Peran Pendidikan Agama Islam dalam Mengembangkan Ekonomi Berbasis Syari’ah di Indonesia
Kata Pengantar
Maha Puji Allah
SWT atas segala karunia-Nya
sehingga tugas kuliah ini bisa diselesaikan sesuai dengan target yang telah
ditentukan. Selain itu tak lupa bacaan salawat patut diucapkan untuk Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang
berpengaruh besar pada peradaban manusia hingga menjadi sekarang ini. Agama
Islam beserta ajaran-ajarannya yang sejuk, damai, menjadi kabar gembira, dan
sebagai pedoman hidup saat ini telah mengalami perkembangan yang pesat. Baik
dari segi kuantitas dan kualitas yang secara umum menggejala hampir di seluruh
dunia pada akhir-akhir ini. Semoga Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan
kandungan nilai-nilai luhur agama Islam juga semakin mengalami perkembangan
yang sangat pesat secara kuantitas dan kualitas di seluruh lembaga pendidikan
yang mengadakannya. Semoga pula, kemudian hari ditemukan banyak ilmuwan Muslim
yang taat beragama turut aktif dalam pengembangan ekonomi berbasis
syariah, khususnya di Indonesia. Aamiin!
Tulisan ini disusun salah satunya sebagai upaya pemberian solusi atas kesengkarutan sistem
pendidikan Islam sekaligus perekonomian negara kita yang masih terpisah-pisah (tidak utuh)
dari berbagai aspeknya. Salah satunya, dengan menggugah kesadaran dan kepekaan
umat Islam tentang pentingnya pengembangan PAI terutama dalam bidang ekonomi syari’ah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia pada
umumnya. Mengingat, selama ini PAI dianggap sangat lambat bahkan mengalami
stagnansi dalam merespon perubahan kehidupan masyarakat. Kalau pun ada
pengembangan, hal itu dilakukan ketika kondisinya sudah mengalami penurunan (ketertinggalan
jauh) dan terancam ditinggalkan masyarakat. Padahal, semestinya sebuah
pengembangan bukan dilakukan berdasarkan “keterpaksaan” atau reaksi terkejut
atas perubahan yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi, pengembangan dilakukan
juga untuk mengantisipasi atas perubahan yang diprediksi akan terjadi. Utamanya, perubahan
dalam dan tutuntan dalam bidang ekonomi
yang semakin dinasi sekaran ini.
Pembahasan tulisan ini didasarkan pada hasil pengembangan dari buku (teribatan LKiS dan
Deepublish) dan makalah yang pernah dibuat
oleh penulis. Dari beberapa tulisan itu, dilakukan penyeleksian terkati bahasan mana yang sekiranya dapat dimasukkan dalam kajian
tulisan ini. Kemudian, diadakan revisi (penambahan
dan pengurangan) terhadap isi makalah-makalah itu melalui
referensi-referensi yang lebih relevan.
Dalam penyelesaian tugas menulis ini tidaklah semudah pembalikan telapak
tangan. Banyak kendala teknis maupun nonteknis yang dihadapi oleh penulis.
Dengan penuh kesabaran, ketekatan, dan ketulusan hati penulis bersikeras untuk
tetap menyelesaikan tulisan ini menjadi sebuah paper. Selain itu, dalam penyelesaiannya
dibutuhkan kerja keras dan penuh kehatian-hatian karena ditargetkan bersih dari
bentuk kejahatan ilmiah. Salah satu yang utama ialah plagiarisme (mengutip
tanpa disebutkan sumber hasil kutipannya).
Sebagai penutup, penulis perlu ucapkan terima kasih
kepada Prof. Dr. H. Mohammad Djakfar, M.A dan Dr. H. M. Sa’ad Ibrahim, M.A
sebagai Dosen pengampu mata kuliah tugas ini. Dari arahan dan ilmu yang telah mereka berikan kepada
penulis bisa menjadi bahan inspirasi dalam merampungkan tugas menulis ini. Semoga
mereka berdua selalu diberi kesehatan dan kebahagian oleh Allah SWT, sehingga
selalu bisa memberikan ilmu-ilmunya kepada generasi muda seperti penulis.
Akhirnya, penulis menyadari akan keterbatasan kemampuan khususnya dalam
penulisan tulisan ini. Oleh karena itu, masukan dan saran dari pembaca sangat
kami butuhkan. Semoga makalah ini bisa membawa manfaat bagi siapapun yang
membaca. Aamiin
Malang,
24 April 2015
A.
Rifqi Amin
Daftar Isi
Kata Pengantar
Penulis
............................................................................... 1
Daftar Isi ...................................................................................................... 3
Abstrak ......................................................................................................... 4
Bab
I Pendahuluan ............................................................................ 5
A.
Latar Belakang
Masalah
............................................................ 5
B.
Rumusan Masalah dan
Kata Kunci ............................................. 7
Bab
II Pembahasan ............................................................................ 8
A.
Konsep Dasar ............................................................................ 8
1.
Pengertian
Pendidikan Agama Islam ................................... 8
2.
Tujuan Pendidikan
Agama Islam........................................... 11
3.
Pengertian Ekonomi
Syari’ah................................................. 13
4.
Urgensi
Pengembangan PAI dalam Bidang Pemberdayaan
Ekonomi Syari’ah 16
5.
Paradigma
Pengembangan Pendidikan Agama Islam dalam
Bidang Ekonomi Syari’ah 17
B.
Pergeseran
Paradigma PAI dari Kajian Ritual Menuju Kajian Fungsional (Studi Kasus
Pengembangan Ekonomi Syari’ah ...................................................................... 20
Bab
III
Penutup ................................................................................... 24
Daftar Pustaka ............................................................................................... 25
Peran Pendidikan
Agama Islam dalam Mengembangkan Ekonomi Berbasis Syari’ah di Indonesia
Abstrak
Pendekatan interdisipliner
dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Indonesia sekarang ini
menjadi sebuah kebutuhan. Terlebih, dalam konteks upaya meningkatkan
perkembangan ekonomi bangsa yang pada praktiknya masih jauh dari nilai-nilai
Ketuhanan. Selama ini PAI seakan-akan hanya terfokus pada masalah pendidikan,
padahal seorang pendidik pada masa ini memiliki tantangan yang berbeda.
Tantangan yang jauh lebih besar dari hari kemarin, sehingga seorang pendidik
PAI harus punya wawasan yang luas. Salah satu yang terpenting merupakan
tantangan yang menimpa sistem perekonomian umat Islam di bangsa ini. Di mana,
praktik-praktik riba, penyelewengan, kecurangan, dan sekulerisasi pada bidang
ekonomi masih kental dilakukan umat Islam sendiri. Hal inilah yang menjadi
tugas berat PAI untuk membentuk masyarakat Islam yang kelak mampu membuat
sistem ekonomi yang Islami. Bagaimanapun, PAI sebagai salah satu wadah “kaderisasi”
umat Islam berperan penting dalam pengembangan ekonomi berbasis syari’ah.
Mengingat, selama ini PAI dituding “membiarkan” dan “memaafkan” begitu saja
generasi Islam melakukan tindakan ekonomi yang sebenarnya di luar kaidah Islam.
Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menawarkan jawaban atas skeptisme dan
pesimisme terhadap PAI tersebut. Salah satu bahasannya adalah terkait peran PAI
dalam mengembangkan ekonomi umat Islam melalui pendekatan syari’ah.
Kata Kunci
Pendidikan Agama Islam, Pengembangan,
Ekonomi Syari’ah
BAB I
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Masalah
Negara
Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa serta
mayoritas penduduk di Indonesia adalah beragama Islam. Namun, sampai sekarang
belum jamak ditemukan ilmuwan-ilmuwan taat beragama (juga dari kalangan Islam)
yang mampu menciptakan dan mengembangkan kondisi perekonomian yang kondusif, penuh etis, dan
mensejahterakan secara rata hingga seluruh pelosok Indonesia. Bila pun ada, kebanyakan adalah
dari kalangan “umum” yang minim orientasi nilai keagamaan. Akibatnya, setiap apa
yang dilakukan (termasuk menyantuni karyawan atau masyarakat miskin) tujuannya
bukan didasarkan nilai-nilai moral (etika), terlebih lagi nilai-nilai
(keyakinanan) ketuhanan. Namun, semua “kebaikan” itu dilakukan tapi karena
ingin memantapkan dan menancapkan kekuasaan ekonominya di tengah-tengah
masyarakat.
Meninjau
kenyataan itu, bisa dikatakan bahwa secara praktis kondisi sistem
(infrastruktur, aturan, para pelaku, teknologi, barang, dan sebagainya) ekonomi
negara kita masih belum mengarah pada nilai-nilai Ketuhanan. Di mana, kegiatan
ekonominya masih belum “melindungi” kepentingan rakyat kecil. Terbukti, masih
banyak rakyat miskin yang masih tetap miskin hingga anak keturunannya tak bisa
menikmati kebutuhan pokok dengan layak dan bermutu. Masalah lain ialah terjadinya
kerendahan moral pada generasi muda bangsa Indonesia demi untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi. Yakni, mereka rela “menjual diri” via internet (prostitusi
online). Salah satu varian “perdagangan” manusia itu menunjukkan bahwa
pendidikan bangsa kita (utamanya pendidikan agama Islam) telah gagal mendidik
generasi muda untuk memahami bagaimana cara “berekonomi” yang baik.
Ketidakadilan
ekonomi seperti di atas merupakan gambaran kecil dari keadaan perekonomian
bangsa kita. Hal inilah yang menuntut peran pendidikan agar bisa mengeluarkan
keterpurukan moral-ekonomi generasi muda. Salah satunya, melalui PAI
diharaparkan bisa berperan dalam membentuk generasi muda yang memiliki akhlak
yang baik dalam menyukseskan kegiatan ekonomi yang di usahakan. Selain
memberikan nilai-nilai keislaman dalam berekonomi, PAI sepatutnya juga bisa
memberikan konstribusi secara nyata. Misalnya, para peserta didik (utamanya
yang dari ekonomi rendah) didorong untuk mengembangkan diri dalam mengembangkan
tingkat derajat ekonominya melalui kegiatan ekonomi yang diadakan oleh lembaga
pendidikan.
Selama
ini pendidikan Islam hanya difokuskan sebagai penjaga moralitas dan ketaatan
beragama umat. Keterlibatan pendidikan Islam dalam pengembangan ekonomi umat,
baik secara langusng maupun tidak langusng, belum dapat dirasakan. Bahkan, tak
jarang fungsi lembaga pendidikan Islam hanya sebagai “agen” penyalur ijazah
untuk mencari kerja, mendapat prestise, hingga untuk meneruskan ke jenjang
pendidikan selanjutnya. Bisa dikatakan, posisi lembaga pendidikan Islam
teraleniasi dengan kehidupan masyarakat sekitar. Hubungan dengan masyarakat tak
lebih dari hubungan transaksional, sehingga kepekaan lembaga pendidikan Islam
untuk mensejahterakan umat Islam di sekitarnya tidak dimunculkan. Alih-alih
untuk mensejahterakan masyarakat, untuk mensejahterakan diri sendiri saja
lembaga pendidikan masih kesulitan.
Menurut
Turner sebagaimana dikutip oleh Imam Suprayogo menjelaskan bahwa agama punya
fungsi kontrol sosial dan penciptaan kohesifitas (kesatupaduan) sosial.
Termasuk di dalamnya ialah terkait distribusi pengendalian harta kekayaan
(ekonomi). Di sinilah peran tokoh agama –dalam konteks Islam ialah
Kiai—memiliki peran penting. Di mana, sebagian besar Kyai oleh umatnya secara
normatif dipandang sebagai pewaris misi para nabi. Ia dianggap sebagai pemimpim
umat dalam segala bidang kehidupan, tak terkecuali masalah ekonomi yang menjadi
masalah pelik dan mendasar. Namun, kenyataannya peran Kyai yang paling menonjol
selama ini masih terbatas pada kegiatan pendidikan Islam (pesantrean, madrasah,
dan sekolah), pembangunan tempat ibada (majsid/mushola), dakwah (mubaligh), dan
adakalnya kut pergulatan politik (lokal maupun nasional). Bisa dikatakan, dalam
bidang pengembangan ekonomi keterlibatan kyai terkesan kurang menonjol.[1]
Dari semua
penjelasan di atas, dapat dismpulkan bahwa dalam bidang ekonomi, terutama
ekonomi syari’ah masih perlu digalakan lagi. Mengingat, selama ini kepentingan
ekonomi masyarakat kecil di sekitar lembaga pendidikan Islam masih belum begitu
diperhatikan. Bahkan, seakan-akan dipinggirkan bahkan bisa dikatakan dihambat
agar tidak terjadi peningkatan. Khawatirnya, kalau terjadi peningkatan ekonomi
pada mereka akan menyebabkan “perubahan” sosial yang merugikan lembaga
pendidikan.[2]
Misalnya, mereka tidak akan mau lagi menyekolahkan anaknya di lembaga
pendidikan Islam karena taraf hidupnya sudah tinggi sehingga anaknya
disekolahkan di sekolah favorit yang lokasinya juah dari rumahnya. Padahal,
salah satu bentuk ketakutan seperti itu sungguh tidak beralasan. Bukankah
tujuan pendidikan itu salah satunya ialah untuk merubah keadaan dari yang
kurang baik menjadi lebih baik. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi PAI
supaya juga memfokuskan mengembangkan diri dalam bidang pemberdayaan ekonomi
umat yang akan dibahas tuntas dalam tulisan ini.
2.
Batasan
Masalah dan Topik Pembahasan
Agar
pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu
batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan
yang dikerucutkan sebagai berikut:
a. Konsep dasar terkait peran PAI
dalam pengembangan ekonomi Syari’ah
b. Pergeseran Paradigma dari
Ekonomi Barat Menuju Ekonomi Syari’ah
c. Konsep Pendidikan Agama Islam
Berbasis Pengembangan Ekonomi Syari’ah di Indonesia
BAB II
Pembahasan
A.
Konsep Dasar
1.
Pengertian
Pendidikan Agama Islam
Menurut penulis apa yang dimaksud dengan
Pendidikan Agama Islam ialah “usaha mengkaji ilmu secara terencana untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia beriman, serta dengan sadar dan tulus
menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan yang sedang atau
akan ditempuhnya.”[3]
Definisi itu bila dikaitkan dengan pembahasan tulisan ini maka hal itu berarti
dalam segala lingkungan kehidupan yang peserta didik arungi kelak diharapkan
mampu memberdayakan dan mendukung dalam pengembangan ekonomi syari’ah.
Misalnya, ketika ia menjadi politikus, ia akan tetap teguh menjunjung tinggi
nilai-nilai dan cita-cita Islam. Salah satunya dengan membuat kebijakan yang
pro rakyat kecil, memberdayakan pengangguran, menarik pajak atau zakat kepada
orang-orang kaya untuk ditasarufkan kepadan yang berhak, dan sebagainya.
