Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Peran Pendidikan Agama Islam dalam Mengembangkan Ekonomi Berbasis Syari’ah di Indonesia



Peran Pendidikan Agama Islam dalam Mengembangkan Ekonomi Berbasis Syari’ah di Indonesia
oleh A. Rifqi Amin


Kata Pengantar



Maha Puji Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tugas kuliah ini bisa diselesaikan sesuai dengan target yang telah ditentukan. Selain itu tak lupa bacaan salawat patut diucapkan untuk Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang berpengaruh besar pada peradaban manusia hingga menjadi sekarang ini. Agama Islam beserta ajaran-ajarannya yang sejuk, damai, menjadi kabar gembira, dan sebagai pedoman hidup saat ini telah mengalami perkembangan yang pesat. Baik dari segi kuantitas dan kualitas yang secara umum menggejala hampir di seluruh dunia pada akhir-akhir ini. Semoga Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan kandungan nilai-nilai luhur agama Islam juga semakin mengalami perkembangan yang sangat pesat secara kuantitas dan kualitas di seluruh lembaga pendidikan yang mengadakannya. Semoga pula, kemudian hari ditemukan banyak ilmuwan Muslim yang taat beragama turut aktif dalam pengembangan ekonomi berbasis syariah, khususnya di Indonesia. Aamiin!

Tulisan ini disusun salah satunya sebagai upaya pemberian solusi atas kesengkarutan sistem pendidikan Islam sekaligus perekonomian negara kita yang masih terpisah-pisah (tidak utuh) dari berbagai aspeknya. Salah satunya, dengan menggugah kesadaran dan kepekaan umat Islam tentang pentingnya pengembangan PAI terutama dalam bidang ekonomi syari’ah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Mengingat, selama ini PAI dianggap sangat lambat bahkan mengalami stagnansi dalam merespon perubahan kehidupan masyarakat. Kalau pun ada pengembangan, hal itu dilakukan ketika kondisinya sudah mengalami penurunan (ketertinggalan jauh) dan terancam ditinggalkan masyarakat. Padahal, semestinya sebuah pengembangan bukan dilakukan berdasarkan “keterpaksaan” atau reaksi terkejut atas perubahan yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi, pengembangan dilakukan juga untuk mengantisipasi atas perubahan yang diprediksi akan terjadi. Utamanya, perubahan dalam dan tutuntan dalam bidang ekonomi yang semakin dinasi sekaran ini.

Pembahasan tulisan ini didasarkan pada hasil pengembangan dari buku (teribatan LKiS dan Deepublish) dan makalah yang pernah dibuat oleh penulis. Dari beberapa tulisan itu, dilakukan penyeleksian terkati bahasan mana yang sekiranya dapat dimasukkan dalam kajian tulisan ini. Kemudian, diadakan revisi (penambahan dan pengurangan) terhadap isi makalah-makalah itu melalui referensi-referensi yang lebih relevan.

Dalam penyelesaian tugas menulis ini tidaklah semudah pembalikan telapak tangan. Banyak kendala teknis maupun nonteknis yang dihadapi oleh penulis. Dengan penuh kesabaran, ketekatan, dan ketulusan hati penulis bersikeras untuk tetap menyelesaikan tulisan ini menjadi sebuah paper. Selain itu, dalam penyelesaiannya dibutuhkan kerja keras dan penuh kehatian-hatian karena ditargetkan bersih dari bentuk kejahatan ilmiah. Salah satu yang utama ialah plagiarisme (mengutip tanpa disebutkan sumber hasil kutipannya).
Sebagai penutup, penulis perlu ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Mohammad Djakfar, M.A dan Dr. H. M. Sa’ad Ibrahim, M.A sebagai Dosen pengampu mata kuliah tugas ini. Dari arahan dan ilmu yang telah mereka berikan kepada penulis bisa menjadi bahan inspirasi dalam merampungkan tugas menulis ini. Semoga mereka berdua selalu diberi kesehatan dan kebahagian oleh Allah SWT, sehingga selalu bisa memberikan ilmu-ilmunya kepada generasi muda seperti penulis. Akhirnya, penulis menyadari akan keterbatasan kemampuan khususnya dalam penulisan tulisan ini. Oleh karena itu, masukan dan saran dari pembaca sangat kami butuhkan. Semoga makalah ini bisa membawa manfaat bagi siapapun yang membaca. Aamiin
Malang, 24 April 2015

A.    Rifqi Amin


Daftar Isi

Kata Pengantar Penulis   ...............................................................................   1
Daftar Isi  ......................................................................................................   3
Abstrak  .........................................................................................................   4

Bab I Pendahuluan   ............................................................................   5
A.     Latar Belakang Masalah   ............................................................   5
B.     Rumusan Masalah dan Kata Kunci .............................................   7
Bab II Pembahasan   ............................................................................   8
A.     Konsep Dasar   ............................................................................   8
1.      Pengertian Pendidikan Agama Islam  ...................................   8
2.      Tujuan Pendidikan Agama Islam...........................................   11
3.      Pengertian Ekonomi Syari’ah.................................................   13
4.      Urgensi Pengembangan PAI dalam Bidang Pemberdayaan  Ekonomi Syari’ah          16
5.      Paradigma Pengembangan Pendidikan Agama Islam dalam   Bidang Ekonomi Syari’ah       17
B.     Pergeseran Paradigma PAI dari Kajian Ritual Menuju Kajian Fungsional (Studi Kasus Pengembangan Ekonomi Syari’ah   ......................................................................   20


Bab III Penutup   ...................................................................................   24

Daftar Pustaka ...............................................................................................   25


Peran Pendidikan Agama Islam dalam Mengembangkan Ekonomi Berbasis Syari’ah di Indonesia

Abstrak

Pendekatan interdisipliner dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Indonesia sekarang ini menjadi sebuah kebutuhan. Terlebih, dalam konteks upaya meningkatkan perkembangan ekonomi bangsa yang pada praktiknya masih jauh dari nilai-nilai Ketuhanan. Selama ini PAI seakan-akan hanya terfokus pada masalah pendidikan, padahal seorang pendidik pada masa ini memiliki tantangan yang berbeda. Tantangan yang jauh lebih besar dari hari kemarin, sehingga seorang pendidik PAI harus punya wawasan yang luas. Salah satu yang terpenting merupakan tantangan yang menimpa sistem perekonomian umat Islam di bangsa ini. Di mana, praktik-praktik riba, penyelewengan, kecurangan, dan sekulerisasi pada bidang ekonomi masih kental dilakukan umat Islam sendiri. Hal inilah yang menjadi tugas berat PAI untuk membentuk masyarakat Islam yang kelak mampu membuat sistem ekonomi yang Islami. Bagaimanapun, PAI sebagai salah satu wadah “kaderisasi” umat Islam berperan penting dalam pengembangan ekonomi berbasis syari’ah. Mengingat, selama ini PAI dituding “membiarkan” dan “memaafkan” begitu saja generasi Islam melakukan tindakan ekonomi yang sebenarnya di luar kaidah Islam. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menawarkan jawaban atas skeptisme dan pesimisme terhadap PAI tersebut. Salah satu bahasannya adalah terkait peran PAI dalam mengembangkan ekonomi umat Islam melalui pendekatan syari’ah.

Kata Kunci
Pendidikan Agama Islam, Pengembangan, Ekonomi Syari’ah








BAB I
Pendahuluan


1.    Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa serta mayoritas penduduk di Indonesia adalah beragama Islam. Namun, sampai sekarang belum jamak ditemukan ilmuwan-ilmuwan taat beragama (juga dari kalangan Islam) yang mampu menciptakan dan mengembangkan kondisi perekonomian yang kondusif, penuh etis, dan mensejahterakan secara rata hingga seluruh pelosok Indonesia. Bila pun ada, kebanyakan adalah dari kalangan “umum” yang minim orientasi nilai keagamaan. Akibatnya, setiap apa yang dilakukan (termasuk menyantuni karyawan atau masyarakat miskin) tujuannya bukan didasarkan nilai-nilai moral (etika), terlebih lagi nilai-nilai (keyakinanan) ketuhanan. Namun, semua “kebaikan” itu dilakukan tapi karena ingin memantapkan dan menancapkan kekuasaan ekonominya di tengah-tengah masyarakat.
Meninjau kenyataan itu, bisa dikatakan bahwa secara praktis kondisi sistem (infrastruktur, aturan, para pelaku, teknologi, barang, dan sebagainya) ekonomi negara kita masih belum mengarah pada nilai-nilai Ketuhanan. Di mana, kegiatan ekonominya masih belum “melindungi” kepentingan rakyat kecil. Terbukti, masih banyak rakyat miskin yang masih tetap miskin hingga anak keturunannya tak bisa menikmati kebutuhan pokok dengan layak dan bermutu. Masalah lain ialah terjadinya kerendahan moral pada generasi muda bangsa Indonesia demi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Yakni, mereka rela “menjual diri” via internet (prostitusi online). Salah satu varian “perdagangan” manusia itu menunjukkan bahwa pendidikan bangsa kita (utamanya pendidikan agama Islam) telah gagal mendidik generasi muda untuk memahami bagaimana cara “berekonomi” yang baik.


Ketidakadilan ekonomi seperti di atas merupakan gambaran kecil dari keadaan perekonomian bangsa kita. Hal inilah yang menuntut peran pendidikan agar bisa mengeluarkan keterpurukan moral-ekonomi generasi muda. Salah satunya, melalui PAI diharaparkan bisa berperan dalam membentuk generasi muda yang memiliki akhlak yang baik dalam menyukseskan kegiatan ekonomi yang di usahakan. Selain memberikan nilai-nilai keislaman dalam berekonomi, PAI sepatutnya juga bisa memberikan konstribusi secara nyata. Misalnya, para peserta didik (utamanya yang dari ekonomi rendah) didorong untuk mengembangkan diri dalam mengembangkan tingkat derajat ekonominya melalui kegiatan ekonomi yang diadakan oleh lembaga pendidikan.
Selama ini pendidikan Islam hanya difokuskan sebagai penjaga moralitas dan ketaatan beragama umat. Keterlibatan pendidikan Islam dalam pengembangan ekonomi umat, baik secara langusng maupun tidak langusng, belum dapat dirasakan. Bahkan, tak jarang fungsi lembaga pendidikan Islam hanya sebagai “agen” penyalur ijazah untuk mencari kerja, mendapat prestise, hingga untuk meneruskan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Bisa dikatakan, posisi lembaga pendidikan Islam teraleniasi dengan kehidupan masyarakat sekitar. Hubungan dengan masyarakat tak lebih dari hubungan transaksional, sehingga kepekaan lembaga pendidikan Islam untuk mensejahterakan umat Islam di sekitarnya tidak dimunculkan. Alih-alih untuk mensejahterakan masyarakat, untuk mensejahterakan diri sendiri saja lembaga pendidikan masih kesulitan.
Menurut Turner sebagaimana dikutip oleh Imam Suprayogo menjelaskan bahwa agama punya fungsi kontrol sosial dan penciptaan kohesifitas (kesatupaduan) sosial. Termasuk di dalamnya ialah terkait distribusi pengendalian harta kekayaan (ekonomi). Di sinilah peran tokoh agama –dalam konteks Islam ialah Kiai—memiliki peran penting. Di mana, sebagian besar Kyai oleh umatnya secara normatif dipandang sebagai pewaris misi para nabi. Ia dianggap sebagai pemimpim umat dalam segala bidang kehidupan, tak terkecuali masalah ekonomi yang menjadi masalah pelik dan mendasar. Namun, kenyataannya peran Kyai yang paling menonjol selama ini masih terbatas pada kegiatan pendidikan Islam (pesantrean, madrasah, dan sekolah), pembangunan tempat ibada (majsid/mushola), dakwah (mubaligh), dan adakalnya kut pergulatan politik (lokal maupun nasional). Bisa dikatakan, dalam bidang pengembangan ekonomi keterlibatan kyai terkesan kurang menonjol.[1]
Dari semua penjelasan di atas, dapat dismpulkan bahwa dalam bidang ekonomi, terutama ekonomi syari’ah masih perlu digalakan lagi. Mengingat, selama ini kepentingan ekonomi masyarakat kecil di sekitar lembaga pendidikan Islam masih belum begitu diperhatikan. Bahkan, seakan-akan dipinggirkan bahkan bisa dikatakan dihambat agar tidak terjadi peningkatan. Khawatirnya, kalau terjadi peningkatan ekonomi pada mereka akan menyebabkan “perubahan” sosial yang merugikan lembaga pendidikan.[2] Misalnya, mereka tidak akan mau lagi menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Islam karena taraf hidupnya sudah tinggi sehingga anaknya disekolahkan di sekolah favorit yang lokasinya juah dari rumahnya. Padahal, salah satu bentuk ketakutan seperti itu sungguh tidak beralasan. Bukankah tujuan pendidikan itu salah satunya ialah untuk merubah keadaan dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi PAI supaya juga memfokuskan mengembangkan diri dalam bidang pemberdayaan ekonomi umat yang akan dibahas tuntas dalam tulisan ini.

2.    Batasan Masalah dan Topik Pembahasan
Agar pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan yang dikerucutkan sebagai berikut:
a.       Konsep dasar terkait peran PAI dalam pengembangan ekonomi Syari’ah
b.      Pergeseran Paradigma dari Ekonomi Barat Menuju Ekonomi Syari’ah
c.       Konsep Pendidikan Agama Islam Berbasis Pengembangan Ekonomi Syari’ah di Indonesia



BAB II
Pembahasan


A.      Konsep Dasar
1.      Pengertian Pendidikan Agama Islam
Menurut penulis apa yang dimaksud dengan Pendidikan Agama Islam ialah “usaha mengkaji ilmu secara terencana untuk membentuk peserta didik menjadi manusia beriman, serta dengan sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan yang sedang atau akan ditempuhnya.”[3] Definisi itu bila dikaitkan dengan pembahasan tulisan ini maka hal itu berarti dalam segala lingkungan kehidupan yang peserta didik arungi kelak diharapkan mampu memberdayakan dan mendukung dalam pengembangan ekonomi syari’ah. Misalnya, ketika ia menjadi politikus, ia akan tetap teguh menjunjung tinggi nilai-nilai dan cita-cita Islam. Salah satunya dengan membuat kebijakan yang pro rakyat kecil, memberdayakan pengangguran, menarik pajak atau zakat kepada orang-orang kaya untuk ditasarufkan kepadan yang berhak, dan sebagainya.
Penekanan terhadap kesadaran dan ketulusan penerapan nilai-nilai Islam merupakan salah satu hal yang sangat ditekankan. Di mana, kesadaran dan ketulusan tersebut meliputi penerapan nilai ibadah atau penghambaan terhadap Tuhan dengan benar,[4] nilai humanisme, keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme (nasionalisme),[5] nilai semangat dalam pengembangan diri[6] (ijtihad) maupun pengembangan masyarakat, dan nilai-nilai perdamaian dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik aktif pada pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar dalam pengimplementasian nilai-nilai universalisme ajaran Islam. Tentu nilai tersebut terwujud secara konsisten dengan segenap logika serta alam pikirnya dan alam spiritualitasnya.[7] Sebagaimana pendapat Syukri Fathuddin bahwa hendaknya “... Pendidikan Agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan dapat dikatakan way of life seseorang.”[8]
Dari pengertian tersebut, salah satu kedudukan PAI ditegaskan sebagai “usaha mengkaji ilmu.” Hal ini menandakan, kegiatan yang ada padanya merupakan upaya ilmiah. Artinya, apa-apa yang dilakukan tidak bersifat statis, sehingga bisa dikembangkan. Oleh karena itu, PAI secara asali semestinya mempunyai jiwa dan semangat perubahan menuju terbaik. Baik perubahan yang disebabkan reaksi maupun antisipasi atas “kenyataan” baru. Baik yang berada dalam sistem maupun di luarnya. Dengan demikian, PAI bukan kegiatan yang semata-mata mengarah pada kegiatan pendoktrinan peserta didik. Kendati demikian, fokus utama PAI tetap harus jelas. Yakni, berupaya membentuk peserta didik menjadi manusia beriman. Serta sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala sektor dan sistem kehidupan[9] yang sedang atau akan ditempuh mereka.
Dapat disimpulkan, PAI hakikatnya secara duniawi muatan aksiologinya (kegunaan) tidak hanya ditujukan bagi umat Islam sendiri. Akan tetapi juga untuk seluruh umat manusia. PAI seharusnya bisa menjadi pengarah dan penyumbang terbentuknya tatanan masyarakat yang damai, berperadaban modern, beretika[10] (tidak berpenyakit moral), dan manusiawi. Pada akhirnya, umat Islam bisa menjadi umat yang toleran dan bertenggang rasa. Yakni, menjadi muslim yang kuat sebagai pelindung non muslim yang lemah. Bisa juga dengan menjadi muslim yang mayoritas untuk pengayom terhadap minoritas dan menjadi muslim yang kokoh sebagai penjaga non muslim yang rapuh. Serta dalam jangka panjang bisa menjadi muslim yang cerdas dalam bidang ilmu pengetahuan untuk digunakan nonmuslim yang tertinggal. Memang harapan tersebut pada saat ini masih terlalu tinggi untuk digapai. Meskipun, sesungguhnya semangat seperti inilah yang telah dicontohkan nabi Muhammad.



2.    Tujuan Pendidikan Agama Islam
Manusia merupakan makhluk yang sadar akan tujuan. Artinya, setiap tindakan yang dilakukan senantiasa bermuatan dan disadari tujuan yang ingin diperoleh. Baik itu secara individu maupun kelompok dan yang diinginkan untuk dicapai pada masa yang pendek atau panjang. Identifikasi tujuan tersebut sangatlah penting, yaitu sebagai ukuran normatif (gambaran ideal), preskriptif (pemberi arah), dan evaluatif. Secara rinci, menurut Tobroni tujuan PAI dapat dijabarkan dalam dua perspektif, yaitu perspektif pembentukan manusia (individu) ideal dalam arti biologis, psikologis, dan spiritualitas. Selanjutnya adalah perspektif pembentukan masyarakat (makhluk sosial) ideal dalam arti sebagai warga negara atau ikatan kemasyarakatan.[11] Dari kedua perspektif tersebut, sesungguhnya Pendidikan Islam hendaknya bisa membentuk manusia yang punya kemantapan akidah, kedalaman spiritual, keluhuran akhlak (etika), keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Inilah yang disebut sebagai gambaran manusia ideal (waladun saleh) yaitu memiliki integritas dan keutuhan (insan kamil).[12]
Sedang dari sudut pandang lain, sesunggunya PAI sangat sarat dengan nilai (full value), termasuk dalam penanaman nilai-nilai semangat mengembangkan ekonomi, merubah tatanan sosial menjadi lebih sejahtera, dan semangat untuk mengayomi manusia lain dengan beberapa kekuatan yang di miliki (kekuatan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya). Dengan kata lain, pendidikan Agama Islam tujuan dan hasilnya (muara) sesungguhnya bukan hanya untuk “kejayaan” umat Islam sendiri, tapi juga untuk “kebahagiaan” seluruh umat manusia. Ujungnya adalah bagaimana PAI mampu mencetak generasi yang tidak sempit dalam berfikir, berperilaku, dan memandang realitas kehidupan dunia ini yang perlu untuk diperjuangkan sehingga bisa sukses. PAI mesti mencetak generasi kreatif, yang tidak mengandalkan dan gemar menggunakan jalan “kepasrahan” dalam mengahadapi keadaan perekonomian yang terpuruk. Dengan demikian, PAI di satu sisi pengembangannya disesuaikan dengan kebutuhan (perkembangan) masyarakat, tapi di sisi lain tetap berpedoman dan berpegang kuat pada nilai-nilai agama Islam.
Sebagaimana menurut amanat Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 3  bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[13]

Dari pembahasan di atas, hal tersebut menjadi otokritik bagi PAI. Di mana, PAI selama ini masih dirasakan kurang difungsikan untuk mengajak umat Islam agar berekonomi sesuai dengan syari’at (ekonomi syari’ah). Akibatnya, selama ini PAI diartikan sebagai mata pelajaran yang mengurusi masalah akhirat. Untuk urusan dunia, PAI tidak boleh ikut campur dan tak boleh mengintervensi. Termasuk untuk pengembangan ekonomi bangsa ini pun kegiatan PAI tidak menyentuh sama sekali.[14] Contoh yang paling nyata ialah dalam PAI diajarkan bahwa riba itu adalah perbuatan haram. Namun, pada kenyataannya orang tua bahkan guru PAI juga melakukan praktik riba dalam transaksi tertentu. Oleh karena itu, sesungguhnya tujuan PAI bukan hanya mampu “melarang” peserta didik untuk berbuat sesuatu yang diharamkan Allah akan tetapi juga mendorong mereka suata saat bisa membangun infrastruktur perekonomian yang sesuai dengan syari’at Islam.

3.    Pengertian Ekonomi Syari’ah
Ekonomi Syari’ah[15] atau juga disebut sebagai Ekonomi Islam[16] dalam kacamata tokoh-tokoh (ahli) Islam memiliki definisi yang beragam. Menurut Muhammad Abduh al-Arabi sebagaimana dikutip Dahlan “memaknai ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an dan Hadis dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan atas landasan dasar-dasar tersebut dengan lingkungan dan masanya.”[17]
Adapun Louis Cantori sebagaimana dikutip Yusup mengutarakan bahwa ekonomi Islam pada hakekatnya adalah upaya untuk memformulasikan suatu ilmu ekonomi yang berorientasi kepada manusia dan masyarakat.” Hal ini menurut Yusup memiliki konteks yang sama dengan Chapra. Di mana, ekonomi Islam dilihat bukan sekedar tanggapan dari pemikir, tapi juga menjadi cabang ilmu yang bisa merealisasasikan kesejahteraan manusia yang sesuai dengan syari’ah Islam tanpa membatasi kreativitas individu maupun menciptakan suatu ekonomi marko. Paradigma tersebut sebenarnya berangkat dari persoalan ekonomi guna memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani maupun rohani yang bertolak dari kepentingan individu maupun khalayak umum. Lebih lanjut, Yusuf menekankan bahwa “pengertian ini merekomendasikan prasyarat dan pandangan hidup Islam sebagai ilmu sosial yang tentu saja di dalamnya terdapat nilai-nilai dan moral.[18]
Tentang tujuan asasi sistem ekonomi Islam, Naqvi sebagaimana dikutip Yusup menekankan bahwa “pencapaian falah [kesukesan dunia akhirat] sebagai tujuan utama, tidak hanya bagi individu di dalam tindakan mereka, melainkan juga masyarakat di dalam organisasi dan tujuannya. Melanjutkan pernyataan itu maka Yusup menerangkan bahwa:[19]

Naqvi melihat sistem ekonomi Islam sebagai bagian dari sistem sosial secara kesuluruhan, karena itu harus mampu memberikan sumbangan dalam memajukan nilai-nilai moral seperti persaudaraan, kejujuran dan keadilan. Hal ini menambah dukungan kepada keberatan kita bahwa sistem ekonomi Islam dapat beroperasi dengan efektif pada dirinya sendiri(yakni tidak berada di dalam suatu lingkungan Islam yang lebih luas).

Lebih jauh, Dawam Rahardjo menerangkan bahwa ekonomi Islam ialah:
 “aspek ekonomi dari ilmu perdamaian, yaitu ilmu ekonomi yang bisa melahirkan perdamaian dalam masukan (input) proses (process) maupun hasilnya (output). Dari sudut kebahasaan dalam konteks bahasa al Qur‟an yang terkandung dalam tafsir berbagai ulama, [kata] Islam mengandung tiga arti. Pertama, selamat dan menyelamatkan, kedua, aman, tenteram dan damai dan ketiga kesejahteraan metarial. Kesemuanya itu disebut juga al falah atau kebahagiaan dunia dan akhirat. Berdasarkan penafsiran ini maka Ekonomi Islam dapat ditafsirkan sebagai ilmu atau sistem ekonomi yang didasarkan pada nilai nilai (value based economy), yaitu pertama keselamatan (salvation), dan yang menyelamatkan kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Kedua, perdamaian yang terhindar dari konflik, dan ketiga kesejahteraan masyarakat (kesejahteraan sosial).”[20]

Dari situ dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam sesungguhnya mengutamakan prinsip kehati-hatian dan menghindari perilaku yang membahayakan (beresiko). Dapat dikatakan, ekonomi Islam menekankan pada “penguatan kepribadian dengan penerapan nilai-nilai keutamaan (al khair). Dengan kata lain, fondasi ekonomi Islam ialah nilai-nilai keutamaan.[21] Hal inilah yang membedakan antara ekonomi konvensional (sekuler) dengan ekonomi Islam.

4.      Urgensi Pengembangan PAI dalam Bidang Pemberdayaan Ekonomi Syari’ah
Islam merupakan agama yang setiap ajaran-ajarannya bersumber pada al Qur’an dan Hadis. Di mana, sejak awal menyebarnya telah menjunjung revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Hal ini tidak lain sebagai langkah strategis dalam mengangkat martabat dan derajat kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan jembatan penyeberangan manusia dari keterbelakangan menuju kemajuan, dari kehinaan menuju kemuliaan, dan dari ketertindasan menjadi merdeka.[22] Tentunya, suatu martabat dan derajat seperti itu tidak harus diperoleh tidak hanya di akhirat saja akan tetapi juga di dunia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga harus mengarahkan peserta didiknya pada hal-hal aspek kejayaan dunia. Salah satu yang bisa ditempuh ialah dengan internalisasi pendidikan ekonomi berbasis syari’ah secara praktis dan teoritis kepada peserta didiknya.
Ajaran Islam pun telah mengajarkan bahwa terlalu lama-lama berzikir (membaca bacaan menyebut nama Allah SWT) di Masjid sehingga mengakibatkan terlantarnya keluarga malah dianggap sebagai perbuatan dosa. Pesan-pesan lain selain itu yang bisa dijadikan sebagai sumber motivasi dalam pengembanga lain tersedia banyak dalam al Quran dan Hadis. Akan tetapi, pada kenyataannya anjuran tersebut hanya ramai pada tatataran teoritis (konsep), belum terbukti nyata secara praktik di segala aspek kehidupan, bahkan di lingkunang pesantrean dan di kalangan Kiai sekalipun.[23] Bahkan pernyataan Suprayogo yang lebih ekstrim ialah:

“dalam pengembangan aspek ekonomi umat, kyai kelihatan pasif. Kalaupun mereka melakukan kegiatan ekonomi hanya terbatas dalam memobilisasi zakat, infak dan sadakah. Pertanyaan yang layak diajukan ialah apakah kyai tidak mampu menggerakkan ekonomi umat? Kemampuan para kyai dalam politik dan juga pengembangan pendidikan yang ternyata selama ini cukup piawai maka tidak beralasan jika dikatakan bahwa elite agama ini tidak berpotensi pada pengembangan ekonomi umat. Jika demikian, mengapa kyai tampak lembah dalam memikirkan ekonomi umat tersebut. Kyai sebagai pembawa misi Islam (dakwah), semestinya sudah saatnya melihat betapa dakwah itu amat efektif jika disampaikan melalui pendekatan ekonomi.”[24]

Islam sesungguhnya menghargai harta benda dan setiap umat Islam harus memilikinya. Terbukti Allah memerintahkan setiap muslim untuk berzakat, berinfak, bersedekah, hibah, wakaf, menolong orang lain, dan sebagainya yang berimplikasi bahwa umat Islam harus memiliki harta untuk bisa memenuhi perintah itu. Dengan demikian, mencari harta hukumnya adalah wajib karena harta tidak akan bisa terkumpul tanpa melalui bekerja.[25]Di sinilah sesungguhnya peran pendidikan Islam untuk menanamkan nilai-nilai ekonomi Islam kepada setaip individu peserta didiknya. Agar mereka semua kelak menjadi manusia yang memiliki kekuatan ekonomi mandiri, kuat, dan menjadi teladan minimal dalam lingkup keluarganya sendiri.

5.      Paradigma Pengembangan Pendidikan Agama Islam dalam Bidang Ekonomi Syari’ah
Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki landasan filosofis, yaitu Pancasila. Oleh karena itu, pegembangan PAI baik dalam bentuk materi studi/kajian maupun lembaga pendidikan harus berlandaskan keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, realitas pada umumnya menunjukkan lain. Yakni, masalah keimanan yang tidak terinternalisasikan dengan baik sehingga mampu menjadi inti (core values) dalam pengembangan tersebut. Dampaknya fatal sekali, di antaranya lulusan lembaga pendidikan tidak mempunyai keimanan yang kuat. Pada gilirannya terdapat krisis multidimensional (terutama krisis moral atau akhlak) sebagaimana keadaan bangsa kita saat ini. Maraknya pendidikan sekuler (kebarat-baratan), kemiskinan merajalela, lembaga pendidikan yang “menuhankan” simbol (nama, gelar, pakaian, seremonial, dan sebagainya), praktik nepotisme, penyuapan, korupsi, kecurangan dalam praktik ekonomi, dan sebagainya itu semua menunjukkan rendahnya kualitas keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.[26]
Hal itu menunjukkan atas kurang pedulinya para cendekiawan dan pengembang PAI untuk menemukan solusi dari permasalahan dan tantangan yang dihadapi dunia Islam dewasa ini. Utamanya, menyangkut lemahnya sistem pendidikan Islam yang produknya belum banyak berkonstribusi terhadap pengembangan ekonomi Syari’ah pada era globalisasi ini. Di mana, perkembangan ekonomi (khususnya nasional) hingga saat ini masih didominasi oleh para ahli dan prakatisi ekonomi “umum” yang notabene jauh dari ajaran dan nilai-nilai Islam. Adapun, pendidikan Islam dari segi keilmuan dan pengembangannya lebih banyak pada posisi terpinggirkan. Bahkan, dalam masalah ini hanya berkedudukan sebagai konsumen.
Sungguh pun demikian, bukan berarti pengembangan PAI bisa dilakukan secara serampangan. Yakni, mengadopsi segala yang dari “luar” tanpa diseleksi secara cermat. Bagaimanapun, PAI (khususnya di Indonesia) dihadapkan pada permasalahan dan kenyataan yang kompleks. Di antaranya persoalan normatif-ideologi, perbedaan kondisi alam, ekonomi, sosio-kultur, dan kesiapan semua pihak terutama masyarakat dalam menghadapi perubahan-perubahan. Bisa dikatakan, “pengembangan sistem pendidikan Islam akan banyak menyentuh dimensi-dimensi normatif-ideologis, filosofis, psikologis, sosiologis, historis, kultural, ekonomi, dan bahkan kebijakan politik.”[27]
Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma pengembangan PAI dalam bidang ekonomi syari’ah harus jelas. Di mana, salah satu tujuannya ialah bagaiman agar produk (peserta didik hasil didikan) PAI harus berkomitmen terhadap segala kegiatan ekonomi yang berbasis Islam. Sebagaimana penjelasan Chapra terkait tujuan ekonomis Islam yang dikutip oleh Fadllan sebagai berikut:

Tujuan ekonomi Islam, menurut M. Umer Chapra, sejalan dengan tujuan pokok Islam yaitu menciptakan kesejahteraan bagi semua umat manusia. Kesejahteraan ini meliputi kepuasan fisik sebab kedamaian mental dan kebahagiaan, yang hal ini dapat diperoleh melalui realisasi yang seimbang antara kebutuhan materi dan rohani dari personalitas individu. Pemenuhan kebutuhan rohani membutuhkan pembangunan moral dan pemenuhan kebutuhan materi dapat direalisasikan dengan pembangunan umat manusia dan sumber daya yang ada dalam suatu pola yang merata sehingga semua kebutuhan manusia, dapat dipenuhi secara utuh dan terwujud suatu distribusi kekayaan yang adil dan merata.[28]

Dari penjelasan itu dapat diartikan bahwa tujuan PAI sangat berat. Terlebih lagi menyangkut masalah “keadaan” peserta didik terkait kegiatan perekonomian yang kelak ia lakukan. Mereka dituntut untuk benar-benar meninggalkan kegiatan yang tidak sesuai dengan kaidah Islam. Serta menjalankan sepenuhnya perekonomian yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.

B.       Pergeseran Paradigma PAI dari Kajian Ritual Menuju Kajian Fungsional (Studi Kasus Pengembangan Ekonomi Syari’ah)
Menurut Malik Fadjar sebagaimana dikutip oleh Akh. Minhaji bahwa kenyataannya banyak ajaran Islam yang hanya difungsikan sebagai penghakim atau penjustifikasi (menolak atau membenarkan) terhadap fenomena sosial yang berkembang. Hal ini bisa menyebabkan hilangnya fungsi agama sebagai motivator dan inovator sehingga bisa menghambat kreativitas. Kenyataan ini, masih menurut Malik Fadjar menggambarkan sungguh memprihatinkannya pendidikan Islam.[29] Mengingat, apa yang terjadi di masysarakat hingga pada bata tertentu merupakan refleksi atas eksistensi pendidikan. Menurutnya, kekurangan pendidikan Islam utamnya terletak pada level epistemologi. Akibatnya, lembaga pendidikan Islam masih ada yang belum mampu menginternalisasikan nilai-nilai Islam ke dalam lingkungan sosial-kultural yang sedang berkembang. Di antara penanaman nilai-nilai Islam ke lingkup sosialnya ialah pada sumber daya manusia, etos kerja, pengetahuan, dan keterempilan.[30]


Bahkan, dalam QS: Hūd [11]: 15-16 pun dijelaskan bahwa:[31]




15. Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan.







16. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialh di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang mereka kerjakan.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa setiap individu yang hanya memprioritaskan pengembangan ekonomi (materi) dengan mengesampingkan spiritual (keghaiban), maka bisa dikatakan masih melakukan penyimpangan terhadap hukum Allah. Mereka tidak memperoleh manfaat sedikitpun dari sesuatu yang telah diusahakan tersebut.[32]
Namun demikian, spiritualitas saja tanpa adanya kesadara untuk mengembangkan diri dalam bidang ekonomi juga merupakan tindakan bunuh diri. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nawawi sebagai berikut:

“rendahnya kualitas penduduk merupakan penghalang pembangunan ekonomi susatu negara. Ini disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tenaga kerja. Untuk adanya pengembangan ekonomi terutatam industri, jelas sekali dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja yang mempunyai skill atau paling tidak dapat membaca dan menulis. Dengan kata lain pendidikan merupakan faktor penting bagi berhasilnya pembangunan ekonmi, bahkan pendidikan merupakan sumber daya yang besar manfaatnya di faktor produksi. Problem yang dihadapi di negara-negara yang sedang berkembang batas angkata kerja (halaman 87)  lebih rendah di Indonesia 10 tahun ke atas dari pada negara maju 15 tahun ke atas. Demikian pula kuantitas dan kualitas angkatan kerja lebih rendah di negara-negara yang sedang berkembang dari pada negara-negara maju, karena sebagian besar penduduk di negara berkembang berusia muda.”[33]

Diakui atau tidak, negara-negara Islam sekarang ini dalam aspek metodologis (bukan paradigmanya) sebagian besar meniru sistem pendidikan ala Barat. Di mana, sesungguhnya paradigma pendidikan barat terkesan anti terhadap nilai-nilai keghoiban dan lebih mengagungkan kebenadaan (materi/fisik) semata. Hal itu berbanding terbalik dengan pradigma pendidikan Islam di negara-negara Islam selama ini. Di mana, pradigma pengembangan pendidikan islam sebagian besar cenderung menekankan pada aspek spirtual semata. Sedangkan aspek keduniaan di mata umat Islam memiliki porsi yang sangat minim sekali.[34]
Masalah lainnya ialah sekarang ini umat Islam dihadapkan dengan erga globalisasi. Di mana, sebagai salah satu produk modernasi pembanguan sesungguhnya globalisasi merupakan keniscayaan pembangunan. Dengan asumsi, pembangunan tersebut bersumber dari pengembangan rasio manusia sehingga menjadi manusia berkualitas. Dalam menghadapi kenyataan itu, mencerdaskan umat Islam sebagai khalifah Allah di muka bumi menjadi kebutuhan urgen. Asumsinya, bila disepakati bahwa SDM yang perlu dibentuk untuk kebutuhan masa depan ialah SDM yang berteknologi dan beragama, maka pemenuhan lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan potensi kekhalifahan seperti itu menjadi kebutuhan mutlak.[35]
Di sadari atau tidak, globalisasi menghendaki keterlibatan semua pihak (negara) di seluruh dunia. Masalahnya, sebagian besar umat Islam sampai saat ini dalam percaturan dunia masih digolongkan sebagai pihak yang kurang diperhitungkan. Untuk mengatasinya, perlu diadakan langkah terobosan. Salah satu langkah paling utama ialah meningkatkan sumber daya umat Islam melalui pendidikan.[36]
Dari penjelasan itu dapat dikatakan bahwa Islam mendudukan berbagai perkara yang ada pada satu titik keseimbangan, sehingga semua itu bisa menjadi lebih baik dan positif. Salah satu jalur yang digunakan untuk memperjuangkan prinsip keseimbangan itu ialah melalu pendidikan. Di antara prinsip kesimbangan yang mesti diperjuangkan melalui pendidikan di antarany kesimbangan antara kepentingan hidup dunia dan akhirat, kebutuhan jasmani dan rohani, kepentingan individu dan sosial, dan antara ilmu dengan amal.”[37] Dengan demikian, untuk mewujudkan keseimbangan tersebut maka Pendidikan Islam paling tidak harus mencakup dua hal yaitu:

Pertama: Pendidikan memungkinkan manusia mengerti Tuhannya secara benar, sehingga semua perbuatannya terbingkai ibadah yang dilakukan dengan penuh penghayatan akan keesan-Nya; Kedua: Pendidikan harus menggerakkan  seluruh potensi manusia (sumber daya manusia) untuk memahami sunnah Allah di atas bumi, menggalinya, dan memanfaatkannya untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama (rahatan lil’alamin).”[38]



BAB I
Penutup
           

            Dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh umat Islam pasti semuanya tak boleh dipisahkan dari aturan-aturan agama. Begitu pula dalam bidang ekonomi, seharusnya umat Islam tidak boleh memisahkan antara kegiatan ekonomi sebagai ritual dengan kegiatan ekonomi sebagai kebutuhan hidup. Dengan demikian, cukup jelas bahwa ekonomi Islam bukanlah sekedar wacana moral. Namun, lebih dari itu berdasarkan fakta sejarah ekonomi Islam pernah berjaya di masa lalu (awal datangnya Islam hingga Abad Pertengahan). Hal inilah yang mengharuskan setiap praktisi dan pengonsep Pendidikan Islam untuk “menyadarkan” peserta didik bahwa kegiatan ekonomi itu juga menjadi penentu kesuksesan manusia di dunia hingga akhirat.
            Pengembangan umat Islam agar menjadi lebih baik merupakan tanggung jawab seluruh umat Islam itu sendiri. Tak terkecuali dalam bidang pengembangan ekonomi. Dengan ekonomi yang kuat, maka umat Islam akan mampu merubah masyarakat dan bangsa dari kelemahan sehingga menjadi bangsa yang kuat dan mampu berdaya saing. Namun demikian, sekali lagi yang perlu ditekankan ialah tujuannya bukan hanya sekedar pengembangan kuantitas tapi juga pengembangan kualitas perekonomian bangsa. Terlebih saat ini merupakan masa globalisasi, di mana kualitas menjadi lebih diutamakan daripada kuantitas.
            Tak terkecuali ialah globalisasi ekonomi. Di mana, globalisasi ekonomi berarti pengurangan hambatan secara bertahap pada transaksi perdagangan barang maupun jasa, pergerakan manusia, dan investasi antar negara sampai terhapus dalam jangku waktu tertentu. Asumsinya, beberapa negara di dunia yang tergantung pada negara lain –sebagai imbas globalisasi— telah mendorong mereka untuk bergabung dalam blok-blok ekonomi. Kenyataan ini merupakan pengaruh “tekanan” politik ekonomi dunia. Di mana, negara yang tidak tergabung dalam salah satu blok tersebut akan cenderung mengalami kesulitan. Baik dalam bidang kebijakan maupun pengembangan ekonominya.[39] Wallahualambissawab.


Daftar Pustaka

Amin, A. Rifqi. Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner. Yogyakarta: LKiS, 2015.

--------. Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: Deepublish, 2014.

“Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014.

Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cet. II, 2010.

Anshori. Transformasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gaung Persada, 2010.

Dahlan, Ahmad. “Urgensi Studi Ekonomi Islam,” Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, Insania, Vol.13 No.1, 2008: hlm. 116-129, dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=49319&val=3912, diakses tanggal 17 Mei 2015.

Departeman Agama.  Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz 1-30 Edisi Baru. Surabaya: Duta Ilmu, 2005.

Fadllan. “Paradigma Madzhab-Madzhab Ekonomi Islam dalam Merespon Sistem Ekonomi Konvensional,” Jurnal Al-Ihkam, Vol. 7 No.1 Juni 2012: hlm. 156-177, dalam http://www.ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/alihkam/article/download/322/313, diakses tanggal 19 April 2015.

Fathuddin, Syukri. “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman. Yogyakarta: UNY Press, 2008.

Idi, Abdullah dan Toto Suharto. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

Marzuki. Prinsip Dasar Akhlak Mulia: Pengantar Studi Konsep-konsep Dasar Etika dalam Islam. Yogyakarta: Debut Wahana Press & FISE UNY, 2009.

Minhaji, Akh. “Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia dan Tradisi Berpikir Kritis,” dalam Paradigma baru pendidikan: Restropeksi dan proyeksi Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, ed. Kusmana dan JM. Muslimin. Jakarta: IISEP dan DIKTIS, Dirjen Pendis Depag RI, 2008.

Muchsin, Bashori dan Abdul Wahid. Pendidikan Islam Kontemporer. Bandung: Refika Aditama, 2009.

Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Cet. III, 2009.

--------. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cet. II, 2004.

Naim, Ngainun. Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman. Yogyakarta: Teras, 2011.

Nawawi, Ismail. Pembangunan dalam Perspektif Islam: Kajian ekonomi, Sosial, dan Budaya. Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009.

Rahardjo, M. Dawam. “Rancang Bangun Ekonomi Islam,” dalam http://ekonomisyariah.org/download/artikel/Arsitektur%20Ekonomi%20Islam.pdf, diakses tanggal 19 April 2015.

Rossidy, Imron. Pendidikan Berparadigma Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah dengan Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan. Malang: UIN, 2009.

Suprayogo, Imam. Kyai dan Politik: Membaca Citra Politik Kyai. Malang: UIN Malang Cet. II, 2009.

Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis Filosofis, dan Spiritualitas. Malang: UMM, 2008.

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya. Jakarta: Cemerlang, 2003.

Yusup, Asdar. “Paradigma Ekonomi Islam dalam Sorotan Kontemporer (Muh. Abdul Mannan Versus Syed Nawab Haedir Naqvi),” dalam https://www.academia.edu/9357888/PARADIGMA_EKONOMI_ISLAM_DALAM_SOROTAN_KONTEMPORER_Muh.Abdul_Mannan_Versus_Syed_Nawab_Haedir_Naqvi, diakses tanggal 19 April 2015.



[1]Imam Suprayogo, Kyai dan Politik: Membaca Citra Politik Kyai (Malang: UIN Malang Cet. II, 2009), hlm. 254.
[2]Bahkan, Imam Suprayogo menyatakan bahwa ““kegiatan ekonomi kyai masihm terbatas pada upaya memenuhi kepentingannya sendiri.” Lihat, Ibid. hlm. 264.
[3]A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015), hlm. 4.
[4]Dalam ibadah ritual salat misalnya, salat yang dilakukan biasanya belum ke ranah konstruksi suci dari ucapan syahadat dan bentuk sujud kepada Allah. Artinya, belum pada tingkatan pengakuan diri bahwa dirinya adalah hamba yang wajib menyembah, membesarkan, dan mengabsolutkan-Nya. Kenyataannya malah mengutamakan kepentingan diri dan orang lain yang ada dalam bingkai (frame) sama dengannya. Pada akhirnya dikerucutkan pada pemutlakan, pembenaran, dan pengabsolutan diri sendiri atau seseorang yang ada di dalam frame tersebut. Dengan kata lain, pengabsolutan diri  masih lebih mendominasi dibandingkan dengan pengakuan kedaulatan Tuhan. Lihat, Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 174.
[5]Nilai nasionalisme didefinisikan sebagai nilai-nilai dalam menjaga keutuhan dan keamanan bangsa yang didasarkan pada peraturan Undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, umat Islam sebagai warga negara harus patuh terhadap Undang-undang yang ada di Indonesia. Pada intinya UUD 1945 tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Salah satu amanatnya adalah pada pasal  28J ayat “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Serta dalam Pasal 28E ayat 1 dan 2 serta Pasal 28I ayat 1. Lihat, “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014.
[6]Generasi muda yang tidak berani melakukan ijtihad (pengembangan diri) hanya akan memperlakukan agama sebagai alat pencapai kepentingannya. Aspek pragmatisme dan hedonisme lebih dimenangkan dibandingkan dengan melakukan kajian mendalam tentang filosofi sosial keagamaan. Implikasinya, agama gagal memasuki wilayah pemikiran progresif, dan stagnan sehingga berkutat dalam ekslusivisme. Artinya, telah terjadi pragmatisme agama yaitu melakukan kegiatan atas nama agama tapi kenyataannya hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri.
[7]A. Rifqi Amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Deepublish, 2014), hlm. 39.
[8]Syukri Fathuddin, “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman (Yogyakarta: UNY Press, 2008), hlm. 130.
[9]Pada pengembangan PAI harus dibumikan kembali bahwa pendidikan merupakan bagian kecil dari sistem kehidupan. Dengan demikian, secara konsep maupun praktik PAI tidak dapat berdiri sendiri. Ia senantiasa terkait dengan sistem lainnya seperti ekonomi, politik, budaya, perindustrian, dan sebagainya. Oleh karena itu, mekanisme pengembangan PAI mesti menyadari bahwa peserta didik kelak akan menjalani kehidupan “nyata” di luar lembaga pendidikan. Hal ini bukan berarti demi kesuksesan peserta didik pada setiap pengembangan yang dilakukan menghalalkan segala cara. Namun, ia dengan sekreatif mungkin mampu mengemas nilai-nilai Islam dimasukkan ke dalam sistem-sistem itu.
[10]Beberapa prinsip etika dalam al Qur’an menurut Hendar Riyadi sebagaimana dikutip Naim terkait hubungan sosial antar umat beragama meliputi, egalitarianisme, prinsip keadilan, prinsip toleransi, prinsip saling menghormati (bekerjasama dan berteman), prinsip ko-eksistensi damai, dan dialog yang arif-konstruktif-transformatif. Lihat, Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 53-55.
[11]Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis Filosofis, dan Spiritualitas (Malang: UMM, 2008), hlm. 49-50.
[12]Ibid., hlm. 153.
[13]Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003), hlm. 7.
[14]Padahal secara filosofis ajaran Islam menekankan “kesatuan.” Menampik adanya dikotomi antara yang sekuler (dunia) dengan yang spiritual (akhirat). Ketentuan tersebut berlaku baik pada tataran individu maupun masyarakat (kaum). Dalam tataran individu sesungguhnya manusia memang dipandang sebagai  makhluk yang bebas untuk mengembangkan ekonominya. Akan tetapi, di sisi lain ia juga dituntutu untuk berkomitme melakuan perbaikan dan pengembangan masyarakat. Misalnya, dalam urusan muamalah tindakan membantu orang miskin dan terbelakang ilmunya tentang perekonomiannya merupakan tindakan yang sangat tinggi derajat spiritualnya. Namun, hal itu akan jauh lebih bermakna lagi bila tidak hanya sekedar memberi barang atau materi tapi juga mendidik mereka (memberi ilmu) agar mereka bisa terantaskan dari kemisikinan. Tentu salah satunya melalui PAI yang diajarkan pada lembaga pendidikan.
[15]“...kajian syariah tertumpu pada masalah aturan Allah dan Rasul-Nya atau masalah hukum. Aturan atau hukum ini mengatur manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya (hablun minallah) dan dalam berhubungan dengan sesamanya (hablun minannas). Kedua hubungan manusia inilah yang merupakan ruang lingkup dari syariah Islam. Hubungan yang pertama itu kemudian disebut dengan ibadah, dan hubungan yang kedua disebut muamalah. Ibadah mengatur bagaimana manusia bisa berhubungan dengan Allah. Dalam arti yang khusus (ibadah mahdlah), ibadah terwujud dalam rukun Islam yang lima, yaitu mengucapkan dua kalimah syahadah (persaksian), mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan pergi haji bagi yang mampu. Sedang muamalah bisa dilakukan dalam berbagai bentuk aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya. Bentukbentuk interaksi itu bisa berupa hubungan perkawinan (munakahat), pembagian warisan (mawaris), ekonomi (muamalah), pidana (jinayah), politik (khilafah), hubungan internasional (siyar), peradilan (murafa’at), dan lain sebagainya. Lihat, Marzuki, Prinsip Dasar Akhlak Mulia: Pengantar Studi Konsep-konsep Dasar Etika dalam Islam (Yogyakarta: Debut Wahana Press & FISE UNY, 2009), hlm. 7-8.
[16]“Dewasa ini, Ekonomi Islam, di Indonesia disebut juga “Ekonomi Syari‟ah” yang di Barat disebut sebagai Ekonomi Hukum (Legal Economics) karena yang nampak menonjol adalah pilar-pilar hukumnya. Kekuatan dari sistem ekonomi ini, menurut pengamat Barat adalah kemampuannya sebagai azas-azas prudensialitas dalam industri keuangan, khususnya perbankan. Itulah sebabnya, maka sistem dengan produk-produknya, diminati oleh investor Barat.” Lihat, M. Dawam Rahardjo, “Rancang Bangun Ekonomi Islam,” dalam http://ekonomisyariah.org/download/artikel/Arsitektur%20Ekonomi%20Islam.pdf, diakses tanggal 19 April 2015.
[17]Selanjutnya Dahlan menjelaskan bahwa “M. Abdul Mannan memberikan definisi ilmu ekonomi Islam sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi kerakyatan yang diilhami oleh nilai-nilai dan ajaran Islam. Syed Nawab Husein Naqvi menegaskan ide sentral yang membatasi ilmu ekonomi Islam dan yang menempatkannya berbeda dengan ilmu ekonomi positif adalah nilai-nilai etik/agama secara eksplisit dimasukkan dalam frame work analisis ekonomi secara terpadu. Oleh karena itu, ilmu ekonomi Islam merupakan upaya validitas ide filosofis (normatif) yang diaplikasikan dan dipadukan dengan klaim validitas objektif (empiris)... dapat dijelaskan bahwa kajian dan pembahasan ekonomi Islam berdimensi kerakyatan dengan sistem yang dibangun merupakan representasi dari ajaran dan nilai-nilai Islam. Adapun kepentingan atau tujuan dari sistem ekonomi Islam merupakan suatu bentuk “ijtihad” dari penerjemahan ajaran agama (maqâshid syari’ah) pada wilayah normatif agar dapat dipraktikkan menjadi sistem yang aplikatif pada wilayah sosial (kerakyatan).” Lihat, Ahmad Dahlan, “Urgensi Studi Ekonomi Islam,” Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, Insania, Vol.13 No.1, 2008: hlm. 116-129, dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=49319&val=3912, diakses tanggal 17 Mei 2015.
[18]Asdar Yusup, “Paradigma Ekonomi Islam dalam Sorotan Kontemporer (Muh. Abdul Mannan Versus Syed Nawab Haedir Naqvi),” dalam https://www.academia.edu/9357888/PARADIGMA_EKONOMI_ISLAM_DALAM_SOROTAN_KONTEMPORER_Muh.Abdul_Mannan_Versus_Syed_Nawab_Haedir_Naqvi, diakses tanggal 19 April 2015.
[19]Ibid.
[20]Dari sudut kebahasaan dalam konteks bahasa al Qur‟an yang terkandung dalam tafsir berbagai ulama, [kata] Islam mengandung tiga arti. Pertama, selamat dan menyelamatkan, kedua, aman, tenteram dan damai dan ketiga kesejahteraan metarial. Kesemuanya itu disebut juga al falah atau kebahagiaan dunia dan akhirat. Berdasarkan penafsiran ini maka Ekonomi Islam dapat ditafsirkan sebagai ilmu atau sistem ekonomi yang didasarkan pada nilai nilai (value based economy), yaitu pertama keselamatan (salvation), dan yang menyelamatkan kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Kedua, perdamaian yang terhindar dari konflik, dan ketiga kesejahteraan masyarakat (kesejahteraan sosial). Sebagai ilmu yang selamat dan menyelamatkan, Ekonomi Islam dijalankan dengan kegiatan ekonomi yang didasarkan pada nilai amal-saleh dan menghindarkan diri dari perbuatan atau praktekpraktek ekonomi yang melanggar nilai-nilai moral dan etika, seperti berbohong, tidak bertanggung-jawab dan mengingkari janji atau berdosa. Dengan berperilaku baik atau amal saleh, maka bukan saja perbuatan seseorang itu tidak menimbulkan kerugian dan keburukan pada orang lain dan diri sendiri, tetapi orang yang bersangkutan akan memperoleh kepercayaan (trust) dari orang lain, sehingga melancarkan komunikasi dan interaksinya dalam berekonomi. Lihat, Rahardjo, “Rancang Bangun Ekonomi,” diakses tanggal 19 April 2015.
[21]Ibid.
[22]Anshori, Transformasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gaung Persada, 2010), hlm. 4
[23]Suprayogo, Kyai dan Politik, hlm. 256
[24]Suprayogo, Kyai dan Politik, hlm. 264.
[25]Ibid., hlm. 256-257.
[26]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali Cet. III, 2009), hlm. x.
[27]Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cet. II, 2004),  hlm. viii-ix.
[28]Fadllan, “Paradigma Madzhab-Madzhab Ekonomi Islam dalam Merespon Sistem Ekonomi Konvensional,” Jurnal Al-Ihkam, Vol. 7 No.1 Juni 2012: hlm. 156-177, dalam http://www.ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/alihkam/article/download/322/313, diakses tanggal 19 April 2015.
[29]Sebagaimana pernyataan Rossidy bahwa “pembelajaran agama selama ini masih bersifat tekstual dan normatif dimana pembelajaran agama membicarakan terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan antara manusia dan Tuhan-Nya. Sehingga secara tidak langsung kebanyakan pembelajaran agama tersebut tidak melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal-ususl agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis), bahkan kesadaran yang berkaitan dengan kesejahteraan hidup yang optimal (ekonomis).” Lihat, Imron Rossidy, Pendidikan Berparadigma Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah dengan Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan (Malang: UIN, 2009), hlm. 51
[30]Akh. Minhaji, “Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia dan Tradisi Berpikir Kritis,” dalam Paradigma baru pendidikan: Restropeksi dan proyeksi Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, ed. Kusmana dan JM. Muslimin (Jakarta: IISEP dan DIKTIS, Dirjen Pendis Depag RI, 2008), hlm. 116-117.
[31]Departeman Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz 1-30 Edisi Baru (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), hlm.299.
[32]Ismail Nawawi, Pembangunan dalam Perspektif Islam: Kajian ekonomi, Sosial, dan Budaya (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009), hlm. 10.
[33]Ibid., hlm. 88.
[34]Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 110.
[35]Ibid. hlm. 111.
[36]Ibid. hlm. 112.
[37]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cet. II, 2010), hlm. 91.
[38]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, hlm. 99.
[39]Idi dan Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, hlm. 107.
  




Ekonomi Syariah (sumber gambar finansialku)





Baca tulisan menarik lainnya: