PENGEMBANGAN PROGRAM STUDI PADA PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM
(STUDI KASUS DI UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG)
BAB I
Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Kajian tentang pengembangan
program studi (untuk seterusnya dalam makalah ini disebut prodi) dalam arti pengembangan
kurikulum, penambahan
jumlah, dan penggantian namanya di Perguruan Tinggi Agama Islam (untuk
seterusnya dalam makalah ini akan disebut PTAI) merupakan salah satu wacana
baru. Mengingat, selama ini PTAI masih
identik dengan perguruan tinggi yang hanya mengurusi persoalan akhirat dan cenderung
fokus pada penguasaan ilmu keagamaan. Meski gagasan tentang pengembangan
kurikulum PTAI –yang termanifestasikan dalam penambahan prodi umum (non
keagamaan)– sudah cukup lama beredar, tapi baru masa reformasi gagasan ini
mulai mendapatkan jalan terang. Tatkala ada Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999
yang berimbas pada otonomisasi dalam bidang-bidang tertentu. Termasuk di
dalamnya otonomi pendidikan di semua jenjang. Kemudian ditindaklanjuti
dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal
24 ayat 1 dan 2.
Pada kurun beberapa waktu setelahnya, muncul
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan yang bisa menjadi landasan bagi PTAI dalam melakukan pengembangan
prodi. Salah satu isi yang terkait dengan itu adalah Pasal 184 ayat 5:
”Kewenangan membuka, mengubah, dan menutup program studi sebagaiman dimaksud
dalam Pasal 58F ayat (2) huruf (b) butir (1.b) diberikan secara bertahap kepada
perguruan tinggi.”
Kendati demikian, di dalam peraturan itu ada perbedaan aturan pada bidang
tertentu antara Perguruan Tinggi yang dikelola pemerintah dengan perguruan
tinggi swasta yang dikelola masyarakat.
Lebih detail, setelah hadirnya Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2012 semakin menguatkan posisi (secara hukum positif) PTAI. Hal
tersebut telah memberikan keleluasaan dan kewenangan penuh kepadanya. Meskipun
pada kenyataan hanya PTAI yang berbentuk Universitas-lah yang mendapatkan porsi
seluas-luasnya untuk membuka prodi baru, utamanya
prodi umum (berbasis ilmu pengetahuan umum). Termasuk dalam hal ini adalah Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (untuk seterusnya dalam makalah ini
akan disebut UIN Maliki Malang). Adapun yang berbentuk Institut masih ada
keterbatasan, terlebih lagi untuk Sekolah Tinggi tidak
memiliki wewenang sama sekali untuk membuka prodi umum. Adapun yang berbentuk
Institut pada kenyataannya ada yang membuka prodi umum, akan tetapi fakultasnya
tetap berada di rumpun lama yaitu fakultas yang berbasis keagamaan.
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan semua
bentuk PTAI pada dasarnya diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulumnya.
Baik dilakukan dengan cara pengembangan muatan dan corak keilmuan pada setiap
mata kuliahnya maupun dengan penambahan mata kuliah baru (mata kuliah umum)
untuk meningkatkan keilmuan mahasiswanya. Dengan kata lain, pengembangan di PTAI di sini ada dua katagori. Pertama, pengembangan kurikulum (utamanya
muatan materi atau mata kuliah) pada setiap fakultas dan prodi yang sudah ada
oleh PTAI berbentuk Sekolah Tinggi dan Institut. Kedua, pengembangan dengan cara
penambahan Prodi dan fakultas baru non keagamaan yang hanya bisa dilakukan oleh
PTAI berbentuk Universitas dan “sebagian” institut.
Dalam sekup keindonesiaan, PTAI merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Konsekuensinya, jenis perguruan tinggi tersebut senantiasa juga terikat dengan aturan-aturan undang-undang
dan aturan pemerintah. Dengan demikian, PTAI harus bisa
menyesuaikan ritme yang berlaku yaitu
antara kepentingan pendidikan nasional dengan kepentingan (tujuan) institusi.
Di mana kepentingan nasional sekarang ini sedang membutuhkan generasi penerus
bangsa yang unggul dalam penciptaan dan pengembangan bidang ilmu pengetahuan
umum, teknologi, dan seni. Implikasinya, PTAI diberi tanggung jawab untuk
membantu kesuksesan misi tersebut. Dapat disimpulkan, PTAI tidak bisa lepas dari
kenyataan-kenyataan bahwa masyarakat dalam kehidupan yang serba kompleks ini
tidak hanya membutuhkan ilmu agama. Terlebih bila lulusan dari fakultas
atau keagamaan Islam pada beberapa prodi telah overload.
Sedang untuk kalangan umat Islam sendiri, sesungguhnya umat Islam tidak hanya butuh ahli agama saja untuk menghadapi
kehidupan modern ini, akan tetapi juga ahli bidang ilmu pengetahuan umum. Hal ini dilakukan supaya seluruh kepentingan hidup umat Islam bisa tercover
oleh umat Islam sendiri yang ahli di beberapa bidang ilmu pengetahuan tersebut. Asumsi tersebut terbukti bahwa PTAI sekarang ini kurang
diminati oleh
masyarakat. Hal ini terjadi karena perannya masih dirasa kurang memberikan
manfaat bagi “sistem” kehidupan umat Islam di Indonesia.
Baik dari segi moral, misalnya terjadinya fenomena pacaran bebas,
penyalahgunaan narkotika, tawuran, dan perilaku amoral lainnya ternyata tidak
mendapatkan perhatian serius dari sarjana lulusan PTAI. Bahkan bisa dikatakan
tidak mampu memberikan jalan keluar. Sedangkan, dari segi pengembangan keilmuan
(ademisi) secara teori dan praktik oleh para sarjana dari PTAI masih diragukan
kualitasnya.
Dari semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa PTAI, termasuk di
dalamnya UIN Maliki Malang yang menjadi kajian utama dalam makalah ini punya
tugas berat yang harus diemban. Di antaranya, harus bisa menemukan jati diri
yang sesungguhnya, sehingga peran dan fungsinya bisa dirasakan secara langsung
oleh masyarakat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan
beberapa cara. Salah satunya dengan pengembangan kurikulum melalui penambahan
atau perubahan nama mata kuliah serta penambahan atau perubahan nama . Langkah
inilah yang telah dilakukan oleh UIN Maliki Malang yang membuka fakultas
humaniora seperti saintek. Serta umum
yang tersebar di beberap fakultas lainnya.
Berangkat dari pembahasan di atas, penulis memandang perlu untuk meneleaah
bagaimana proses pengembangan prodi di UIN Maliki Malang. Sejauh mana
keefektifan langkah-langkah yang ditempuh untuk mendapatkan hasil optimal dari
berbagai bidang, sehingga langkah pengembangan prodi ini bukan semata sebagai
langkah seremonial dan “gagah-gagahan”. Oleh karena itu, untuk melakukan
langkah tersebut dibutuhkan landasan, konsep, dan pemikiran yang secara lebih
detail akan dibahas dalam makalah ini.
2. Batasan Masalah dan
Topik Pembahasan
Dari penjelasan tersebut, penulis dapat
merumuskan batasan masalah yang menjadi fokus kajian pada makalah ini. Adapun
topik utama pada pembahasan ini dikerucutkan sebagai berikut:
a.
Konsep dasar tentang
pengembangan program studi di PTAI, yang meliputi: Hal-hal terkait tentang PTAI
di indonesia, landasan fondasional (sosiologis dan psikologis) pengembangan
program studi pada PTAI, dan landasan operasional pengembanan program studi
pada PTAI.
b.
Langkah-langkah pengembangan
program studi pada PTAI
c.
Menuju kualitas lulusan PTAI
yang integratif dan mandiri dalam keilmuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Dasar
1.
Hal-hal Terkait tentang Perguruan Tinggi Agama Islam di
Indonesia
Berdasarkan catatan sejarah, secara
kelembagaan proses pendirian PTAI di masa awalnya masih berorientasi pada
pendidikan di Timur Tengah. Utamanya dipengaruhi corak Universitas al Azhar di
Mesir, dengan bukti nama fakultas dan gaya kerjanya cenderung meniru kampus
tersebut. Sifat yang “mengekor”
inilah yang secara terus menerus menyebabkan umat Islam Indonesia mengalami
kemandekan tradisi keilmuan. Selain juga tidak menafikkan pada saat itu
terdapat kekakuan aturan (intervensi) dari penguasa. Padahal fenomena seperti itu
bukan merupakan identitas perguruan tinggi di negara maju.
