Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Masalah Terorisme dan Pengembangan Human Security Melalui Pendidikan Agama Islam



MASALAH TERORISME DAN PENGEMBANGAN HUMAN SECURTY MELALUI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Oleh: A. Rifqi Amin


BAB I
Pendahuluan

1.    Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang berperadaban, berbudi, dan memiliki konstruk cita-cita. Pernyataan ini memang benar bila dibandingkan dengan makhluk lain yang peradabannya cenderung statis. Kenyataannya, dalam konteks lain ada pula manusia yang tidak beradab, tidak berbudi, dan tidak punya konstruk cita-cita mulia. Penilaian tersebut muncul setelah diperbandingan dengan perilaku manusia lain yang dikatakan lebih beradab, lebih berbudi luhur, dan punya cita-cita yang mulia. Misalnya adanya pelabelan manusia sadis, manusia perusak, dan manusia tak beradab karena tindakannya yang anti human securty. Yakni, manusia yang menafikkan hak, keamanan, dan kehidupan manusia lainnya demi mewujudkan kepentingannya.
Dalam sudut pandang aksi terorisme, konsep human securty[1] sangat relevan digunakan sebagai pencegah. Asumsinya, setiap manusia akan peduli bahkan ikut menjaga keamanan manusia lainnya. Hal itu berarti terjadi saling percaya, memiliki, mengasihi, dan adanya dialog antar manusia satu dengan yang lain untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan. Tidak ada lagi sekat pembatas apapun itu wujudnya antara manusia satu dengan yang lain untuk saling berdialog. Pada akhirnya, manusia satu menghormati manusia yang lain,[2] sehingga terjadi komunikasi yang seimbang dan saling mengisi. Di sinilah akan terjadi persamaan derajat, hak, dan kewajiban antara manusia satu dengan manusia yang lain. Tidak ada yang merasa tertekan dan menjadi korban akibat kerakusan manusia lainnya.
Dalam konteks Indonesia, pada beberapa waktu lalu aksi terorisme sebagai salah satu bentuk anti human securty telah mengkhawatirkan keamanan bangsa. Meski akhir-akhir ini mulai menurun, tapi potensi timbulnya kembali masih cukup besar. Hanya menunggu waktu yang tepat dan situasi yang memungkinkan untuk muncul kembali. Potensi ini bukan hanya dari segi sumber daya finansial dan sumber daya peralatan yang tersedia banyak. Tapi yang patut diperhatikan adalah potensi generasi muda yang kelak mau melakukan aksi terosime. Bahkan bisa juga suatu saat akan menjadi pengkader dan pencari “bakat” untuk melaksanakan misi terorisme.
Sebagaimana yang telah banyak diketahui, bahwa sebagian besar pelaku teorisime di Indonesia adalah warga Indonesia. Bahkan sebagian merupakan pemuda usia sekolah[3] dan kuliah. Atas dasar itu, wajar ketika ada suatu pertanyaan besar apa yang salah dengan pola pendidikan Indonesia? Mengapa jaringan pendidikan Indonesia gagal dalam mendidik generasinya sehingga menjadi peka terhadap konsep human security? Lebih rinci lagi, bagaimana peran Pendidikan Islam dalam membangun budaya human security sebagai pedoman umat Islam untuk bergaul dengan masyarakat global?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya sebagai upaya penggugah terhadap guru PAI agar lebih giat dalam pengembangan konsep human security di lembaga masing-masing. Mengingat, banyaknya kasus ketidakpedulian atau acuh tak acuh peserta didik terhadap manusia lain mengakibatkan mereka rentan melakukan tindakan negatif terhadap sesama. Termasuk salah satunya melakukan tindakan teorisme.[4] Asumsinya, seharusnya peserta didik diajak lebih peka terhadap keberadaan manusia lain, menghargai nyawa mereka, menghormati hak-hak mereka, dan bisa bekerja sama secara produktif dengan the other.
Hal ini perlu dilakukan karena selama ini PAI masih mengusung “misi” tersembunyi seperti semangat primodial,[5] ritualitas, hegemoni simbol, dan menafikkan komunitas lain. Kenyataannya, semangat membanggakan diri yang seharusnya hanya pada ranah ketauhidan (aqidah Islam) dan taqwa, meluas menjadi ingin menunjukkan kekuatan. Terlebih lagi, bila kekuatan yang ditunjukkan bukanlah kekuatan pengembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi kekuatan yang bersumber dari keyakinan dan tubuh semata. Akibatnya, kekuatan tersebut tidak mendatangkan kemaslahatan malah menjadi ancaman bagi sebagaian masyarakat.
Berangkat dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan dalam pendidikan –utamanya pendidikan Islam-- perlu adanya pengembangan konsep human security. Dalam prakteknya, tentu konsep harus dikaitkan nilai-nilai keuniversalan yang ada dalam ajaran Islam. Salah satunya, nilai Islam yang menjaga dan menjamin nilai-nilai kemanusian seluruh umat manusia. Dengan kata lain, dalam bersaing dan menghadapi kehidupan ini umat Islam sejak dini harus dididik supaya melakukannya dengan cerdas dan elegan. Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa konsep pengembangan pendidikan yang secara detail akan dipaparkan dalam makalah ini.

2.    Batasan Masalah dan Topik Pembahasan
Agar pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan yang dikerucutkan sebagai berikut:
a.       Konsep dasar yang dibangun, yang meliputi: pengertian terorisme, pengertian human security, pengertian dan tujuan Pendidikan Agama Islam, melacak akar terorisme, dan teror atas nama agama.
b.      Pencegahan Terorisme dan Pengembangan Human Security Melalui PAI
BAB II
Pembahasan


A.      Konsep Dasar
1.      Pengertian Terorisme
Perumusan definisi “terorisme”[6] secara internasional sampai sekarang belum mencapai kesepakatan dan keutuhan. Mengingat, banyak sekali kepentingan dari negara-negara di dunia[7] ini tertarik menggunakan label “teroris” sebagai alat propaganda dan politik.[8] Atas dasar itu, dalam merumuskan pengertian ini penulis akan berusaha mencari arti yang utuh[9] utamanya untuk diterapkan dalam konteks Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Dengan maksud agar bisa digunakan dalam upaya pencegahan terorisme sampai keakar-akarnya sehingga sulit untuk dibangkitkan kembali.
Kata teroris memiliki arti “orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbukan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik.” Bila diimbuhi dengan “-isme” menjadi “terorisme” maka artinya “penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror.”[10] Sedangkan menurut Martha Crenshaw sebagaimana dikutip Tuman bahwa “terrorism is a conspiratorial style of violence calculated to alter the attitudes and behavior of multitude audiences. It targets the few in a way that claims the attention ot the many. Terrorism is not mass or collective violence but rather the direct activity of small groups.[11]
Bisa dikatakan terorisme telah memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan manusia. mulai dari menurunnya kegiatan ekonomi dan terusikknya rasa kemanusiaan serta hilangnya nilai-nilai keberadaban (hidup normal) di masyarakat. Dengan kata lain aksi terorisme adalah kejahatan[12] terhadap peradaban dan kemanusiaan yang telah mengancam seluruh masyarakat serta musuh dari semua agama di dunia ini.[13] Secara detail, Menurut Loudewijk F. Paulus sebagaimana yang dikutip oleh Wahid, ada empat macam karakteristik terorisme yaitu:
a)      Karakteristik organisasi yang meliputi penataan organisasi, rekrutmen anggota, pendanaan, dan hubungan internasional
b)      Karakteristik operasi yang meliputi perencanaan, waktu, strategi (takti), dan kolusi
c)      Karakteristik perilaku yang meliputi motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh, dan keinginan menyerah hidup-hidup
d)      Karakteristik sumber daya yang meliputi latihan/kemampuan, pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan, dan transporasi.[14]
Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa terorisme adalah tindakan kekerasan yang berdampak[15] kerusakan fisik hingga nyawa manusia yang tidak bersalah dengan tujuan untuk mencari perhatian dan menakut-nakuti pihak ketiga. Dengan demikian,  tindakan terorisme merupakan tindakan ilegal yang melanggar hukum kenegaraan dan hukum internasional. Artinya, suatu kekerasan bisa dikatakan sebagai tindakan terorisme bila dilakukan oleh organisasi yang tidak resmi dengan sasaran masyarakat yang terkait secara langsung.

2.      Pengertian Human Security
Berdasar kajian historis, istilah human security baru dipopulerkan pada awal 1990-an. Lebih tepatnya pasca berakhirnya Perang Dingin sebagai cara menghubungkan berabagai isu-isu kemanusiaan, ekonomi, dan sosial untuk meringankan penderitaan manusia dan menjamin keamanannya. Sekarang istilah tersebut menjadi kosakata harian pejabat pemerintah, militer, dan non-pemerintah, komunitas bantuan kemanusiaan, dan para pembuat kebijakan. Hal ini diterapkan karena untuk melindungi keamanan umat manusia (human security) secara internasional. Walaupun secara implementasi sangat terbukti sulit.[16]
Human memiliki arti manusia, sedangkan kata security berarti jaminan, keamanan, perlindungan, dan tanggungan.[17] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata keamanan berarti “keadaan aman atau ketetentramanan.[18] Adapun hasil dari penelusuran internet, pada wikipedia dikatakan bahwa “human security is an emerging paradigm for understanding global vulnerabilities whose proponents challenge the traditional notion of national security by arguing that the proper referent for security should be the individual rather than the state.[19] Lebih detail pendapat lain mengatakan “Human Security focuses primarily on protecting people while promoting peace and assuring sustainable continuous development. It emphasizes aiding individuals by using a people-centered approach for resolving inequalities that affect security.[20]
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa human security adalah sebuah paradigma baru yang dibangun untuk menjamin keamanan yang tidak hanya dalam sekup wilayah tertentu atau negara tapi hingga pada setiap level individu manusia. Artinya, paradigma human security berfokus untuk menjamin hak-hak individu serta menjunjung nilai perdamaian[21] sehingga bisa tercipta kemananan global. Konsep tersebut juga menekankan pada proses penyelesaian “kesenjangan” yang berpotensi merusak keamanan secara cerdas dan damai.

3.      Pengertian Pendidikan Agama Islam
Menurut penulis, pendidikan Agama Islam punya pengertian sebuah kajian ilmu yang menjadi materi ajar serta bertujuan agar peserta didik mampu dalam penerapan nilai-nilai Islam secara sadar (tanpa paksaan dari orang lain). Kesadaran tersebut meliputi penerapan nilai ibadah yang benar, nilai humanisme, keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme (nasionalisme),[22] nilai semangat dalam pengembangan diri[23] maupun masyarakat, dan nilai-nilai kedamaian di kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik aktif pada pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar dalam pengimplementasian nilai-nilai universalisme ajaran Islam secara konsisten dengan segenap logika atau alam pikirnya serta alam spiritualitasnya. Analisis tersebut didasarkan pada pendapat Syukri Fathuddin disampaikan bahwa hendaknya “... Pendidikan Agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan dapat dikatakan way of life seseorang.”[24]
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa PAI sebenarnya secara duniawi nilai manfaatnya tidak hanya ditujukan bagi umat Islam sendiri tapi juga untuk seluruh umat manusia. PAI seharusnya bisa menjadi pengarah dan penyumbang terbentuknya tatanan masyarakat yang damai, berperadaban modern, beretika[25] (tidak berpenyakit moral), dan manusiawi. Pada akhirnya, umat Islam bisa menjadi umat yang toleran. Yakni, menjadi muslim yang kuat sebagai pelindung non muslim  yang lemah. Bisa juga dengan menjadi muslim yang mayoritas untuk pengayom terhadap minoritas dan menjadi muslim yang kokoh sebagai penjaga non muslim yang rapuh. Serta dalam jangka panjang bisa menjadi muslim yang cerdas dalam bidang ilmu pengetahuan untuk digunakan nonmuslim yang tertinggal.

4.      Tujuan Pendidikan Agama Islam
Manusia merupakan makhluk yang sadar akan tujuan. Artinya, setiap tindakan yang dilakukan senantiasa bermuatan dan disadari tujuan yang ingin diperoleh. Baik itu secara individu maupun kelompok dan yang diinginkan untuk dicapai pada masa yang pendek atau panjang. Identifikasi tujuan tersebut sangatlah penting, yaitu sebagai ukuran normatif (gambaran ideal), preskriptif (pemberi arah), dan evaluatif. Secara rinci, tujuan PAI dapat dijabarkan dalam dua perspektif, yaitu perspektif pembentukan manusia (individu) ideal dalam arti biologis, psikologis, dan spiritualitas. Selanjutnya adalah perspektif pembentukan masyarakat (makhluk sosial) ideal dalam arti sebagai warga negara atau ikatan kemasyarakatan.[26] Dari kedua perspektif tersebut, sesungguhnya Pendidikan Islam hendaknya bisa membentuk manusia yang punya kemantapan aqidah, kedalaman spiritual, keluhuran akhlak (etika), keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Inilah yang disebut sebagai gambaran manusia ideal (waladun saleh) yaitu memiliki integritas dan keutuhan (insan kamil).[27]
Sedang dari sudut pandang lain menurut Muhammad Kosim dikemukakan tentang PAI sangat sarat dengan nilai (full value), termasuk dalam penanaman nilai-nilai kasih sayang dan keharmonisan antar sesama manusia.[28] Dengan kata lain, pendidikan Agama Islam tujuan dan hasilnya (muara) sesungguhnya bukan hanya untuk “kejayaan” umat Islam sendiri, tapi juga untuk “kebahagiaan” seluruh umat manusia.  Ujungnya adalah bagaimana PAI mampu mencetak generasi yang tidak sempit dalam berfikir, berperilaku, dan memandang realitas keberagaman (kemajemukan). PAI harus mencetak generasi kreatif, yang tidak mengandalkan dan gemar menggunakan jalan kekerasan. Dengan demikian, PAI di satu sisi pengembangannya disesuaikan dengan kebutuhan (perkembangan) masyarakat, tapi di sisi lain tetap berpedoman dan berpegang kuat pada nilai-nilai agama Islam.
Sedangkan menurut amanat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 3  bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[29]

Pernyataan tersebut dijabarkan lagi oleh PP No. 55 Tahun 2007 Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.” Adapun dalam ayat 2 lebih dipertegas lagi bahwa “pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.[30] Dari semua pemaparan di atas dapat simpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam dalam konteks pengembangan human security adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT secara benar yang senantiasa menggunakan pikir kritis, dinamis, peduli terhadap keamanan manusia lain, dan kreatif sesuai keahlian masing-masing dalam berbangsa sehingga karyanya bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.

5.      Melacak Akar Terorisme
Pada kurun waktu akhir-akhir ini fenomena globalisasi[31] terorisme telah menggejala. Persitiwa tersebut merupakan kelanjutan dari sejarah panjang kekerasan yang terjadi dalam skala domestik (regional). Kemudian karena mengikuti perkembangan zaman maka aksi terorisme menyebar ke seluruh penjuru dunia dengan karakteristik yang berbeda-beda, meski secara khusus ciri utamanya bersifat ideologis. Terlebih pasca serangan pada gedung kembar World Trade Center, menjadi legitimasi negara untuk mengadakan misi “perang global melawan terorisme.”[32] Dengan kata lain peperangan terhadap terorisme tidak lagi hanya menjadi urusan negara tertentu. Namun, terorisme merupakan tanggung jawab moral bersama seluruh umat manusia.
Biasanya ciri utama tindakan terorisme adalah tidak hanya sekedar ingin melakukan kerusakan semata. Namun para pelakunya sebenarnya juga ingin menyampaikan “pesan” dibalik itu semua.[33] Oleh sebab itu, agar pesan tersebut tampak dramatis dan mungkin karena memang keadaan memaksa maka pelakunya rela melakukan aksinya dengan bunuh diri.[34] Di sinilah peran psikologi ada dalam setiap kajian tentang terorisme.
Sebagaimana menurut Crenshaw bahwa Agaknya sangat sulit bila memahami masalah terorisme tanpa menggunakan teori Psikologi. Bagaimanapun, penjelasan tentang masalah terorisme harus dimulai dari analisi dasar dari tujuan teroris (secara pribadi) dan reaksi emosional dari para penontonya.[35] Bisa dikatakan tindakan terorisme yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak bersalah dan tidak terkait langsung dengan tujuan utamanya, merupakan misi yang lebih menakutkan dari pada kerusuhan politik secara terbuka. Bagaimanapun, diperlukan manipulasi psikologis (dengan melakukan training secara intensif) yang lebih kuat untuk penghilangan nilai-nilai moral dalam melakukan tindakan terorisme. Dengan demikian para pelaku tanpa rasa bersalah sanggup menjadi pembantai berdarah dingin terhadap wanita-wanita dan anak-anak yang tidak berdosa.[36] Dapat disimpulkan sebelum mencari sebab secara luas dan sebab-sebab yang ada di luar pelaku terorisme, maka akan jauh lebih penting bila terlebih dahulu melacak motif pribadi dan keadaan psikologi[37] dari pelakunya. Dengan demikian cara pencegahannya pun seharusnya melalui pendekata psikologi.
Selain karena faktor individual,[38] aksis terorisme biasanya juga karena pengaruh kelompok. Sebagaimana menurut Gamson yang dikutip oleh Cernshaw bahwa masalah utama dalam terorisme adalah bila organisasi-organisasi ekstrim menganggap kegiatan terorisme itu sebagai sebuah hal yang membawa manfaat. Dengan aksis teror, mereka berharap bisa terjadi perubahan radikal di masyarakat[39] dari status quo yang lebih bisa memberikan manfaat baru. Padahal bila berpola pikir luas, sesungguhnya terorisme bukanlah jalan satu-satunya bagi pihak yang merasa tidak puas terhadap suatu negara, suatu paham, suatu sistem, dan suatu keadaan. Ada beberapa alternatif lain yang bisa digunakan untuk mencari perhatian publik selain itu. misalnya, menyuarakan “misinya” melalui saluran media massa, melalui organisasi resmi (legal), dan melalui saluran politik. Namun pada kenyataannya aksi terorisme seringkali dijadikan pembenaran[40] dari kegagalan aksi-aksi yang lain. dianggap bahwa tindakan teror merupakan satu-satunya jalan yang efektif[41] dan efisien[42] untuk mencapai tujuan tersebut.[43]

6.      Teror Atas Nama Agama
Idealnya agama berperan dalam memberikan rasa nyaman dan kedamaian pada masyarakat, bukannya teror.  Namun, pada sebagian kasus, agama tidak hanya memberikan ideologi, tapi juga motivasi dan struktur organisasi bagi para pelaku aksi-aksi kekerasan.[44] Kekerasan agama pada masa sekarang ini --serta hampir di setiap kurun perjalanan sejarah-- kerap kali dijustifikasi oleh kejadian historis kekarasan agama pada masa lalu. Bahkan potensi yang terpadu dalam kekerasan agama menyimpan sifat partikularisme pada masing-masing kepentingan sejarahnya.[45] Dengan kata lain “pemahaman” seseorang terhadap agama (beserta sejarahnya) turut bertanggung jawab dalam membangun paradigma baru tentang terorisme kontemporer.
Pada dasarnya terorisme atas nama agama dilakukan oleh sebagian pelaku karena mereka merasa telah mendapat legitimasi dari wahyu Illahi atau telah sesuai dengan nilai Suci[46] Tuhan. Kekuatan dari gagasan tersebut sangat luar biasa dampaknya, hingga mampu melebihi semua klaim otoritas politik pada pemerintahan yang ada dan mengangkat ideologi agama[47] pada tingkat lebih tinggi dari segala-galanya.[48] Keyakinan keagamaan seseorang yang terlalu kuat[49] mampu mengkaburkan sifat individualistik, sehingga mau mengorbankan hidup serta apapun itu demi keyakinannya.[50] Dalam ranah ini, individu merasa tidak lagi punya kekuasaan mutlak, karena hanya keyakinannya (agama) yang mampu mengatur dan menentukan hidupnya.[51] Bahkan bila perlu keluaraga (anak, istri, dan orang tua) dipandang tidak lagi mempunyai hak bagi dirinya, sehingga mereka bisa saja ditelantarkan begitu saja demi keyakinnya tersebut. Dengan kata lain, hanya agamalah yang mampu membuat manusia seperti apapun itu mau untuk melakukan hal-hal diluar “nalar,” melakukan kegiatan fisik keagamaan, dan mau mengorbakan apapun untuk agama (harta, pikiran, dan nyawa).
meskipun semua orang sudah menyadari fenomena tersebut, tapi belum ada yang membedakan karakterisitk antara teror suci (atas nama tuhan) dengan teror politis (sekuler). Hal ini terjadi salah satunya karena, masih ada anggapan bahwa tidak mungkin seseorang melakukan pembunuhan atau bunuh diri karena alasan agama.[52] Para teroris suci atau peaku terorisme agama[53] yakin bahwa tujuan dan cara mereka mendapat restu tuhan, sehingga manusia tidak mempunya hak untuk  mengubahnya. Sementara teroris sekuler memandang tentang masa depan di dunia, maka para teroris suci lebih melihat ke belakang (romantisme sejarah), yakni bisa terwujudnya masyarakat yang sesuai dengan kehidupan awal ketika agama mulai berkembang. Kadang, tujuan dan cara para teroris terlihat begitu jelas dan tegas sehingga para agamawan mendeskripsikan sebagai bentuk tindakah ritual (ibadah) agama.[54]
Dapat disimpulkan bahwa terorisme agama terjadi bisa jadi karena sebagian pemeluk agama mempresepsikan ada kelompok atau negara (pemerintahan) yang cenderung tidak mempedulikan agama bahkan memusuhi agama. Dengan kata lian peran agama terhadap peradaban manusia telah dilecehkan oleh mereka. Bagi kalangan yang menjadi musuh teroris, agama dipandang tidak lagi memberikan solusi tepat bagi kehidupan modern sekarang ini.  Hal inilah yang memicu frustasisme para pemeluk agama[55] untuk melakukan tindakan terorisme atas nama agama. Yakni, dengan tujuan membela Tuhan atau membela agama dari tindakan semena-mena kelompok a atau negara tertnetu.

B.       Pencegahan Terorisme dan Pengembangan Human Security Melalui PAI
Isu dan permasalahan tentang keamanan yang sangat kompleks pada akhir-akhir ini menghasilkan banyak persoalan. Tak pelak, tema tersebut sangat menarik untuk dikaji. Utamanya kasus tentang terorisme, yang menjadi salah satunya bahasan konsep human security.[56] Mengacu pada penjelasalan awal tentang human security yang berfokus pada individu maka pada dasarnya setiap individu memiliki hak untuk hidup aman. Dengan asumsi, bahwa keamanan merupakan satu kebutuhan dasar manusia yang harus terjamin dan dilindungi dari berbagai ancaman.
Konsep tersebut bila dikaitkan dengan peran PAI sebagai basis sekaligus ujung tombak pendidikan Islam, maka PAI harus bisa merekonstruksi “paradigma” atau pemahaman[57] umat Islam supaya bisa menjadi manusia yang damai secara aktif. Artinya, kedamaian yang dicapai bukan hanya dengan tidak melakukan kekerasan (ancaman) terhadap pihak lain. Namun, kedamaian yang benar-benar dilakukan karena umat Islam sebagai mayoritas dan yang kuat dalam segala aspek mampu memberikannya secara totalitas sebagai pengayom pihak lain. Dengan demikian, pihak lain merasa nyaman dan aman dibawah naungan dan jaminan kekuatan umat Islam.
Memang, mengatasi masalah terorisme bukanlah perkara mudah, dengan hanya menangkap dan menghukum pelakunya. Ini merupakan permasalahan kompleks yang tidak hanya berhenti pada masalah pemberantasan terorisme secara kasat mata (fisik). Namun, membutuhkan cara-cara yang tepat salah satunya melalui jalur pendidikan agar secara jangka panjang potensi terorisme tidak terulang lagi di masa datang. Bagaimanpun pemberantasan terorisme secara fisik hanya akan berdampak jangka pendek dan sementara saja, karena bibit-bibit terosime secara ideologi tidak ikut diberantas. Bahkan dimungkinkan nanti, saat yang tepat akan terjadi aksi terorsime yang jauh lebih kejam dari sebelumnya.
Salah satu cara mencegah terorisme secara perorangan adalah melalui latihan membangun konsep “sanksi bagi diri sendiri. Selain itu, pada proses sosialisasi, individu menerapkan standar moral yang berfungsi sebagai penuntun dan pencegah untuk melakukan perilaku tertentu. Dengan asumsi, seseorang melakukan sesuatu demi mendapatkan kepuasan dan pembangunan harga diri di masyarakat.[58] Oleh karena itu, seseorang senantiasa menahan diri untuk tidak bertindak dengan cara-cara melanggar moral mereka sendiri. Bila harus melakukan suatu pelanggaran maka mereka akan merasa bersalah. Jadi, fungsi “sanksi bagi diri sendiri” ini adalah menjaga perilaku agar sesuai dengan standar internal. Dengan demikian, standar moral yang ada di masyarakat tidak berfungsi sebagai pengatur (pengarah) tingkah laku internal secara mutlak. Selain itu, mekanisme pengaturan atau pengendalian diri sendiri melalui sanksi tidak akan berjalan bila diabaikan (tidak difungsikan) begitu saja dan juga ada banyak proses psikologis yang dapat digunakan untuk melenyapkan reaksi moral dalam diri pribadi tentang perilaku yang oleh masyarakat luas disebut sebagai “tidak manusiawi.”[59]
Dari pernyataan tersebut dapat digambarkan sebuah skema tentang manipulasi psikologi seorang teoris sehingga menjadi kejam sebagai berikut:











-   Mencari pembenaran (atas nama moral dan agama)
-   Penamaan (label) yang halus (santun)
-   Pembandingan dengan “teror” yang lain
 

Penafsiran ulang segala konsekuensi yang ada (demi mendapatkan kemanfaatan bersama yang lebih tinggi)
 

-   Dehumanisasi (pengkaburan nilai-nilai kemanusisaan)
-   Pelemparan kesalahan (tanggung jawab)
 



 















Gambar: mekanisme psikologi terosis dalam mengkonstruk pembenaran diri
(skema diadaptasi dari Albert Bandura yang diterjemahkan oleh..... dalam buku.... halaman 206)

Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa pada mulanya teroris menganggap bahwa membunuh orang tidak berdosa itu adalah tindakan tercela (berdosa) dan diluar standar moral. Namun, kemudian untuk mengkaburkan sifat tercela[60] tersebut teroris mencari dan mengumpulkan berbagai dalih pembenaran dengan berbagai cara, termasuk mengkambing hitamkan penyebab pada pihak lain. Dengan kata lain, terjadi penafsiran ulang secara kognitif, sehingga perubatan yang awalnya haram menjadi boleh bahkan wajib untuk dilakukan. Pada akhir terjadi pengkaburan nilai-nilai kemanusiaan. Yakni, mengorbankan nyawa manusia, hingga manusia tidak lagi dianggap sebagai manusia melainkan hanya dijadikan tumbal dan alat perjuangan.
Secara gamblang, Bandura menyampaikan bahwa meskipun standar moral pada setiap individu sama, tapi pengaktifan dan penghilangan (perluasan) kendali diri secara selektif memungkinkan setiap orang melakukan perilaku yang berbeda-beda. Misalnya, dalam proses pengaturan diri sendiri seseorang bisa saja menghilangkan pengendailan moral internalnya (sanksi pribadi), sehingga mau melakukan tindakan destruktif. Hal ini terjadi karena sanksi bagi diri sendiri dihilangkan dengan melakukan penafsiran ulang bahwa perilaku tersebut untuk mencapi tujuan-tujuan moral yang mulai.[61] Akibatnya, seseorang yang melakukan tindakan tidak manusiawi (amoral) bisa saja merasa tidak bersalah karena standar moral mereka telah diperluas maknanya. Dimana yang awalnya membunuh menurut standar moral dan pengendalian pribadinya merupakan tindakan amoral menjadi bernilai moral mulai karena untuk menjalankan misi yang dianggap bertujuan agung.
Adapun pencegahan tindakan terorisme secara kolektif, dalam konteks ini melalui pembelajaran PAI, yaitu dengan melakukan internalisasi nilai-nilai pendidikan anti terorisme. Sebagaimana yang ditawarkan Samani dah Hariyanto yang diambil dari kurikulum karakter negara bagian Georgia sebagai berikut:
1.      Citizenship, terkait kualitas pribadi serta hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Contoh: Hak dan kewajiban dalam pemanfaatan dan pengembangan IPTEK dengan prinsip kemaslahatan umat manusia.
2.      Compassion, kepedulian (empati) terhadap penderitaan orang lain serta mampu menanggapi perasaan dan kebutuhan mereka.
3.      Courtesy, perilaku luhur dan bertutur kata halus sebagai perwujudan rasa hormatnya terhadap orang lain.
4.      Fairness, perilaku adil, sportif, dan terbebas dari favoritisme maupun fanatisme golongan.
5.      Moderation, berpikir kritis sehingga terjauh dari pandangan dan tindakan yang radikal dan eksterm yang tidak rasional.
6.      Respect for other, peduli dan menghormati hak-hak dan kewajiban orang lain.
7.      Respect for the Creator, mensyukuri segala karunia yang diberikan oleh Tuhan Sang Maha Pencipta dan merasa berkewajiban untuk selalu menjalankan perintahNya
8.      Self control, mampu mengendalikan diri dari keterlibatan amarah dan tindakan seseorang.
9.      Tolerance, menerima dan menghargai segala penyimpangan dan kesenjangan antara kepercayaan miliknya dengan kepercayaan yang dimiliki orang lain.[62]
Dari penjelasan di atas dapat dibuat rumusan gambar terkait peran Pendidikan dalam mencegah tindakan terorisme di kemudian hari sebagai berikut:





 










Gambar 1.2: Upaya pemutusan mata rantai terorisme

Dengan demikian, dapat dikatakan peran pendidikan utamanya PAI cukup penting dalam membangun kerangka psikologis peserta didik. Yakni, pemberian materi PAI yang bisa membangun nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan empati . Dengan itu peserta didik akan mampu membangun prinsip kehidupan damai yang mantap di kemudian hari, sehingga tidak mudah dipengaruhi paham-paham yang sesat.[63] Mereka membedakan mana tindakan biadab (tidak manusiawi) dan mana tindakan yang mampu mempertahankan nilai-nilai manusiawi. Misalnya, dalam keadaan damai melakukan penyerangan (kekerasan) terhadap masyarakat sipil merupakan tindakan tidak manusiawi. Namun, mengadakan penyerangan (kekerasan) terhadap musuh yang telah melakukan penyerangan terlebih dahulu bernilai jihad.[64] Bahkan merupakan tindakan manusiawi yaitu demi mempertahankan nilai-nilai kehidupan.
Lebih lanjut, tugas PAI adalah mengakomodir peserta didik sebagai generasi umat Islam[65] yang memiliki potensi (diprediksi) melakukan tindakan agresif dan kriminal (terorisme). Utamanya, bagi mereka yang telah mengalami “kegagalan” dalam mengkonsep kepribadiannya dan yang mengalami benturan psikologis hebat, terutama di masa kecilnya. Cara lain adalah mengkonstruk tindakan dan nilai-nilai[66] terorisme sebagai sesuatu yang tidak memiliki daya tarik sama sekali. Kemudian merubah arah “semangat” beragama mereka menuju hal-hal yang jauh lebih berdampak positif bagi kehidupan seluruh umat manusia. Misalnya dalam bidang ilmu pengetahuan alam memotivasi mereka untuk menciptkan karya yang bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Sebagaimana pernyataan Azyumardi Azra yang dikutip oleh Wahid, bahwa terorisme sebagai kekerasan politik seutuhnya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan agama Islam. bagaimanapun, Islam mengajarkan pada umatnya untuk menekankan nilai kemanusiaan yang universal. Yakni, mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kehormatan yang dilakukan dengan tidak menggunakan jalur kekerasan (terorisme). Di sisi lain agama Islam juga memberikan legitimasi kepada pemeluknya untuk berjuang (jihad), berperang, dan menggunakan kekerasan terhadap para penindas, musuh-musuh Ilsam serta pihak luar yang tidak punya etikat baik untuk hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat Muslim.[67] Bahkan Islam mengajarkan untuk menyayangi nyawa sendiri. Buktinya, Dalam konteks terpaksa, seorang muslim diboleh untuk memakan daging babi di hutan belantara terpencil yang tidak ada lagi sumber makanan selain itu. Hal itu dilakukan agar nyawa bersangkutan bisa terselamatkan. Artinya, Islam menghargai setiap nyawa khususnya umat Islam. Konsep tersebut sangat berbeda dengan konsep bunuh diri yang dilakukan teroris.



Daftar Rujukan



“Definition of Human Security,” dalam http://www.humansecurityinitiative.org/definition-human-security, 28 Februari 2011, diakses tanggal 25 Desember 2014.

“Human Security dalm Respon Internasional Terhadap Upaya Penyelesaian Masalah Penculikan di Nigeria oleh Boko Haram,” https://www.academia.edu/9326937/HUMAN_SECURITY_dalam_Respon_Internasional_Terhadap_Upaya_Penyelesaian_Masalah_Penculikan_Di_Nigeria_oleh_Boko_Haram, diakses tanggal 20 Desember 2014.

Human Security Makin Jadi Model Perdamaian,” dalam  http://www.pelita.or.id/baca.php?id=56862, diakses tanggal 31 Desember 2014.

“Human Security,” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Human_security, diakses tanggal 25 Desember 2014.

“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.

“Kontra Terorisme: Perlu Perubahan Paradigma Menuju Human Security,” dalam http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,19992-lang,id-c,warta-t,Perlu+Perubahan+Paradigma+Menuju+Human+Security-.phpx, 11 November 2009, diakses tanggal 31 Desember 2014.

“Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,” dalam http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/pp55tahun2007.pdf, didownload 22 Desember 2014.

“Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014.

Bandura, Albert. “Mekanisme Merenggangnya Moral,” dalam Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Crenshaw, Martha. “Pertanyaan yang harus dijawab, riset yang harus dikerjakan, pengetahuan yang harus diterapkan,” dalam , “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” dalam Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Echols, John M.dan Hassan Shadily, Kamus Inggirs-Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2013.

Fathuddin, Syukri. “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman. Yogyakarta: UNY Press, 2008.

Hammad, Suhailah Zain al-Abidin. “Bagaimana Mengatasi Terorisme,” dalam Irhaab, Asbaabuhu, Ahdaafuhu, Manaabi’uhu, wa ‘Illa juhu, terj. Nasruddin Atha’. Jakarta: Zikrul Hakim, 2005.

Juergensmeyer, Mark. “Terorisme Para Pembela Agama,” dalam Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. Amien Rozany Pane. Yogyakarta: Tarawang, 2003.

Kosim, Muhammad. “Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural,” dalam Pendidikan Agama Islam dalam Prespektif Multikulturalisme, ed. Zainal Abidin dan Neneng Habibah. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009.

Luqman Hakim, Terorisme di Indonesia. Surakarta: Forum Studi Islam Surakarta, 2004.

Merari, Ariel. “Kesediaan untuk membunuh dan terbunuh: terorisme bunuh diri di timur tengah,” dalam “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” dalam Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Naim, Ngainun. Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman. Yogyakarta: Teras, 2011.

Post, Jerrold M. Psiko-logika Teroris: Perilaku Teroris Sebagai Hasil Tekanan Psikologis,” dalam Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Rapoport, David C.Teror Suci: Contoh Terkini dari Islam,” dalam Walter Reich, “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” dalam Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Reich, Walter. “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” dalam Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Salam, Moch. Faisal. Motivasi Tindakan Terorisme. Bandung: Mandar Maju, 2005.

Taufiq, Muhammad. Terorisme dalam Demokrasi. Solo: Law Firm, 2005.

Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis Filosofis, dan Spiritualitas. Malang: UMM, 2008.

Tuman, Joseph S. Communicating Terror: The Rhetorical Dimensions of Terrorism. California: Sage, 2003.

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003), hlm. 7.

Wahid, Abdul. dkk. Kejahatan Terorisme: Prepektif Agama, HAM, dan Hukum. Bandung: Refika Aditama, 2004.

Waluyo, Sapto. Kontra-Terorisme: Dilema Indonesia Era Transisi. Jakarta: Media Center, 2009.

Wibowo, Ari. Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Wiyani, Novan Ardy. “Pendidikan Agama Islam Berbasis Anti Terorisme di SMA,” dalam http://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/13465004/4_jurnal_pi_2-1_novan_ardi_wiyani.pdf, Jurnal Pendidikan Islam Vol. I. No. 2 Desember 2012, hlm 75, didownload 20 Desember 2014.