Penekanan terhadap kesadaran
dan ketulusan penerapan nilai-nilai Islam merupakan salah satu hal yang sangat
ditekankan. Di mana, kesadaran dan ketulusan tersebut meliputi penerapan nilai
ibadah atau penghambaan terhadap Tuhan dengan benar,[4] nilai humanisme, keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme
(nasionalisme),[5]
nilai semangat dalam pengembangan diri[6]
(ijtihad) maupun pengembangan masyarakat, dan nilai-nilai perdamaian dalam
kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik
aktif pada pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar
dalam pengimplementasian nilai-nilai universalisme ajaran Islam. Tentu nilai
tersebut terwujud secara konsisten dengan segenap logika serta alam pikirnya
dan alam spiritualitasnya.[7]
Sebagaimana pendapat Syukri Fathuddin bahwa hendaknya “... Pendidikan Agama
Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan
dapat dikatakan way of life seseorang.”[8]
Dari pengertian tersebut, salah satu kedudukan
PAI ditegaskan sebagai “usaha mengkaji ilmu.” Hal ini menandakan, kegiatan yang
ada padanya merupakan upaya ilmiah. Artinya, apa-apa yang dilakukan tidak
bersifat statis, sehingga bisa dikembangkan. Oleh karena itu, PAI secara asali
semestinya mempunyai jiwa dan semangat perubahan menuju terbaik. Baik perubahan
yang disebabkan reaksi maupun antisipasi atas “kenyataan” baru. Baik yang
berada dalam sistem maupun di luarnya. Dengan demikian, PAI bukan kegiatan yang
semata-mata mengarah pada kegiatan pendoktrinan peserta didik. Kendati
demikian, fokus utama PAI tetap harus jelas. Yakni, berupaya membentuk peserta
didik menjadi manusia beriman. Serta sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai
Islam dalam segala sektor dan sistem kehidupan[9]
yang sedang atau akan ditempuh mereka.
Dapat disimpulkan, PAI hakikatnya secara duniawi
muatan aksiologinya (kegunaan) tidak hanya ditujukan bagi umat Islam sendiri.
Akan tetapi juga untuk seluruh umat manusia. PAI seharusnya bisa menjadi
pengarah dan penyumbang terbentuknya tatanan masyarakat yang damai,
berperadaban modern, beretika[10]
(tidak berpenyakit moral), dan manusiawi. Pada akhirnya, umat Islam bisa
menjadi umat yang toleran dan bertenggang rasa. Yakni, menjadi muslim yang kuat
sebagai pelindung non muslim yang lemah. Bisa juga dengan menjadi muslim yang
mayoritas untuk pengayom terhadap minoritas dan menjadi muslim yang kokoh
sebagai penjaga non muslim yang rapuh. Serta dalam jangka panjang bisa menjadi
muslim yang cerdas dalam bidang ilmu pengetahuan untuk digunakan nonmuslim yang
tertinggal. Memang harapan tersebut pada saat ini masih terlalu tinggi untuk
digapai. Meskipun, sesungguhnya semangat seperti inilah yang telah dicontohkan
nabi Muhammad.
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Manusia merupakan makhluk yang
sadar akan tujuan. Artinya, setiap tindakan yang dilakukan senantiasa bermuatan
dan disadari tujuan yang ingin diperoleh. Baik itu secara individu maupun
kelompok dan yang diinginkan untuk dicapai pada masa yang pendek atau panjang.
Identifikasi tujuan tersebut sangatlah penting, yaitu sebagai ukuran normatif
(gambaran ideal), preskriptif (pemberi arah), dan evaluatif. Secara rinci,
menurut Tobroni tujuan PAI dapat dijabarkan dalam dua perspektif, yaitu
perspektif pembentukan manusia (individu) ideal dalam arti biologis,
psikologis, dan spiritualitas. Selanjutnya adalah perspektif pembentukan
masyarakat (makhluk sosial) ideal dalam arti sebagai warga negara atau ikatan
kemasyarakatan.[11]
Dari kedua perspektif tersebut, sesungguhnya Pendidikan Islam hendaknya bisa
membentuk manusia yang punya kemantapan akidah, kedalaman spiritual, keluhuran
akhlak (etika), keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Inilah yang disebut
sebagai gambaran manusia ideal (waladun
saleh) yaitu memiliki integritas dan keutuhan (insan kamil).[12]
Sedang dari sudut pandang lain, sesunggunya PAI sangat sarat dengan nilai (full value), termasuk dalam penanaman
nilai-nilai semangat mengembangkan ekonomi, merubah tatanan sosial menjadi
lebih sejahtera, dan semangat untuk mengayomi manusia lain dengan beberapa
kekuatan yang di miliki (kekuatan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya).
Dengan kata lain, pendidikan Agama Islam tujuan dan hasilnya (muara)
sesungguhnya bukan hanya untuk “kejayaan” umat Islam sendiri, tapi juga untuk
“kebahagiaan” seluruh umat manusia. Ujungnya adalah bagaimana PAI mampu
mencetak generasi yang tidak sempit dalam berfikir, berperilaku, dan memandang
realitas kehidupan dunia ini yang perlu untuk diperjuangkan sehingga bisa
sukses. PAI mesti mencetak generasi kreatif, yang tidak mengandalkan dan gemar
menggunakan jalan “kepasrahan” dalam mengahadapi keadaan perekonomian yang
terpuruk. Dengan demikian, PAI di satu sisi pengembangannya disesuaikan dengan
kebutuhan (perkembangan) masyarakat, tapi di sisi lain tetap berpedoman dan
berpegang kuat pada nilai-nilai agama Islam.
Sebagaimana menurut amanat Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada
Pasal 3 bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[13]
Dari pembahasan di atas, hal tersebut menjadi otokritik bagi PAI. Di mana,
PAI selama ini masih dirasakan kurang difungsikan untuk mengajak umat Islam
agar berekonomi sesuai dengan syari’at (ekonomi syari’ah). Akibatnya, selama
ini PAI diartikan sebagai mata pelajaran yang mengurusi masalah akhirat. Untuk
urusan dunia, PAI tidak boleh ikut campur dan tak boleh mengintervensi.
Termasuk untuk pengembangan ekonomi bangsa ini pun kegiatan PAI tidak menyentuh
sama sekali.[14]
Contoh yang paling nyata ialah dalam PAI diajarkan bahwa riba itu adalah
perbuatan haram. Namun, pada kenyataannya orang tua bahkan guru PAI juga
melakukan praktik riba dalam transaksi tertentu. Oleh karena itu, sesungguhnya
tujuan PAI bukan hanya mampu “melarang” peserta didik untuk berbuat sesuatu
yang diharamkan Allah akan tetapi juga mendorong mereka suata saat bisa
membangun infrastruktur perekonomian yang sesuai dengan syari’at Islam.
3.
