Oleh: A. Rifqi Amin
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
Terdapat sebuah adagium, di
mana ada sejumlah manusia di sana muncul pengembangan masyarakat. Tak perlu
disangsikan lagi, pengembangan terhadap hasil atau karya (teori dan produk)
manusia dalam segala bidang merupakan sebuah kebutuhan dan kewajiban.
Pernyataan tersebut didasarkan kenyataan bahwa pada masyarakat senantiasa
terjadi perubahan sosiologis, filosofis, psikologis, dan lainnya. Fenomena seperti
itu sesungguhnya juga terjadi pada zaman “perpolitikan” yang dilakukan oleh
para nabi[1]
terdahulu. Apabila konteks dakwah yang dilakukan oleh para nabi di masa lalu
dikaitkan dengan dunia pendidikan maka tak dapat terpungkiri bahwa Pendidikan
Agama Islam (PAI) sebagai salah satu media dakwah umat Islam perlu dikembangkan.
Hal itu tentunya untuk menjawab tantangan zaman yang terus mengalami perubahan.
Terutama dalam kajian makalah ini adalah pada pengembangan “kesadaran”[2]
umat Islam dalam berpolitik yang cerdas, elegan, berwibawa, bertanggung jawab,
profesional, dan sifat lainnya yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Selama ini mengkaji ilmu
politik “sekuler” masih dianggap tabu oleh sebagian kalangan umat Islam. Sebagian
umat Islam masih terasa lebih nyaman mengkaji ilmu politik yang hanya
didasarkan dari sejarah umat Islam pada masa lalu. Bahkan itu pun yang dikaji
adalah masih pada hal-hal yang terkait peperangan, perebutan kekuasaan, sistem
ketatanegaraan (kerajaan), kedaulatan, dan semacamnya. Seharusnya, ilmu politik
umat Islam harus diperluas lagi jangkauan bahasan dan pengembangannya. Kajian
politik tidak hanya dipersempit pada wilayah kepentingan individu atau kelompok
tertentu saja. Akan tetapi bagaimana sutau ilmu politik yang bisa memecahkan
permasalahan umat Islam di masa kini. Sebut saja kondisi politik umat Islam sekarang
ini yang terpecah belah.
Seharusnya umat Islam memiliki
konsep politik yang sama sehingga pantas dijadikan kesepakatan bersama. Salah
satunya konsep tentang bagaimana menjalin hubungan kepada sesama umat Islam
yang “golongan” atau baju organisasinya berbeda satu sama lain. Hal itu sangat
penting bagi kondisi geopolitik umat Islam. Meskipun masing-masing golongan
umat Islam mempunyai tujuan yang berbeda dalam pergerakannya, tapi jalinan
kerjasama dan keramahan terhadap sesama umat Islam selalu diutamakan. Dengan
demikian, tidak ada lagi saling curiga, saling membenci, dan saling menuduh di
antara umat Islam itu sendiri yang berbeda golongannya.
Lebih lanjut, pada hakikatnya
tujuan, kebermanfaatan, dan sasaran PAI tidak hanya difokuskan pada individu atau
kelompok tertentu. Akan tetapi untuk semua umat manusia. Asumsinya, tugas[3]
PAI sebagai salah satu kegiatan untuk mengajak pada hal-hal kebaikan kepada
seluruh umat manusia memerlukan suatu ilmu tersendiri. Di mana, untuk mengatur
dan mempengaruhi komunitas manusia tersebut sesungguhnya diperlukan ilmu
politik. Dengan ketarampilan berpolitik, diharapkan salah satunya agar pendidik[4]
bisa mempengaruhi peserta didik, seluruh warga lembaga pendidikan (terutama
dari lembaga pendidikan umum), masyarakat sekitar, dan komunitas masyasrakat
lain yang terkait dengan ketercapaian tujuan PAI.
Dengan ilmu politik —baik yang
praktis maupun teoritis— maka seorang pendidik bisa mengetahui langkah
strategis apa yang perlu ia lakukan ketika menghadapi masalah. Baik itu masalah
dalam tataran strukutral, kultural, ideologi, dan sebagainya. Bahkan dengan
kecanggihan berpolitiknya seorang pendidik diharapkan bisa mengantisipasi suatu
permasalahan tidak akan berdampak besar dan terjadi berlarut-larut. Oleh karena
itu, sebagai pengetahuan dasar awal seorang pendidik harus tahu di mana posisi
PAI dalam dasar hukum tertulis di Indonesia. Sebut saja seperti dalam UUD 1945,
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan sebagainya.
Pengetahuan tersebut diperlukan salah satunya sebagai dasar praktis[5]
bagi pendidik dalam usahanya untuk mencapai tujuan PAI. Selain dasar tersebut,
sesungguhnya “perpolitikan” yang dilakukan oleh pelaku pengembangan PAI ialah
menggunakan dasar-dasar yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dapat
dikatakan bahwa peran ilmu politik bagi dunia pendidikan ialah
menyumbangkan suatu “cara” (strategi) dalam menganalisis kemudian memutuskan
suatu tindakan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi dalam PAI. Ilmu
politik dapat memberikan masukan-masukan kepada dunia pendidikan utamanya dalam
hal mendayagunakan berbagai potensi, mempengaruhi kelompok manusia, dan segala
sesuatu yang di luar perkiraan (perencanaan). Dengan ilmu politik, gejolak
sosial yang terjadi akibat proses kegiatan PAI yang “gagal” bisa diantisipasi
bahkan bila sudah terlanjur parah bisa dibelokkan ke arah lain. Dengan itu,
beberapa pihak yang merasa tersakiti dan tersingkirkan bisa diminimalisir
jumlahnya. Dapat dikatakan, ilmu politik sangat berguna dalam pengembangan PAI sehingga
kegiatan pembelajaran PAI bisa terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Kaitan (hubungan) antara ilmu politik dengan ilmu
pendidikan (terutama ilmu PAI) tersebut dapat memunculkan aksioma bahwa antara
ilmu-ilmu sosial terdapat suatu hubungan saling ketergantungan. Ketergantungan
tersebut terjadi karena demi menuju pengembangan yang lebih efektif dan
efisien. Di mana prinsip keefektifan dan efisiensi itu tidak akan dapat
tercapai dengan mudah bila ilmu pendidikan hanya berjalan sendiri tanpa dibantu
oleh ilmu-ilmu lainnya termasuk ilmu politik. Dengan kata lain, untuk
menghadapi zaman yang sudah sedemikian modernnya suatu kerja sama antar
berbagai ilmu merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, dalam pembahasan
makalah ini penggunaan ilmu politik dalam PAI merupakan suatu hal yang mendesak
terutama untuk menyempurnakan hasil-hasil pengembanga PAI.
Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa
pengembangan PAI mesti disesuaikan dengan perkembangan ilmu (alam dan sosial)
serta fenomena masyarakat. Tak ketinggalan juga disesuaikan dengan perkembangan
sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, PAI sebagai suatu sistem
pembelajaran senantiasa menjanjikan paradigma baru, salah satunya berupa
paradigma pendidikan holistik. Paradigma tersebut penting dalam melihat
dinamika pendidikan secara utuh. Mengingat selama ini, problem PAI masih
terkendala pada cara pandang parsial, misalnya hanya ditujukan untuk menyiapkan
peserta didik bisa masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Padahal, PAI salah
satunya tidak bisa tidak (harus) mampu mengembangkan potensi yang ada pada
masing-masing peserta didik.[6]
Dalam alur sejarahnya pun, sesungguhnya
pengembangan PAI terutama pada masa kemundurannya masih didominasi laju yang
lambat bahkan bisa dikatakan stagnan. Salah satu penyebabnya ialah manfaat dari
hasil pembelajaran PAI masih diprioritaskan pada ego relegiositas-dogmatis
kalangan umat Islam sendiri. Bukan ditujukan untuk kemaslahatan (utamanya
terkait pengembangan ilmu pengetahuan) bagi seluruh umat manusia.[7]
Dengan demikian, tidak berlebihan bila dikatakan konsep Islam yang menjadi rahmatan lil
al-‘alamin secara serius, holistik, dan implementatif belum
begitu ditekankan pada PAI.
Berangkat dari kenyataan itu, kajian makalah ini
berusaha menawarkan konsep pengembangan PAI yang bisa membuka pintu gerbang
solusi atas permasalahan terkini terutama dalam bidang perpolitikan. Dalam
benak pembaca pasti akan timbul suatu pertanyaan besar terkait tema yang dikaji
dalam makalah ini. Beberapa pertanyaan itu di antaranya adalah kenapa PAI butuh ilmu politik?
Apa dengan mengkaji ilmu politik PAI bisa lebih bermakna? Bukankah hal itu
terkesan memaksakan? Apa manfaat ilmu politik bagi PAI? Dengan ilmu politik apakah
komponen PAI (terutama pendidiknya) akan bisa dikembangkan untuk menyesuaikan
perubahan suasana perpolitikan di sekitar lembaga, pada tingkat daerah,
nasional, bahkan internasional? Lebih detail pertanyaan-pertanyaan tersebut
telah dikerucutkan oleh penulis ke dalam batasan masalah dan topik pembahasan
yang diuraikan di bawah ini.
B.
Batasan Masalah dan Topik Pembahasan
Agar
pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu
batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan
yang dikerucutkan sebagai berikut:
a. Konsep dasar yang meliputi
pengertian pengembangan pendidikan agama Islam, pengertian politik dan ilmu
politik, dan pembelajaran Berbasis politik pada pendidikan Agama Islam.
b. Paradigma Sistem perpolitikan
yang tidak Bertentangan dengan Islam
c. Pendidikan Agama Islam
Berbudaya Politik Islami
Kata kunci: Pengembangan,
Pendidikan Agama Islam, dan Ilmu Politik
BAB II
Pembahasan
A.
Konsep Dasar
1.
Pengertian Pengembangan
Pendidikan Agama Islam
Kata pengembangan berarti “proses, cara,
perbuatan mengembangkan.” Kata tersebut merupakan satu akar dengan kata
“berkembang” yang artinya pertama
“mekar terbuka atau membentang (tentang barang yang berlipat atau kuncup).” Kedua “menjadi besar (luas, banyak, dan
sebagainya); memuai.” Ketiga “menjadi
bertambah sempurna (tentang pribadi, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya).” Keempat “menjadi banyak (merata, meluas,
dan sebagainya).[8] Dengan
demikian, pengembangan adalah suatu proses kerja cermat dalam merubah suatu
keadaan menjadi lebih baik dan lebih luas pengaruhnya dari sebelumnya. Apa yang
dimaksud dengan “suatu keadaan” di sini bisa berhubungan dengan manusia,
sistem, organisasi, teori, pemahaman (tafsir), benda, dan sebagainya yang
terkait dengan produk manusia lainnya.
Adapun yang dimaksud Pendidikan Agama Islam dalam
makalah ini tidak lain yaitu usaha mengkaji ilmu secara terencana untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia beriman, serta dengan sadar[9]
dan tulus menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan yang
sedang atau akan ditempuhnya. Hal itu artinya, dalam segala lingkungan
kehidupan peserta didik kelak mampu memilih dengan tegas terhadap adanya “dilema
etika.” Yakni, antara kenyataan bisa berpeluang melakukan tindakan negatif
untuk memuluskan keinginan (ego pribadi) kemudian ditandingkan dengan landasan
moral yang sesuai dengan cita-cita Islam. Misalnya, ketika ia menjadi
politikus, ia akan tetap teguh mencegah dan meninggalkan diri melakukan
tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan cita-cita Islam meski ada peluang
besar untuk melakukannya seperti korupsi, menzalimi rakyat, dan perbuatan
tercela lainnya. Begitu pula saat menjadi arsitek, ia tidak akan membuat WC
(toilet) menghadap atau membelakangi kiblat meski hal itu akan sedikit menambah
biaya karena memakan sebagian tempat lain.
Dalam pengertian tersebut, salah satu kedudukan
PAI ditegaskan sebagai “usaha mengkaji ilmu.” Hal ini menandakan, kegiatan yang
ada padanya merupakan upaya ilmiah. Artinya, apa-apa yang dilakukan tidak
bersifat statis, sehingga bisa dikembangkan. Oleh karena itu, PAI secara asali
semestinya mempunyai jiwa dan semangat perubahan menuju terbaik. Baik perubahan
yang disebabkan reaksi maupun antisipasi atas “kenyataan” baru. Baik yang
berada dalam sistem maupun di luarnya. Dengan demikian, PAI bukan kegiatan yang
semata-mata mengarah pada kegiatan pendoktrinan peserta didik. Kendati
demikian, fokus utama PAI tetap harus jelas. Yakni, berupaya membentuk peserta
didik menjadi manusia beriman. Serta sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai
Islam dalam segala sektor dan sistem kehidupan[10]
yang sedang atau akan ditempuh mereka.
Lebih aplikatif, Pendidikan
Agama Islam di sini tidak hanya tertuju pada lembaga pendidikan Islam, seperti
madrasah dan pesantren. Pelaksanaan PAI yang dimaksud di sini juga dilaksanakan
oleh negara maupun masyarakat pada semua lembaga pendidikan berbentuk sekolah
seperti SD, SMP, SMA, dan SMK. Serta tentunya pengembangan PAI yang
dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan tidak menutup kemungkinan
bagi Perguruan Tinggi Umum (PTU). Selain itu,
pengembangan PAI sesungguhnya bukan melulu pada tataran pembelajarannya yang
meliputi tujuan, materi,[11]
strategi, evaluasi, dan seterusnya. Namun, juga melingkupi beberapa
pengembangan lainnya, seperti pengembangan syiar Islam melalui lembaga
pendidikan, kurikulum, manajemen kelembagaan, landasan filosofis, landasan
psikologis, landasan sosiologis, dan lain sebagainya. Dengan demikian,
diharapkan efek dan maksud diadakannya pengembangan PAI tidak hanya untuk
memudahkan pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, juga
bisa berpengaruh positif bagi masyarakat luas, negara, dan seluruh umat
manusia. Secara gamblang dapat dikategorisasikan pengembangan PAI di lembaga
pendidikan sebagaimana penulis kembangkan (ubah sesuaikan) dari gambar Sutrisno
dan Muhyidin berikut ini: [12]
Gambar 1.1
Kategorisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan
(Gambar dirubah seperlunya agar
sesuai dengan tema makalah ini)
Skema tersebut menggambarkan bahwa yang dimaksud
PAI di sini ialah kegiatan pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
Sedangkan PAI di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tidak terlalu ditekankan
dalam makalah ini. Dengan kata lain, pembahasan secara khusus tentang PAI di
PAUD tidak dibahas secara detail, seperti halnya pada jenjang pendidikan lain
(pesantren, madrasah, sekolah, dan PTAI). Alasannya, untuk PAUD dalam pasal 14
Undang-undang Sisdiknas 2003 tidak disebutkan sebagai salah satu jenjang
pendidikan formal. Dijelaskan bahwa “Jenjang
pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.” Diperjelas dalam pasal 26 ayat 3 bahwa “Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan,
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik.” Akan tetapi di pasal 28 ayat 2 juga dijelaskan “Pendidikan anak usia
dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau
informal.”[13]
Hal ini bukan berarti jenjang pendidikan usia dini tidak penting. Bagaimanapun,
kajian tentang pengembangan PAI pada PAUD secara istemewa dibutuhkan kajian
tersendiri.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pengembangan Pendidikan Agama Islam berarti suatu proses kerja cermat untuk
merubah hal-hal yang terkait dengan produk (konsep dan benda) atau karya
manusia dalam membangun pendidikan Islam agar menjadi lebih baik pada segala
aspeknya dan lebih luas pengaruh maupun kemanfaatannya dari sebelumnya.[14]
Artinya, yang dirubah dalam pembangunan PAI di sini bukan teks-teks (redaksi)
sumber dan landasan pokoknya yaitu al
Quran dan Hadith. Akan tetapi
salah satunya melakukan reinterpretasi terhadap pemahaman ilmuwan (ulama).
Khususnya tafsir ulama “pendidikan” terdahulu terhadap teks-teks yang tidak
lagi relevan dengan modernitas. Atau sebaliknya, “menemukan” atau
merevitalisasi[15]
pemahaman dan praktik ilmuwan terdahulu yang ditinggalkan oleh ilmuwan
pendidikan sakarang tapi sangat relevan dengan hari ini. Dengan demikian suatu
pengembangan bukan hanya sebuah akibat
tapi juga bisa menjadi sebab. Serta
adanya pengembangan tidak hanya untuk memperbaiki
sesuatu yang ada tapi juga untuk mencegah
hal-hal negatif.
2.
Pengertian
Politik dan Ilmu Politik
Menurut Isjwara antara “politik” dengan “ilmu politik”
harus dibedakan. Di mana, politik dapat diartikan sebagai keamahiran, yaitu
kemahiran tentang hal-hal yang mungkin. Sedangkan ilmu politik ialah suatu
ilmu. Lebih lanjut, hubungan antara ilmu politik dengan politik tidak lain
sebagai ilmu dengan kemahiran (keterampilan atau
kecerdasan/kemampuan). Ilmu politik menyumbangkan dalil dan dasar tentang
hubungan kenegaraan. Di pihak lain, politik atau politik praktis lebih
menekankan pada penerapan dalil dan dasar tersebut ke ranah nyata.[16] Dalam hal ini
Hidayat menekankan bahwa ““ilmu
politik merupakan cabang dari ilmu-ilmu sosial lain, seperti antropologi,
sosiologi, psikologi, ekonomi dan sebagainya. Sampa saat ini ilmu politik
memiliki perkembangan yang sangat pesat.”[17]
Adapun menurut Ibrahim
mendifinisikan ilmu politik sebagai “studi tentang teori kekuasaan, demokrasi
dan susunan kekuasaan dan hubungan internasional.”[18]
Namun menurut Rahman
sebagaimana
dikutip oleh Hidajat bahwa “pengertian bahwa politik adalah kekuasan adalah
berbahaya sebab cenderung menuju diktator. Kekuasaan tidak identik dengan
politik. Kekuasaan hanya salah satu unsur politik. Jadi politik mempunyai unsur
ilmu (science) dan seni (art) untuk berbagai macam kegiatan.”[19] Dengan demikian, politik tidak harus berbicara tentang
bagaimana menguasai (menghegemoni) orang lain. Mengingat zaman sudah mulai
berubah, maka wilayah politik bisa bisa juga diperhalus pada kajian tentang bagaimana
(strategi)[20]
mempengaruhi orang lain agar ia sadar dan bertekad untuk melakukan sesuatu.
Lebih detail, menurut Surbakti
sebagaiman dikutip oleh Suprayogo bahwa sekurang-kurangnya ada lima pandangan
terkait politik. Diantaranya:
Pertama, politik ialah
usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan
kebaikan bersama. Kedua, politik
sebagai segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan
pemerintahan. Ketiga, politik sebagai
segala kegiatan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang
berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau
mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.[21]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ilmu politik
merupakan suatu kajian yang membahas tentang bagaimana cara mempengaruhi masyarakat,[22]
menguasai keadaan, dan terkait dengan proses dinamika hubungan
struktural-formalis. Bisa dikatakan ilmu politik terkait erat dengan dunia
kepemimpinan, organisasi, dan penanaman ideologi. Di mana dalam kegiatan
pendidikan Islam unsur-unsur tersebut sesungguhnya telah terpenuhi. Salah satu
yang paling terlihat adalah salah satu posisi pendidik di hadapan peserta didik
yang bertugas sebagai pemimpin. Tentu dalam memimpini dibutuhkan strategi
“politik” agar peserta didik mau untuk menerima dan menerapkan “ideologi”
(ajaran) yang disampaikan oleh gurunya. Kendati demikian, strategi politik yang
diterapkan dalam dunia pendidikan Islam hendaknya berasal pemikiran politik
Islam[23]
yang telah dikembangkan oleh ahli pendidikan.
3.
Pembelajaran
Berbasis Politik pada Pendidikan Agama Islam
Keadaan “iklim” politik baik itu di dalam kelas, di
lingkungan lembaga, di lingkugan masyarakat sekitar, di tingkat pemerintah
daerah, pemerintah pusat, bahkan hingga perpolitikan dunia internasional sangat
dimungkinkan akan mempengaruhi tujuan, materi, strategi, dan evaluasi
pembelajaran PAI. Meski dalam kasus tertentu kadang kala pengaruh politik bagi
PAI tersebut tidak terlalu signifikan tapi bila diabaikan begitu saja akan
menjadi bom waktu yang kapan saja bisa menibulkan masalah. Bagaimanapun,
menurut sebagian pendapat bahwa manusia sebagai “zoon politicon” yaitu sebagai
hewan berpolitik secara naluriah sejak lahir sudah dibekali “ilmu” untuk
mempertahankan diri. Tidak lain dan tidak bukan yaitu naluri untuk berpolitik
sebagai cara memenuhi kebutuhan fisik, psikologi, dan bahkan hingga kebutuan
ruhani.
Mengingat, kondisi masyarakat kita yang sangat majemuk
dan permasalahan yang dihadapi bangsa ini yang sangat kompleks maka diperlukan
suatu cara (politik) agar tujuan PAI bisa tercapai secara efisien dan efektif.
Terlebih lagi kondisi intern umat Islam sendiri yang pada kenyataannya secara
kultur terbagi-bagi ke dalam beberapa golongan. Secara rinci Qodir menjelaskan
bahwa:
Pertarungan Islam akan terus
berlangsung dalam praktik keislaman di masyarakat Indonesia, antara pihak Islam
kultural berhadapan dengan Islam politik. Islam kultural lebih bergerak pada
pendidikan masyasrakat melalui lembaga-lembaga pendidikan formal maupun
non-formal. Seperti pesantren (boarding
school), elementary school, secondary school, dan university. Sementara Islam politik akan
merangsek masuk pada lembaga pendidikan untuk merebut mereka agar menjadi kader
politik partai dan mendukung politisasi Islam dalam parlemen melalui penguatan
atau pengusulan perda-perda syariat, undang-undang yang cenderung mengeliminasi
kelompok tertentu, dan menyingkirnkan kelompok sosial. Akan tetapi merasa
sebagai kelompok Pembela sorga bahkan pembela tuhan. Inilah fenomena Islam politik yang
akan berhadapan secara langsung dengan Islam kultural seperti NU dan
Muhammadiyah. Beberapa kelompok Islam politik bergerak sebagaimana Muhammadiyah
dan NU melakukan aktivitas yakni membangun institusi pendidikan, membangun
panti asuhan dan warung makan serta hotel, tetapi dengan dalih
sebagai gerakan dakwah gerakan dakwah Islam.”[24]
Apabila merujuk pada apa yang dikatakan oleh Qodir maka
dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan telah dipolitisasi oleh oknum pendidik
bahkan bila memungkinkan juga dilakukan secara terorganisir pada lembaga tertentu
yang telah dikuasi golongon politik tertentu. Paling tidak mereka mendirikan
suatu lembaga pendidikan baru yang memiliki afiliasi pandangan politik
tersendiri (ekslusif). Bila oknum pendidik tersebut dalam pembelajarannya
memasukkan ideologi keagamaan yang selaras dengan ideologi keagamaan golongan
(partai) politik tertentu maka hal ini sungguh sangat disayangkan. Seharusnya
pendidik sebagai pembawa misi keislaman “mendoktrin” ajaran Islam secara
universal bukan ajaran Islam yang direduksi demi kepentingan politik tertentu.
Dapat dikatakan, dalam pembelajaran PAI tidak dibenarkan
menyisipkan misi-misi kepentingan golongan politik tertentu. PAI memang harus
mengajarkan bagaimana berpolitik secara Islami. Akan tetapi bukan berarti PAI
dimanfaatkan sebagai tangan kanan oleh golongan politik tertentu. PAI tidak
boleh diseret-seret ke mana-mana. PAI merupakan milik semua umat Islam sehingga
tidak boleh diintrodusir pada hal-hal yang parsial dan sektarian. Kepedulian
pendidik terhadap kebutuhan konsep “mempertahankan” diri yang benar (Islami) kepada peserta didik sangat diperlukan. Hal ini sebagai modal
mereka dalam menghadapi perialaku politik umat manusia yang semakin komplek. Baik
perpolitikan dalam bidang ekonomi, politik organisasi, politik dalam dunia
bisnis, politik pemerintahan, dan politik dalam bidang-bidang lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran PAI berbasis politik
sangat dibutuhkan bagi dunia pendidikan Islam. Hal ini karena suasana
pembelajaran yang kondusif dengan “iklim”[25]
perpolitikan yang sejuk, anggun, elegan, dan cerdas akan berimplikasi pada
kondisi psikologi yang baik bagi seluruh pelaku pengembangan PAI. Kultur islam tidak
hanya dari segi ritus-ritus (prosesi ibadah), simbol, dan perkataan. Akan
tetapi juga dari segi perilaku. Utamanya dalam konteks pembahasan tulisan ini
adalah perilaku berpolitik seluruh pengguhni lembaga pendidikan. Bagaimana cara berpolitik antara peserta didik, peserta
didik dengan guru, peserta didik dengan pengelola lembaga, antara guru dengan guru, guru dengan
pengelola lembaga pendidikan,
dan sebagainya. Dengan itu maka diharapkan tidak ada pihak (utamanya peserta didik dan guru)
yang tekucilkan, dirugikan, termarginalkan, dan terdiskriminasi karena satu
sama lain merasa saling melindungi serta mengingatkan dalam hal kebaikan dan
takwa.
B.