[1]Konsep Human Security seharusnya dijadikan norma (nilai) masyarakat sehingga menjadi bagian moral luhur yang dijunjung tinggi masyarakat. Artinya, setiap individu pada masyarakat harus menggunakan prinsip ini sebagai pedomannya dalam menjalani hidup.
[2]Faktor human security dalam pergaulan sesama manusia sebagai gambaran tentang pentingnya suatu kebebasan atas setiap individu. Oleh sebab itu, semua kategori ancaman yang datang terhadap individu akan dinilai sebagai ancaman keamanan secara global.
[3]Apabila dijabarkan maka sumber permasalah generasi muda adalah termarginalkannya aspek pendidikan dan ketidakkomitmenan dalam menjaga prinsip dan materi pendidikan Islam. Utamanya dalam hal kecerdasan spiritual, emosi, moral, rasional, dan sosial. Selain itu, tidak adanya dialog antara masing-masing anggota dalam rumah tangga. Di mana titah mutlak orang tua kepada anakya sangat mencolok tanpa terlebih dahulu memahami (peka) terhadap perasaan dan perubahan mereka.  Serta hal yang paling urgen adalah hilangnya peranan masjid dalam mengarahkan generasi muda. di mana hampir tidak didapati pengajian yang diselenggarakan khusu kalangan muda. Faktor ini mungkin disebabkan karena ketidakmampuan pendakwah dalam mencermati problem riil generasi muda. Lihat, Suhailah Zain al-Abidin Hammad, “Bagaimana Mengatasi Terorisme,” dalam Irhaab, Asbaabuhu, Ahdaafuhu, Manaabi’uhu, wa ‘Illa juhu, terj. Nasruddin Atha’ (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005), hlm. 115-116.
[4]Dalam keadaan situasi global dan masalah terorisme seperti sekarang ini, untuk mengatasinya harus merubah strategi. Yakni, dari kebijakan hard power atau kekerasan bersenjata menjadi human security atau keamanan manusia dengan kerjasama jaringan masyarakat global. Sedangkan untuk kalangan internal Islam sendiri untuk menanggulangi aksi terorisme seharusnya ada pengembangan makna jihad Islahiyyah. Misalnya melakukan pengembangan ekonomi, pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Lihat, “Kontra Terorisme: Perlu Perubahan Paradigma Menuju Human Security,” dalam http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,19992-lang,id-c,warta-t,Perlu+Perubahan+Paradigma+Menuju+Human+Security-.phpx, 11 November 2009, diakses tanggal 31 Desember 2014.
[5]Selama ini konsep human security oleh umat Islam masih diterapkan hanya dilokalisir untuk sesama umat Islam sendiri. Padahal, ajaran Islam memerintahkan untuk menjamin kemananan “manusia” lain.
[6]Definisi terorisme sampai saat ini masih menimbulkan perbedaan pendapat. Kompleksitas masalah yang terkait dengannya mengakibakan pengertian terorisme dipahami secara berbeda-beda. Walter Laqueur mengkaji setidaknya lebih ari seratus definisi terorisme. Dari temuan itu, disimpulkan bahwa terorisme memiliki ciri utama yaitu digunakannya ancaman kekerasan dan tindak kekerasan dan umumnya didorong oleh motivasi politik atau sebagai lain juga karena fanatisme keagamaan. Lihat, Luqman Hakim, Terorisme di Indonesia (Surakarta: Forum Studi Islam Surakarta, 2004), hlm. 9-10.
[7]Wahid dkk. menerangkan bahwa kata terorisme berasal dari bahasa latin “terrere” yang berarti membuat atau menimbulkan gemetar atau menggetarkan (kecemasan). Secara konsep dasar, istilah terorisme lebih berkonotasi sangat sensitif karena terorisme menghalalkan pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.Hingga kini belum ada definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Masing-masing kelompok (negara) mendefiniskan terorisme menurut kepentingan dan keyakinan mereka sendiri untuk mendukung semua aspek kepentingannya. Lihat, Abdul Wahid, dkk. Kejahatan Terorisme: Prepektif Agama, HAM, dan Hukum (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm. 22.
[8]Pendefinisian terorisme tidak mencapai kesepakatan secara bulat dalam lingkup global karena ada beberapa pihak yang melihat dan memaknai permasalahan terorisme dari sudut pandang kepentingan masing-masing. Lihat, Moch. Faisal Salam, Motivasi Tindakan Terorisme (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm. 3.
[9]Karena definisi terorisme yang tidak utuh dan tunggal maka banyak kalangan tertentu dengan mudah menyatakan seseorang sebagai teroris dan seseorang yang lain bukan teroris. Meskipun keduanya sama-sama melakukah hal yang sama yaitu menteror, melakukan, kekerasan, pelanggaran etika, dan melakukan pelanggaran hukum. Dengan kata lain, definisi atau pelabelan teroris sangat tergantung pada sejauh mana kemampuan komunitas dalam mempengaruhi opini publik. Lihat, Muhammad Taufiq, Terorisme dalam Demokrasi (Solo: Law Firm, 2005), hlm. 22. Oleh karena itu, tugas lembaga pendidikan adalah membentuk opini pulbik tentang agama Islam yang rahmatalillalimn, yang tidak gemar melakukan kekerasan, dan mempunyai peradaban yang unggul. Hal itu untuk menangkis stereotip tentang Islam yang menyebar di barat. Bisa jadi masyarakat barat memang tidak tahu hakikat agama Islam yagng sesungguhnya, maka dari itu tugas lembaga pendidikanlah yang memperkenalkan Islam yang benar kepada masyarakat luas yang masih buta tentang kebenaran Islam.
[10]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[11]Joseph S. Tuman, Communicating Terror: The Rhetorical Dimensions of Terrorism (California: Sage, 2003), hlm. 5.
[12]Menurut Kosno Adi sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Wahid, dkk. bahwaTerorisme merupakan suatu kejahatan yang unik. Terdapat banyak hal yang membedakan antara terorisme dengan bentuk kejahatan biasa. Dalam tindakan terorisme biasanya sering terjadi unsur radikalimse (ekstrim), adanya tujuan tertentu, penggunaan teknologi tertentu dalam setiap rencanaya, dan gerakan dilakukan secara tertutup. Lihat, Wahid, dkk. Kejahatan Terorisme: Prepektif, 40.
[13]Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, hlm. 1.
[14]Abdul Wahid, dkk. Kejahatan Terorisme: Prepektif, hlm. 33
[15]Dampak terorisme antara lain:  Kerusakan sarana prasarana: jalan raya, gedung, instalasi listrik serta telepon, korban jiwa, serta dampak “limbah” yaitu ekonomi (sektor pariwisata, perdangang, perbankan, perhotelan, dan devasi negara turun). Secara rinci Abullah Sumrahadi sebagaimana dikutip Wibowo menyebutkan aksi terorisme dapat menyebabkan malapetaka secara kompleks, antara lain: (a) Kehidupan sosial dan masyarakat menjadi tertekan, sehingga hak individu maupun kelompok terganggu (b) Kerusakan sendi-sendi politik, politik dijadikan sebagai media utuk melakukan kejahatan (c) Kehidupan ekonomi menjadi terganggu, karena sentimen pasar dipengaruhi oleh kondisi politik dan keamanaan nasional dan internasional (d) Lunturnya nilai-nilai kedamaian dan kearifan lokal karena masyarakat terlarut dalam suasana anarkis (e) Lunturnya idependensi agama sebagai jalan pembebas dari penindasaan, karena agama dijadikan motif (kambing hitam) tindakan terorisme. Lihat, Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 75-77.
[16]“Definition of Human Security,” dalam http://www.humansecurityinitiative.org/definition-human-security, 28 Februari 2011, diakses tanggal 25 Desember 2014.
[17]John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggirs-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2013), hlm.  306 dan 509.
[18]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[19]“Human Security,” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Human_security, diakses tanggal 25 Desember 2014.
[20]“Definition of Human,” diakses tanggal 25 Desember 2014.
[21]Menurut Habib Chirzin, “perdamaian positif (\"positive peace\") tidak hanya berarti tidak adanya perang atau konflik bersenjata, tetapi terpenuhinya semua hak-hak dasar manusia untuk hidup dalam sistem kemasyarakatan dan kenegaraan yang demokratis sesuai dengan harkat dan martabat manusia.” Lebih lanjut ia mengatakan “Ketua Commission on Human Security (2003) Dr Sadako Ogata, mengemukakan, keharusan mengubah paragdigma keamanan dari berpusat pada Negara (state centric) menjadi berpusat pada individu manusia.” Dengan kata lain “masalah perdamaian dan keamanan bukanlah sekedar mengenai perang dan konflik, tapi juga mengenai kemiskinan, penyakit dan kerusakan lingkungan, kata Habib Chirzin mengutip Sekjen PBB Koffi Annan (2005). Di bidang keamanan pangan, ia mengatakan, jika tidak hati-hati menangani pangan maka akan menyebabkan banyak kematian dan bisa juga berujung kepada perang..” Lihat, “Human Security Makin Jadi Model Perdamaian,” dalam  http://www.pelita.or.id/baca.php?id=56862, diakses tanggal 31 Desember 2014.
