BAB II
Situasai
Perdebatan Terkait Masalah Penafsiran
Terjemahan buku milik Abdullah Saeed, Intrepreting
the Quran: Towards a Contemporary aproach (New York: Routledge, 2006), hlm. 8-16.
Masalah
yang paling penting bagi umat Islam
sekarang ini adalah bagaimana menghubungkan “tafsir” al Quran pada masa lalu
dengan masa modern ini. Ini yang disebut dengan pembaruan pembahaman al Quran.
Yakni, umat Islam dituntut secara konsisten melakukan pemahaman ulang isi al
Quran untuk dikaitkan dengan masalah dan kebutuhan kontemporer. Terkait ide-ide
pembaruan tersebut, maka umat Islam terbagi atas tiga tipe dalam merseponnya. Pertama, memandang tidak perlu ada
pembaruan (modernisasi) terhadap pemahaman agama, karena hal itu sama dengan
mengancam kemapanan Islam selama 14 Abad. Kedua,
perlawanan terhadap pembaruan adalah tidak bijaksana, malah kontraproduktif
dengan kenyataan yang dialami umat Islam. Di satu sisi menampilkan Islam yang
(secara fisik) disesuaikan dengan kehidupan modern, tapi di sisi pemahaman
mereka tentang Islam tidak disesuaikan dengan kehidupan modern. Ketiga, mengahdirkan kembali wajah Islam
melalui pemahaman baru dengan menelaah ulang tradisi lama. Langkahnya adalah
mengabaikan pemahaman tentang Islam yang tidak relevan dengan masa modern, akan
tetapi setiap pembaruan yang dilakukan tetap tunduk pada etika, tujuan, dan
nilai-nilai Islam.
Secara
historis, tradisi penafsiran terhadap Quran telah dilakukan sejak zaman Nabi.
Bahkan di dalam Quran sendiri dikatakan bahwa fungsi Nabi tidak lain adalah
sebagai penjelas Quran. Sebagaimana yang diterangkan dalam Surah an Nahl ayat
44:
Kendati
demikian, ada perselisihan pendapat tentang apakah Beliau pernah memberikan
penjelasan isi seluruh al Quran. Kenyataannya, sedikit sekali catatan
penafsiran yang dilakukan Nabi. Hal ini terasa setelah wafatnya beliau, beberapa
di antara sahabat sangat memainkan peran penting dalam penjelasan dan
penafsiran Quran. Dalam memahami dan menafsirkan Quran, mereka punya sumber
rujukan, yaitu bagian dari teks Quran yang menjadi penjelas bagi yang lainnya,
perkataan dan perbuatan yang diterima dari Nabi, dan pemahaman mereka sendiri tentang apa maksud teks tersebut. Dasar
lainnya yang menjadikan sebagian sahabat kapabel dalam menafsirkan adalah
karena mereka terbiasa dengan bahasa Quran, mengetahui konteks sosial dari
turunnya wahyu, mengetahui cara berpikir nabi, dan mengetahui adat kebiasaan
(norma dan nilai) orang arab.
Pasca
generasi sahabat karena dalam situasi yang berbeda jauh, maka kebutuhan akan
penafsiran Quran meningkat. Struktur sosial para Tabi’in (generasi pasca
sahabat) heterogen. Serta mereka terlahir di lingkungan yang jauh dari
lingkungan Nabi sehingga rentan terjadi dinamika. Perkembangan selanjutnya,
pada masa Umayyah dan periode awal Abbasiyah (8 M) memberikan dukungan penuh
terhadap tradisi penafsiran. Bentuk penafsrian yang ditunjukkn pada zaman itu
adalah lebih condong pada penjelasan kata atau frasa secara singkat dalam Quran
yang maknanya tidak jelas dan ambigu, penjelasan
tentang
teks hokum, dan tentang kisah-kisah. Perkembangan
penafsiran terus hingga abad 9 Masehi. Pada
saat ini, tafsir sepenuhnya
telah menjadi disiplin ilmu, sehingga pada lambat laun
cakupan penafsiran menjadi lebih luas meliputi teologis, hukum, religio-politik, dan mistis (tasawuf).
Kendati banyakan bentuk tafsir, sebagian besar tradisi penafsiran tetap
konsisten pada pemaknaan teks.
Tafsir pada Masa Modern
Pada abad kedua puluh, ada geliat dari berbagai pihak umat Islam, baik ulama dan awam, untuk menemukan relevansi teks Alquran
dengan isu-isu kontemporer tanpa mengorbankan pesan keseluruhan Quran. Sarjana Muslim melakukan banyak upaya untuk menunjukkan
relevansi Quran untuk kehidupan kontemporer.
Tren modern dalam penafsiran Quran dapat dilihat
pada sosok Shah Waliullah di India (wafat
1762 M). Atas fenomena
kemuduran umat Islam di berbagi bidang di India maka Shah Waliullah bereaksi dengan gagasan dan gerakan reformasinya. Salah satu gagasannya adalah menolak taqlid serta menyuruh ijtihad dan diperlukan pemahaman atau
ide-ide segar dalam menafsrikan Quran. Ia bahkan menolak beberapa prinsip
penafsiran Quran, seperti harus melihat konteks (asbabul nuzul) dalam
menafsirkan. Ia berkesimpulan bahwa asbabul nuzul tidak berarti bahwa ayat ini hanya diturunkan pada
konteks itu dan harus ditafsirkan sesuai dengan konteks itu.
Selain
Shah Waliullah, di India Sayyid Ahmad Khan (wafat 1898 M) merupakan salah satu
ulama paling radikal dalm penafsiran Quran di zaman modern. Ia percaya bahwa umat Islam harus
mengkitisi kembali tradisi mereka, agar Islam tetap relevan dengan peradaban
modern yang tengah dibangun Barat. Adapun di Timur Tengah terkhusus Mesir,
kontak dengan peradaban barat melalui invasi Napoleon (1798-1801 M) menyebabkan
banyaknya pengaruh pemikiran barat yang masuk. Meski akhirnya ditentang oleh
ulama dan pelajar di lembaga al Azhar. Mereka mencurigai ada misi kolonialisme
tersembunyi di balik pemikiran-pemikiran baru yang dibawa oleh Barat.
Kendati
pada perkembangan selanjutnya, tetap muncul ulama reformis yaitu Muhammad Abduh (wafat
1905 M). Meski tak
seradikan Ahmad Khan, ia menggunakan pendekatan yang sangat baru (segar). Ia
mengkritik beberapa pendekatan dan teknik yang digunakan dlaam tafsir
tradisional. Bahkan menolak penekakan pada nahwu
saraf dan segi rertoris. Menurutnya, seharusnya penafisran harus melampaui
dari sekedar tata bahasa, linguistik, dan prinsip-prinsip dalam tradisi
penafsiran. Baginya, tafsir Al-Quran harus bertujuan
mengklarifikasi makna yang dimaksudkan - alasan yang mendasari dalam sistem
kepercayaan dan putusan - sedemikian rupa untuk menarik orang dalam menafsirkan
Quran.
Tantangan dari Pihak Kaum Tradisionalis
Selama abad kedua puluh, beberapa ulama dan pemikir modernis Islam berusaha untuk mengedepankan ide-ide baru dalam penafsiran Al-Quran. Utamanya tentang
etika hukum yang disesuaikan dengan kebutuhan
umat Islam. Ide-ide ini dipandang menyesatkan dan
provokatif oleh ulama tradisionalis, hingga sering dicap sebahai ide-ide anti-Islam. Bagaimanapun, menurut mereka tidak diperkenankan
menggunakan rasionalitas dalam memahami al Quran dan wahyu.
Pada
abad 20-an serangkaian penelitian tentang Islam telah dilakukan oleh para ilmuwan Barat seperti Ignaz Goldziher (mati 1921) dan Joseph Schacht (mati 1969).
Mereka berdua mempertanyakan keaslian dan keandalan sejarah Hadith. Menurut mereka, Hadith diklaim sebagai
hukum Islam yang tak berdasar, karena tidak ada
otoritas penjaga Hadith selama
berabad-abad. Beberapa penelitian lain juga menantang sejarah
kisah hidup Nabi yang dianggap tidak rasional. Kritik Islam
oleh sejumlah sarjana Barat tersebut memberikan
dorongan terhadap pandangan yang lebih kritis pada bagian dari sejumlah besar
intelektual Muslim abad kedua puluh. Langkah yang ditempuh adalah dengan membuat argumen yang kuat untuk pemeriksaan ulang
berbagai asumsi
disiplin ilmu dalam Islam, termasuk Hadith, hukum, tafsir dan bahkan teologi. Namun, ulama tradisionalis tetap tidak siap untuk terlibat dengan perang ide dan gagasan (rasionalitas), mereka mengklain studi tentang Islam dengan cara itu tidak relevan, sehingga siapapun yang menerapkannya
dianggap 'orientalis.'
.
Penekanan pada Rasionalitas
Sebuah cabang dari semangat kritis ini adalah
penekanan pada rasionalitas dalam penafsiran isi etika hukum Quran. Bagi banyak ulama, rasionalitas harus dilihat sebagai media penting melalui mana
firman Allah dibuat dipahami oleh pikiran manusia. Menurut Ghulam Ahmad Parvez (wafat 1985), seorang pemikir Muslim modernis, pandangan irasional atau mitologis yang sebelumnya dianggap berasal dari teks umat Islam pada
masa awal itu harus dibuang.
Salah
satu contoh penerapan pemahaman dengan
rasionalitas dalam penafsiran, telah dilakukan Abduh dalam penjelasannya tentang Q.S al Baqarah 63:
Kata
ditafsrikan sebagai gempa
bumi.
Hal senada juga disampaikan oleh Sayyid Qutb (Wafat 1966). Adapun kihas Quran tentang
Ashabul Kahfi, semut, burung, dan semancamnya dipahami secara rasional oleh
kalangan ulama Modernis. Misalnya, Ghulam
Ahmad Parvez dan Khalifa Abdul Hakim (wafat 1959).Sebagai
dasar penguat, Ahmad Khan percaya bahwa apa yang terkandung dalam Quran tidak bertentangan dengan alam. Mujizat tidak
harus dilihat sebagai mukjizat, tetapi sebagai fenomena yang mengikuti hukum
alam.
Hanya orang-orang waktu itu saja yang tidak dapat melihat sebagai bertindak sesuai dengan
hukum-hukum
alama. Bahkan, pendapat rasional yang lebih ekstrim
diungkapkan oleh Tantawi Jawhari dari Mesir (wafat 1940), menyatakan bahwa beberapa ide dalam Quran yang
berkaitan dengan pandangan dunia telah using. Misalnya, konsep tujuh langit dan tujuh bumi (yang banyak
disebutkan beberapa kali dalam Quran), menurutnya bagian dari pandangan dunia kuno yang dimiliki oleh
Sabian, peneletian
tentang untuk siapa angka tujuh sangat penting.
Kebutuhan Cara-cara baru
dalam memandang Quran
Kesadaran
umat Islam tentang pentingnya dalam pemikiran kritis atas penafsiran, utamanya
kandungan etika hukum, telah merekah pada tahun 1960-an. Gerbang kesadaran itu,
dimulai oleh Ismail al Faruqi yang dikenal dengan gerakan “islamisasi ilmu
pengetahuan.” Ia mengkritisi para “pembela Islam gadungan” yang terlalu
sederhana dalam menafsrirkan etika hukum Islam. Dia mengaggap bahwa mereka
tidak mengetahui bahwa di dalam kalangan umat Islam di zaman modern ini ada
sesuatu yang salah. Akhirnya, pandangan rasionalis yang diajaukan oleh Faruqi
serta pemikir modern lainnya pada tahun 1960-an mendapat pengaruh yang lebih
luas di kalangan umat Islam seluruh dunia. Kendati demikian, tentangan hebat
dari kaum tradisonalis tetap ada, bahkan juga semakin hebat.
Kritik pengurangan kandungan hukum Quran konten
hukumnya
Setelah
abad kesembilan, terutama pasca Syafi’i (wafat 820 M) terjadi perubahan cara fuqaha dalam mendekati Quran dan Hadith.
Mereka menekankan bahwa “hukum” harus
didasarkan
secara ketat pada teks, yaitu Al-Quran dan Hadith sehingga
rasionalitas ditolak mentah-mentah. Pada akhirnya, di zaman ini para Ulama
hanya fokus pada teks-teks hukum. Akibatnya, kandungan non-hukum dalam Quran bukan menjadi prioritas utama para ulama. Padahal,
penekanan pada isi hukum
tersebut telah mengabaikan fakta bahwa Quran memberikan sedikit ruang untuk hal-hal yang benar-benar legal. Pada
tingkat statistik, jumlah ayat
dengan konotasi ketat hukum sangat kecil, hanya berjumlah 80 hingga 100 kasus. Bahkan
dalam penilaian paling flesibel, kandungan hukum dalam Quran hanya mencakup porsi yang relatif kecil. Akibatnya,
pada generasi selanjutnya Quran hanya dinilai sebagai sumber hukum (dalam
artian fiqh) tanpa ada muatan lainnya.