Walaupun demikian, ada pendapat lain yang
mengatakan bahwa
model al Azhar tidak sepenuhnya diadopsi secara buta. Pada perkembangan selanjutnya PTAI
juga mendopsi sebagian sistem pendidikan dari Barat yaitu Sistem Kredit
Semester (SKS). Misalnya ada dua fakultas di IAIN yang tidak ditemukan pada al Azhar yaitu fakultas Tarbiyah dan Dakwah. Ciri khas IAIN lain yang menjadi pembeda dengan al Azhar adalah
pada rumusan tujuannya. Yakni, untuk mencetak ahli ilmu agama yang aktif
dalam pengembangan harmoni antarumat beragama dalam bingkai masyarakat
Indonesia yang majemuk. Sedang pada tingkat ideologi, salah satu alasan banyak ulama Indonesia untuk diadakan pengembangan pendidikan
tinggi agama Islam (PTAI) secara mandiri adalah keyakinan mereka bahwa Islam
telah berkembang melalui berbagai corak, sesuai dengan konteks histori dan
budaya
yang berbeda-beda. Serta harapan mereka bahwa Islam terus berkembang sedemikian rupa di masa depan. Bisa dikatakan, pengembangan ilmu agama Islam di Indonesia tidak serta merta mengikuti secara mutlak dari model timur
tengah atau model rujukan lainnya.
Pada perkembangan selanjutnya, karena
berbagai dampak perkembangan politik, perundang-udangan (aturan), dan
peningkatakan ekonomi bangsa Indonesia maka terjadilah pembaruan PTAI melalui
pembukaan baru.
Hal tersebut frekuensinya semakin tinggi utamanya pasca reformasi 1998,
sehingga bisa dikatakan pada masa itu sebagai fase pembaruan PTAI. Sikap
fleksibel tersebut dilakukan guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui
jalur pengembangan ilmu-ilmu umum. Pada fase inilah pengembangan baru dilakukan secara intensif, utamanya yang
berbentuk universitas.
Selama ini permasalahan pengembangan
prodi PTAI masih berkutat (difokuskan) pada bagaiamana cara menambahkan mata
kuliah baru yang didasarkan ilmu umum serta penambahan prodi baru non
keagamaanan. Padahal, sesungguhnya pembaruan dan pengembangan kurilukum yang diwujudkan dalam
pembentukan prodi baru saja tidaklah cukup. Bagaimanapun, banyak kendala yang
dihadapi ketika kurikulum tersebut diberlakukan, diantaranya:
a. Faktor Dosen
yang belum memiliki kualtas keilmuan integratif yang memadai.
b. Faktor mahasiswa yang diterima di IAIN
kebanyakan berasal dari mahasiswa yang tidak diterima di tempat lain (limpahan
PTU).
c. Faktor buku yang belum memenuhi standar (memadai) pada masing-masing bidang ilmu yang
diajarkan di PTAI
d. Faktor jaringan dan penelitian di kalangan
civitas akademika yang masih terbatas
e. Faktor bidang ilmu dan mata kuiah yang
diajarkan masih tidak jauh beda seperti yang diajarkan pada pesantren.
Tiga kelemahan lain pada IAIN sebagai PTAI pada umumnya yaitu, masih rendahnya orientasi akademik,
rendahnya orientasi manajemen, dan terlalu menjadikan agama sebagai objek akal semata. Salah satu peluang dalam mengatasi
masalah tersebut
adalah adanya PP No. 60 tahun 1999. Dengan itu, kini IAIN mempunyai kewenangan luas untuk membentuk lembaga-lembaga yang
diperlukan dalam penyelenggaraikan Perguruan Tinggi (baik jurasan maupun fakultas dan
lembaga-lembaga lain yang bisa menunjang bergairahnya akedimisi).
Dari pembahasan di atas, dapat di
simpulkan bahwa pada mulanya tujuan dibentuknya PTAI di Indonesia sangat
sederhana. Yakni, berkutat atau dilatar belakangi pada masalah politik,
mempertahankan corak keagamaan, dan karena hasrat umat Islam untuk punya
Perguruan Tinggi sendiri. Implikasinya, untuk
yang ditawarkan pun masih sangat sedikit serta hanya menyentuh aspek
ilmu agama Islam. Bisa dikatakan, landasan dasar pendirian PTAI pada saat itu
masih dalam sekup tujuan jangka pendek (pragmatis). Namun, setelah terjadi
dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks seperti ini menuntu PTAI
agar bisa menyesuaikan diri. Terlebih setelah adanya kebebasan dalam pengembangan
kurikulum melalui aturan formal, menyebabkan banyak PTAI berinovasi untuk
memenuhi tuntutan masyarakat. Ada yang diwujudkan pada penambahan atau
perubahan mata kuliah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta ada yang
menambah prodi baru pada setiap fakultasnya.
2. Landasan Fondasional Pengembangan
Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam
Secara
bahasa “landasan” berarti alas, pijakan, dan tumpuan. Sedangkan “fondasional”
berasal dari kata fondasi yang berarti fundamen, di mana kata “fundamen”
memiliki arti mendasar (pokok). Sedangkan kata “pengembangan” berarti proses
atau cara yang dilakukan untuk mengembangkan sesuatu.
Adapun memiliki arti “kesatuan kegiatan
pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran
tertentu dalam satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau
pendidikan vokasi.” Dengan
demikian secara Istilah kata “landasan fondasional” berarti pijakan atau
tumpuan yang dilakukan secara (bersifat) mendasar atau pada pokok
permasalahnnya. Sedangkan “pengembangan program studi” memiliki arti proses
atau cara yang dilakukan untuk mengembangkan kurikulum dan metode pembelajaran
pada satuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang difokuskan pada satu jenis
pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan pendidikan vokasi.
Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat dirumuskan bahwa landasan fondasional diadakannya
pengembangan prodi pada PTAI adalah karena mutu (keilmuan) PTAI masih dianggap
rendah. Serta
mutu lulusannya
kurang memenuhi harapan masyarakat. Bahkan sumbangannya terhadap pengembangan
ilmu agama Islam pun belum dianggap signifikan. Hal tersebut terjadi karena kelemahan
kurikulum PTAI, yaitu:
a.
Kurikulum yang kurang relevan dengan PTAI tetap dipertahankan, banyak
prodi yang tidak diminati masyarakat tetap dipertahankan.
b.
Kurikulum yang kurang efektif, tidak ada jaminan bisa dihasilkan lulusan
yang sesuai harapan.
c. Kurikulum yang kurang efisien, terlalu
banyaknya mata kuliah dan sks yang tidak bisa menjamin dihasilkan lulusan yang
sesuai harapan.
d. Kurikulum yang kurang fleksibel, PTAI kurang
berani secara kreatif dan bertanggung jwab untuk memperbarui kurikulum yang
sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
e. Kurikulum yang Readibility sangat rendah, tidak komunikatif sehingga bisa
menimbulkan salah tafsir.
f. Kurikulum yang hanya terwujud dalam deretan mata kuliah tanpa makna jelas.
g. Kurikulum yang terfokus pada bagaimana isi
serta menyampaikan mata kuliah, bukan pada tujuan (nasional, institusional,
kurikuler, dan intruksional).
h. Kurikulum yang hubungan fungsional antar mata
kuliah yang mengacu pada tujuan kurikuler masih kurang jelas.
Agar lebih
jelas dan terfokus, maka dalam pembahasan landasan fondasional ini penulis
membagi menjadi dua bidang landasan fondasional, yaitu:
a)
Landasan Sosiologis
Kata “sosiologis” punya arti “mengenai sosiologi; menurut sosiologi.”
Adapun, kata “sosiologi” artinya ilmu tentang sifat, struktur sosial, perilaku
(proses sosial), dan dinamika (perubahan) masyarakat.
Dengan demikian, kandungan arti dari “landasan sosiologis pengembangan prodi”
adalah pijakan atau dasar keilmuan tentang kemasyarakatan beserta gejala-gejala
(dinamika) terbarunya bagi perguruan tinggi dalam melakukan pengembangan prodi.
Tentang gejalan kemasyarakat tersebut, Muhaimin menjelaskan terkait
pengembangan kurikulum di PTAI harus memperhatikan hal berikut ini:
Masyarakat Indonesia bersifat plural, serba ganda dan beragam, sehingga
tidak adil bila segala-galanya harus disamakan. Karena itu, pengembangan
kurikulum harus mampu memberi peluang kepada masing-masing PTAI untuk
berimprovisasi dan berkreasi untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhannya. Di samping itu masyarakat bersifat dinamis dan
berkembang, sehingga memerlukan kemampuan untuk beradaptasi dan/atau kesiapan
untuk berhadapan dengan dinamika perubahan dan perkembangan yang ada.
Lebih detail, Ahmad Syafi’i Maarif menyampaikan bahwa pada saat ini dunia
telah memasuki peradaban modern sekuler. Di mana cara pandang
manusia tidak lagi hirau pada kehidupan hari esok yang jauh, terlebih untuk
kehidupan akhirat. Bukan sebuah perkara gampang bagi PTAI untuk menanamkan nilai-nilai
dasar Islam ke pada setiap mahasiswa. Selain itu, kurikulum PTAI yang
tergejawantah dalam pembagian prodi hingga ke mata kuliah dirasa masih belum
menyentuh kategori-katagori ilmu dalam
al Quran yang sangat luas. Kurikulum yang “parsial”
ini dirasa sudah tidak bisa lagi mengatasi arus modernisme yang semakin liar.
Dengan kata lain, umat Islam sekarang ini membutuhkan kesegaran ilmu.
Manusia sekarang ini tidak hanya membutuhkan ahli agama (ulama) yang kadangkala
arahnya saling bertolak belakang dengan kebutuhan hidup modern umat manusia.
Namun juga membutuhkan ahli-ahli di bidang ilmu lain yang bisa menunjang dan mengatasi permasalahan
kehidupan dunia modern yang semakin tak menentu arahnya.
Pernyataan tersebut hampir sama dengan pendapat Fadil Lubis, sebagaimana yang dikutip oleh Muhaimin, bahwa studi Islam mengandung makna luas,
yang mencakup tiga bidang pokok kajian, yaitu:
a. Studi Islam yang bertumpu pada studi kewahyuan yang diwujudkan dalam bentuk mata
kuliah sumber ajaran (al Quran) dan hadith beserta sperangkat ilmu yang terkait langsung dengannya.
b. Studi Islam sebagai bagian dari pemikiran
atau bagian dari fiqh dalam arti
luas. Dalam sejarah pemikiran Islam setidak-tidaknya ada lima bidang pemikiran Islam yang menonjol, di antaranya: akidah teologi, hukum dalam
arti luas, filsafat, akhlak-sufisme, dan ilmu pengetahuan-teknologi-seni. Untuk
yang bidang terakhir ini mencakup ilmu hitung, matematika, aristekterur, maupun asrtronomi dll. Bidang yang terakhir ini masih belum banyak di
kaji di IAIN/STAIN.
c. Studi Islam sebagaimana yang pernah dialami umat Islam, diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan nyata. Sumber kajiannya berasal dari al Quran dan Sunnah, yang kemudian dijabarkan dalam berbagai
pemikiran luas. Dengan kata lain, ajaran Islam diamalkan dan diterapkan dalam sekup luas oleh umat Islam pada waktu itu hingga membentuk peradaban Islam yang telah
berabad-abad menyinari dunia. Pada masa kini, dalam kontek PTAI sekupnya dipersempit,
hanya
mencakup bidang
tarbiyah (pendidikan), dakwah, dan hukum.
Selain itu, bila dilihat perkembangan selanjutnya maka terdapat beberapa kecenderungan baru sebagai respon dari
tuntutan dan tantangan yang berkembang di masyarakat. Beberapa kecenderungan
itu adalah:
a. Pelaksanaan studi keislaman yang mengarah pada
pendekatan non-mazhabi. Hal ini
relevan dengan fenomena pluralisme dan multikulturalisme yang sedang
berkembang, sehingga sektarianisme bisa diminimalkan.
b. Pergeseran paradigma studi keislaman, dari
yang bersifat normatif ke arah yang lebih historis, sosiologis, da empiris.
Dengan artian terjadi perpaduan antara empirik dengan sumber wahyu untuk saling
mengontrol. Di mana wahyu mengontrol untuk menghasilkan teori yang kredibel dan
bermanfaat, sedangkan hasil empirik mengontrol proses memahami wahyu.
c. Terkait orientasi keilmuan yang cakupannya
lebih luas.
Dari semua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan sosiologis
pengembangan prodi pada PTAI dalam konteks zaman sekarang ini cukup kuat dan
kokoh. Dengan kata lain, pengembangan prodi sekarang ini bukanlah menjadi
sesuatu yang istimewa. Bagaimanapun, misi pengembanan tersebut merupakan
tuntutan masyarakat, sehingga kewajiban UIN sebagai PTAI untuk memenuhi. Tidak
berlebihan, bila landasan sosiologis ini menjadi landasan yang terpenting.
Tatkala kita ingat bahwa setiap lembaga pendidikan itu tidak akan bisa lepas
dari kehidupan masyarakat luas beserta dinamikanya.
b) Landasan Psikologis
Psikologis
artinya “berkenaan dengan psikologi; bersifat kejiwaan.” Kata “psikologi” punya
arti ilmu yang terkait dengan proses mental yang berpengaruh pada perilaku
sebagai gejala dan kegiatan jiwa. Secara
psikologis, mindsite masyarakat
(utamanya masyarakat santri) yang simpatik dan peduli terhadap pendidikan Islam
akan mendukung setiap keluarga serta rekannya atau bahkan dirinya sendiri untuk
kuliah di lembaga berbasis Islam. Namun, dalam kalangan umat Islam (santri)
sendiri pun akhir-akhir ini juga berhasrat mendalami ilmu pengetahua umum.
Fenomena itu, bila tidak ditanggapi oleh PTAI dengan penyediaan kajian ilmu
umum secara mendalam yang termanifestasi dalam prodi, tentu mereka tak akan
segan memilih PTU.
Selain
itu, di zaman yang persaingannya serba ketat seperti ini menyebabkan dorongan
(hasrat) manusia untuk bisa hidup layak bahkan terjamin menjadi lebih besar.
Mereka menginginkan pekerjaan mapan, berpenghasilan layak, dan punya status di
masyarakat. Tentu untuk mencapai itu semua membutuhkan proses, salah satunya
melalui kuliah. Dengan kata lain, kondisi psikologis masyarakat –yang meliputi
motivasi, tingkah laku, dan tujuan-- sekarang ini telah mengalami perubahan
seiring dengan perubahan tuntutan zaman.
Sedang
bila dilihat dari faktor psikologis di kalangan internal PTAI, biasanya
mahasiswanya terjangkit gejala inferioritas. Yakni, mereka cenderung minder
bila disandingkan dengan mahasiswa dari PTU, bahkan yang bukan dari lembaga
favorit sekalipun. Hal ini terjadi salah satunya karena prospek lulusan PTAI
secara duniawi tidak bisa terjamin. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
mentalitas mahasiswanya perlu diadakan pengembangan prodi, baik berupa
pengembangan kurikulumnya maupun dengan pembentukan prodi baru yang lebih
adaptif dengan kondisi psikologis mahasiswa PTAI maupun masyarakat luas.
Penjelasan lain, sebagai alasan
psikologis –yang ditinjau dari segi gejolak kemanusiaan, spiritualitas, motif
perbuatan, dan emosionalnya-- perlu diadakan pengembangan prodi, dikarenakan
PTAI punya karakteristik berikut:
a. Penekanan pada pencarian, penguasaan, dan
pengembangan ilmu pengetahuan (dalam semua bidang) atas dasar ibadah kepada Allah
b. Pencarian, penguasaan, dan pengembangan ilmu
pengetahuan merupakan proses yang berkesinambungan (long life education). Asumsinya, ilmu menurut konsep Islam bukan dibuat, tapi dicari oleh
manusia sehingga tidak pernah ada henti-hentinya.
c. Dalam proses pencarian, penguasaan, dan
pengmbangan ilmu pengetahuan mengutamakan penekanan nilai-nilai akhlak.
Asumsinya, ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai, akan tetapi bebas untuk
dinilai, sehingga mengkritisi atau menilainya merupakan salah satu akhlak
terpuji.
d. Pengakuan akan potensi dan kemampuan individu
untuk berkembanga sesuai denga kepribadian. Artinya, Islam mengakui eksistenis potensi manusia yang
dapat ditumbuh kembangkan seoptimal mungkin untuk menjalankan tugas hidupnya
sebagai hamba Allah dan khalifah-nya
e. Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar
tanggung jawab kepada Allah dan masyarakat manusia sehingga pengembangan iptek
tidak menimbulkan malapetaka, tetapi untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemaslahatan umat manusia.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa landasan fondasional
pengembangan prodi pada PTAI adalah terjandinya kecenderungan baru (pergeseran
paradigma) tentang keilmuan. Di mana, ilmu tidak lagi dipandang sebagai
kesatuan yang tunggal, tapi ilmu adalah sesuatu yang wilayah kajiannya sangat
luas bahkan tak terbatas. Oleh sebab itu, umat Islam tidak hanya diwajibkan
untuk mempelajari ilmu agama saja, tapi juga ilmu lain (fardhu kifayah) sebagai sarana membangun peradaban Islami. Selain
itu, adanya semangat pengembangan prodi ini karena kesadaran diri dari sebagian
umat Islam untuk segera keluar dari kemandegan pengembangan ilmu pengetahuan.
Setelah selama beberapa abad terakhir ini ilmu pengetahuan beserta produknya dikuasi
oleh Barat. Hal ini bukan berarti misi untuk merebut kejayaan ilmu pengetahuan
tersebut, langkah itu masih sangat terlalu jauh. Namun, ini masih dalam taraf
penataan kembali epistemologi Islam
yang bisa menjadi dasar (acuan) ilmuwan Islam dalam pengembangan peradaban.
3. Landasan Operasional Pengembangan
Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam
Kata
“operasional” memiliki arti secara (bersifat) operasi atau berhubungan dengan
operasi. Sedangkan kata “operasi” salah satunya berarti “pelaksanaan rencana
yang telah dikembangkan.” Bila
mengacu pada penjelasan sebelumnya maka “landasan fondasional” punya arti
pijakan atau tumpuan yang dilakukan secara (bersifat) praktik dari rencana yang
telah dikembangkan. Dengan demikian, dapat digambarkan bahwa landasan
operasional pengembangan prodi pada PTAI adalah agar lulusannya mampu berkiprah
di berbagai sektor
kehidupan dan berbagai bidang keahlian, serta berada pada seluruh strata
kehidupan yang secara individu sesuai dengan bidang kecerdasan masing-masing. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kajian
bidang-bidang ilmu yang lebih luas,
sehingga bisa mencetak generasi muslim yang ahli dalam dunia pendidikan, psikologi, kebudayaan maupuan
sastra, ekonomi, sosiologi, ilmu alam, dan ilmu lainnya. Di mana semua bidang keahlian tersebut
didasarkan pada nilai-nilai agama Islam.
PTAI saat ini berada pada taraf
pengembangan diri, baik pada tataran kurikulumnya maupun kelembagaannya. Oleh
karena itu, dalam
era informasi seperti sekarang ini menjadi peluang dan tantangan bagi sistem pendidikan Islam pada
PTAI, yaitu dengan mengisi peluang dan menjawab tantangan tersebut. Dengan demikian PTAI harus bisa membangun
rancang-bangun sistem pendidikan Islam yang berwawasan masa depan (the future thinking) dan bisa menjadi
pelopor dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, secara
praktis operasional PTAI harus benar-benar memiliki karakteristik perguruan
tinggi yang benar-benar ideal dan bermanfaat bagi peradaban. Sebagaimana
menurut Jusuf Amir Faisal bahwa ada beberapa karakteristik perguruan tinggi,
yaitu:
a.
Lembaga pendidikan yang fleksibel, mudah bergabung atau bekerja sama
dengan lembaga lain sehingga dimungkinkan untuk diadakannya pembicaraan terkait
masalah-masalah tertentu yang di lembaga lain tidak dapat dibicarakan.
b.
Lembaga pendidikan tinggi yang berfungsi sebagai peningkatan martabat masyarakat. Perguruan tinggi
semacam ini hanya untuk memenuhi hasrat akademis (intelektual) masyarakat,
meskipun pada akhirnya lulusan tidak
dibutuhkan oleh masyarakat karena program studinya sudah terlalu banyak.
c.
Lembaga pendidikan tinggi yang berfungsi sebagai pencetak generasi
profesional.
d.
Lembaga pendidikan tinggi yang berfungsi sebagai pencetak tenaga ahli dalam bidang
masing-masing. Misalnya karena literatur yang dikuasinya,maka ia mampu
menyampaikan pendapat relatif lebih teratur dari pada lulusan lembaga lainnya.
Bisa juga karena pengalaman (sering praktik) ketika mengahadapi masalah, ia
mempunyai gaya yang lebih meyakinkan dari pada lulusan lembaga lainnya.
Selain itu, secara teknis lapangan (dunia nyata) ada beberapa alasan untuk
menuntut lembaga pendidikan tinggi (termasuk PTAI) bisa berperan aktif dalam
pembangunan nasional. Hal ini tidak lain karena adanya perubahan kecenderungan
secara global yang dapat mengancam pembangunan nasional. Di antaranya adalah
terjadinya pergeseran
paradigma tenaga kerja dari skill jobs
menjadi knowledge jobs, perbandingan yang tidak seimbang antara jumlah
lulusan perguruan tinggi dengan kesempatan kerja, dan perubahan orientasi dari Teaching
University ke Research University. Kecenderungan secara
global lainnya adala adanya penekanan orientasi terhadap pengembangan ilmu, orientasi terhadap pembiayaan perguruan tinggi
secara mandiri, berasal dari hasil kekuatan intelektual (jasa, layanan, informasi,
rekayasa). Serta penerapan
pola tunggal dalam pembinaan pendidikan tinggi yang mencakup PTN dan PTS.
Adapun dilihat dari sisi kajian sejarahnya, aspirasi umat Islam pada
umumnya untuk pengembangan PTAI didorong oleh beberapa tujuan. Pertama, agar ilmu agama Islam tidak
mengalami stagnasi, sehingga kajian dan pengembangan ilmunya dilakukan secara
sistematis dan terarath. Kedua,
sebagai misi dakwah Islam dalam arti luas. Yakni, membawa dan
menginternalisasikan nilai-nilai Islam masuk ke dalam semua unsur kehidupan
(politik, ekonomi, komunikasi, dan sebagainya). Ketiga, sebagai upaya kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan,
baik pada kalangan birokrasi maupun swasta, serta lembaga-lembaga lainnya.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa landasan operasional
pengembangan PTAI pada aspek sejarahnya adalah melakukan pengembangan lulusan,
lembaga, kurikulum, dan keilmuan dengan seluas-luasnya.
Sebagaiman menurut Muhaimin, bila PTAI ingin mengemban misi pengembangan
kajian ilmu keislaman, maka perlu ditelaah dulu apa saja unsur atau kandungan
ilmu agama Islam itu.
Kemudian dia membuat tabel tentang perkembangan ajaran Islam dalam realtias
sejarahanya yang telah berhasil mengantarkan pada kejayaan Islam di masa silam,
kemudian dikaitkan dengan pengembangan prodi di PTAI. Dari tabel tersebut,
kemudian penulis alihkan (adaptasi) dalam bentuk skema sebagaimana yang
tergambar di bawah ini:
Gambar 2.1 Skema pengembangan prodi berdasarkan nilai
kesejarahan perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam
Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa pada masing-masing bidang keilmuan Islam
terdapat aspek-aspek perkembangan modern. Hal ini menuntut Dosen PTAI
(sekaligus sebagai peneliti) untuk selalu mengkaji dan mengembangkan ilmu-ilmu
agama Islam tersebut di atas. Tentunya yang sesuai dengan bidang keahliannya
masing-masing. Dengan
demikian diharapkan tidak hanya dosen mata kuliah “umum” saja yang dituntut
untuk memahami ajaran atau nilai-nilai Islam, akan tetapi dosen mata kuliah
“keagamaan” Islam juga dituntut untuk memahami ilmu pengetahuan umum secara
luas. Dari penjelasan tersebut maka penulis dapat menggambarkan skema tentang upgrading dosen agar kualitasnya sesuai dengan misi
pengembangan prodi sebagai berikut:
Gambar 2.2: Pola Upgrade Dosen PTAI yang berasal dari PTU
Gambar 2.3: Pola Upgrade Dosen PTAI yang mengajar mata
kuliah Keagamaan
Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan prodi pada
PTAI dibutuhkan peningkatan kemampuan dan kualitas dosen. Di mana dosen harus
bisa menguasai keilmuan yang terintegratif. Semangat ini sesungguhnya sesuai
dengan masa kejayaan ilmu pengetahuan dan teknologi Islam pada zaman klasik. Di
mana gerakan ilmiah dan etos keilmuan dari ulama (ilmuwan) pada zaman tersebut
bercirikan:
a.
Pelaksanaan ajaran Quran untuk banyak mempergunakan akal
b.
Pelaksanaan ajaran hadith untuk menentut ilmu bukan hanya ilmu agama,
tetapi juga ilmu yang sampai ada di negeri cina
c.
Adanya pengembangan ilmu agama melalui berijtihad sekaligus pengembangan
ilmu pengetahuan (sains) dengan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan
serta filsafat yunani yang terdapat di timur tengah pada zama mereka. Tidak
mengherankan bila di masa itu banyak lahir ulama fiqh, tauhid (kalam), tafsir,
hadith, ulma bidang sains (kedokteran, matematika, optik, kimia, fisika,
geografi), dan lain-lain.
d.
Ulama pada saat itu independen, bahkan menolak tawaran sultan untuk
dijadikan pegawai negeri.
Selanjutnya, Minhaji dan BA mengatakan bahwa
dasar-dasar yang dijadikan landasan dalam pengembangan dan pembidangan ilmu
agama Islam ada tiga. Pertama, bangunan keilmuan yang lebih mengutamakan
hasil (orientasi “diterima” pasar), sehingga lulusan PTAI bisa bersaing dengan
lulusan lembaga lain. Kedua, bangunan keilmuan yang hanya konsentrasi pada
tradisi pemikiran klasik, pertengahan, dan modern. Ketiga, bangunan keilmuan yang mengakomodasi dua hal tersebut, dengan meletakkan
tradisi ilmu Islam sebagai modal atau objek kajian dan ilmu umum sebagai pisai
bedah analisis.