[22]Nilai nasionalisme di sini adalah nilai-nilai dalam menjaga keutuhan dan keamanan bangsa yang didasarkan pada peraturan Undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, umat Islam sebagai warga negara harus patuh terhadap undang-undang yang ada di Indonesia –perlu penjabaran panjang untuk menjelaskan mengapa harus patuh. Tapi, pada intinya UUD 1945 tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Salah satu amanatnya adalah pada pasal  28J ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. serta dalam Pasal 28E ayat 1 dan 2 serta Pasal 28I ayat 1. Lihat, “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014.
[23]Generasi muda yang tidak berani melakukan ijtihad (pengembangan diri) hanya akan memperlakukan agama sebagai alat pencapai kepentingannya. Aspek pragmatisme dan hedonisme lebih dimenangkan dibandingkan dengan melakukan kajian mendalam tentang filosofi sosial keagamaan. Implikasinya, agama gagal memasuki wilayah pemikiran progresif, dan stagnan berkutat dalam ekslusivisme. Artinya, telah terjadi pragmatisme agama yaitu melakukan kegiatan atas nama agama tapi kenyataannya hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri.
[24]Syukri Fathuddin, “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman (Yogyakarta: UNY Press, 2008), hlm. 130.
[25]Beberapa prinsip etika dalam al Quran menurut Hendar Riyadi sebagaimana dikutip Naim terkait hubungan sosial antar umat beragama meliputi, egalitarianisme, prinsip keadilan, prinsip toleransi, prinsip saling menghormati (bekerjasama dan berteman), prinsip ko-eksistensi damai, dan dialog yang arif-konstruktif-transformatif. Lihat, Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 53-55.
[26]Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis Filosofis, dan Spiritualitas (Malang: UMM, 2008), hlm. 49-50.
[27]Ibid., hlm. 153.
[28]Muhammad Kosim, “Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural,” dalam Pendidikan Agama Islam dalam Prespektif Multikulturalisme, ed. Zainal Abidin dan Neneng Habibah (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), hlm. 219.
[29]Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003), hlm. 7.
[30]“Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,” dalam http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/pp55tahun2007.pdf, didownload 22 Desember 2014.
[31]Terorisme sekarang ini mengalami sebuah perkembangan, salah satuya adalah cakupan wilayahnya tidak lagi terpusat pada suatu negara tertentu. Namun saling terkait dengan teroris-teroris di negara lain (terorganisi secara global), sehingga melampaui berbagai aspek kehidupan dan batas-batas antar negara. oleh karena itu pantas bila tindakan terorisme digolonkan sebagai salah satu dari trans national crimes. Di mana, tindakan kekerasan tersebut dilakukan tidak hanya dimotifkan untuk ‘menggertak’ keadaan politik lokal (nasional), akan tetapi telah memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan manusia. Lihat, Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, hlm. 1.
[32]Sapto Waluyo, Kontra-Terorisme: Dilema Indonesia Era Transisi (Jakarta: Media Center, 2009), hlm. 3.
[33]Menurut Merari, terkait motif bunuh diri dalam tindakan terorisme ada tiga sumber kerancuannya. Di antaranya, pembedaan antara kesiapan untuk mati dengan mencari kematian. Selanjutnya, kesulitan membedakan antara orang yang ingin mati dengan orang yang sebenarnya tidak ingin mati namun ditipu oleh teroris “senior” untuk melaksanakan misi teror yang sebenarnya sangat mematikan. Serta keragaman kontek situasional dari tindakan bunur diri, yaitu membedakan antara teoris yang hanya membunuh dirinya sendiri dengan yang bunuh diri untuk membunuh orang lain. Lihat, Ariel Merari, Kesediaan untuk membunuh dan terbunuh: terorisme bunuh diri di timur tengah,” dalam “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” dalam Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 249.
[34]Pernyataan tersebut sebagaimana menurut merari bahwa “kebudayaan pada umumnya dan agama khususnya menjadi unsur yang relatif tidak penting dalam fenomena terorisme bunuh diri. Bunuh dirinya teroris, seperti kasus bunuh diri lainnya, pada pokoknya lebih merupakan perbuatan perseorangan dibandingkan fenomena kelompok, yakni perbuatan ini dilakukan oleh orang-orang yang ingin mati karena alasan-alasan pribadi. Kerangka teroris hanyalah menawarkan alasan (bukan dorongan yang sebenarnya) untuk melakukannya dan legitimasi untuk bisa dilakukan melalui cara kekerasan.” Ibid. hlm. 266.
[35]Martha Crenshaw, Pertanyaan yang harus dijawab, riset yang harus dikerjakan, pengetahuan yang harus diterapkan,” dalam , “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” dalam Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 319.
[36]Albert Bandura, Mekanisme Merenggangnya Moral,” dalam Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 208.
[37]Menurut W. Laqueur (1987) dan O. Kernberg (1975) sebagaimana yang dikutip oleh Post bahwa karakteristik teroris secara ciri kepribadiannya cenderung pada tindakan agresifisme yang peka pada rangsangan dan pencari kegembiraan. Mekanisme psikologis yanng mengalami gangguan kepribadian narsistik dan berkepribadiaan ganda. Tentu hal ini tidak berlaku bagi seluruh pelaku terorisme, tapi terkesan nyata bahwa mekanisme tersebut sering kali ditemukan pada kalangan teroris. Di mana diantara mereka satu sama lain terdapat keseragaman gaya retorika dan psikologika. Yakni, melemparkan bagian tak bermoral dan yang dehumanisasi dari dalam dirinya ke lingkungan antar manusia serta mengkambinghitamkan musuh di luar dirinya. Kemudian karena ketidakmampuan mengatasi kelemahaan dan keterbatasannya sendiri, individu dengan jenis kepribadian ini membutuhkan sasaran lain untuk disalahkan dan diserang demi menutupi kelemahan dan ketidak mampuannya sendiri. Keterbelahan kepribadian[37] ini terjadi bisa saja karena pada masa perkembangan kepribadian mereka (utamanya masa kecil) mengalami gangguan, sehingga terjadi luka narsistik. Lihat, Jerrold M. Post, Psiko-logika Teroris: Perilaku Teroris Sebagai Hasil Tekanan Psikologis,” dalam Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm.30.
[38]Latar belakang kehidupan pelaku terorisme berdasarkan penelitian Clark (1981-1984) sebagaiman dikutip Post adalah pertama berasal dari keluarga yang berantakan: yatim, korban perceraian, dan mengalami konflik hebat dengan kelurga. Kedua, adanya kegagalan dalam mengasuh, baik secara edukasional dan vokasional (kegagalan pendidikan). Ketiga, secara sosiologis termarginalkan (berdasarkan penelitian Clark. Lihat, Ibid. 31-33.
[39]Dalam sistuasi tertentu, suatu organisasi teroris (radikal) mungkin percaya bahwa sebenarnya sebagian masyarakat mendukung tindakan mereka, meski masyarakat pendukung tidak berani menunjukkan diri. Kenyataannya, pendukung laten ini jumlahnya tidak dapat diprediksi atau dimobilisasi untuk melakukan aksi “damai.” Kondisi semacam ini membuat kaum radikal menjadi frustasi, sehingga bisa membangkitkan harapan yang tidak realistis (utopis). Dapat dikatakan dalam kasus ini telah terjadi kesalahan presepsi terhadap realitas yang ada sehingga bisa melahirkan harapan baru yang tidak realistis. Lihat, Crenshaw, Pertanyaan yang harus,” hlm. 11.
[40]Alasan kaum radikal melakukan tindakan terorisme dari pada menggunakan pilihan lainnya karena jumlahnya terlalu kecil dan adanya kendala waktu. Di mana para teroris tidak sabar (Adanya tekanan psikologis, perintah dari pimpinan, tuntutan dari para pengikut, dan kompetesi dari pesaing yang menjadi rintang untuk melakukan pemikiran strtegis, jernih, dan berjangka panjang.) untuk segera mewujudnkan tujuannnya. Serta  adanya target-target yang menggoda sebagai objek tindakan terorisme.Lihat, Ibid. hlm 11-12.
[41]Terorisme merupakan alat (senjata) penyambung lidah yang ampuh sekaligus satu-satunya kekuatan dari pihak yang lemah dan sedikit jumlahnya terhadap pihak yang kuat dan berjumlah banyak. Hal ini tentu akan berbeda dengan pihak yang meski sedikit jumlahnya tapi punya pengaruh dalam sektor kehidupan tertentu (misalnya ekonomi dan politik) yang kuat.
[42]Terorisme merupakan sebuah metode kekerasan yang sangat ekonomis dibandingkan dengan cara lainnya yang membutuhkan logistik lebih banyak.
[43]Crenshaw, Pertanyaan yang harus,” hlm. 7-8.
[44]Mark Juergensmeyer, “Terorisme Para Pembela Agama,” dalam Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. Amien Rozany Pane (Yogyakarta: Tarawang, 2003), hlm. 6.
[45]Juergensmeyer, “Terorisme Para Pembela,” hlm. 8-9.
