PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SEKOLAH INKLUSI
Makalah ini telah diedit untuk dijadikan karya tulis berbentuk jurnal ilmiah. Alhamdulillah, jurnal ini sudah banyak yang mengutipnya. Selengkapnya silakan kalian baca di:
BAB I
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Masalah
Kajian
tentang “pendidikan inklusi”[1]
pada zaman modern ini merupakan sebuah tuntutan dan tanggung jawab kemanusiaan
bersama. Hal ini karena segala ilmu
(psikologi, sosiologi, biologi, dan sebagainya), sarana, prasarana, dan
penunjang lainnya yang terkait dengannya sudah begitu mudah untuk diperoleh. Di
tambah lagi, banyak sekali tuntutan dari berbagai organisasi atau kelompok
penegak nilai-nilai “kemanusiaan” yang mendorong pemerintah maupun masyarakat
sebagai penyelenggara pendidikan untuk mengadakan pendidikan inklusi[2] secara merata. Dampaknya, secara lambat laun
telah terjadi kesamaan visi antar berbagai elemen tersebut sehingga menyebabkan
“budaya” pendidikan inklusif telah berkembang signifikan pada akhir-akhir ini.
Misalnya, anak penyandang kelainan atau berkebutuhan khusus tidak boleh
didiskriminasikan dalam memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak
dan berkualitas[3]
sehingga tidak mencederai rasa kemanusiaannya.
Anggapan
yang selama ini terjadi adalah manusia (peserta didik) berhak dikatakan sebagai
peserta didik bila mempunyai “kenormalan.” Baik kenormalan secara fisik maupun
mental. Dengan asumsi, untuk mencapai standar kenormalan tertentu maka
seseorang harus memenuhi standar keumuman manusia.[4]
Bila tidak memenuhi standar itu maka ia harus dipisahkan dari golongan manusia
“normal” meskipun kenyataannya ia punya potensi berprestasi dalam bidang
tertentu. Bahkan dimungkinan bisa melebihi peserta didik yang normal.[5]
Dapat dikatakan, tindakan seperti itu merupakan pendiskriminasian terhadap
orang-orang di luar wilayah normal. Baik pendiskriminasian secara psikologis
(menolak karena alasan iba, kasihan, jijik, takut, dll), sosiologis (mengganggu
tatanan sosial, difonis sebagai patologi sosial, sebagai sumber kesialan, dll)[6],
pedagogis (menganggung kegiatan pembelajaran, butuh penanganan khusus, butuh
dana tambahan, dll), biologi (ketakutan ketularan penyakit/virus/kuman), dan
sebagainya. Inilah yang penulis sebut sebagai sekolah “pemisahan” atau biasa dinamai
dengan sekolah ekslusi. Yakni, memisahkan antara masyarakat (siswa) “normal”
dengan masyarakat atau siswa yang “tidak” normal.
Anak berkelianan merupakan manusia yang butuh perawatan dan penangana khusus, kadangkalah berbeda bahkan bisa jadi pendidiknya melebihi apa yang diberikan pada anak normal. Ditengah kenyataan yang “berbeda” itu bukan berarti mereka harus dibedakan haknya, disingkirkan, dimatikan kreatifitasnya, dan penangangan terhadapnya dianggap sebagi sesuatu kesia-siaan (kemustahilan). Bagaimanapun, mereka adalah aset masyarakat dan bangsa yang harus dikembangkan. Oleh karena itu, segala apa yang ada pada mereka harus diterima sebagai kenyataan yang harus diperlakukan sama seperti individu lainnya. Bukan malah dibinasakan dengan perlahan-lahan.
Dalam konteks PAI, selama ini pembelajarannya pada umumnya masih banyak
“ditujukan” untuk anak-anak yang “normal saja. Yakni, peserta didik yang
dianggap mampu untuk menerima dan melaksankan amanah (tujuan) PAI guna
diimplementasikan di masyarakat kelak. Bagi mereka yang memiliki kebutuhan
khusus (utamanya anak berkelainan) tidak berhak untuk menerima amanah ini. Bisa
dikatakan, mereka cukup hanya diajari rukun Islam dan rukun iman untuk
dipraktekan bagi mereka sendiri. Bagaimana cara sholat untuk anak yang tidak bisa
berdiri (berjalan), bagaimana cara mengaji bagi anak yang buta, bagaimana cara
wudu bagi anak yang tak punya tangan, dan sebagainya. Mereka tidak diajari atau
diberi kesempatan bagaiamana cara mengaktualisasikan diri di masyarakat. Dengan
kata lain, pemberdayaan dan pengembangan terhadap anak berkebutuhan khusus
masih sangat kurang di dalam PAI.
Padahal PAI sebagai basis nilai agama Islam yang rahmatanlilalamin seharusnya menerapkan prinsip educiton for all secara totalitas dan
bermutu. PAI tidak boleh mendiskriminasikan ABK. Sebagaimana kisah nabi
Muhammad yang “memalingkan muka” saat ada sahabat yang buta hendak minta
petunjuk (pelajaran). Kemudian Allah menegur nabi Muhammad. Hal itu sebagaiman
dikisahkan dalam wahyu QS. ‘Abasa [80]: 1-11.[7]
Dari kisah tersebut dapat disimpulkan bahwa Nabi yang berstatus sebagai guru
dan sahabat bermata buta yang ingin diajarkan sebuah ilmu oleh Allah tidak
boleh didiskriminasikan. Baik pendiskriminasian secara fisik (karena buta)
maupun pendiskriminasian secara sosial karena lebih mementingkan untuk menemui
petinggi Quraisy. Dengan demikian, karena nabi Muhammad yang sebagai pusat dan
guru pertama PAI saja diperintah untuk mendidik sahabat yang berkebutuhan
khsusus maka untuk PAI zaman sekarang ini seharusnya menerapkan nilai moral tersebut
secara sungguh-sungguh.
Selanjutnya,
dalam ajaran Islam pun dinyatakan bahwa Allah tidak menciptakan segala suatu
itu untuk hal yang sia-sia belaka. Pasti dibalik penciptaan itu ada maksud yang
bernilai manfaat yang itu belum tentu bisa dipahami oleh manusia. Bisa jadi,
secara kasat mata para anak berkebutuhan khusus ini akan menjadi pelajaran
berharga bagi manusia. Utamanya pealjaran bagi kehidupan sosial. Yakni, sebagai
sarana guru dan orang tua untuk beribadah kepada Allah dengan cara mengurus
anak-anak yang membutuhkan perhatian ekstra ini. Bisa juga dengan adanya anak
berkebutuhan khusus ini menentut para ilmuwan sosial dan alam untuk menciptakan
konsep dan teknologi sehingga bisa membentuk suatu tatanan masyarakat yang
lebih utuh. Asumsinya, masyarakat yang homogen (normal semua) tentu akan
berbeda penyikapanan ilmuwan terhadapnya daripada masyarakat yang heterogen.
Kembali
ke pembahasan PAI, bahwa banyak perlakukan diskriminatif yang dilakukan oleh
guru baik secara langsung (mencela) maupun tidak langsung (tidak memperhatikan
kelebihan dan kelemahan, bukan karena sengaja tapi karena minimnya SDM) telah
menyederai kenyataan heterogenitas masyarakat. Anak berkebutuhan khusus juga
bagian masyarakat yang berhak secara langsung dan sadar untuk mewarnai
perkembangan budaya masyarakat. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis
berusaha memberikan sebuah tawaran konsep filosofis baai PAI yang diadakan pada
sekolah inklusif. Dengan harapan, PAI secara tujuan holistik tidak lagi hanya
difokuskan untuk anak-anak yang “normal” tapi juga anak berkebutuhan khusus.
2.
Batasan
Masalah dan Topik Pembahasan
Agar
pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu
batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan
yang dikerucutkan sebagai berikut:
a. Konsep dasar tentang PAI di
sekolah inklusi
b. Paradigma baru pembelajaran Pendidikan
Agama Islam
c. Pembelajaran PAI di sekolah
inklusi yang ideal
3.
Tujuan
Pembahasan
Bertolak
pada pembahasan di latar belakang serta adanya pembatasan masalah maka dapat
dirumuskan tujuan penulisan makalah sebagai berikut:
a. Menguraikan konsep dasar
tentang PAI di sekolah inklusi
b. Menguraikan paradigma baru
pembelajaran Pendidikan Agama Islam
c. Menguraikan pembelajaran PAI di
sekolah inklusi yang ideal
4.
