Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

A. Pengertian Pengembangan Pendidikan Agama Islam

  Oleh: A. Rifqi Amin
Kata pengembangan berarti “proses, cara, perbuatan mengembangkan.” Kata tersebut merupakan satu akar dengan kata “berkembang” yang artinya pertama “mekar terbuka atau membentang (tentang barang yang berlipat atau kuncup).” Kedua “menjadi besar (luas, banyak, dan sebagainya); memuai.” Ketiga “menjadi bertambah sempurna (tentang pribadi, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya).” Keempat “menjadi banyak (merata, meluas, dan sebagainya).[1] Dengan demikian, pengembangan adalah suatu proses kerja cermat dalam merubah suatu keadaan menjadi lebih baik dan lebih luas pengaruhnya dari sebelumnya. Apa yang dimaksud dengan “suatu keadaan” di sini bisa berhubungan dengan manusia, sistem, organisasi, teori, pemahaman (tafsir), benda, dan sebagainya yang terkait dengan produk manusia lainnya.
Adapun yang dimaksud Pendidikan Agama Islam dalam buku ini tidak lain yaitu usaha mengkaji ilmu secara terencana untuk membentuk peserta didik menjadi manusia beriman, serta dengan sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan yang sedang atau akan ditempuhnya. Hal itu artinya, dalam segala lingkungan kehidupan peserta didik kelak mampu memilih dengan tegas terhadap adanya “dilema etika.” Yakni, antara kenyataan bisa berpeluang melakukan tindakan negatif untuk memuluskan keinginan (ego pribadi) kemudian ditandingkan dengan landasan moral yang sesuai dengan cita-cita Islam. Misalnya, ketika ia menjadi politikus, ia akan tetap teguh mencegah dan meninggalkan diri melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan cita-cita Islam meski ada peluang besar untuk melakukannya seperti korupsi, menzalimi rakyat, dan perbuatan tercela lainnya. Begitu pula saat menjadi arsitek, ia tidak akan membuat WC (toilet) menghadap atau membelakangi kiblat meski hal itu akan sedikit menambah biaya karena memakan sebagian tempat lain.


Dalam pengertian tersebut, salah satu kedudukan PAI ditegaskan sebagai “usaha mengkaji ilmu.” Hal ini menandakan, kegiatan yang ada padanya merupakan upaya ilmiah. Artinya, apa-apa yang dilakukan tidak bersifat statis, sehingga bisa dikembangkan. Oleh karena itu, PAI secara asali semestinya mempunyai jiwa dan semangat perubahan menuju terbaik. Baik perubahan yang disebabkan reaksi maupun antisipasi atas “kenyataan” baru. Baik yang berada dalam sistem maupun di luarnya. Dengan demikian, PAI bukan kegiatan yang semata-mata mengarah pada kegiatan pendoktrinan peserta didik. Kendati demikian, fokus utama PAI tetap harus jelas. Yakni, berupaya membentuk peserta didik menjadi manusia beriman. Serta sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala sektor dan sistem kehidupan[2] yang sedang atau akan ditempuh mereka.
Lebih aplikatif, Pendidikan Agama Islam di sini tidak hanya tertuju pada lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan pesantren. Pelaksanaan PAI yang dimaksud di sini juga dilaksanakan oleh negara maupun masyarakat pada semua lembaga pendidikan berbentuk sekolah seperti SD, SMP, SMA, dan SMK. Serta tentunya pengembangan PAI yang dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan tidak menutup kemungkinan bagi Perguruan Tinggi Umum (PTU). Selain itu, pengembangan PAI sesungguhnya bukan melulu pada tataran pembelajarannya yang meliputi tujuan, materi, strategi, evaluasi, dan seterusnya. Namun, juga melingkupi beberapa pengembangan lainnya, seperti pengembangan syiar Islam melalui lembaga pendidikan, kurikulum, manajemen kelembagaan, landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologis, dan lain sebagainya. Dengan demikian, diharapkan efek dan maksud diadakannya pengembangan PAI tidak hanya untuk memudahkan pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, juga bisa berpengaruh positif bagi masyarakat luas, negara, dan seluruh umat manusia. Secara gamblang dapat dikategorisasikan pengembangan PAI di lembaga pendidikan sebagaimana penulis kembangkan (ubah sesuaikan) dari gambar Sutrisno dan Muhyidin berikut ini: [3]

