Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Ringkasan Tentang al Quran menurut Pandangan Abdullah Saeed

Ringkasan Tentang al Quran menurut Pandangan Abdullah Saeed
Dalam buku: Abdullah Saeed, Intrepreting the Quran: Towards a Contemporary aproach (New York: Routledge, 2006), hlm. 34-41.


1.    Kebenaran al Quran sebagai Wahyu Illahi (bukan buatan manusia)

al Quran adalah firman dalam bentuk bahasa Arab yang yang berasal langsung dari Allah. Tanpa adanya campur tangan “kebahasaan” dari Nabi Muhammad, sehingga terbebas dari sifat kelemahan manusia. Sebagai jawaban bagi yang meragukan kebenarannya, maka al Quran menantang seluruh umat manusia untuk mendatangkan sebuah surat yang seumpama dengannya (QS. Yunus: 37-38 dan Qs. Huud: 13). Bahkan menantang untuk membuat satu surat saja yang semisal dengan al Quran (Qs. al Baqarah: 23). Selain hal tersebut, untuk menunjukkan kekokohan “isi,” Al Quran juga membenarkan adanya kitab-kitab sebelumnya, seperti Taurat, Injil, dan kitab-kitab yang diberikan pada Nabi keturunan Ibrahim lainnya. Serta al Quran mengklaim bahwa dirinya merupakan penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya. Dengan kata lain, al Quran memberikan banyak “ketegasan” baik melalui pernyataan logis (kebahasaan), tantangan, maupun bukti-bukti empiris kepada seluruh umat manusia bahwa ia adalah firman Allah.

2.    Wahyu dan lembaran teks (dokumen) al Quran

Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa setelah wafatnya Rasul, al Quran segera dibukukan dalam bentuk dokumen (lembaran) secara lengkap. Pendokumentasian dilakukan sejak awal, bahkan sesaat setelah kodifikasi dilakukan para sahabat yang menyaksikan proses penerimaan wahyu oleh Rasul saat hidup. Dari sini terdapat perselisihan, yaitu keraguan akan keontetikan al Quran. Di mana para Sahabat nabi dimungkinkan “lupa” pada salah satu teks atau bisa juga demi kepentingan “membuat” Quran dalam satu versi teks. Serta adanya argumen ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) sehingga tidak perlu dibukukan?  (Q.S al Baqarah: 106) Dengan kata lain ada “kemungkinan” bacaan yang dihilangkan yang tidak dianggap penting untuk dikodifikasikan. Namun demikian, bila “penghilangan” itu memang benar ada maka al Quran tetap melampaui sejarah. Ia adalah teks yang digunakan sebagi dasar bagi umat Islam.

3.    Sifat Dasar wahyu
Dalam al Quran, wahyu merupakan hak inisiatif Allah. Peran nabi Muhammad sebagai penerima wahyu tidak lebih dari penyambung “lidah.” Dalam wahyu, bahasa merupakan aspek terpenting sebagai perwujudan isi. Dengan kata lain, kata-kata dalam al Quran setara dengan wahyu lisan yang diberikan kepada Nabi. Tentu, nabi menerima wahyu melalui perantara ruh (bukan jasmani). Transmisi dari Jibril kepada nabi tersebut diteruskan dengan tindakan menghafal nabi atas ayat. Kemudian beliau membacakannya kepada para sahabat.




4.    Menuju pemahaman yang lebih luas tentang Wahyu

Wahyu diberikan kepada nabi Muhammad melalui perantara “roh” (malaikat Jibril). Di sinilah yang membedakan antara wahyu dengan hadith, yakni antara “firman” Allah dengan “sabda” Nabi. Selanjutnya, terdapat perbedaan mendasar yaitu apakah wahyu diturunkan berdasarkan konteks sosial atau tidak. Serta perbedaan-perbedaan lain, sehingga ada empat tingkatan perbedaan menganai hal tersebut:

a)   Tingkat 1: Allah-Lauh Mahfudz-Langit-Jibril:  Pada tingkat ini, wahyu adalah pada tingkat gaib (ghayb) dan tidak bisa diketahui. Di mana urutan turunnya wahyu adalah dari Allah lalu disimpan di Lauh Mahfud kemudian dibawa Jibril untuk disampaikan kepada Nabi. Dengan kata lain metode transmisinya berada di luar pengalaman manusia.
b)   Level 2: Roh(Jibril)-Pikiran Nabi -Konteks sosial sebagai asbabul nuzul: Ini adalah tahap terdapat sambungan antara 'Roh'  (Jibril) dengan nabi. Jibril membawa wahyu kepada alam pikir Nabi dengan cara yang diketahui Allah. Artinya, wahyu bisa diterima manusia sesuai dengan kadar kemampuan bahasanya. Oleh karena itu, wahyu dalam alam pikir Nabi dikomunikasikan dalam bahasa manusia - Arab (bahasa Nabi dan masyarakat).
c)    Level 3: teks-konteks- teks yang diperbesar: Wahyu menjadi teks (lisan atau tertulis) yang sangat berhubungan dengan konteks masyarakat Nabi. Teks diceritakan, dibacakan,  dikomunikasikan, mengajar, menjelaskan dan ditindaklanjuti. Dengan demikian, teks tidak lagi hanya teks. Sekarang 'diperbesar' [Text + Konteks Segera Aktualisasi]. Pada tahap itu kehadiran Nabi di masyarakat menjadikan jumlah teks menjadi banyak karena seringnya perjumpaan dengan masyarakat.
d)   Level 4: Teks tertutup -pemahaman komunitas-pemahaman konteks: Setelah wafatnya Nabi teks menjadi final dan menjadi tertutup. Penutupan “teks” dalam arti redaksinya dimulai dengan kematian Nabi (tidak ada lagi wahyu). Penutupan ini tidak berarti bahwa aspek-aspek tertentu dari wahyu (non-kenabian, nonlinguistik dan non-tekstual) juga tidak ada lagi. Dua aspek wahyu tetap jalan terus. Pertama, praksis yang dipandu oleh wahyu yang dimulai dengan Nabi dan masyarakat dan terus ditransmisikan ke masyarakat berikutnya. Kedua, bimbingan ilahi terus diberikan oleh Allah kepada mereka yang sadar akan Tuhan dan terus-menerus berusaha untuk menjaga dirinya sendirin dan komunitas mereka di jalan Allah.  Dalam pemahaman ini wahyu, konteks sosio-historis wahyu adalah elemen fundamental dari wahyu.

al Quran dan Tasbih (sumber gambar mosokasih)





Baca tulisan menarik lainnya: