Kata pengembangan berarti “proses, cara,
perbuatan mengembangkan.” Kata tersebut merupakan satu akar dengan kata
“berkembang” yang artinya pertama “mekar
terbuka atau membentang (tentang barang yang berlipat atau kuncup).” Kedua “menjadi besar (luas, banyak, dan
sebagainya); memuai.” Ketiga “menjadi
bertambah sempurna (tentang pribadi, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya).” Keempat “menjadi banyak (merata, meluas,
dan sebagainya).[1] Dengan demikian, pengembangan adalah suatu
proses kerja cermat dalam merubah suatu keadaan menjadi lebih baik dan lebih luas
pengaruhnya dari sebelumnya. Apa yang dimaksud dengan “suatu keadaan” di sini
bisa berhubungan dengan manusia, sistem, organisasi, teori, pemahaman (tafsir),
benda, dan sebagainya yang terkait dengan produk manusia lainnya.
Adapun yang dimaksud Pendidikan Agama Islam dalam
buku ini tidak lain yaitu usaha mengkaji ilmu secara terencana untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia beriman, serta dengan sadar dan tulus menerapkan
nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan yang sedang atau akan
ditempuhnya. Hal itu artinya, dalam segala lingkungan kehidupan peserta didik
kelak mampu memilih dengan tegas terhadap adanya “dilema etika.” Yakni, antara
kenyataan bisa berpeluang melakukan tindakan negatif untuk memuluskan keinginan
(ego pribadi) kemudian ditandingkan dengan landasan moral yang sesuai dengan
cita-cita Islam. Misalnya, ketika ia menjadi politikus, ia akan tetap teguh
mencegah dan meninggalkan diri melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai
dengan cita-cita Islam meski ada peluang besar untuk melakukannya seperti
korupsi, menzalimi rakyat, dan perbuatan tercela lainnya. Begitu pula saat
menjadi arsitek, ia tidak akan membuat WC (toilet) menghadap atau membelakangi
kiblat meski hal itu akan sedikit menambah biaya karena memakan sebagian tempat
lain.
Dalam pengertian tersebut, salah satu kedudukan
PAI ditegaskan sebagai “usaha mengkaji ilmu.” Hal ini menandakan, kegiatan yang
ada padanya merupakan upaya ilmiah. Artinya, apa-apa yang dilakukan tidak
bersifat statis, sehingga bisa dikembangkan. Oleh karena itu, PAI secara asali
semestinya mempunyai jiwa dan semangat perubahan menuju terbaik. Baik perubahan
yang disebabkan reaksi maupun antisipasi atas “kenyataan” baru. Baik yang berada
dalam sistem maupun di luarnya. Dengan demikian, PAI bukan kegiatan yang semata-mata
mengarah pada kegiatan pendoktrinan peserta didik. Kendati demikian, fokus
utama PAI tetap harus jelas. Yakni, berupaya membentuk peserta didik menjadi
manusia beriman. Serta sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai Islam dalam
segala sektor dan sistem kehidupan[2] yang sedang atau akan ditempuh mereka.
Lebih aplikatif, Pendidikan Agama Islam
di sini tidak hanya tertuju pada lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan
pesantren. Pelaksanaan PAI yang dimaksud di sini juga dilaksanakan oleh negara
maupun masyarakat pada semua lembaga pendidikan berbentuk sekolah seperti SD,
SMP, SMA, dan SMK. Serta tentunya pengembangan PAI yang dilaksanakan oleh
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan tidak menutup kemungkinan bagi
Perguruan Tinggi Umum (PTU).
Selain itu, pengembangan PAI sesungguhnya bukan melulu pada tataran
pembelajarannya yang meliputi tujuan, materi, strategi, evaluasi, dan
seterusnya. Namun, juga melingkupi beberapa pengembangan lainnya, seperti
pengembangan syiar Islam melalui lembaga pendidikan, kurikulum, manajemen
kelembagaan, landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologis, dan
lain sebagainya. Dengan demikian, diharapkan efek dan maksud diadakannya
pengembangan PAI tidak hanya untuk memudahkan pendidik dan peserta didik dalam
proses pembelajaran. Akan tetapi, juga bisa berpengaruh positif bagi masyarakat
luas, negara, dan seluruh umat manusia. Secara gamblang dapat dikategorisasikan
pengembangan PAI di lembaga pendidikan sebagaimana penulis kembangkan (ubah
sesuaikan) dari gambar Sutrisno dan Muhyidin berikut ini: [3]
Gambar 1.1 Kategorisasi Pengembangan Pendidikan Agama
Islam di Lembaga Pendidikan
(Gambar
dirubah seperlunya agar sesuai dengan tema buku ini)
Skema tersebut menggambarkan
bahwa yang dimaksud PAI di sini ialah kegiatan pada jenjang pendidikan dasar,
menengah, dan tinggi. Sedangkan PAI di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tidak
terlalu ditekankan dalam buku ini. Dengan kata lain, pembahasan secara khusus
tentang PAI di PAUD tidak dibahas secara detail, seperti halnya pada jenjang pendidikan
lain (pesantren, madrasah, sekolah, dan PTAI). Alasannya, untuk PAUD dalam
pasal 14 Undang-undang Sisdiknas 2003 tidak disebutkan sebagai salah satu jenjang
pendidikan formal. Dijelaskan bahwa “Jenjang pendidikan
formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi.” Diperjelas dalam pasal 26 ayat 3 bahwa “Pendidikan nonformal meliputi
pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan,
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik.” Akan tetapi di pasal 28 ayat 2 juga dijelaskan “Pendidikan anak usia
dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau
informal.”[4] Hal ini bukan berarti jenjang pendidikan usia dini tidak penting.
Bagaimanapun, kajian tentang pengembangan PAI pada PAUD secara istemewa
dibutuhkan kajian tersendiri.
Dari pemaparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa pengembangan Pendidikan Agama Islam berarti suatu proses
kerja cermat untuk merubah hal-hal yang terkait dengan produk (konsep dan
benda) atau karya manusia dalam membangun pendidikan Islam agar menjadi lebih
baik pada segala aspeknya dan lebih luas pengaruh maupun kemanfaatannya dari
sebelumnya. Artinya, yang dirubah dalam pembangunan PAI di sini bukan teks-teks
(redaksi) sumber dan landasan pokoknya yaitu al Quran dan Hadith. Akan
tetapi salah satunya melakukan reinterpretasi terhadap pemahaman ilmuwan
(ulama). Khususnya tafsir ulama “pendidikan” terdahulu terhadap teks-teks yang
tidak lagi relevan dengan modernitas. Atau sebaliknya, “menemukan” atau
merevitalisasi[5] pemahaman dan praktik ilmuwan terdahulu yang
ditinggalkan oleh ilmuwan pendidikan sakarang tapi sangat relevan dengan hari
ini. Dengan demikian suatu pengembangan bukan hanya sebuah akibat tapi juga bisa menjadi sebab.
Serta adanya pengembangan tidak hanya untuk memperbaiki
sesuatu yang ada tapi juga untuk mencegah
hal-hal negatif.
[1]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip,
didownload tanggal 21 April 2014.
[2]Pada
pengembangan PAI harus dibumikan kembali bahwa pendidikan merupakan bagian
kecil dari sistem kehidupan. Dengan demikian, secara konsep maupun praktik PAI
tidak dapat berdiri sendiri. Ia senantiasa terkait dengan sistem lainnya
seperti ekonomi, politik, budaya, perindustrian, dan sebagainya. Oleh karena
itu, mekanisme pengembangan PAI mesti menyadari bahwa peserta didik kelak akan
menjalani kehidupan “nyata” di luar lembaga pendidikan. Hal ini bukan berarti
demi kesuksesan peserta didik pada setiap pengembangan yang dilakukan
menghalalkan segala cara. Namun, ia dengan sekreatif mungkin mampu mengemas
nilai-nilai Islam dimasukkan ke dalam sistem-sistem itu.
[3]Sutrisno
dan Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam
Berbasis Problem Sosial (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2012), Hlm. 51.
[4]Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003
Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003).
[5]Pengembangan di sini bukan berarti suatu tindakan yang anti konservatif.
Sebaliknya, suatu pengembangan kadang kala diadakan dalam misi penyuksesan fungsi
konservasi (penyelamatan). Yakni, menjaga dan memunculkan kembali nilai-nilai
agama Islam yang luhur serta universal
dari penyimpangan (pemahama parsial) dan penenggelaman.