Paradigma Baru Sistem Perpolitikan
yang Tidak Bertentangan dengan Islam
Paradigma yang diturunkan dari
Cartesian (Descartes) dan Newtonian menjadi penyebab munculnya paradigma
tunggal (tidak utuh)[26]
di dunia Barat. Dengan paradigma tunggal itu, mereka terpuruk ke lembah krisis
dan penuh kontradiksi, yang menurut Capra disebabkan oleh kekeliruan pemikiran. Ahmad Tafsir sebagaimana dikutip Efendi
menjelaskan bahwa yang dimaksud kekeliruan
pemikiran menurut Capra adalah tidak
digunakannya paradigma yang tepat dalam penyusunan kebudayaan Barat. Di mana,
menurutnya budaya barat hanya disusun berdasarkan satu paradigma, yaitu
paradigma sains (scientific paradigm).[27]
Padahal paradigma tersebut yang positivistik[28]
tidak sepenuhnya bisa melihat alam dan kehidupan ini secara utuh dan menyeluruh
(wholeness), kecuali hanya melihat
alam ini pada bagian yang empiris saja.[29]
Oleh sebab itu, kebenaran yang dihasilkan pun sesungguhnya boleh untuk
diragukan.
Dalam kajian sejarah pun para penulis Barat
agaknya masih dominan
mengabaikan pemikiran-pemikiran umat Islam utamanya terkait politik. Padahal,
sebenarnya konsep-konsep tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
kemajuan Barat. Dapat dipastikan bila nabi Muhammad tidak diutus ke dunia, maka
sangat dimungkinkan keadaan dunia tidak akan menjadi sedemikian “beradabnya”
seperti sekarang ini. Asumsinya, nabi
Muhammad salah satu tujuan utama membawa agama Islam adalah untuk
memperkenalkan suatu paradigma kehidupan yang berorientasi dalam menjaga harkat
maupun martabat, menyelamatkan, dan membahagiakan manusia. Di mana paradigma
kehidupan terebut bersifat komprehensif yang terkait dengan keyakinan tentang
ketuhanan, kemanusiaan, alam, dan tentang cara mendapatkan kebahagiaan hidup
secara sempurna.[30] Dengan
demikian, paradigma politik umat Islam terutama dalam dunia pendidikan Islam
seharusnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam seperti yang telah
diajarkan nabi. Bagaimanapun, suatu paradigma yang diusung oleh umat Islam yang
didasarkan pada nilai-nilai Islam merupakan suatu paradigma yang dianggap
paling mulia dan luhur.
Paradigma
yang mulia itu oleh Rasul digejawantkhkan dalam pembawaannya di kehidupan
sehari-hari. Dari sejarahnya, beliau dalam “menyebarkan” paradigma baru
tersebut tidaklah mudah.
Hal
itu karena, banyaknya penolakan dari berbagai pihak yang masih
menggandrungi paradigma lama. Di satu sisi, paradigma lama memang menguntungkan
kelompok tertentu, tetapi juga tak sedikit merugikan pihak lain. dengan
kehadiran paradigma baru, tak pelak ada pihak-pihak yang dirugikan. [31]
Oleh karean itu, dalam misi mendakwahkan paradigma baru (juga
termasuk dakwah dalam proses kegiatan PAI) tersebut diperlukan strategi
(politik) dalam mempengaruhi mereka yang merasa tidak nyaman (memusuhi).
Strategi ini sangat penting digunakan tentunya
untuk meminimalisir kerugian serta agar tujuan bisa tercapai secara
efektif dan efisien.
Selain
dengan strategi-politik, tentu dalam menyebarkan paradigma baru itu Rasulullah
dibekali oleh Allah dengan sifat-sifat yang mulia. Sebut saja sifat-sifat yang
sering diketahui umat Islam yaitu siddiq,
amanah, tabligh, dan fathanah. [32]
Dengan
modalitas tersebut,
beliau dalam mengimplementasikan strategi-politik tentu tidak dilakukan secara
serampangan, menghalalkan segala cara, dan tidak berparadigma politi-murni
tanpa etika-norma agama. Lebih dari itu, kandungan nilai-nilai politik yang
beliu praktikan dan ajarkan kepada sahabat merupakan sesuatu yang bisa
diterapkan bagi seluruh umat manusia.[33]
Artinya, kandungan tersebut bisa memberikan jaminan keselamatan dan keamanan
(tanpa rasa khawatir) bagi seluruh manusia.
Namun demikian, kenyataannya menurut
Engineer sebagaimana dikutip oleh Suprayogo menyatakan
bahwa perkembangan teologi Islam saat ini masih
bersifat metafisik dan kurang menyentuh agenda kemanusiaan modern yang dihadapi
oleh umat Islam. misalnya permasalahan ketidakadilan, keterbelakangan,
kebodohan, kemiskinan, penindasan, dan sebagainya. Padahal bila dilihat dari
makna agama secara umum sesungguhnya ada beberapa aspek yang mencakupnya.
Yakni, pertama keyakinan terhadap
sesuatu yang Maha Suci dan tarnsenden. Kedua,
adanya ritual atau ritus-ritus sebagi pengejawantahan keyakinan. Ketiga, terdapat doktirn atau dogma yang
diajarkan. Keempat, pola periaku
beragama baik dalam bidang sosial maupun kosmos.[34]
Padahal, agama[35]
Islam
mengajarkan tentang konsep keselamatan dan tatacara dalam meraih kebahagiaan,
baik itu di dunia maupun di akhirat. Konsep inilah yang tidak diterapkan oleh
umat Islam secara utuh. Dalam konteks ini sebagian besar dari mereka terbelah
menjadi dua. Yakni, beragama untuk menuju kebahagiaan dunia saja. Di sini lain,
ada juga yang dalam beragama hanya bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan
akhirat. Konsep parsial seperti inilah yang membawa keterpurukan umat islam
dalam berbagai bidang kehidupan. Baik itu dalam bidang politik, pendidikan,
ekonomi, sosial, dan sebagainya. Seharunya, keutuhan tujuan (kebahagiaan dunia
hingga akhirat) perlu dipahami secara benar, objektif, dan dalam keadaan hati
bersih (tidak dipenuhi ambisi yang meluap-luap). Dalam masalah ini, sesunguhnya
peran pendidikan Islam sangat diperlukan. Salah satu contoh terkecil ialah
mengjarkan politik “pertemanan” dengan teman sejawat. Misalnya, bagimana cara
saling “memanfaatkan” teman satu sama lain yang tidak menimbulkan kerugian di
salah satu pihak. INI AKU DEWE.....
Secara detail, seharusnyaa umat
Islam memiliki konsep politik tersendiri yang didasarkan pada sumber hukum
Islam yang jelas. Di antara beberapa konsep tersebut menurut Ibrahim ialah:
a.
Demokrasi
berdasar pada musyawarah secara mufakat. Di mana, selalu berusaha untuk
mencapai kesepakatan bersama.
b.
Bersifat
moderat (mengambil jalan tengah yang menghasilkan paling sedikit kekecewaan
atau kerugian dari berbagai pihak)
c. Sifat-sifat seorang
pemimpin harus meniru nabi yaitu jujur, amanah, cerdas (profesional), pantas
jadi teladan kehidupan, adil, dan bijaksana.
d. Ulama (cendekiawan)
tidak memihak kepentingan dunia, berpikir bersih, dan terhindar dari godaan
“menjual diri.”
e. Tujuan negara ialah
kesejahteraan lahir-batin (dunia hngga kahirat)
f. Kebersamaan, kerja
sama, kesatuan-persatuan, saling menghargai, dan hidup rukun dalam bingkai
keberagaman.
g. Masyarkat yang
berprofesi di bidang-bidang yagn ditekuninya (ekonomi, pendidikan, politik,
dll) selalu bersikap jujur, berkualitas, tanggung jawab, berjiwa mengabdi, dan
ketika mencapai titik kejayaan memiliki sikap peduli terhadap “kelemahan” orang
lain.
h. Bersifat ulet,
tangguh, dan mandiri dalam menghadapi kehidupan.
i. Berpolitik adalah ibadah.
Dengan asumsi, di manapun manusia berkiprah (berprofesi) merupaan bagian dari
bentuk ibadah kepada Allah SWT. oleh sebab itu, dalam mengejawantahkan
keahliannya tidak boleh dengan cara menghalalkan segalanya, senantiasa
beretika, dan selalu yakin akan adanya pertanggungjawaban di dunia hingga
akhirat. [36]
Dari pemaparan di atas, dapat
dikatakan seharusnya seorang pendidik sebagai miniatur “politikus” dalam dunia
pendidikan mempunyai karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dalam
menerapkan perpolitikannya baik di ranah masyarakat, kelas pembelajaran, maupun
di lembaga pendidikan. Dengan itu, diharapkan seorang pendidik mampu
menyukseskan tujuan PAI yang salah satunya ialah menjaga keseimbangan antara
kepentingan di kehidupan dunia dengan kepentingan akhirat. Serta mendudukan
politik sebagai alat yang “suci” sehingga harus tetap terus terjaga
kesuciannya. Politik bukanlah cara menggapai kepentngan dengan sebebas-bebasnya
disertai kelicikan dan intrik. Paradigma berpolitik yang seperti itu harus diminimalisir
jumlahnya. salah satunya dengan melalui pembudayaan politik Islam pada
pembelajaran PAI.
C.
Pendidikan Agama Islam
Berbudaya Politik Islami
Menurut
Hasan dkk. “budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral,
norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat.” Di
mana keseluruhan sistem itu merupakan “hasil dari interaksi manusia dengan
sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan
keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial,
sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan
sebagainya.” Lebih lanjut, Hasan dkk. menjelaskan:[37]
Manusia
sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma,
dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam
kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan
keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang,
maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem
kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana
dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem
berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan
mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini
dan masa mendatang.
Dengan
adanya budaya, peserta didik bisa mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Mulai
dari budaya di lingkungannya terdekat, hingga diperluas ke lingkungan yang
lebih besar yaitu budaya nasional dan budaya universal umat manusia. Oleh sebab
itu, peserta didik yang terasingkan oleh budaya bangsa (nasional) bahkan tidak
mengenal dirinya sebagai bagian dari budaya bangsa akan sangat rentan tersegregasi
(terpisah). Akibatnya, cenderung untuk menerima budaya dari luar tanpa proses
pertimbangan (valueing). Fenomena ini
lantaran mereka tidak memiliki norma dan nilai budaya nasional yang digunakan
sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan. Bagaimanapun, semakin kuat peserta
didik memegang dasar pertimbangan tersebut, maka semakin kuat pula tumbuh dan
kembangnya menjadi warga negara yang baik. Pada akhirnya, peserta didik bisa
menjadi warga negara Indonesia yang berwawasan, berpikir, bertindak, dan menyelesaikan
masalah sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya.[38]
Lebih
lanjut, dalam konteks politik sesungguhnya budaya politik memiliki ruang
lingkup yang luas. Yakni, aspek cipta, rasa, karsa, dan karya manusia di dunia
politik. Hal ini berarti bahwa budaya politik mencakup hal yang abstrak dan
kongkrit. Kendati ditemua tiak begitu banyak manusia yang mau dan mampu
menampilkan budaya politik yang demokratis, menjunjung prinsip musyawarah mufakat,
budaya politik partisipasi aktif, dan menuju menjadi politikus yang menampilkan
sikap keterpanggilan hingga kenegarawanan yang sesuai dengan nilai-nilai
demokrasi panasila yang luhur.[39]
Konsep
itu seiring dan sejalan dengan konsep Pendidikan Agama Islam yang salah satu
fungsinya sebagai pusat penanaman nilai budaya yang luhur. Selain itu, PAI juga
dapat dijadikan umat Islam sebagai pusat pembudayaan politik yang Islami.
Yakni, politik yang memiliki tujuan yang mulai. Salah satu cirinya ialah tidak
merugikan orang lain, tidak menyebabkan kerusakan, membawa kepada tatanan
masyarakat yang damai, beretika[40]
(tidak berpenyakit moral), dan manusiawi. Pada akhirnya, diharapkan umat Islam
bisa menjadi umat yang toleran dan bertenggang rasa. Yakni, menjadi muslim yang kuat sebagai
pelindung non muslim yang lemah. Bisa
juga dengan menjadi muslim yang mayoritas untuk pengayom terhadap minoritas dan
menjadi muslim yang kokoh sebagai penjaga non muslim yang rapuh. Serta dalam
jangka panjang bisa menjadi muslim yang cerdas dalam bidang ilmu pengetahuan
untuk digunakan nonmuslim yang tertinggal. Memang harapan tersebut pada saat
ini masih terlalu tinggi untuk digapai. Meskipun, sesungguhnya semangat seperti
inilah yang telah dicontohkan nabi Muhammad.[41]
Semangat
itu didasarkan pada asumsi bahwa manusia merupakan makhluk yang sadar akan tujuan.
Artinya, setiap tindakan yang dilakukan senantiasa bermuatan dan disadari
tujuan yang ingin diperoleh. Baik itu secara individu maupun kelompok dan yang
diinginkan untuk dicapai pada masa yang pendek atau panjang. Identifikasi
tujuan tersebut sangatlah penting, yaitu sebagai ukuran normatif (gambaran
ideal), preskriptif (pemberi arah), dan evaluatif. Secara rinci, menurut
Tobroni tujuan PAI dapat dijabarkan dalam dua perspektif, yaitu perspektif
pembentukan manusia (individu) ideal dalam arti biologis, psikologis, dan spiritualitas.
Selanjutnya adalah perspektif pembentukan masyarakat (makhluk sosial) ideal
dalam arti sebagai warga negara atau ikatan kemasyarakatan.[42] Dari
kedua perspektif tersebut, sesungguhnya Pendidikan Islam hendaknya bisa
membentuk manusia yang punya kemantapan akidah, kedalaman spiritual, keluhuran
akhlak (etika), keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Inilah yang disebut
sebagai gambaran manusia ideal (waladun
saleh) yaitu memiliki integritas dan keutuhan (insan kamil).[43]
Secara
detail, agar mudah dipahami dan lebih aplikatif maka penulis membuat konsep
pembudayaan perilaku politik Islami yang harus diterapkan dalam pembelajaran
PAI yang digambarkan dalam tabel berikut:
Perilaku “Politik” Peserta didik
|
Pembudayaan Politik Islami dalam PAI
|
Kontrol oleh Pendidik
|
Menyampaikan pendapat
|
Tidak menipu, tidak menyesatkan, tidak merendahkan
orang lain, tidak ada unsur provokasi, dan dengan intonasi yang pelan serta
merdu di dengar.
|
Pendidik mengarahkan dan mengingatkan peserta didik
agar lebih elegan, cerdas, dan berwibawa dalam mencapi tujuan berkomunikasi.
|
Bersilaturahim
|
Tidak mengucilkan orang lain, tidak pilih kasih,
berkasih sayang, tidak ada intervensi, membicarakan hal-hal yang bermanfaat,
dan tidak menimbulkan masalah baru.
|
Pendidik mengingatkan peserta didik bahwa bersilaturhim
itu sangat penting sekali. Dengan bersilaturhim akan memperkecil jumlah
“musuh.”
|
Hijrah (perpindahan posisi, tempat duduk atau bangku,
paradigma, dan tujuan)
|
Tidak semata-mata hanya untuk tujuan duniawi, tidak
untuk merugikan orang lain, untuk memperoleh kemaslahaan, dan dilakukan
setelah melakukan sholat istikharah.
|
Pendidik mengingatkan bahwa setiap hijrah yang
dilakukan jangan sampai hanya untuk mencapai tujuan-tujuan pragmatis.
|
Berbangsa dan Bernegara
|
Tidak menonjolkan keunggulan salah satu partai politik
tertentu, tidak membawa-bawa simbol maupun “ideologi” partai tertentu di
lingkungan sekolah, dan lebih mengutamakan ukhuwah Islamiyah dari pada
ukhuwah golongan.
|
Pendidik mengarahkan dan mengingatkan bahwa partai
politik itu adalah jalan bukan tujuan.
|
Mendominasi
|
Pihak mayoritas melindungi yang minoritas, pihak kuat
mengayomi yang lemah, kalangan cerdas membimbing yang belum mampu, kekuasaan
(pengaruh) untuk kemaslahatan bersama, dan memberikan ruang bagi orang lain
untuk melakukan kontrol.
|
Pendidik mengarahkan dan mengingatkan bahwa
satu-satunya yang berhak mendominasi kehidupan manusia ialah Sang Maha
Pencipta Allah SWT.
|
Pengonsepan
tabel yang dilakukan oleh penulis tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang ada
pada agama Islam. secara rinci penjelasannya antara lain adalah:
1.
Menyampaikan
pendapat, bersilaturhaim, dan perilaku mendominasi; “Islam mengajarkan agar selalu
membangun silaturrahmi, mencintai sesama, saling menghargai dan selanjutnya
saling tolong menolong dalam kebaikan. Hadits nabi mendorong agar umatnya
saling menjalin tali silaturrahim. Dikatakan bahwa siapa saja yang ingin
dibanyakkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka agar supaya selalu menjalin
hubngan silaturrahim. Demikian juga agar sesama muslim saling mencintai dalam
Hadits Nabi dikatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang hingga ia mau
mencintai saudaranya sesama muslim sebagiman mencintgai dirinya sendiri. Hadits itersebut memberikan tuntunan
bahwa seseorang disebut sebagai beriman manakalah ada kesediaan mencintai
sesamanya. Konsekuensi mencintai adalah kesediaan untuk memberikan
pengorbanan.” [44] Bisa
dikatakan bahwa konsep
silaturahim dilakukan bukan untuk mencapai tujuan tertentu saja (rizki dan
panjang umur) akan tetapi diyakini sebagai suatu proses ibadah yang harus
dilakukan karena di dalamnya terkandung nilai kemuliaan. Lebih dari itu,
silaturhaim tidak hanya sekedar diajarkan dan dipahami dari tataran konsep dan
teori, akan tetapi juga dipraktikan dalam kehidupan nyata.
2.
Hijrah; “tentu
saja banyak aspek yag dapat kita petik dari peristiwa hijrah ini. satu di
antaranya saja, misalnya bahwa dalam memperjuangkan sesuatu memang harus
dilakukan dengan pengorbanan dan bahkan penderitaan. Nabi, utusan Allah ini
akan membangun peradaban manusia di Madinah harus melalui proses perjalanan
panjang yang sedemikian berat. Dan akhirnya perjuangan itu ternyata berhasil.
Dalam waktu kurang lebih hanya 10 tahun saja, Rasulullah berhasil membangun
Yatsrif menjadi tatanan masyarakat yang damai dan sejahtera yang kemudian
disebut dengan kota Madinah.”[45]
3.
Berbangsa dan bernegara; Dari tinjauan politik,
pendidikan, ekonomi, sikap hidup, dan sebagainaya dapat dikatakan Bangsa
indonesia saat ini masih mengalami ketertinggalan jauh dari bangsa-bangsa maju.
Oleh sebab itu, tidak salah bila bangsa ini dikatagorikan sebagai bangsa yang
miskin, korup, pemalas, tidak kreatif, tidak beretos tinggi (disiplin), dan
label-label negatif lainnya. di sisi lain, kenyataannya negara ini merupakan
negara yang penduduknya beragama. Bahkan, mayoritasnya berstatus berama
Islam. Di mana, dalam iSlam padanya
diajarkan tentang konsep kerja keras, keadilan, kejujuran, kesalingpercayaan,
berpandangan luas, rela berkorban, dan mendorong umatnya untuk menghindari perubatan
jahat atau tercela. Namun, kenyataannya masih ada (bahkan tidak sedikit) yang
utamanya dalam berpolitik masih jauh dari nilai-nilai mulia itu. [46] Di sinilah, timbul
pertanyaan adakah yang salah dengan pendidikan islam sehingga sampai saat ini
masih ada politikus beragama Islam yang bertipe korup, curang, dan murni
pragmatis seperti sekarang ini.
Untuk
menyukseskan misi membangun budaya politik Islami dalam pembelajaran PAI maupun
pada dunia pendidikan Islam secafra umum maka diperlukan suatu konsep
Pendidikan Islam yang terpadu. Asumsinya, untuk mencapai suatu kemulian harus
dipadukan (dilakukan) dengan cara yang mulia, meski itu harus mengorbankan
waktu, tenaga, uang, dan energi. Hal itu karena sesuatu terkadang tidak bisa dicapai
secara singkat. Adakalanya butuh waktu, sehingga konsep memberikan suap untuk
memperoleh kekuasaan (jabatan) dengan dalih untuk menyelamatkan sesuatu melaui
jabatan itu dari kehancura merupan konsep yang salah kaprah. Sebab dalam
memperoleh jabatan (sebagai kepala negara) Rasul pun sesungguhnya menempuh
jalan terjal yang sangat panjang.
Bagiamanpun, Islam sebagai bagian dari sejarah
kehidupan umat manusia tidak akan bisa dilepaskan begitu saja dari “perilaku”
politik umatnya. Hampir mayoritas sejarah perjalanan umat Islam dari zaman
Rasul hingga sekarang dapat dipastikan di dalamnya juga membahas tentang kisah
politik. Oleh karena itu, mengajarkan
politik pada peserta didik sangatlah penting. Tidak hanya politik dalam tataran materi yang
memuat berbagai
teori, hukum positif, dan sejarahnya. Akan tetapi juga pada tataran
perilaku nyata terkait etika
(nilai-nilai mulia) politik yang merupakan bagian terpenting. Sekali lagi,
pendidikan Islam tidak hanya mengajarkan tetang pentingnya berpolitik (mengapa
harus berpolitik?). Akan tetapi, Islam juga menekankan tentang pembiasaan cara mengaktualisasikan
berpolitik dengan benar.
DAFTAR
RUJUKAN
Amin. A. Rifqi.
Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner. Yogyakarta: LKiS, 2015.
--------. Sistem
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta:
Deepublish, 2014.
“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip,
didownload tanggal 21 April 2014.
Aripin, Syamsul. “Strategi Pendidikan Islam dalam Upaya
Menjawab Tantangan Globalisasi,” Jurnal Tarbiya,
Vol. I, No. 2, Desember 2014: 165-187, dalam http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tarbiya/article/view/1266/1132, 24 Juni 2015.
Chapra, M. Umer.
“Masa Depan Ilmu Ekonomi:
Sebuah Tinjauan
Islam,” dalam The Future of Economics An
Islamic Perspective, terj. Ikhwan Abidin Basri.
Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Efendi, Agus. Revolusi
Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ.
Bandung: Alfabeta, 2005.
Haamid, At-Tiijaani Abdul-Qaadir.
“Pemikiran Politik dalam Al-Qur’an,” dalam Ushulul-Fikris-Siyaasi
fil-Qur’aanil-Makki, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Hasan, Said Hamid. dkk. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Pusat kurikulum Kemendiknas, 2010.
Hidajat, Imam. Teori-teori Politik. Malang: Setara Cet.
iii, 2012.
Ibrahim, Amin. Pokok-pokok Pengantar Ilmu
Politik. Bandung: Mandar Maju, 2009.
Isjwara, F. Pengantar Ilmu Politik.
tanpa kota: Putra A Bardin cet. Ix, 1999.
Muhammad, Paradigma,
Metodologi, dan Aplikasi
Ekonomi Syari’ah. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2008.
Naim, Ngainun. Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman. Yogyakarta: Teras, 2011.
Nisa’, Khaerun. “Konstruksi Pendidikan Moral Secara
Holistik (Pendekatan Baru Pengembangan Pendidikan Agama Islam),” Jurnal al-Riwayah, Vol. 5, No. 2,
Agustus 2012, dalam http://digilib.unm.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=unm-digilib-unm-khaerunnis-401,
06 Juni 2014, diakses tanggal 16 Februari 2015.
Qodir, Zuly. Sosiologi Politik Islam:
Kontestasi Islam Politik dan Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012.
Suprayogo, Imam. “Rekonstruksi
Kajian Keislaman (Sebuah Tawaran Ontologi dan Epistemologis)” dalam
Horizon Baru
Pengembangan Pendidikan Islam (Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global),
Ed. M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha.
Malang: UIN, 2014.
--------. Kyai dan Politik: Membaca Citra Politik Kyai.
Malang: UIN, 2009.
--------.
Spirit Islam: Menuju Perubahan & Kemajuan. Malang: UIN, 2012.
Sutrisno dan Muhyidin Albarobis. Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial. Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2012.
Tobroni. Pendidikan Islam: Paradigma Teologis Filosofis, dan Spiritualitas.
Malang: UMM, 2008.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta:
Cemerlang, 2003).
[1]Dalam
sejarahnya sebagaimana menurut Syariati yang dikutip oleh Prayogo bahwa para
nabi terutama Rasul Ibrahimis, mulai dari Ibrahim hingga Muhammad merupkan
sosok “pemberontak” terhadap struktur kekuasaan yang ada. Yakni, struktur
kekuasaan yang menzalimi kaum lemah. Mereka menjadi tokoh “anti kemapanan” dan
aktif melawan arus. Tatkala Ibrahim telah diutus, dia menghancurkan
berhala-berhala satu demi satu sebagai simbol perlwanan terhadap ideologi
kekuasaan pada waktu itu. Dengan lantang ia menyatakan perlawanan terhadap
politaisme yang menjadi kepercayaan resmi penguasa pada waktu itu. Kisah hampir
sama juga terjadi pada Musa. Di mana ia berani memasuki majelis Fir’aun kemudian
menyatkan diri menjadi kelompok oposisi yang “melawan” Fir’aun demi menyatukan
kaumnya. Begitu pula hal itu terjadi pada nabi Isa dan nabi Muhammad. Lihat, Imam
Suprayogo, Kyai dan Politik: Membaca
Citra Politik Kyai (Malang: UIN, 2009), hlm. 141.
[2]Kesadaran
umat Islam terhadap hak dan kewajiban berpolitiknya dalam keidupan
bermasyarakat, berbangsa , dan bernegara masih sangat lemah. Bahkan bisa
dikatakan apatis terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia. Diharapkan dengan hadirnya
pengembangan PAI berbasis politik maka umat Islam akan berusaha seoptimal
mungkin untuk berperan aktif dalam dunia politik baik secara langsung maupun
tidak langsung. salah satu caranya ialah melatih perilaku dasar politik
generasi muda (peserta didik) dalam proses pembelajaran PAI.
[3]“... tugas lembaga
pendidikan ilsam adalah mengkaji Islam secara proporsionla dan mengajarkan kepada anak didik bagaimaan
memahami Islam yang gagah, maju, dan dinamis, sehingga ke depan, setiap anak
didik merasa bangga dengan Islam, bangga dengan jatidirnya sebagai muslim dan
bergaung dengan komunitas Islam yang maju dan berperadanban.” Lihat,
Imam Suprayogo, Spirit Islam: Menuju
Perubahan & Kemajuan (Malang: UIN, 2012), hlm. 228.
[4]Dalam
al-Qur’an dijelaskan, tugas Rasullah sebagai Maha Guru adalah membimbing untuk
melakukan tilawah, tazkiyah, taklim
dan mengajarkan hikmah. Apa yang ia ajarkan kemudian segera dilakukan secara
istiqamah. Itulah sebabnya kemudian apa yang diberikan oleh Nabi kepada para
sahabatnya meginternal pada pribadi yang mendalam. Sayangnya pendidikan Islam
yang dijalankan sementara ini kebanyakan baru menyentuh sisi formalnya dan
bahkan hasil yang kita harapkan juga sebatas nilai hasil ujian dalam bentuk
angka-angka yang kadang belum menggambarkan capaian yang sesungguhnya
diinginkan.” Lihat, Suprayogo, Spirit Islam: Menuju, hlm. 219-220.
[5]“Jika pendidikan Islam ingin tetap eksis, ia harus memberikan sumbangan
bagi lahirnya manusia-manusia yang dapat mewujudkan masyarakat madani.
Pendidikan Islam harus mampu menghadapi tantangan yang menuntut kemandirian,
kemampuan mengambil inisiatif dan siap bersaing secara kreatif dan produktif.” Lihat, Syamsul Aripin, “Strategi Pendidikan Islam dalam Upaya
Menjawab Tantangan Globalisasi,” Jurnal Tarbiya,
Vol. I, No. 2, Desember 2014: 165-187, dalam http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tarbiya/article/view/1266/1132, 24 Juni
2015.
[6]Khaerun
Nisa’, “Konstruksi Pendidikan Moral Secara Holistik (Pendekatan Baru
Pengembangan Pendidikan Agama Islam),” Jurnal
al-Riwayah, Vol. 5, No. 2, Agustus 2012, dalam http://digilib.unm.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=unm-digilib-unm-khaerunnis-401,
06 Juni 2014, diakses tanggal 16 Februari 2015.
[7]PAI selama
ini masih mengurusi masalah ibadah dan egosentris keagamaan. Padahal kendala
serius yang paling mengancam umat Islam dan umat manusia pada umumnya sekarang
ini bukan hanya pada bagaimana cara beribadah dan cara beragamanya. Akan tetapi
terletak pada bagaimana umat Islam mampu berperan serta dalam menciptakan
kemaslahatan kehidupan secara universal. Yakni, tidak hanya berperan pada
pembangunan moral, tapi juga berperan dalam mendorong hingga terlibat secara
langsung dalam pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, PAI melalui
berbagai bentuk pengembangan yang dilakukan idealnya pun harus bisa berperan
dalam “menyelamatkan” dunia dari berbagai ancaman yang disebabkan oleh ulah
manusia. Misalnya, bahaya pemanasan global (global
warming), rusaknya ekosistem di alam akibat penggunaan bahan kimia
berlebihan, eksploitasi sumber daya alam maupun lingkungan yang terlalu
berlebihan, dan lain sebagainya. Di mana salah satu hal yang terpenting yang
harus dimiliki dan dikuasai oleh umat Islam agar beberapa misi itu sukses ialah
kekuatan politik.
[8]“Kamus Besar
Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI
Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip,
didownload tanggal 21 April 2014.
[9]“kenyataan menunjukkan
bahwa bangsa atau masyarakat yang (relatif) maju, (relatif) terhindar dari
pemerintahan yang tidak/kurang demokratis. Ini berarti upaya mewujudkan bangsa
yang maju (ataudalam istilah politik disebut civil society = masyarakat madani) perlu mendapat prioritas,
terutama di negara-negara berkembang. Prasyarat maysasrakat madani itu aialah
cukup cerdas (berpendidikan, cukup baik secara merata) dan cukup sejahtera. Dengan cukup cerdas akan
sadar hak
dan kewajibannya sebagai warga negara dan dengan cukup sejahtera ia tidak
gampang “dibeli” dalam arti yang luas.” Lihat, Amin Ibrahim, Pokok-pokok Pengantar Ilmu Politik
(Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 27.
[10]Pada
pengembangan PAI harus dibumikan kembali bahwa pendidikan merupakan bagian
kecil dari sistem kehidupan. Dengan demikian, secara konsep maupun praktik PAI
tidak dapat berdiri sendiri. Ia senantiasa terkait dengan sistem lainnya
seperti ekonomi, politik, budaya, perindustrian, dan sebagainya. Oleh karena
itu, mekanisme pengembangan PAI mesti menyadari bahwa peserta didik kelak akan
menjalani kehidupan “nyata” di luar lembaga pendidikan. Hal ini bukan berarti
demi kesuksesan peserta didik pada setiap pengembangan yang dilakukan
menghalalkan segala cara. Namun, ia dengan sekreatif mungkin mampu mengemas
nilai-nilai Islam dimasukkan ke dalam sistem-sistem itu.
[11]“Oleh karena itu untuk
meangangkat dan sekaligus berusaha menjadikan pelajaran agama Islam menarik di
sepanjang zaman- sekarang apalagi di masa yang akan datang yaitu pada zaman di
mana dunia semakin modern dan global, maka perlu ada keberanian melakukan
rekonstruksi terhadap rumusan isi pelajaran agama Islam. apa yang sudah
dijalankan selama ini kiranya tidak perlu ditinggalkan secara total, tetapi
mungkin perlu dirumuskan kembali bahan ajar yang bersumber dari al-Qur’an dan
Hadits Nabi yang lebih relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang
semakin maju.”Lihat, Suprayogo, Spirit Islam: Menuju, hlm. 215.
[12]Sutrisno dan
Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam
Berbasis Problem Sosial (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2012), hlm. 51.
[13]Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003
Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003).
[14]A. Rifqi
Amin, Pengembangan Pembelajaran PAI: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner
(Yogyakarta: LKiS, 2015), hlm. 7.
[15]Pengembangan di sini bukan
berarti suatu tindakan yang anti konservatif. Sebaliknya, suatu pengembangan
kadang kala diadakan dalam misi penyuksesan fungsi konservasi (penyelamatan).
Yakni, menjaga dan memunculkan kembali nilai-nilai agama Islam yang luhur serta universal dari penyimpangan
(pemahama parsial) dan penenggelaman.
[20]Menurut
Hidayat Strategi politik bisa digunakan bagi seseorang (menurut penulis juga
oleh pendidik) untuk “menguasai” lawannya (peserta didik). Lebih lanjut ia
menyatakan bahwa “...strategi
politik
bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu, membuat dan menyelesaikan konflik,
mengacaukan situasi atau untuk memperkuat posisi kekuatan serta menciptakan
stabilitas nasional. sedangkan dalam dunia politik, srategi politik bisa
menjadi fungsional bagi masyarakat apabila masyararkat diuntungkan. Suatu
strategi politik bisa saja berbentuk penyimpangan terhadap apa yang dianggap
masyarakat bukan penyimpangan. Namun semuanya dialakukan secara fungsional
terhadap masyarakat itu sendiri.” Lihat,
Hidajat, Teori-teori
Politik, hlm.
117.
[22]Menurut
Quinton sebagaimana dikuti Haamid bahwa “suatu masyarakat dikatakan sebagai
masyarakat politik jika ia mempunya lembaga kekuasaan yang khusus, yang dapat
menetapkan hukum dan undang-undang, yang ia buat atau ia adopsi, yang mengatur
perilaku masyarakat. kemudian hukum dan undang-udang itu, ia aplikasikan kepada
masyasrakat dan memaksa mereka untuk mematuhinya. Lalu undang-undang itu
dipatuh secara umum oleh masyarakat dan diakui mempunyai kekuatan dengan
sukarela atau terpaksa, juga ia diakui sebagai kekuasaan tertinggi dalam
masyarakat itu dan yang dapat memberikan hukuman material.” At-Tiijaani
Abdul-Qaadir Haamid, “Pemikiran Politik dalam Al-Qur’an,” dalam Ushulul-Fikris-Siyaasi fil-Qur’aanil-Makki,
terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2001),
hlm. 3.
[23]“Secara sederhana
pemikiran politik menurut pandangan Islam ada dua dimensi: (a) merupakan proses
kekuasaan demi mengharumkan agama Islam dan masyarakatnya. (b) pelaksanaan
kekuasaannya harus didasarkan etika Al Quran dan Al hadits... Sedangkan jika ditinjau
dari sisi keilmuan, politik dalam Islam dapat kita kategorikan sebagai berikut:
(a) ilmu politik praktis (siasah alamiyah),
yakni ilmu yang membahas masalah teknik dan kebijaksanaan pemerintah (public policy), serta (b) ilmu politik
teoritis (siasah nazhariyah), yakni
ilmu yang membahas masalah kenegaraan dan apsek-aspeknya.” Hidajat, Teori-teori
Politik, hlm.133.
[24]Zuly Qodir, Sosiologi Politik Islam: Kontestasi Islam
Politik dan Demokrasi di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 128.
[25]Suprayogo berpendapat
bahwa “jangan-jangan
masih ada yang salah dengan pelaksanaan pendidikan Islam ini, baik materi,
pendekatan maupun kurikulumnya. Islam yang seharusnya menarik, berisi ajaran
tentang kehidupan nyata sehari-hari yang indah, tetapi justru membosankan bagi
para siswa karena mereka tidak bisa menagkap keindahan yang ada di dalam
ajarannya. ...sementara
ini, saya selalu membayangkan alangkah menariknya jika pendidkan islam tidak
saja dikemas dalam bentuk pealajran tauhid, fiqh, akhlak, al-Qur’an
dan haidts serta tarikh sebagaimaan berjalan selam ini, tetapi terintegrasi
dalam semua pealjaran dan bahkan kehdidupan sekolah secara keseluruhan. Guru
agama tetap diperlukan, tetapi sifatnya sebagai koordinatif, guidane dan
kontrol. Agam seharunya dipadnan sebagai keseluruhan kehidupan., mulai yang
sederhana misalnya membiasakan para siswa berdisplin, -- baik dalam kehadarina,
berpakakian, berbicara, bergaul, berlaku jujur dan tidak pernah bohong, saling
kasih saya dan menghormati sesama sreta selalu tolong menolong dalam kebaikan.
Nilai-nilai islam diberikan tidak sja olh guru agama melainkan oleh semua, baik
kepala sekolah, guru dan bahan pematu atau tukan gkpeng dan satpamnya
sekalipun.” Suprayogo, Spirit Islam:
Menuju, hlm. 289-290.
[26]Selain itu, para
ilmuwan dalam memandang realitas sebagai objek kajian ilmu hanya mengakui
adanya objek kebendaan (materi). Adapun aspek yang tidak teramati (unobservable) tidak diterima sebagai
kebenaran. pandangan tersebut dalam perspektif tauhid tidak dapat diterima,
karena realitas itu sendiri memiliki susuanan yang berbeda disebabkan perbedaan
derajatnya. Kendati demikian, realaitas yang ada senantiasa bersifat mutually inclusive, bukan entitas yang berdiri 1secara
sendiri-sendiri. Lihat, Muhammad, Paradigma, Metodologi, dan Aplikasi Ekonomi
Syari’ah
(Yogyakarta: Graha
Ilmu,
2008), hlm. 41.
[27]“Sekalipun sains dan agama
berbicara tentang dua tingkatan realitas yang berbeda, tetapi tujuan utama
kedua institusi ini sama, yaitu meningkatkan kesejahteraan manusia. sebenarnya,
jika aspek spiritual dan materiil kesejahteraan yang akan diberikan oleh kedua
institusi ini penting dan juga saling berkaitan, sains dan agama akan dapat
melayani umat manusia secara lebih efektif dengan melakukan kerja sama dan
koordinasi yang lebih besar di anara mereka. sains memungkinkan manusisa
meningkatkan kepenguasaannya terhadap lingkungan fisik, sedangkan agama dapat
membantu mengembangkan potensi manusia yang dapat mempergunakan pengetahuan dan
kekuatan yang diberikan oleh sains untuk kesejahteraan, bukannya penghancuran,
umat manusia. Agama dapat menyediakan perspektif yang benar kepada sains,
sehingga sains tidak lupa akan keterbatasannya atau tujuan-tujuan pokoknya.
Sains dapat membantu agama menjadi lebih efektif dalam mewujudkan “apa
seharusnya” dengan melakukan analisis yang lebih baik tentang “apa”, memberikan
fasilitas kepada prediksi, menyediakan teknologi yang lebih baik, dan
memungkinkan penggunaan sumber-sumber daya yang ada lebih efisien.” Lihat,
M. Umer Chapra, “Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam,” dalam The Future of Economics An Islamic
Perspective, terj. Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 72.
[28]Sebagaimana
pernyataan Muhammad, “...pangkal
dari segala kebingunan dan krisis keilmuan moderen adalah kesalahgunaan
epistemologi natural science yang
positivistik ke dalam wilayah social
science yang subjektif. Arogansii epistemologis, pada gilirannya melahirkan
counter balanace, arus penyeimbang.
(halaman 26) Moten (1990) misalnya, secara tegas menolak positivisme yang
mengkalim diri sebagai satu-satunya epistemologi keilmuan yang memiliki validitas tinggi dan kebenaran
tunggal. ia mengusulkan perlunya epistemologi keilmuan baru, yang memandang
kehidupan manusia sebagai satu kesatuan organik, mengintegrasikan nilai-nilai
moral dan ideal-ideal sosial.” Muhammad,
Paradigma, Metodologi, dan, hlm.
26-27.
[29]Agus Efendi,
Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI,
EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ (Bandung: Alfabeta, 2005),
hlm. 22-23.
[31]Ibid.
[32]Ibid.
[33]Sebagaimana menurut
Paryogo bahwa konsep keuniversalan ajaran Islam itu meliputi petunjuk tentang
ketuhanan, penciptaan, perkenalan tentang manusia, alam semesta, dan konsep
penyelamatan alam semesta beserta isinya. Lihat, Suprayogo,
Spirit Islam: Menuju, hlm. 8
[34]Imam Suprayogo, “Rekonstruksi Kajian
Keislaman (Sebuah Tawaran Ontologi dan Epistemologis)” dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Upaya
Merespon Dinamika Masyarakat Global), Ed. M. Zainuddin dan Muhammad
In’am Esha (Malang: UIN, 2014), hlm. 15.
[35]“... Marshall Mcluhan
dan Quentin Fiore telah berhasil meramalkan bahwa elektronik dan otomatiasi
akan membuat orang harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial politik
global, sehingga penduduk internasional benar-benar menjadi bagian the global village. Penganut paham ini
dengan optimis berpendapat tukar-menukar kebudayaan dan kontak melalui
komunikasi elektronik akan melawan prasangka, stereotip, dan misinfomrasi.
Pendek kata penganjur globalisasi juga mengabaikan peran agama dalam kegiatan
masyarakat lokal maupun kegiatan antar bangsa. Tetapi fakta belakangan ini
menunjukkan bahwa sekulerisasi sebagai proses modernisasi dan globalisasi,
dalam gambaran lebih besar adalah bersifat cyclical,
bukan unilinier. Ternyata agama tidak
terpinggirkan oleh proses modernisasi dan globalisasi. Di berbagai negara
terlihat agama muncul dan memainkan peran dalam berbagai kegiatan sosial
politik, dan pada tingkat global, agama tetaap membandel untuk disingkirkan.” Lihat, Hidajat,
Teori-teori Politik, hlm. 55-56.
[37]Said Hamid Hasan, dkk. Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat kurikulum Kemendiknas, 2010), hlm. 3.
[38]Hasan, dkk. Pengembangan Pendidikan
Budaya, hlm 5.
[40]Beberapa prinsip etika dalam al
Qur’an menurut Hendar Riyadi sebagaimana dikutip Naim terkait hubungan
sosial antar umat beragama meliputi, egalitarianisme, prinsip keadilan, prinsip
toleransi, prinsip saling menghormati (bekerjasama dan berteman), prinsip
ko-eksistensi damai, dan dialog yang arif-konstruktif-transformatif. Lihat, Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam
Keragaman (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm.
53-55.
[41]A. RIfqi Amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Deepublish, 2014).
[42]Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma
Teologis Filosofis, dan Spiritualitas (Malang: UMM, 2008), hlm. 49-50.
[43]Ibid., hlm. 153.
[45]Ibid., hlm.
123.
[46]Ibid., hlm.
44-45.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Pengembangan Pendidikan Agama Islam berbasis Ilmu Politik"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*