Dari semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa landasan operasional pengembangan prodi pada PTAI adalah disebabkan
kualiatas lulusan PTAI yang dirasa belum mumpuni bila dibandingan dengan
pergurun tinggi jenis lain, sehingga perlu diadakan perubahan kurikulum. Selain
itu, dari sektor kelembagaannya masih dirasa sangat sederhana dan belum mumpuni
untuk mencetak generasi Islam yang unggul. Adapun bila ditinjau dari segi
keadaan masyarakat global dan nasional yang semakin kompleks menuntut PTAI
untuk mampu mencetak genarasi yang unggul. Bisa dikatakan, pengembangan prodi
PTAI tidak lagi merupakan sebuah kewajiban praktis, namun juga sebagai
kebutuhan mendasar yang harus segera dipenuhi.
B. Langkah-langkah Pengembangan Program
Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam
Dengan
maraknya gejala pergaulan bebas di kalangan mahasiswa, maka kampus PTAI sebagai
pusat pencetak genarasi Islam yang akademis dituntut kepeduliannya dalam
pelurusan kembali perilaku mahasiswa yang mengalami pergeseran dari cita-cita
semula. Oleh karena itu, sistem pendidikan di kampus atau perguruan tinggi
sekarang ini perlu diklarifikasi dan sistem asrama merupakan alternatif untuk
menjawab permasalahan tersebut.
Dengan demikian, sebelum mengadakan pengembangan prodi maka PTAI terlebih dahulu harus mempertimbangkan sejauh
mana kemampuan kampus untuk menampung jumlah mahasiswa yang semakin bertambah
dan juga semakin beragam latar belakangnya. Terutama bila prodi yang dibuka
adalah prodi bidang ilmu pengetahuan umum.
Bisa dikatakan, sebelum diadakan pengembangan prodi di PTAI terlebih dahulu diperhatikan
sejauh mana kekuatan, kelemahan, tantangan, dan peluang yang dimiliki kampus. Utamanya adalah untuk perumusan kurikulum, tenaga dan kualitas dosen, dan sarana
parasarana. Hal ini dilakukan
dengan alasan bahwa dengan adanya pemngembangan kurikulum (penambahan mata
kuliah dan penambahan prodi) berdampak pada “pengembangan” atau “penambahan”
lainnya. Misalnya, penambahan tenaga pengajar yang sesuai dengan keilmuan
“baru” tersebut, penambahan buku di perpustakaan, pengembangan (inovasi)
kurikulum agar tetap sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan sebagainya.
Pada kenyataannya, kebanyakaan PTAI (khususnya STAIN dan IAIN) selama ini
masih terinternalisasi pembakuannya dalam fakultas dalam lingkup ilmu serumpun.
Oleh karena itu perlu diadakan pengembangan keilmuan yang meliputi dua sasaran.
Pertama, melakukan pengembangan ilmu-ilmu yang relevan
dengan kebutuhan (tuntutan) masyarakat akan tetapi tetap didasarkan pada aqidah
dan pengamalan ajaran Islam. Kedua,
pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang tidak hanya terbatas pada produk abad
Pertengahan dan Klasik, tapi juga disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Yakni,
dengan cara dilakukan pengembangan varian-varian ilmu baru seperti ilmu sosial Islam,
perbankan Islam, perdagangan Islam, manajemen Islam, Politik Islam, dan
seterusnya.
Selanjutnya, untuk “predikat” Islam pada penamaan varian ilmu baru tersebut tidak
hanya sekedar label “Islam” tanpa amaliah dan aqidah Islam. Bukan pula konsep ibadah yang semata-mata menjadi kajian utama pada
buku-buku fiqh. Akan tetapi benar-benar
menjadi ilmu baru, sehingga ini menjadi tantangan berat. Bukan saja dalam rangka memenuhi kebutuhan
pasar bebas, tapi juga sekaligus mengisi kekosongan dan kekurangan ilmu-ilmu yang biasanya disebut sekuler.
Langkah ini secara ideologis dilakukan untuk memahami Islam secara mendetail
dan menyeluruh sejalan dengan janji Islam yang menjadi petunjuk hidup secara
keseluruhan dan bukan hanya untuk kehidupan akhirat.
Pada tataran lebih praktis, Azizy kembali menekankan bahwa dalam
pengembangan prodi (keilmuan) di PTAI terdat dua cara yang bisa ditempuh.
Yakni, Wadahnya
disedikan terlebih dahulu, dalam hal ini nama
dibuka lebih dahulu, baru kemudian diisi dengan materi perkuliahan dan
pengembangan keilmuan yang dianggap sesuai dengan prodi terebut. Model seperti
ini sering diterapkan di Indonesia, sehingga biasanya tenaga ahlinya berasal dari luar perguruan tinggi tersebut. Langkah lainnya adalah lebih ditekankan pada esensi dan fungsi, bukan wadahnya. Dari
model ini yang diutamakan terlebih dahulu adalah adanya SDM dosen yang ahli dan
berkarya nyata. Bila semua sudah mapan maka kemudian dibuka prodi atau fakultas
baru. Cara ini sering diaplikasikan di negara maju.
Di mana orientasinya adalah fungsional dan karya kilmuan yang nyata, berupa
hasil penelitian dan penerbiat. Di samping terlebih dahulu sarana perpustakaan,
laboratorium, dan sarana yang dibutuhkan sera menjadi syarat untuk pengembangan
prodi lainnya harus dilengkapi. Pola ini nampak lebih ideal, sehingga patut
diadopsi oleh IAIN untuk pengembangan diri di masa yang akan datang.
Dari penjelasan di atas, maka sebagaiman dirumuskan oleh Azizy bahwa
pengembangan prodi pada PTAI dapat dilakukan dengan menggunakan tiga tipe. Di
antaranya adalah:
1. Pengembangan Prodi Tipe
1
Tujuan utama diadakan
pengembangan prodi pada tipe ini adalah untuk mencetak Ulama abad 21 yang
menguasai wawasan kekinian. Dengan kata lain, prodi
yang dikembangkan tersebut berfungsi sebagai pencetak tenaga ahli dalam bidang ilmu keislaman,
sehingga bisa disebut sebagai lembaga kelanjutan sekaligus pengembangan dari
institusi pesantren. Asumsinya, di lembagai ini Islam dikaji secara akademik
dan bersifat ilmiah dengan tetap bertujuan mengamalkan ajaran Islam secara
benar dan tepat. (34) Namun kenyataannya saat ini pada umumnya IAIN masih
berorientasi kajian keilmuan tentang Islam dengan proyeksi lapangan kerja yang
kurang jelas. Dapat dikatakan kurang memiliki orientasi amaliah Islam.
Konsekuensi
dari memilih pola ini adalah pendalaman keilmuan Islam harus lebih ditingkatkan, penerimaan mahasisa harus selektif, jumlah mahasiswa tidak menjadi ukuran
pendanaan, pendidikan secara totalitas dan optimal bukan
hanya pengajaran (ada asrama), target yang jelas dan konkrit, yaitu mencetak
ulam abad 21, dan lapangan pekerjaan juga jelas. Dengan demikian
lulusan yang diharapkan juga akan lebih terfokus profesinya. Misalnya, menjadi Imam masjid tetap, tidak hanya mengimami
sholat tapi juga punya program yang jelas ntuk pembinaan jamaah masjid. Menjadi pembina spiritual
(imam kantor) di lembaga-lembaga birokrasi, misalnya menjadi imam tentara.
Tugasnya murni menjadi imam, bukan sebagai tenaga administrasi kantor. Sebagai tenaga pengajar
atau pembimbing agama di sekolah. Bisa juga menjadi tenaga profesional pada kantor-kantor di bahwa naungan kementrian agama termasuk pengadilan
agama. Serta peran lain yang arahnya jelas sesuai dengan panggilan hati nurani,
temasuk menjadi anggota LSM, wartawan, dan politikus.
2. Pengembangan Prodi Tipe
2
Pengembangan prodi
pada tipe ini tidak berdampak pada bergantinya nama PTAI dari ST/Institut
menjadi Universitas. Pada tipe ini pengembangan prodi dilakukan untuk menggapi tuntutan pasar bebas dengan
orientasi pada lapangan kerja di pasar bebas yang lebih luas. Ciri utamanya adalah setidaknya bisa ditempuh “desakralisasi” ilmu-ilmu ke-Islaman
dan “sakralisasi” ilmu-ilmu sekuler, yang oleh Program Pascasarjana IAIN
Walisongo disebut dengan “humanisasi ilmu-ilmu ke-Islaman dan sakralisasi ilmu
sekuler.” Dengan pola ini IAIN tidak perlu berganti menjadi universita. Dengan
kata lain, pola kedua ini bertujuan untuk mencetak tenaga ahli dan profesional
yang Islami. Perbedaanya dengan PT konvensioan (PTU) terletak pada kedekatan
dengan tradisi Islam dan lebih berperilaku Islam. untuk itu IAIN bisa membuka
semua fakultas dan jurusan yang biasa dibukan di PTU sehingga bertolak belakang
dari kesejarahan dan tujuan awal beridirinya.
3. Pengembangan Prodi Tipe
3
Pada tipe ini pengembangan prodi dilakukan penggabungan ke dua pola di atas dengan cara
bertahap. Di mana, kajian ilmu-ilmu Islam menjadi modal dasar dan sekaligus landasan
berdirinya sebuh PT melalui pembukaan fakultas dan prodi yang bisa memenuhi
lapangan pekerjaan sekaligus tetap pada kerangka atau bahkan bermula dari ajaran
Islam. tipe kedua
dari model ke dua seperti di atas sangat dekat dengan tipe ke tiga ini. di samping berangkat dari
ajaran wahyu, juga dikembangkan teori-teori sosial, humaniora, dan sains hasil
karya para pemikir Muslim. Teori-teori yang dikembangkan berangkat dari empiris
dan sumber wahyu yang bersifat saling mengontrol. Fungsi wahyu sebagai pengontrol dalam
menghasilkan teori yang kredibel dan bermanfaat sedangkan hasil empirik
berfungsi mengontrol proses pemahaman wahyu. Dengan kata lain, pelaku kajiannya
tetap dalam kerangka memahami dan menjalankan ajaran wahyu. Dari pola ini diharapkan bisa mewujudka
ilmuwan yang mampu menyelesaikan permasalahan dunia, yang selama ini beberapa
bagiannya masih luput dari kajian dan tradisi ilmuwan sekuler. Dengan kata lain
IAIN harus mampu mengisi kekosongan yang telah menimpa para ilmuwan sekuler. Di
mana semuanyaitu harus diawali dengan penciptaan tradisi akademik yang
benar-benar kuat.
C.
Peningkatan Kualitas Lulusan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang yang Integratif dan Mandiri dalam
Keilmuan
Idealnya, PTAI sebagai lembaga Pendidikan
Tinggi di Indonesia tugasnya tidak hanya berperan dalam mencetak ahli dalam
bidang ilmu agama saja. UIN Maliki Malang sebagai PTAI yang berbentuk
universitas, terlebih merupakan perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah mengemban tugas amanat rakyat. Sebagaimana
diterangkan dalam UUD Negara RI Tahun 1945 Amandemen ke-4 BAB XII Pendidikan
dan Kebudayaan pada Pasal 31 ayat 5 menyatakan “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.”
Serta adanya penjelasan secara rinci dalam Undang-undang, bahwa tujuan
pendidikan tinggi salah satunya adalah:
b. dihasilkannya lulusan
yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi
kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; c. dihasilkannya Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan
nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban
dan kesejahteraan umat mausia.
Dari penjelasan di atas, sesungguhnya UIN Malang bila dilihat dari
“agresifitas” pembentukan prodi umum baru mengindikasikan ingin mewujudkan tujuan
tersebut. Di antara prodi umum yang ditawarkan baik berada di fakultas
humaniora maupun fakultas
“berciri” PTAI lama meliputi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, psikologi,
manajemen, akuntasi, perbankan syari’ah, matematika, biologi, kimia, fisika,
teknik informatika, teknik arsitektur, dan farmasi.
Tentu untuk mewujudkan amanat rakyat yang mulia itu, UIN Maliki Malang tidak
bisa bekerja sendiri. Ia perlu masukan bahkan bantuan dari beberapa PTU yang
berpengalaman dan profesional dalam memanajemen semua hal yang terkait dengan
prodi umum tersebut. Misalnya, dalam mengelola, mengoptimalkan, dan mengefektifkan
laboratorium biologi.
Selain itu untuk mengembangkan keilmuan (sesuai dengan prodi) seluruh
sivitas (utamanya dosen dan mahasiswa) diwajibkan menguasai dua bahasa
Internasional. Pernyataan itu sebagaimana yang dipaparkan sebagai beriut:
Ciri khusus lain Universitas ini sebagai
implikasi dari model pengembangan keilmuannya adalah keharusan seluruh bagi
anggota sivitas akademika menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Melalui
bahasa Arab, diharapkan mereka mampu melakukan kajian Islam melalui sumber
aslinya yaitu al-Qur’an dan Hadis dan melalui bahasa Inggris mereka diharapkan
mampu mengkaji ilmu-ilmu umum dan modern, selain sebagai piranti komunikasi
global. Karena itu pula, Universitas ini disebut bilingual university. Untuk
mencapai maksud tersebut, dikembangkan ma’had atau pesantren kampus di mana
seluruh mahasiswa tahun pertama harus tinggal di ma’had. Karena itu, pendidikan
di Universitas ini merupakan sintesis antara tradisi universitas dan ma’had
atau pesantren.
Dari semua pemaparan di
atas bila dikaitkan dengan pandangan Islam, ilmu akan terus mengalir dan bergulir melampau apa yang
menjadi pilihan manusia, sehingga monopoli penyelenggaraan bukanlah setrategi yang tepat. Oleh karena
itu, pembentukan Universita Islam yang berdampak pada pembukaan prodi-prodi
ilmu umum bisa membuka peluang untuk mengikis dikotomi antara agama dan ilmu. Dengan demikian pengembangan
prodi yang dilakukan UIN Maliki Malang tidak boleh berhenti sampai tingkatan
itu. UIN Maliki Malang harus membentuk prodi baru
semisal prodi ilmu
politik untuk menghasilkan ahli
politik atau politikus yang Islami, prodi ilmu seni untuk menghasilkan ahli seni atau seniman
islami, prodi teknik sipil untuk membentuk ahli bangunan yang islami, dan
prodi-prodi lainnya.
Bila idealnya memang seperti tersebut di atas, maka sungguh ironis ketika ada lulusan PTAI yang ahli di bidang ilmu
pengetahuan agama Islam maupun ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang
bernapaskan Islam, tetapi tidak memiliki komitmen serta loyalitas terhadap
ajara agamanya serta tidak mau digunakan dan dikembangkan untuk kegiatan dakwah. Misalnya lulusan Prodi
Kimia, ilmu kimianya digunakan untuk membuat NARKOBA dan bahan peledak
terlarang. Sebaliknya,
lulusan PTAI yang punya kemantapan aqidah dan kedalaman spiritual serta
keluhuran budi pekerti, tapi kosong dalam penguasaan ilmu dan kematangan
profesionlitas di bidangnya.
Menurut
Miqdad Yeljen bahwa Hilangnya jiwa dan spirit keunggulan sistem pendidikan Islam
adalah karena umat Islam terlalu “tunduk” dalam mengadopsi sistem pendidiikan barat.
Sedangkan paradigma yang digunakan barat
adalah paradigma mengutamakan ilmu pengetahuan di atas segala-galanya sehingga
bermuara pada kesimpulan bahwa ilmu agama bisa menjadi penyebab kemunduran
peradaban. Oleh karena itu, dalam prespektif barat nilai agama harus ditiadakan
dalam sistem pendidikan.
Dengan kata lain, bila ditelalah lebih jauh maka penulis bisa katakan bahwa orang barat maju karena meninggalkan nilai-nilai agamanya,
sedangkan umat Islam mundur karena meninggalkan nilai-nilia ajaran Islam.
Hal tersebut hampir sama subtansinya menurut salah satu sasaran yang ingin dibina dan
dikembangkan oleh sistem pendidikan Islam adalah yang terkait dengan peradaban.
Di mana bisa terwujudnya peradaban umat Islam yang bisa melampau semua unsur.
Misalanya pertama unsur material yang
meliputi kemajuan di bidang pertanian, perniagaan, industri, dan pembangunan
fisik. Kedua unsur spiritual, seperti
ideologi, akhlak, sains, dan adab. Ketiga
unsur struktural dan perudang-undangan yang terkait dengan struktur keluarga,
masyarakat, dan negara.
Selama
ini PTAI memang memiliki kelebihan yang menjadi ciri khas, yaitu sanggup
menampung kalanganan masyarakat dari kelas menengah ke bawah bahkan menampung
masyarakat yang memiliki potensi (kecerdasan) yang masih serba minim. Berangkat dari itu, maka wajar
bila selanjutnya kualitas lulusan dari sebagian PTAI masih sangat jauh
diharapkan untuk ikut peran serta dalam membangun peradaban banga. Oleh karena
itu, menurut Daulay sebuah lembaga pendidikan yang hendak mengedepankan mutu
harus diawali dengan penerimaan peserta didik secara terseleksi. Semakin ketat
persaingan dalam seleksi itu maka semakin berualitas peserta didik yang didadapat. Kemudian setelah didapat peserta didik
yang berkualitas unggul maka diproses dengan sangat baik pula agar diperoleh
hasil yang baik.
Hal
tersebut bila dikontekskan dengan PTAI, maka dalam upaya pengembangan prodi PAI
melalui pembentukan prodi baru, utamanya prodi umum (non agama), perlu diadakan
strategi yang bagus agar peminatnya banyak sehingga mahasiswa yang diseleksi
juga semakin banyak. Dengan kata lain, khusus untuk prodi-prodi tertentu perlu
diadakan seleksi yang sangat ketat agar bisa didapat mahasiswa yang
berkualitas.
Pada akhirnya, dengan proses yang tepat maka lulusan prodi “baru” tersebut juga
akan mendapat tempat (diakui) oleh peradaban masyarakat. Serta bukan suatu
kemustahilan bisa mencetak lulusan yang mandiri dalam keilmuan dan bahkan mampu
mengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Pendidikan
Islam idealnya tidak berkaitan dengan hafalan dan pengausaan ayat-ayat al Quran
saja. Namun, bagaimana agar pendidikan Islam bisa berdampak lebih luas dan
mendalam untuk mengembangkan ekonomi bangsa, yakni menjaga “moralitas” bangsa
dari kejahatan-kejahatan yang berdampak kemunduran ekonomi seperti KKN,
persaingan dagang yang tidak sehat, dan indiviualisme (tidak empati atau
bersikap dermwan pada masyarakat miskin dan tidak membagikan ilmu-ilmu tentang
kesuksesanna pada oran glain). Terlebih, kenyataannya ekonomi Indonesia
sebagaian besar di kuasai oleh kalangan non-muslim. Oleh karena itu, peran pendidikan Islam di sini sangat
penting, salah satunya adalah mencetak genarasi yang mampu merumuskan dan menciptakan
keilmuan secara mandiri.
Dapat disimpulkan bahwa lulusan PTAI yang ideal (mandiri dalam keilmuan
yang bercirikan keislaman dan kendonesiaan) telah menjadi sebuah kebutuhan
mendesak khususnya bagi umat Islam serta masyarakat indonesia
pada umumnya. Oleh karena itu, pengembangan prodi pada PTAI hendaknya
didasarkan pada faktor keheterogenan lulusnnya serta sejauh mana semua ilmu
tersebut bisa membumi (fungsional dan praktis) di masyarakat kelas bawah
sekalipun. Dari itu, PTAI bukan lagi menjadi perguruan tinggi yang hanya
“berjasa” dalam aspek ritual dan spritualitas saja tapi juga menyentuh
kemanfaatan dunia nyata secara praktis dan aplikatif.
BAB III
Penutup
Darai semua pemaparan di atas dapat disimpulkan
bahwa pengembangan kurikulum pada setiap masing-masing Prodi di PTAI bisa
dilakukan dengan cara integrasi ilmu. Yakni, penambahan mata kuliah umum
dilakukan tidak semata-mata “menjiplak” dari perguruan tinggi lain (Perguruan
Tinggi Umum) akan tetapi didasarkan pada epistemologi Islam. dengan demikian
bisa melahirkan ilmu baru, yakni ilmu umum yang tidak bertentangan dengan ilmu
agama. Implikasinya, pengembangan dan penambahan mata kuliah tidak serta merta
hanya memberikan label “Islam” pada mata kuliah atau prodi tersebut, akan
tetapi melakukan integrasi ilmu agama dengan ilmu umum yang saling mengokohkan
satu sama lain. Asumsi selanjutnya, inilah yang akan menjadi pembeda wawasan
keilmuan antara lulusan PTAI dengan lulusan PTU. Di mana lulusan PTAI tidak
hanya mampu menciptakan atau mengembangan ilmu serta produknya, tetapi juga
mampu memanfaatkannya secara tepat untuk kemaslahatan manusia sehingga bisa
mendapat ridho dari Allah SWT.
PTAI
saat ini dituntut untuk dapat merubah paradigma lama (yang hanya fokus pada
kajian ritual keislaman) ke paradigma baru (kajian Islam secara menyeluruh
termasuk IPTEK) yang lebih relevan dengan persoalan kehidupan masyarakat.
Dengan itu, diharapkan lulusan PTAI mampu memecahkan “kebuntuan” dan kemandekan
(masalah) umat Islam bahkan permasalah bangsa atau manusia secara umumnya dalam
menjalankan hidup ini. Dengan demikian idealnya
pengembangan kurikulum yang termanifestasikan pada penambahan prodi dan
penambahan atau perubahan mata kuliah tidak hanya terfokus pada ilmu agama
saja, akan tetapi juga pada ilmu-ilmu umum. Dalam lingkup lembaga PTAI
penambahan prodi umum bertujuan untuk mencetak mahasiswa yang menguasai ilmu
pengetahuan umum sekaligus dilandaskan pada ilmu-ilmu agama. Sedang dalam
lingkup keagamaan, penambahan mata
kuliah umum bertujuan untuk mencetak mahasiswa yang menguasai ilmu agama Islam
yang terbingkai dalam ilmu-ilmu umum.
Konsekuensi lebih lanjut, untuk mata kuliah
atau baru yang
terintegrasi tersebut harus memiliki standar penamaan jelas. Yakni, yang sesuai
dengan kaidah penulisan dan pengistilahan dalam bahasa Indonesia baku. Hal
tersebut dilakukan agar antara penamaan mata kuliah misalnya mata kuliah
bernama “Psikologi Pendidikan Islam” dengan isi yang di dalamnya benar-benar
baru. Artinya, mata kuliah tersebut tidak mengajarkan ilmu Psikologi umum saja
atau ilmu psikologi pendidikan saja, akan tetapi juga mengintegrasikannya
dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, untuk memperjelas kandungan mata
kuliahnya maka nama tersebut bisa diganti “Psikologi Pendidikan berbasis Islam.”
Selama ini, sebagaimana yang telah penulis alami meskipun penamaannya ada
“label” Islam akan tetapi pada kenyataannya muatan pokoknya bahkan kadang
semuanya hanya menyentuh ilmu “psikologi pendidikan.”Pada akhirnya, sudah
saatnya pendidikan Islam (khususnya di Indonesia) untuk memiliki “kiblat”
sendiri. Mengingat, pada beberapa dekade akhir ini kebanyakan institusi
pendidikan Islam utamanya untuk keilmuan cenderung berkiblat pada barat. Bahkan
sistem pendidikannya pun tak jarang yang juga meniru Barat.
Pasal 24 Ayat 1 berbunyi: “Dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi
berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi
keilmuan.” Sedang Ayat 2 mengamanatkan: “Perguruan tinggi memiliki otonomi
untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelnggaraan pendidikan
tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.” Lihat, Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003).
“Sejak terbitnya Undang-Undang nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam nomor 3389
Tahun 2013 tentang Penamaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Fakultas dan Jurusan
pada Perguruan Tinggi Agama Islam, mendorong PTAI untuk mengajukan penambahan
pembukaan baru dalam rangka mendukung
persyaratan perubahan alih status Institusi. Sebagai contoh, lembaga pendidikan
yang akan alih status dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) menjadi Institut
Agama Islam (IAI) harus memiliki minimal
3 rumpun keilmuan.” Lihat, Subdit Akademik, “Pembukaan Program Studi Baru PTAI
Meningkat,” http://diktis.kemenag.go.id/index.php?berita=detil&jd=232#.VFMC2Mmupdg, diakses tanggal 31 Oktober 2014.
PTAI berbentuk Sekolah Tinggi hanya
diberi wewenang untuk mengembangkan kurikulum seluas-luasnya. Namun untuk
pembentukan prodi baru hanya dibatasi pada prodi yang serumpun dengan prodi
lama. Langkah ini mungkin dilakukan karena hanya PtAI bernbentuk Universitaslah
yang dianggap mumpuni untuk melakukan penambahan prodi umum. Mengingat konsekuensi
menambah prodi umum berarti harus menambah tenaga pengajar (yang menguasai ilmu
pengetahuan umum sekaligus agama), sarana prasarana, dan pengembangan kurikulum
baru. Selain itu menurut amanat Undang-unang bahwa Universitas dapat
menyelenggarakan pendidikan dalam berbagai rumpun ilmu, sedang Institut diberi
wewenang untuk menyelenggarakan pendidikan dalam sejumlah rumpun ilmu, dan
Sekolah Tinggi berhak mengadakan pendidikan vokasi dalam satu rumpun ilmu. Lihat, Pasal 59 ayat 2,3,4
“Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012
Tentang Pendidikan Tinggi,” http://www.dpr.go.id/id/undang-undang/2012/12/uu/PENDIDIKAN-TINGGI, didownload tanggal 31 Oktober
2014.
Lulusan PTAI selama ini dipandang tidak
memiliki keahlian yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. atas dasar hal
itu, maka peninjauan ulang terhadap pembidangan ilmu di lembaga peruguruan
tinggi agama menjadi mutlka diperlukan. Lihat, Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman BA, Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam
(Jogjakarta: Arruzz, 2003), hlm. 38.
Tardisi al Azhar sebagai perguruan tinggi
menjadi salah satu rujukan utama saat
pendirian IAIN. Diantara fakultas di IAIN, tiga di antaranyaasama
dengan fakultas di al Azhar (tahun 1930) yaitu Ushuluddin, Syari’ah, dan Adab.
Sistem ujian tahunan juga diambil dari al Azhar.
Salah satu faktor yang mendukung pengaruh model al Azhar adalah banyaknya
lulusan al Azhar yang memegang kedudukan penting di Departemen Agama dan
merancang pendirian IAIN. Lihat, Johan Hendrik Muleman, “IAIN di Persimpangan Jalan,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan
Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo
(Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm. 44.
Bandingkan dengan pendapat Muhaimin
tentang keharusan dosen dalam mengembangkan profesinya sehingga punya beberapa
karakteristi ideal. Lihat, Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 61.
Minhaji dan BA, Masa Depan Pembidangan, hlm. 49-50.
M. Atho Mudzhar, “Kedudukan IAIN
sebagai Perguruan Tinggi,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan
Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo
(Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm. 71.
Pernyataan ini sama dengan apa yang
disampaian Imam Suprayogo, gambaran
pendidikan tinggi Islam yang kelahirannya didasarkan pada motivasi nilai-nilai
idealisme yang tinggi, yaitu Islam yang rahmatalill alamin. Pada kenyataannya
kampus Islam, bahkan yang berstatus negeri sekalipun masih kalah bila
dibandingkan dengan UI, ITB, IPG, UGM, UNAIR, dan kampus lainnya yang setara.
Dan lebih ironis, ternyata juga masih kalah bila dibandingkandengan perguruan
tinggi swasta yang berada di naungan yayasan Kristen, seperti Universitas
Parahyangan, UKI, Atmajaya, Satya Wacana, Petra, dan lain-lain. Lihat, Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun Tradisi dan
Aksi Pendidikan Islam (Malang: UIN Malanga, 2005), hlm. 112.
“Pembidangan ilmu agama yang ada selama ini
sudah sepatutnya ditinjau ulang. Sebab, dalam situasi global yang menuntut skill dan penguasaan bahasa asing
(inggris dan arab), bidang ilmu yang ditawarkan oleh PTAI hanya cocok untuk
mencetak generasi penghafal tradisi klasik Islam. bukan hanya itu, bidang ilmu
yang ditawarkan oleh PTAI adalah masih bersifat teologis-normatif-deduktif,
bukan empiris-historis-induktif... untuk abad 21 dan seterusnya, model
empiris-historis-induktif yang sering digunakan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan perlu mendapat perhatian” Lihat, Minhaji
dan BA, Masa
Depan Pembidangan, hlm. 79.
Ahmad Syafii Maarif, “Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Tinggi Islam Menghadapi Peradaban Modern,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial,
ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 21-22.
PTAI mestilah adaptif terhadap perkembangan
zaman, terutama terkait dengan keilmuannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pengembangan keilmuan di PTAI adalah pertama PTAI harus membuka program kilmuan yang mencakup
ilmu-ilmu agama (perenial knowledge) dan juga ilmu-imu pengetahuan umum
(acquierd knowledge) yang dikembangkan oleh manusia. Misalnya membuka fakultas sains, sosial, humaniora, dan
tentunya fakultas keagamaan. Kedua, PTAI harus memogramkan Islamisasi ilmu, baik pada tataran
ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Lihat, Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Rineke Cipta, 2009), hlm. 96.
Pengembangan PTAI melalui fakultas dan nya
yang lebih menekankan pada pengembangan ilmu agama Islamnya saja (parennial knowledge) ternyata telah
mendapat kritik. Hal ini karena pengembangan tersebut masih bersifat sangat
sektoral, hanya untuk kebutuhan umat Islam saja yaitu mencetak ahli agama
Islam. Bila demikian, maka PTAI dikatakan tidak relevan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan maupun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan nasional. Lihat, Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen, Kelembagaan,
Kurikulum hingga Strategi pembelajaran (Jakarta: Rajawali, 2009), hlm. 241.
Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 68-69.
Bandingkan dengan alasan Daulay tentang perlu diadakanya
pengembangan dalam pembidangan ilmu (program studi) pada PTAI. Lihat, Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam, hlm. 82-83.
“Ilmu pendidikan Islam merupakan prinsip,
struktur, metodologi, dan objek yang memiliki karakteristik epistemologi ilmu
Islami... Pengembangan pendidikan Islam adalah upaya
memperjuangkan sebuah sistem pendidikan alternatif yang lebih baik dan relatif
dapat memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menyelesaikan semua problematika kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari.”
Lihat, Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat,
2002), hlm. 3.
Muhaimin, Arah
Baru Pengembangan, hlm. 297.
Masalah IAIN (sebagai salah satu bentuk PTAI) secara
eksternal bisa dibenturkan minimnya kerjasama kampus dengan lembaga, instatsi,
dan perusahaan di luar kampus. Permasalah pokoknya terletak pada pola kerja
sama antara pihak kampus dengan lembaga pendidikan yang lulusannya sebagain
besar masuk ke IAIN. Serta hubungan dengan lembaga luar yang menggunakan lulusan
IAIN sebagai “tenaga” kerjanya. Di mana selama ini kerja sama dengan
lembaga-lembaga di luar kampus sangat tidak intensif bahkan tidak ada sama
sekali. Tidak ada yang namanya kerja sama saling evaluasi terhadap fakultas,
jurusan, serta disiplin dan kurikulum
IAIN. Pada era mendatang hubungan timbal baik (kerja sama) seperti ini sangat
dibutuhkan, agar tercipta kesinambungan antara progaram IAIN dengan kepentingan
masyarakat. Lihat, Azizy, “Mengembangkan Struktur Kefakultasan,” hlm. 30.
Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 54-55.
“Pembidangan ilmu pada PTAI ke depat terkait
erat dengan bagaimana padnangan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan kemudian
bagaimana menyikapinya. Diawali dari konsepsi idealnya, dan selanjutnya
ditindaklanjuti dengan kesatuan pandangan tentang hal tersebut, baik yang
berasal dari dalam PTAI sendiri maupun dari luar.” Lihat, Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam,
hlm. 71.
“Mengenai teori-teori dalam pengembangan ilmu
pendidikan Islam memerlukan berbagai macam cabang ilmu antara lain: ilmu
filsafat, ilmu pendidikan, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, dan lain-lain... Langkah-langkah yang diperlukan dalam pengembangan ilmu
pendidikan Islam antara lain: Pertama,
harus mampu mengakomodir ilmu pengetahuan; Kedua,
meyakini bahwa ilmu pengetahuan berasal dari Allah; Ketiga, mengupayakan adanya keseimbangan pendidikan; Keempat, mengupayakan adanya organisasi,
dan Kelima; mempunyai ekonomi yang
mapan dan memiliki kemampuan politik.” Lihat, Arif, Pengantar Ilmu dan, hlm 12.
Mastuhu, “Universitas Islam di
Tengah Dikotomi antara Agama dan Ilmu,” dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Upaya Merespon Dinamika
Masyarakat Global), ed. M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha,
(Malang: UIN, 2004), hlm. 87.
Sebagaimana menurut Daulay bahwa tolak ukur
lulusan yang berkualitas adalah pertama
sesuai dengan tujuan kurikulum, baik dalam skala nasional,
institusional (lembaga pendidikan), kurikuler (mata pelajaran), dan
instruksional (proses pembelajaran). Kedua
pengguna lulusan (pasar)telah merasa puas. Lihat, Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam, hlm. 69. Kepuasan di sini menurut penulis tidak hanya
pada aspek bidang produk aktivitasnya di masyarakat saja akan tetapi juga pada
produk-produk lain yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara langsung
maupun tidak langsung. Baik oleh masyarakat
awam, masyarakat akademis, maupun masyarakat “kelas atas.”
Catatan: Studi Kasus yang dilakukan ini bukan studi kasus yang sesungguhnya. Tidak dilakukan secara mendalam. Artinya, ini bukan penelitian sebenarnya. Sifatnya masih penelitian pendahuluan sehingga butuh penelitian tindak lanjut. Di mana penelitian pendahuluan ini dilakukan pada tahun 2015
|
Ilustrasi Program studi terakreditasi A (sumber gambar FKIP Unsri) |