Topik lain:
Pengantar Singkat Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Pengantar Singkat Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Oleh: A. Rifqi Amin
Terdapat sebuah adagium, di mana ada sejumlah manusia di sana muncul
pengembangan masyarakat. Tak perlu disangsikan lagi, pengembangan terhadap
hasil atau karya (teori dan produk) manusia dalam segala bidang merupakan
sebuah kebutuhan dan kewajiban. Pernyataan tersebut didasarkan kenyataan bahwa pada
masyarakat senantiasa terjadi perubahan sosiologis, filosofis, psikologis, dan lainnya.
Oleh karena itu, Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai salah satu media dakwah
umat Islam perlu dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman yang terus
mengalami perubahan. Implikasinya, bila tidak diadakan pengembangan maka bisa
dipastikan kegiatan PAI tidak lagi relevan, mandek, dan hanya menjadi proses
simbolis. Yakni, cuma menjadi penanda bahwa kegiatan, kultur, dan eksistensi
spirit keagamaan Islam di suatu lembaga masih ada. Tanpa memerhatikan atau
memedulikan apakah kegiatan tersebut mampu memberikan makna, mencerahkan, dan
“mengubah” masa depan para peserta didik secara tepat atau tidak.
Di
sisi lain, pemberian label “pengembangan” pada setiap kegiatan atau program
yang dirancang bisa menimbulkan “gengsi” tersendiri. Entah, produk pengembangan
itu berwujud teori maupun benda tetap akan berimplikasi dan bermakna sangat
kompleks. Artinya, diperlukan kesungguhan dan konsistensi dalam melakukannya. Dalam
hal ini, tak terkecuali pada pengembangan Pendidikan Agama Islam. Bagaimanapun,
konsep PAI yang digunakan untuk membentuk, membangun, dan mengkader generasi
penerus umat Islam merupakan hasil kreasi manusia. Dengan kata lain, seluruh
muatan PAI kecuali ayat al Quran dan
teks Hadith merupakan hasil karya (pemahaman atau tafsir,
teori, dan produk) manusia yang tidak boleh ada keraguan untuk senantiasa
memperbaruinya. Misalnya, perumusan dan pengonsepan PAI pada masa awal
kemerdekaan Indonesia tentu berbeda dengan masa sekarang. Pengembangan ini
dilakukan salah satunya karena adanya aturan atau perundang-undangan baru yang tidak ada pada masa sebelumnya.
Dari
pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa pengembangan PAI mesti disesuaikan
dengan perkembangan ilmu (alam dan sosial) serta fenomena masyarakat. Tak
ketinggalan juga disesuaikan dengan perkembangan sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, PAI sebagai suatu sistem
pembelajaran senantiasa menjanjikan paradigma baru, salah satunya berupa
paradigma pendidikan holistik. Paradigma tersebut penting dalam melihat
dinamika pendidikan secara utuh. Mengingat selama ini, problem PAI masih terkendala
pada cara pandang parsial, misalnya hanya ditujukan untuk menyiapkan peserta
didik bisa masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Padahal PAI salah satunya tidak
bisa tidak mampu mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing peserta
didik.
Dalam alur sejarahnya pun, sesungguhnya pengembangan PAI terutama pada
masa kemundurannya masih didominasi laju yang lambat bahkan bisa dikatakan
stagnan. Salah satu penyebabnya ialah manfaat dari hasil pembelajaran PAI masih
diprioritaskan pada ego relegiositas-dogmatis kalangan umat Islam sendiri. Bukan ditujukan untuk kemaslahatan (utamanya
terkait pengembangan ilmu pengetahuan) bagi seluruh umat manusia. Dengan demikian, tidak berlebihan bila dikatakan
konsep Islam yang menjadi rahmatan lil al-‘alamin secara serius, holistik, dan implementatif belum
begitu ditekankan pada PAI. Berangkat dari kenyataan itu, buku ini berusaha
menawarkan konsep pengembangan PAI yang bisa membuka pintu gerbang solusi atas
permasalahan terkini. Akhirnya, sebelum melakukan pembahasan secara mendalam
maka terlebih dahulu perlu dipaparkan beberapa hal yang cukup penting yang
secara rinci dibahas pada Bab ini.
“...dinamika lingkungan yang berlangsung sangat cepat
telah memunculkan banyak tantangan baru bagi dunia pendidikan Indonesia. Selain masalah ‘klasik’ seputar
kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang terpuruk dalam era
globalisasi, maraknya korupsi, memudarnya semangat kebhinekaan, berkembangnya
budaya kekerasan, dan degradasi kualitas lingkungan adalah beberapa masalah
kontemporer yang menuntut respons dari dunia pendidikan Indonesia, termasuk
pendidikan Islam.” Selain itu
berdasarkan pemaparan Maarif bahwa “kualitas SDM Indonesia
di tengah kompetisi global adalah masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia
dewasa ini. Laporan United Nations Development Program (UNDP) Tahun 2014
menyebutkan bahwa Indonesia, pada tahun 2013, memperoleh skor 0,684 dalam
Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI).
Skor HDI Indonesia lebih tinggi dibandingkan Filipina (0,660),
Vietnam (0,638), Laos (0.569), dan Myanmar (0,524), namun lebih rendah
dibandingkan Singapura (0,901), Malaysia (0,769), dan Thailand (0,722).
Sungguhpun skor HDI menunjukkan peningkatan yang sangat pesat dalam
beberapa puluh tahun terakhir, kualitas SDM Indonesia masih tergolong
rendah pada tataran global, karena berada pada peringkat ke-108 dari 187 negara
di dunia.” Ia pun juga
menjabarkan bahwa “Akar masalah dalam
kualitas SDM Indonesia terletak terutama pada ketimpangan akses
terhadap pendidikan. Jumlah penduduk yang sangat besar dan terdistribusi secara
tidak merata secara geografis mengakibatkan ketidakmerataan akses masyarakat
untuk mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas. Tantangan yang dihadapi
pendidikan Islam dalam hal ini ialah bagaimana mewujudkan layanan pendidikan
yang terjangkau oleh segala lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia... Pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah, misalnya, data statistik pendidikan
Islam, Kementerian Agama, menunjukkan bahwa lebih dari 50% satuan
pendidikan MI, MTs, MA, dan Pondok Pesantren berlokasi di
wilayah-wilayah pedesaan. Dengan pola distribusi geografis seperti ini,
pendidikan Islam memberikan kontribusi yang sangat bermakna dalam rangka
pemerataan dan perluasan akses pendidikan.” Lihat, Saiful
Maarif, “Apresiasi Pendidikan Islam 2014: Bersama Memajukan Pendidikan Islam
untuk Indonesia yang Lebih Baik,” dalam http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=7084#.VOqZZPmsUyY,
23 Desember 2014, diakses tanggal 16 Maret 2015.
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya: