The Universal Paradigm (sumber gambar bookdepositry) |
THE UNIVERSAL PARADIGM AND THE ISLAMIC WORLD SYSTEM: ECONOMY, SOCIETY, ETHICS, AND SCIENCE
Paradigma Universal dan Sistem Dunia Berbasis Islam: Kajian Ekonomi, Sosial, Etika, dan Ilmu Pengetahuan
Oleh: A. Rifqi Amin
BAB I
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Masalah
Pada
era mondial sekarang ini penggunaan paradigma universal digadang-gadang sebagai
salah satu solusi dalam menghadapi ekses globalisasi. Bagaimana tidak, dewasa
ini interaksi manusia dari satu budaya ke budaya lain, dari satu wilayah ke
wilayah lain, dari satu kepercayaan ke perercayaan lain, dari satu paradigma ke
paradigma lain, dan sebagainya terjadi begitu cepat dan tanpa hambatan. Satu
sama lain secara langsung maupun tidak langsung saling mempengaruhi untuk
menghegemoni the other. Pertarungan
paradigma itu memungkinkan untuk munculnya beberapa fenomena yang tidak bisa
dielakkan.
Beberapa
“fenomena” itu di antaranya yang pertama
adalah satu paradigma terbaru mampu “mengalahkan” (menghegemoni) paradigma
lainnya yang lama. Akibatnya, paradigma lama akan terasingkan atau tidak akan
lagi digunakan oleh suatu komunitas. Bila pun ada yang menggunakan itu hanyalah
dari kalangan minoritas. Kedua,
paradigma lama mampu mengalahkan paradigma baru yang mencoba menggulingkan
paradigma lama. Paradigma ini meski secara inti (pokok) idenya tidak berubah
tapi dari segi “kulitnya” telah berhasil “memperbarui” diri dengan kenyataan
yang baru di masyarakat. Oleh sebab itu, wajar bila paradigma lama ini tetap
“disukai” dan diakui oleh kalangan masyarakat. Ketiga, paradigma lama dan paradigma baru sama-sama kuatnya,
sehingga masyarakat luas terbagi menjadi dua kelompok yaitu tetap menggunakan
paradigma lama serta di lain pihak menggantinya dengan paradigma baru. Kedua
belah pihak sama-sama mencoba mempertahankan diri dari “serangan” paradigma di
luarnya.
Dari
penjelasan itu tentunya dapat dikatakan bahwa suatu paradigma sebenarnya bukan
suatu kebenaran yang bersifat mutlak. Hal ini karena yang namanya paradigma
ialah segala sesuatu yang berasal dari manusia. Baik itu berupa hasil
pemikiran, pemahaman (penafsiran), penilaian, penyerapan, olah rasa, dan
sebagainya. Artinya, kebenaran Islam sebagai agama bukanlah suatu paradigma.
Namun, Islam ialah agama yang kebenarannya bersifat mutlak sampai kapanpun, di
manapun, dan pada dimensi manapun. Pemahaman umat Islam terhadap Islamlah yang
sesungguhnya disebut sebagai paradigma. Yakni, lebih tepatnya paradigma umat
islam dalam menghayati ajaran Islam itu sendiri.
Umat
Islam wajib meyakini bahwa ajaran Islam bersifat benar. Kebenaran yang berasal
dari Allah ialah kebenaran yang bersifat mutlak dan tak terbantahkan. Namun, di
sisi lain manusia dalam pandangan Islam juga disebut sebagai khalifah Tuhan di
bumi. Ia diberi hak dan tanggung jawab untuk mengelola dan memanfaatkan seluruh
alam semesta sesuai dengan nilai-nilai Islam. Asumsinya, dalam mengelola sumber
daya itu kenyataannya antara umat Islam satu dengan yang lainnya berbeda. Ada
umat Islam yang sangat terbuka untuk “mengakomodir” paradigma Barat. Di sisi
lain ada pula umat Islam yang menutup rapat-rapat dari pengaruh paradigma lain.
Di
tengah-tengah keadaan itu, sekarang ini terdapat suatu konsep baru yang merupan
sintesa dari semua konsep (hasil pemikiran) yang dibangun manusia. Secara
terkerucut konsep itu disebut sebagai paradigma universal. Yakni,
paradigma yang tersaring dari berbagai paradigma yang ada. Di mana, hanya
unsur-unsur terbaik dari beberapa paradigma yang diambil untuk membangun
paradigma menyeluruh tersebut. Selain juga, paradigma itu diharapkan juga mampu
memayungi seluruh kepentingan umat manusia. Artinya, paradigma universal itu
juga harus dibangun dari berbagai corak kepentingan, etika, kultur, dan
sebagainya yang sudah cukup lama melekat pada komunitas mayarakat yang menyebar
di seluruh dunia.
Bagamanapun,
kajian etika sebagai salah satu bagian dari cabang filsafat, bukanlah suatu
tema yang baru. Etika dalam dunia Islam telah disinggung oleh beberapa tokoh,
salah satu diantaranya adalah Maskawaih dan Mawardi. Serta beberapa tokoh Islam
lain yang secara khusus menekankan kata “akhlaq” sebagai sinonim dari kata
“etika.” Namun istilah apapun yang digunakan, kajian mereka bersangkut paut dengan perbuatan baik dan
buruk dalam perspektif Islam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kajian
yang mereka lakukan adalah tentang etika Islam.
Sedang
dalam pembahasan makalah ini, penulis akan berusaha untuk tidak sekedar
mendalami makna etika hanya dalam sudut pandang pemahaman “lama.” Akan tetapi
lebih mengutamakan permasalahan-permasalah kontemporer yang secara langsung
tidak pernah dibahas dalam kajian terdahulu. Bagaimanapun, paradigma etika
menurut pandangan dahulu tentunya sangat berbeda dengan paradigma etika menurut
pandangan sekarang. Hal ini terjadi karena keadaan sosiokultur masyarakat
selalu mengalami perubahan, sehingga etika pun selalu dituntut untuk
mengkritisi perubahan tersebut. Dari sikap kritis akhirnya lahirlah etika-etika
baru (diluar etika agama) yang mencoba menawarkan diri sebagai penyelemat
peradaban.
Sebagaimana
menurut Magnis-suseno, bahwa “moral” agama membutuhkan metode etika untuk
memecahkan berbagai masalah. Di antara yang utama adalah permasalahan
interpretasi terhadap perintah dan hukum yang termuat dalam wahyu. Serta
masalah moralitas yang bersifat baru dan tidak disebutkan langsung dalam wahyu,
misalnya masalah kloning manusia. Dengan demikian, dalam menjalankan kehidupan ini para pemeluk agama
memerlukan etika yang tujuannya bisa mencapai kehidupan menjadi lebih baik.
Asumsinya, etika tidak memberikan ajaran, tapi memeriksa (mengkritisi)
kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral
(termasuk moral agama) secara kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban,
melenyapkan kerancuan, dan supaya pendapat-pendapat moral yang dikemukakan
dapat dipertanggungjawabkan. Etika berusaha membersihkan
permasalahan-permasalahan moralitas tersebut. [1]
Dalam
keadaan seperti itu, etika agama seolah-olah posisinya terancam bahkan
dipinggirkan hingga diabaikan karena dinilai tidak lagi memberikan solusi.
Etika agama dipandang hanya memberikan janji palsu, ilusi, dan dogma-gogma
tanpa diperbolehkan untuk mengkritisi. Bahkan etika agama dituduh sebagai
penyebab perilaku masyarakat (umat beragama) menjadi intoleran, anarkis,
dan bodoh dalam arti kering ilmu
pengetahuan. Pada akhirnya, etika agama hanya difungsikan sebagai penyatu
kelompok-kelompok pecinta Tuhan dan sebagai tempat “bersembunyi” (sumber dalih)
para manusia yang kalah dalam menghadapi kehidupan nyata.
Ironis
memang, kenyataan itu tengah terjadi akhir-akhir ini. Oleh karena itu, untuk
menangkal sikap skepitisme tersebut diperlukan pemahaman baru terhadap
teks-teks Wahyu. Di mana al Quran sebagai salah satu sumber agama Islam, yang
diklaim sabagai pedoman hidup seluruh umat manusia harus dibuktikan
kebenarannya. Akankah etika “sekuler” atau etika Islam yang termuat dalam al
Qurankah yang sanggup menghadapi badai kemelut peradaban. Atau memang harus
diadakan reintrepretasi terbaru terhadap teks al Quran, sehingga etika Islam
memang bisa mewujudkan peradaban yang rahmatalillalamin.
Dari
pemaparan tersebut, maka penulis mencoba untuk menelusuri kandungan-kandungan
etika dalam kegiatan ekonomi. Kemudian menganilisnya, sehingga ditemukan
bagaimana nilai-nilai etika itu diubah menjadi sebuah paradigma yang bisa
dimanfaatkan dan relevan untuk digunakan dalam kehidupan sekarang ini. Bagaimanapun,
klaim atas kebenaran dan keuniversalan ajaran Islam harus dibuktikan. Salah
satunya adalah dengan merumuskan etika Islam dalam berekonomi secara utuh dan
tidak tendensius. Pada akhirnya konsep etika yang menjadi paradigma tersebut
bisa menjadi solusi bagi kehidupan seluruh umat manusia. Secara sekilas, hal
ini memang nampak prestius dan ambisius, akan tetapi ini menjadi salah satu
cara mengimplimentasikan ekonomi syariah dalam kehidupan nyata.
2.
Batasan
Masalah dan Topik Pembahasan
Agar
pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu
batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan
yang dikerucutkan sebagai berikut:
a. Konsep dasar yang meliputi
pengertian universal paradigm,
pengertian islamic world system, pengertian
ekonomi, pengertian masyarakat, etika, dan ilmu pengetahuan (sains).
b. Paradigma Baru Sistem Ekonomi
Kata kunci:
Paradigma, Islam, Ekonomi, dan Etika
BAB II
Pembahasan
A.
Konsep Dasar
1.
Pengertian
Paradigma Universal
Istilah
“paradigma” dalam kajian keilmuan (terutama filsafat ilmu) dipopulerkan oleh
Thomas S. Kuhn. Di mana, dapat dipahami bahwa paradigma adalah bagian dari “teori” lama yang pernah digunakan
serta dipaparkan berdasarkan pengujian-pengujian dan interpretasi dari sikap
anggota masyarakat ilmiah yang sudah ditentukan (disepakati) sebelumnya. Selain
itu paradigma dipakai sebagai kesuluruhan manifestasi keyakinan, nilai, teknik,
dan lain-lain yang telah diakui bahkan dilakukan oleh anggota-anggota
masyarakat ilmiah.[2]
Dengan demikian dalam paradigma ada serangkaian keyakinan yang diadopsi ilmuwan
untuk praktik ilmiah, selain juga digunakan sebagai “contoh riset terdahulu”
sehingga menjadi inspirasi dan pemandu riset mereka.[3]
Dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan konsensus pemahaman (penafsiran)
masyarakat ilmiah tentang suatu “pandangan dasar” atau cara berfikir mengenai
pokok persoalan pada kajian-kajian ilmu tertentu.[4]
Paradigma jugalah yang menjadi “roh” atau sumber kehidupan sehingga suatu teori
bisa terbangun. Tidak hanya itu, paradigma ternyata bisa menjadi gen konstruksi sosial, sehingga
menentukan corak (warna), sifat, dan bentuk ilmu pengetahuan berikutnya.[5]
Menurut Kuhn, apa yang benar
menurut paradigma lama belum tentu benar menurut paradigma baru (adanya
relativisme).[6]
Itu artinya paradigma[7]
tidak selalu terikat pada nilai[8]
benar atau salah. Akan tetapi dapat terbimbing oleh sesuatu yang “baik” atau
yang “terbaik” bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Dengan kata
lain, penelitian yang akan dilakukan ilmuwan seharusnya tidak hanya untuk menemukan
“kebenaran” dan kecanggihan. Namun, juga untuk memberikan nilai manfaat bagi
kehidupan manusia. Hal ini bukan berarti bahwa paradigma dalam menyelesaikan
masalah keilmuan tidak benar-benar objektif. Alasannya, nilai objektifnya
tersebut bisa didapat pada penggunaan metode tertentu yang disepakati dan dapat
dipahamai bersama oleh masyarakat ilmiah. Pada akhirnya, paradigma akan
menentukan metode apa yang cocok lalu disepakati mereka untuk dipakai dalam
pemecahan suatu masalah.