Kata Kunci
Dari
semua pemaparan di atas maka penulis dapat merumuskan kata kunci (keyword) dari makalah ini. Maanfaat kata
kunci adalah sebagai dasar untuk pengembangan masalah yang diulas di bab
selanjutnya. Oleh karena itu, kata kunci makalah ini adalah:
Perubahan Paradigma, Pendidikan Agama Islam, dan Sekolah
Inklusi
BAB II
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH INKLUSI
A.
Konsep Dasar
1.
Pengertian Pendidikan
Inklusi
Kata “inklusi”[8]
berasal dari bahasa inggris yaitu inclusion
yang berarti (kamus John engkol). Dalam kamus bahasa indonesia kata inklusif
berarti termasuk atau terhitung.[9]
Secara rinci Geniofam memaparkan bahwa “pendidikan inklusif merupakan
layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama
dengan anak-anak sebayanya di sekolah reguler.” Sedangkan menurut Sapon-Shevin sebagaimana
dikutip Geniofam menyatakan bahwa pendidikan inklusif ialah sistem layanan pendidikan yang mewajibkan anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar di lembaga
pendidikan
terdekat di kelas biasa (reguler) bersama teman-teman seusianya. Di mana, sekolah ini menampung
semua murid di kelas yang sama. Serta
menyediakan program pendidikan yang layak dan
menantang, akan
tetapi
disesuaikan dengn kemampun dan kebutuhan setiap peserta didik.[10]
Pengertian di atas hampir sama menurut Smith yang
mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai berikut:
“pendidikan
inklusif ialah program pendidikan yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas
yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, termasuk di dalamnya siswa
yang berkelainan. Pendidikan inklusif tidak hanya membicarakan anak
berkelainan, tetapi membicarakan semua siswa yang belajar di mana mereka
masing-masing mempunyai kebutuhan belajar yang berbeda-beda.”[11]
Secara lebih tegas dan aplikatif dalam permendiknas no.
70 tahun 2009 Pasal 1 dinyatakan bahwa:
pendidikan inklusif
adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu
lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. [12]
Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap
lembaga (terumata yang ditunjuk secara resmi sebagai pelaksana pendidikan
inklusi) dituntut untuk menyesuaikan kurikulum, sasrana-prasarana, sistem
pembelajaran, dan sebagainya yang disesuaikan dengan kondisi pesarta didik.
Mengingat, program pendidikan inklusi belum banyak diketuhui oleh masyarakat
maka dibutuhkan promosi yang ekstra. Lebih lanjut, beberapa pemikiran yang mendasari
diterapkannya pendidikan inklusif antara lain:[13]
1. Semua
anak memiliki hak yang sama untuk tidak didiskriminasikan dan memperoleh
pendidikan yang bermutu; 2. Semua
anak mempunya kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan dan
kecacatannya; 3. Perbedaan
merupakan penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi semua anak; 4. Sekolah dan guru
mempunyai kemampuan untuk belajar merespons dari kebutuhan pembelajaran yang
berbeda;”
Lebih detail, masih menurut Geniofam bahwa penempatakan
anak berkebutuhan khusus dalam sekolah inklusif dapat dilakukan dengan beberapa
pendekatan, antara lain:
1.
Kelas Reguler; pada
model ini, ABK belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas
regular dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2.
Kelas Rgular dengan Cluster; dengan
model ini, anak berkelainan belajar bersama anak lain di kelas regular dalam
kelompok khusus.
3.
Kelas Regular dengan Pull Out; anak
berkelainan belajar bersama lain di kelas regular, namun dalam waktu-waktu
tertentu ditarik dari kelas tersebut ke ruang sumber untuk belajar bersama guru
pembimbing khusus
4.
Kelas Regular dengan Cluster dan Pull Out; dalam
model ini, ABK belajar bersama anak lain di kelas regular dalam kelompok
khusus. Dalam waktu-waktu tertetnu, mereka ditarik dari kelas regular ke ruang
sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.(halaman 64)
5.
Kelas khusus dengan
Berbagai Pengintegrasian; ABK belajar di dalam
kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat
belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6.
Kelas Khusus Penuh; pada
model ini, anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
(halaman 64-65) [14]
Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
sekolah inklusi ialah lembaga pendidikan yang berusaha membentuk karakter,
kecerdasan, dan keutuhan manusia melalui pembelajaran yang terbuka untuk semua
kalangan yang berbeda-beda latar belakang kemampuan fisik dan kecerdasannya di
lembaga pendidikan yang ditunjuk oleh pemerintah. Hal ini sebagaimana
penjelasan Santosos bahwa sekolah
inklusif yang mampu menjalankan metode pembelajaran
dan pengajaran pendidikan inklusi diharapkan bisa mengakomodasi berbagai jenis
keberagaman. Dengan demikian, tidak ada lagi pola eksklusivitas dalam
penyelenggaraan pendidikan. Bagaimanapun, penyelenggaan pendidikan yang
mengkotak-kotakan (pembagian segementasi) peserta didik secara dikotomis dapat
menghambat proses interaksi. Implikasinya, tidak mustahil bila hal itu akan menanamkan sifat
pendiskriminasiaan terhadap sesama. Selain itu, bagi siswa difabel perlakuan
tersebut dapat menjadikan mereka kedudukannya semakin kokoh terpinggirkan
(teraniliasi) dari dinamika sosial kemasyarakatan.[15]
2.
Anak
berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus atau biasa juga disebut anak
luar biasa[16]
menurut Geniofam ialah:
anak
dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada
ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik. Anak berkebutuhan khusus terdiri atas tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perlilaku, anak
berbakat, dan anak dengan gangguan kesehatan. Anak berkebutuhan khusus ini sering disebut
sebagai anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristiknya tersebut anak
berkebutuhan khusus
memelrukan bentuk layanan khusus
yang disesuaikan dengan kemampaun dan potensi mereka.[17]
Dari pernyataan itu dapat disimpulkan bahwa pemberian “status” Anak
berkebutuhan khusus (ABK) tidak selalu ditujukan pada anak yang mengalami kelainan mental,[18]
ketidakmampun mengontrol emosi, dan terjadinya kelainan fisik. Anak yang
memiliki bakat (kecerdasan) tertentu
juga bisa digolongkan dalam katagori anak semacam ini. Bisa dikatakan, ABK
merupakan anak yang punya karaktersitik khusus. Yakni, keadaan yang menjadikan
mereka berbeda dengan anak pada umumnya.
Istilah lain dari ABK ialah anak luar biasa[19]
serta anak penyandang cacat. Seiring berkembangnya waktu, sebagai upaya
pemberdayaan mereka maka dibuat istilah different
abilities people (difabel). Yakni, seseorang yang mempunyai kemampuan
berbeda.[20]
Lebih lanjut, dengan karakteristik khusus dan hambatan yang
dimilikinya, maka ABK membutuhkan suatu layanan[21]
pendidikan khusus.[22]
Di mana, pola pembelajaran mereka disesuaikan dengan kemampuan dan
potensi masing-masing individu. Misalnya,
bagi tunanetra dibutuhkan teks bacaan dari tulisan Braille dan penyandang
tunarungu membutuhkan kemampuan bahasa isyarat untuk komunikasi. Adakalanya, ABK
perlu untuk mengikuti program
pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Dengan klasifikasi “SLB bagian A untuk
tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB
bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras, dan SLB bagian G untuk
cacat ganda.”[23] Dengan
demikian, seharusnya ABK tidak hanya dituntut oleh pendidik untuk
mengoptimalkan kelebihannya yang dimilikinya akan tetapi segala kelemahannya
juga harus diterima dan diberi kesempatan seoptimal[24]
mungkin untuk meminimalisirnya melalui pendidikan inklusi.
Sebagai media untuk memudahkan pemahaman maka perlu
penulis gambarkan tentang “posisi” anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan
inklusi sebagai berikut
Gambar: 1 “Posisi” anak
berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusi
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa anak
berkebutuhan khusus tetap harus “dibedakan” dalam arti pendekatan dan
perhatiannya (butuh penangan khusus) pada pendidikan inklusi. Mengingat, mereka
memiliki kondisi[25]
yang berbeda dengan yang lainnya. Begitu pula sebaliknya anak yang tidak
berkebutuhan khusus (anak pada umumnya) harus diperi pengertian bahwa sebagi
yang mayoritas mereka harus bisa lebih mengayomi dan memahami keadaan ABK.
Segala potensi (kelebihan) dari ABK harus mereka apresisasi dan segala kelemahannya
harus diterima bersama. Oleh karena itu, sebagaiana menurut Smith, semua pendidik
harus mempunyai paradigma yang sama dalam memandang peserta didik yang mempunya
kesulitan (hambatan). Yakni, pendidikan untuk mereka merupakan hak dan tanggu
jawab bersama semua pendidik.[26]
Masih mengacu dari gambar di atas, maka penulis dapat
membagi anak berkebutuhan khusus menjadi dua kategori yaitu:
a. Anak yang punya kesulitan atau hambatan (disability)
Faktor penyebab terjadinya kelainan (hambatan) pada anak
penyandang disability[27]
dari masa (proses) terjadinya secara umum dapat diklasifikasikan pada saat
sebelum kelahiran (pranatal), pada saat kelahiran (neonatal), dan setelah
kelahiran (postnatal).[28] Salah satu
contoh konkritnya menurut Hallahan & Kauffman sebagaimana dikutip Efendi
bahwa mengkonsumsi alkohol secara berlebihan berpengaruh terhadap kelahiran
bayi yang disertai kelainan fisik maupun mental (tunagrahita).[29] Adapun
dalam konteks Indonesia, anak yang mempunyai gangguan perkembangan (kesulitan
atau hambatan) yang telah diberikan layananan antara lain sebagai berikut:halaman 1 di bawah ini
tidak kutipan langsung
1)
Tunanetra;
khusus untuk anak buta total (totally
blind) kegiatan belajar dilakukan dengan metode “rabaan.” Di mana,
kemampuan indera raba anak sangat ditonjolkan untuk menggantikan indera
penglihatan.
2)
Tunarungu-wicara;
memiliki hambata dalam mendengar dan berkomunikasi lisan. (halaman 1)
3)
Tunagrahita;
punya masalah kesulitan belajar karena emngalami hambatan perkembangan
kemampuan di bidang kecerdasan, mental,
emosi, sosial, dan fisik.
4)
Tunadaksa; berdasarkan analisis medis dinyatakan
mengalami kelainan (gangguan) pada tulang, persendian, dan saraf penggerak otot
pada tubuhnya. Akibatnya, ia membutuhkan layanan khusus terutama pada bidang
gerak anggota tubuhnya.
5)
Tunalaras
(maladjustment), memiliki perilaku
yang bertentangan dengan normal sosial. Sering membuat onar secara berlebihan
dan cenderung mengarah pada tindakan kriminal.
6)
Autistik,
memiliki ketidakmamuan dalam berbahasa, intelektual, dan fungsi saraf yang
disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak.
7)
ADD-H
(attention deficit disorder with
Hyperactive); Hiperaktif bukan merupakan suatu penyakit akan tetapi
suatu “gejala” (symptom). Hal ini muncul
disebabkan karena adanya kerusakan pada otak, kelainan emosional, kurang
dengar, dan tunagrahita.
8)
Kelainan
belajar (learning disabilitiy/specific learning disability); memiliki
prestasi yang rendah dalam bidang akademik tertentu seperti CALISTUNG. Kondisi
ini disebabkan oleh hambatan persepsi (perceptual
handicaps), luka pada otak, sebagian otak tidak berfungsi, disleksia, dan
afasia perkembangan (developmental
aphasia)
9)
Tunaganda
(mulihandicapped and developmentally
disabled children); memiliki hambatan perkembangan neurologis yang
disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan kemampuanan pada bidang
kecerdasan, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi di masyarakat. Kasus seperti itni membutuhkan layanan-layanan
pendidikan khusus
dengan
modifikasi metode secara khsusu.[30]
b. Anak yang berbakat (cerdas istimewa)
Yang dimaksud dengan anak berbakat ialah individu yang mempunyai bakat
istimewa di bidang intelektual, seni, olah raga, dan keterampilan tertentu. Di
mana, salah satu ciri atau sifat[31] anak
yang berbakat di bidang intelektual mempunyai kemampuan berpikir yang istimewa,
cerdas, dan kreatif dalam berpikir maupun bertindak. Selain itu ia juga cepat
dan tepat dalam memecahkan masalah baik yang sederhana hingga yang kompleks,
sehingga tak pelak ia memiliki persatasi belajar yang gemilang di sekolahnya.
Dengan catatan bahwa persetasi tersebut dicapai dengan sedikit latihan atau
bahkan tanpa latihan khusus oleh pembimbing yang ahli.[32] Secara
detail, peserta
didik yang punya potensi kecerdaan dan bakat istimewa serta membutuhkan pendidikan
khusus ialah meliputi: memiliki
kecerdasan yang luar biasa, memiliki
kreativitas
yang luar biasa, memiliki
bakat seni atau olah raga yang luar biasa, dan gabungan
dari beberapa jenis di atas.[33]
Ada beberapa aspek dari definisi dari anak berbakat yang perlu digarisbawahi, yaiut:
1.
Terdapat
jenis bakat yang dimiliki individu seperti kepemimpinan, kreatifitas, seni
darma dan visual. Beberapa contoh tersebut merupakan dari bagian bidang
keterbakatan (bidang prestasi) bahkan bila hal itu tidak dibarengi daengna
kemampuan akademik umum yang tinggi.
2.
Istilah
kapabilitas lebih cocok digunakan sebagai pengakuan bahwa beberapa siswa boleh
jadi punya potensi berbakat yang belum muncul sehingga perlu dibimbing dan
didorong terlebih dahulu.
3.
Bimbingan
dan dorongan pendidikan perlu ditekankan agar siswa dapat memunculkan
potensinya yang merupakan suatu persoalan untuk mendapatkan pendidikan khusus
seperti ssiwa berkesulitan belajar (learning
disabilities) atau beerapa pengecualian lain.[34]
3.
Perubahan
Paradigma: Dari Pendidikan Eklusi menuju Inklusi
Selama ini dalam sistem
pendidikan, pada praktek di lapangan kebanyakan masih memaknai kecerdasan
peserta didik secara terbatas. Yakni, mereka yang dikatakan cerdas ialah yang
memiliki keutuhan atau kesempurnaan fisik. Dengan asumsi, dengan kesempurnaan
fisik tersebut menyebabkan mereka bisa “belajar” dengan normal. Bisa dikatakan,
selama ini baik secara langsung maupun tidak langsung serta secara terbuka dan
tertutup telah terjadi pengabaikan hak dan kesempatan bagi ABK untuk hidup
bersama secara “wajar” dengan masyarakat umumnya. Bahkan, hal tersebut juga
terjadi di lembaga-lembaga pendidikan yang bagian dari institusi sosial.
Kasus yang bisa saja terjadi
ialah adanya diskriminasi pelayanan administrasi, pembelajaran, hingga
dijustifikasi di ranah hukum. Anak berkebutuhan khusus (utamanya yang memiliki
hambatan) disingkirkan begitu saja dari kesempatan untuk memperoleh pendidikan
yang setara, layak, dan bermutu. Bahkan mereka disingkirkan begitu saja melalui
dalih pendidikan khusus dengan mendirikin sekolah-sekolah terpisah namun
diklaim memiliki “fasilitas” sama. Alasannya, bila mereka dimaksukan dalam
sekolah reguler bisa mengganggu perkembangan belajar dari anak-anak “normal.”
Bisa dikatakan, pendidikan yang seperti lebih mengutamakan pada “keunggulan”
sekolah daripada pemberian rasa keadilan bagi semua masyarakat.
Paradigma pendidikan eksklusi
seperti di atas merupakan paradigma lama yang harus ditinggalkan. Hal itu
karena, sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia sudah
berkembang pesat. Dengan segala fasilitis dan ilmu yang ada, bukan menjadi
alasan lagi bagi sekolah-sekolah reguler (dalam jumlah tertentu) untuk menolak
anak berkebutuhan khusus. Selain itu, untuk menghadapi masalah kehidupan yang
semakin kompleks di zaman seperti sekarang ini maka penggunaan paradigma
pendidikan inklusif merupakan suatu kebutuhan. Manusia “normal” tidak lagi
boleh menyingkirkan ABK dari kehidupan masyarakat. Kelebihan dan kemandirian
sedikit pun dari ABK akan sangat bermanfaat bagi kehidupan ini. Dengan
falsasafah bahwa pendidikan inklusi ingin membentuk masyarakat beragam yang
salih membantu satu sama lain. Tanpa harus meremehkan kemampuan[35]
satu sama lain. Harapan selanjutnya ialah pendidikan tanpa diskirminasi dan
pendidikan untuk semua bisa terselenggara dengan optimal.
4.
Urgensi
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Inklusi
Menurut penulis apa yang dimaksud dengan
Pendidikan Agama Islam ialah “usaha mengkaji ilmu secara terencana untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia beriman, serta dengan sadar dan tulus
menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan yang sedang atau
akan ditempuhnya.”[36]
Lebih lanjut, kesadaran tersebut meliputi penerapan nilai ibadah atau
penghambaan terhadap Tuhan dengan benar,[37] nilai humanisme (kesetaraan manusia), keselamatan (kemaslahatan),
nilai patriotisme (nasionalisme),[38] nilai
semangat dalam pengembangan diri[39]
(ijtihad) maupun pengembangan masyarakat, dan nilai-nilai kedamaian dalam
kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik
aktif pada pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar
dalam pengimplementasian nilai-nilai universalisme ajaran Islam. Tentu nilai
tersebut terwujud secara konsisten dengan segenap logika serta alam pikirnya
dan alam spiritualitasnya.[40]
Sebagaimana pendapat Syukri Fathuddin bahwa hendaknya “... Pendidikan Agama
Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan
dapat dikatakan way of life seseorang.”[41]
Definisi di atas bila dikaitkan dengan pembahasan
tulisan ini maka hal itu berarti dalam segala lingkungan kehidupan yang peserta
didik arungi kelak diharapkan mampu memberdayakan dan mendukung dalam
pengembangan kehidupan bangsa. Tidak memedulikan bagaimana kondisi latar
belakang peserta didik, suatu lembaga (utamanya yang diberi tanggung jawab
pendidikan inklusi) harus menerima segala kelemahan sekaligus kelebihan
mereka.
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan, PAI
hakikatnya secara duniawi muatan aksiologinya (kegunaan) tidak hanya ditujukan
bagi umat Islam sendiri. Akan tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Baik umat
manusia yang memeliki keterbatasan (disability)
maupun yang memiliki bakat istimewa. PAI seharusnya bisa menjadi pengarah dan
penyumbang terbentuknya tatanan masyarakat yang inklusif, berperadaban modern,
beretika (tidak berpenyakit moral), dan manusiawi. Pada akhirnya, umat Islam
bisa menjadi umat yang toleran dan bertenggang rasa. Yakni, menjadi muslim yang kuat
sebagai pelindung manusia lain yang lemah. Bisa juga dengan menjadi muslim yang
mayoritas untuk pengayom terhadap minoritas dan menjadi muslim yang kokoh
sebagai penjaga manusia lain yang rapuh. Sesungguhnya semangat seperti inilah
yang telah dicontohkan nabi Muhammad.
Dari penjelas itu, nampak jelas bahwa PAI sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional sangat memiliki peran penting dalam menyukseskan pendidikan
inklusi di Indonesia. Salah satu sebabnya ialah karena misi (tujuan) utama dari
penyelenggaran pendidikan inklusi merupakan bagian dari misi PAI itu sendiri.
Yakni, sebagaimana menurut penjelan Santoso bahwa misi pendidikan inklusi ialah
terbentuknya tatanan masyasrakat inklusif. Suatu sistem kemasyarakat yang
dibentuk dari spirit saling menghormati dan menjunjun tinggi terhadap fakta
keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan.[42]
5.
Dasar Hukum pelaksanaan Pendidikan
Inklusi
Dalam
Undang-undang 1945 Amandemen Pasal 28C ayat 1 mengamanatkan“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia.”[43]
Dari pernyataan
tersebut dalam konteks makalah ini, yang menjadi titik penting adalah
pernyataan berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan pernyataan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Sesungguhnya yang dimaksud kebutuhan dasar siswa tidak hanya pendidikan secara
umum saja namun juga kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan (penghargaan) dan
juga pengembangan diri kualitas hidupnya semakin meningkat. Diharapkan, dengan kuliat
diri dan kehidupan yang meningkat bisa membantu terbentuknya kesejahteraan bagi
seluruh umat manusia.
Dasar hukum lainnya
adalah Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1 mengamanatkan
bahwa “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Secara rinci
pada pasal 5 ayat 1-4 dikatakan: [44]
(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus. (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (4)
Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus.
Lebih detail dalam
Undang-undang Penyandang Cacat No. 4 tahun 1997 dijelaskan bahwa “Setiap
lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.[45]
Dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa secara hukum pelaksanaan inklusi sudah diatur dalam
undang-undang. Hal ini tentunya juga bisa menjadi dasar aturan bagi semua mata
pelajaran maupun lembagai pendidikan yang ingin berinovasi melaksanakan pendidikan
serta pembelajaran yang bersifat inklusi. Oleh karena itu, siapapun tidak
dibolehkan melakukan diskriminasi dan penelantaran terhadap anak-anak
berkebutuhan khusus. Walaupun pada kenyataan dan pelaksanaannya ada beberapa
kendala yang ditemui. Lebih detail mengenai hal ini akan penulis uraikan dalam
pembahasan berikutnya.
B.
Paradigma
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Inklusi
Dalam penyelenggaraan pendidikan formal
diharapkan tidak ada lagi sekat sosial atau pembedaan antara ABK dengan
masyarakat pada umumnya. Konkritnya, supaya tercapai pendidikan inklusi maka
orngan tua dapat mendaftarkan ABK ke sekolah umum. Dengan metode inklusif
itu, diharapkan terdapat peluang tericptanya interaksi sosial antara ABK dan
masyarakat umum. (halaman 136) [46] Namun
kenyataannya, sering kali cara pandang manusia
pada umumnya terhadap individu yang berkebutuhan khusus ialah meng-underestimate. Bahkan, tidak segan untuk me-Judgment mereka sebagai individu yang
tidak mampu berbuat sesuatu, sehingga membutuhkan bantuan orang lain sekalipun
itu untuk dirinya sendiri.
Lebih lanjut menurut Amin
Abdullah, sebagimana dikutip Rossidy bahwa “dalam perkembanan zaman
tantangan-tantangan baru masih akan terus bermunculan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan modern. Termasuk isu-isu kemanusian universal, pluralisme,
keagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan hidup adalah di antara
persoalan kontemporer yang perlu mendapat perhatian serius dalam konteks
pendidikan agama.”[47]
Dengan demikian, pendidikan inklusi yang di dalamnya juga
ada nilai yang bersinggungan dengan nilai-nilai Islam bukan sesuatu yang
sepenuhnya bertentangan dengan PAI.
Sebelum membahas tentang
paradigma apa yang digunakan PAI di lembaga pendidikan inklusi, maka terlebih
dahulu perlu kiranya meparkan beberapa permasalahan yang dihapai oleh ABK.
Permasalahan ini perlu diketuahi agar dalam membangun paradigma PAI tidak
dilakukan secara parsial. Di antarnya beberapa problema yang dihadapi ABK
menurut penulis adalah:
1.
Tidak adanya
bimbingan spiritual, afekfit, keterampilan, dan kognitif secara intens dan
berkelanjutan.
2.
ABK tidak diberi
kesempatan untuk menyesuaikan, mengembangkan, dan mengaktualisasikan diri di
tengah-tengah perbedaan.
3.
Kurangnya motivasi,
baik secara internal seperti merasa minder, merasa bersalah, dan tidak telaten
maupu secara eksternal seperti mendapat ejekan, menjadi pusat perhatian
“negatif”, dan pendiskriminasian hak.
4.
Terlalu dimanja
(dibebaskan), di mana pendidik menuruti semua kemauan ABK agar mereka bisa
menemukan sendiri dunia bahagianya.
5.
Pendidik terlalu
menggunakan teori Barat dalam melayani ABK, padahal
kondisi
wilayah (latar belakang peserta didik) sangat berbeda dengan apa yang ada di
barat.
Berangkat dari permasalahan
itu, maka diperlukan persyaratan khusus bagi lembaga yang ingin melaksanakan
pendidikan inklusi. Menurut Schultz (1994) mengemukakan
10 kategori utama terkait kesiapan yang menjadi prasyarat bagi sekolah yang
ingin lebih ramah dan inklusif. Diantarnya ialah:
1.
Sikap (attitudes); guru dan seluruh SDM di
lembaga harus meyakini bahwa program inklusi yang lebih besar akan menghasilkan
proses pembelajaran yang mengalami peningkatan bagi semua orang.
2.
Persahabatan (relationoship); persahabatan dan
pertemanan antar peserta didik satu sama lain baik dengan hambatan maupun tidak
harus dipandang sebagai suatu nilai yang didukung.
3.
Dukungan bagi siswa (support for students); harus ada tenaga
ahli (khusus) serta sumber daya lain yang bisa memberikan layanan kebutuhan bagi
siswa yang berbeda di kelas inklusif.
4.
Dukungan untuk guru (support for Teacher); kesempatan
peningkatan kualitas (kompetensi) salah satunya melalui pelatihan yang akan
digunakan dalam menangani keberagaman peserta didik.
5.
Kepemimpinan
administratif (administrative leadership);
seluruh pejabat (pengelola) beserta staf lembaga pendidik harus antusias dalam
mendukung dan memberikan sifat kepemimpinan yang lebih inklusif.
6.
Kuriklum (curriculum); agar sisat dapat tertangan
dalam meraih presatasi maka kurikulu harus dibuat fleksibel.
7.
Penilaian (assessment); penilaian harus memberikan
gambaran akhir setiap siswa.
8.
Program dan evaluasi
staf (program and staff evaluation);
sistem lembaga harus dievaluasi secara menyeluruh terkait pencapaian lingkungan
yang inklusif dan ramah bagi semua siswa.
9.
Keterlibatan oranguta (paretal involvement); orang tua harus
memahami rencana baik dengan hambatan atau tidak untuk membentuk suatu
lingkungan inklusif.
10. Keterlibatan
masyarakat (commuity involvememt);
masyarkaat harus diberi tahu dan dilibatkan dalam usaha meningkatka keterlbitan
dan diterimanya peserta didik penyandang hambatan dalam kehidupan sekolah. harapannya, masyarkat juga mau melakukan
peneriamaan terhadap mereka.[48]
Lebih lanjut, bila dikaitkan
dengan pembelajaran secara langsung, maka paradigma
lama mengajar tentang memberikan reward and punishment atau memberikan
rangsangan lain[49]
sudah tidak berlaku lagi. Ataupun paradigma pembelajaran yang
hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan
(sains) dianggap sudah tidak relevan dengan kekinian.
Diperlukan paradigma baru,
bahwa mengajar sebagai
proses mengatur lingkungan (kebudayaan).
Beberapa alasannya adalah:
1.
Siswa
bukanlah orang dewasa dalam bentuk anak kecil atau remaja,
tetapi individu yang sedang berkembang sehingga masih butuh proses pendidikan.
Dengan demikian, guru (sebagai orang dewasa) bukanlah satu-satu sumber belajar.
Asumsinya, kebutuhan orang dewasa dengan anak-anak berbeda, maka guru bertugas
sebagai pengelola sumber belajar yang sesuai dengan tingkat usia siswanya.
2.
Adanya ledakan ilmu
pengetahuan berakibat pada ketidak mungkinan bagi setiap orang mampu menguasai seluruh cabang keilmuan.
Dengan demikian, belajar tidak sekedar menghafal informasi, menghafal
rumus-rumus, tapi belajar adalah bagaimana
siswa mampu menggunakan otaknya untuk mengasah
kemampuan berfikir.
3.
Penemuan-penemuan baru
dalam bidang psikologi (menurut
penulis juga bidang biologi),
berakibat pemahaman baru terhadap konsep
(teori) perubahan perilaku manusia. Di mana
manusia sebagai makluk biologis (organisme) memilik potensi bawaan
yang menentukan perilaku manusia. Implikasinya,
proses pendidikan bukan lagi memberikan stimulus untuk cerdas pada bidang tertentu, tetapi
mengembangkan potensi (kecerdasan) yang
telah ada dan telah dimiliki
siswa.[50]
Lebih detail, Muhaimin, dkk. menjelaskan bahwa belajar
pada hakikatnya terjadi secara individual, sehingga setiap individu dalam
belajar memiliki karakteristik tersendiri. Dari situ, idealnya pendidikan agama
Islam seharusnya
diacukan pada peserta didik secara perseorangan. Dengan asumsi, tindakan
(perilaku) belajar memang bisa ditata
(dikelola) dan dipengaruhi (diintervensi), akan tetapi
perilaku belajar individu akan tetap berjalan sesuai dengan karakteristik
peserta didik secara perseorangan. Misalnya, peserta didik yang yang cara
belajarnya lambat dalam bidang
tertentu tidak dapat dipaksa untuk belajar cepat. Oleh karena itu,
rancangan pembelajaran PAI harus diupayakan sesuai dengan karakteristik
perseorangan peserta didik, sehingga terjadi perkembangan dalam pemahaman,
pengalaman, dan pengamalan beragamanya sesuai dengan daya tampung dan
kemampuannya (daya jangkau).[51]
Sedangkan apabila dikaitkan
dengan peserta didik secara langsung, maka paradigma lama tentang peserta didik
telah mengalami pergeseran. Di mana sekarang ini setiap
peserta didik di pandang punya
tingkat kemampuan yang berbeda dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.[52]
Selain perbedaan tersebut, peserta
didik juga berbeda pada kemampuan fitrah.
Asumsinya ada anak yang memiliki kemampuan fitrah
dalam bidang melukis akan tetapi lemah dalam kemampuan menari dan olah raga.
Ada pula peserta didik
yang punya kemampuan membaca al Quran yang sangat baik. Implikasinya, perbedaan
pada aspek kejiwaan dan fitrah
merupakan hal yang sangat mendasar untuk diketahui dan dipetakan secara pasti
oleh guru. Di mana peta tersebut dijadikan modal awal dalam merancang kegiatan
pembelajaran.[53]
Adapun apabila dilihat
dari kepentingannya, pendidikan dibagi menjadi dua, pertama pendidikan dari segi
kepentingan individual
peserta didik. Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Abuddin Nata,
selain memperhatikan peserta didik dari segi perbedaan bakat, kemampuan,
kecenderungan, dan sebagainya, guru juga harus membantu individu dalam
mengekspresikan dan mengaktualisasikan
“kecerdasan” dirinya.
Dari itu diharapkan peserta didik
dapat mengatasi masalah di kehidupannya kelak.[54]
Kedua, dari segi kepentingan masyarakat. Pelaksaanan
pendidik dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga
setiap gagasan, pemikiran, nilai, budaya, agama, ilmu pengetahuan yang
disalurkan ke peserta didik harus mendapat pengakuan masyarakat dan negara. Dengan kata lain masyarakat
dan negara sangat berperan dalam mengintervensi kegiatan pendidikan. Yakni,
untuk menciptakan generasi yang siap untuk mengisi ruang-ruang kosong bidang
pengetahuan yang sangat dibutuhkan masyarakat.[55]
Konsep
pendidikan yang memadukan antara kepentingan individual dengan kepentingan masyarakat didasarkan pada
asumsi bahwa individu selain memiliki kebebasan berkreativitas juga dibatasi
oleh kebebasan sosial. Oleh karena itu setiap peserta didik selain bisa
menentukan pilihan-pilihannya, mereka juga harus tunduk kepada pilihan yang diakui dan dibutuhkan bersama. Dengan kata lain Islam memandang bahwa kedua kepentingan tersebut harus berjalan
berdampingan dan seimbang. Selain juga menggunakan nilai-nilia yang berasal
dari Tuhan yang diyakini benar dibandingkan nilai-nilia yang diciptakan manusia. oleh karena itu, dalam
menyikapai apa-apa yang berasal dari manusia adalah dimulia dengan sikap
meragukan terlebih dahulu kemudian memecahkan keraguanya itu dengan bukti
ilmiah. Sedangkan menyikapi yang berasal dari Tuhan dimulai dari menyakinnya,
kemudian memperkuatnya dengan pemahaman manusia tentang ayat-ayat kauniyah.[56]
C.
Nilai-nilai
Dasar PAI di Sekolah Inklusi yang Ideal
Pembelajaran
PAI merupakan kegiatan untuk mencerdaskan peserta didik. Oleh karena itu, dalam
konteks pembahasan ini hal-hal penting yang perlu diperhatikan sebelum diadakan pembelajaran
adalah seperti apa kondisi (latar belakang) peserta didik. Persoalan lain
adalah sejauh mana kemampuan pendidik dan institusi pendidikan dalam
mengakomodasi keberagaman peserta didik. Serta, bagaimana cara menanamkan
nilai-nilai Islam kepada peserta didik sesuai dengan kondisi “keberagaman”
mereka. Identifikasi semacam ini menurut penulis dirasa sangat penting.
Alasannya, bagaimana mungkin suatu proses pembelajaran membentuk manusia
“cerdas” secara efektif dan efisien, bila tidak diketahui terlebih dahulu
sejauh mana kemampuan, keterampilan, dan hal-hal (latar belakang) yang
mempengaruhi kehidupan peserta didik. Untuk lebih jelasnya maka perlu
digambarkan skema di bawah ini:
Gambar 2: Posisi Peserta Didik dalam
Bingkai Pendidikan Agama Islam
Selain dari lima macam keberagaman tersebut,
sebenarnya ada keberagaman lain yang cukup signifikan dalam mempengaruhi
semangat belajar di lembaga pendidikan. Salah satunya adalah orientasi peserta
didik (serta wali murid) dalam upaya menempuh pendidikan di lembaga tertentu
yang dipilihnya. Dalam konteks pembelajaran, mengetahui orieantasi peserta
didik di rasa sangat penting yaitu sebagai pisau analisa sekaligus upaya
pemberian “pendalaman” secara benar terhadap mereka. Bagaimanapun, peserta
didik datang ke madrasah atau sekolah tidaklah membawa status “botol kosong.”
Namun, sesungguhnya mereka sudah membawa “isi” yang berupa tujuan-tujuan,
fanatisme-fanatisme terhadap sesuatu, keterpaksaan, keterampilan-keterampilan
(kemampuan fisik dan pikiran), traumatik-traumatik, kebanggaan-kebanggaan,
doktrin-doktrin, dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami pula bahwa pembelajaran PAI idealnya bukanlah materi ceramah, materi latihan, dan materi diskusi saja. Melainkan, seni dalam mendoktrin peserta didik agar fanatik dan setia sampai akhir hayat terhadap agama Islam. Dengan kata lain, kegiatan pembelajaran PAI tidak berindikasi “mencegah” atau menghambat “isi” positif peserta didik. Salah satunya dalam pengembangan bakat, potensi, kecerdasan, dan minat yang positif. Oleh karena itu, pendidik bertugas membekali dan memfasilitasi segala konsekuensi dari kelemahan sekaligus kelebihan yang mereka miliki (senyampang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam). Di sinilah terjadi “peningkatan” posisi peserta didik pada proses pembelajaran di kelas.
Dapat dikatakan dalam penerapan
teori pendidikan inklusi, sungguh bukanlah perkara mudah dan remeh-temeh. Baik
dari segi pemahaman teorinya maupun dari segi penerapannya. Hal itu terumata bila
pembelajaran PAI dilakukan dalam lingkungan pendidikan luar biasa (pendidikan
khusus) terlebih lagi untuk lembaga pendidikan inklusi. Di mana, kondisis
pendidikan inklusi baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi
psikologi, cara pandang, dan pemahaman peserta didik tentang kehidupan. Oleh
karena itu, pendidik bertanggung jawab dalam mengarahkan mereka ke jalur semestinya.
Tentu pendekatan yang digunakan untuk melakukan pembimbingan akan berbeda
antara peserta didik pada jenjang PAUD, pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi.
Dengan demikian, karena
tersalurkannya[57]
potensi masing-masing peserta didik secara layak –serta semuanya didasarkan
pada nilai-nilai Islam— maka diharapkan peserta didik akan benar-benar menjadi
orang sukses. Yakni, kesuksesan yang hakiki bukan kesuksesan yang semu. Di
mana, Tufiq Pasiak menggambarkan makna kesuksesan sebagai berikut:
Gambar 3: Dua Jenis “Makna” Kesuksesan
(Diadapatasi dari tabel Taufiq
Pasiak)
Dari gambar tersebut
berdasarkan penjelasan Taufiq Pasiak dapat digambarkan bahwa jenis kesuksesan
pada bagan paling kanan lebih mementingkan nilai kehidupan. Di antaranya
kebersamaan, kejujuran, integritas, komitmen, hubungan sosial, kerja sama, dan
keadilan. Lebih jelasnya, seseorang merasa sukses bila ia mampu memberi orang
lain sesuatu, sehingga membuatnya dapat menikmati hidup dan semakin bermakna.[58]
Dengan kata lain, arti sukses sesungguhnya bukan sukses semata-mata untuk
mementingkan diri sendiri. Namun, yang dapat merubah situasi menjadi lebih baik
sehingga bisa memberikan makna dan nilai kehidupan.
Daftar
Rujukan
Amin, A. Rifqi. Pengembangan
Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner. Yogyakarta: LKiS, 2015.
--------. Sistem
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta:
Deepublish, 2014.
“Kamus Besar Bahasa
Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI
Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
“Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,”
dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Permendiknas%20Nomor%20%2070%20Tahun%202009.pdf, diakses tanggal 18 Mei 2015.
“Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,”
dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Permendiknas%20Nomor%20%2070%20Tahun%202009.pdf, diakses tanggal 18 Mei 2015.
“Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45,
didownload 04 Oktober 2014.
Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz 1-30 Edisi Baru. Surabaya: Duta Ilmu, 2005.
Delphie,
Bandi.
Pembelajaran Anak
Tunagrahita: Suatu Pengantar dalam
Pendidikan Inklusi. Bandung: Refika Aditama, 2006.
Efendi,
Mohammad.
Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara,
2006.
Fathuddin,
Syukri. “Pendidikan Islam,” dalam Din
al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati
Rahman. Yogyakarta: UNY Press, 2008.
Geniofam,
Mengasuh & Menyukseskan Anak Berkebutuhan
Khusus. Jogjakarta:
Garailmu, 2010.
Goleman, Daniel.
“Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional
Intelligence, terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Hadis,
Abdul.
Pendidikan Anak
Berkebuthan Khusus-Autistik.
Bandung: Alfabeta, 2006.
Muchsin,
Bashori dan Abdul Wahid. Pendidikan Islam
Kontemporer. Bandung: Refika
Aditama, 2009.
Muhaimin, dkk. Paradigma Pendidikan
Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Pers,
2009.
Muhammad,
Jamila K. A. “Panduan Pendidikan Khusus Anak-anak dengan Ketunaan dan Learning Disabilities,” dalam Special Education for Special Children,
terj. Edy Sembodo. Jakarta: Hikmah, 2008.
Nata, Abuddin. Perspektif Islam Tentang Strategi
Pembelajaran. Jakarta: Kencana, 2009.
Pasiak, Taufiq. Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ,
dan SQ untuk Kesuksesan Hidup. Bandung:
Mizan.
Rossidy,
Imron.
Pendidikan Berparadigma
Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah dengan Pengembangan Sikap Toleransi
dan Kerukunan. Malang: UIN, 2009.
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2007.
Santoso,
Satmoko Budi.
Sekolah Alternatif, Mengapa tidak...?!.
Jogjakarta: Diva, 2010.
Smith,
J. David. “Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua,”
dalam Inclusion, Scholl for All Student,
terj. Enrica Denis. Bandung: Nuansa, 2006.
Undang-undang Republik Indonesia No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003).
[1]Dalam referensi lain adakalanya digunakan
istilah “pendidikan
terintergrasi,” “pendidikan terpadu,” “pendidikan holistik,” dan “pendidikan
humanistik” sebagai pengganti istilah pendidikan inklusi.
[2]Smith
menegaskan bahwa dalam pendidikan inklusi terdapat adanya “keterlibatan yang
sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang menyeluruh. Inklusi
dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum,
lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri (visi-misi) sekolah.”J. David
Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua,”
dalam Inclusion, Scholl for All Student,
terj. Enrica Denis (Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 45.
[3]Masalahnya, pendidikan
yang bermutu dan berkualitas itu sangat berbeda penerimaannya menurut anak yang
berkebutuhan khusus (baik yang berkelainan maupun yang memiliki kecerdasan
tinggi) dengan anak pada umumnya (anak “normal”). Di mana, suatu pendidikan
disebut bermutu dan berkualitas menurut anak pada umumnya belum tentu
berkualitas (baik karena terlalu berkualitas atau kurang berkualitas) menurut
anak berkebutuhan khusus.
[4] Label kemanusiaan mereka tidak lengkap (utuh) seperti label kemanusiaan
pada manusia lainnya. Bahkan, mereka tidak lagi didanggap sebagai manusia bila
mengalami “kecacatan” yang parah.
[5]Kasus
seperti ini lebih sering terjadi pada Anak berkebutuhan khusus yang memiliki
kelainan (difabel) daripada anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
[6]Lebih parah lagi, ada anggapan (mitos) bahwa manusia yang tidak normal
sebagai sebuah “karma” yang diterima oleh orang tuanya dari dosa-dosa yang
dilakukan di masa lalu. Oleh karena itu, perlakuan diskriminatif terhadap
mereka layak untuk diberikan dengan dalih sebagai bentuk “pelajaran” sosial
bagi semua.
[7]Artinya:
(1). Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, (2) karena seorang buta telah
datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). (3) Dan tahukah engkau (Muhammad)
barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), (4) atau dia (ingin)
mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? (5) Adapun orang yang
merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy), (6) maka engkau
(Muhammad) memberi perhatian kepadanya, (7) padahal tidak ada (cela) atasmu
kalau dia tidak menyucikan diri (beriman). (8) Dan adapun orang yang datang
kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9) sedang dia takut
(kepada Allah), (10) engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. (11) Sekali-kali
jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan. Lihat, Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz
1-30 Edisi Baru (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), hlm. 871.
[8]Smith
menyatakan bahwa inklusi merupakan “istilah terbaru yang dipergunakan untuk
mendeskripsikan penyatuan bagi anak-anak berkelainan (penyandang
hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah inklusi... Bagi sebagian besar
pendidik, istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif dalam
usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang
realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh.” Lebih
lanjut, kata “inklusi” menurut Fuchs dan Fuchs sebagaimana dikutip Smith bisa
memiliki arti berbeda-beda antar satu orang dengan yang lain. Sebagian dari
mereka mengartikan sebagai cara baru untuk berbicara tentang pendidikan arus
utama (pendidikan umum atau reguler). Beberapa yang alin mungkin menyebutkan
sebagai sekolah luar biasa gaya baru. Bahkan, bagi yang lainnya lagi
mengartikan inklusi sebagai jargon untuk menyerukan “full inclusion” atau “uncompromising
inculison” yang berarti penghapusan terhadap pendidikan luar bisa secara
total.” Lihat,
Smith,
“Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 45.
[9]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[10]Geniofam, Mengasuh & Menyukseskan Anak Berkebutuhan Khusus (Jogjakarta:
Garailmu, 2010), hlm. 61-62.
[11]Smith, “Inklusi,
Sekolah Ramah,” hlm. 18.
[12]“Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 Tahun 2009 Tentang
Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,” dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Permendiknas%20Nomor%20%2070%20Tahun%202009.pdf, diakses
tanggal 18 Mei 2015.
[13]Geniofam, Mengasuh & Menyukseskan Anak, hlm.
62-63.
[14]“Dengan demikian, tidak
setiap anak berkebutuhan khsusus diharuskan berada dalam keals regular dengan
mengikuti semua mata pealajran yang ada. Sebagian dari mereka dapat berada
dalam ruang khusus atau ruang terapi tergantung dari gradasi kelainannya.
Bahkan, untuk anak dengan garadasi kelainan yang cukup berat dapat lebih lama
berada dalam ruang khusus daripada ruang reguler. Sedangkan untuk anak dengan
gradasi kelainan yang sangat berat, lebih dianjurkan untuk mendapatkan
pendidikan di SLB, bukan di sekolah inkusif.”Lihat, Geniofam,
Mengasuh & Menyukseskan Anak, hlm.
64-65.
[15]Satmoko
Budi Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa
tidak...?! (Jogjakarta: Diva, 2010), hlm. 141.
[16]Menurut
Abdul Hadis, pengertian
anak luar bisa tidak selalu mengacu paa anak yang memiliki kemampuan unggul
atau berperstasi luar biasa. Namun juga ditujukan pada anak yang mengalami
kelaianan atau ketunaaan, baik yang hanya nemiliki satu jenis kelainan maupun
lebih dari itu. Ia juga menjelaskan bahwa “dalam dunia pendidikan luar biasa
seorang anak diartikan sebagai anak yang luar biasa jika anak tersebut
membutuhkan perhatian khusus dan layanan pendidikan yang bersifat khusus oleh guru pendidik atau pembimbing khusus
yang berlatarbelakang disiplin ilmu pendidikan luar biasa atau disiplin ilmu
lainnya yang relean dan memiliki sertifikasi
kewenangan dalam mengajar, mendidik, membimbing, dan melatih anak luar biasa.” Lihat, Abdul
Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan
Khusus-Autistik (Bandung: Alfabeta, 2006), hlm. 1-2.
[17]Geniofam, Mengasuh & Menyukseskan Anak, hlm.49.
[18]“Anak kelainan dalam
aspek mental adalah anak yang memiliki penyimpangan kemampuan berpikir secara
kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini
dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih
(supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan
mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan
menjadi: (a) anak mampu belajar dengan cepat (rapid learner), (b) anak berbakat (gifted), dan (c) anak genius (extremelly
gifted). Karakteristik anak yang termasuk dalam kategori mampu belajar
dengan cepat jika hasil kecerdasan menunjukkan, bahwa indeks kecerdasannya yang
bersangkutan berada pada rentang 110-120, anak berbakat jika indeks
kecerdasannya berada pada rentang 120-140, dan anak sangat berbakat atau genius
jika indeks kecerdasannya berada pada rentang di atas 140.”Lihat,
Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik
Anak Berkelainan (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 8.
[19]“Dalam dunia pendidikan,
kata luar biasa juga merupakan julakan atau sebutan bagi mereka yang memiliki
kekurangan atau mengalami berbagai kelainan dan penyimpangan yang tidak dialami
oleh orang normal pada umumnya. Kelainan atau kekurangan yang dimiliki oleh
mereka yang disebut luar biasa dapat berupa kelainan dalam segi fisik, psikis,
sosial, dan moral.” Lebih lanjut, “anak luar biasa disebut sebagai anak yang
berkebutuhan khusus, karena dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
anak ini membutuhkan bantuan layanan pendidikan, layanan sosial, layanaan
(halaman 5) bimbingan dan konseling, dan berbagai jenis layananan lainnya yang bersifat
khusus.” Lihat, Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan, hlm. 4-6.
[20]Santoso,
Sekolah Alternatif, Mengapa, hlm. 127.
[21]“Jenis-jenis layanan
tersebut diberikan secara khusus kepada anak yang berkebutuhan khusus oleh
pihak yang berkompeten pada setiap jenis layanan itu. adapun yang termasuk
pihak-pihak yang berkompeten dalam memberikan layanan pendidikan, sosial,
bimbingan konseling, dan jenis layanan lainnya ialah para pendidik yang
berijazah pendidikan luar biasa, pekerja sosial, konselor/petugas bimbingan
konseling, dan ahli lain yang relevan dengan jenis layanan yang diberikan
kepada anak luar biasa.” Lihat, Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan, hlm. 6.
[22]“Pendidkan khusus adalah
pengajaran yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pendidikan murid-murid
khusus. Pendidikan ini dirancang secara khusus, dijalankan secara teratur,
serta dinilai keefektifannya secara teliti untuk membantu murid dengan
kebutuhan khusus dalam mencapai tahap kemandirian dan keberhasilan hidup yang
memuaskan.” Lihat, Jamila K. A. Muhammad, “Panduan
Pendidikan Khusus Anak-anak dengan Ketunaan dan Learning Disabilities,” dalam Special
Education for Special Children, terj. Edy Sembodo (Jakarta: Hikmah, 2008) hlm. 2.
Diperinci oleh hadis bahwa “dalam dunia
pendidikan istilah luar biasa mengandung pengertian ganda, yaitu mereka yang
menyimpang ke atas karena mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dibanding
dengan orang normal pada umumnya dan mereka yang menyimpang ke bawah, yaitu
mereka yang menderita kelainan atau ketunaan dan kekurangan yang tidak diderita
oleh orang normal pada umumnya.” Lihat, Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan, hlm. 5.
[23]Santoso,
Sekolah Alternatif, Mengapa, hlm. 128.
[24]Kata optimal menjadi pilihan utama “karena ‘full inclusion’ lebih mempunyai konotasi
negatif dan sulit disepakati bagi sebagian orang, kerangka filosofi yang akan
dipakai di sini adalah ‘optimal inclusion’.
Pengertian ini dimaksudkan untuk mendorong pendidik agar berusaha menemukan
jenis dan tingkatan inklusi yang memuaskan tiap individu siswa.”
Tujuan utamnya ialah membantu pendidik menjadi lebih professional, sehingga dapat
memandang peserta didik sebagai yang
utama dan pertama kali dalam setiap keadaan. Sedangkan
kesulitan (disability) yang
dimilikinya merupakan salah satu karakter dari
individualitasnya. Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm.46.
[25]“Jenis dan penyebab
kelainan fisik sangat berbeda-beda. Sebagian anak dilahirkan dengna kelainan
bawaan (congenital disabilities).
Dampak dari memiliki kecacatan sejak lahir dapat berbeda dengan memiliki
kecacatan yang terjadi kemudian pada masa anak-anak (alaman 173) sebagai akibat
dari penyakit atau cidera. Beberapa kelainan
fisik mungkin relatif ringan dan dapat diatasi (misalnya, beberapa kasus
penyakit diabetes), tapi ada pula yang berat dan membutuhkan pendukung dari
berbagai sumber daya (misalnya, beberapa kasus anak cerbral palsy jenis spastic
quadriplegia). Sebagian kelainan fisik dapat bersifat progresif (misalnya,
kelainan pertumbuhan otot/muscular dysthorpy), dan sebagian mungkin fata
(misalnya, AIDS).” Lihat, Smith, “Inklusi,
Sekolah Ramah,” hlm. 173-174.
[26] Smith, “Inklusi,
Sekolah Ramah,” hlm. 45-46.
[27]Berdasarkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 tahun 2009
tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelianan
dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa bahwa yang dimaksud
anak berkelainan atau anak yang mempunyai hambatan (disability) ialah yang terdiri atas: a. tunanetra; b.
tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f.
tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i.
autis;
j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan
narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; l. memiliki kelainan
lainnya; m. tunaganda. Lihat, “Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 Tahun 2009 Tentang
Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,” dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Permendiknas%20Nomor%20%2070%20Tahun%202009.pdf, diakses
tanggal 18 Mei 2015.
[28]Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak, hlm. 12.
[29]Ibid., hlm.
91.
[30]Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita: Suatu Pengantar dalam
Pendidikan Inklusi
(Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 2-3.
[31]Lebih
lanjut, menurut Clark sebagaimana dikutip Smith bahwa ada lima ranah sifat
pesertad didik yang memiliki keterbakatan, di antaranya:: kognitif, afektif,
fisik, intuitif dan sosial. Lihat, Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 311.
[32]Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan, hlm. 27.
[33]Ibid. hlm.
35.
[34]Smith, “Inklusi,
Sekolah Ramah,” hlm. 305.
[35]“Ketidakterlihatan” ABK tercipta ketika orang disekitar kehilangan
sifat kemanusiaeweinannya akibat ia
memandang ABK dengan persepsi yang dipenuhi dengan prasangka, kebiasan, dan
asumis yang salah kaparah. “ketidaktelihatan” yang bisa timbul karena
penerimaan yang tidak wajar dari orang-orang disekitar terhadap ABK. Cara
pandang yang tidak wajar tersebut mengakibatikan ABK akan kehilangan “wujud”
dirinya, sehingg ia akan menyangka bahwa dirinya memang benar-benar tidak ada
di lingkungan sosial. Lihat, Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 31.
[36]A. Rifqi Amin, Pengembangan
Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner
(Yogyakarta: LKiS, 2015), hlm. 4.
[37]Dalam ibadah ritual salat misalnya,
salat yang dilakukan biasanya belum ke ranah konstruksi suci dari ucapan
syahadat dan bentuk sujud kepada Allah. Artinya, belum pada tingkatan pengakuan
diri bahwa dirinya adalah hamba yang wajib menyembah, membesarkan, dan
mengabsolutkan-Nya. Kenyataannya malah mengutamakan kepentingan diri dan orang
lain yang ada dalam bingkai (frame)
sama dengannya. Pada akhirnya dikerucutkan pada pemutlakan, pembenaran, dan
pengabsolutan diri sendiri atau seseorang yang ada di dalam frame tersebut. Dengan kata lain,
pengabsolutan diri masih lebih
mendominasi dibandingkan dengan pengakuan kedaulatan Tuhan. Lihat, Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung:
Refika Aditama, 2009), hlm. 174.
[38]Nilai nasionalisme
didefinisikan sebagai nilai-nilai dalam menjaga keutuhan dan keamanan bangsa
yang didasarkan pada peraturan Undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu,
umat Islam sebagai warga negara harus patuh terhadap Undang-undang yang ada di
Indonesia. Pada intinya UUD 1945 tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Salah satu amanatnya adalah pada pasal
28J ayat “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang
lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilain-ilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Serta
dalam Pasal 28E ayat 1 dan 2 serta Pasal 28I ayat 1. Lihat, “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,”
dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04
Oktober 2014.
[39]Generasi muda yang tidak berani
melakukan ijtihad (pengembangan diri) hanya akan memperlakukan agama sebagai
alat pencapai kepentingannya. Aspek pragmatisme dan hedonisme lebih dimenangkan
dibandingkan dengan melakukan kajian mendalam tentang filosofi sosial
keagamaan. Implikasinya, agama gagal memasuki wilayah pemikiran progresif, dan
stagnan sehingga berkutat dalam ekslusivisme. Artinya, telah terjadi
pragmatisme agama yaitu melakukan kegiatan atas nama agama tapi kenyataannya
hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri.
[40]A. Rifqi Amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta:
Deepublish, 2014), hlm. 39.
[41]Syukri Fathuddin, “Pendidikan Islam,”
dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama
Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman (Yogyakarta: UNY Press,
2008), hlm. 130.
[42]Santoso,
Sekolah Alternatif, Mengapa, hlm. 141-142.
[43]Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Amandemen ke-4.
[44]Undang-undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta
Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang,
2003).
[45]Undang-undang
No. 4 tentang Penyandang Cacat Tahun 1997.
[46]Santoso,
Sekolah Alternatif, Mengapa, hlm. 136.
[47]Imron Rossidy, Pendidikan Berparadigma Inklusif: Upaya
Memadukan Pengokohan Akidah dengan Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan
(Malang: UIN, 2009), hlm. 52.
[48]Smith, “Inklusi,
Sekolah Ramah,” hlm. 399-400.
[49]Flow adalah perasaan
kehilangan kesadaran ruang dan waktu, menurut Daniel Goleman “flow
adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaranmenyatu
dengan tindakan.” Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 127. Lebih lanjut menurut
Gadrner, flow dan keadaan positif yang mencirikannya sebagai salah
satu cara paling sehat untuk
mengajar anak-anak, memberi motivasi mereka dari dalam diri bukannya dengan
ancaraman atau iming-iming. Dengan kata lain, guru harus menggunakan keadaan
positif anak-anak untuk membuat mereka tertarik mempelajari bidang-bidang di
mana mereka dapat mengembangkan keahlian.
Flow merupakan keadan batin yang menandakan seoarng anak sedang
tenggelam dalam tugas yang cocok. Anak didik harus menemukan sesuatu yang
disukainya dan menekuninya baik-baik. Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan
Emosional,” dalam Emotional Intelligence,
terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 132.
[50]Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2007), hlm. 101-102.
[51]Muhaimin, dkk. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), hlm. 192.
[52]Kita temui ada anak yang secara afektif sangat bagus
(sopan santun) dan tidak banyak tingkah tapi secara kognitif sangat lemah. Ada
pula anak yang secara kognitif bagus (nilai ulangan bagus) tapi secara
psikomotorik (aktivisas fisik) sangat lemah.
[53]Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana,
2009) hlm. 110-111.
[54]Nata, Perspektif Islam Tentang,hlm. 147.
[55]Ibid., 148.
[56]Ibid., hlm.
151-152.
[57]Dilihat dari aspek pskilogis, setiap
peserta didik punya potensi dasar (bakat, minat, dan kemampuan/kecerdasan) yang
butuh diaktualisasikan dan ditumbuhkembangkan secara terus-menerus untuk dapat
menerapkan fungsinya sebagai hamba Allah dan Khalifah-Nya di bumi. Oleh karena
itu, setiap peserta didik idealnya membutuhkan treatment yang berbeda-beda pula. Lihat, Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 226.
[58]Taufiq Pasiak, Manajemen
Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup (Bandung:
Mizan), hlm. 229.
Ilustrasi anak berkebutuhan khusus (sumber gambar kab. Kulonprogo) |