Pengertian
Ekonomi Syari’ah
Ekonomi Syari’ah[15]
atau juga disebut sebagai Ekonomi Islam[16]
dalam kacamata tokoh-tokoh (ahli) Islam memiliki definisi yang beragam. Menurut
Muhammad Abduh al-Arabi sebagaimana dikutip Dahlan “memaknai ekonomi Islam
merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an
dan Hadis dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan atas landasan
dasar-dasar tersebut dengan lingkungan dan masanya.”[17]
Adapun Louis Cantori sebagaimana dikutip Yusup mengutarakan bahwa “ekonomi Islam
pada hakekatnya adalah upaya untuk memformulasikan suatu ilmu ekonomi yang
berorientasi kepada manusia dan masyarakat.” Hal ini menurut Yusup memiliki konteks yang sama
dengan Chapra. Di mana, ekonomi Islam dilihat bukan sekedar tanggapan dari
pemikir, tapi juga menjadi cabang ilmu yang bisa merealisasasikan kesejahteraan
manusia yang sesuai dengan syari’ah Islam tanpa membatasi kreativitas individu
maupun menciptakan suatu ekonomi marko. Paradigma tersebut sebenarnya berangkat
dari persoalan ekonomi guna memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani maupun rohani yang bertolak dari kepentingan individu maupun
khalayak umum. Lebih lanjut, Yusuf menekankan bahwa “pengertian ini merekomendasikan prasyarat dan pandangan
hidup Islam sebagai ilmu sosial yang tentu saja di dalamnya terdapat
nilai-nilai dan moral.”[18]
Tentang
tujuan asasi sistem ekonomi Islam, Naqvi sebagaimana dikutip Yusup menekankan
bahwa “pencapaian falah [kesukesan
dunia akhirat] sebagai tujuan utama, tidak hanya
bagi individu di dalam tindakan mereka, melainkan juga masyarakat di dalam
organisasi dan tujuannya.” Melanjutkan pernyataan itu maka Yusup menerangkan
bahwa:[19]
Naqvi melihat sistem ekonomi
Islam sebagai bagian dari sistem sosial secara kesuluruhan, karena itu harus
mampu memberikan sumbangan dalam memajukan nilai-nilai moral seperti
persaudaraan, kejujuran dan keadilan. Hal ini menambah dukungan kepada keberatan
kita bahwa sistem ekonomi Islam dapat beroperasi dengan efektif pada dirinya
sendiri(yakni tidak berada di dalam suatu lingkungan Islam yang lebih luas).
Lebih jauh, Dawam Rahardjo
menerangkan bahwa ekonomi Islam ialah:
“aspek ekonomi dari ilmu perdamaian, yaitu ilmu ekonomi yang bisa melahirkan perdamaian
dalam masukan (input) proses (process) maupun hasilnya (output). Dari sudut kebahasaan dalam
konteks bahasa al Qur‟an yang terkandung dalam tafsir berbagai ulama, [kata]
Islam mengandung tiga arti. Pertama, selamat dan menyelamatkan, kedua, aman,
tenteram dan damai dan ketiga kesejahteraan metarial. Kesemuanya itu disebut
juga al falah atau kebahagiaan dunia dan akhirat. Berdasarkan penafsiran ini
maka Ekonomi Islam dapat ditafsirkan
sebagai ilmu atau sistem ekonomi yang didasarkan pada nilai nilai (value based
economy), yaitu pertama keselamatan (salvation), dan yang menyelamatkan
kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Kedua, perdamaian yang terhindar
dari konflik, dan ketiga kesejahteraan masyarakat (kesejahteraan sosial).”[20]
Dari
situ dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam sesungguhnya mengutamakan prinsip
kehati-hatian dan menghindari perilaku yang membahayakan (beresiko). Dapat
dikatakan, ekonomi Islam menekankan pada “penguatan
kepribadian dengan penerapan nilai-nilai keutamaan (al khair). Dengan kata lain, fondasi ekonomi Islam ialah nilai-nilai
keutamaan.[21] Hal inilah yang membedakan antara ekonomi konvensional
(sekuler) dengan ekonomi Islam.
4.
Urgensi Pengembangan PAI dalam
Bidang Pemberdayaan Ekonomi Syari’ah
Islam
merupakan agama yang setiap ajaran-ajarannya bersumber pada al Qur’an dan
Hadis. Di mana, sejak awal menyebarnya telah menjunjung revolusi di bidang
pendidikan dan pengajaran. Hal ini tidak lain sebagai langkah strategis dalam
mengangkat martabat dan derajat kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa
pendidikan merupakan jembatan penyeberangan manusia dari keterbelakangan menuju
kemajuan, dari kehinaan menuju kemuliaan, dan dari ketertindasan menjadi
merdeka.[22]
Tentunya, suatu martabat dan derajat seperti itu tidak harus diperoleh tidak
hanya di akhirat saja akan tetapi juga di dunia. Oleh karena itu, pendidikan
Islam juga harus mengarahkan peserta didiknya pada hal-hal aspek kejayaan
dunia. Salah satu yang bisa ditempuh ialah dengan internalisasi pendidikan
ekonomi berbasis syari’ah secara praktis dan teoritis kepada peserta didiknya.
Ajaran
Islam pun telah mengajarkan bahwa terlalu lama-lama berzikir (membaca bacaan
menyebut nama Allah SWT) di Masjid sehingga mengakibatkan terlantarnya keluarga
malah dianggap sebagai perbuatan dosa. Pesan-pesan lain selain itu yang bisa
dijadikan sebagai sumber motivasi dalam pengembanga lain tersedia banyak dalam
al Quran dan Hadis. Akan tetapi, pada kenyataannya anjuran tersebut hanya ramai
pada tatataran teoritis (konsep), belum terbukti nyata secara praktik di segala
aspek kehidupan, bahkan di lingkunang pesantrean dan di kalangan Kiai
sekalipun.[23]
Bahkan pernyataan Suprayogo yang lebih ekstrim ialah:
“dalam pengembangan aspek ekonomi umat, kyai kelihatan pasif. Kalaupun
mereka melakukan kegiatan ekonomi hanya terbatas dalam memobilisasi zakat,
infak dan sadakah. Pertanyaan yang layak diajukan ialah apakah kyai tidak mampu
menggerakkan ekonomi umat? Kemampuan para kyai dalam politik dan juga
pengembangan pendidikan yang ternyata selama ini cukup piawai maka tidak
beralasan jika dikatakan bahwa elite agama ini tidak berpotensi pada
pengembangan ekonomi umat. Jika demikian, mengapa kyai tampak lembah dalam memikirkan
ekonomi umat tersebut. Kyai sebagai pembawa misi Islam (dakwah), semestinya
sudah saatnya melihat betapa dakwah itu amat efektif jika disampaikan melalui
pendekatan ekonomi.”[24]
Islam
sesungguhnya menghargai harta benda dan setiap umat Islam harus memilikinya.
Terbukti Allah memerintahkan setiap muslim untuk berzakat, berinfak,
bersedekah, hibah, wakaf, menolong orang lain, dan sebagainya yang berimplikasi
bahwa umat Islam harus memiliki harta untuk bisa memenuhi perintah itu. Dengan
demikian, mencari harta hukumnya adalah wajib karena harta tidak akan bisa
terkumpul tanpa melalui bekerja.[25]Di sinilah sesungguhnya peran pendidikan Islam untuk
menanamkan nilai-nilai ekonomi Islam kepada setaip individu peserta didiknya.
Agar mereka semua kelak menjadi manusia yang memiliki kekuatan ekonomi mandiri,
kuat, dan menjadi teladan minimal dalam lingkup keluarganya sendiri.
5.
Paradigma Pengembangan Pendidikan
Agama Islam dalam Bidang Ekonomi Syari’ah
Negara
Indonesia merupakan negara yang memiliki landasan filosofis, yaitu Pancasila.
Oleh karena itu, pegembangan PAI baik dalam bentuk materi studi/kajian maupun
lembaga pendidikan harus berlandaskan keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa. Namun,
realitas pada umumnya menunjukkan lain. Yakni, masalah keimanan yang tidak
terinternalisasikan dengan baik sehingga mampu menjadi inti (core values) dalam pengembangan
tersebut. Dampaknya fatal sekali, di antaranya lulusan lembaga pendidikan tidak
mempunyai keimanan yang kuat. Pada gilirannya terdapat krisis multidimensional
(terutama krisis moral atau akhlak) sebagaimana keadaan bangsa kita saat ini.
Maraknya pendidikan sekuler (kebarat-baratan), kemiskinan merajalela, lembaga
pendidikan yang “menuhankan” simbol (nama, gelar, pakaian, seremonial, dan
sebagainya), praktik nepotisme, penyuapan, korupsi, kecurangan dalam praktik
ekonomi, dan sebagainya itu semua menunjukkan rendahnya kualitas keimanan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.[26]
Hal
itu menunjukkan atas kurang pedulinya para cendekiawan dan pengembang PAI untuk
menemukan solusi dari permasalahan dan tantangan yang dihadapi dunia Islam
dewasa ini. Utamanya, menyangkut lemahnya sistem pendidikan Islam yang
produknya belum banyak berkonstribusi terhadap pengembangan ekonomi Syari’ah
pada era globalisasi ini. Di mana, perkembangan ekonomi (khususnya nasional)
hingga saat ini masih didominasi oleh para ahli dan prakatisi ekonomi “umum”
yang notabene jauh dari ajaran dan nilai-nilai Islam. Adapun, pendidikan Islam
dari segi keilmuan dan pengembangannya lebih banyak pada posisi terpinggirkan.
Bahkan, dalam masalah ini hanya berkedudukan sebagai konsumen.
Sungguh
pun demikian, bukan berarti pengembangan PAI bisa dilakukan secara serampangan.
Yakni, mengadopsi segala yang dari “luar” tanpa diseleksi secara cermat.
Bagaimanapun, PAI (khususnya di Indonesia) dihadapkan pada permasalahan dan
kenyataan yang kompleks. Di antaranya persoalan normatif-ideologi, perbedaan
kondisi alam, ekonomi, sosio-kultur, dan kesiapan semua pihak terutama
masyarakat dalam menghadapi perubahan-perubahan. Bisa dikatakan, “pengembangan
sistem pendidikan Islam akan banyak menyentuh dimensi-dimensi
normatif-ideologis, filosofis, psikologis, sosiologis, historis, kultural,
ekonomi, dan bahkan kebijakan politik.”[27]
Dari
semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma pengembangan PAI
dalam bidang ekonomi syari’ah harus jelas. Di mana, salah satu tujuannya ialah
bagaiman agar produk (peserta didik hasil didikan) PAI harus berkomitmen
terhadap segala kegiatan ekonomi yang berbasis Islam. Sebagaimana penjelasan
Chapra terkait tujuan ekonomis Islam yang dikutip oleh Fadllan sebagai berikut:
Tujuan
ekonomi Islam, menurut M. Umer Chapra, sejalan dengan tujuan pokok Islam yaitu
menciptakan kesejahteraan bagi semua umat manusia. Kesejahteraan ini meliputi
kepuasan fisik sebab kedamaian mental dan kebahagiaan, yang hal ini dapat
diperoleh melalui realisasi yang seimbang antara kebutuhan materi dan rohani dari
personalitas individu. Pemenuhan kebutuhan rohani membutuhkan pembangunan moral
dan pemenuhan kebutuhan materi dapat direalisasikan dengan pembangunan umat
manusia dan sumber daya yang ada dalam suatu pola yang merata sehingga semua kebutuhan
manusia, dapat dipenuhi secara utuh dan terwujud suatu distribusi kekayaan yang
adil dan merata.[28]
Dari
penjelasan itu dapat diartikan bahwa tujuan PAI sangat berat. Terlebih lagi
menyangkut masalah “keadaan” peserta didik terkait kegiatan perekonomian yang
kelak ia lakukan. Mereka dituntut untuk benar-benar meninggalkan kegiatan yang
tidak sesuai dengan kaidah Islam. Serta menjalankan sepenuhnya perekonomian
yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
B.
Pergeseran
Paradigma PAI dari Kajian Ritual Menuju Kajian Fungsional (Studi Kasus
Pengembangan Ekonomi Syari’ah)
Menurut
Malik Fadjar sebagaimana dikutip oleh Akh. Minhaji bahwa kenyataannya banyak
ajaran Islam yang hanya difungsikan sebagai penghakim atau penjustifikasi
(menolak atau membenarkan) terhadap fenomena sosial yang berkembang. Hal ini
bisa menyebabkan hilangnya fungsi agama sebagai motivator dan inovator sehingga
bisa menghambat kreativitas. Kenyataan ini, masih menurut Malik Fadjar
menggambarkan sungguh memprihatinkannya pendidikan Islam.[29]
Mengingat, apa yang terjadi di masysarakat hingga pada bata tertentu merupakan
refleksi atas eksistensi pendidikan. Menurutnya, kekurangan pendidikan Islam
utamnya terletak pada level epistemologi. Akibatnya, lembaga pendidikan Islam
masih ada yang belum mampu menginternalisasikan nilai-nilai Islam ke dalam
lingkungan sosial-kultural yang sedang berkembang. Di antara penanaman
nilai-nilai Islam ke lingkup sosialnya ialah pada sumber daya manusia, etos
kerja, pengetahuan, dan keterempilan.[30]
Bahkan, dalam QS: Hūd [11]: 15-16 pun dijelaskan
bahwa:[31]
15. Barangsiapa yang
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan (balasan)
penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia
tidak akan dirugikan.
16. Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialh di sana apa yang
telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang mereka kerjakan.
Dari
ayat di atas dapat dipahami bahwa setiap individu yang hanya memprioritaskan
pengembangan ekonomi (materi) dengan mengesampingkan spiritual (keghaiban),
maka bisa dikatakan masih melakukan penyimpangan terhadap hukum Allah. Mereka
tidak memperoleh manfaat sedikitpun dari sesuatu yang telah diusahakan
tersebut.[32]
Namun
demikian, spiritualitas saja tanpa adanya kesadara untuk mengembangkan diri
dalam bidang ekonomi juga merupakan tindakan bunuh diri. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Nawawi sebagai berikut:
“rendahnya kualitas penduduk merupakan penghalang pembangunan ekonomi susatu negara. Ini disebabkan
karena rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tenaga kerja. Untuk
adanya pengembangan ekonomi terutatam industri, jelas sekali dibutuhkan lebih
banyak tenaga kerja yang mempunyai skill atau paling tidak dapat membaca dan
menulis. Dengan kata lain pendidikan merupakan faktor penting bagi berhasilnya
pembangunan ekonmi, bahkan pendidikan merupakan sumber daya yang besar
manfaatnya di faktor produksi. Problem yang dihadapi di negara-negara yang
sedang berkembang batas angkata kerja (halaman 87) lebih rendah di Indonesia 10 tahun ke atas
dari pada negara maju 15 tahun ke atas. Demikian pula kuantitas dan kualitas
angkatan kerja lebih rendah di negara-negara yang sedang berkembang dari pada
negara-negara maju, karena sebagian besar penduduk di negara berkembang berusia
muda.”[33]
Diakui
atau tidak, negara-negara Islam sekarang ini dalam aspek metodologis (bukan
paradigmanya) sebagian besar meniru sistem pendidikan ala Barat. Di mana,
sesungguhnya paradigma pendidikan barat terkesan anti terhadap nilai-nilai
keghoiban dan lebih mengagungkan kebenadaan (materi/fisik) semata. Hal itu
berbanding terbalik dengan pradigma pendidikan Islam di negara-negara Islam
selama ini. Di mana, pradigma pengembangan pendidikan islam sebagian besar
cenderung menekankan pada aspek spirtual semata. Sedangkan aspek keduniaan di
mata umat Islam memiliki porsi yang sangat minim sekali.[34]
Masalah
lainnya ialah sekarang ini umat Islam dihadapkan dengan erga globalisasi. Di
mana, sebagai salah satu produk modernasi pembanguan sesungguhnya globalisasi
merupakan keniscayaan pembangunan. Dengan asumsi, pembangunan tersebut
bersumber dari pengembangan rasio manusia sehingga menjadi manusia berkualitas.
Dalam menghadapi kenyataan itu, mencerdaskan umat Islam sebagai khalifah Allah
di muka bumi menjadi kebutuhan urgen. Asumsinya, bila disepakati bahwa SDM yang
perlu dibentuk untuk kebutuhan masa depan ialah SDM yang berteknologi dan
beragama, maka pemenuhan lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan potensi
kekhalifahan seperti itu menjadi kebutuhan mutlak.[35]
Di
sadari atau tidak, globalisasi menghendaki keterlibatan semua pihak (negara) di
seluruh dunia. Masalahnya, sebagian besar umat Islam sampai saat ini dalam
percaturan dunia masih digolongkan sebagai pihak yang kurang diperhitungkan.
Untuk mengatasinya, perlu diadakan langkah terobosan. Salah satu langkah paling
utama ialah meningkatkan sumber daya umat Islam melalui pendidikan.[36]
Dari
penjelasan itu dapat dikatakan bahwa Islam mendudukan berbagai perkara yang ada
pada satu titik keseimbangan, sehingga semua itu bisa menjadi lebih baik dan
positif. Salah satu jalur yang digunakan untuk memperjuangkan prinsip
keseimbangan itu ialah melalu pendidikan. Di antara prinsip kesimbangan yang
mesti diperjuangkan melalui pendidikan di antarany kesimbangan antara kepentingan
hidup dunia dan akhirat, kebutuhan jasmani dan rohani, kepentingan individu dan
sosial, dan antara ilmu dengan amal.”[37]
Dengan demikian, untuk mewujudkan keseimbangan tersebut maka Pendidikan Islam
paling tidak harus mencakup dua hal yaitu:
Pertama: Pendidikan memungkinkan manusia mengerti
Tuhannya secara benar, sehingga semua perbuatannya terbingkai ibadah yang
dilakukan dengan penuh penghayatan akan keesan-Nya; Kedua: Pendidikan harus menggerakkan seluruh potensi manusia (sumber daya manusia)
untuk memahami sunnah Allah di atas bumi, menggalinya, dan memanfaatkannya
untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama (rahatan lil’alamin).”[38]
BAB I
Penutup
Dalam
setiap kegiatan yang dilakukan oleh umat Islam pasti semuanya tak boleh
dipisahkan dari aturan-aturan agama. Begitu pula dalam bidang ekonomi,
seharusnya umat Islam tidak boleh memisahkan antara kegiatan ekonomi sebagai
ritual dengan kegiatan ekonomi sebagai kebutuhan hidup. Dengan demikian, cukup
jelas bahwa ekonomi Islam bukanlah sekedar wacana moral. Namun, lebih dari itu
berdasarkan fakta sejarah ekonomi Islam pernah berjaya di masa lalu (awal
datangnya Islam hingga Abad Pertengahan). Hal inilah yang mengharuskan setiap
praktisi dan pengonsep Pendidikan Islam untuk “menyadarkan” peserta didik bahwa
kegiatan ekonomi itu juga menjadi penentu kesuksesan manusia di dunia hingga
akhirat.
Pengembangan
umat Islam agar menjadi lebih baik merupakan tanggung jawab seluruh umat Islam
itu sendiri. Tak terkecuali dalam bidang pengembangan ekonomi. Dengan ekonomi
yang kuat, maka umat Islam akan mampu merubah masyarakat dan bangsa dari
kelemahan sehingga menjadi bangsa yang kuat dan mampu berdaya saing. Namun
demikian, sekali lagi yang perlu ditekankan ialah tujuannya bukan hanya sekedar
pengembangan kuantitas tapi juga pengembangan kualitas perekonomian bangsa.
Terlebih saat ini merupakan masa globalisasi, di mana kualitas menjadi lebih
diutamakan daripada kuantitas.
Tak terkecuali ialah globalisasi
ekonomi. Di mana, globalisasi ekonomi berarti pengurangan hambatan secara
bertahap pada transaksi perdagangan barang maupun jasa, pergerakan manusia, dan
investasi antar negara sampai terhapus dalam jangku waktu tertentu. Asumsinya,
beberapa negara di dunia yang tergantung pada negara lain –sebagai imbas
globalisasi— telah mendorong mereka untuk bergabung dalam blok-blok ekonomi.
Kenyataan ini merupakan pengaruh “tekanan” politik ekonomi dunia. Di mana,
negara yang tidak tergabung dalam salah satu blok tersebut akan cenderung
mengalami kesulitan. Baik dalam bidang kebijakan maupun pengembangan
ekonominya.[39] Wallahualambissawab.
Daftar Pustaka
Amin, A. Rifqi. Pengembangan
Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner. Yogyakarta: LKiS, 2015.
--------. Sistem
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta:
Deepublish, 2014.
“Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45,
didownload 04 Oktober 2014.
Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam:
Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Cet. II, 2010.
Anshori. Transformasi Pendidikan
Islam. Jakarta: Gaung Persada, 2010.
Dahlan, Ahmad. “Urgensi
Studi Ekonomi Islam,” Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, Insania, Vol.13 No.1, 2008: hlm.
116-129, dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=49319&val=3912, diakses tanggal 17 Mei 2015.
Departeman Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz 1-30 Edisi
Baru. Surabaya: Duta Ilmu, 2005.
Fadllan. “Paradigma
Madzhab-Madzhab Ekonomi Islam dalam Merespon Sistem Ekonomi Konvensional,”
Jurnal Al-Ihkam, Vol. 7 No.1 Juni
2012: hlm. 156-177, dalam http://www.ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/alihkam/article/download/322/313, diakses tanggal 19 April 2015.
Fathuddin,
Syukri. “Pendidikan Islam,” dalam Din
al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati
Rahman. Yogyakarta: UNY Press, 2008.
Idi, Abdullah dan Toto Suharto. Revitalisasi
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Marzuki. Prinsip
Dasar Akhlak Mulia: Pengantar Studi Konsep-konsep Dasar Etika dalam
Islam. Yogyakarta: Debut Wahana Press & FISE UNY, 2009.
Minhaji, Akh. “Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia dan Tradisi
Berpikir Kritis,” dalam Paradigma baru
pendidikan: Restropeksi dan proyeksi Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia,
ed. Kusmana dan JM. Muslimin. Jakarta: IISEP dan DIKTIS, Dirjen Pendis Depag
RI, 2008.
Muchsin,
Bashori dan Abdul Wahid. Pendidikan Islam
Kontemporer. Bandung: Refika
Aditama, 2009.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah,
dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Cet. III, 2009.
--------. Wacana
Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Cet. II, 2004.
Naim,
Ngainun. Teologi Kerukunan Mencari Titik
Temu dalam Keragaman. Yogyakarta:
Teras, 2011.
Nawawi, Ismail. Pembangunan dalam
Perspektif Islam: Kajian ekonomi, Sosial, dan Budaya. Surabaya: Putra Media
Nusantara, 2009.
Rahardjo, M. Dawam.
“Rancang Bangun Ekonomi Islam,” dalam http://ekonomisyariah.org/download/artikel/Arsitektur%20Ekonomi%20Islam.pdf, diakses tanggal 19 April 2015.
Rossidy, Imron. Pendidikan Berparadigma Inklusif: Upaya
Memadukan Pengokohan Akidah dengan Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan. Malang: UIN, 2009.
Suprayogo, Imam. Kyai dan Politik:
Membaca Citra Politik Kyai. Malang: UIN Malang Cet. II, 2009.
Tobroni,
Pendidikan Islam: Paradigma Teologis
Filosofis, dan Spiritualitas. Malang: UMM, 2008.
Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003
Beserta Penjelasannya. Jakarta: Cemerlang, 2003.
Yusup, Asdar. “Paradigma
Ekonomi Islam dalam Sorotan Kontemporer (Muh. Abdul Mannan Versus Syed Nawab
Haedir Naqvi),” dalam https://www.academia.edu/9357888/PARADIGMA_EKONOMI_ISLAM_DALAM_SOROTAN_KONTEMPORER_Muh.Abdul_Mannan_Versus_Syed_Nawab_Haedir_Naqvi, diakses tanggal 19 April 2015.
[1]Imam Suprayogo, Kyai dan Politik: Membaca Citra Politik Kyai
(Malang: UIN Malang Cet. II, 2009), hlm. 254.
[2]Bahkan, Imam Suprayogo menyatakan bahwa ““kegiatan ekonomi kyai masihm terbatas pada
upaya memenuhi kepentingannya sendiri.” Lihat,
Ibid. hlm. 264.
[3]A. Rifqi Amin, Pengembangan
Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner
(Yogyakarta: LKiS, 2015), hlm. 4.
[4]Dalam ibadah ritual salat misalnya,
salat yang dilakukan biasanya belum ke ranah konstruksi suci dari ucapan
syahadat dan bentuk sujud kepada Allah. Artinya, belum pada tingkatan pengakuan
diri bahwa dirinya adalah hamba yang wajib menyembah, membesarkan, dan
mengabsolutkan-Nya. Kenyataannya malah mengutamakan kepentingan diri dan orang
lain yang ada dalam bingkai (frame) sama
dengannya. Pada akhirnya dikerucutkan pada pemutlakan, pembenaran, dan
pengabsolutan diri sendiri atau seseorang yang ada di dalam frame tersebut. Dengan kata lain,
pengabsolutan diri masih lebih
mendominasi dibandingkan dengan pengakuan kedaulatan Tuhan. Lihat, Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung:
Refika Aditama, 2009), hlm. 174.
[5]Nilai nasionalisme
didefinisikan sebagai nilai-nilai dalam menjaga keutuhan dan keamanan bangsa
yang didasarkan pada peraturan Undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu,
umat Islam sebagai warga negara harus patuh terhadap Undang-undang yang ada di
Indonesia. Pada intinya UUD 1945 tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Salah satu amanatnya adalah pada pasal
28J ayat “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang
lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Serta dalam
Pasal 28E ayat 1 dan 2 serta Pasal 28I ayat 1. Lihat, “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,”
dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04
Oktober 2014.
[6]Generasi muda yang tidak berani
melakukan ijtihad (pengembangan diri) hanya akan memperlakukan agama sebagai
alat pencapai kepentingannya. Aspek pragmatisme dan hedonisme lebih dimenangkan
dibandingkan dengan melakukan kajian mendalam tentang filosofi sosial
keagamaan. Implikasinya, agama gagal memasuki wilayah pemikiran progresif, dan
stagnan sehingga berkutat dalam ekslusivisme. Artinya, telah terjadi
pragmatisme agama yaitu melakukan kegiatan atas nama agama tapi kenyataannya
hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri.
[7]A. Rifqi Amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta:
Deepublish, 2014), hlm. 39.
[8]Syukri Fathuddin, “Pendidikan Islam,”
dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama
Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman (Yogyakarta: UNY Press,
2008), hlm. 130.
[9]Pada pengembangan PAI harus dibumikan kembali bahwa
pendidikan merupakan bagian kecil dari sistem kehidupan. Dengan demikian,
secara konsep maupun praktik PAI tidak dapat berdiri sendiri. Ia senantiasa
terkait dengan sistem lainnya seperti ekonomi, politik, budaya, perindustrian,
dan sebagainya. Oleh karena itu, mekanisme pengembangan PAI mesti menyadari
bahwa peserta didik kelak akan menjalani kehidupan “nyata” di luar lembaga
pendidikan. Hal ini bukan berarti demi kesuksesan peserta didik pada setiap pengembangan
yang dilakukan menghalalkan segala cara. Namun, ia dengan sekreatif mungkin
mampu mengemas nilai-nilai Islam dimasukkan ke dalam sistem-sistem itu.
[10]Beberapa prinsip etika dalam al Qur’an menurut Hendar Riyadi
sebagaimana dikutip Naim terkait hubungan sosial antar umat beragama meliputi,
egalitarianisme, prinsip keadilan, prinsip toleransi, prinsip saling
menghormati (bekerjasama dan berteman), prinsip ko-eksistensi damai, dan dialog
yang arif-konstruktif-transformatif. Lihat,
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari
Titik Temu dalam Keragaman (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 53-55.
[11]Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis Filosofis, dan Spiritualitas
(Malang: UMM, 2008), hlm. 49-50.
[12]Ibid., hlm. 153.
[13]Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003
Beserta Penjelasannya (Jakarta:
Cemerlang, 2003), hlm. 7.
[14]Padahal secara filosofis ajaran Islam menekankan
“kesatuan.” Menampik adanya dikotomi antara yang sekuler (dunia) dengan yang
spiritual (akhirat). Ketentuan tersebut berlaku baik pada tataran individu
maupun masyarakat (kaum). Dalam tataran individu sesungguhnya manusia memang
dipandang sebagai makhluk yang bebas untuk mengembangkan ekonominya. Akan
tetapi, di sisi lain ia juga dituntutu untuk berkomitme melakuan perbaikan dan
pengembangan masyarakat. Misalnya, dalam urusan muamalah tindakan membantu orang miskin dan terbelakang ilmunya
tentang perekonomiannya merupakan tindakan yang sangat tinggi derajat
spiritualnya. Namun, hal itu akan jauh lebih bermakna lagi bila tidak hanya
sekedar memberi barang atau materi tapi juga mendidik mereka (memberi ilmu)
agar mereka bisa terantaskan dari kemisikinan. Tentu salah satunya melalui PAI
yang diajarkan pada lembaga pendidikan.
[15]“...kajian syariah tertumpu pada
masalah aturan Allah dan Rasul-Nya atau masalah hukum. Aturan atau hukum ini
mengatur manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya (hablun minallah) dan
dalam berhubungan dengan sesamanya (hablun minannas). Kedua hubungan
manusia inilah yang merupakan ruang lingkup dari syariah Islam. Hubungan yang
pertama itu kemudian disebut dengan ibadah, dan hubungan yang kedua disebut
muamalah. Ibadah mengatur bagaimana manusia bisa berhubungan dengan Allah.
Dalam arti yang khusus (ibadah mahdlah), ibadah terwujud dalam rukun
Islam yang lima, yaitu mengucapkan dua kalimah syahadah (persaksian),
mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan pergi haji
bagi yang mampu. Sedang muamalah bisa dilakukan dalam berbagai bentuk aktivitas
manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya. Bentukbentuk interaksi itu bisa
berupa hubungan perkawinan (munakahat), pembagian warisan (mawaris),
ekonomi (muamalah), pidana (jinayah), politik (khilafah),
hubungan internasional (siyar), peradilan (murafa’at), dan lain
sebagainya. Lihat, Marzuki, Prinsip
Dasar Akhlak Mulia: Pengantar Studi Konsep-konsep Dasar Etika dalam
Islam (Yogyakarta: Debut Wahana Press & FISE UNY, 2009), hlm. 7-8.
[16]“Dewasa ini, Ekonomi Islam, di Indonesia disebut juga
“Ekonomi Syari‟ah” yang di Barat disebut sebagai Ekonomi Hukum (Legal
Economics) karena yang nampak menonjol adalah pilar-pilar hukumnya. Kekuatan
dari sistem ekonomi ini, menurut pengamat Barat adalah kemampuannya sebagai
azas-azas prudensialitas dalam industri keuangan, khususnya perbankan. Itulah
sebabnya, maka sistem dengan produk-produknya, diminati oleh investor Barat.” Lihat, M. Dawam Rahardjo, “Rancang
Bangun Ekonomi Islam,” dalam http://ekonomisyariah.org/download/artikel/Arsitektur%20Ekonomi%20Islam.pdf, diakses tanggal 19 April 2015.
[17]Selanjutnya Dahlan menjelaskan bahwa “M. Abdul Mannan
memberikan definisi ilmu ekonomi Islam sebagai ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi kerakyatan yang diilhami oleh nilai-nilai
dan ajaran Islam. Syed Nawab Husein Naqvi menegaskan ide sentral yang membatasi
ilmu ekonomi Islam dan yang menempatkannya berbeda dengan ilmu ekonomi positif
adalah nilai-nilai etik/agama secara eksplisit dimasukkan dalam frame work analisis
ekonomi secara terpadu. Oleh karena itu, ilmu ekonomi Islam merupakan upaya
validitas ide filosofis (normatif) yang diaplikasikan dan dipadukan dengan
klaim validitas objektif (empiris)... dapat dijelaskan bahwa kajian dan
pembahasan ekonomi Islam berdimensi kerakyatan dengan sistem yang dibangun
merupakan representasi dari ajaran dan nilai-nilai Islam. Adapun kepentingan atau
tujuan dari sistem ekonomi Islam merupakan suatu bentuk “ijtihad” dari
penerjemahan ajaran agama (maqâshid syari’ah) pada wilayah normatif agar
dapat dipraktikkan menjadi sistem yang aplikatif pada wilayah sosial
(kerakyatan).” Lihat, Ahmad Dahlan,
“Urgensi Studi Ekonomi Islam,” Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, Insania, Vol.13 No.1, 2008: hlm.
116-129, dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=49319&val=3912, diakses tanggal 17 Mei 2015.
[18]Asdar Yusup, “Paradigma Ekonomi Islam dalam Sorotan
Kontemporer (Muh. Abdul Mannan Versus Syed Nawab Haedir Naqvi),” dalam https://www.academia.edu/9357888/PARADIGMA_EKONOMI_ISLAM_DALAM_SOROTAN_KONTEMPORER_Muh.Abdul_Mannan_Versus_Syed_Nawab_Haedir_Naqvi, diakses tanggal 19 April 2015.
[19]Ibid.
[20]Dari sudut kebahasaan dalam konteks bahasa al Qur‟an yang
terkandung dalam tafsir berbagai ulama, [kata] Islam mengandung tiga arti.
Pertama, selamat dan menyelamatkan, kedua, aman, tenteram dan damai dan ketiga
kesejahteraan metarial. Kesemuanya itu disebut juga al falah atau kebahagiaan
dunia dan akhirat. Berdasarkan penafsiran ini maka Ekonomi Islam dapat
ditafsirkan sebagai ilmu atau sistem ekonomi yang didasarkan pada nilai nilai
(value based economy), yaitu pertama keselamatan (salvation), dan yang
menyelamatkan kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Kedua, perdamaian
yang terhindar dari konflik, dan ketiga kesejahteraan masyarakat (kesejahteraan
sosial). Sebagai ilmu yang selamat dan menyelamatkan, Ekonomi Islam dijalankan
dengan kegiatan ekonomi yang didasarkan pada nilai amal-saleh dan menghindarkan
diri dari perbuatan atau praktekpraktek ekonomi yang melanggar nilai-nilai
moral dan etika, seperti berbohong, tidak bertanggung-jawab dan mengingkari
janji atau berdosa. Dengan berperilaku baik atau amal saleh, maka bukan saja
perbuatan seseorang itu tidak menimbulkan kerugian dan keburukan pada orang
lain dan diri sendiri, tetapi orang yang bersangkutan akan memperoleh
kepercayaan (trust) dari orang lain, sehingga melancarkan komunikasi dan
interaksinya dalam berekonomi. Lihat,
Rahardjo, “Rancang Bangun Ekonomi,” diakses tanggal 19 April 2015.
[21]Ibid.
[22]Anshori, Transformasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gaung Persada, 2010), hlm.
4
[23]Suprayogo, Kyai dan Politik, hlm. 256
[24]Suprayogo, Kyai dan Politik, hlm. 264.
[25]Ibid., hlm. 256-257.
[26]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta:
Rajawali Cet. III, 2009), hlm. x.
[27]Muhaimin, Wacana Pengembangan
Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cet. II, 2004), hlm. viii-ix.
[28]Fadllan, “Paradigma Madzhab-Madzhab Ekonomi Islam dalam
Merespon Sistem Ekonomi Konvensional,” Jurnal Al-Ihkam, Vol. 7 No.1 Juni 2012: hlm. 156-177, dalam http://www.ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/alihkam/article/download/322/313, diakses tanggal 19 April 2015.
[29]Sebagaimana pernyataan Rossidy bahwa “pembelajaran
agama selama ini masih bersifat tekstual dan normatif dimana pembelajaran agama
membicarakan terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan antara manusia dan
Tuhan-Nya. Sehingga secara tidak langsung kebanyakan pembelajaran agama
tersebut tidak melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran
pencarian asal-ususl agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk
kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis), bahkan kesadaran yang
berkaitan dengan kesejahteraan hidup yang optimal (ekonomis).” Lihat, Imron Rossidy, Pendidikan
Berparadigma Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah dengan Pengembangan
Sikap Toleransi dan Kerukunan (Malang: UIN, 2009), hlm. 51
[30]Akh. Minhaji, “Pengembangan
Pendidikan Islam di Indonesia dan Tradisi Berpikir Kritis,” dalam Paradigma baru pendidikan: Restropeksi dan
proyeksi Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, ed. Kusmana dan JM.
Muslimin (Jakarta: IISEP dan DIKTIS, Dirjen Pendis Depag RI, 2008), hlm.
116-117.
[31]Departeman
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz
1-30 Edisi Baru (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), hlm.299.
[32]Ismail Nawawi, Pembangunan dalam Perspektif Islam: Kajian
ekonomi, Sosial, dan Budaya (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009), hlm.
10.
[33]Ibid., hlm. 88.
[34]Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 110.
[35]Ibid. hlm. 111.
[36]Ibid. hlm. 112.
[37]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Cet. II, 2010), hlm. 91.
[38]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, hlm. 99.
[39]Idi dan Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, hlm. 107.
Ekonomi Syariah (sumber gambar finansialku) |