“Kuhn
juga mengatakan bahwa membandingkan paradigma satu dengan lainnya bukanlah hal
yang mudah karena semua yang menyusun paradigma sangat berbeda dan tidak
analog.” Lebih rinci, salah satu prasyarat terjadinya percepatan pergantian
atau pergeseran paradigma dari yang lama menuju yang terbaru adalah melalui
dunia pendidikan[9]
(akademis). Hal ini karena hampir tidak mungkin ilmuwan dapat bekerja secara
cepat jika melalui jalur otodidak. Yakni, tanpa menggunakan konsep yang sudah
mapan, tanpa latihan, dan dimulai dengan sesuatu yang masih benar-benar baru
(prematur).[10] Dapat dikatakan, paradigma merupakan konstelasi (tatanan)
beberapa gagasan yang saling terhubung disertai dengan asumsi-asumsi yang
dikemukakan oleh para ilmuwan di zamannya.[11]
Oleh karena itu, antara paradigma lama dengan paradigma baru tidak bisa saling
mengklaim mana yang baik dan yang benar.[12]
Bagaimanapun di antara keduanya adalah sama-sama benar dan baik untuk tempat
dan zaman yang menaunginya.
Dengan
demikian, suatu pergeseran paradigma terjadi bukan karena paradigma lama
berhasil “menyalahkan” paradigma baru tapi juga salah satunya karena adanya
kesepakatan dari berbagai ilmuwan (cendekiawan) sehingga terjadi perpindahan
komunitas ilmiah, dari komunitas paradigma lama menuju paradigma yang baru.
Implikasinya, memungkinkan ilmuwan untuk mengekspolrasi persoalan baru yang
berbeda hasilnya jika tetap menggunakan paradigma lama. Hal ini karena dengan
menggunakan paradigma baru mereka seakan-akan ditransformasikan ke wilayah lain.
Meski kenyataannya tempatnya tetap pada yang lama. Akan tetapi, karena
paradigmanya (perlengkapan) berbeda dari yang lama maka wilayah tersebut
“tampak” berbeda pula dengan sebelumnya. Bahkan, dengan paradigma baru tersebut
ilmuwan mampu menyentuh “sesuatu” yang sebelumnya tidak pernah mereka sentuh.[13]
Dapat disimpulkan, fungsi
paradigma adalah menyuplai “teka-teki” (puzzle)
bagi para ilmuwan untuk dipecahkan. Paradigma juga menyediakan “alat” sebagai
solusi bagi mereka.[14]
Untuk memecahkan teka-teki (puzzle
solving) tersebut dibutuhkan dugaan dasar dan dugaan teoritis. Di mana pada
setiap “teka-teki” karakternya berbeda satu sama lain. Artinya, paradigma
menjadi dasar dalam melihat, memahami, dan mepersepsi realitas (fenomena).
Dengan kata lain, paradigma menjadi wordwiew
(cara pandang terhadap dunia) untuk menentukan metode apa yang akan dipakai
pada penelitian. Dengan landasan, setiap paradigma selalu berbeda tergantung
waktu dan tempatnya. Setiap kelompok atau komunitas ilmiah pun paradigmanya
berbeda. Bahkan setiap individu ilmuwan dalam satu komunitas pun “paradigmanya”
dimungkinkan bisa berbeda. Oleh karena itu, paradigma bisa menentukan sifat dan
karakter ilmu pengetahuan[15]
yang dibangun. Bisa dikatakan, ilmu pengetahuan merupakan sekumpulan
teori-teori yang terbalut dalam sebuah paradigma yang ada pada masing-masing
ilmuwan.
Sedangkan kata “universal”
beberapa di antaranya berarti pertama
sedunia, kedua semesta, dan ketiga bersama.[16]
adapaun menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata universal salah satunya berarti “umum (berlaku untuk semua orang
atau utnuk seluruh dunia); bersifat (melingkupi) seluruh dunia.”[17]
Adapun menurut Choudhury menyatakan bahwa “The Universal Paradigm is a study of the premise of knowledge that
cannot be reduced any further as an episteme. It is the final core of all
reasoning. It explains all experiences and branches of acquired learning.”[18]
Artinya, universal Paradigma adalah studi tentang dasar pemikiran dari
pengetahuan yang tidak dapat dikurangi (diturunkan) lebih jauh sebagai episteme
(dasar atau batas pengetahuan). Ini adalah inti akhir dari semua penalaran
(pemikiran).
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian paradigma universal dalam
konteks ilmu ekonomi ialah keutuhan dari tatanan nilai (etika, moral, norma,
dan sebagainya), metode, pandangan, pemahaman, dan ide-ide lainnya yang telah
disepakati bersama oleh mayoritas umat manusia di seluruh dunia untuk
diterapkan bersama dalam memecahkan permasalahan kemanusiaan secara global.
2.
Pengertian
Sistem Dunia Islam
Menurut Lorens
Bagus kata ‘sistem’ berasal dari bahasa Inggris yaitu system dan bahasa Yunani systema
yang tersusun dari dua kata yaitu syn
yang berarti ‘dengan’ dan istanai
berarti ‘menempatkan’. Sedangkan pada lingkup satu kata utuh, kata systema punya arti tentang keseluruhan
yang tersusun dari bagian-bagian atau komposisi. Diacukan pada penjelasan tersebut
maka secara istilah kata sistem memiliki pengertian “kumpulan hal-hal yang
disatukan ke dalam suatu keseluruhan yang konsisten karena saling terkait
(interaksi, interdependensi, saling keterkaitan yang teratur dari
bagian-bagiannya).”[19]
Maka dapat
disimpulkan pada setiap tatanan ‘sistem’ pasti terdapat sebuah komponen-komponen
yang berperan untuk penyuksesan kinerja organisasi atau tatanan tersebut. Namun
tentu kinerja dari salah satu komponen itu perlu didukung oleh komponen yang
lain agar terjadinya prinsip efektif dan efisien. Sebagaimana menurut Lauralee Sherwood
serta menurut Campbell, N.A. dkk. yang dinyatakan pada terminologi bidang biologi. Di mana ada
beberapa istilah ‘sistem’ yang digunakan sebagai penjelas tentang organisasi
kinerja dari beberapa organ dalam tubuh manusia. Misalnya dalam tubuh terdapat
sistem reproduksi, sistem pencernaan, dan sistem pernapasan. Sebagai contoh
pada sistem pernapasan terdapat komponen (organ tubuh) yang berperan utama
yaitu paru-paru. Serta komponen lain sebagai pendukung yaitu bulu hidung untuk
menjaga kebersihan udara yang masuk ke paru-paru dan rongga hidung yang
berlendir untuk menjaga suhu udara yang masuk agar stabil (sesuai dengan
kekuatan paru-paru). Dengan demikian tidak ada sistem dalam tubuh manusia
bekerja tersendiri dan kesehatan tubuh tergantung pada semua sistem tubuh dalam
berinteraksi.[20]
Dari
penjelasan di atas, sesungguhnya Islam[21]
sebagai general system[22]
idealnya tidak hanya difokuskan pada sistem imateri saja. Akan tetapi
bagaimana sistem Islam juga diposisikan sebagai suatu pengembang “materi.”
Artinya, komponen-komponen material yang ada di dalam Islam harus dioptimalkan.
Hal ini tidak lain agar paradigma kesuksesan dalam Islam tidak hanya terkait
masalah imaterial saja akan tetapi juga material.
Meskipun
sebenarnya secara tersirat tanpa kata ‘sistem’ pada istilah “Islam” secara otomatis sudah terdapat sebuah
tatanan sistem di dalamnya. Hal ini nampak di dalamnya sudah terdapat komponen-komponen “penyusun” baik yang berupa materi maupun imateri. Misalnya rukun Islam, rukun iman,
larangan dan perintah Allah, ulama atau agamawan
(kyai), ilmuwan (saintis) yang Islami, ustad atau mudaris (pendidik), umat Islam pada umumnya, kepemimpinan (organisasi), dan komponen penting lainnya. Pendapat itu diasumsikan
dari pandangan yang menyampaikan bahwa Islam sebagai “sistem” sesungguhnya
sangat lengkap (sempurna). Namun demikian pendapat ini bisa dikesampingkan karena
lebih banyak referensi lain yang kokoh untuk penggunaan istilah ’sistem
pembelajaran’ dari pada hanya istilah ‘pembelajaran’ yang berfungsi untuk
pemertegas dalam pembahasan yang lebih mendalam.
3.
Etika sebagai
bagian dari Paradigma umat Islam
Secara tersurat al Quran tidak pernah menyinggung
tentang apa dan bagaimana itu etika. Akan tetapi secara tersirat banyak
ayat-ayat al Quran yang menyinggung tentang etika, yaitu terkait dengan
perbuatan baik dan buruk. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Tshihiko Izutsu
yang mendeskripsikan dalam al Qur’an terdapat banyak kosakata tentang
“baik-buruk.” Meski banyak dari kata-kata tersebut secara indipenden hanya
mengindikasikan dari salah satu atau gabungan dari beberapa fungsi deskriptif,
implikafit, indikatif, serta evaluatif. Di mana, berdasar kacamata eskatologis
“posisi” akhir manusia (setelah mati) tergantung pada apa yang dilakukannya
saat di dunia. Tentunya hal itu juga dilihat dari apakah perbuatan manusia
tersebut menyebabkan kelancaran (bermakna baik) atau keterhambatan (bermakna
buruk) bagi kemajuan Islam di muka bumi.[23]
Dengan demikian konsep etika dalam al Quran
sebenarnya sangat luas. Tidak hanya terbatas pada masalah etika (tata cara)
beribadah, etika berkeluarga,[24]
etika politik, etika ekonomi, dan etika hukum, dan semacamnya. Namun etika
dalam al Quran juga menyentuh masalah-masalah yang secara tekstual tidak hanya
bersangkut paut dengan “tata cara” dalam beragama[25]
secara simbolik.
Dalam
kehidupan sehari-hari, seringkali istilah etika disamakan dengan moralitas.
Padahal antara keduanya memiliki fungsi sendiri-sendiri, utamanya dalam
struktur ilmu pengetahuan. Secara etimologis etika berasal dari bahasa Inggris,
yaitu ethics yang artinya etika atau
tata susila. Kata tersebut juga seakar (serumpun) dengan ethical artinya etis, pantas, layak, beradab, dan susila.[26]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata etika memiliki arti ilmu
tentang apa yang baik dan buruk serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Adapun kata moral berarti ajaran tentang perbuatan, kewajiban, dan sikap
baik-buruk yang disepakati secara umum (etis).[27]
Bila dilihat dari faktor
sejarah, kata etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang artinya watak
kesusilaan atau adat. Sedangkan moral berasal dari bahasa latin “mos” yang
bentuk jamaknya “mores” yang berarti adat atau cara hidup. Di mana moral
dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedang etika dipakai untuk
pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.[28] Yang dimaksud nilai di sini merupakan salah
satu cabang dari kajian filsafat. Oleh karena itu mempelajari etika sebenarnya
juga mempelajari filsafat tingkah laku atau filsafat moral (nilai).[29]
Adapun
Hamzah Ya’qub sebagaimana yang dikutip oleh Sudarsono, mendefinisikan etika
sebagai “ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk
dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh
akal pikiran.” Iapun merumuskan pengertian akhlaq sebagai “media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dengan makhluk dan antara
makhluk dengan makhluk.”[30]
Dengan kata lain, secara tidak langsung Ya’qub tidak menyamakan atau menyatukan
antara etika “murni” (sekuler) dengan akhlak dalam satu lingkup pengertian atau
pemahaman.
Etika berbeda dengan ajaran
moral. Ajaran moral adalah ajaran, patokan, dogma, dan kumpulan peraturan
tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia
yang baik. Sumber ajaran moral adalah otoritas[31]
yang ada di sekitar manusia di mana ia hidup. Sedangkan etika merupakan
pemikiran kritis dan mendasar (filsafat) tentang ajaran dan pandangan moral.[32]
Dengan kata lain etika dan ajara moral tidak berada di tingkat yang sama,
karena etika adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran.[33]
Lebih spesifik, moral berbicara tentang bagaimana manusia harus menjalani
kehidupan, sedang etika mengkaji tentang mengapa manusia harus mengikuti ajaran
moral tertentu. Serta bagaimana manusia dapat mengambil sikap bertanggun jawab
yang dihadapkan dengan berbagai ajaran moral.[34]
Harus diakui, kehidupan manusia
senantiasa dibentuk oleh moral. Ini artinya kehidupan alaminya, seperti nafsu,
kecenderungan, cita-cita, dan sebagianya seolah-olah disalurkan pada suatu
“bentuk” tertentu. Yang di maksud bentuk di sini adalah batasan atau aturan yang
melarang atau menyuruh individu untuk bertindak sebagaimana mestinya.[35]
Bila seseorang melanggarnya maka akan dikenai sanksi, tergantung jenis moral
apa yang lebih kuat dominasinya dalam masyarakat. Misalnya, orang yang melakukan bunuh diri dalam tindakan
terorisme, bisa saja satu sisi dinilai sebagai perbuatan heroik serta
mengharukan bagi masyarakat. Serta secara individu pelakunya perbuatan tersebut
dianggap “menyenangkan” secara kejiwaan. Di sinilah peran etika, yaitu menelaah
secara ilmiah apakah perbuatan semacam itu memang secara “nilai” sungguh
diperbolehkan atau hanya karena ada kepentingan terselubung di balik itu.
Menurut De Vos, perbedaan
antara etika dengan kesusialaan (moral) ditinjau dari segi sejarah terdapat dua
persoalan. Yakni, ada jarak pemisah antara “moral” yang diajarkan dengan
penghayatan sehari-hari (etika). Selain
itu, petunjuk-petunjuk serta cita-cita moral yang diajarkan selama ini
masih sering berbeda dengan petunjuk serta cita-cita moral yang diterima secara
umum.[36]
Dapat dipahami, masih ada kesenjangan antara ilmu moral (etika) dengan ajaran
moral yang hendak diterapkan itu sendiri. Di sinilah, peran agama bisa tampil
memberikan solusi yang secara detail akan dijelaskan pada pembahasan
selanjutnya.
Dari pembahasan di atas, dapat
disimpulkan pengertian etika ialah sebagai ilmu pengetahuan tentang perilaku
baik-buruk atau wajib-terlarang yang didasarkan pada arahan otoritas, perilaku
manusia pada umumnya, kebiasaan, aturan, pedoman, keyakinan, dan keteguhan
(kesadaran) manusia dalam memutukan sikap atau melakukan tindakan. Dapat
dikatakan, kajian etika hanya terkait dengan perilaku yang disengaja[37]
oleh pelakunya. Itu artinya, perilaku orang gila, orang tidur yang menggerakkan
tubuhnya karena mimpi, orang hilang ingatan, dan di mungkinkan juga orang
kesurupan, tindakan reflek, serta “latah” tidak bisa dinilai atau ditelaah dari
sudut pandang etika. Penulis menyadari untuk pernyataan terakhir yang masih
bersifat “mungkin” berpotensi dan layak untuk diperselisihkan.
4.
Pendalaman
dasar terkait ilmu pengetahuan (sains)
Dalam
Kamus Besar
Bahasa Indonesia kata ilmu pengetahuan
artinya kumpulan berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan
tersistem dengan memperhitungkan sebab serta akibat.[38]
Kata lain yang biasanya sebagai pengganti kata “ilmu pengetahuan” adalah sains. Di mana sains berarti pertama
ilmu pengetahuan pada umumnya, kedua pengetahuan
sistematis tentang alam dan dunia fisik, temasuk ilmu tentang makhluk hidup dan
benda mati secara detail (ilmu pengetahuan alam), ketiga pengetahuan sistematis yang diperoleh dari observasi,
penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip
sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.[39]
Dalam pembahasan makalah ini
disengaja tidak menggunakan kata “sains” sebagai pengganti kata “ilmu
pengetahuan.” Alasannya sederhana, karena kata “sains” lebih cenderung pada
lingkup kajian ilmu pengetahuan alam dan kurang menekankan ilmu pengetahuan
sosial. Adapun, kata “scientific”
dalam bukunya Kuhn yang paling terkenal berjudul “The Structure of Scientific Revoluions” memiliki arti “(secara)
ilmiah, pendekatan secara ilmiah.”[40]
Sedangkan kata “ilmiah” itu sendiri berarti “bersifat ilmu; secara ilmu
pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan.”[41]
Oleh karena itu, untuk mempertegas diri dari kesan keperpihakan dengan “ilmu
alam”[42]
saja maka dalam buku ini sengaja menggunakan kata “ilmu pengetahuan” sebagai
pengganti dari kata sains.
Pembahasan ini diawali dengan
pernyataan Kuhn bahwa revolusi perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak terjadi
secara kumulatif atau linier (kontinu), tapi terjadi secara non kumulatif dan
diskontinu.[43]
Hal ini menunjukkan perkembangan ilmu pengetahuan bukan berasal dari gabungan
beberapa ilmu pengetahuan yang telah ada. Lalu disimpulkan ilmu yang datangnya
paling akhir itu adalah yang benar atau yang paling matang. Namun, perkembangan
ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner. Yakni, terjadi perubahan secara
mendasar (terjadi pertentangan) antara paradigma lama dengan paradigma yang
baru.[44]
Di mana terdapat lompatan-lompatan yang tak teratur dalam proses kelahiran ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, mekanisme revolusi ilmu pengetahuan dapat
disamakan dengan revolusi sosial dan politik.
Bagi
Kuhn, penemuan teori tidak menjadi kekuatan pendorong ilmu pengetahuan ke arah
kemajuan. Bagaimanapun, ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan kestabilan dan terus
menerus ditambah dengan penemuan baru. Akan tetapi, ilmu pengetahuan merupakan
serangkaian selingan yang dimulai dari revolusi intelektual para pemikir.
Setelah ada revolusi, konsep baru akan menggantikan konsep ilmu pengetahuan
lama, sehingga terjadi pergantian konsep yang berbeda secara terus-menerus. Hal
itu akan terus terjadi sepanjang kehidupan sejarah manusia.[45]
Dengan demikian, senyampang para ilmuwan dari generasi ke generasi terus aktif
melakukan pengembangan dan pembaruan gagasan, selama itu pula peluang revolusi
perkembangan ilmu pengetahuan terus berlangsung.
B.
Paradigma Baru Sistem Ekonomi
Dunia yang Tidak Bertentangan dengan Islam
Paradigma yang diturunkan dari
Cartesian (Descartes) dan Newtonian menjadi penyebab munculnya paradigma
tunggal (tidak utuh)[46]
di dunia Barat. Dengan paradigma tunggal itu, mereka terpuruk ke lembah krisis
dan penuh kontradiksi, yang menurut Capra disebabkan oleh kekeliruan pemikiran. Ahmad Tafsir sebagaimana dikutip Efendi
menjelaskan bahwa yang dimaksud kekeliruan
pemikiran menurut Capra adalah tidak
digunakannya paradigma yang tepat dalam penyusunan kebudayaan Barat. Di mana,
menurutnya budaya barat hanya disusun berdasarkan satu paradigma, yaitu
paradigma sains (scientific paradigm).[47]
Padahal paradigma tersebut yang positivistik[48]
tidak sepenuhnya bisa melihat alam dan kehidupan ini secara utuh dan menyeluruh
(wholeness), kecuali hanya melihat
alam ini pada bagian yang empiris saja.[49]
Oleh sebab itu, kebenaran[50]
yang dihasilkan pun sesungguhnya boleh untuk diragukan.
Lebih detail, menurut
Engineer sebagaimana dikutip oleh Suprayogo bahwa perkembangan teologi Islam
saat ini masih bersifat metafisik dan kurang menyentuh agenda kemanusiaan
modern yang dihadapi oleh umat Islam. misalnya permasalahan ketidakadilan,
keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, penindasan, dan sebagainya. Padahal
bila dilihat dari makna agama secara umum sesungguhnya ada beberapa aspek yang
mencakupnya. Yakni, pertama keyakinan
terhadap sesuatu yang Maha Suci dan tarnsenden. Kedua, adanya ritual atau ritus-ritus sebagi pengejawantahan
keyakinan. Ketiga, terdapat doktirn
atau dogma yang diajarkan. Keempat,
pola periaku beragama baik dalam bidang sosial maupun kosmos.[51]
Bila hal tersebut dikaitkan
dengan paradigma ekonomi Barat maka Haneef menyatakan:
Bukan
ekonomi Barat, melainkan Al-Qur’an-lah yang telah memberikan paradigma yang
jelas bagi ekonomi Islam (Siddiqi, 1988b: 166).” Ini adalah pernyataan siddiqi
“kemiskinan adalah kenyataan empiris, oleh karenanya si kaya haruslah
menyerahkan sebagian dari apa yang mereka miliki kepada mereka yang tak
berpunya. Peradangan dibolehkan, tetapi riba
(bungan) dilarang. Mubazir adalah tindakan berdosa dan berhemat serta
mencukup-cukupkan dirias amat mendesak untuk dilakukan. Kekayaan duniwai
haruslah diperlakukan sebaga sarana untuk mencapai kehidupan normal yang baik,
bukan hanya untuk menuju kepada akhir kehidupan itu sndiri, malainkan menuju
kebahagiaan abadi.” Halaman 42... Paradigma
Al-Qur’ani’ di atas memberikan sebagaian dari asumsi dasar bagi pendekatan
Siddiqi. Manusia ekonomi yang rasional (rational
economic man) menurut ekonomi neoklasi bukan hanya khayalan melainkan juga
tak dikehendaki. Oleh karena itu, apa yang disebut ‘hukum’ perilaku manusia
yang didasarkan pada rational economi man
itu jadi tidak bisa bersifat universal.
Hukum seperti itu tergantung pada (halmaan 42) manusia yang memakainya, tata
nilai mereka dan waktu/ruang (Note: 17; 1998b: 168). Yang paling cocok adalah
manusia Islam (Islamic man) yang, di
antara sifatnya, merupakan individu yang altruistik (mementingkan orang lain).
menurut Siddiqi (1988b: 109), Islam meemberikan tekanan yang kuat pada
‘perilaku menlong’. Prinsip ini mengajarkan bahwa, bersama dengan perjuangan untuk
dirinya sendiri, seorang Muslim harus peduli kepada kesejahteraan orang lain,
dan dengan demikin meningkatkan kerja sama dan kebajikan.”[52]
Dari penjelasan itu dapat
dikatakan bahwa salah satu ciri pembeda
dari ekonomi Islam terhadap ekonomi konvensial ialah terletak pada syarat
normatif religinya. Adapun ekonomi
konvensial menggunakan “ideologi” atau paradigma yang dicetukan oleh
tokoh-tokohnya. Di sisi lain,
hakikat aktivitas ekonomi Islam didasarkan pada ketentuan dan sumber ajaran
Islam. Di antara beberapa sumber itu ialah al
Qur’an, Hadith, Ijma’, Qiyas, ‘Urf, Ihtisan, dan Mashalikhul Mursalah. Nilai-nilai tersebut yang menjadi
pertimbangan dalam setiap aktivitas perekonomian umat Islam.[53] Sungguh pun demikian, di samping tertuju pada akhaknya
sebenarnya nilai aqidah (utamanya keimanan atau ketauhidan)[54]
juga merupakan suatu hal yang tidak boleh ditinggalkan. Hal ini sebagaimana
pernyataan Nawawi bahwa:
Beriman
atau bertauhid, yang merupakan azas penting dalam suatu sistem ekonomi Islam,
karena dengan keyakinan ini tingkat perilaku ekonomi manusia akan dapat
terkendali sebab ia sadar bahwa semua perbuatannya akan dimintai pertanggung
jawaban kelak di sisi Allah. Wujud keimanan itu memberikan buah perubatan yang
baik (maslahah). Dalam pembangunan ekonomi tentunya semua pihak yang terlibat saling
diuntungkan tidak ada sistem dominasi sumber daya dan pendapatan.[55]
Lebih lanjut, masih menurut
Nawawi bahwa dalam ekonomi Islam, keimanan memiliki
peranan penting. Hal ini karena secara langsung akan mempengaruhi paradigma
umat Islam dalam mebentuk keperibadian, perilaku, gaya hidup, selera, dan
preferensi. Sebagaimana menurut Chapra
yang kutip oleh Nawawi bahwa paradigma tersebut akan sangat mempengaruhi sifat,
kuantitas sekaligus kualitas kebutuhan materi hingga psikologis manusia. bahkan
juga mempengaruhi metode manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Keyakinan seperti
ini dapat juga meningkatkan kesimbangan antara motif kebendaan (materi) dengan
spiritual, peningkatan solidaritas antar keluarga serta masyarakat umum, dan
menjadi pencegah perkembangan kondisi yang tidak sesuai dengan standar moral.[56] Bisa dikatakan,
nilai-nilai keimanan dapat menjadi aturan yang mengikat dan disepakati bersama
(konsesus). Dengan berpijak pada aturan ilahiah tersebut, maka setiap perbuatan
manusia akan mempunyai nilai ibadah.[57]
Oleh karena itu, setiap tindakan manusia harus mempunyai nilai keimanan,
sehingga secara vertikal menunjukkan moral yang baik dan secara horizontal bisa
bermanfaat bagi manusia dan seluruh alam.[58]
Bagaimanapun, suatu dinamika
dan pertentangan pemikiran merupakan fenomena adaptif sebagai respon dari kondisi
empiris perjalanan
manusia dalam segala aspeknya.
Baik pada aspek ekonomi, pendidikan, ideologi,
politik, sosial-budaya, dan sebagainya.[59] oleh karena itu, untuk meminimalisir dampak negatif
–misalnya konflik negatif- maka manusia sebagai khalifatu Rabb dalam kegiatan
kemasyarakatan (utamanya ekonomi) wajib melakukan kerja sama (berkoperasi),
saling menasehati dalam kebaikan, dan melakukan persaingan (perlombaan) dalam
hal mencapai kebaikan atau kemuliaan. Di mana semua itu dilakukan tidak lain
untuk mencari rida Allah Swt.
Pernyataan itu sesuai dengan
pernyataan Akhtar bahwa sifat kompetitif dalam
ajaran Islam tidak dikenal,
karena Islam menghendaki kesejahteraan individu
dan masyarakat saling
melengkapi.[60]
Sebaliknya, antara kepentingan individu dan masyarkaat harus berkooperasi
(berkerja sama). Hal ini karena dalam sistem ekonomi Islam didasarkan pada
prinsip keadilan dan persamaan untuk semuanya. Yakni, keadilan dalam produksi,
keadilan dalam konsumsi, dan keadilan dalam distribusi.[61]
Kenyataan lain yang sungguh
mulia ialah bahwa dalam ekonomi islam konsep tentang
hak milik untuk manusia tidak ada. Hal itu karena seluruh alam semesta ini
merupakan “hak milik Tuhan.” Yakni, sebuah konsep yang mengakui konsep
kedaulatan di tangan Tuhan. Ketika semua ini diakui sebagai milik Tuhan, maka
memunculkan beberapa konsekuensi yang di antarany aialah sebagai berikut:
1.
Semua individu mempunya
kesempatan yang sama untuk mengakses milik Allah. Bagaiamanapun, manusia
sebagai khalifah ditugaksan untuk “menundukkan” seluruh alam semesta demi untuk
kemaslahatan hidup seluruh umat manusia.
2.
Manusia hanya diberi
kewenangan untuk “menguasai” (memanfaatkan) seluruh alam semesta bukan untuk
memiliki. Oleh karena itu, manusia harus mengikuti aturan main (larangan dan
perintah) dari sang Maha Pemilik. Dengan kata lain, manusia hanya bertugas
sebagi khalifah (manajer)
yang mengelola alam serta harus mempertanggungjawabkannnya pada Tuhan.[62]
Namun,
nilai-nilia tersebut sering kali berbeda dengan apa yang ada di Barat. Di mana,
selama ini Barat hanya menggunakan etika yang didasarkan pada rasio manusia
yang bersumber dari pemikiran manusia tanpa dibungkus oleh moral dan keimanan.
Hal itulah yang menimbulkan berbagai skandal dan kecurangan yang sulit untuk
dihentikan. Mereka menutupi keburukan dari jeratan hukum karena mampu
memutarbalikan logika dengan kelihaian bahasa dan alasan (alibi) dari pengacara
yang handal.[63] dapat dikatakan, bahwa kontrol eksternal di barat memang
sangat ketat dan disiplin melalui hukum positif (rasional-logis) dan etika[64]
yang dikaburkan melalui logika. Akan tetapi, sebaliknya kontrol internal sangat
lemah. Mereka tidak memiliki motivasi internal yang mulia dan tulus dalam
menjalankan kegiatan ekonomi.
Dari kenyataan itu,
sesungguhnya kewajiban umat Islam ialah memahami, mengamalkan, dan mengemban
kebenaran yang berasal dari Tuhan seluruh semesta alam. Kemudian mendakwahkan
kebenarna itu kepada seluruh umat manusia. dengan dakwah yang penuh hikmah dan
cara yang baik. Yakni, menyampaikan kebenaran sesuai dengan kondisi, situasi,
dan aturan yang sudah ditentukan Allah. Dapat disimpulkan, tugas umat
cendikiawan Islam dalam konteks etika adalah menyadarkan umat Islam supaya
lebih jujur dalam mencari kebenaran hakiki, meningkatkan keimanan, menguatkan
akar kebenaran Islam. Kemudian, “berita baik” tersebut disebarluaskan secara
elegan dan profesional kepada seluruh umat Islam. dengan itu, maka ajaran Islam
yang benar itu dapat diamalkan secara murni, koneskuen, dan komperhensif
(kaffah).[65]
Bagaimanapun, Kehadiran ekonomi
Islam dikarenakan tuntutan akan kesempurnaan Islam itu sendiri. Di mana, agama
Islam harus ditaati secara sempurna (kaffah)
dan komprehensif. Islam memerintahkan umatnya untuk mempraktikkan ajarannya ke
dalam setiap aspek kehidupannya. Termasuk juga dalam bidang perekonomian. Sesungguhnya, umat Islam telah memiliki
sistem ekonomi sendiri yang telah diatur dalam sumber hukum Islam. Setiap umat
Islam yang melakukan ibadah salah secara khusuk semestinya tidak melakukan
aktivitas yang diharamkan. Misalnya berjudi, berspekulasi murni, melakukan
transaksi ribawi, dan segala aktivitas ekonomi yang membahayakan diri maupun
orang lain. semuai itu merupakan salah satu dari bagian larangan dalam bidang
ekonomi yang harus ditaati oleh setiap muslim. Dengan kata lain, kemunculan
ekonomi ilsam lebih ditekankan sebagai upaya realisasi dari melaksankan nilai
keuniversalan ajaran Islam. Meski harus diakui bahwa perkembangan ekonomi Islam
terutama dalam dunia perbankan baru menggejala pada tiga dasawarasa terkahir
ini.[66]
Pada
akhirnya, diharapkan umat Islam tidak hanya mengerosi paradigma ekonomi umat
lain (kapitalis dan sosialis) dengan cara mengkafirkan, menyalahkan, dan
merendahkan.[67]
Akan tetapi di sisi lain, mereka diharapkan juga mampu memberikan bukti nyata
bahwa paradigama ekonomi umat Islam memang benar-benar mampu memberikan solusi
terbaik bagi permasalahan ekonomi dunia. Pada selanjutnya, bila kekuatan umat
Islam telah mampu membuktikannya maka paradigma baru sistem ekonomi dunia akan
mengalami pergeseran[68]
secara berangsur-angsur.
C.
Relevansi Etika Ekonomi Islam Terhadap
Permasalahan Kontemporer
Sebelum
membahas pada permasalahan pokok maka perlu untuk dikaji tentang apa itu etika
Islam dan apa itu etika non-Islam. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa
sifat etika Islam adalah mutlak (tetap) dan mengikat pada semua pemeluknya.
Adapun etika sekuler itu bersifat relatif,[69]
tergantung pada prespektif apa yang digunakan untuk mengritisi moral. Penulis
memandang pembandingan antara kedua hal itu sangat penting. Mengingat, selama
ini etika agama (teologi) termasuk etika Islam secara umum (utamanya dalam
praktik) dipandang belum mampu “mengarahkan” pemeluknya untuk bisa hidup
berdampingan secara cerdas dengan manusia lain. Misalnya, adanya praktik
suap-menyuap untuk mendapatkan kerja di tempat yang layak, pengelolaan keuangan
yang belum cerdas di lembaga atau organisasi Islam, penyuapan untuk memuluskan
izin perdagangan, praktik kecurangan dalam bisnis, dan tindakan amoral lainnya
yang mengatasnamakan agama. Oleh karena itu, penulis memandang penting untuk
membandingkan etika yang dikonstruk oleh Islam dalam al Quran dengan etika yang
“dipaksakan” dan dikonsep oleh umat manusia (etika sekuler).
Secara
terperinci, perbedaan antara etika Islam sebagai salah satu “cabang” etika teologi/religius
dengan etika sekuler adalah sebagai berikut:
1.
Etika Islam
Dalam
etika Islam, peran akal bukan sama sekali dimatikan. Bahkan akal dipandang
punya peranan dalam penentuan perbuatan manusia. Akallah yang menyebabkan
manusia “mau” beragama. Orang yang beragama memiliki dua modal dasar dalam
dirinya: 1. Akal budi, perlu diasah dan dilatih agar semakin tajam, 2.
Pertimbangan rasa, dapat menilai mana yang baik dan buruk. Oleh karena itu
orang yang beragama tidak akan menjahui dunia, tetapi memanfaataknnya untuk
berbuat kebajikan sebanyak mungkin, sesuai dengan ajaran agamanya. Jadi, ia
yang memperalat dunia, bukan dunia yang memperalatnya.[70]
Kendati
demikian, dalam etika Islam akal bukan merupakan peranan satu-satunya manusia
dalam “menjalankan” perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Sebagaimana yang
telah disampaikan oleh Achmad bahwa etika merupakan ilmu pengetahuan rohaniah,
normatif,[71]
dan teologis. Ia bukan lagi ilmu pengetahuan yang bisa diukur secara matematis,
sehingga tak dapat diramalkan dengan pasti. Ia merupakan pengetahuan tentang
“seni hidup secara baik.”[72]
Dengan kata lain, sebuah perbuatan harusnya “diteliti” tidak hanya pada sudut
pandang kehendak atau kesengajaan manusia. Ada sisi lain yang sulit untuk
dipahami oleh akal, salah satunya untuk mengetahui mengapa “perbuatan” itu bisa
terjadi. Komponen yang sulit untuk dipahami dengan akal itu adalah adanya
faktor hidayah[73]
dan mekanisme ghaib (peran takdir)[74]
dari Allah SWT. Selain itu, Islam juga memandang bahwa semua tindakan yang
dilakukan oleh manusia tidak akan disia-siakan oleh Allah. Perbuatan baik atau
buruk, semuanya pasti mendapatkan balasan yang setimpal. Dapat dikatakan, semua
niat baik bahkan bila dilanjutkan dengan (cara) perbuatan baik yang dilakukan
oleh umat Islam untuk mencari ridho Allah bisa dikatakan sebagai ibadah
(berpahala).
2.
Etika Sekuler
Etika sekuler
memandang bahwa pergaulan di dunia itu selalu dihadapkan pada dua hal, yaitu
yang berakibat baik dan yang berakibat buruk. Manusia sebelum mempertimbangan
(akhirat, iman) harus mengutamakan akalnya terlebih dahulu untuk menentukan
perbuatan itu baik atau buruk. Dengan kata lain, etika sekuler lebih
mengunggulkan dan mengutamakan aspek-aspek kemanusiaan, terhadap perbuatan
buruk yang sudah dilakukan. Argumentasinya, lebih baik berhenti dari perbuatan
buruk dan kembali “wajar” daripada terlanjur parah. Ukuran parah di sini adalah
bila tubuh dan jiwa sudah rusak. Bisa juga kerusakan pada “nama,” di mana harga
diri sudah tidak ada lagi. Bila tidak segera dihentikan, maka nilai-nilai
kemanusia pada suatu individu akan luntur.[75]
Dari pembahasan di atas, apabila digambarkan dalam sebuah tabel tentang perbedaan
antara etika Islam dengan etika sekuler (tradisi lama dan modern) sebagai
contoh konkrit dapat dijabarkan sebagai berikut:
Tabel: 1.1 Moralitas ditinjau dari konteks tradisi lama,
modern, dan Islam[76]
(diadaptasi
seperlunya dari Burhanuddin Salam)
Permasalahan
|
Tinjauan Etika menurut:
|
||
Tradisi Lama
|
Modern
|
Islam
|
|
Pakaian
dan cara berpakaian
|
Bermacam-macam,
ada yang terbuka dan tertutup auratnya
|
Berganti-ganti,
sesuai dengan tren dan selera ahli mode
|
Wajib
menutup aurat. Untuk potongan dan bentuk tidak jadi masalah.
|
Minuman
keras
|
Ada
yang setuju dan ada yang tidak setuju
|
Sebagai
lambang pergaulan modern, gaya hidup
|
Semua
jenis minuman memabukkan haram hukumya.
|
Judi
|
Ada
yang mendukung dan ada yang menolak
|
Dianggap
soal biasa, bagian dari kehidupan bebas
|
Dosa
besar
|
Hidup
mewah berlebihan
|
Dianggap
sebagai hak dan permasalahan individu
|
Kebebasan
individu, tergantung pada kemampuan
|
Hukumnya
mubazir. Merupakan perbuatan tercela
|
Tinggi
hati
|
Orang
tua menilainya kurang baik
|
Tergantung
orang yang menilai. Setiap orang bebas bersikap asal tidak melanggar pidana
|
Perbuatan
tercela
|
Bila hal tersebut di atas di kaitkan dengan sistem ekonomi
maka Sistem kapitalis maupun sosialis yang cenderung
sekuler[77] sebenarnya
tidak sesuai dengan sistem ekonomi Islam.[78]
di mana, keduanya bersifat ekploitatif dan tidak adil terhadap manusia. selain
itu, mereka tidak memperlakukan manusia sebagiamana layaknya manusia, yaitu
sebagai khalifah Allah di muka bumi. Keduanya pun tidak bisa memecahkan masalah
ekonomi, politi, sosial, dan moral di zaman sekarang. Pertentangan ini bukan
saja karena adanya perbedaan ideologi, moral, dan kerangka sosial-politik, akan
tetapi juga karena beberapa alasan lain yang terkait sifat ekonomi dan
keduniaan. Selain itu juga terdapat perbedaan sumber daya, situasi ekonomi
internasional yang senantiasa berubah, tingkat ekonomi, dan biaya
sosial-ekonomi yang dikeluarkan untuk pembangunan. Dapat disimpulkan bahwa
strategi indistrualisasi kedua sistem tersebut tidak cocok dengan cita-cita dan
ajaran Islam.[79]
Dari
penjelasan di atas, dapat dinyatakan bahwa sistem
ekonomi Islam merupakan sintesa antara sistem kaptilaisme (liberal) dan komunis
(sosialis). Di mana, Islam menghendaki keselamata kepada seluruh umat manusia.
bahkan, Allah menciptakan seluaru alam semesta ini sesungguhnya utnuk
kesejahteraan dan kebahagiaan selur umat manusia, bukan untuk salah satu atau
sebagiannya saja. Islam juga memandang manusia tidak hanya dari sudut
ekonominya, akan tetapi juga dari segi jasmani dan ruhaninya. Sebaliknya, kedua
sistem lainnya memandang kebahagiaan manusia hanya dari segi lahiriahnya
(empiris). Buktinya, barat mengukur kesejahteraan rakyatnya hanya berdasarkan
aspek statistik empirisnya saja. yakni, yang bersifat material. Namun, untuk
hal-hal yang imaterial seperti kebahagiaan batin tidak diukur karena tidak
mungkin dimasukkan ke dalam matematika-statistik.[80]
Selanjutnya,
selama ini Ilmu ekonomi kontemporer hanya terfokus
pada kajian usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan demi tercapainya kemakmuran.
Bisa dikatakan, ilmu ekonomi tidak
membicarakan manusianya serta hal-hal yang terkait atau mempengaruhinya. Begitu
pula ia tidak membahas tujuan hidup manusia di dunia ini. akibatnya, ilmu
ekonomi saja tak dapat diandalkan untuk tercapainya kebahagiaan manusia.[81] Dengan kata lain,
diperlukan unsur-unsur lain yang diharapkan bisa memberikan solusi terampuh
dalam menghadapi masalah kontemporer. Manusia harus dianggap manusia secara
utuh bukan sekedar “benda” yang hanya membutuhkan kebutuhan fisik (materi) dan
semuanya hanyat ditolokukurkan pada materi. Begitu pula manusia butuh agama
yang di dalamnya juga terdapat etika[82]
sebagai bentuk ilmu yang harus dipelajari umatnya. Sebagaimana menurut
penjelasan harahap bahwa:
Etika, moral, jiwa spiritual tidak dapat
dipisahkan dari apsek badan, materi, dan wujud tangible lainnya. bahkan, yang akan kekal adalah ruh kita,
sedangkan jasad kita akan dikubur dan menjadi tanah. Saat meninggal, roh kita diangkat menghadap ke
haribaannya kembali ke asal. Islam menilai yang lebih utama dan yang menjadi
fokus perhatian kita adalah akhirat, ruh, moral, dan spiritual; bukan
sebaliknya, aspek dunia, jasad, atau material. Etika, atuaran, dan perilaku
yang baik dalam padangan sekularisme ditentukan oleh rasion manusia yang sangat
terbatas sehingga tidak sampai pada kebenaran hakiki. Jadi, kita menemukan
berbagai kesalahan, krisis yang mencancam keharmonisan kehidupan duia apalagi
di akhirat nanti.[83]
Dari
penjelasan itu dapat dikatakan bahwa kajian ekonomi pada abad kontemporer ini
idealnya tidak hanya bertumpu pada ideologi kapitalisme dan sosialis (marxis).
Lebih dari itu, semestinya bertolak pada norma-norma moral kemanusiaan supaya
bisa membebaskan manusia dari kerisauan akibat ketidakpastian dan membebaskan
mereka dari penindasan, pemaksaan hak, pemerasan, kemiskinan, dan
keterbelakangan. Selain dari itu pula diharapkan bisa menguatkan aksi ekononmi
dari watak yang tak manusiawi, zalim, rakus, dan semacamnya.[84] Bahkan, lebih dari itu seharusnya prinsip ekonomi juga
bertendensikan pada aspek-aspek ilahiah[85]
(ketuhanan).
Namun
demikian, perbedaan antara ekonomi sekuler dengan ekonomi berketuhanan
(ilahiah) tidak saja terbatas pada perbedaan pola berikhtiar (usaha), konsumsi,
produksi, dan distribusi. Akan tetapi, menjalar pula pada wilayah sosial,
hukum, dan politik. Misalnya, berangkat dari dorongan implimentasi prinsip ekonomi, serta
karena adanya perbedaan jumlah, kualitas tenaga kerja, perbedaan ketersediaan
bahan baku dan bahan penunjang maka muncullah spesialisasi. Akibatnya, muncul
pabrik-pabrik raksasa sehingga untuk menjual produknya yang melimpah dibutuhkan
perdagangan antar bangsa. Industrialisasi yang tak manusiawi itu berakibat pada
perilaku yang agresif dan hasrat untuk menghegomoni bangsa lain baik melalui
paksaan maupun rekayasa sosial.[86]
Perilaku
yang tak terpuji itu seperti itu (menghegemoni) muncul karena ketidak mampuan
produsen dalam menjembatani antara kepentingan moral dengan kepentingan
strategi bisnis. Idealnya, supaya bisa mengakomodir dua kepentingan tersebut
maka produsen harus menetapkan kebijakan yang penuh rasa tanggungjawab dengan
berprinsip mengutamakan kepentingan bersama. Dengan prinsip ekonomi yang
dilandaskan pada kerjasam itu maka dunia ekonomi bisa ditata dan dibangun di
atas landasan etika yang bisa merangkul semua pihak. Hal ini utamanya ialah
etika yang didasarkan pada nilai-nilai Islam. sebagaimana penjelasan Djakfar
bahwa:
Seorang muslim tidak dibenarkan
mendahulukan kepentingan ekonomi di atas pemeliharaan nilai dan keutamaan yang
diajarkan agama. Sekarang banyak ditemukan sistem lain yang lebih mendahulukan
usaha-usaha ekonomi dengan mengabaikan etika dan berbagai konsekuensi
transendental. Itu berarti sistem ini lebih mementingkan tuntutan strategi
bisnis daripada tuntutan moral yang mendorong pelakunya untuk berbuat yang
merugikan orang lain... ini berarti setiap langkah perilaku
ekonomi tidak boleh lepas dari konteks etika bisnis. Seseorang baik secara
pribadi maupun bersama-sama tidak bebbas mengerjakan apa saja yang
diinginkannya, atau apa yang menguntungkan saja. setiap individu terikat oleh
etika (dan iman) pada setiap aktivitas ekonomi yang dilakukannya, baik dalam
menjalankan usaha, mengembangkan, maupun menginfaqkan hartanya.[87]
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip utama yang harus ditekankan
dalam ekonomi berparadigma universal ialah lebih menekankan pada kerja sama.
Kerja sama dengan siapapun, di manapun, dan kapan pun asalkan semua itu tidak
melanggar syari’at Islam. Kerja sama ini penting karena suatu golongan (bangsa
atau kaum) mungkin saja tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam bidang tertentu
tapi bangsa lain mempunyai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan itu. Dengan
itu, tidak ada lagi individu maupun kaum yang akan melakukan perampasan atau
melakukan praktik kecurangan demi memenuhi kebutuhannya karena mereka saling
percaya untuk melakukan kerja sama agar segala permasalahan yang ditemui
dipecahkan bersama.
BAB III
Penutup
Dari semua pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan
dengan digunakannya paradigma universal maka paradigma keterpisahan (parsial)
yang selama ini masih menggejala diharapkan bisa terkikis. Di mana tidak ada
lagi keterpisahan antara materi dengan nonmateri, antara kepentingan produsen (penjual/penawar/majikan)
dengan kepentingan konsumen (pembeli/peminat
barang/anak buah), dan antara rasio (akal) dengan agama. Bagiamanapun, semuanya
itu merupakan satu kesatuan yang saling terhubung dan tidak terpisahkan
sehingga hasil perpaduannya bisa diterima oleh umum.
Dari konsep itu, sesungguhnya Islam sebagai agama
rahmatan lilalami yang universal berpeluang untuk mengisi kekosongan “makna”
yang senantasi diabaikan oleh paradigma ekonomi sekuler. Di mana ekonomi
sekuler hanya memandang bahwa kesuksesan berekonomi itu ialah apabila mampu
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang seiminim mungkin.
Sedangkan ekonomi dalam Islam ternyata lebih mengutamakan aspek kepentingan
bersama, seperti bisa menciptakan dan mendistribusikan keselamatan dan
kesejahteraan bagi seluruh makhluk. Dalam ekonomi Islam, sumber pengetahuannya
pun tidak ditumakan berasal dari pengalaman manusia di masa lalu atau untuk
memperoleh keuntungan di masa depan. Namun, faktor hari ini (sekarang) yaitu
untuk mencari Rida Allah menjadi tolok ukur pertama.
Dengan demikian, nilai-nilai agama sebagai bagian
yang tak terlepaskan dari seluruh umata manusia bahkan yang ateis sekalipun
dapat digunakan sebagai paradigma universal. Hal ini karena kajian agama selalu
mengalami perkembangan dan menjadi kajian penting utamanya bagi ilmuwan-ilmuwan
sosial. Kajian appaun itu, tanpa melibatkan “peran” agama maka dapat dikatakan
hasilnya akan menggambarkan realiatas yang kurang lengkap. Bagaimanapun, agama
merupakan salah satu faktor determenin dalam kajian ekonomi, politik, dan
perubahan sosial masyarakat lainnya. oleh karena itu, di masa globalisasi dan
era informasi sekarang ini paradigma ekonomi universal sangatlah penting
digunakan. Hal ini agar tantanan perekonomian dunia bisa terdisitribusikan
secara merata. Tidak ada lagi perebutan pengaruh ekonomi, tidak ada lagi rakyat
kelaparan seperti yang banyak terjadi di afrika, dan tidak ada lagi perseteruan
antar negara gara-gara memperebutkan sumber daya alam.
DAFTAR
RUJUKAN
Amin. A. Rifqi.
Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner. Yogyakarta: Lkis, 2015.
Achmad, Mudlor. Etika dalam Islam. Surabaya: al Ikhlas, tt.
Akhtar, Amin. “Kerangka
Kerja Struktural
Sistem Ekonomi
Islam,” dalam Etika
Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam, ed. Ainur
Rofiq Sophiaan. Surabaya:
Risalah Gusti, 1997.
Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu al Quran. tanpa kota: Amzah,
2005.
Anonim, “Thomas Kuhn,”
dalam http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/,
13 Agustus 2011, diakses 23 September 2014.
Azzaion, Hs. Zuardin. Ekonomi
Ilahiah: Suatu Pengantar Pembeda.
tanpa kota: Pustaka al-Hidayah cet. II, 1987.
Badroen, Faisal. dkk.
Etika Bisnis dalam Islam.
Jakarta: Kencana, 2006.
Baidan,
Nashruddin dan Erwati Aziz, Etika Islam
dalam Berbisnis. Solo: Zada Haniva, 2008.