[46] “perkembangan yang paling menarik dan tak diduga akhri-akhri ini adalah kebangkitan aktivitas teroris untuk mendukung tujuan agama atau teror yang dilegalkan secara teologis. Ini adalah sebuah fenomena yang dapat disebut sebagai teror “suci” atau “sacral.” Lihat, David C. Rapoport, Teror Suci: Contoh Terkini dari Islam,” dalam Walter Reich, “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” dalam Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, terj. Sugeng Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 131-132. Yakni, teror yang dilakukan dengan mengatasnamakan agama, menunjukkan identitas keagamaan, dan sasaran kepada komunitas agama tertentu.
[47]Fungsi kekerasan dalam agama disini tidak nhnya untuk memberi kekuasaan dan keberdayaan individu serta cita-cita ideologi mereka. Namun, juga mengentaskan geraka-gerakan agama marginal pada posisi kekuasaan yang berhadap-hadapan dengan pesaing-pesaing moderat mereka. Lihat, Juergensmeyer, “Terorisme Para Pembela Agama,” hlm. 332.
[48]Ibid. hlm. 325.
[49]Dilakukan secara berlebih-lebihan atau melebihi batas kewajaran.
[50]Selain karena faktor keyakinan (agama) yang dalam memaknainya terlalu berlebih-lebihan, faktor tekanan psikologis, kebencian, balas dendam, dan reaksi atas penindasan atau kekejaman juga menjadi alasan mengapa seseorang mau mengorbankan nyawa, harta, dan kehormantannya. Perbedaannya adalah faktor keyakinan kegamaan meberikan nilai-nilai suci (transendental) pada gagasan terorisme, sehingga apa yang dikorbankan sepenuhnya dilakukan secara sukarela tanpa tekanan. Sedangkan faktor selain keyakinan merupakan sebuah pilihan “rasional” untuk melakukan terorisme karena pengaruh psikologis. Lihat, Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, hlm. 67.
[51]Ibid. hlm. 67.
[52]Rapoport, Teror Suci: Contoh,” hlm. 135.
[53]Menurut Juergensmeyer “terorisme agama adalah bahwa ia secara ekslusif bersifat simbolik, dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa dramatis. Tetapi, tampilan atau pertunjukkan kekerasan yang sangat mengganggu dibarengi dengan klaim justifikasi moral (moral justification) dan absolutisme yang amat kuat, dicirikan melalui intensitas komitmen para aktivis agama dan jangkauan transhistoris (transhistorical scope) tujuan mereka. Lihat, Juergensmeyer, “Terorisme Para Pembela,” hlm. 326.
[54]Walter Reich, “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” dalam Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, terj. Sugeng Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 152.
[55]Yang melandasi terjadinya tindakan terorisme  oleh suatu kelompok biasanya disebabkan adanya pandangan kosmis dalam agama tertentu tentang kejadian perang. Dengan kata lain, pelaku terorisme biasanya menjadikan ajaran agama dipakai sebagai pembenaran tindakan kekerasan. Di mana, kekerasan yang dilakukan menjadi dalih untuk penegakan kebenaran dan melenyapnya sistem aturan (norma) yang kacau. Lihat, Salam, Motivasi Tindakan Terorisme , hlm. 6.
[56]UNDP merumuskan human security dalam beberapa komponen sebagai berikut: (1) keamanan ekonomi (assured basic income), (2) keamanan pangan (physical and economic access to food), (3) keamanan kesehatan (relative freedom from disease and infection), (4) keamanan lingkungan (access to sanitary water supply), (5) keamanan sosial (security of cultural identity), (6) keamanan individual (security from physical violence and threat), dan (7) keamanan politik (protection of basic human rights and freedom). Lihat, “Human Security dalm Respon Internasional Terhadap Upaya Penyelesaian Masalah Penculikan di Nigeria oleh Boko Haram,” https://www.academia.edu/9326937/HUMAN_SECURITY_dalam_Respon_Internasional_Terhadap_Upaya_Penyelesaian_Masalah_Penculikan_Di_Nigeria_oleh_Boko_Haram
[57]Sebuah tindakan yang gegabah bila mencampuradukan permasalah (kepentingan) dengan menuduh kurikulum keagamaan beserta lembaga pendidikannya sebagai “satu-satunya” yang bertanggung jawab atas terjadinya tindakan terorisme. Ada faktor lain, yang perlu dipelajari salah satunya adalah pemahaman yang keliru terhadap al Quran (saat diluar lembaga pendidikan) yang menjadikan generasi muda Muslim menjadi mudah diperdaya untuk melakukan tindakan terorisme. DI mana secara serta merta tindakan tersebut sebenarnya dapat menghancurkan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, tidaklah benar bila ada asumsi yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan Islam turut menyemangatai tindakan terorisme. Lihat, Hammad, “Bagaimana Mengatasi Terorisme,” hlm. 156-157.
[58]Dalam mengatasi terosrisme masyarakat diharuskan supaya mengembagnkan cara-cara  dalam menyelesaikan masalah ideolgi, sosial, kebenaran, dan ketidakadilan. Tentu semua itu dilakukan tanpa adanya kekerasan, otoritarisme, dan pemaksaan. Salah satu caranya adalah dengan menghidupkan “ruang publik” yang manusiawi (beradab) sebagai modal utama dalam mengatasi ketimpangan. Baik dalam bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya yang diselenggarakan secara terbuka, toleran, dan beradab.  Dengan demikian setiap warga negara mempunyai hak yang sama tanpa diskriminasi berdasarkan dalam bidang apapun untuk berpartisipasi, dihargai, dan diberi tempat. Wahid, dkk. Kejahatan Terorisme: Prepektif, hlm. 45-46.
[59]Bandura, Mekanisme Merenggangnya Moral,” hlm. 205.
[60]Terjadi penafsiran ulang secara kognitif, sehingga perbuatan yang awalnya haram
[61]Bandura, Mekanisme Merenggangnya Moral,” hlm. 205-206.
[62]Novan Ardy Wiyani, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Anti Terorisme di SMA,” dalam http://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/13465004/4_jurnal_pi_2-1_novan_ardi_wiyani.pdf, Jurnal Pendidikan Islam Vol. I. No. 2 Desember 2012, hlm 75, didownload 20 Desember 2014.
[63]Bisa jadi nilai-nilai atau bibit tindakan terorisme yang terbangun dan terbentuk bukan saat masa pendidikan berlangsung, tapi setelah melalui proses itu. Yakni, ketika mereka mulai berkomunikasi secara intents dengan para “pencuci otak” serta pelaku atau pendukung tindakan terorisme. Oleh karena itu, keselahan lembaga pendidikan dalam masalah terorisme tidak bisa dikatakan terlibat secara langsung. namun, mereka telah gagal dalam mencegah generasi muda untuk tidak melakukan tindakan terorisme di kemudian hari. Lembaga pendidikan telah gagal mengkonstruk (melakukan pendoktrinan) tentang mana kekerasan yang tidak dibolehkan agama dan mana kekerasan  yang dibolehkan oleh agama pada kondisi tertentu.
[64]Selain itu untuk mengobarkan semangat jihad pada generasi muda, selama masa damai maka energi “jihad” digunakan untuk hal-hal yang lain. misalnya untuk menuntut ilmu pengetahuan umum dan untuk kegiatan yang lainnya sehingga peradaban islam bisa terbangun dengan utuh dan sesuai dengan jalan ajarannya.  Artinya, umat Islam tidak perlu menggunakan cara kekerasan sebagai reaksi dari agresifitas pemikiran di luar Islam. baru ketika unsur di luar Islsam melakukan agresifitas fisik umat Islam berkewajiban untuk melakukan pembelaan dengan reaksi fisik pula (kekerasan).
[65]Generasi muda umat Islam harus mendapatkan perhatian besar dalam dunia Pendidikan. Bagaimanapun mereka adalah penerus generasi umat Islam untuk menciptkan peradaban yang lebih unggul dari sebelumnya.  Mereka harus dibekali cara untuk menangkal diri dari tindakan-tindakah konyol seperti aksi terorisme, tindak kriminalitas, prakte asusila, irrasionalitas, dan hidup dalam ketidaksadaran (ketidakpastian). Namun kenyataannya, masyarakat Islam kurang peduli terhadap masa depan mereka terutama dalam aspek pendidikannya. Lihat, Hammad, “Bagaimana Mengatasi Terorisme,” hlm. 114.
[66]Nilai-nilai dasar kelompok teroris menekankan pada kelanggengan kekerasan dan  lebih memilih keputusan-keputusan yang lebih berisiko. Menurut Janis sebagaimana yang dikutip Post, bahwa kelompok teroris telah menunjukkan identitas “nilai dasar kelompok,” di antaranya sebagai berikut: (a) Ilusi-ilusi tentang kesaktian yang mengakibatkan optimiskme berlebihan dan pengambilan resiko yang terlalu besar. (bila dikontekskan sekarang adalah adanya ilusi tentang ganjaran mendapat bidadari di surga) (b) Moralitas kelompok yang harus dijunjung. (c) Presepsi tunggal tentang musuh sebagai pihak yang bersalah (sebagai setan) (d) Terorisme sebagai tantangan bagi anggota kelompok untuk  melaksanakan tugas suci “terorisme” sebagai keyakinan kunci. Lihat, Post, Psiko-logika teroris: perilaku,” hlm. 42.
[67]Wahid, dkk. Kejahatan Terorisme: Prepektif,  hlm. 41-42.



Who is a Terrorist? (Sumber gambar republika)




Baca tulisan menarik lainnya: