal sehat, berita yang benar, dan
intuisi.
|
Semua objek (benda
/zat /materi) yang bisa diserap oleh pancaindra.
|
Sistem Etika
|
Bercorak teo-antroposentris yang menempatkan
manusia sebagai pelaku sejarah sekaligus sebagai makhluk (khalifah dan hamba)
Allah.
|
Menurut Syamsul Nizar:
bercorak antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari
segala-galanya, individu merdeka tanpa batas.
|
Dari tabel tersebut dengan jelas tergambar bahwa sistem pendidikan barat
adakalanya tidak sepenuhnya cocok apabila diterapkan dalam sistem pendidikan
Islam. Oleh karena itu, setiap teori dari barat, utamanya teori tentang
pendidikan tidak serta merta harus diserap sepenuhnya untuk digunaan dalam
sistem pendidikan Islam. Bagaimanapun, paradigma yang digunakan oleh umat Islam
dengan paradigma orang barat adakalanya berbeda. Implikasinya, bila dipaksakan
akan mempengaruhi dalam membuat konsep sistem pendidikan Islam. Artinya,
pendidikan Islam akan kehilangan jati diri keislamannya, melainkan yang ada
berupa simbol, slogan, dan ritus-ritusnya belaka.
Lebih dari itu, bila dikaitkan dengan pembelajaran secara langsung, maka
paradigma lama mengajar tentang pemberian reward
and punishment atau pemberian rangsangan lain sudah tidak berlaku lagi.
Ataupun, paradigma pembelajaran yang hanya sebatas menyampaikan pengetahuan
dianggap sudah tidak relevan dengan kekinian. Diperlukan paradigma baru, salah
satunya adalah menciptakan “flow”[20]
pada peserta didik. Paradigma baru lainnya adalah kegiatan mengajar difokuskan
pada proses mengatur lingkungan (kebudayaan). Beberapa alasannya menurut Wina
Sanjaya adalah:
1.
Peserta didik bukanlah orang dewasa dalam bentuk anak
kecil atau remaja, tetapi individu yang sedang berkembang sehingga masih butuh
proses pendidikan. Dengan demikian, pendidik (sebagai orang dewasa) bukanlah
satu-satu sumber belajar. Hal ini karena kebutuhan orang dewasa dengan
anak-anak berbeda. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah sebagai pengelola
sumber belajar yang sesuai dengan tingkat usia peserta didik.
2.
Adanya ledakan ilmu pengetahuan berakibat pada ketidakmungkinan
bagi setiap orang mampu menguasai seluruh cabang keilmuan. Dengan demikian,
belajar tidak sekedar menghafal informasi, menghafal rumus-rumus, tapi belajar
adalah bagaimana peserta didik mampu menggunakan otaknya untuk mengasah
kemampuan berfikir.
3.
Penemuan-penemuan baru dalam bidang psikologi (menurut
penulis juga bidang biologi), berakibat pemahaman baru terhadap konsep (teori)
perubahan perilaku manusia. Di mana manusia sebagai makluk biologis (organisme)
memiliki potensi bawaan yang menentukan perilaku manusia. Implikasinya, proses
pendidikan bukan lagi memberikan stimulus untuk cerdas pada bidang tertentu,
tetapi mengembangkan potensi (kecerdasan) yang telah ada dan telah dimiliki
peserta didik.[21]
3.
Carilah isu-isu pendidikan PAI yang berkaitan dengan bentuk kurikulum di
beberapa negara minimal 2 negara dan bandingkan dengan kurikulum di Indonesia.
Berilah ulasan tentang isi kurikulum tersebut dan apa tanggapan/pendapat
saudara tentang kurikulum di Negara tersebut!
Jawab: Perbandingan Kurikulum
di Indonesia, Finalndia, dan Jepang Menurut Rini Wulandari:[22]
a)
Jenjang pendidikan:
Pada umumnya jenjang pendidikan di Indonesia dan Jepang, dan Finlandia
memiliki kesamaan. Ketiga negara tersebut juga sama – sama menerapkan wajib
belajar sembilan tahun. Namun untuk jenjang sarjana di Finlandia hanya
memerlukan waktu studi tiga tahun. Perbedaan yang sangat mencolok antara
pendidikan di Indonesia dan di negara lain terletak pada kesan prestige jika dapat memasuki
universitas, sehingga siswa berlomba – lomba masukke universitas bergengsi
walaupun dengan kemampuan rendah. Di Finlandia siswa – siswa yang memiliki
kemampuan rendah diarahkan untuk memasuki sekolah – sekolah vokasi untuk
mempersiapkan diri masuk ke dunia kerja, sehingga kemampuan – kemampuan siswa
benar – benar dimaksimalkan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
b)
Anggaran
Pendidikan: Anggaran biaya pendidikan di In donesia
memiliki kesamaan dengan Finlandia yaitu sekitar 20 % dari total anggaran
belanja negara, sedangkan untuk Jepang, pemerintah memberikan anggaran biaya
pendidikan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 31,6 % dari total anggaran belanja
negara. Dalam aspek pembiayaan pendidikan, Jepang dan Indonesia memiliki
kesamaan, yaitu penggratisan biaya pada jenjang pendidikan dasar. Sedangkan
untuk jenjang selanjutnya siswa harus mengeluarkan biaya pribadi. Namun biaya
pendidikan di Jepang tergolong rendah dibanding dengan Amerika dan Inggris.
Sedangkan di Finlandia pemerintah menggratiskan biaya pendidikan mulai dari
pendidikan dasar hingga universitas dan segala keperluan yang berhubungan
dengan pendidikan, misalnya makan siang, ongkos transportasi, dan buku.
c)
Tenaga Pendidik: Untuk
tenaga pendidik yaitu guru, Finlandia memiliki kualifikasi guru paling tinggi.
Di Finlandia, guru merupakan profesi yang sangat diminati dan peluang untuk
menjadi guru sangat kecil karena proses perekrutan yang sangat ketat. Sama
halnya denggan di Finlandia, di Jepang, guru juga merupakan profesi yang sangat
dihormati. Walaupun kualifikasi guru dijepang lebih rendah daripada di
Finlandia, proses perekrutan guru di Jepang juga sangat ketat. Untuk di
Indonesia sendiri, sedang digalakkan program – program untuk peningkatan
kualitas guru. Program terbaru dari pemerintah ialah, adanya program PPG untuk
mendapatkan sertifikat mengajar bagi guru. Kesejahteraan guru di Jepang dan
Finlandia juga jauh diatas Indonesia jikka dilihat dari jumlah gaji yang
diterima.
d)
Kurikulum per-mata
pelajaran (matematika): Pada dasarnya kurikulum
matematika di Indonesia, Jepang, dan Finlandia sama. Namun di Indonesia saat
ini masih menekankan pada kuantitas pembelajaran bukan kualitas. Materi
pembelajaran matematika di Indonesia jauh lebih banyak daripada di jepang dan
Finlandia.
e)
Proses
pembelajaran: Untuk proses pembelajaran, pada intinya
sama yaitu berfokus pada peserta didik. Namun pada kenyataannya di Indonesia
masih banyak pembelajaran yang berfokus pada guru. Jumlah mata pelajaran yang
dipelajari di Indonesia lebih banyak daripada di Jepang dan Finlandia. Lagi –
lagi Indonesia masih menekankan kuantitas daripada kualitas.
f)
Evaluasi: Pada
sistem evaluasi terdapat perbedaan yang mencolok antara Indonesia dengan Jepang
dan Finlandia. Sistem evaluasi di Indonesia cenderung membuat siswa tertekan
dengan segala kriteria yang ada. Sedangkan di Finlandia menekankan pada
progress belajar siswa itu sendiri, sehingga siswa tidak merasa tertekan.
Adanya sistem peringkat juga membuat siswa dengan peringkat bawah merasa minder
dan secara psikologi perasaan – perasaan tersebut dapat menghambat proses
belajar siswa.
g)
Analisi untuk
kurikulum di Indonesia: Pada umumnya sistem
pendidikan di Indonesia sudah bagus apabila dilaksanakan sesuai dengan aturan
ideal yang berlaku. Misalnya pada kurikulum 2013 yang menekankan adanya
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Namun kenyataannya proses
pembelajaran yang berlangsung belum sesuai dengan idealnya. Hal ini disebabkan
karena adanya faktor-faktor penghambat seperti kurangnya kesiapan guru,
faslitas pendidikan yang kurang memadai, dan karakter – karakter masyarakat
Indonesia yang kurang mendukung. Kekurangan lainnya yaitu pada sistem evaluasi
yang masih menekankan pada kuantitas bukan kualitas.
Hal penting yang bisa dijadikan masukan
untuk kemajuan pendidikan di Indonesia yaitu penekanan pada kualitas pendidikan
bukan kuantitas. Misalnya dengan pengurangan materi pelajaran pada setiap
jenjang pendidikan, pengurangan jam pelajaran yang disesuaikan dengan tahap
perkembangan peserta didik, dan sistem evaluasi pendidikan yang tidak
menekankan penilaian pada suatu kuantitas tertentu (nilai tertentu). Selain itu
pemerintah perlu meningkatkan profesionalitas guru dengan program – program
yang berkualitas. Misalnya dengan program perekrutan guru dengan kualifikasi
yang di perketat dan pembatasan program jurusan guru di universitas sehingga
guru – guru yang dihasilkan lebih profesional dan berkualitas.
Tanggapan: dalam pengembangan kurikulum sekolah, jepang tidak
menekankan pada perubahan mata pelajaran atau metode belajar, akan tetapi pada
sistem pendidikan di sekolah secara keseluruhan. Pendidikan moral yang
dicanangkan di jpang mampu membentuk karakter bangsa Jepang yang terkenal
bersifat ulet, pekerja keras, jujur, toleran, dan solidaritas yang tinggi.
Pendidikan moral itu terinklud dalam kurikulum pendidikan secara menyeluruh,
sehingga menjadi bagian tak terpisahkan pada tiap mata pelajaran. Bahkan
nomenklatur pendidikan moral juga tercantum dalam Undang-undang yaitu harus
diberikan pada setiap jenjang pendidikan. Hal ini berbeda di Indonesia yang
secara praktis-operasional pelaksanaannya belum nampak jelas.[23]
Dengan demikian, kurikulum yang ideal ialah yang bisa
mengarahkan bangsa ini menjadi bangsa penemu (pencetak ide kreatif, peneliti,
dan penganalisa). Bukan bangsa yang hanya bisa mencetak generasi yang
difokuskan untuk mengoperasikan alat, melakukan pekerjaan rutin, dan
keterampilan mengolah tubuh untuk bekerja. Kurikulum tidak hanya merubah
komponen dan kemampuan fisik (hard-skill)
manusia tapi juga merubah komponen dan kemampuan mental (soft-skill). Dengan itu diharapkan, kemampuan yang dimiliki manusia
tidak akan bisa digantikan oleh mesin (robot) dan komputer sekalipun.
4.
Lakukan analisis tanggapan
saudara terhadap pengembangan konsep dan implentasi kurikulum 2013 PAI di sekolah dan Madrasah (Landasan, perubahan
mindset, struktur kurikulum SKL- KI-KD, pembelajaran dan penilaianya)!
Jawab:
Seluruh jawaban nomer ini
dikutip dari Model Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013[24]
a) Landasan: Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan
ketentuan yuridis yang mewajibkan adanya pengembangan kurikulum baru, landasan
filosofis, dan landasan empirik. Landasan yuridis merupakan ketentuan hukum
yang dijadikan dasar untuk pengembangan kurikulum dan yang mengharuskan adanya
pengembangan kurikulum baru. Landasan filosofis adalah landasan yang
mengarahkan kurikulum kepada manusia apa yang akan dihasilkan kurikulum.
Landasan teoritik memberikan dasar-dasar teoritik pengembangan kurikulum sebagai dokumen dan proses.
Landasan empirik memberikan arahan berdasarkan pelaksanaan kurikulum yang
sedang berlaku di lapangan.
1)
Landasan Yuridis: Landasan yuridis kurikulum adalah Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 32 pengganti PP Nomor 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, PP 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan, dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.Lebih
lanjut, pengembangan Kurikulum 2013 diamanatkan oleh Rencana Pendidikan
Pendidikan Menengah Nasional (RJPMN). Landasan yuridis pengembangan Kurikulum
2013 lainnya adalah Instruksi Presiden
Republik Indonesia tahun 2010 tentang Pendidikan Karakter, Pembelajaran Aktif dan Pendidikan Kewirausahaan.
2)
Landasan Filosofis: Secara singkat kurikulum adalah untuk
membangun kehidupan masa kini dan masa akan datang bangsa, yang dikembangkan
dari warisan nilai dan pretasi bangsa di masa lalu, serta kemudian diwariskan
serta dikembangkan untuk kehidupan masa depan. Ketiga dimensi kehidupan bangsa,
masa lalu-masa sekarang-masa yang akan datang, menjadi landasan filosofis
pengembangan kurikulum. Pewarisan nilai dan pretasi bangsa di masa lampau
memberikan dasar bagi kehidupan bangsa dan individu sebagai anggota masyarakat,
modal yang digunakan dan dikembangkan untuk membangun kualitas kehidupan bangsa
dan individu yang diperlukan bagi kehidupan masa kini, dan keberlanjutan kehidupan bangsa dan
warganegara di amsa mendatang. Dengan tiga dimensi kehidupan tersebut kurikulum
selalu menempatkan peserta didik dalam lingkungan sosial-budayanya,
mengembangkan kehidupan individu peserta didik sebagai warganegara yang tidak
kehilangan kepribadian dan kualitas untuk kehidupan masa kini yang lebih baik,
dan membangun kehidupan masa depan yang lebih baik lagi.
3)
Landasan Empiris: Pada saat ini perekonomian Indonesia terus
tumbuh di tengah bayang-bayang resesi dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari
2005 sampai dengan 2008 berturut-turut
5,7%, 5,5%, 6,3%, 2008: 6,4% (www.presidenri.go.id/index.php/indikator). Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun
2012 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi negara – negara
ASEAN sebesar 6,5 – 6,9 % (Agus D.W. Martowardojo, dalam Rapat Paripurna DPR,
31/05/2012). Momentum pertumbuhan
ekonomi ini harus terus dijaga dan ditingkatkan. Generasi muda berjiwa
wirausaha yang tangguh, kreatif,ulet, jujur, dan mandiri, sangat diperlukan untuk memantapkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Generasi seperti ini seharusnya
tidak muncul karena hasil seleksi alam, namun karena hasil gemblengan pada tiap
jenjang satuan pendidikan dengan kurikulum sebagai pengarahnya.
Sebagai negara bangsa yang besar dari segi
geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan beragamnya kemajuan pembangunan
dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun ancaman disintegrasi bangsa
masih tetap ada. Maka, kurikulum harus mampu membentuk manusia Indonesia yang mampu
menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat untuk memajukan jatidiri
sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan untuk berintegrasi sebagai
satu entitas bangsa Indonesia.
Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan
persoalan dengan kekerasan dan kasus pemaksaan kehendak sering muncul di
Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa generasi muda, misalnya pada
kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada kajian ilmiah bahwa
kekerasan tersebut berhulu dari kurikulum, namun beberapa ahli pendidikan dan
tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah
implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan
keterkungkungan peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang
menantang peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan
direorganisasi terhadap beban belajar dan kegiatan pembelajaran yang dapat
menjawab kebutuhan ini.
Berbagai elemen masyarakat telah memberikan
kritikan, komentar, dan saran berkaitan dengan beban belajar siswa, khususnya
siswa sekolah dasar. Beban belajar ini bahkan secara kasatmata terwujud pada
beratnya beban buku yang harus dibawa ke sekolah. Beban belajar ini salah
satunya berhulu dari banyaknya matapelajaran yang ada di tingkat sekolah dasar.
Maka, kurikulum pada tingkat sekolah dasar perlu diarahkan kepada peningkatan 3
(tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung, dan pembentukan
karakter.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan
penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk masih adanya kecurangan di dalam Ujian
Nasional menunjukkan mendesaknya upaya menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi
melalui kegiatan pembelajaran di dalam satuan pendidikan. Maka, kurikulum harus
mampu memandu upaya karakterisasi nilai-nilai kejujuran pada peserta didik.
Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan
manusia telah secara nyata mempengaruhi secara negatif lingkungan alam.
Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih adanya potensi rawan pangan
pada berbagai beahan dunia, dan pemanasan global merupakan tantangan yang harus
dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang akan datang. Kurikulum
seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan kepedulian generasi
muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan untuk merumuskan
pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan ketahanan
pangan.
Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai,
mutu pendidikan Indonesia harus terus ditingkatkan. Hasil riset PISA (Program
for International Student Assessment),studi yang memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPAmenunjukkan
peringkat Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil
Riset TIMSS (Trends in International
Mathematics and Science Study) menunjukkan siswa Indonesia berada pada
rangking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2)
teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan
pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil-hasil ini menunjukkan
perlu ada perubahan orientasi kurikulum, dengan tidak membebani peserta didik
dengan konten namun pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga
negara untuk berperanserta dalam membangun negaranya pada abad 21.
4) Landasan Teoritik: Kurikulum
2013 dikembangkan atas dasar teori “pendidikan berdasarkan standar” (standard-based education), dan teori
kurikulum berbasis kompetensi. Pendidikan berdasarkan standar adalah pendidikan
yang menetapkan standar nasional sebagai kualitas minimal warganegara untuk
suatu jenjang pendidikan. Standar bukan
kurikulum dan kurikulum
dikembangkan agar peserta didik mampu mencapai kualitas standar nasional atau
di atasnya. Standar kualitas nasional dinyatakan sebagai Standar Kompetensi
Lulusan. Standar Kompetensi Lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Standar Kompetensi Lulusan dikembangkan menjadi Standar
Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan yaitu SKL SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, SMK/MAK.
Kompetensi adalah kemampuan sesorang untuk
bersikap, menggunakan pengetahuan dan ketrampilan untuk melaksanakan suatu
tugas di sekolah, masyarakat, dan lingkungan dimana yang bersangkutan
berinteraksi. Kurikulum berbasis
kompetensi dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi
peserta didik untuk mengembangkan sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang
diperlukan untuk membangun kemampuan yang dirumuskan dalam SKL. Hasil dari
pengalaman belajar tersebut adalah hasil belajar peserta didik yang
menggambarkan manusia dengan kualitas yang dinyatakan dalam SKL.
b) Perubahan mindset: Pendidik memiliki sikap terbuka untuk menerima kurikulum 2013 dan memiliki
keinginan yang kuat untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Agar tercapai itu
semuanya maka pendidik harus mengetahui keadaan dan tantangan bangsa Indonesia
pada Abad ke-21 sehingga pendidikan kita harus berubah. Selain iu cara berpikir
(paradigma) yang digunakan pendidikan juga harus berubah menjadi lebih peka
terhadap masalah dan memanfaatkan peluang yang ada. Bahkan pendidik harus
memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi. Dengan demikian, cara baru dalam
belajar juga harus dirubah.
c) Struktur kurikulum SKL-KI-KD: Struktur kurikulum menggambarkan konseptualisasi konten kurikulum dalam
bentuk mata pelajaran, posisi konten/mata pelajaran dalam kurikulum, distribusi
konten/mata pelajaran dalam semester atau tahun, beban belajar untuk mata
pelajaran dan beban belajar per minggu untuk setiap siswa. Struktur kurikulum
adalah juga merupakan aplikasi konsep pengorganisasian konten dalam sistem
belajar dan pengorganisasian beban belajar dalam sistem pembelajaran. Pengorganisasian konten dalam sistem belajar
yang digunakan untuk kurikulum yang akan datang adalah sistem semester
sedangkan pengorganisasian beban belajar dalam sistem pembelajaran berdasarkan
jam pelajaran per semester.
a)
STRUKTUR KURIKULUM SD/MI
Beban belajar dinyatakan dalam jam belajar
setiap minggu untuk masa belajar selama satu semester. Beban belajar di SD/MI
kelas I, II, dan III masing-masing 30, 32, 34 sedangkan untuk kelas IV, V, dan
VI masing-masing 36 jam setiap minggu. Jam belajar SD/MI adalah 35 menit.
Struktur Kurikulum SD/MI adalah sebagai
berikut:
MATA PELAJARAN
|
ALOKASI WAKTU
BELAJAR
PER MINGGU
|
||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
||
Kelompok A
|
|||||||
1.
|
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
2.
|
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
|
5
|
6
|
6
|
4
|
4
|
4
|
3.
|
Pendidikan Agama Islam
|
8
|
8
|
10
|
7
|
7
|
7
|
4.
|
Matematika
|
5
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
5.
|
Ilmu
Pengetahuan Alam
|
-
|
-
|
-
|
3
|
3
|
3
|
6.
|
Ilmu
Pengetahuan Sosial
|
-
|
-
|
-
|
3
|
3
|
3
|
Kelompok B
|
|||||||
1.
|
Seni Budaya dan Prakarya
|
4
|
4
|
4
|
5
|
5
|
5
|
2.
|
Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
Jumlah Alokasi
Waktu Per Minggu
|
30
|
32
|
34
|
36
|
36
|
36
|
|
Keterangan: Mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya dapat Bahasa Daerah.
Integrasi Kompetensi Dasar IPA dan IPS
didasarkan pada keterdekatan makna dari konten Kompetensi Dasar IPA dan IPS
dengan konten Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Pendidikan Agama Islam, Matematika, serta Pendidikan Jasmani,
Olahraga dan Kesehatan yang berlaku untuk kelas I, II, dan III. Sedangkan untuk
kelas IV, V dan VI, Kompetensi Dasar IPA dan IPS berdiri sendiri dan kemudian
diintegrasikan ke dalam tema-tema yang ada untuk kelas IV, V dan VI.
Dalam struktur kurikulum SMP/MTs ada
penambahan jam belajar per minggu dari semula 32, 32, dan 32 menjadi 38, 38 dan
38 untuk masing-masing kelas VII, VIII, dan IX. Sedangkan lama belajar untuk
setiap jam belajar di SMP/MTs tetap yaitu 40 menit.
Struktur Kurikulum SMP/MTS adalah sebagai
berikut:
MATA PELAJARAN
|
ALOKASI WAKTU BELAJAR
PER MINGGU
|
|||
VII
|
VIII
|
IX
|
||
Kelompok A
|
||||
1.
|
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
|
3
|
3
|
3
|
2.
|
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
|
3
|
3
|
3
|
3.
|
Pendidikan Agama Islam
|
6
|
6
|
6
|
4.
|
Matematika
|
5
|
5
|
5
|
5.
|
Ilmu Pengetahuan Alam
|
5
|
5
|
5
|
6.
|
Ilmu Pengetahuan Sosial
|
4
|
4
|
4
|
7.
|
Bahasa Inggris
|
4
|
4
|
4
|
Kelompok B
|
||||
1.
|
Seni Budaya
|
3
|
3
|
3
|
2.
|
Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan
Kesehatan
|
3
|
3
|
3
|
3.
|
Prakarya
|
2
|
2
|
2
|
Jumlah Alokasi
Waktu Per Minggu
|
38
|
38
|
38
|
Keterangan: Mata pelajaran Seni Budaya dapat memuat Bahasa Daerah.
IPA dan IPS dikembangkan sebagai mata
pelajaran integrative science dan integrative social studies, bukan
sebagai pendidikan disiplin ilmu. Keduanya sebagai pendidikan berorientasi
aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu,
dan pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial
dan alam. Disamping itu, tujuan pendidikan IPS menekankan pada pengetahuan
tentang bangsanya, semangat kebangsaan, patriotisme, serta aktivitas masyarakat
di bidang ekonomi dalam ruang atau space
wilayah NKRI. IPA juga ditujukan untuk pengenalan lingkungan biologi dan alam
sekitarnya, serta pengenalan berbagai keunggulan wilayah nusantara.
Seni Budaya terdiri atas empat aspek, yakni
seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni teater. Masing-masing aspek
diajarkan secara terpisah dan setiap satuan pendidikan dapat memilih aspek yang
diajarkan sesuai dengan kemampuan (guru dan fasilitas) pada satuan pendidikan
itu. Prakarya terdiri atas empat aspek, yakni kerajinan, rekayasa, budidaya,
dan pengolahan. Masing-masing aspek diajarkan secara terpisah dan setiap satuan
pendidikan menyelenggarakan pembelajaran prakarya paling sedikit dua aspek
prakarya sesuai dengan kemampuan dan potensi daerah pada satuan pendidikan itu.
Struktur kurikulum SMA/MA/SMK/MAK terdiri
atas:
-
Kelompok mata pelajaran wajib yang diikuti
oleh seluruh peserta didik
-
Kelompok mata pelajaran peminatan yang
diikuti oleh peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
Adanya kelompok mata pelajaran wajib dan mata
pelajaran peminatan dimaksudkan untuk menerapkan prinsip kesamaan antara SMA/MA
dan SMK/MAK. Mata pelajaran wajib sebanyak 9 (sembilan) mata pelajaran dengan
beban belajar 24 jam per minggu. Kelompok mata pelajaran peminatan SMA/MA
terdiri atas 18 jam per minggu untuk kelas X, dan 20 jam per minggu untuk kelas
XI dan XII. Kelompok mata pelajaran peminatan SMK/MAK masing-masing 24 jam per
kelas. Kelompok mata pelajaran peminatan SMA/MA bersifat akademik, sedangkan
untuk SMK/MAK bersifat vokasional. Struktur ini menempatkan prinsip bahwa
peserta didik adalah subjek dalam belajar dan mereka memiliki hak untuk memilih
sesuai dengan minatnya.
1.
Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah
Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah adalah sebagaimana yang tertera
di dalam tabel berikut ini:
Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah kelompok mata pelajaran wajib:
MATA PELAJARAN
|
ALOKASI WAKTU
BELAJAR
PER MINGGU
|
|||
X
|
XI
|
XII
|
||
Kelompok A (Wajib)
|
||||
1.
|
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
|
3
|
3
|
3
|
2.
|
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
|
2
|
2
|
2
|
3.
|
Pendidikan Agama Islam
|
4
|
4
|
4
|
4.
|
Matematika
|
4
|
4
|
4
|
5.
|
Sejarah Indonesia
|
2
|
2
|
2
|
6.
|
Bahasa Inggris
|
2
|
2
|
2
|
Kelompok B (Wajib)
|
||||
7.
|
Seni Budaya
|
2
|
2
|
2
|
8.
|
Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan
Kesehatan
|
3
|
3
|
3
|
9.
|
Prakarya dan Kewirausahaan
|
2
|
2
|
2
|
Jumlah Jam Pelajaran Kelompok A dan B per
minggu
|
24
|
24
|
24
|
|
Kelompok C (Peminatan)
|
||||
Mata Pelajaran Peminatan Akademik (SMA/MA)
|
18
|
20
|
20
|
|
Jumlah
Jam Pelajaran yang Harus Ditempuh per Minggu
|
42
|
44
|
44
|
Beban belajar di SMA/MA untuk Tahun X, XI, dan XII masing-masing 43 jam
belajar per minggu. Satu jam belajar adalah 45 menit.
2.
Struktur Kurikulum SMA/MA
MATA PELAJARAN
|
Kelas
|
||||
X
|
XI
|
XII
|
|||
Kelompok
A dan B (Wajib)
|
24
|
24
|
24
|
||
C.
Kelompok Peminatan
|
|||||
Peminatan Matematika dan Ilmu-Ilmu Alam
|
|||||
I
|
1
|
Matematika
|
3
|
4
|
4
|
2
|
Biologi
|
3
|
4
|
4
|
|
3
|
Fisika
|
3
|
4
|
4
|
|
4
|
Kimia
|
3
|
4
|
4
|
|
Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial
|
|||||
II
|
1
|
Geografi
|
3
|
4
|
4
|
2
|
Sejarah
|
3
|
4
|
4
|
|
3
|
Sosiologi
|
3
|
4
|
4
|
|
4
|
Ekonomi
|
3
|
4
|
4
|
|
Peminatan Ilmu-Ilmu Bahasa dan Budaya
|
|||||
III
|
1
|
Bahasa dan Sastra Indonesia
|
3
|
4
|
4
|
2
|
Bahasa dan Sastra Inggris
|
3
|
4
|
4
|
|
3
|
Bahasa dan Sastra Asing Lainnya
|
3
|
4
|
4
|
|
4
|
Antropologi
|
3
|
4
|
4
|
|
Mata Pelajaran Pilihan dan Pendalaman
|
|||||
Pilihan Lintas Minat dan/atau Pendalaman
Minat
|
6
|
4
|
4
|
||
Jumlah jam pelajaran yang tersedia per
minggu
|
66
|
76
|
76
|
||
Jumlah jam pelajaran yang harus ditempuh
per minggu
|
42
|
44
|
44
|
Kelompok Peminatan terdiri atas Peminatan
Matematika dan Ilmu-ilmu Alam, Peminatan Ilmu-ilmu Sosial, dan Peminatan
Ilmu-ilmu Bahasa dan Budaya. Sejak kelas X peserta didik sudah harus memilih
kelompok peminatan yang akan dimasuki. Pemilihan peminatan berdasarkan nilai
rapor di SMP/MTsdan/atau nilai UN SMP/MTs dan/atau rekomendasi guru BK di
SMP/MTs dan/atau hasil tes penempatan (placement
test) ketika mendaftar di SMA/MA dan/atau tes bakat minat oleh psikolog
dan/atau rekomendasi guru BK di SMA/MA. Pada akhir minggu ketiga semester
pertama peserta didik masih mungkin mengubah pilihan peminatannya berdasarkan
rekomendasi para guru dan ketersediaan tempat duduk. Untuk sekolah yang mampu
menyediakan layanan khusus maka setelah akhir semester pertama peserta didik
masih mungkin mengubah pilihan peminatannya. Untuk MA, selain ketiga peminatan
tersebut ditambah dengan Kelompok Peminatan Keagamaan.
Semua mata pelajaran yang terdapat dalam
suatu Kelompok Peminatanyang dipilih peserta didik harus diikuti. Setiap Kelompok
Peminatan terdiri atas 4 (empat) mata pelajaran dan masing-masing mata
pelajaran berdurasi 3 jampelajaran untuk kelas X, dan 4 jampelajaran untuk
kelas XI dan XII.
Setiap peserta didik memiliki beban belajar
per semester selama 42 jam pelajaran untuk kelas X dan 44 jam pelajaran untuk
kelas XI dan XII. Beban belajar ini terdiri atas Kelompok Mata Pelajaran Wajib
A dan B dengan durasi 24 jam pelajaran dan Kelompok Mata Pelajaran Peminatan
dengan durasi 12 jam pelajaran untuk kelas X dan 16 jampelajaran untuk kelas XI
dan XII.
Untuk Mata Pelajaran Pilihan Lintas Minat
dan/atau Pendalaman Minat kelas X, jumlah jam pelajaran pilihan per minggu
berdurasi 6 jam pelajaran yang dapat diambil dengan pilihan sebagai berikut:
1)
Dua
mata pelajaran di luar Kelompok Peminatan yang dipilihnya tetapi masih
dalam satu Kelompok Peminatan lainnya, dan/atau
2)
Satu mata pelajaran dari masing-masing Kelompok Peminatan yang lainnya.
Sedangkan pada kelas XI dan XII, peserta didik mengambil Pilihan Lintas
Minat dan/atau Pendalaman Minat dengan jumlah jam pelajaran pilihan per minggu
berdurasi 4 jam pelajaran yang dapat diambil dengan pilihan sebagai berikut:
a.
Satu mata pelajaran di luar Kelompok
Peminatan yang dipilihnya tetapi masih dalam Kelompok Peminatan lainnya,
dan/atau
b.
Mata pelajaran Pendalaman Kelompok Peminatan
yang dipilihnya.
d) Penilaian
Indikator
Pencapaian Kompetensi
|
Teknik Penilaian
|
Bentuk Instrumen
|
a.
Doa
sebelum dan sesudah belajar.
|
Penilaian Observasi
|
Lembar penilaian sikap
|
a.
Memiliki sikap tanggung jawab] peduli,
responsif, dan santun dalam Memiliki sikap tanggung jawab peduli, responsif, dan
santun Meyakini adanya Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang.
.
|
1.
Penilaian Observasi kinerja penulisan
laporan.
|
1.
Tes tertulis.
2.
Rubrik penilaian kinerja.
|
a.
Menganalisis Q.S. Al-Fatihah dan Q.S. Al-Ikhlas
|
||
b.
bersuci
sebelum beribadah
c.
Terbiasa
membaca Basmalah setiap memulai aktivitas
|
1. Latihan
|
1. Lembaran
tugas latihan.
2. Rubrik
penilaian latihan.
|
Lampiran 1 Lembar Pengamatan
LEMBAR PENGAMATAN
SIKAP
Mata Pelajaran
:..................................................................................................
Kelas/Semester:....................................................................................................
Tahun Ajaran :....................................................................................................
Waktu Pengamatan:
............................................................................................
Bubuhkan tanda V pada
kolom-kolom sesuai hasil pengamatan.
No.
|
Nama Siswa
|
Penggunaan
Diksi
|
Keefektifan
Kalimat
|
Kesesuaian
konteks
|
|||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1.
|
|||||||||||||
2.
|
|||||||||||||
3
|
|||||||||||||
4
|
|||||||||||||
5
|
Keterangan
1
=
kurang
2
=
sedang
3
=
baik
4
=
sangat baik
Lampiran 2:
Lembar Pengamatan
LEMBAR PENGAMATAN
PERKEMBANGAN AKHLAK DAN KEPRIBADIAN
Mata Pelajaran
:..................................................................................................
Kelas/Semester:....................................................................................................
Tahun Ajaran :....................................................................................................
Waktu Pengamatan:
............................................................................................
Karakter yang diintegrasikan dan dikembangkan
adalah kerja keras dan tanggung jawab.
Indikator perkembangan karakter kreatif,
komunikatif, dan kerja keras
1.
BT (belum tampak) jika sama sekali tidak menunjukkan usaha
sungguh-sungguh dalam menyelesaikan
tugas
2.
MT (mulai tampak) jika menunjukkan sudah ada usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas tetapi masih
sedikit dan belum ajeg/konsisten
3.
MB (mulai berkembang) jika menunjukkan ada usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas yang cukup sering dan mulai ajeg/konsisten
4.
MK (membudaya) jika menunjukkan adanya usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas secara terus-menerus dan ajeg/konsisten
Bubuhkan tanda V pada
kolom-kolom sesuai hasil pengamatan.
No.
|
Nama Siswa
|
Kreatif
|
Komunikatif
|
Kerja keras
|
|||||||||
BT
|
MT
|
MB
|
MK
|
BT
|
MT
|
MB
|
MK
|
BT
|
MT
|
MB
|
MK
|
||
1.
|
|||||||||||||
2.
|
|||||||||||||
3
|
|||||||||||||
4
|
|||||||||||||
5
|
|||||||||||||
6
|
|||||||||||||
7
|
|||||||||||||
10
|
|||||||||||||
11
|
Pedoman Penskoran
Aspek
|
Skor
|
Siswa
menjawab pernyataan benar dengan alasan benar
|
3
|
Siswa menjawab pernyataan benar tapi tidak didukung
oleh alasan benar
|
2
|
Siswa menjawab pernyataan salah
|
1
|
SKOR
MAKSIMAL
|
6
|
Soal Nomor 2 dan 3
Rubrik penilaian
No.
|
Kriteria Penilaian
|
Skor
|
Bobot
|
1.
|
Pilihan kata
a.
tepat dan sesuai
b.
kurang tepat dan sesuai
c.
tidak tepat dan sesuai
|
3
2
1
|
5
|
2.
|
Kalimat
a.
mudah dipahami
b.
sedikit sulit dipahami
c.
sulit dipahami
|
2
1
0
|
3
|
3.
|
Ejaan dan tanda baca
a.
tidak ada yang salah
b.
sedikit yang salah
c.
banyak yang salah
|
2
1
0
|
2
|
Jakarta, Juni 2013
Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama
Islam dan Budi Pekerti
5.
Berdasarkan hasil analisis saudara, saudara diminta untuk merumuskan beberapa
permasalahan yang paling penting untuk dapat diangkat sebagai usulan proposal
penelitian bidang pengembangan PAI di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT
di Lembaga Pendidikan Islam. Untuk menjawab masalah ini, saudara di minta untuk
mengemukakan: (a) judul penelitian, (b) latar belakang masalah, (c) rumusan
masalah, (d) tujuan dan manfaat penelitian, (e) kerangka teoritik, dan (f)
metode penelitian yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah.
Jawab:
a. Judul penelitian: Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan
(Perspektif Psikologi, Biologi, dan Sosiologi) di STAIN Kediri
b. Latar belakang masalah: Perilaku kekerasan dapat dilakukan oleh siapapun dan di manapun. Baik itu
kekerasan fisik maupun kekerasan non fisik (verbal dan non verbal).
Bagaimanapun, manusia sebagai makhluk yang memiliki kebutuhan akan pengakuan
kadangkala melakukan “tekanan” terhadap pihak lain untuk memperoleh kebutuhan
itu. Potensi permasalahan itu, belum lagi dibandingkan dengan keadaan nyata
yang dihadapi oleh bangsa ini seperti perekelahian, pemukulan, pembunuhan,
terorisem, dan tindakan-tindakan kekerasan lainnya yang sering muncul di
televisi. Dalam menanggulangi dan mencegah potensi perilaku seperti itu yang
jamak maka PAI sebagai salah satu bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki
peran yang penting untuk melaksanakan misi mulia ini. Oleh karena itu,
pengembangan PAI mutlak diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan
perkembangan biologis, psikologis, dan sosiologi peserta didik beserat
masyarakat yang menaunginya.
c. Rumusan masalah:
1)
Bagaimana pelaksanaan pengembangan pembelajaran mata
kuliah Pendidikan Agama Islam berbudaya nirkekerasan di STAIN Kediri?
2)
Mengapa pengembangan pembelajaran Pendididikan Agama
Islam berbudaya nirkekerasan sangat diperlukan di STAIN Kediri?
d. Tujuan dan manfaat penelitian:
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi,
menggali, dan mengetahui:
1)
Pelaksanaan pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama
Islam berbudaya nirkekerasan di STAIN Kediri.
2)
Landasan pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam
berbudaya nirkekerasan di STAIN Kediri.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1)
Mampu memberikan rumusan solusi (teori) baru tentang pola
keterkaitan antara pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan kondisi latar
belakang psikologi, biologis, dan sosiologis peserta didik dan masyarakat
sekitar.
2)
Menjadi titik tolak bagi penelitian selanjutnya tentang
pentingnya pengembangan PAI berbudaya nirkekerasan
e. Kerangka teoritik: Pada zaman mondial
ini, dinamika ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi, sangat berlangsung
cepat dan instan. Hal itu menuntut PAI untuk mengimbanginya dengan pengembangan
diri secara “cepat” pula. Di sisi lain, akibat dari lompatan cepat tersebut
tantangan dan permasalahan PAI menjadi bertambah. Misalnya, zaman dulu
“kekerasan” antar tubuh oleh manusia prasejarah sangat perlu dilakukan untuk
mengendalikan keadaan sosial, simbol dominasi, dan untuk mencari makan
(kekerasan pada hewan). Tapi pada zaman sekarang ini bukan “kekerasan” tubuh
secara berhadap-hadapan yang dapat mengatur sistem sosial, tapi adalah ilmu
pengetahuan dan teknologi. Misalnya, dengan CCTV pemerintah bisa memantau
rakyatnya dari jarak jauh, atau dengan satu tombol saja negara tertentu bisa
meluluh lantakkan negara lain meski jauh lokasinya dengan bom atom. Bahkan
bukan suatu kemustahilan bila suatu saat diciptakan robot yang diprogram
melakukan “kekerasan.”
Namun, demikian bagaimanapun Islam adalah agama universal
(rahmatan lil alamin) yang menjangkau
kebutuhan zaman secara totalitas dan utuh. Artinya, pendidikan Islam tidak
hanya mengurusi masalah keakhiratan (eskatologi), tapi juga urusan duniawi.[25]
Artinya, manusia merupakan makhluk yang membutuhkan hal-hal bersifat
fisik-biologis (homo economicus)
sekaligus hal-hal yang bersifat psikologis dan spiritual atau maknawi (homo socius). Atas dasar itu, maka manusia
bisa menjadi makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Namun demikian, betapa
pun manusia punya kecerdasan tetap saja ia makhluk yang terbatas.[26]
Dari keterbatasan itu manusia harus bekerjasama satu sama lain. Dari kenyataan
tersebut PAI berperan sebagai pembangun kejiwaan, spiritualitas, dan kemaknaan
hidup bersama sehingga bisa membentuk masyarakat berbudaya nirkekerasan.
Bisa dikakatan dalam posisi tersebut, PAI bertugas
menyadarkan secara ilmu pengetahuan dan sikap, bahwa tindakan “kekerasan” dalam
konteks yang tidak tepat, tidak manusiawi, dan dengan cara berlebih-lebihan
merupakan larangan agama. Menurut Mark Jurgensmeyer, akan sangat mengejutkan
dan memusingkan bila sesuatu yang buruk (kekerasan) justru dilakukan oleh orang
“baik.” Yakni, yang mengabdikan diri pada pandangan moral dunia dan orang yang
saleh. Dengan argumen dan retorika yang nampak luhur, padahal tindakan mereka
telah menyebabkan penderitaan dan kekacauan kehidupan.[27]
Oleh karena itu, PAI berserta institusinya seyogianya tidak hanya mendorong
peserta didik hanya untuk bersabar, tabah, menerima takdir, dan pasrah pada
keadaan zaman. Serta sebaliknya, “mendorong” mereka mengutuk dan mencemooh
negara yang membuat teknologi yang menimbulkan kekerasan. Namun, PAI harus bisa
memberikan dorongan untuk hidup damai serta mendorong peserta didik menciptakan
teknologi canggih yang berbasis nirkekerasan.
Dari penjelasan di atas dapat dibuat rumusan gambar
terkait peran PAI dalam pencegahan tindakan kekerasan di kemudian hari sebagai
berikut:
Gambar 1. Upaya pemutusan rantai kekerasan “ideologis” melalui Pendidikan
Dari gambar di atas, dapat dikatakan peran pendidikan
utamanya PAI cukup penting dalam membangun kerangka psikologis-ideologis
peserta didik. Yakni, pemberian materi PAI yang bisa membangun nilai-nilai
moral, kemanusiaan, dan empati. Dengan itu peserta didik akan mampu membangun
prinsip kehidupan damai yang mantap di kemudian hari, sehingga tidak mudah
dipengaruhi paham-paham yang sesat. Mereka mampu membedakan mana tindakan
biadab (tidak manusiawi) dan mana tindakan yang mampu mempertahankan
nilai-nilai manusiawi. Misalnya, dalam keadaan damai melakukan penyerangan (kekerasan)
terhadap masyarakat sipil merupakan tindakan tidak manusiawi. Namun, mengadakan
penyerangan (kekerasan) terhadap musuh yang telah melakukan penyerangan
terlebih dahulu bernilai jihad. Bahkan merupakan tindakan manusiawi yaitu demi
mempertahankan nilai-nilai kehidupan.
Lebih lanjut, tugas PAI adalah mengakomodir peserta didik
sebagai generasi umat Islam yang memiliki potensi (diprediksi) melakukan
tindakan agresif dan kriminal. Utamanya, bagi mereka yang telah mengalami
“kegagalan” dalam mengkonsep kepribadiannya dan yang mengalami benturan
psikologis hebat, terutama di masa kecilnya. Cara lain adalah mengkonstruk
tindakan dan nilai-nilai terorisme sebagai sesuatu yang tidak memiliki daya
tarik sama sekali. Kemudian merubah arah “semangat” beragama mereka menuju
hal-hal yang jauh lebih berdampak positif bagi kehidupan seluruh umat manusia.
Misalnya dalam bidang ilmu pengetahuan alam memotivasi mereka untuk menciptkan
karya yang bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Pengembangan Pendidikan Agama
Islam Berbudaya Nirkekerasan
Dalam mencari latar belakang (penyebab) terjadinya
kekerasan, masih sulit diterima alasan bahwa aneka kekerasan itu hanya dipicu
oleh provokasi para elit politik. Pun juga, logika manusia belum puas terhadap
jawaban yang mengatakan pembakaran terhadap aneka tempat ibadah dan
perkampungan dari kelompok (etnis) umat agama tertentu dilakukan oleh
orang-orang yang tidak kuat imannya.[28]
Di sinilah perlu analisis kritis adakah yang salah dengan pola “pengkaderan”
generasi umat beragama. Lebih spesifik adakah yang salah dengan Pendidikan
Agama termasuk PAI di lembaga pendidikan formal, informal, dan nonformal
sehingga kekerasan masih jamak terjadi. Dikhawatirkan konsep keimanan yang
dibangun dan dijadikan patokannya masih salah kaprah dan tidak utuh. Oleh
karena itu, paling tidak dalam PAI harus ada upaya pencegahan secara aktif bagi
peserta didik sehingga terhindar dari “kebiasaan” kekerasan.
Dalam hal ini Bandura membuat sebuah skema tentang
manipulasi psikologi pelaku kekerasan sehingga rela bertindak kejam sebagai
berikut:[29]
|
|
|
|||||||
Keterangan:
Tindakan tercela (amoral): penafsiran ulang secara kognitif, sehingga perbuatan tersebut yang awalnya
haram-terceal menjadi boleh-mulia bahkan wajib dilakukan.
Timbul kerusakan/kerugian: Kerusakan fisik dianggap sebagai simbol gerakan menekan “kemrosotan,”
dengan dalih agar tujuan yang lebih mulia bisa tercapai.
Korban manusia: Pengorbanan tubuh manusia bahkan nyawanya dilakukan karena keadaan
“terpaksa.” Manusia tidak lagi dianggap manusia melainkan hanya dijadikan
tumbal perjuangan.
Gambar 2. Mekanisme psikologi kekerasan dalam mengkonstruk
pembenaran diri (skema diadaptasi dari Albert Bandura)
Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa pada mulanya
pelaku kekerasan menganggap bahwa merusak fasilitas umum dan melukai tubuh atau
fisik (barang) orang lain adalah tindakan tercela (berdosa) dan diluar standar
moral. Namun, kemudian untuk mengkaburkan sifat tercela tersebut pelaku
kekerasan mencari dan mengumpulkan berbagai dalih pembenaran dengan berbagai
cara. Termasuk salah satunya mengkambing hitamkan penyebab pada pihak lain.
Oleh karena itu, sesungguhnya pembelajaran PAI hendaknya bisa memberikan
tekanan kepada peserta didiknya tentang wawasan dan standar etika global. Hal
ini penting, selain karena mengakui hak hidup nyaman manusia lain, tapi juga
untuk membangkitkan kesadaran dan mengkritisi standar etika kelompok atau
otoritas yang belum tentu sesuai dengan standar etika global bahkan etika
Islam.
Dalam hal ini, biasanya individu atau kelompok tertentu
memahami dan menghayati keagamaannya dari pihak otoritas. Misalnya,
terafilisasi pada ideologi organisasi keagamaan tertentu, doktrin orang tua,
guru (utamanya guru agama), tokoh agama, dan pihak-pihak lain yang dianggap
pantas menjadi panutan dan penentu arah hidupnya. Kenyataan tersebut sangat
sulit sekali dirubah apalagi tatkala fanitisme tersebut sudah terlanjur
melekat, sehingga sulit untuk mengikuti dinamika. Implikasinya, daya kritis
seseorang terhadap pemahaman agama menjadi lemah, sehingga pemahaman agamanya
bisa dibelokkan untuk kepentingan kekerasan. Padahal sudah menjadi pemahaman
bersama bagi umat Islam bahwa kenyataan tentang “perbedaan” adalah sunatullah,
sesuatu yang tidak bisa dihindari (given).
Di mana salah satu fungsinya hadir sebagai sarana ujian bagi manusia dari Allah
SWT.
Kenyataan di Indonesia, mempermasalahkan kehidupan (cara)
beragama di Indonesia masih dianggap tabu. Di mana pemeluk agama dibiasakan
selalu menerima ajaran agama tanpa diperbolehkan mengkritisi sedikitpun (taking for granted). Implikasinya,
kadang umat beragama akan merasa kehilangan daya kritis, inovaif, dan dinamis
sehingga “lupa” caranya beragama dengan benar. Padahal, setiap pertanyaan yang
diajukan hati nurani mengenai agama sebenarnya malah menjadi titik tolak baru
untuk pendalaman dan penghayatan hidup beragama itu sendiri. Intinya, “ajaran”
agama yang diutamakan hanya berhenti pada pemujaan Tuhan semata, sehingga
berakibat memandang sepele terhadap etika kemanusiaan.[30]
Pada akhirnya, karena keringnya etika tersebut, umat beragama akan menjadi
ekslusif dalam penghayatan agama. Dengan demikian, Tuhan digambarkan hanya
mengurusi umat beragama tertentu. Tuhan dipandang tidak mengurusi serta memberi
kesempatan bagi umat yang lain untuk hidup nyaman di dunia ini.
Dengan bahasa lain, seringkali umat beragama menyamakan
antara sifat Ketuhanan dengan sifat-sifat yang dimiliki manusia. Mereka begitu
yakin bahwa Tuhan dapat marah seperti layaknya manusia cepat marah. Pun juga
cepat percaya bahwa Tuhan mudah menaruh dendam seperti manusia yang serta merta
menaruh dendam. Seakan-akan Tuhan hanya mencintai golongan tertentu sementara
pada yang sama membenci yang lain, yang belum tentu jauh lebih buruk dariya.
Dengan itu, mereka meyakini bahwa Tuhan memang menghendaki kematian atau
kehancuran golongan “pelanggar” tersebut.[31]
Bisa dikatakan, manusia seperti ini hanya membangun presepsi tentang Tuhan
bukan berdasarkan teks-teks wahyu yang utuh tapi berdasarkan pengalaman dan
kepentingan pribadi.
Didasarkan pada penjelasan tersebut, PAI seharusnya
melakukan pengembangan atau perubahan paradigma. Salah satunya adalah dengan
melakukan pengembangan materi. Misalnya pengembangan terhadap materi sejarah
Islam terkait peperangan yang selama ini seakan “membolehkan” peserta didik
untuk melakukan kekerasan (perang fisik). Seharusnya materi tentang sejarah
peperangan dan kekerasan tidak boleh diberikan secara parsial, tendensius, dan
hanya berbicara tentang kalah atau menang (dominan). Namun, harus diberikan
secara utuh serta lebih banyak memunculkan nilai-nilai etika dalam peperangan
tersebut. Bila muatan etika lebih ditekankan maka nilai-nilai kemanusiaan akan
nampak, bukan nilai-nilai kekerasan yang ditonjolkan. Dengan demikian,
diharapkan ideologi yang disampaikan pada peserta didik tidak “menyesatkan”
atau tidak akan ditafsirkan secara salah oleh mereka.
Pada akhirnya, pembelajaran PAI bukan sekedar upaya untuk
pemberian ilmu pengetahuan yang berorientasi pada target penguasan materi,
misalnya materi tentang peperangan. Akan tetapi sebagaimana menurut penjelasan
di atas pendidik juga ikut andil dalam pemberian pedoman hidup (pesan
pembelajaran) misalnya tentang moralitas (akhlak) kepada peserta didik yang
dapat bermanfaat bagi dirinya dan manusia lain.[32]
Komponen inilah yang ikut andil pada pemberian cetak biru khusus sehingga
menjadi ciri utama pembelajaran PAI. Yakni, salah satunya dalam bidang
pengendalian moralitas bangsa yang tidak lekat dengan tindakan kekerasan.
Secara terperinci, dalam konteks pendidikan, yaitu
penanaman ideologi agama yang benar
(utuh) kepada peserta didik harus ditanamkan secara konsisten. Yakni, penanaman
“ideologi” kedamaian yang bukan hanya untuk seagama sendiri. Artinya, untuk
umat seagama sendiri bersikap lemah lembut tapi pada agama lain akan bersikap
keras dan melemahkannya. Sebagaimana menurut menurut Syamsul Arifin bahwa
“setiap gerakan fundamentalisme agama memiliki ideologi. Bagi gerakan sosial,
keberadaan ideologi memiliki arti penting. Tanpa ditopang ideologi, keberadaan
suatu gerakan sosial hanya akan menghadapi ketidakpastian yang berkepanjangan.”
Kritik sosial dan gerakan fundamentalis tersebut ditujukan kepada berbagai
macam penyakit sosial yang menimbulkan krisis kehidupan masyarakat. Krisis
inilah yang ingin disematkan oleh mereka dengan mengembalikan pada tatanan
kehidupan ideal pada masa lalu. Serta memberikan janji kemuliaan di masa akan
datang (eksatologis).[33]
Perspektif Interdisipliner
Penggunaan perspektif interdisipliner dalam pengembangan
PAI pada zaman sekarang ini sangat penting. Selain karena pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, juga dilandaskan pada pandangan bahwa
penggunaan ayat kauliyah saja sebagai dasar utama PAI tidak cukup. Namun perlu,
ayat-ayat kauniyah sebagai sumbangan bagi pengembangan PAI. Baik dalam bidang
materi, strategi, tujuan, media, dan komponen pembelajaran lainnya. Oleh karena
itu, untuk memfungsikan PAI secara optimal, salah satu konsep Muhaimin adalah
dengan mengarahkan truth claim dengan
tepat dan sah.[34]
Berangkat dari pernyataan tersebut maka penulis memandang penting mengkaji tema
“kekerasan” yang ditinjau melalui kajian psikologi, sosiologi, dan biologi.
Pertama, kajian psikologi. Bila dikaitkan dengan psikologi
menurut Abuddin Nata pendidikan adalah pemindahan (transmission) nilai-nilai,
ilmu, dan kecakapan dari generasi tua kepada generasi muda dalam rangka
melanjutkan serta memelihara identitas (peradaban) dan kepribadian masyarakat
tersebut. Di mana dalam proses transmisi “kepentingan” masyarakat tersebut,
psikologi memiliki peran yang sangat penting.[35] Salah
satu caranya adalah melakukan proses pembelajaran dengan metode nirkekerasan.
Hal ini perlu dilakukan karena menurut Bashori Muchsin seorang anak yang didik
dalam balutan kekerasan, suatu saat pengalaman kekerasan tersebut berpotensi
besar akan ditiru oleh mereka di saat dewasa kelak.[36]
Lebih lanjut, kekerasan biasanya diidentikkan dengan
agresifitas. Di mana Freud dan Lorenz sebagaimana yang dikutip Fromm memandang
bahwa agresifitas seseorang merupakan sifat bawaan (genetis). Freud
mengemukakan teori tentang insting, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (death instinct). Insting kematian bisa
tertuju pada organisme itu sendiri yang beruwujud dorongan perusakan diri dan
tertuju pada pihak luar. Dengan demikian, agresi bukanlah reaksi terhadap
stimulus dari luar, tapi dorongan dari dalam diri sendiri yang menggelora dan
berakar dari kondisi biologis (otak) manusia.[37]
Selanjutnya, sebagaimana menurut Lorenz, kehendak untuk
agresif tersebut sebagai insting suatu saat akan “meledak” meski tak ada
rangsangan dari luar. Hal ini bisa terjadi bila
“energi” yang tak tertahan (mempat) tak bisa ditampung lagi. Asumsinya,
manusia dan binatang biasanya tidak akan pasif dalam menemukan stimulus
tersebut. Bahkan, cenderung mencari dan bila perlu menciptakan stimulus. Dalam
konteks sosial, manusia akan melepaskan “energi” (dorongan) agresifnya dalam
bentuk “mencari perkara.” Misalnya, membuat partai politik yang bisa
menyebabkan timbulnya agresi kepada orang lain. Namun, bila sama sekali tidak
ada sitimulus yang dapat ditemukan dan diciptakan, maka dorongan agresif yang
tertahan (tidak dilampiaskan) akan menjadi demikian besar dan siap meledak
sewaktu-waktu. Dengan demikian, menurut Lorenz agresi pada dasarnya bukan
respon atas stimulus dari luar. Melainkan rangsangan dalam diri yang sudah
“terpasang,” sehingga butuh pelampiasan dan akan terekspresikan meski mendapat
stimulus dari luar yang kecil. Model agresi ini sama seperti model libido
Freud, yang dinamai model “hidrolik.” Yakni, tekanan yang ditimbulkan oleh air
atau uap dalam tabung tertutup.[38]
Teori lain terkait dengan tindakan kekerasan adalah
“kefrustasian.” Menurut Buss sebagaimana dikutip Fromm, fursatasi adalah
penghilangan hasrat atau keinginan dari individu yang ingin mencapai tujuan
tertentu, sehingga terjadi “putus harapan.” Misalnya seorang anak yang meminta
roti kepada ibunya lalu ibunya menolak, atau seorang pria yang menembak wanita
tapi hasilnya mendapat penolakan. Lebih rinci, timbulnya frustasi salah satunya
ditentukan oleh karakter seseorang. Misalnya, seseorang yang sangat rakus, akan
sangat marah bila ia tidak memperoleh makanan yang ia inginkan. Begitu pula
orang kikir, akan sangat marah bila harus membayar makanan yang terlalu mahal.
Adapun karakter narsistik akan meras frustasi bila tidak mendapatkan sanjungan (penghormatan)
sesuai dengan yang dikehendaki.[39]
Namun, pernyataan tersebut dikritisi oleh Fromm. Ia
berpendapat bahwa tidak ada hal istimewa, besar, dan membanggakan yang dapat
diraih tanpa terlebih dahulu mengalami frustasi. Terlebih untuk menuju
pencapaian pada tingkat keahlian tinggi. Dengan kata lain, tanpa kemampuan
dalam menerima sekaligus mengalami frustasi manusia nyaris tidak dapat
berkembang sama sekali. Asumsinya, dalam kehidupan sehari-hari banyak diketahui
orang sedang mengalam frustasi (tekanan) tapi tidak memperlihatkan respon
agresif. Meski, yang kerap memunculkan agresi adalah sesuatu yang diartikan
(disebut) sebagai frustasi. Serta makna frustasi secara psikologis tentunya
berbeda sesuai dengan kondisi sosial.
Dari semua pembahaan di atas, upaya pencegahan PAI agar
tidak terciptanya kekerasan adalah dengan penekanan empati –misalnya konsep
altruisme positif– pada pembelajarannya. Di mana empati sesungguhnya sangat
erat kaitannya dengan etika (konsep baik dan buruk). Dengan kata lain, PAI
idealnya bisa menumbuhkan empati peserta didik terhadap umat beragama lain.
Salah satu caranya adalah melalui passing
over (lintas batas/sekat). Secara rinci Syamsul Arifin menyatakan:[40]
Adanya suatu yang
hilang dari agama, yaitu daya jelajah agama yang memungkinkan setiap orang melakukan
ziarah spiritual – yang oleh John S. Donne disebut dengan passing over, kecuali akan menambah wawasan intelektual agama lain
yang diperolehnya secara fenomenologis. Juga, akan dapat memperkaya pemahaman
spiritual yang sebelumnya diperkaya oleh agama yang dipeluknya.
Lantas bagaimana individu dapat keluar dari penyandraan
formalitas agama, sehingga bisa melakukan perjumpaan secara mendalam dengan
agama lain? Semua itu menurut Syamsul Arifin, tergantung pada proses
pembelajaran atas agama yang dipeluk.[41] Namun demikian, empati tidak
boleh diwujudkan dengan menggunakan simbol-simbol agama lain dalam kehidupan
sehari-hari atau bahkan melakukan ibadah agama lain. Penggunaan empati di sini
cukup sebatas pada perkataan dan perilaku toleran dalam urusan muamalah yang tidak menjurus pada ritual
keagamaan. Pernyataan tersebut sebagaimana saran Gadner (pencetus teori multiple intelligences) terhadap guru, bahwa mereka harus
melatih anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan pribadi (intrapersonal) di
sekolah.[42]
Lebih konkrit Gadner memandang penting adanya “flow” dalam setiap pembelajaran. Menurut
Daniel Goleman “Flow
adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu
dengan tindakan.” Dengan kata lain, segala tindakan yang dilakukan berasal dari
kesadaran diri bukan paksaan atau doktrin buta dari orang lain.[43]
Kedua, kajian sosiologi. Di era sibernetika (komunikasi)
seperti sekarang ini, seseorang semakin pontesial untuk dimanipulasi “pikirannya.”
Baik itu dalam bidang profesi, konsumsi, dan ideologinya. Sebagaimana dalam
konsep “pembiasaan positif” milik Skinner. Dalam kacamata ini, individu
kehilangan “kesadaran” kritisnya dalam proses sosial. Ia tidak lagi menjadi
dirinya sendiri. Ia menjadi objek yang telah dikontrol oleh sosial, sehingga
apabila tindakan dan pemikirannya tidak sesuai dengan tatanan sosial akan
sangat merugikan bagi dia. Bila ia bertekat tetap menjadi dirinya sendiri, maka
akan kehilangan identitas (status), terisolasi (terkucil), diusir, dan bahkan
kehilangan nyawanya.[44]
Hal ini tentunya juga dalam mewujudkan ekpresi keagamaan individu. Dalam
praktik beragama, seseorang biasanya hanya ikut-ikutan (absolutisme agama) tanpa terlebih dahulu mengkritisi. Sebagaimana
menurut Muchsin dan Wahid bahwa:[45]
Dalam kajian
sosiologi, agama dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari empat
komponen, yaitu: pertama, emosi keagamaan yang menyebabkan manusia memiliki
rasa dan semangat beragama; kedua, sistem keyakinan yang mencakup segala
keyakinan terutama terhadap Tuhan dan kehidupan ghaib, termasuk juga sistem
nilai dan moral; ketiga, sistem ritus sebagai upaya manusia mengadakan hubungan
dan melakukan pendekatan kepada Tuhan dan sikapnya menghadapi lingkungannya;
dan keempat, konsep umat atau solidaritas sosial yang menganut sistem agama
tersebut.
Lebih tegas, Syamsul Arifin menyatakan bahwa agama hanya
digunakan sebagai pembentuk identitas diri dan kelompok. Dampaknya, dalam
antropologi berpotensi pada penciptaan bounded
system. Pada akhirnya muncul sikap psikosiologis, yaitu in group feeling dan out group feeling. Selanjutnya, sebagai
pemerkokoh identitas, suatu komunitas agama melakukan pengembangan narasi besar
yang bersumber dari Tuhan. Serta memunculkan ekspresi keagamaan tertentu dalam
skala masif sebagai wujud public expose,
sehingga menjadi penegas perbedaan antara kelompok agama tersebut dengan yang
lainnya (Syamsul Arifin, http://rires2.umm.ac.id).[46]
Dengan kata lain telah terjadi penutupan peluang untuk melakukan hubungan
sosial (dialog) antar umat beragama. Di sinilah nampak terjadi pelemahan
kecerdasan intrapersonal, kematian sikap kritis, dan ketiadaan “kesadaran
subjektif” pemeluk agama dalam mengekspresikan dan mengahayati agamanya.
Dari pembahasan tersebut maka pembelajaran PAI hendaknya
bisa menumbuhkan kecerdasan spiritual peserta didik. Dimana menurut Danah Zohar
dan Ian Marshall bahwa “ada
tiga sebab yang menjadikan manusia dapat terhambat secara spiritual: a.tidak
mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sendiri sama sekali. b. telah
mengembangkan beberapa bagian, namun tidak proposional, atau dengan cara yang
negati atau destruktif. c. bertentangan atau buruknya hubungan antara bagian-bagian.”[47]
Lebih detail, menurut Zohar yang dikutip oleh Agus Efendi
bahwa ada tujuh langkah praktis kecerdasan spiritual yang lebih tinggi. Di
antaranya meliputi kesedaran akan keberadaan diri (di mana sekarang?),
merasakan keinginan kuat untuk berubah, merenung dan menanyakan motivasi
terdalam, menemukan dan mengatasi rintangan, menggali banyak peluang untuk
melangkah maju, ketetapan hati pada sebuah jalan, dan kesadaran akan banyak
jalan lain.[48]
Lebih detail, semangat kesuksesan untuk selalu menjadi
lebih baik memberikan semangat manusia mencari jalan bagi spiritualnya.[49]
Yakni, ketenangan hidup dan makna hidup. Semua itu tidak bisa terpenuhi hanya
dengan kelimpahan materi, ketinggian jabatan, dan popularitas. Sebaliknya,
keutuhan spiritual dapat dicapai dengan meningkatkan integritas diri,
penghormatan (komitmen) pada kehidupan, dan penyebaran kasih sayang serta
cinta. Namun demikian, hal-hal tersebut tidak berhubungan lansung dengan ritual
agama. Artinya, tidak selalu orang yang rajin shalat, sering naik haji adalah
orang yang memiliki spiritualitas tinggi dan utuh. Bahkan banyak agamawan yang
kehilangan spiritualitas karena terlalu banyak mengandalkan ritual, upacara,
dan formalitas agama. Dengan demikian, antara ritualitas (simbol) dan
spiritualitas merupakan dua hal yang berbeda walaupun berkaitan.[50]
Ketiga, kajian biologi. Salah satu materi yang
dikaji pada biologi adalah otak. Di mana otak merupakan organ vital utama
manusia selain jantung dan paru-paru. Implikasinya, manusia secara fisik tanpa
otak tidak akan berarti apa-apa, seluruh organ dalam dan panca indra tak akan
berfungsi. Inilah yang disebut dengan kematian (meninggal dunia) secara fisik.
Bisa dikatakan bahwa keadaan otak manusia secara fisis-biologis sangat
menentukan bagi perkembangan kecerdasan.[51] Menurut Agus Efendi,
tentang rahasia otak beserta kecerdasaannya[52] sampai sekarang masih belum
terungkap secara memuaskan, bahkan dirasa masih sangat jauh dari jalan terang.
Meskipun secara ilmiah di dalam otak terbukti ada tiga kategori yaitu otak
rasional, otak emosional,[53] dan
otak spiritual.[54]
Pernyataan tersebut sebagaimana menurut Pasiak bahwa otak
merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai alat. Fungsi otak
tidak hanya untuk berpikir rasional. Namun
fungsi otak terdiri dari 3 jenis kemampuan untuk memanajemen diri
seperti mengutuhkan spiritualitas (SQ), mematangkan emosi (EQ), dan berpikir
rasional (IQ). Bila ketiga fungsi otak tersebut dikelola dengan baik, manusia
akan menjadi makhluk termulia.[55]
Bisa dikatakan, otak manusia menurut Zohar dan Marshall
jauh lebih kompkes dari pada komputer manapun. “Otak bekerja dengan sistem
pemikiran yang melintas. Artinya, otak tidak terdiri atas beberapa modul
kecerdasan yang terpisah. Otak juga bukan sistem pemrosesan seri maupun sistem
asosiatif yang terisolasi.” Akan tetapi dua sistem tersebut berinteraksi dan
saling menguatkan sehingga memberi manusia bentuk kecerdasan yang lebih tinggi.
Artinya, antara IQ dengan EQ terjadi sinergitas.[56]
Selain otak, secara biologis menurut Baron dan Byrane
sebagaimana dikutip Rifa Hidayah bahwa perilaku agresi seseorang juga
dipengaruhi oleh hormon tertentu, seperti serotonin
dan testoterone.[57]
Lebih detail, Iin Tri Rahayu menyampaikan bahwa menurut Davidoff diantara
faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi adalah:[58]
1.
Gen. Pembentukan sistem neural (saraf) otak dipengaruhi
oleh gen dalam mengatur perilaku agresi.
2.
Sistem otak. Bagian otak tertentu yang tidak terlibat
dalam agresi dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan
agresi. Prescott menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kesenangan
(nikmat) dan rasa santai akan cenderung sedikit melakukan agresif, begitu
sebaliknya. Ia juga meyakini, keinginan yang kuat untuk “menghancurkan”
disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal. Hal ini bisa saja
disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan waktu bayi.
3.
Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian
ditentukan faktor keturunan). Fenomena ini misalnya terjadi pada wanita yang
sedang mengalami haid, di mana kadar hormon esterogen dan progresteron menurun.
Perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang, dan bermusuhan.
Kenyataannya, banyak wanita yang melakukan pelanggaran (agresi) pada saat
berlangsungnya siklus haid.
Pernyataan tersebut hampir sama dengan pendapat Lyndon
Saputra, sebagaimana dikutip Abudin Nata
bahwa menurut teori disiplin
mental ternyata manusia sejak dari lahir telah memiliki potensi bawaan secara
gen (hereditas). Dalam posisi ini, maka makna belajar merupakan upaya
pengembangan terhadap potensi-potensi tersebut. Selanjutnya, Abudin Nata
menjelaskan dalam teori mental humanistik, proses pendidikan lebih menekankan
pada keseluruhan dan keutuhan. Artinya,
pendidikan harus menekankan pendidikan umum (general education). Asumsinya, bila individu menguasai
persmasalahan umum, maka akan mudah diterima lalu diterapkan pada hal-hal lain
yang bersifat khusus.[59]
Namun tampaknya, nilai-nilai keuniversalan
agama Islam inilah yang sering kali ditinggalkan dalam pembelajaran
PAI. Di mana, kegiatan pembelajaran
hanya difokuskan pada masalah fikih dan dibelokkan pada sentimen keagamaan yang
menutup diri dari kenyataan bahwa “di luar” sana ada keberagaman agama.
f.
Metode penelitian yang digunakan: penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif. Di mana, studi kualitatif yagn dimaksud di
sini dikonsep berdasarkan interdisipliner yang berawal dari pendekatan
psikologi, biologi, dan sosiologi. Ketiga disiplin ilmu tersebut digunakan
sebagai sumber jawaban terhadap permasalah yang ditemukan di lokasi penelitian.
Melalui interdisipliner diharapkan analisis dan hasil penelitian bisa
menjangkau berbagi aspek sehingga bisa tercapai kesimpulan yang menyatu (utuh)
dan menyeluruh.
Daftar Rujukan
Amin, A. Rifqi. Pengembangan
Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner. Yogyakarta: LKiS, 2015.
--------. Sistem
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta:
Deepublish, 2014.
“Kamus Besar Bahasa
Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI
Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip,
didownload tanggal 21 April 2014.
Arifin, Syamsul.
“Implementasi Studi Agama Berbasis Multikultural dalam Pendidikan,” dalam http://rires2.umm.ac.id/publikasi/lama/IMPLEMENTASI%20STUDI%20AGAMA2.pdf, didownload tanggal 16 Desember
2014.
--------. “Klaim
Kemutlakan, Konflik Sosial, dan Reorientasi Keberagamaan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme,
ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma, 2000.
--------. Studi
Agama: Perspektif Sosiologis &Isu-isu Kontemporer. Malang: UMM, 2009.
Armstrong, Thomas.
“Seven Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan
Teori Multiple Intelligence,” dalam Seven
Kinds of Smart: Identifying and Developing Your Multiple Intelligence,
terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia, 2005.
Bandura, Albert “Mekanisme
Merenggangnya Moral,” dalam Walter Reich, “Origins of Terrorism: Tinjauan
Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
Efendi, Mohammad. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan.
Jakarta: Bumi aksara, 2006.
Fathoni, Muhammad Kholid. Pendidikan Islam dan
Pendidikan Nasional [Pardigma Baru].
Jakarta: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005.
Fromm, Erich. “Akar
Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia,” dalam The Anatomy of Human Destructiveness,
terj. Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Ganda, Yahya. Petunjuk Praktis: Cara Mahasiswa Belajar di
Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo, 2004.
Goleman, Daniel.
“Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional
Intelligence Terj. T. Hermaya. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Hardjana, Agus M. Kiat Sukses Studi di Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Hidaya, Rifa. “Dampak Tayangan Kekerasan pada Anak,”
dalam Psikoislamika, Vol. 1/No.2/Juli
2004.
Hutabarat, E.P.Cara Belajar: Pedoman Praktis untuk Belajar
Secara Efisien dan Efektif. Pegangan bagi Siapa Saja yang Belajar di Perguruan
Tinggi. Jakarta: Gunung Mulia, 1988.
Jurgensmeyer, Mark. “Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan
Agama,” dalam Terror in The Mind of God:
The Global Rise of Religious Violence, terj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Nizam, 2002.
Muchsin, Bashori dan
Wahid, Abdul. Pendidikan Islam
Kontemporer. Bandung: Refika
Aditama, 2009.
Muchsin, Bashori, dkk. Pendidikan Islam Humanistik: Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak.
Bandung: Refika Aditama, 2010.
Muhaimin. Wacana Pengembangan
Pendidikan Islam. Surabaya: PSAPM, 2003.
Mujtahid, Reformasi Pendidikan
Islam. Malang: UIN Maliki, 2011.
Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al Tarbawiy). Jakarta: Rajawali, 2009.
Pasiak, Taufiq. Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ,
dan SQ untuk Kesuksesan Hidup.
Bandung: Mizan.
Rahayu, Iin Tri. “Kekerasan dan Agresifitas,” dalam PsikoIslamika, Vol. 1/No.2/Juli 2004.
Riyanto, Armada.
“Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam Agama
Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma,
2000.
Sutrisno dan Muhyidin Albarobis. Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Tukiyo, “Sistem Pendidikan dan Pendidikan Karakter di
Jepang serta Perbandingannya dengan di Inonesia,” dalam http://journal.unwidha.ac.id/index.php/proceeding/article/download/255/204, didownload tanggal 03 Juli 2015.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta:
Cemerlang, 2003).
Wulandari, Rini. “Makalah
Perbandingan Pendidikan di Indonesia, Finlandia, dan Jepang,” dalam https://www.academia.edu/7373047/Makalah_Perbandingan_Pendidikan_di_Indonesia_Jepang_dan_Finlandia, didownload tanggal 3 Juli 2015.
Yewangoe, Andreas
Anangguru. “Agama dan Kerukunan,” Buku
Google, (http://books.google.co.id/books?id=SykwKPJfFKkC&hl=id, diakses 26 Maret 2013).
Zaini, Hisyam. Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Center for
Teaching Staff Development IAIN Yogyakarta, 2002.
Zainuddin, M. Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan
Generasi Ulul Albab. Malang: Uin Malang, 2010.
Zohar, Danah dan
Marshall, Ian. “SQ: Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate
Intelligence, terj. Rahmani dkk.
Bandung: Mizan, 2007.
Halaman Lampiran
1.
Lampiran Buku A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam:
Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015)
2.
Lampiran Jurnal
Penelitian
a) Judul: Curriculum Development Model Islam
Character Based Education (Studies
Analysis in SMKN 2 Pandeglang Banten)
b) Pengarang: Sisti Muhibah
c) Sumber: International Journal of
Scientific & Technology Research, Volume 3, Issue 7, July 2014, ISSN:
2277-8616, dalam http://www.ijstr.org/final-print/july2014/Curriculum-Development-Model-Islam-Character-Based-Education-studies-Analysis-In-Smkn-2-Pandeglang-Banten.pdf, didownload pada 03 Juli 2014
3.
Lampiran Jurnal
Penelitian
a) Judul: Model Pengembangan Karakter Melalui Sistem
Pendidikan Terpadu Insantama Bogor
b) Pengarang: Agus Retnanto
c) Sumber: EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam, Vol. 5, No.1 Januari - Juni 2012, ISSN: 1693-6019, dalam http://p3m.stainkudus.ac.id/files/empirik%20jan-jun%202012.pdf,
didownload tanggal 03 Juli 2015.
4.
Lampiran Jurnal
Artikel
a) Judul: Strategizing
Islamic Education
b) Pengarang: Muhammad Syukri Salleh
c) Sumber: International Journal of Education and Research Vol. 1 No. 6 June 2013ISSN:
2201-6333 (Print) ISSN: 2201-6740 (Online), dalam http://www.ijern.com/journal/June-2013/13.pdf, didownload
tanggal 03 Juli 2015.
[1]Pada
pengembangan PAI harus dibumikan kembali bahwa pendidikan merupakan bagian
kecil dari sistem kehidupan. Dengan demikian, secara konsep maupun praktik PAI
tidak dapat berdiri sendiri. Ia senantiasa terkait dengan sistem lainnya
seperti ekonomi, politik, budaya, perindustrian, dan sebagainya. Oleh karena
itu, mekanisme pengembangan PAI mesti menyadari bahwa peserta didik kelak akan
menjalani kehidupan “nyata” di luar lembaga pendidikan. Hal ini bukan berarti
demi kesuksesan peserta didik pada setiap pengembangan yang dilakukan
menghalalkan segala cara. Namun, ia dengan sekreatif mungkin mampu mengemas
nilai-nilai Islam dimasukkan ke dalam sistem-sistem itu.
[2]A. Rifqi Amin,
Pengembangan Pendidikan Agama Islam:
Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: Lkis, 2015)
[3]Sutrisno dan
Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam
Berbasis Problem Sosial (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2012), hlm. 51.
[4]Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003
Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003).
[5]Pengembangan di sini bukan
berarti suatu tindakan yang anti konservatif. Sebaliknya, suatu pengembangan
kadang kala diadakan dalam misi penyuksesan fungsi konservasi (penyelamatan).
Yakni, menjaga dan memunculkan kembali nilai-nilai agama Islam yang luhur serta universal dari penyimpangan
(pemahama parsial) dan penenggelaman.
[6]Hasil yang
didapat dari pengembangan PAI diharapkan bisa membahagiakan lahir-batin,
menjadi kabar gembira, menjadi solusi (inspirasi), dan menawarkan konsep
keilmuan yang kokoh bagi umat manusia.
[7]Suatu
masalah di lembaga biasanya dapat diketahui secara utuh bila di lembaga
bersangkutan diadadakan penelitian secara mendalam dan totalitas. Namun, yang
sering terjadi adalah dalam satu daerah diadakan penelitian terhadap beberapa
lembaga yang menghasilkan suatu kesimpulan. Kemudian dari kesimpulan itu secara
disamaratakan dengan lembaga lain. Padahal antar satu lembaga satu dengan yang
lain meski masalahnya sama, tapi boleh jadi penyebabnya berbeda. Oleh karena
itu, dalam menyelesaikan masalah pada suatu lembaga tidak bisa serta-merta
mengambil solusi dari hasil penelitian lembaga lain. Akan tetapi harus diadakan
penelitian tersendiri terhadap lembaga yang bermasalah tersebut.
[8]Bila dilihat dari sudut pandang ilmu alam maka PAI merupakan sebuah ilmu terapan. Yakni, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah penerapan atas prinsip-prinsip umum untuk memecahkan
permasalahan yang terjadi di alam dan masyarakat manusia. Lihat, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI
Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.. Sedangkan dalam pandangan sosiologi, PAI merupakan ilmu murni. Yakni, dalam konteks Islam merupakan ilmu yang terfokus
pada pencarian pengetahuan, gejala alam (ayat kauniah), analisis (tafsir),
dogma-dogma, dan dasar-dasar pendidikan Islam.
[9]Landasan
Pengembangan PAI idealnya bertitik tolak pada pemikiran yang mendalam hingga ke
akar-akarnya (terkait logika, etika, estetika, metafisika, hingga epestimologi,
ontologi, dan aksiologi) sebagai penunjang dalam merumuskannya. Beberapa di
antaranya, pertama pengembangan PAI
mesti berakar pada pijakan teori atau konsep yang sudah kuat. Hal ini, salah
satunya supaya setiap pengembangan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan
secara akademis. Kedua, pengembangan
PAI idealnya disandarkan pada suatu penelitian utamanya yang dilakukan di
tingkat daerah sekitar (kota/kabupaten). Serta penelitian di tingkat propinsi
dan nasional sebagai penunjang pengembangannya. Salah satu langkahnya adalah
memanfaatkan gabungan beberapa karya ilmiah lulusan perguruan tinggi. Misalnya
skripsi, tesis, dan disertasi yang utamanya berasal dari fakultas Pendidikan. Ketiga, pengembangan PAI haruslah
mempunyai daya keterukuran (tidak utopis) dan
tidak terlalu membebani Sumber Daya Manusia dan pemborosan finansial.
Harapannya, agenda pengembangan tersebut berpeluang untuk dikaji kembali apabila
ada kekurangan.
[10]A. Rifqi
Amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Depublish, 2014) hlm.
[11]Hisyam Zaini, Desain
Pembelajaran di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Center for Teaching Staff
Development IAIN Yogyakarta, 2002), 4.
[12]Yahya Ganda, Petunjuk
Praktis: Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan Tinggi (Jakarta: Grasindo,
2004), x.
[13]Agus M. Hardjana, Kiat
Sukses Studi di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 34.
[14]E.P. Hutabarat, Cara
Belajar: Pedoman Praktis untuk Belajar Secara Efisien dan Efektif. Pegangan
bagi Siapa saja yang Belajar di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gunung Mulia,
1988), 115-116.
[15]Andreas Anangguru Yewangoe, “Agama dan Kerukuanan,” Buku Google, http:// books.google.co.id/books?id=SykwKPJfFKkC&hl=id, diakses tanggal 26 Maret 2013, hlm. 40.
[16]Ganda, Petunjuk
Praktis: Cara, 2.
[17]Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan (Jakarta: Bumi
aksara, 2006), hlm. 97.
[18]Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan
Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 22-23.
[19]M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab
(Malang: Uin Malang, 2010), hlm. 34-35.
[20]Flow adalah perasaan
“kehilangan” kesadaran ruang dan waktu. Menurut Daniel Goleman “flow adalah keadaan ketika seseorang
sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatian
sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya
terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan.” Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence ed. T. Hermaya
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 127. Lebih lanjut menurut Gardner, flow dan keadaan positif yang
mencirikannya sebagai salah satu cara paling sehat untuk mengajar anak-anak.
Juga memberi motivasi mereka dari dalam diri, bukannya dengan ancaman atau iming-iming. Dengan kata
lain, pendidik harus menggunakan keadaan positif anak-anak untuk membuat mereka
tertarik mempelajari bidang-bidang di mana mereka dapat mengembangkan keahlian.
Flow merupakan keadan batin yang
menandakan seorang anak sedang tenggelam dalam tugas yang cocok. Anak didik
harus menemukan sesuatu yang disukainya dan menekuninya baik-baik. Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan
Emosional,” hlm. 132.
[21]Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2007), hlm. 101-102.
[22] Dikutip
seluruhnya dari Rini Wulandari, “Makalah
Perbandingan Pendidikan di Indonesia, Finlandia, dan Jepang,” dalam https://www.academia.edu/7373047/Makalah_Perbandingan_Pendidikan_di_Indonesia_Jepang_dan_Finlandia, didownload tanggal 3 Juli 2015.
[23]Tukiyo,
“Sistem Pendidikan dan Pendidikan Karakter di Jepang serta Perbandingannya
dengan di Inonesia,” dalam http://journal.unwidha.ac.id/index.php/proceeding/article/download/255/204, didownload
tanggal 03 Juli 2015.
[24]Softfile ada di CD.
[25]Mujtahid, Reformasi Pendidikan Islam (Malang: UIN Maliki, 2011), hlm.
103-104.
[26]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 2.
[27]Mark Jurgensmeyer, “Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan
Agama,” dalam Terror in The Mind of God:
The Global Rise of Religious Violence, terj. M. Sadat Ismail (Jakarta:
Nizam, 2002), hlm. 9.
[28]Armada Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam dalam Agama
Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma,
2000), hlm. 24.
[29]Albert Bandura, “Mekanisme Merenggangnya Moral,” dalam Walter Reich, “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi,
Teologi, dan Sikap Mental,” terj. Sugeng Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2003), hlm. 206.
[30]Armada Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam dalam Agama
Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma,
2000), hlm. 24-25.
[31] Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme
Hidup,” hlm. 24-25.
[32]Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan
Islam dan Pendidikan Nasional [Pardigma Baru] (Jakarta: Depag RI Dirjen
Kelembagaan Agama Islam, 2005), hlm. 51.
[33] Syamsul Arifin, Studi Agama: Perspektif Sosiologis &Isu-isu Kontemporer (Malang:
UMM, 2009), hlm. 199.
[34]Muhaimin, Wacana Pengembangan
Pendidikan Islam (Surabaya: PSAPM, 2003), hlm. 170-172.
[35]Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan
(Tafsir Al-Ayat Al Tarbawiy) (Jakarta: Rajawali, 2009), hlm. 163.
[36]Bashori
Muchsin, dkk. Pendidikan Islam
Humanistik: Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak (Bandung: Refika Aditama,
2010), hlm. 109.
[37] Erich Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis
atas Watak Manusia,” dalam The Anatomy of
Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 6.
[38] Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis,” hlm. 8-9.
[39] Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis,” hlm. 83-84.
[40]Syamsul Arifin, “Klaim Kemutlakan, Konflik Sosial, dan
Reorientasi Keberagamaan,” dalam Agama
Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma,
2000), hlm. 51.
[41]Arifin, “Klaim Kemutlakan, Konflik,”, hlm. 51.
[42]Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm.
56.
[43]Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 127.
[44]Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis,” hlm. 45.
[45]Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm.
47-48.
[46] Syamsul Arifin, “Implementasi Studi Agama Berbasis
Multikultural dalam Pendidikan,” dalam http://rires2.umm.ac.id/publikasi/lama/IMPLEMENTASI%20STUDI%20AGAMA2.pdf, didownload tanggal 16 Desember 2014.
[47]Danah Zohar dan Ian Marshall, “SQ: Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ:
Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, ed. Rahmani dkk
(Bandung: Mizan, 2007), hlm. 144.
[48]Efendi, Revolusi
Kecerdasan Abad, 236-237.
[49]Pada dasarnya manusia adalah makhluk spiritual. Manusia
terdorong oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan mendasar dan pokok.
Mengapa saya dilahairkan? Apa makn hidup saya? Apa yang membuat semua itu
berharga? Manusia merindukan untuk menemukan makna dan nilai dari apa yang
telah diperbuat dan dialami.
[50] Taufiq Pasiak, Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan
Hidup (Bandung: Mizan), hlm. 255.
[51]Setiap kecerdasan rawan terhadap
cacat akibat kerusakan atau cedera pada wilayah otak tertentu; menurut garder
teori kecerdasan dapat berlaku bila didasarkan pada biologi (struktur otak).
Kecerdasan linguistik berfungsi dibelahan otak kiri, kecerdasan musikal,
spasila, dan antarpribadi cenderung pada belahan otak kanan. Kecerdasan
kinestetik menyangkut korteks motor, ganglia basal, dan serebelum (otak kecil).
Thomas Amstrong, “Seven Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan
Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence,” dalam Seven Kinds of Smart: Identifying anda Developing Your Multiple
Intelligences ed. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 7.
[52]Pembahasan mengenai teori
“kecerdasan,” pada awalnya identik dengan dunia Psikologi, akan tetapi ilmu
biologi utamanya bidang neurosains juga memiliki peran yang tak kalah penting.
Dengan demikian pembahasan terkait “kecerdasan” bukanlah kajian dunia abstrak
(terkait proses berpikir dan berimajenasi). Namun juga menenyuh aspek “organ”
tubuh manusia yang memiiki peran utama dalam “menyusun” kecerdasan, yaitu otak
dan yang bersangkut paut dengannya.
[53]Menurut penulis dalam otak emosional
terdapat kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional berarti “kemampuan seperti
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadap frustasi;
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur
suasana hati dan menjaga agar beban strest tidak melumpuhkan kemampuan
berfikir; berempati dan berdoa.” Lihat, Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm.
45.
[54]Efendi, Revolusi Kecerdasan
Abad, hlm. 55.
[55]Pasiak, Manajemen Kecerdasan:
Memberdayakan, hlm. 250-251.
[56]Zohar dan Ian Marshall, “SQ: Kecerdasan Spiritual,” hlm. 50.
[57] Rifa
Hidayah, “Dampak Tayangan Kekerasan Pada Anak,” dalam Psikoislamika, Vol.1/No.2/Juli 2004. hlm. 203-216.
[58] Iin Tri
Rahayu, “Kekerasan dan Agresifitas,” dalam Psikoislamika,
Vol.1/No.2/Juli 2004. hlm. 167-175.
[59]Nata, Tafsir
Ayat-Ayat, hlm. 172-173.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Tanya Jawab Tentang Pengembangan Pendidikan Agama Islam pada Pendidikan Anak Usia Dini, Sekolah/Madrasah, Pendidikan Tinggi, dan Pondok Pesantren"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*