Basuki, Dian. “Jejak
Paradigma Kuhn,” dalam http://indonesiana.tempo.co/read/21561/2014/09/05/desibelku.1/jejak-paradigma-kuhn,
05 September 2014, diakses tanggal 23 September 2014.
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia,
2004.
Chapra, M. Umer.
“Masa Depan Ilmu Ekonomi:
Sebuah Tinjauan
Islam,” dalam The Future of Economics An
Islamic Perspective, terj. Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), hlm. 48-49.
--------. “Negara Sejahtera
Islami dan Perannya di Bidang Ekonomi,” dalam Etika Ekonomi Politik:
Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam, ed. Ainur
Rofiq Sophiaan. Surabaya: Risalah Gusti, 1997.
Choudhury, Masudul Alam. The Universal Paradigm and the Islamic Word-System: Economy, Society,
Ethics, and Science. Singapore:
World Scientifc, 2007.
Djakfar, Muhammad.
Agama, Etika, dan
Ekonomi: Wacana Menuju Pengembangan Ekonomi Rabbaniyah.
Malang: UIN, 2007.
---------.
Anatomi Perilaku Bisnis, Dialektika Etika dengan Realitas. Malang: UIN,
2009.
Echols, John M.dan
Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia.
Jakarta: Gramedia, 2013.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI,
SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
Haneef, Mohamed
Aslam. “Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer:
Analisist Komparatif Terpilih,” dalam Contemporary Muslim Economic Thought: a Comparative Analysis, terj. Suherman Rosyidi.
Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Harahap, Sofyan S. Etika Bisnis
dalam Perspektif Islam. Jakarta:
Salemba Empat, 2011.
Izutsu, Toshihiko. Ethico-Religious Concepts in the Qur’an. Montreal: McGill Queen’S University, 2012.
KBBI Offline Versi 1.5 “Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar
Jaringan (Luring),”, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia,
1996), 1015.
Marcum, James A. Thomas Kuhn’s Revolution: An Historical
Philosophy of Science. New York:
Coontinum, 2005.
Muhammad. Paradigma, Metodologi, dan Aplikasi Ekonomi Syari’ah.
Yogyakarta: Graha Ilmu,
2008.
Nawawi, Ismail. Ekonomi Islam: Perspektif Teori, Sistem
dan Aspek Hukum. Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009.
--------. Pembangunan
dalam Perspektif Islam Kajian Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009.
Rahardjo, M. Dawam. “Ekonomi
Islam, Ekonomi Pancasila dan Pembangunan Ekonomi
Indonesia,” dalam Etika
Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam, ed. Ainur
Rofiq Sophiaan. Surabaya:
Risalah Gusti, 1997.
Salam, Burhanuddin. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan
Manusia. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Sirozi, Muhammad. “In Search of a Distinctive Paradigm
for Indonesia Islamic Studies: Some Note From 13th AICIS 2013,” dalam http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY, diakses tanggal 23 Februari 2015.
Sudarsono. Etika Islam Tentang
Kenakalan Remaja. Jakrata: Bina
Aksara, 1989.
Suprayogo, Imam. “Rekonstruksi
Kajian Keislaman (Sebuah Tawaran Ontologi dan Epistemologis)” dalam
Horizon Baru
Pengembangan Pendidikan Islam (Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global),
Ed. M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha.
Malang: UIN, 2014.
Suseno, Franz
Magnis. dkk., Etika
Sosial: Buku Panduan Mahasiswa.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
--------. Etika
Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Vos, H. De. “Pengantar Etika,” dalam Inleiding tot de Ethiek, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.
Wikipedia, “Fisiologi Manusia,” http://
www.id.wikipedia.
org/wiki/Fisiologi_manusia, diakses tanggal 12 Juni 2013.
Wonorajardjo, Surjani. Dasar-dasar Sains: Menciptakan Masyarakat Sadar Sains. Jakarta:
Indeks, 2010.
Yatimin, M. Abdullah. Pengantar Studi Etika. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006.
Zubaedi. Filsafat
Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Zubair, Akhmad
Kharris. Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali,
1987
[1]Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar:
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 16-18.
[2]Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene
Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2007), hlm. 201.
[3]Dian Basuki, “Jejak Paradigma Kuhn,”
dalam http://indonesiana.tempo.co/read/21561/2014/09/05/desibelku.1/jejak-paradigma-kuhn,
05 September 2014, diakses tanggal 23 September 2014.
[4]Setiap
komunitas ilmiah pasti diselimuti atau dipengaruhi oleh paradigma, sehingga
paradigma dapat menjadi pemandu komunitas ilmiah dalam memahami segala sesuatu,
termasuk memandang fenomena.
[5]A. Rifqi
Amin, Pengembangan Pendidikan Agama
Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: Lkis, 2015),
hlm. 40.
[6]Basuki, “Jejak Paradigma Kuhn,” diakses tanggal 23
September 2014.
[7]“Apakah paradigma ilmu
ekonomi Islam secara signifikan berbeda dari paradigma ilmu ekonomi
konvensional? Sekalipun terapat banyak kesamaan antara pandangan dunia dari
agama-agama utama terutama antara Islam, Kristen, dan Yahudi, namun tidak
demikian halnya antara ilmu keonomi Islam dan ilmu ekonomi konvensional.
Paradigma kedua disiplin tersebut berbeda secara radikal. Paradigma Islam tidak
sekularis, netra nilai, materialis, dan sosial-Darwinis. Ia didasarkan pada
sejumlah konsep yang menjadi akar dari doktrin-doktrin ini. ia memberikan
tekanan khusus kepada nilai-nilai moral, persaudaraan manusia, dan keadilan
sosioekonomi dan, tidak seperti paradigma mitranya baik marxis mapun kapitalis,
ia tidak hanya mengandalkan negara atau pasar dalam merelaisasikan visinya. Ia
justru mengandalkan peran integral dari nilai-nilai dan lembaga-lembaga, pasar,
keluarga, masyrakat, dan negara untuk menjamin falah atau kesejahteraan semua
orang. Ia lebih menekankan pada
perubahan sosial melalui suatu reformasi pada tingkat individu dan masyarakat,
di mana tanpa hal itu maka pasar dan negara hanya akan (halaman 48)
mengabadikan ketidakadilan (kezaliman).” Lihat,
M. Umer Chapra, “Masa Depan
Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam,” dalam The Future of Economics An Islamic
Perspective, terj. Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.
48-49.
[8]“... Kontribusi Islam yang
terbesar adalah menjadikan hidup dan ikhtira manusia sangat bermakna dan
bernialai. Islam menghendaki perubahan sikap manusia dan untuk itu ilmu-ilmu
sosial harus ammpu mengubah netralitas nilai yang palsu menjadi keterikatan
nilai (value commited) yang terbuka
dan nyata.” Lihat, Khurshid Ahmad, “Pembangunan Ekonomi
dalam Perspektif Islam,” dalam Etika
Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam, Ed. Ainur Rofiq Sophiaan
(Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hlm. 7. Lebih detail, Djakfar menyampaikan bahwa “seorang juga tidak
bebas tanpa batas dalam memproduksi berbagai macam barang, mendistribusikan, mengeluarkan
dan mengkonsumsinya, tetapi ia terikat oleh ikatan tatanan nilai yang sangat
tinggi, baik yang bersumber dari ajaran masyarakat maupun Tuhan Yang Maha Esa.”
Lihat, Muhammad Djakfar, Anatomi Perilaku Bisnis, Dialektika Etika
dengan Realitas (Malang: UIN, 2009), hlm. 71.
[9]Menurut Myrdal, ilmu
ekonomi yang dikembangkan pada lembaga pedidikan maupun pada tataran
penerapannya di tingkat nasional masih sarat dengan nilai-nilai kultur barat.
Dari kenyataan itu, sesungguhnya ilmu ekonomi secara ontologis, epistemologis,
dan aksiologis perlu direkontstruksi. (halaman 113) Harapannya, melalui cara
itu ilmu ekonomi dapat terbebas dari pengaruh nilai-nilai asing yang tidak
sesuai dengan konsep peradaban Islam. Misalnya, secara ontologis dikatakan
bahwa manusia ialah “binatang” berekonomi (homo
economicus), sehingga wajar bila ia berperilaku dengan prinsip mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya melalui pengorbanan yang seminimal mungkin. Hal itu
dilandaskan karena memang pada hakikatnya bersifat egois atau senantiasa
mementingkan diri sendiri. Bila pun ada “kebaikan” yang dilakukan oleh manusia,
itu semata-mata karena untuk mengokohkan kepentingannya sendiri, bukan
didasarkan pada aspek-aspek moral, bahkn transendental (ilahiah). Dalam aspek
epistemologis pun ternyata teori yang dikembangkan dilandaskan pada logika dan
fakta empiris yang berasal dari salah satu bagian dari masyarakat manusia yang
punya nilai perilaku sosial tersendiri (unik).
Implikasinya, karena stiap kelompok masyarakat punya karakteristiknya tersendiri maka
keuniversalan teori-teori ekonomi yang ada sekarang ini perlu dipertanyakan.
Dalam hal ini, ilmu ekonomi tidaklah beridiri sendiri. Melainkan bersama dengan
ilmu-ilmu sosial lain memiliki beberapa kelemahan dalam membangun teorinya
untuk masyarakat selain Barat. dengan kata lain, teori ilmu ekonomi serta ilmu
sosial lainnya harus dikembangkan berdasarkan pada pemahaman hubungan yang
saling terkait di baling gejala sosial yang timbul. Oleh karena itu, secara
aksiologis pun landasan untuk mempertanyakan ilmu ekonomi kini menjadi semakin
relevan. Lihat, Nashruddin Baidan dan
Erwati Aziz, Etika Islam dalam Berbisnis
(Solo: Zada Haniva, 2008), hlm. 113-114.
[10]Surjani Wonorajardjo,
Dasar-dasar Sains: Menciptakan Masyarakat Sadar Sains (Jakarta: Indeks,
2010), hlm. 123.
[11]“A paradigm, in Thomas Kuhn’s view, “is not simply the current theory, but
the entire worldvew in which it exists, and all of the implications which come with
it.” This view implies that developing or changing scentific paradigm is not an overnight job for
every researchers, because it will take time for investigation, discussion, and
dissemmination. It is also not a simple process, because it will involve and require social and political
context and construction... It requires long term commitment, intensive researches, and extensive discussions, considering many
opinions, and involving scholars of various disciplines. For this reason, a long term
planning and action plans will pave the way for thedevelopment of a unique
paradigm for Indonesian Islamic studies that can produce open minded attitude and broad understanding of
Islamic teachings. In a long term, Azyumardi believes, such a paradigm will develop and
promote “moderate Islam (wasatiyyah Islam)” that can be a model for other Muslim
countries.” Dari penjelasan
tersebut dapat dipahami bahwa sebuah paradigma dalam pandangan Thomas Kuhn,
“adalah bukan sekedar teori yang muncul saat ini, tetapi seluruh cara pandang (worldview) ilmuwannya di mana ia eksis
(berada), dan semua implikasinya yang datang dengannya.” Pandangan ini
mengimplisitkan bahwa mengembangkan atau mengubah paradigma lama bukanlah
pekerjaan semalam untuk setiap peneliti-peneliti, karena hal tersebut akan
memerlukan waktu untuk agenda penelitian, diskusi, dan penyebarannya. Hal itu
juga bukan proses yang simple, karena itu akan melibatkan dan memerlukan
konteks sosial dan politik... Serta memerlukan komitmem jangka panjang,
penelitian intensif, dan diskuksi yang luas, mempertimbangkan banyak opini, dan melibatkan sarjana dari berbagai disiplin
ilmu. Untuk alasan ini, perencanaan jangka panjang dan tindakan terencana akan
membuka jalan untuk pengembangan paradigma yang unik pada studi Islam di
Indonesia yang dapat memproduk pola tingkah terbuka dan pemahaman orisinil
tentang pengajaran Islam. Dalam jangka panjang, Azyumardi percaya, paradigma
seperti itu akan berkembang dan menyebarkan “Islam moderat” yang dapat menjadi
model bagi negara-negara Muslim lainnya. Lihat, Muhammad Sirozi, “In Search of a Distinctive Paradigm for
Indonesia Islamic Studies: Some Note From 13th AICIS 2013,” dalam http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY, diakses
tanggal 23 Februari 2015.
[12]“A paradigm conveys the development
of an altogether new scientific mindset from the old or prevailing one. It
contains deep assumptions, concepts and values to make it a viable seat of
reasoning and application. Yet, such aspects of the paradigm must have the
nature of ready acceptance and appeal to all systems of thought. When the
paradigm emerges, it pervades all systems of human experience including science
and society, their institutions and the domain of individual and collective
behavior.” Suatu paradigma (baru) membawa perkembangan pola pikir ilmiah
yang sama sekali baru dari yang lama atau yang (pernah) berlaku. Paradigma ini
berisi asumsi yang mendalam, konsep, dan nilai-nilai untuk membentuk wadah yang
layak bagi penalaran dan penerapan. Namun, aspek-aspek seperti paradigma harus
memiliki sifat siap menerima dan dibandingkan ke semua sistem pemikiran. Ketika
paradigma muncul, itu meliputi semua sistem pengalaman manusia termasuk ilmu
pengetahuan dan masyarakat, lembaga mereka, dan domain perilaku individu dan
kolektif. Lihat, Masudul
Alam Choudhury, The Universal Paradigm
and the Islamic Word-System: Economy, Society, Ethics, and Science (Singapore:
World Scientifc, 2007), hlm. 11.
[13]Sebagaimana
pernyataan Choudhury bahwa “with the
change in paradigm and a newer way of looking at the world, come about
reorganizations and transformations. In such changes, new rules, institutional
structures, human convictions and instruments to enforce the new ways of
thinking arise.” Ia juga mengutip pendapat Thomas Kuhn yang menyatakan “It is rather as if the professional
community had been suddenly transported to another planet where familiar
objects are seen in a different light and are joined by non-familiar ones as
well.” Lihat, Choudhury, The Universal
Paradigm and, hlm. 13.
[14]Anonim, “Thomas Kuhn,” dalam http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/,
13 Agustus 2011, diakses 23 September 2014.
[15]“Tiap ilmu pengetahuan
mempunyai tiga kerangkan landasan pokok, yaitu ontologis, epistemologis dan
aksiologis. Landasan ontologis mengkaji tentang hakikat pengetahuan; bila
dikaitkan dengan ekonomi, ia membahas objek telaah atau hakikat dari ekonomi
itu. epistemologi membahas cara memperoleh pengetahuan, atau menyangkut
filsafat dan metodologi. Adapun aksiologi, ialah memperbincangkan guna
pengetahuan atau implementasinya. Dengan ketiga landasan filosofis itu, maka
pengetahuan dibedakan antara yang satu dari yang lain, lalu lahirlah
bermacam-macam disiplin ilmu. Pengetahuan tentang ekonomi kini telah menjadi
sebuah disiplin tersendiri dalam kelompok ilmu-ilmu sosial.” Baidan dan Erwati
Aziz, Etika Islam dalam, hlm. 113.
[16]John M. Echols and Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013),
hlm. 618.
[17]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[19]Lorens Bagus, Kamus
Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), 1015.
[20]“Fisiologi Manusia,” Wikipedia,
http:// www.id.wikipedia.
org/wiki/Fisiologi_manusia, diakses tanggal 12
Juni 2013.
[21]“Islam sebagai tatanan
hidup atau agama (din), secara umum
terdiri dari 4 (empat) hal, yaitu: (1) Kebenaran
tujuan (visi), yaitu menunaikan
ibadah dengan niat yang betul-betul ikhlas. (2) Memenuhi janji, yaitu
melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah SWT atas wahyu-Nya yang benar. (2) Meninggalkan apa yang
dilarang, yaitu mencegah diri dari apa yang diharamkan Allah dan hal-hal yang
subhat. (3) Ketetapan
janji, yaitu meyakini apa yang datangnya dari Allah, berupa Al-Qur’an dan apa
yang diturunkan oleh Rasulnya.” Lihat, Ismail Nawawi, Pembangunan dalam Perspektif Islam Kajian
Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009), hlm. 57.
[22]“Islam sebagai agama
Allah dan agama yang direstuinya datang denan kebenaran dan dengan suatu paket genaral system yang oleh Alquran disebut
kaffah. Mengamlkan Islam sebagaimaan
sebuah genaral system memang harus
menyeluruh, tidak dapat sebagian-sebagaian atau sepotong-sepotong seperti yang
terjadi saat ini. kita beragama dari aspek ibadah saja, tetapi tidak dalam
bidang ekonomi, politik, sosial, dan metode ilmu pengetahuan. Islam meyakini
dunia tidak lahir dengan sendirinya, tetapi menciptakan, yaitu Allah swt.yang
gaib. Demikian juga manusia dan makhluk lainnya. manusia adalah khalifah atau
wakil atau pengganti Allah di muka bumi yang ditugaskan untuk memakmurkannya...
sebagaian besar kebenaran yang harus kita yakini bersifat gaib. Kita harus dan
wajib percaya kepada yang gaib ini... ilmu kita hanya berasal dari Allah.
Allah-lah yang menjarkan kita ilmu, bukan yang lain dan ilmu kita sangat
sedikit. Salah satu kebenaran mutlak dapat kita peroleh langsung dari Alquran.
Kebenaran lainnya yang bersifat tidak langsung dan harus kita cari, yaitu
hukum-hukum alam (qauniah) yang harus
diteliti secara cermat sesuai dengan petujnjuk Allah.” Lihat,
Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis dalam
Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Empat, 2011), hlm. 164.
[23]Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill Queen’S University, 2012), hlm. 203.
[24]Ditinjau dari segi kejiwaan, nilai-nilai etika Islam
menghendaki agar setiap keluarga memperkokoh dasar-dasarnya. Salah satunya
dengan berbakti pada kedua orang tua, serta tata cara komunikasi Islamiyah
dalam berkeluarga menjadi metode baku dalam mewujudkan keluarga harmonis,
sakinah, dan penuh rahmah. Lihat, Sudarsono, Etika Islam Tentang
Kenakalan Remaja (Jakrata: Bina Aksara, 1989), hlm. 47.
[25]Pernyataan penulis tersebut hampir
sama dengan pendapat Quraish Shihbat, bahwa salah satu tujuan al Quran
diturunkan kepada manusia adalah “Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik
serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru
sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep teologis,
tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.” Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 1996), hlm. 12.
[27]Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[28]Akhmad Kharris Zubair, Kuliah Etika
(Jakarta: Rajawali,
1987), hlm.13. Bandingkan artinya dengan
pendapat Austin Fagothey yang dikuitp oleh Mudlor Achmad, bahwa Etika adalah
teori yang membahas tentang kebiasaan (perilaku), tetapi bukan menurut arti
tata adat, melainkan atat adab, yang penilaiannya berdasar pada “baik dan
buruk” sebagai sifat dasar yang dimiliki manusia. Namun demikian, etika sebagai
cabang ilmu pengetahuan tidak berdiri sendiri. Ia selalu terkait dengan seluruh
ilmu tentang manusia, seperti antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi,
hukum, dan sebagainya. Perbedaannya terletak pada paradigmanya, yaitu etika
menekankan pada “baik-buruk.” Lihat, Mudlor Achmad, Etika dalam Islam (Surabaya: al Ikhlas,
tt), hlm. 15.
[29]“Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan
etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang
begitu saja ditermia dalam suatu masyarakat—sering kali tanpa disadari—menjadi
bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama
artinya dengan filsafat moral.” Lihat,
K. Bertens, Etika
(Jakarta: Gramedia,
2004), hlm. 6.
[31]Otoritas menurut penulis bisa berwujud sekelompok orang,
organisasi, pemerintah (negara), orang tua, guru, atau siapapun yang punya
wewenang, andil besar, atau berpengaruh.
[32]Ki Hajar Dewantara (1962) mendefinisikan etika sebagai
“ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup
manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik fikiran dan rasa yang
dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuannya yang dapat
merupakan perbuatan.” Lebih detail, Zubeir menjelaskan bahwa “Etika berhubungan
dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat sebagai:
antroplogik, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik, ilum hukum.
Perbedaanya trletak pada aspek keharusannya (ought). Perbedaan dengan teologi moral, karena tidak bersandarkan
pada kaidah-kaidah keagamaan, tetapi terbatas pada pengetahuan yang dilaharikan
tenaga manusia sendiri.” Lihat, Zubair, Kuliah Etika, hlm. 15.
[33]Bandingkan dengan pendapat H. De Vos, Lihat, H. De Vos, “Pengantar Etika,” dalam Inleiding tot de
Ethiek, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 6.
[37]Perilaku yang disengaja menjadi
catatan penting dan utama dalam beberapa penulis buku tentang etika. Salah
satunya Magnis-suseno yang menjelaskan: Etika merupakan pemikiran kritis-rasional terhadap moral,
akan tetapi moralitas hanya mungkin terwujud bila manusia bebas. Asumsinya,
manusia dengan sadar dan sengaja dapat menentukan untuk melakukan atau tidak
melkaukan sesuau, maka ia perlu pengarahan melaui norma-norma moral. Lihat, Franz Magnis Suseno, dkk., Etika Sosial: Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1996), hlm. 18.
[38]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[39]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[40]Echols dan Shadily, Kamus
Inggris-Indonesia, hlm. 504.
[41]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[42]Perkembangan ilmu pengetahuan bisa terjadi salah satunya ada
ketidakpercayaan komunitas masyarakat ilmuwan (komunitas ilmiah) terhadap
teori-teori tertentu. Asumsinya, ilmu pengetahuan bisa terbentuk karena
senantiasa dibangun atau diisi atas kumpulan beberapa teori. Implikasinya, terdapatnya
proses pengembangan ilmu pengetahuan oleh ilmuwan disebabkan adanya proses
pengembangan teori-teori yang sudah ada. Tentunya, sebuah teori itu dibangun
berdasarkan dari hasil proses tindakan (penelitian) ilmiah. Dengan demikian,
pengembangan ilmu pengetahuan harus dilakukan secara komprehensif. Tidak hanya
didasarkan pada salah satu aspek ilmu-ilmu alam (sains) atau metode tertentu
saja. Namun juga melihat “pengaruh” ilmu-ilmu sosial yang kemungkinan
mendominasi suatu “teori” tersebut.
[43]James A. Marcum, Thomas Kuhn’s Revolution: An Historical
Philosophy of Science (New York: Coontinum, 2005), hlm. 68, 75.
[44]Basuki, “Jejak Paradigma Kuhn,”
diakses tanggal 23 September 2014.
[45]Wonorajardjo,
Dasar-dasar Sains:, hlm. 119.
[46]Selain itu, para
ilmuwan dalam memandang realitas sebagai objek kajian ilmu hanya mengakui
adanya objek kebendaan (materi). Adapun aspek yang tidak teramati (unobservable) tidak diterima sebagai
kebenaran. pandangan tersebut dalam perspektif tauhid tidak dapat diterima,
karena realitas itu sendiri memiliki susuanan yang berbeda disebabkan perbedaan
derajatnya. Kendati demikian, realaitas yang ada senantiasa bersifat mutually inclusive, bukan entitas yang berdiri 1secara
sendiri-sendiri. Lihat, Muhammad, Paradigma, Metodologi, dan Aplikasi Ekonomi
Syari’ah
(Yogyakarta: Graha
Ilmu,
2008), hlm. 41.
[47]“Sekalipun sains dan agama
berbicara tentang dua tingkatan realitas yang berbeda, tetapi tujuan utama
kedua institusi ini sama, yaitu meningkatkan kesejahteraan manusia. sebenarnya,
jika aspek spiritual dan materiil kesejahteraan yang akan diberikan oleh kedua
institusi ini penting dan juga saling berkaitan, sains dan agama akan dapat
melayani umat manusia secara lebih efektif dengan melakukan kerja sama dan
koordinasi yang lebih besar di anara mereka. sains memungkinkan manusisa
meningkatkan kepenguasaannya terhadap lingkungan fisik, sedangkan agama dapat
membantu mengembangkan potensi manusia yang dapat mempergunakan pengetahuan dan
kekuatan yang diberikan oleh sains untuk kesejahteraan, bukannya penghancuran,
umat manusia. Agama dapat menyediakan perspektif yang benar kepada sains,
sehingga sains tidak lupa akan keterbatasannya atau tujuan-tujuan pokoknya.
Sains dapat membantu agama menjadi lebih efektif dalam mewujudkan “apa
seharusnya” dengan melakukan analisis yang lebih baik tentang “apa”, memberikan
fasilitas kepada prediksi, menyediakan teknologi yang lebih baik, dan
memungkinkan penggunaan sumber-sumber daya yang ada lebih efisien.” Lihat,
Chapra, “Masa Depan
Ilmu,”
terj. Ikhwan Abidin Basri, hlm. 72.