 

Gambar 1.1 Kategorisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan
(Gambar dirubah seperlunya agar sesuai dengan tema buku ini)

Skema tersebut menggambarkan bahwa yang dimaksud PAI di sini ialah kegiatan pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Sedangkan PAI di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tidak terlalu ditekankan dalam buku ini. Dengan kata lain, pembahasan secara khusus tentang PAI di PAUD tidak dibahas secara detail, seperti halnya pada jenjang pendidikan lain (pesantren, madrasah, sekolah, dan PTAI). Alasannya, untuk PAUD dalam pasal 14 Undang-undang Sisdiknas 2003 tidak disebutkan sebagai salah satu jenjang pendidikan formal. Dijelaskan bahwa “Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.” Diperjelas dalam pasal 26 ayat 3 bahwa “Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan  hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.” Akan tetapi di pasal 28 ayat 2 juga dijelaskan “Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.”[4] Hal ini bukan berarti jenjang pendidikan usia dini tidak penting. Bagaimanapun, kajian tentang pengembangan PAI pada PAUD secara istemewa dibutuhkan kajian tersendiri.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan Pendidikan Agama Islam berarti suatu proses kerja cermat untuk merubah hal-hal yang terkait dengan produk (konsep dan benda) atau karya manusia dalam membangun pendidikan Islam agar menjadi lebih baik pada segala aspeknya dan lebih luas pengaruh maupun kemanfaatannya dari sebelumnya. Artinya, yang dirubah dalam pembangunan PAI di sini bukan teks-teks (redaksi) sumber dan landasan pokoknya yaitu al Quran dan Hadith. Akan tetapi salah satunya melakukan reinterpretasi terhadap pemahaman ilmuwan (ulama). Khususnya tafsir ulama “pendidikan” terdahulu terhadap teks-teks yang tidak lagi relevan dengan modernitas. Atau sebaliknya, “menemukan” atau merevitalisasi[5] pemahaman dan praktik ilmuwan terdahulu yang ditinggalkan oleh ilmuwan pendidikan sakarang tapi sangat relevan dengan hari ini. Dengan demikian suatu pengembangan bukan hanya sebuah akibat tapi juga bisa menjadi sebab. Serta adanya pengembangan tidak hanya untuk memperbaiki sesuatu yang ada tapi juga untuk mencegah hal-hal negatif.




[1]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[2]Pada pengembangan PAI harus dibumikan kembali bahwa pendidikan merupakan bagian kecil dari sistem kehidupan. Dengan demikian, secara konsep maupun praktik PAI tidak dapat berdiri sendiri. Ia senantiasa terkait dengan sistem lainnya seperti ekonomi, politik, budaya, perindustrian, dan sebagainya. Oleh karena itu, mekanisme pengembangan PAI mesti menyadari bahwa peserta didik kelak akan menjalani kehidupan “nyata” di luar lembaga pendidikan. Hal ini bukan berarti demi kesuksesan peserta didik pada setiap pengembangan yang dilakukan menghalalkan segala cara. Namun, ia dengan sekreatif mungkin mampu mengemas nilai-nilai Islam dimasukkan ke dalam sistem-sistem itu.
[3]Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2012), Hlm. 51.
[4]Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003).
[5]Pengembangan di sini bukan berarti suatu tindakan yang anti konservatif. Sebaliknya, suatu pengembangan kadang kala diadakan dalam misi penyuksesan fungsi konservasi (penyelamatan). Yakni, menjaga dan memunculkan kembali nilai-nilai agama Islam  yang luhur serta universal dari penyimpangan (pemahama parsial) dan penenggelaman.




Baca tulisan menarik lainnya: