SOAL:
1.
Bacalah secara kritis 3
buku yang berkaitan dengan Inovasi
pendidikan/pembelajaran (2 buku
berbahasa asing (Inggris atau arab) dan 1 buku berbahasa Indonesia)!
Jawab: Semua buku yang
dibaca terkait dengan tema Multiple
intelligences.
a.
Baca secara kritis,
ambilah 2-3 bab dari masing-masing
isi buku dan ikhtisarkan kemudian
buatlah kesimpulan
secara menyeluruh (setiap sumber harus
disebutkan dan dilampirkan)!
b.
Atas dasar bacaan
tersebut, lakukan analisis tantangan
dunia pendidikan dan implikasinya terhadap pengembangan inovasi pendidikan dan pembelajaran PAI!
c.
landasan filosofis, teoritis, dan empiris serta prinsip=prinsip
dilakukannya Inovasi pendidikan dan Pembelajaran PAI di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA/SMK dan PT.
d.
Jelaskan bagaimana proses dilakukan Inovasi Pendidikan dan pembelajaran PAI ditinjau dari
proses Difusi dan
Diseminasi (aku dewe: penyebaran) inovasi, proses
keputusan inovasi, Proses Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran PAI!
2.
Bacalah secara kritis 3 Jurnal. Ambillah masing-masing 1
isi jurnal tentang berkaitan dengan
Inovasi pendidikan/pembelajaran ( dengan ketentuan 2 jurnal penelitian dan 1
artikel berbahasa Inggris, arab, indonesia) (setiap sumber harus disebutkan
jelas dan dilampirkan)!
Jawab: Semua jurnal yang telah dibaca terkait dengan multiple intellegences. Dengan
rincian 2 jurnal penelitian dan 1 jurnal artikel berbahasa inggris. Alamat
website dan tampilan naskah orisinil jurnal terlampir baik dalam bentuk
softfile maupun printout.
a.
Buatlah ikhtisar dan berikan komentar Anda pada setiap
jurnal maksimal 1 hal (judul yang dikhtisarkan dari Jurnal, pengarang, sumber -
abstrak- deskrepsi isi- metode penelitian (jika ikhtisar jurnal penelitian)
hasil – komentar Anda dari isi jurnal)
Jawab:
JAWABAN:
JURNAL PERTAMA
1)
Ihtisar:[1]
a)
Judul: Pembelajaran Biologi Menggunakan Metode E-Learning
Berbasis Multiple Intelligences Pada Materi Sistem Gerak Manusia
b)
Pengarang: Isni Murdiyani
c)
Sumber: Innovative Journal of Curriculum and Educational
Technology, Prodi Kurikulum dan Teknologi
Pembelajaran, Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, Tahun 2012,
ISSN 2252-7125. Alamat download:
d)
Abstrak: Penelitian ini merupakan research and development. Pengembangan
yang dilakukan adalah pada perangkat model e-learning
biologi berbasis Multiple Intelligences
dengan menggunakan aplikasi MOODLE di SMA N 1 Ungaran. Desain pengembangan
perangkat pembelajaran dilakukan menggunakan model 4D Thiagarajan. Pada
penelitian ini tahap penyebaran tidak dilakukan. Desain pengembangan e-learning berbasis Multiple Intelligences yang meliputi silabus, RPP, bahan ajar, dan
media dinyatakan valid. Setelah diujikan pada kelas eksperimen menunjukkan
bahwa hasil belajar mereka mengalami peningkatan sebesar 21% dan ketuntasan
belajar mencapai 100%. Selain itu hasil uji statistik hasil belajar menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Hasil belajar kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol. Berdasarkan
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perangkat e-learning berbasis Multiple
Intelligences dan instrument
penilitian valid dan reliabel serta model e-learning
berbasis Multiple Intelligences
menggunakan MOODLE dapat meningkatkan efektivitas hasil belajar siswa. Model
ini membuat pembelajaran Biologi menjadi lebih menyenangkan dan variatif.
e)
Deskrepsi isi: Pengertian e-learning dalam penelitian ini difokuskan pada pemanfaatan internet pada mata pelajaran Biologi. Yakni, dengan menggunakan aplikasi Modular Object-Oriented Dynamic
Learning Environment (MOODLE) sebagai Course Management. Landasannya, biologi merupakan mata
pelajaran wajib untuk kelas XI IPA. Serta ruang lingkup kajian biologi
berkaitan erat dengan manusia dan lingkungannya. Akan tetapi seringkali materi biologi
dianggap abstrak karena siswa tidak bisa melihat atau menemukan secara
langsung dalam kehidupannya. Misalnya, pada materi pokok ”Sistem Gerak pada Manusia”. Pada materi tersebut banyak ditemukan istilah
ilmiah yang menimbulkan kecemasan
siswa dan menjadi beban bagi mereka dalam
menghafalkan dan memahami.
Oleh sebab itu, dalam penyajiannya materi itu
idealnya diberikan dalam bentuk audio maupun visualnya. Dengan kata lain, cara
penyajian materi yang tertuang dalam perangkat pembelajaran yang dibuat oleh
guru harus kreatif, inovatif dan atraktif.
Pada kenyataannya, fakta
lapangan menunjukkan bahwa guru membuat perangkat pembelajaran hanya sebatas tulisan semata. Akhirnya secara
praktik mereka kembali ke sistem lama yaitu ceramah dan kegiatan
berpusat pada buku. Dengan kata lain telah terjadi penyeragaman
dalam pembelajaran. Yakni, guru masih memandang semua jenis kecerdasan siswa
sama sehingga strategi pembelajarannya pun monoton. Guru
belum mengoptimalkan
potensi kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Padahal tiap individu punya keunikan kecerdasan tersendiri. Implikasinya pendekatan pembelajaran yang
dilakukan pun juga disesuaikan dengan jenis kecerdasan mereka.
f)
Metode penelitian: Penelitian ini termasuk jenis
penelitian dan pengembangan (research and development). Langkah-langkah pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah modifikasi model yang oleh
Thiagarajan disebut
dengan model 4D. Yakni, meliputi tahap pendefinisian. perancangan, tahap
pengembangan dan tahap penyebaran. Namun
demikian penelitian ini dilakukan hanya
sampai pada tahap pengembangan. Adapun tahap penyebaran (disseminate) belum dapat dilakukan
mengingat keterbatasan waktu dan biaya.
Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah: 1) wawancara, 2) tes hasil belajar siswa (uji
produk), 3) angket sebagai informasi terkait tanggapan dan interaksi siswa
selama pembelajaran, 4) observasi dengan memberikan skor.
g)
Hasil: Pengembangan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengembangan
perangkat pembelajaran berbasis Multiple Intelligences. Yakni dengan memanfaatkan MOODLE sebagai sarana dalam penerapan e-learning. Langkah awalnya adalah memilih Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada
mata pelajaran Biologi kelas XI berdasarkan KTSP yang akan dikembangkan. KD
yang dipilih yaitu terakait “menjelaskan
hubungan antara struktur, fungsi dan gangguan/kelainan pada sistem gerak
manusia.” Selanjutnya, dari KD itu dikembangkan dan
disusun kembali perangkat
pembelajarannya meliputi silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP),
bahan ajar, dan instrumen penilaian yang berbasis Multiple Intelligences.
Perangkat yang disusun dan dirancang tersebut terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya. Hal ini dilakukan supaya data yang
diperoleh valid. Adapun uji reliabilitas dilakukan
supaya instrumen tersebut menghasilkan data yang sama kapanpun instrument
tersebut digunakan.
Hasil belajar kelompok siswa pada penilaian ranah
kognitif menggunakan metode tes. Dari hasil akhir menunjukkan bahwa nilai rata-rata kelas eksperimen
mengalami peningkatan yaitu dari 72,16 menjadi 87,12 dan setelah menerapkan e-learning
berbasis Multiple Intelligences 100% siswa mencapai KKM (KKM yang ditetapkan guru
adalah 75). Sedangkan kelas kontrol
juga mengalami peningkatan dari 76,64 menjadi 79,04 dan tingkat ketercapaian
KKM-nya 84%. Berdasarkan
penghitungan statistik untuk menguji rata-rata nilai siswa terhadap KKM
hasilnya pada kelas eksperimen t= 0,48 dan kelas kontrol t= 0,20. Kedua hasil tersebut berada pada daerah
penerimaan Ho dimana t tabel= 2,06. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
rata-rata hasil belajar pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol sudah
memenuhi KKM. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa t=6,33 sedangkan t(0.95)(48)=
1.68. Hal ini berarti bahwa t hitung
tersebut berada pada daerah penolakan Ho. Dapat disimpulkan bahwa kelas
eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol.