[48]Sebagaimana pernyataan
Muhammad, “...pangkal
dari segala kebingunan dan krisis keilmuan moderen adalah kesalahgunaan
epistemologi natural science yang
positivistik ke dalam wilayah social
science yang subjektif. Arogansii epistemologis, pada gilirannya melahirkan
counter balanace, arus penyeimbang.
(halaman 26) Moten (1990) misalnya, secara tegas menolak positivisme yang
mengkalim diri sebagai satu-satunya epistemologi keilmuan yang memiliki validitas tinggi dan kebenaran
tunggal. ia mengusulkan perlunya epistemologi keilmuan baru, yang memandang
kehidupan manusia sebagai satu kesatuan organik, mengintegrasikan nilai-nilai
moral dan ideal-ideal sosial.” Muhammad,
Paradigma, Metodologi, dan, hlm.
26-27.
[49]Agus Efendi, Revolusi
Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ
(Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 22-23.
[50]Kebenaran yag sejati
dan absolut hanya milik Allah, sedangkan kebaneran yang lain hanya kebenaran
yang “muspra”
karena relativitas kenisbiannya. Dengan itu, maka kebenaran yang dihasilakn
dari penelitian seorang ilmuwan betatapun hebatnya hanyalah sebagai kebenaran
relatif. Lihat, Nawawi, Pembangunan dalam Perspektif, hlm. 41.
[51]Imam Suprayogo, “Rekonstruksi Kajian
Keislaman (Sebuah Tawaran Ontologi dan Epistemologis)” dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Upaya
Merespon Dinamika Masyarakat Global), Ed. M. Zainuddin dan Muhammad
In’am Esha (Malang: UIN, 2014), hlm. 15.
[52]Mohamed
Aslam Haneef, “Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer:
Analisist Komparatif Terpilih,” dalam Contemporary Muslim Economic Thought: a Comparative Analysis, terj. Suherman Rosyidi (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), hlm. 42-43.
[53]Ismail Nawawi, Ekonomi Islam: Perspektif Teori, Sistem dan
Aspek Hukum (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009), hlm. 7.
[54]“Tauhid merupakan
prinsip fundamental dalam ajaran Islam. inti tauhid adalah pengakuan spiritual
tentang kesatuan Tuhan dan berkaitan erat dengan potensi spiritual manusia
sebaga mahluk teomorfis (Naqvi, 1981, 78). Tauhid merupakan jantung ajaran
Islam tentang realitas Tuhan, yaitu Allah asal dari semua eksistensi, seluruh
alam dan semua sifat manusia sekaligus (Nasr, 2003, 3). Namun dalam konteks
integrasi ilmu, tauhid mesti dipahami dalam perspektif yang lebih luas, menurut
para sufi diartikan sebagai “hakikat/realitas”. “lihat,
Muhammad, Paradigma, Metodologi, dan, hlm. 40.
[57]Kerja bisa dimaknai
sebagai sebuah kewajiban dan ibadah, bukan sebagai beban yang memilukan bagi
manusia. Adapun, menganggur bahkan meminta-minta dipandang sebagai perilaku
yang memalukan tatkala ia bisa bekerja.
Selain itu, kepentingan sosial harus dijadikan pertimbangan ketika
seseorang ingin membuat keputusan individual. Misalnya, sebagaiaman menurut
Siddiqi yang dikutip oleh Haneef bahwa para produsen harus memprioritaskan
dalam memproduksi komoditas terpenting. Meskipun hal tersebut menyebabkan akan
menyebabkan laba yang diperoleh tidak maksimal. Konsep seperti itu dipandang
sebagai kewajiban sosial dan harus dilakukan oleh negar bila produsen
individual tidak mau atau tidak mampu melaksanakannya. Begitu pula dengan kaum
pedagang, hendaklah mereka berlaku tulus, jujur, dan penuh integritas.
Terlebih-lebih motivasi ekonoi mereka ialah untuk mendapat pahala dari Allah.
Harta kekayaan seharusnya tidak terpusat di tangan sedikit orang. Oleh karena
itu, orang kaya mempunyai kewajiban untuk memberi si miskin. Lihat, Haneef,
“Pemikiran
Ekonomi Islam,” hlm. 43.
[60]Chapra menambahi dengan pernyataan “Namun, karena
kesejahteraan sosial menempati urutan terpenting, maka konsep kebebasan
individu tidak dapat dilepaskan dari konsekuensi sosialnya. Kebebasan individu
itu sah-sah saja sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum serta
tujuan material dan spiritual dari masyarakat Islam. harta-benda dapat dimiliki
secara pribadi, tapi tetap merupakan amanat Allah swt. yang harus dikelola
sesuai dengan amanat Sang Pemberi Amanat tersebut. Motif mencari keuntungan itu
juga tidak lepas dari batasan-batasan moral, sehingga kepentingan individu itu
tetap dalam konteks sosial dan tidak menimbulkan penyakit ekonomi (halaman 59)
dan sosial. Ia juga tidak boleh melanggar tujuan keadilan sosial Islam, dan
pembagian pendapatan serta kekayaan yang adil dan merata.” Lihat,
M. Umer Chapra, “Negara Sejahtera
Islami dan Perannya di Bidang Ekonomi,” dalam Etika Ekonomi Politik:
Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam, ed. Ainur
Rofiq Sophiaan (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hlm. 59-60.
[61]Amin Akhtar, “Kerangka Kerja Struktural Sistem Ekonomi Islam,” dalam Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen
Strategis Pembangunan Masyarakat Islam, ed. Ainur Rofiq Sophiaan (Surabaya:
Risalah Gusti, 1997), hlm. 87.
[62]M.
Dawam Rahardjo, “Ekonomi Islam, Ekonomi
Pancasila dan Pembangunan Ekonomi Indonesia,” dalam Etika Ekonomi Politik:
Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam, ed. Ainur
Rofiq Sophiaan (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hlm. 123-124.
[64]“Dalam dunia sekuler
yang menghegemoni saat ini, etika dijadikan salah satu panacea atau obat mujarab untuk mengatasi masalah sosial yang
dihadapi umat. Namun, karena di luar sistem, etika tidak banyak membantu. Etika
dilepas dari moral, keyakinan, atau agama. Kemudian, setelah melihat
ketidakberhasilan etika, ada upaya untuk menjadikan etika sebagai produk
legislasi sehingga implementasinya dapat dipaksakan. Namun, ide ini juga belum
menguasai kebijakan pemerintahan di Barat. Mereka masih mengharapkan manusialah
yang seharusnya menghargai etika dengan kesadaran sendiri. Terakhir, kita
terkejut dengan
pendapat seorang tokoh negara komunis yang sudah hancur, Presiden Rusia
Vladimir Putin, yang oleh majalah Time dipilih
sebagai Person of the Year tahun 2007. Beliau berpendapat: “Pertama dan paling
penting kita harus dipandu oleh akal sehat (common
sense). Namun, akal sehat harus didasarkan pertama-tama pada prinsip moral.
Sekarang ini, kita tidak akan mungkin memiliki moralitas yang terpisah dari
nilai-nilai agama.” Lihat, Harahap, Etika Bisnis dalam, hlm. 153.
[67]Dalam beberapa hal,
sistem ekonomi Islam merupakan kompromi antara sistem ekonomi kapitalis dan
sistem ekonomi sosialis. Namun, dalam banyak hal sistem ekonomi Islam sangat
berbeda dengan kedua sistem tersebut. Bagaimanapun, sistem ekonomi Islam punya
sifat baik dari sistem kapatalisme dan sosialisme, akan tetapi terlepas dari
sifat-sifat buruknya. Lihat, Nawawi, Ekonomi Islam: Perspektif, hlm. 46.
[68]“Dalam konteks
pergeseran pemikiran tentang landasan pembangunan secara konvensional yang
marterialis mengabaikan agama, pemikiran Islam memberikan harapan besar dan
siap menjawab tantangan atau memenuhi kecenderungan baru untuk melakukan
koreksi asumsi pembangunan ekonomi yang berlaku saat ini. sistem nilai dan
etika yang ditawarkan oleh Islam berbeda dengan etika nilai yang diusung oleh
kapitalisme dan sosialisme.” Lihat, Nawawi, Pembangunan dalam Perspektif, hlm. 56.
[69]“Relativisme dalam sudut
pandang Islam: Perbuatan manusia dan nilainya harus sesuai dengan tuntunan
Al-Qur’an dan Hadis. Prinsip konsultasi (shura)
dengan pihak lain sangat ditekankan dalam Islam. Egoism tidak ada tempat dalam Islam. teori hak menurut sudut
pandang Islam: menganjurkan kebebasan memilih sesuai kepercayaannya dan
menganjurkan keseimbangan. Kebebasan tanpa tanggung jawab dan accountability tidak dapat diterima.
Tanggung jawab kepada Allah adalah individual.” Lihat,
Faisal Badroen, dkk.
Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta: Kencana,
2006), hlm. 37.
[70]Burhanuddin Salam, Etika Sosial:
Asas Moral dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 188-189.
[71]Etika normatif: ia
tiak hanya mendeskripsikan apa yang berlaku, tapi mempertahankan apa yang berlaku, ia tidak hanya menjabarkan
demikianlah keadaannya, tapi juga menegaskan demikianlah seharusnya, ia tidak
hanya memberitahukan (menjelaskan) pengetahuan, tapi juga mewartakan
(menyebarluaskan) suatu ajaran. Lihat, Vos, “pengantar etika,” hlm. 12.
[73]“Menurut Bahasa, hidayah artinya petunjuk, bimbingan,
keterangan, dan kebenaran. sedangkan yang dimaksud dengan hidayah menurut
istilah adalah petunjuk Allah terhadap makhlu-Nya tentang sesuatu yang
mengandung kebenaran atau sesuatu yang berharga dan membawa keselamatan.” Lihat, Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu al Quran (tanpa kota: Amzah,
2005), hlm. 100.
[74]Mengenai “keterlibatan” takdir dalam etika Islam dibahas
cukup tuntas oleh Abdullah. Lihat, M.
Abdullah Yatimin, Pengantar Studi Etika
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 255-259.
[75]Salam, Etika
Sosial: Asas, hlm. 187-188.
[76]Ibid. hlm. 46-47.
[77]“Dengan mengemukakan
perbedaan konsepsi dan norma tentang prinsip ekonomi antara orang-orang mukmin
dengan orang sekuler, musyrikin dan kafirin ini, maka jelaslah hendaknya
perbedaan tingkah laku ekonomi mereka.” Lihat,
Hs. Zuardin Azzaion, Ekonomi
Ilahiah: Suatu Pengantar Pembeda (tanpa kota: Pustaka al-Hidayah cet. II, 1987), hlm. 42.
[78]“Ekonomi yang
dicanangkan oleh Islam, tidak hanya menginginkan kebahagiaan dan kesejahteraan
manusia secara lahirial, tapi sekaligus secara batiniah karena manusia mempunya
dua unsur yang tak dapat dipishakan yakni jasmani dan ruhani. Itulah sebabnya
tauhid mempunyai peranan utama dalam sistem ekonomi Islam.” Lihat,
Baidan dan Erwati Aziz, Etika Islam dalam, hlm. 119.
[81]Ibid., hlm.
112.
[82]Menurut David Stewart
sebagaimana dikuti Dja’far bahwa “menanggapi pandangan bahwa etika bersifat autonomous, yakni bersifat independen
dari agama, Stewart mengatakan bahwa agama dan etika bersifat saling berkaitan
(intern-related) karena terdapat
koneksi atau hubungan yang erat sebagaimana dalam agama Yahudi dan Kristen.
Tidak ada moralitas tanpa agama, dan tidak ada agama tanpa moralitas, karena
agama perlu memiliki kandungan moral.” Lihat,
Muhammad Dja’far, Agama, Etika, dan
Ekonomi: Wacana Menuju
Pengembangan Ekonomi
Rabbaniyah
(Malang: UIN, 2007), hlm. 34.
[85]“... rumusan rasio prinsip
ekonomi ilahiah tidak hanya merupakan perbandingan antara “biaya duniawi”
dengan “nikmat duniawi”, seperti halnya dalam prinsip ekonomi sekuler. Dalam
prinsip ekonomi ilahiah diperhitungkan pula kemungkinan biaya dan nikmat
akhirat, neraka dan sorga.” Lihat, Azzaion, Ekonomi Ilahiah: Suatu, hlm. 43.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Paradigma Universal dan Sistem Dunia Berbasis Islam: Kajian Ekonomi, Sosial, Etika, dan Ilmu Pengetahuan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*