Temuan
tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran e-learning berbasis Multiple
Intelligences lebih efektif dibandingkan pembelajaran e-learning yang
tidak berbasis Mutiple Intelligences. Adapun berdasarkan
hasil pengamatan menunjukkan bahwa sikap
(afketif) siswa kelas eksperimen lebih tinggi dari pada sikap siswa pada
kelas kontrol. Pada kelas eksperimen skor rata-rata kelasnya adalah 33,16. Hal itu menunjukkan sikap siswa
terhadap pembelajaran e-learning berbasis Multiple Intelligences tinggi.
2)
Komentar[2]
isi jurnal: Pertama dari
segi penulisan, secara umum kalimat yang digunakan mudah dipahami, sangat
sederhana, dan singkat. Format tampilan jurnal yang menarik seperti surat kabar
(koran) dan refensi tulisan yang digunakan sangat relevan dengan tema artikel.
Selain itu juga terdapat gambar tentang langkah penelitian pengembangan yang
mempermudah pembaca dalam memahami alur penelitian. Serta beberapa gambar lain
yang faktual dan orisinil terkait dengan pengembangan aplikasi (perangkat) e-learning berbasis multiple intelligences. Kedua
dari kelengkapan isinya, pokok-pokok atau inti bahasannya disampaikan secara
komperhensif. Konsep, langkah, dan argumentasi tentang pengembangannya
diuraikan secara detail dan mendalam.
Dengan kata lain, antara satu sub tema dengan sub tema lainnya terjadi
kesinambungan dan keterkaitan. Namun demikian, penjelasan dan penerapan teori Multiple Intellegince dalam mata
pelajaran Biologi tersebut belum bisa dikatakan atau dimanfaatkan secara
akurat. Ketiga sistematika penulisan,
penyampaian dilakukan secara sistematis. Akan tetapi hasil (simpulan) dari
penelitian tersebut masih terlalu banyak dipengaruhi aspek kuantitatifnya.
Padahal, hasil pengematan dan wawancara mendalam juga dipandang sangat penting
sebagai “penyumbang” data yang kemudian dianalisis secara menyeluruh. Secara detail sistematika penulisan jurnal tersebut
meliputi sub-sub bahasan sebagai berikut:
Halaman judul dan
abstrak (hlm. 45), pendahuluan (hlm. 46), metode penelitian (hlm. 47), hasil dan
pembahasan (hlm. 49), simpulan (hlm. 51), dan daftar pustaka (hlm. 52).
JURNAL KEDUA
1) Ihtisar:
a)
Judul: Pengembangan Handout Berbasis
Multiple Intelligence Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Kelas X SMA Muhammadiyah Wonosobo Tahun Pelajaran 2013/2014
b)
Pengarang: Dewi Ayu Kusumaningtias, Eko Setyadi Kurniawan, dan
Ashari
c)
Sumber: Jurnal Radiasi
Vol. 5 No. 2 September 2014, Program Studi Pendidikan Fisika Universitas
Muhammadiyah Purworejo Jawa Tengah, alamat download:
d)
Abstrak: Telah dilakukan penelitian
research and development handout berbasis multiple intelligence untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik . Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengembangkan bahan ajar berupa handout berbasis multiple intelligence
untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas X. Subjek dari
penelitian ini adalah peserta didik kelas X IPA 1 SMA Muhammadiyah Wonosobo
tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 20 perserta didik. Penelitian ini
dilakukan pada bulan April dan Mei tahun 2014 dengan 3 kali pertemuan.
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode observasi, wawancara,
angket dan post-test. Setelah data diperoleh kemudian dianalisis menggnakan
Percentage Agreement (PA). berdasarkan hasil penelitian diperoleh persentase
skor daro dosen ahli sebesar 77,50% dan guru fisika sebesar 83,50% dengan
kriteria baik sehingga handout berbasis multiple intelligence ini layak
digunakan sebagai bahan ajar dengan sedikit revisi. Rerata keterlaksanaan dari
dua observer 95,06% dengan kriteria sangat baik. Rerata ketercapaian belajar
peserta didik dengan menggunakan handout mencapai 81,15 dan 78,50 untuk
post-test sehingga mencapai KKM 70. Respon peserta didik untuk produk yang
dikembangkan mendapat persentase 79,66% dengan kiteria baik. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa handout berbasis multiple intelligence ini layak
digunakan sebagai bahan ajar.
e)
Deskrepsi isi: Fisika sebagai salah satu ilmu kealaman (material) merupakan
pelajaran yang biasanya dipelajari melalui pendekatan matematis dan menghafal.
Dampaknya seringkali ditakuti dan cenderung tidak disukai oleh peserta didik. Padahal
sesungguhnya belajar fisika diharapkan tidak sekedar menguasai matematika dan
menghafal rumus. Lebih dari itu, bagaimana peserta didik mampu memahami konsep
yang terkandung di dalamnya. Asumsinya, kemampuan matematis peserta didik yang
lemah secara otomatis akan membuat peserta didik mengalami kesulitan dalam
memahami fisika, karena sebagian besar pemecahan soal-soal fisika menggunakan
pendekatan matematis.
Sebagaimana telah
banyak diketuahi bahwa kecerdasan intelektual tidak
hanya mencakup dua parameter saja yaitu kecerdasan logika (menghitung) dan
bahasa (menghafal). Akan tetapi kecerdasan juga meliputi segala aspek lain
seperti kinetis, musical, visual-spatial, interpersonal, intrapersonal, dan
naturalis. Menurut Gardner, orang tidak memiliki satu inteligensi umum, tetapi
ditandai oleh serangkaian beberapa inteligensi. Bila semua kecerdasan majemuk
ini ditumbuhkan, dikembangkan, dan dilibatkan dalam proses pembelajaran maka mampu
meningkatkan keefektifan pembelajaran.
Salah
satu usaha untuk meningkatkan efektivitas tersebut yaitu melalui pengembangan bahan
ajar. Di mana, bahan ajar punya peranan penting dalam kegiatan pembelajaran
yaitu meningkatkan fungsi guru sebagai fasilitator, motivator, dan evaluator. Artinya,
dibutuhkan suatu bahan ajar yang dapat membantu peserta didik dalam menemukan
konsep fisika sesuai dengan kecerdasan dominan yang dimiliki oleh masing-masing
peserta didik. Namun, kenyataannya masih jarang ditumukan penggunaan bahan ajar
fisika yang mampu mengembangkan kemampuan berfikir kritis peserta didik. Pada
akhirnya bisa diperoleh pembelajaran yang lebih bermakna. Oleh karena itu,
dipandang perlu melakukan penelitian tentang pengembangan bahan ajar berupa handout berbasis multiple intelligences untuk peningkatan kemampuan berpikir kritis
peserta didik.
Handout fisika
tentang materi alat-alat optik SMA kelas X
semester II berbasis multiple intelligences
yang
dikembangkan dalam penelitian ini menurut ahli materi dan guru fisika
berkategori “baik.” Dengan demikian
produk ini
layak digunakan sebagai bahan pembelajaran untuk diujikan
dengan skor rerata 3,22. Respon peserta didik terhadap pembelajaran dengan produk berupa
handout berbasis multiple
intelligences untuk
SMA kelas X semester II adalah “baik” dengan skor rerata 3,18. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa handout berbasis multiple intelligences
ini
mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam pembelajaran
Fisika. Dengan rincian dari 60,50% pada awal observasi (studi pendahuluan), 61,63% pada pertemuan pertama, 70,45%
pada pertemuan kedua dan 81,82% pada pertemuan ketiga.
f)
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (research and development). Subjek
penelitiannya adalah siswa kelas X SMA Muhammadiyah Wonosobo. Di mana, subjek
uji terbatas berjumlah 20 peserta didik dipilih secara acak. Desain atau
langkah (prosedur) penelitian ini adalah studi pendahuluan (studi lapangan dan
studi iteratur), perencanaan, pengembangan produk awal, revisi produk awal,
ujicoba terbatas, kemudian revisi produk awal untuk mendapatkan produk akhir. Adapun
faktor yang diteliti adalah kelayakan handout sebagai produk. Kemudian keterlaksanaan handout, respon
peserta didik, dan ketercapaian hasil belajar peserta didik setelah memakai
produk tersebut. Data diperoleh melalui metode wawancara, observasi, angket,
dan metode tes. Data yang diperoleh berupa data kuantitatif dan kualitatif. Teknik
analisis data menggunakan precentage agreement dan rerata.
g)
Hasil: Rerata (nilai yang
paling umum)
hasil respon peserta didik pada aspek kelayakan isi dari produk mendapat skor rerata 85,83%,
sehingga dapat dinyatakan respon peserta didik pada aspek ini adalah baik. Adapun rerata
hasil respon peserta didik pada aspek kebahasaan dari produk
yang diujikan
adalah 82,08%, sehingga dapat dinyatakan bahwa respon
peserta didik pada aspek ini adalah baik. Sedangkan rerata
hasil respon peserta didik pada aspek sajian dari produk
adalah 75,00%, sehingga dapat dinyatakan bahwa respon
peserta didik pada aspek ini adalah baik. Selanjutnya rerata hasil
respon peserta didik pada aspek desain handout adalah
79,16%, sehingga dapat dinyatakan bahwa respon
peserta didik pada aspek ini adalah baik. Terkahir, rerata
hasil respon peserta didik pada aspek pendekatan multiple
intelligence adalah 76,25%, sehingga dapat dinyatakan bahwa respon peserta
didik pada aspek ini adalah baik.
1)
Komentar isi jurnal: Pertama dari segi penulisan, kalimat yang digunakan mudah dipahami,
akan tetapi masih banyak yang salah ketik, peletakan tanda baca yang salah, dan
penyusunan kalimat yang sulit dipahami. Akibatnya, pada paragraf tertentu ada
kalimat yang sulit untuk dipahami. Format tampilan jurnal yang menarik, terdapat
gambar grafik dan tabel sehingga bisa membantu pembaca dalam memahami isi
jurnal. Selain itu format susunannya pun juga lebih menarik seperti tampilan
koran (surat kabar). Kedua dari
kelengkapan isinya, pokok-pokok atau inti bahasannya disampaikan belum secara
menyeluruh. Hanya inti-inti pokoknya yang kadang kala terjadi lompatan-lompatan
pemahaman. Selain itu penjelasan dan penerapan teori Multiple Intellegince dalam mata pelajaran Fisikat tersebut belum
bisa dikatakan atau dimanfaatkan secara detail. Ketiga sistematika penulisan, penyampaian dilakukan secara
sistematis. Akan tetapi hasil (simpulan) dari penelitian tersebut masih terlalu
banyak dipengaruhi aspek kuantitatifnya. Padahal, hasil pengematan dan
wawancara mendalam juga dipandang sangat penting sebagai “penyumbang” data yang
kemudian dianalisis secara menyeluruh. Secara detail sistematika penulisan jurnal tersebut meliputi sub-sub
bahasan sebagai berikut:
Halaman judul dan
abstrak (hlm. 80), pendahuluan (hlm. 80), landasan teori (hlm. 81), metode
penelitian (hlm. 81), hasil dan pembahasan (hlm. 81), kesimpulan (hlm. 83), dan
daftar pustaka (hlm. 83).
JURNAL KETIGA
1) Ihtisar:
a)
Judul: The Realization of Gardner's Multiple
Intelligences (MI) Theory in Second Language Acquisition (SLA)
Implementasi Teori
Gardner tentang Multiple Intelligences (MI) pada Kemahiran Bahasa Kedua (SLA)
b)
Pengarang: Parviz Maftoon dan Saeid
Najafi Sarem
c)
Sumber: Journal of Language Teaching and
Research, Vol. 3, No. 6, pp. 1233-1241, November 2012 ISSN
1798-4769
d)
Abstrak:
Better understanding of individual cognitive factors
that account for successful second language acquisition/learning is an
important goal and of great interest for many researchers in the field of
language study. Gardner’s (1983) Multiple Intelligences Theory has proved that
intelligence, as an individual cognitive factor, has a significant influence on
the process of SLA and can account for the learners’ variation in second
language learning. The theory of Multiple Intelligences has caused some
educators and language researchers to reassess classroom practices both in
education in general and in many areas of language teaching and learning in
specific. Before investigating the effect of this important factor, a
comprehensive understanding of the term seems to be essential. Therefore,
through a detailed literature review, this paper is an attempt to outline the
concept of intelligence as well as the role of intelligence in major SLA
approaches. Moreover, Gardner’s theory of Multiple Intelligences is outlined
and its key features are discussed in detail through this paper. Finally,
drawing on the role of Multiple Intelligences, this paper tries to elucidate
the applications and implications of this theory in relation to second language
teaching and learning. This should enable a clearer picture to emerge about the
relative importance of intelligence among the constellation of factors
associated with second language acquisition.
Index
Terms—intelligence, Multiple Intelligences Theory, SLA
e)
Deskrepsi isi: salah
satu hal yang sangat menarik adalah adanya gambar (skema) tentang pembagian 9
aspek kecerdasan yang sulit ditemukan dalam referensi lain. secara detail
gambarnya adalah sebagai berikut:
f)
Hasil: Dalam kajian literatur (kepustakaan) pada jurnal ini,
aspek kecerdasan merupakan salah satu faktor individu yang terpenting dalam
pembelajaran. Di mana, kecerdasan dikarakteristikan
sebagai
bawaan (genetik).
Teori Gardner tentang multiple intelligences terbukti signifikan dalam kaitannya dengan pembelajaran
bahasa kedua. Pada tingkat kognitif, teori multiple intelligences mengembangkan sebuah kerangka kerja yang
membantu dalam menjelaskan keberagaman individu dalam kemampuan (gaya) belajar tentang bahasa
kedua.
Dapat
disimpulkan bahwa ada bukti yang jelas tentang hubungan antara
kecerdasan sebagai faktor kognitif
dengan kemahiran bahasa kedua (SLA).
Teori Gardner tentang
kecerdasan ganda, seperti yang
ditunjukkan, sangat erat
kaitannya dengan pengajaran bahasa dan memiliki aplikasi
tertentu bagi para guru. Berkenaan
dengan instruksi kelas, guru
harus memberikan kondisi yang
mendorong siswa untuk menggunakan
semua jenis kecerdasan. Meskipun beberapa siswa mungkin lebih memilih untuk menggunakan hanya
jenis tertentu. Dengan demikian, guru harus mengenali dan mengajarkan sesuatu yang lebih luas bakat dan keterampilan yang
bergantung pada berbagai kecerdasan.
Di sisi lain,
guru sendiri mungkin punya preferensi untuk kecerdasan tertentu. Oleh karena itu,
guru harus mulai mengidentifikasi profil kecerdasan mereka
sendiri sehingga dapat menentukan
strategi pengajaran yang terbaik atau pilihan mereka dalam mempertimbangkan dan mengalkulasi perbedaan individu.
Langkah selanjutnya
adalah dengan mengidentifikasi profil peserta didik. Di mana siswa kemudian
bisa menyadari profil kecerdasan mereka sendiri, sehingga bisa mendoro mereka
dalam memanfaatkan kecerdasannya dalam proses pembelajaran. Implikasi lain dari teori mulitple intelligences bagi guru adalah guru dapat mencoba untuk merancang pembelajaran secara kreatif dan dinamis. Di mana
pembelajaran dipenuhi dengan kegiatan permainan, cerita, musik, gambar
serta alat dan bahan yang berbeda
sehingga
bisa mengakomodir semua jenis kecerdasan yang dimiliki masing-masing siswa. Hal ini, pada gilirannya, berguna bagi guru dalam membangkitkan semua jenis kecerdasan siswa
mereka.
2)
Komentar isi jurnal: Pertama dari segi penulisan, Format tampilan jurnal cukup menarik, terdapat
gambar grafik (skema) sehingga bisa membantu pembaca dalam memahami isi jurnal.
Selain itu format susunannya sangat terperinci dalam beberapa poin-poin bahasan.
Kedua dari kelengkapan isinya, pemanfaatan
teori multiple intellegences dalam
pembelajaran bahasa kedua (SLA) dilakukan cukup mudah untuk dipahami. Ketiga sistematika penulisan,
penyampaian dilakukan secara sistematis. Akan tetapi hasil (simpulan) dari
penelitian tersebut masih terlalu banyak dipengaruhi aspek literalur (bahan
bacaan). Padahal, hasil pengematan dan wawancara mendalam juga dipandang sangat
penting sebagai “penyumbang” data yang kemudian dianalisis secara menyeluruh. Secara detail sistematika penulisan jurnal tersebut
meliputi sub-sub bahasan sebagai berikut:
Halaman judul dan
abstrak (hlm. 1233), I. Pendahuluan (hlm. 1233), II. Definisi dan karakteristik
multiple intelligences (hlm. 1234),
III. Teori multiple intelligences (hlm. 1234), IV. Aspek-aspek multiple intelligences (hlm. 1236), V.
Kecerdasan dan SLA (hlm. 1238), kesimpulan (hlm. 1239), dan daftar pustaka
(hlm. 1240).
a.
Atas dasar ikhtisar isi jurnal tersebut, rumuskan apakah
ada implikasi atau pemikiran Anda terhadap Inovasi pendidikan/pembelajaran PAI
di Indonesia!
Jawab: Berpijak pada ikhtisar dari 3 jurnal yang semuanya
terkait dengan multiple intelligences,
maka dapat dirumuskan implikasi dan pemikiran tentang pengembangan pembelajaran
PAI di Indonesia. Di antaranya, bahwa metode (strategi), bahan ajar (media),
dan evaluasi PAI masih perlu diadakan pembaruan. Mengingat selama ini
pembelajaran PAI masih bersifat kaku dan bersikap menyeragamkan (menyamakan)
seluruhnya yang ada pada peserta didik. Oleh karena itu, perlu adanya “produk”
baru dalam pembelajaran PAI agar bisa menciptakan pembelajaran yang efektif.
Salah satunya adalah dengan menggunakan teori multiple intelligences. Kendati demikian, dalam meniru teori
tersebut tentu tidak harus diterapkan secara mutlak dan murni. Harus diadakan
pengembangan dan penyesuaian dengan nilai-nilai agama Islam.
3.
Lakukan analisis
terhadap perkembangan inovasi pendidikan yang dikembangkan oleh negara-negara
maju (ambillah contoh pada salah satu negara)
Jelaskan wujud atau modelnya, karkateristik dan Strategi Inovasi Pendidikan dan
Pembelajarannya, serta implikasi
dan dampak terjadinya inovasi pendidikan/inovasi pembelajarannya terhadap mutu
pendidikannya, bandingkan dengan pengembangan inovasi PAI di sekolah/madrasah
/lembaga pendidikan Islam di Indonesia!
Jawab: Inovasi yang dilakukan oleh negara maju dalam bahasan
ini terkait dengan multiple intelligences.
Di mana dalam melakukan inovasi pembelajaran biasanya negara maju (dalam hal
ini adalah negara barat) lebih mengutamakan logika (paradigma tunggal).
Sedangkan PAI yang “bersumbu” pada ajaran Islam dalam pengembangannya menolak
penggunaan logika saja. Hal ini terjadi karena dunia barat cenderung berparadigma
yang diturunkan dari Cartesian (Descartes)
dan Newtonian menjadi penyebab munculnya paradigma tunggal
(tidak utuh). Dengan paradigma tunggal itu mereka terpuruk ke lembah krisis dan
penuh kontradiksi, yang menurut Capra disebabkan oleh kekeliruan pemikiran. Ahmad Tafsir
menjelaskan bahwa yang dimaksud kekeliruan pemikiran menurut Capra adalah tidak digunakannya paradigma yang tepat dalam
penyusunan kebudayaan
barat. Di mana menurutnya budaya barat hanya disusun berdasarkan satu
paradigma, yaitu paradigma sains (scientific
paradigm). Padahal paradigma tersebut
tidak sepenuhnya bisa melihat alam dan kehidupan ini
secara utuh dan menyeluruh (wholeness), kecuali hanya
melihat alam ini pada bagian yang empiris saja.[3] Bila “kebudayaan” barat tersebut dikaitkan dalam dunia
pendidikan, secara spesifik M. Zainuddin memaparkan perbedaannya dengan
pendidikan Islam sebagaimana berikut:[4]
Katagori
|
Pendidikan
Islam
|
Pendidikan
Barat
|
Landasan
Filosifis
|
Paradigmanya bertolak dari sumber atau landasan
(doktrin) Islam yang bercorak teo-antroposentris.
|
Paradigmanya dilandaskan filsafat Yunani yang antroposentris-sekuler sehingga
terlepas dari dimensi moral dan spiritual.
|
Struktur Konsep
Pendidikan
|
Terjadinya perbedaan: tujuan, konsep tentang
manusia (peserta didik), nilai, serta tanggung jawab yang diembannya.
|
|
Ontologi
|
Terjadi perbedaan dalam aspek cara memandang dan
menempatkan para pserta didik dalam proses pembelajaran.
|
|
Sumber dan
Metode Epistomologi
|
Berasal dari Allah SWT, yang diperoleh melalui panca
indera, akal sehat, berita yang benar, dan intuisi.
|
Semua objek (benda/zat/materi) yang bisa diserap oleh
panca indera.
|
Sistem Etika
|
Bercorak teo-antroposentris yang menempatkan manusia
sebagai pelaku sejarah sekaligus sebagai makhluk (khalifah dan hamba) Allah.
|
Menurut Syamsul Nizar: bercorak antroposentris yang
menempatkan manusia sebagai pusat dari segala-galanyanya, individu merdeka
tanpa bata.
|
Dari tabel tersebut
dengan jelas tergambar bahwa sistem pendidikan barat adakalanya tidak
sepenuhnya cocok apabila diterapkan dalam sistem pendidkan Islam. Oleh karena
itu setiap teori dari barat, utamanya teori pendidikan tidak serta merta harus
diserap sepenuhnya untuk digunaan dalam sistem pendidikan Islam. Bagaimanapun
paradigma yang diungakan oleh umat islam dengan paradigma orang barat berbeda,
sehingga mempengaruhi dalam membuat konsep sistem pendidikan Islam.
Lebih lanjut, bila
dikaitkan dengan pembelajaran secara langsung, maka paradigma lama
mengajar tentang memberikan reward
and punishment atau memberikan rangsangan lain[5]
sudah tidak berlaku lagi. Ataupun paradigma pembelajaran yang
hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan (sains)
dianggap sudah tidak relevan dengan kekinian. Diperlukan
paradigma baru,
bahwa mengajar sebagai proses mengatur
lingkungan (kebudayaan). Beberapa alasannya adalah:
1.
Siswa bukanlah
orang dewasa dalam bentuk anak kecil atau remaja, tetapi individu yang sedang berkembang
sehingga masih butuh proses pendidikan. Dengan demikian, guru (sebagai orang
dewasa) bukanlah satu-satu sumber belajar. Asumsinya, kebutuhan orang dewasa
dengan anak-anak berbeda, maka guru bertugas sebagai pengelola sumber belajar
yang sesuai dengan tingkat usia siswanya.
2.
Adanya ledakan ilmu pengetahuan
berakibat pada ketidak mungkinan bagi setiap orang mampu menguasai seluruh
cabang keilmuan. Dengan demikian, belajar tidak sekedar menghafal informasi,
menghafal rumus-rumus, tapi belajar adalah bagaimana
siswa mampu menggunakan otaknya
untuk mengasah kemampuan berfikir.
3.
Penemuan-penemuan baru dalam bidang
psikologi (menurut penulis juga bidang biologi),
berakibat pemahaman baru terhadap konsep (teori)
perubahan perilaku manusia. Di mana manusia sebagai makluk biologis (organisme)
memilik potensi bawaan yang menentukan perilaku manusia. Implikasinya,
proses pendidikan bukan lagi memberikan stimulus untuk
cerdas pada bidang tertentu, tetapi mengembangkan potensi (kecerdasan) yang telah ada dan telah
dimiliki
siswa.[6]
Penjelasan tersebut
hampir sama dengan pendapat Thomas R. Hoerr, bahwa:
Teori
kecerdasan majemuk (KM) memberikan pendekatan pragmatis pada bagaimana kita
mendefinisikan kecerdasan dan mengajari kita memanfaatkan kelebihan siswa untuk
membantu mereka belajar.... Menjadi cerdas tidak lagi ditentukan oleh nilai
ulangan; menjadi cerdas ditentukan oleh seberapa baik murid belajar dengan cara yang beragam.”[7]
Lebih detail, Muhaimin, dkk. menjelaskan bahwa belajar pada hakikatnya terjadi secara
individual, sehingga setiap individu dalam belajar memiliki karakteristik
tersendiri. Dari situ, idealnya pendidikan agama Islam
seharusnya diacukan pada peserta didik secara perseorangan. Dengan asumsi,
tindakan (perilaku) belajar memang bisa ditata (dikelola) dan
dipengaruhi (diintervensi), akan tetapi perilaku belajar
individu akan tetap berjalan sesuai dengan karakteristik peserta didik secara
perseorangan. Misalnya, peserta didik yang yang cara belajarnya lambat dalam bidang tertentu tidak dapat dipaksa untuk
belajar cepat. Oleh karena itu, rancangan
pembelajaran PAI harus diupayakan sesuai dengan karakteristik perseorangan
peserta didik, sehingga terjadi perkembangan dalam pemahaman, pengalaman, dan
pengamalan beragamanya sesuai dengan daya tampung dan kemampuannya (daya
jangkau).[8]
Sedangkan apabila
dikaitkan dengan peserta didik secara langsung, maka paradigma lama tentang
peserta didik telah mengalami pergeseran. Di mana sekarang ini setiap
peserta didik di pandang punya tingkat kemampuan yang berbeda
dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.[9]
Selain perbedaan tersebut, peserta didik juga
berbeda pada kemampuan fitrah.
Asumsinya ada anak yang memiliki kemampuan fitrah
dalam bidang melukis akan tetapi lemah dalam kemampuan menari dan olah raga.
Ada pula peserta didik yang punya kemampuan membaca al
Quran yang sangat baik. Implikasinya, perbedaan pada aspek kejiwaan dan fitrah merupakan hal yang sangat
mendasar untuk diketahui dan dipetakan secara pasti oleh guru. Di mana peta
tersebut dijadikan modal awal dalam merancang kegiatan pembelajaran.[10]
Adapun apabila dilihat
dari kepentingannya, pendidikan dibagi menjadi dua, pertama
pendidikan dari segi kepentingan individual
peserta didik.
Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Abuddin Nata, selain memperhatikan peserta
didik dari segi perbedaan bakat, kemampuan, kecenderungan, dan sebagainya, guru
juga harus membantu individu dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan “kecerdasan” dirinya. Dari
itu diharapkan peserta didik dapat mengatasi
masalah di kehidupannya kelak.[11]
Kedua, dari segi kepentingan masyarakat.
Pelaksaanan pendidik dilakukan
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga setiap gagasan,
pemikiran, nilai, budaya, agama, ilmu pengetahuan yang disalurkan ke peserta
didik harus mendapat pengakuan masyarakat dan negara. Dengan
kata lain masyarakat dan negara sangat berperan dalam mengintervensi kegiatan
pendidikan. Yakni, untuk menciptakan generasi yang siap untuk mengisi
ruang-ruang kosong bidang pengetahuan yang sangat dibutuhkan masyarakat.[12]
Konsep
pendidikan yang memadukan antara kepentingan individual denga kepentingan
masyarakat didasarkan pada asumsi bahwa individu selain memiliki kebebasan
berkreativitas juga dibatasi oleh kebebasan sosial. Oleh karena itu setiap
peserta didik selain bisa menentukan pilihan-pilihannya, mereka juga harus
tunduk kepada pilihan yang diakui dan dibutuhkan bersama. Dengan kata lain Islam memandang bahwa kedua kepentingan tersebut harus berjalan berdampingan
dan seimbang. Selain juga menggunakan nilai-nilia yang berasal dari Tuhan yang
diyakini benar dibandingkan nilai-nilia yang diciptakan manusia. oleh
karena itu, dalam menyikapai apa-apa yang berasal dari manusia adalah dimulia
dengan sikap meragukan terlebih dahulu kemudian memecahkan keraguanya itu
dengan bukti ilmiah. Sedangkan menyikapi yang berasal dari Tuhan dimulai dari
menyakinnya, kemudian memperkuatnya dengan pemahaman manusia tentang ayat-ayat kauniyah.[13]
4.
Lakukan analisis teoritik dan praktik tentang inovasi pendidikan di
Indonesia, berdasarkan hasil analsis
saudara, saudara diminta untuk merumuskan
beberapa permasalahan yang paling
mungkin untuk dapat diangkat sebagai usulan proposal penelitian bidang Inovasi pendidikan dan Pembelajaran PAI di TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan PT di Lembaga Pendidikan Islam. Untuk menjawab masalah ini,
saudara di minta untuk mengemukakan: (a)
judul penelitian, (b) latar belakang masalah, (c) rumusan masalah, dan (d)
metode yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah dan kerangka teoritiknya.
Jawab: Analisis teoritik dan praktik serta usulan proposal
penelitian ini terkait dengan teori multiple
intelligences yang dikaitkan dengan PAI. Lebih rinci berikut ulasannya:
Pembelajaran PAI merupakan kegiatan untuk
mencerdaskan peserta didik. Oleh karena itu, dalam konteks pembahasan ini
hal-hal penting yang perlu diperhatikan sebelum diadakan pembelajaran adalah
seperti apa kondisi (latar belakang) peserta didik, sejauh mana kemampuan guru
dalam mengakomodasi keberagaman peserta didik, dan bagaimana cara menanamkan
nilai-nilai Islam kepada peserta didik sesuai dengan kondisi “keberagaman”
peserta didik. Untuk lebih jelasnya maka penulis gambarkan skema di bawah ini:
Mazhab Kecerdasan Ras/kulit Ekonomi Kultur
(Organisasi)
Gambar 2.2: Posisi peserta didik dalam bingkai Pendidikan Agama Islam
Dari gambar tersebut dapat dipahami bahwa
pembelajaran PAI bukanlah materi ceramah, materi latihan, dan materi diskusi
saja. Namun, pembelajaran PAI adalah seni guru dalam mendoktrin peserta didik
agar fanatik dan setia sampai akhir hayat terhadap agama Islam. Dengan kata
lain, dalam pembelajaran PAI tidak ada upaya mencegah peserta didik dalam
mengembangkan bakat, potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik untuk menjadi
manusia yang ahli di bidang-bidang tertentu (senyampang tidak bertentangan
dengan nilai-nilai Islam).[14]
Lebih lanjut, menurut Thomas R. Hoerr bila
direnungkan sesungguhnya teori pembelajaran berbasis multiple intelligences bisa menjadikan dunia pendidikan menghargai
keanekaragaman (kecerdasan) siswa. Bahkan dimungkinan bisa mengenali keunikan
yang berbeda-beda pada setiap individu.[15] Walaupun pada
kenyataannya penerapan teori multiple
intelligences membutuhkan
biaya yang tidak sedikit (perlu dana tambahan), diantaranya diperlukan untuk
membeli kamera video (CCTV)
di setiap
ruang kelas dan mengundang seniman aneka bidang dan kebutuhan-kebutuhan
penunjang lainnya.[16]
Masih menurut
Thomas R. Hoerr, tidak ada cara tunggal dan yang benar (harus sama)
untuk penerapan teori multiple
intelligences (ini merupakan sisi unik, sekaligus
kelemahannya) pada sekolah-sekolah. Setiap
praktisi pendidikan dalam menggunakan teori tersebut
harus dapat memperhatikan keunikan konteks dan kultur sekolah mereka masing-masing.[17]
Berdasarkan analisis penulis hal tersebut dapat
dicontohkan pada kasus di sekolah atau ruang kelas tertentu
menyetel musik sambil belajar bisa menjadikan
siswa berkembang kecerdasaan matematisnya. Namun disekolah lain itu akan bisa
menyebabkan kekacauan luar biasa. Artinya,
titik tekan teori multiple
intelligences
sesungguhnya harus didasakran pada
keadaan masing-masing sekolah dan masyarakat sekitar,
sehingga setiap sekolah mempunyai cara sendiri dalam menerapkannya.
Dapat dikatakan
dalam penerapan teori multiple
intelligences, sungguh bukanlah perkara mudah dan remeh temeh. Baik dari
segi pemahaman teorinya maupun dari segi penerepannya. Hendaknya guru harus
memperhatikan secara mendalam tentang hakikat dari teori tersebut. Oleh karena itu penulis akan memaparkan saran Howard Garner kepada
para guru sebagai bahan kajian yang cukup penting. Hal tersebut sebagaimana
yang dikutip oleh Valerie Strauss, ada tiga hal utama yang harus diperhatikan
yaitu:
g)
Mengadakan pembelajaran secara individual sebanyak
mungkin. Dengan mempelajari sebanyak mungkin dan bila perlu secara detail terhadap
setiap peserta didik. Mengajar setiap peserta didik dengan cara yang menurut
mereka nyaman dan bisa belajar dengan efektif. Tentu hal ini akan lebih mudah
bila dilakukan dengan kelas yang lebih kecil.
h)
Melakukan metode pengajaran yang beragam. Mengajarkan
materi penting dalam berbagai cara dan menggunakan berbagai bahan misalnya
melalui cerita, karya seni, diagram, role play dan sebagainya. Dengan cara itu
diharapkan peserta didik dapat belajar dengan cara yang berbeda.
i)
Tinggalkan atau kesampingkan istilah “gaya belajar,”
karena ini akan membingungkan orang lain dan tidak akan membantu guru ataupun
peserta didik.[18]
Bila bagian
terpenting (pokoknya) atau bahkan seluruh dari teori tersebut dapat dilakukan
maka bisa dikatakan inovasi[19]
terhadap pembelajaran PAI telah berhasil. Dengan itu maka diharapkan kekuatan
intelektual Islam[20]
bisa mendapat masukan yang berarti. Namun bila belum hendaknya perlu diadakan
pembaharuan di bidang lain yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak
langsung agar penerapannya bisa optimal. Sebagaimana menurut Agus Efendi bahwa
dalam
dunia pendidikan untuk membangun tradisi dan budaya berfikir
filosofis dan ilmiah tentu tidak mudah. Diperlukan sistem pendidikan dan
pembelajaran yang demokratis, sistem kurikulum yang inovatif-kreatif serta
transformatif-responsif terhadap perubahan masyarakat,
sistem pelatihan berpikir yang sistematis, buku ajar yang komunikatif-presuasif
serta efektif-inovatif, tradisi intelektual serta sistem sosial politik yang
demokratis, dan sistem budaya yang mendukung keunggulan serta menghormati
HAM-spritualistik-religius.[21]
Pernyataan tersebut
dapat dipahami bahwa, bila pembelajaran PAI secara mutlak (tanpa filter)
menerapkan teori multiple intelligences
maka dampaknya adalah harus ada perubahan (pengembangan) materi, metode
pembelajaran, sarana-prasarana, adanya team
teaching, dan perubahan lainnya yang
relevan dengan teori tersebut. Perubahan tersebut tidak berlaku bagi tujuan
khusus PAI, yaitu untuk menamkan nilai-nilai Islam kepada peserta didik. Namun
demikian, dalam kondisi ini prakteknya masih sangat sulit untuk menanamkan
nilai-nilai Islam pada materi, gaya belajar, dan bahan ajar pembelajaran PAI
yang dipadukan dengan teori multiple
intelligences.
Usulan Proposal Penelitian Pengembangan Pembelajaran PAI
a) Judul penelitian: Pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis Multiple Intelligences.
b) Latar belakang
masalah: Kajian tentang “kecerdasan beragam”[22]
atau yang sering disebut dengan multiple
intelegences[23]
tidak akan pernah lepas dari pencetusnya, yaitu Howard Earl Garnder.[24]
Berkat teori tersebut paradigma baru pada bidang pendidikan dan psikologi
tentang kecerdasan telah bersemi (mendapat pengakuan). Pada akhirnya revolusi
paradigma tentang teori kecerdasan
telah terjadi. Teori ini ciri utamanya adalah mendudukan semua peserta didik
berdasarkan jenis kecerdasan yang dikuasainya adalah sama derajatnya satu sama
lain. Asumsinya, setiap siswa punya bidang kecerdasan masing-masing dan guru
tidak boleh mengarahkan siswa hanya pada satu bidang kecerdasan saja. Oleh
karena itu, klasifikasi murid berdasarkan tes kecerdasan IQ sebagai
satu-satunya tolok ukur tidaklah tepat.
Anggapan yang selama ini terjadi adalah manusia (peserta didik) dikatakan
hanya memiliki satu jenis “kecerdasan” dan yang dapat diukur melalui tes
standar saja. Namun, Howard memperkirakan pada manusia punya 7 hingga 10
kecerdasan utama yang berbeda antara satu individu satu dengan yang lain.[25]
Ini artinya, tidak ada dalam lingkungan manapun bahwa peserta didik yang satu
lebih cerdas dari peserta didik lainnya. Namun, yang ada adalah peserta didik
mana yang sudah menemukan bidang kecerdasannya serta mana yang belum menemukan.
Bahkan dimungkinkan ada peserta didik yang menemukan atau cenderung punya lebih
dari satu bidang kecerdasan yang ia kuasai.
Masalahnya, sebagaimana yang telah umum diketahui dalam
beberapa dekade para pakar
“kecerdasan” utamanya dalam dunia pendidikan hanya menggunakan tes inteligence quotient (IQ) sebagai pijakan satu-satunya dalam
“menilai” kemampuan (kecerdasan) anak. Bahkan juga digunakan sebagai bahan
utama dan rujukan satu-satunya dalam memprediksi masa
depan anak. Padahal, utamanya untuk zaman yang serba kompleks sekarang ini, faktor-faktor (kecerdesan) lain sebenarnya juga bisa
menjadi andil bagi penentu dasar masa depan anak kelak. Dengan kata
lain, di zaman yang serba butuh aspek “kompleksitas” ini, IQ saja tidak akan
pernah bisa menjadi solusi masalah kehidupan bagi
pribadi maupun kehidupan masyarakat.
Dunia sekarang ini utamanya pada negara miskin dan
berkembang dilanda ledakan jumlah penduduk. Hal tersebut berakibat pada minimanya lapangan kerja, bertambahnya polusi udara, rawan
penyakit menular, dan perkembangan IPTEK yang tak terkontrol menyebabkan
masyarakat tidak hanya membutuhkan atau diharuskan mengembangkan satu jenis
kecerdasan saja. Artinya, semakin beragamnya potensi
kecerdasan yang dimiliki lingkungan masyarakat maka kemungkinan besar segala
aspek kehidupan masyarakat tersebut akan terpenuhi. Asumsinya, apapun yang
dibutuhkan oleh masyarakat maka generasi-generasi yang punya kecerdasan beragam
mampu untuk memenuhi dan mengatasinya sesuai dengan bidang kecerdasan
masing-masing. Misalkan, dengan kecerdasan naturalnya seseorang akan mampu
mengatasi pencemaran udara dengan mengadakn program penghijauan dan bisa juga
menciptakan vaksin bagi penyakit tertentu untuk mencegah penularan. Dengan
kecerdasan musikalnya seseorang akan mampu menciptakan dan memainkan lirik lagu
yang menginspirasi dan menggugah emosi pendengarnya untuk semangat menjalani
hidup.
Dapat dikatakan bahwa teori milik Gardner telah
merangsang dunia pendidikan di berbagai negara untuk melakukan inovasi. Baik
yang dilakukan secara utuh (totalitas) maupun diadakan filter dan
pengembangan-pengembangan yang disesuikan dengan nilai di negera masing-masing
(invention). Inovasi dilakukan
biasanya untuk memenuhi “kerinduan” masyarakat dalam merasakan sesuatu yang
baru sehingga bisa meninggalkan model (paradigma) lama. Dengan kata lain, dalam
setiap inovasi pasti akan mendapat respon berbeda-beda dari masyarakat. Ada
yang menolak secara mutlak, ada yang mendukung secara mutlak, ada yang
memfilter dengan ketat, dan ada yang menanggapinya secara biasa-biasa saja.
Bila diacu pada keadaan beberapa lembaga pendidikan di Indonesia ini
akhir-akhir ini –utamanya untuk lembaga pendidikan berbentuk madrasah yang
mulai mendapat tempat di masyarakat-- tidak sedikit yang memiliki jumlah
peserta didik banyak. Namun, kenyataannya jumlah peserta didik tersebut tidak
diimbangi dengan sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini tentu menyebabkan
pengelola lembaga harus ekstra keras mengerahkan otak untuk mengoptimalkan
kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain jumlah peserta didik yang banyak
merupakan sebuah potensi sekaligus menjadi masalah di tengah minimnya anggaran,
sarana, dan prasarana. Adapun nilai potensinya adalah dengan jumlah yang banyak
maka kemungkinan tingkat beragamnya jenis kecerdasan peserta didik yang
diterima di lembaga pendidikan pun juga semakin tinggi. Artinya, pada materi
serta strategi pembelajaran tertentu peserta didik dapat dipilah
(dikelompokkan) berdasarkan jenis kecerdasan tertentu[26]
dengan jumlah (populasi) yang cukup ideal untuk pembelajaran.
Dalam mengahadapi keadaan tersebut, maka dipandang perlu untuk mengadakan
sebuah pengembangan produk pembelajaran yang mampu memberikan konstribusi
positif. Diharapkan dengan pengembangan tersebut –khususnya bagi pembelajaran
PAI—mampu menjadi daya tarik siswa untuk lebih termotivasi dalam mengkaji
ajaran Islam. Tidak hanya ajaran simbolis, ibadah (ritual), dan hafalannya saja
namun juga terjadi internalisasi nilai-nilai esensialnya. Dengan demikian, PAI
tidak hanya dipahami dan difungsikan sebagai mata pelajaran keilmuan. Namun
lebih dari itu, PAI mampu memberikan “kesadaran” psikologis peserta didiknya
supaya lebih semangat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni. Selain itu desain produk yang ditawarkan tersebut juga harus lebih
efektif dan efisien dari pada produk lama, sehingga bisa dijadikan dasar untuk
melakukan penelitian tindak lanjut melalui research
and devolopment.
Kenyataannya, selama ini pembelajaran PAI pada umumnya
masih didasarkan pada dua jenis kecerdasan saja yaitu linguistik-verbal dan
intrapersonal. Yakni, peserta didik diasumsikan “pasti” semuanya menguasai
bidang kecerdasan linguistik-verbal dan intrapersonal.[27]
Walaupun sering kali –utamanya pada kelas yang jumlah peserta didiknya banyak–
pada hakikatnnya tidak demikian. Di dalam kelas terdapat kecerdasan beragam
yang masing-masing dimiliki oleh mereka. Akibatnya peserta didik yang tidak
memiliki jenis kecerdasan tersebut akan merasa tertekan. Hal tersebut bisa jadi
karena ia tidak punya “kecerdasan” tertentu seperti teman lainnya yang mampu
menguasai materi tertentu dengan cepat. Dengan kata lain, untuk memahami materi
tertentu seorang peserta didik kadangkala butuh strategi pembelajaran khusus.
Misalnya ketika ia merasa lemah dan tak menguasi materi dalam menghafal dan
membaca al Qur’an, praktik ibadah, memahami materi sejarah Islam, dan memahami
materi-materi yang terlalu dogmatis.
Padahal seharusnya, pola pembelajaran PAI harus mengakomodasi
semua jenis kecerdasan tersebut. Hal ini dilakukan selain untuk “memanusiakan”
dan memberikan “hak” kepada peserta didik untuk berkembang dengan optimal
sesuai bidang kecerdasannya juga untuk mengoptimalkan misi dakwah Islam.
Asumsinya, bila peserta didik mampu “berprofesi” sesuai dengan kecerdasan
dominannya misalnya menjadi wartawan (linguistik), penemu teknologi baru
komputer (logis-matematis), penyanyi (musik), pelukis (spasial-visual),
politikus (interpersonal), motivator atau psikolog (intrapersonal), dan ahli
lingkungan hidup (naturalis) maka semuanya dilakukan atas dasar atau dimasukkan
misi dakwah Islam di dalamnya. Dengan kata lain, PAI harus memberikan ruang
aktualisasi diri[28]
peserta didik untuk “melampiaskan” jenis kecerdasan peserta didik. Pada
akhirnya, nilai-nilai Islam tidak hanya dipersempit pada jenis kecerdasan
linguistik-verbal dan intrapersonal akan tetapi pada semua jenis kecerdasan.
Dari semua pemaparan di atas maka penulis mengasumsikan
bahwa teori Gardner cukup relevan untuk diterapkan dalam pembelajaran PAI meski
ada beberapa hal yang masih perlu dikritisi. Teori ini akan sangat membantu
peserta didik, membantu guru, membantu sekolah, dan membantu misi dakwah Islam
untuk membentuk generasi Islam yang unggul sesuai dengan bidang kecerdasannya.
Asumsinya, bila seseorang berprofesi atau mendalami sesuatu yang terkait dengan
bidang kecerdasan yang ia punyai maka ia akan cenderung bisa menikmati. Bahkan
sangat dimungkinkan mampu menghasilkan nilai yang jauh lebih “berharga” apabila
ia harus berada pada “zona” profesi di luar bidang kecerdasannya. Oleh karena itu, dalam pengembangan pembelajaran
PAI berbasis multiple intelligences
ini penulis tidak membuat gagasan baru (discovery)
tetapi melakukan pengembangan dari teori Gardner (invention).
c) Rumusan masalah: berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana strategi pembelajaran PAI berbasis multiple intelligences?
2.
Bagaimana media pembelajaran PAI berbasis multiple intelligences?
3.
Bagaimana sistem evaluasi pembelajaran PAI berbasis multiple intelligences?
d) Metode penelitian: Penelitian ini berjenis research and
development. Mengenai penelitian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Menurut Borg & Gall
sebagaimana dikutip Setyosari menjelaskan bahwa penelitian pengembangan adalah
“suatu proses yang dipakai untuk mengembangkan dan mevalidasi produk
pendidikan.”[29]
Dengan demikian, R&D bertujuan menghasilkan produk, sehingga perlu diadakan
analisis kebutuhan secara mendasar dan menyeluruh. Hal ini berarti pembelajaran
yang diampu oleh guru di kelas tidak hanya terpatok pada “juklak” dan “juknis”
semata tapi juga ada pengembangan “produk” pendidikan yang jauh lebih efektif.[30]
Bila dikaitkan dengan “desain produk” maka dapat dipahami bahwa penelitian
pengembangan merupakan proses “penyempurnaan” desain produk yang ditawarkan.
Adapaun langkah-langkah untuk mencapi kesempurnaan tersebut adalah sebagai
berikut:[31l
Adapun langkah-langkah R&D menurut Sugiyono sebagaimana dikutip oleh
Putra adalah sebagai berikut:[32]
| ||||||||||||
Dari kedua bagan tersebut dapat dipahami bahwa dalam melakukan penelitian
pengembangan dari awal hingga akhir membutuhkan langkah-langkah yang cukup
spesifik. Di mana untuk gambar di atas lebih cenderung bersifat prosedural.
Artinya, langkah-langkah tersebut harus dilakukan bertahap dari yang bersifat
sederhana ke arah yang lebih kompleks. Dapat dikatakan bahwa R&D merupakan
penelitian yang sangat berbeda dengan jenis penelitian lainnya. Secara detail
putra mengidentifikasi beberapa identitas utama yang ada pada R&D yaitu:
1) Penelitian yang punya ciri dan tujuan spesifik,
yakni menggunakan metode campuran, bersifat multi atau interdisipliner,
bertujuan inovasi, dan mencaritemukan kebaruan, efektifitas, produktifitas, dan
kualitas.
2) Penelitian yang dilakukan secara bertahap,
berkelanjutan, terstruktur, dan terukur. Terdapat beberapa tahapan panjang
dalam merumuskan, menguji, dan menyebarluaskan temuan baru.
3) Penelitian yang berbeda dengan “penelitian dasar”
dan “penelitian terapan/praktik.” Akan tetapi tidak dapat dipisahkan karena
R&D adalah pengembangan lebih lanjut dari hasil dua jenis penelitian
tersebut.
4) Penelitian yang dimaksudkan untuk tujuan praktis
yang memiliki kegunaan langsung dan bersifat operasional. Oleh karena itu,
R&D fokus pada masalah, tantangan, tuntutan, potensi, dan kebutuhan nyata
masyarakat.
5) Penelitian yang perlu waktu cukup lama disebabkan
proses dan tahapan yang panjang. Implikasinya, R&D butuh banyak dana,
perhatian, dan kesabaran.[33]
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa research and development adalah penelitian yang terfokus pada
inovasi produk yang dilakukan dengan prosuder tepat dengan harapan diperoleh
kualitas dan efektifitas yang tinggi dalam memecahkan permasalah. Hal ini
berarti produk baru atau produk dari hasil pengembangan tersebut harus memiliki
kemanfaatan yang jauh lebih baik. Salah satu cirinya adalah produk tersebut
memiliki “efek samping” negatif jauh lebih sedikit dari pada produk yang lama.
Dalam konteks dunia PAI, penelitian pengembangan bukan untuk tujuan komersial
atau industri.[34] Akan
tetapi pengembangan pembelajaran PAI dilakukan untuk memperoleh generasi Islam
yang unggul. Asumsinya, dengan dana dan prasarana yang sama tapi bisa
menghasilkan kualitas muslim yang brilian dengan menggunakan produk baru yang
ditemukan atau yang telah dikembangkan.
Daftar
Rujukan
“Kamus Besar Bahasa
Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI
Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad
21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
Goleman, Daniel.
“Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional
Intelligence, terj. T. Hermaya.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Hoerr, Thomas R. “Buku Kerja Multiple
Intelligences: Pengalaman
New City School di St. Louis, AS dalam
Menghargai Aneka Kecerdasan Anak,” dalam Becoming a Multiple Intelligences School, terj. Ary Nilandari.
Bandung: Kaifa, 2007.
Muhaimin, dkk. Paradigma Pendidikan
Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Nata, Abuddin. Perspektif Islam Tentang
Strategi Pembelajaran.
Jakarta: Kencana, 2009.
Putra, Nusa. Research & Development Penelitian dan
Pengembangan: Suatu Pengantar.
Jakarta: Rajawali, 2012.
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana, 2007.
Semiawan, Conny R. Catatan Kecil Tentang Penelitian dan
Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
Kencana, 2008.
Setyosari, Punaji. Metode Penelitian Pendidikan dan
Pengembangan. Jakarta: Kencana,
2012.
Valeria Strauss, “Howard
Gardner: ‘Multiple Intelligences’ are not ‘Learning Styles’,” http://www.washingtonpost.com/blogs/answer-sheet/wp/2013/10/16/howard-gardner-multiple-intelligences-are-not-learning-styles/?tid=auto_complete, 16 Oktober 2013, diakses 23
Oktober 2014.
Zainuddin, M. Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab. Malang: Uin Malang, 2010.
[1]Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata ikhtisar
punya arti “pemandangan secara ringkas (yang penting-penting saja): ringkasan.”
Lihat, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[2]Dalam Kamus
Besar Bahasa Indoneisa kata komentar punya
arti “ulasan atau tanggapan atas berita, pidato, dsb (untuk menerangkan atau
menjelaskan).” Lihat, “Kamus Besar Bahasa,” didownload
tanggal 21 April 2014.
[3]Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan
Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ
(Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 22-23.
[4]M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab
(Malang: Uin Malang, 2010), hlm. 34-35.
[5]Flow adalah perasaan
kehilangan kesadaran ruang dan waktu, menurut Daniel Goleman “flow
adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaranmenyatu
dengan tindakan.” Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan
Emosional,” dalam Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 127. Lebih lanjut menurut
Gadrner, flow dan keadaan positif yang mencirikannya sebagai salah
satu cara paling sehat untuk
mengajar anak-anak, memberi motivasi mereka dari dalam diri bukannya dengan
ancaraman atau iming-iming. Dengan kata lain, guru harus menggunakan keadaan
positif anak-anak untuk membuat mereka tertarik mempelajari bidang-bidang di
mana mereka dapat mengembangkan keahlian.
Flow merupakan keadan batin yang menandakan seoarng anak sedang
tenggelam dalam tugas yang cocok. Anak didik harus menemukan sesuatu yang
disukainya dan menekuninya baik-baik. Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 132.
[6]Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2007), hlm. 101-102.
[7]Thomas R. Hoerr, “Buku Kerja Multiple Intelligences: Pengalaman New City
School
di St.
Louis, AS dalam Menghargai Aneka Kecerdasan Anak,” dalam Becoming a Multiple Intelligences School, terj. Ary Nilandari (Bandung: Kaifa, 2007), hlm. 7.
[8]Muhaimin, dkk. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), hlm. 192.
[9]Kita temui ada anak yang secara afektif sangat bagus
(sopan santun) dan tidak banyak tingkah tapi secara kognitif sangat lemah. Ada
pula anak yang secara kognitif bagus (nilai ulangan bagus) tapi secara
psikomotorik (aktivisas fisik) sangat lemah.
[10]Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana,
2009) hlm. 110-111.
[11]Ibid.,hlm. 147.
[12]Nata, Prespektif
Islam Tentang, 148.
[13]Ibid., hlm.
151-152.
[14]Teori Garner bila tanpa difilter untuk diterapkan diIndonesia berimplikasi
pada pemberian status yang leluasa dan sebebas-bebasnya kepada para peserta
didik untuk mengembangkan diri. Padahal kebebasan seperti itu dalam konteks
pendidikan di Indoneisa pada saat ini sangat tidak mungkin diterapkan. Lebih
dikawatirkan menurut Imam Bawani dalam penjelasan di perkuliahan S3 PAI BSI
Angkatan ke-2 bahwa status guru sebagai pendidikan akan mengalami penurunan
nilai. Guru hanya dipandang sebagai pembantu (alat) bagi siswa untuk mencapai
kesuksesan. Guru hanya dinilai sebatas sebagai fasilitator untuk memuliakan
anak. Padahal dalam Islam status guru sebagai pendidik memiliki peran yang
sangat penting, salah satunya adalah sebagai suri tauladan. Dengan kata lain,
bila teori “kebebasan” ini dilaksanakan secara penuh maka posisi guru secara
nilai akan lebih rendah dari pada peserta didik.
[15]Thomas R. Hoerr, “Buku Kerja Multiple Intelligences:
Pengalaman New City School di St.
Louis, AS dalam Menghargai Aneka Kecerdasan Anak,” dalam Becoming
a Multiple Intelligences School, terj. Ary Nilandari (Bandung: Kaifa, 2007), hlm. 22.
[16]Hoerr, “Buku Kerja Multiple,” hlm. 27.
[17]Hoerr, “Buku Kerja Multiple,” hlm.
16.
[18]Valeria Strauss, “Howard Gardner: ‘Multiple
Intelligences’ are not ‘Learning Styles’,” http://www.washingtonpost.com/blogs/answer-sheet/wp/2013/10/16/howard-gardner-multiple-intelligences-are-not-learning-styles/?tid=auto_complete, 16 Oktober 2013, diakses 23 Oktober 2014.
[19]“Negara
yang kemampuan inovasinya rendah akan sangat bergantung kepada negara yang
memiliki kemampuan inovasi tinggi, sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan
hak kekayaan intelektual.” Lihat, Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 47.
[20]Kekuatan intelektual Islam adalah kekuatan
yang berkaitan dengan kesadaran teologis (kepadatan ilahiah), kosmologis,
epistemologis, ilmu dan sains. Kekuatan islam juga terkait dengan masalah
pendidikan, belajara, SDM, budaya ilmu, kesucian, tanggung jawab, dan turunannya. Efendi, Revolusi
Kecerdasan Abad, hlm.
38.
[21]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 4.
[22]Dalam referensi lain adakalanya digunakan
istilah “kecerdasan ganda,”
“kecerdasan jamak,” “ragam kecerdasan,” dan “kecerdasan majemuk” sebagai
pengganti istilah multiple intelligences yang
digunakan oleh Gardner dalam mengembangkan teorinya..
[23]Teori Gardner awalnya hanya
mengidentifikasikan tujuh jenis
kecerdasan,
yaitu linguistik, logis-matematis, musik,
kinestetik-jasmani, spasial-visual, interpersonal dan intrapersonal. Ia kemudian menambahkan satu jenis kecerdasan lagi yaitu naturalis.
Ia juga mengatakan bahwa mungkin
saja ada beberapa kecerdasan lain lagi. Walupun seiring waktu, teori "multiple
intelligences" ini entah
bagaimana bisa menjadi identik dengan konsep "gaya belajar" meskipun kedua hal tersebut sangat berbeda. Lihat, Strauss, “Howard Gardner: ‘Multiple,” diakses 23 Oktober
2014.
[24]Howard Gardner adalah tokoh revolusioner dunia pendidikan
dan psikologi. Bukunya Frames of Mind:
The Theory of Multiple Intelligences (terbit 1983) telah mengguncang
paradigma kecerdasan yang lama. Sampai sekarang ini (Oktober 2014) ia masih
hidup. Bahkan masih aktif melakukan kegiatan ilmiah di dunia maya. Di internet
ia sering mem-posting pendapat maupun
kritikannya terhadap pelaksaan serta perkembangan Multiple Intelelligences
di berbagai negara.
[26]Untuk melakukan pemilahan perindividu berdasarkan
kecerdasan yang ia kuasai maka perlu dilakukan test tertentu agar diketahui
kecenderungan kecerdasan apa yang dimiliki peserta didik. Bahkan tak jarang
siswa memiliki kecenderungan kecerdasan lebih dari satu bidang hal ini
ditemukan pada beberapa lembaga pendidikan yang murni dan totalitas
melaksanakan teori multiple intelligences.
Namun, lembaga-lembaga tersebut tentu mengidentifikasi satu jenis atau bidang
kecerdasan yang paling menonjol yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik.
[27]Bila ini dianalogikan dengan “bakat” bawaan hewan, maka
guru mempresepsikan semua binatang adalah burung. Oleh karena itu, semuanya
diasumsikan punya kemampuan yang sama yaitu terbang untuk mencapai tujuan.
Padahal, kenyataannya tidak semua hewan bisa terbang. Ada jenis kemampuan lain
yang dimiliki oleh beberapa jenis hewan yaitu berenang, lari, melompat, dan
sebagainya. Kenyataannya guru PAI selama ini masih menghendaki ikan, harimau, dan
kodok supaya mempunyai kemampuan terbang. Dampaknya, ikan, harimau, dan kodok
tidak akan mampu mencapai tujuan yang dikendaki bersama karena mereka
disibukkan untuk mendalami dan menggunakan strategi yang di luar
“kecerdasannya.”
[28]Kenyataan yang terjadi secara umum dalam dunia
pembelajaran PAI adalah terjadinya penyeragaman siswa. Yakni, siswa
diseragamkan strategi pembelajarannya dan diseragamkan kemampuannya dalam
menghayati dan “mengamalkan” nilai-nilai Islam hanya dari dua sudut kecerdasan
saja. Siswa diajarkan atau diarahkan untuk menjadi muslim yang baik, tapi
ironisnya strategi pembelajarannya tidak menunjukkan sebagai muslim baik yang
mampu menghargai jenis kecerdasan yang dimiliki individu. Artinya, dalam suatu
materi tertentu strategi pembelajaran dan pemberlakuan siswa dengan siswa lainnya
disamakan tanpa memedulikan jenis kecerdasan yang masing-masing miliki. Pada
akhirnya guru PAI akan memfonis siswa yang tidak mampu membaca al Quran, tidak
mampu sholat, tidak memaki simbol-simbol Islam, dan kelemahan-kelemahan lain
sebagai individu yang bodoh dan tidak taat agama. Padahal, kesalahannya
terletak pada kegagalan guru dalam mengidentifikasi jenis kecerdasan apa yang
dominan dimiliki individu. Kemudian ditindaklanjuti dengan pendekatan atau
strategi apa yang cocok, sehingga materi-materi yang dianggap sulit tersebut
tidak menurunkan motivasi peserta dalam belajar PAI bahkan dengan strategi yang
tepat ia akan mampu memahami materi yang awalnya dianggap sulit menjadi lebih
mudah dicerna. Pada akhirnya peserta didik akan merasa puas karena telah
melakukan proses pembelajaran sesuai dengan jenis kecerdasannya.
[29]Punaji Setyosari, Metode
Penelitian Pendidikan dan Pengembangan (Jakarta: Kencana, 2012), hlm.
215.
[30]Conny R. Semiawan, Catatan
Kecil Tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 183.
[31]Penjelasan ibu Sutiah tentang langkah-langkah R&D
menurut Dick & Carey saat memberikan tugas UAS pada mahasiswa S3 PAI
semester I tahun 2014..
[32]Nusa Putra, Research
& Development Penelitian dan Pengembangan: Suatu Pengantar (Jakarta:
Rajawali, 2012), hlm. 125.
[33]Putra, Research
& Development Penelitian, hlm. 87-88.