MASALAH TERORISME DAN PENGEMBANGAN HUMAN SECURTY MELALUI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BAB I
Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang berperadaban,
berbudi, dan memiliki konstruk cita-cita. Pernyataan ini memang benar bila
dibandingkan dengan makhluk lain yang peradabannya cenderung statis. Kenyataannya,
dalam konteks lain ada pula manusia yang tidak beradab, tidak berbudi, dan
tidak punya konstruk cita-cita mulia. Penilaian tersebut muncul setelah
diperbandingan dengan perilaku manusia lain yang dikatakan lebih beradab, lebih
berbudi luhur, dan punya cita-cita yang mulia. Misalnya adanya pelabelan
manusia sadis, manusia perusak, dan manusia tak beradab karena tindakannya yang
anti human securty. Yakni, manusia
yang menafikkan hak, keamanan, dan kehidupan manusia lainnya demi mewujudkan
kepentingannya.
Dalam sudut pandang aksi terorisme, konsep human securty
sangat relevan digunakan sebagai pencegah. Asumsinya, setiap manusia akan
peduli bahkan ikut menjaga keamanan manusia lainnya. Hal itu berarti terjadi
saling percaya, memiliki, mengasihi, dan adanya dialog antar manusia satu
dengan yang lain untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan. Tidak ada lagi
sekat pembatas apapun itu wujudnya antara manusia satu dengan yang lain untuk
saling berdialog. Pada akhirnya, manusia satu menghormati manusia yang lain,
sehingga terjadi komunikasi yang seimbang dan saling mengisi. Di sinilah akan
terjadi persamaan derajat, hak, dan kewajiban antara manusia satu dengan
manusia yang lain. Tidak ada yang merasa tertekan dan menjadi korban akibat
kerakusan manusia lainnya.
Dalam konteks Indonesia, pada beberapa waktu lalu
aksi terorisme sebagai salah satu bentuk anti human securty telah mengkhawatirkan keamanan bangsa. Meski
akhir-akhir ini mulai menurun, tapi potensi timbulnya kembali masih cukup
besar. Hanya menunggu waktu yang tepat dan situasi yang memungkinkan untuk
muncul kembali. Potensi ini bukan hanya dari segi sumber daya finansial dan
sumber daya peralatan yang tersedia banyak. Tapi yang patut diperhatikan adalah
potensi generasi muda yang kelak mau melakukan aksi terosime. Bahkan bisa juga
suatu saat akan menjadi pengkader dan pencari “bakat” untuk melaksanakan misi
terorisme.
Sebagaimana yang telah banyak diketahui, bahwa
sebagian besar pelaku teorisime di Indonesia adalah warga Indonesia. Bahkan
sebagian merupakan pemuda usia sekolah dan
kuliah. Atas dasar itu, wajar ketika ada suatu pertanyaan besar apa yang salah
dengan pola pendidikan Indonesia? Mengapa jaringan pendidikan Indonesia gagal
dalam mendidik generasinya sehingga menjadi peka terhadap konsep human security? Lebih rinci lagi,
bagaimana peran Pendidikan Islam dalam membangun budaya human security sebagai pedoman umat Islam untuk bergaul dengan
masyarakat global?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya
sebagai upaya penggugah terhadap guru PAI agar lebih giat dalam pengembangan
konsep human security di lembaga
masing-masing. Mengingat, banyaknya kasus ketidakpedulian atau acuh tak acuh
peserta didik terhadap manusia lain mengakibatkan mereka rentan melakukan
tindakan negatif terhadap sesama. Termasuk salah satunya melakukan tindakan
teorisme.
Asumsinya, seharusnya peserta didik diajak lebih peka terhadap keberadaan
manusia lain, menghargai nyawa mereka, menghormati hak-hak mereka, dan bisa
bekerja sama secara produktif dengan the
other.
Hal ini perlu dilakukan karena selama ini PAI
masih mengusung “misi” tersembunyi seperti semangat primodial,
ritualitas, hegemoni simbol, dan menafikkan komunitas lain. Kenyataannya,
semangat membanggakan diri yang seharusnya hanya pada ranah ketauhidan (aqidah
Islam) dan taqwa, meluas menjadi ingin menunjukkan kekuatan. Terlebih lagi,
bila kekuatan yang ditunjukkan bukanlah kekuatan pengembangan ilmu pengetahuan.
Akan tetapi kekuatan yang bersumber dari keyakinan dan tubuh semata. Akibatnya,
kekuatan tersebut tidak mendatangkan kemaslahatan malah menjadi ancaman bagi
sebagaian masyarakat.
Berangkat dari pembahasan di atas, dapat
disimpulkan dalam pendidikan –utamanya pendidikan Islam-- perlu adanya pengembangan
konsep human security. Dalam
prakteknya, tentu konsep harus dikaitkan nilai-nilai keuniversalan yang ada
dalam ajaran Islam. Salah satunya, nilai Islam yang menjaga dan menjamin
nilai-nilai kemanusian seluruh umat manusia. Dengan kata lain, dalam bersaing
dan menghadapi kehidupan ini umat Islam sejak dini harus dididik supaya
melakukannya dengan cerdas dan elegan. Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa
konsep pengembangan pendidikan yang secara detail akan dipaparkan dalam makalah
ini.
2. Batasan Masalah dan
Topik Pembahasan
Agar pembahasan makalah ini konsisten pada fokus
persoalannya, maka diperlukan suatu batasan masalah. Oleh karena itu penulis
merumuskan batasan topik pembahasan yang dikerucutkan sebagai berikut:
a.
Konsep dasar yang dibangun,
yang meliputi: pengertian terorisme, pengertian human security, pengertian dan tujuan Pendidikan Agama Islam,
melacak akar terorisme, dan teror atas nama agama.
b.
Pencegahan Terorisme dan
Pengembangan Human Security Melalui
PAI
BAB II
Pembahasan
A.
Konsep Dasar
1.
Pengertian Terorisme
Perumusan definisi “terorisme” secara
internasional sampai sekarang belum mencapai kesepakatan dan keutuhan.
Mengingat, banyak sekali kepentingan dari negara-negara di dunia ini
tertarik menggunakan label “teroris” sebagai alat propaganda dan politik. Atas
dasar itu, dalam merumuskan pengertian ini penulis akan berusaha mencari arti
yang utuh
utamanya untuk diterapkan dalam konteks Pendidikan Agama Islam di Indonesia.
Dengan maksud agar bisa digunakan dalam upaya pencegahan terorisme sampai
keakar-akarnya sehingga sulit untuk dibangkitkan kembali.
Kata teroris memiliki arti
“orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbukan rasa takut, biasanya untuk
tujuan politik.” Bila diimbuhi dengan “-isme” menjadi “terorisme” maka artinya
“penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan
(terutama tujuan politik); praktik tindakan teror.” Sedangkan
menurut Martha Crenshaw sebagaimana dikutip Tuman bahwa “terrorism is a conspiratorial style of
violence calculated to alter the attitudes and behavior of multitude audiences.
It targets the few in a way that claims the attention ot the many. Terrorism is
not mass or collective violence but rather the direct activity of small groups.”
Bisa dikatakan terorisme
telah
memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan manusia. mulai dari menurunnya
kegiatan ekonomi dan terusikknya rasa kemanusiaan serta hilangnya nilai-nilai
keberadaban (hidup normal) di masyarakat. Dengan kata lain aksi terorisme adalah kejahatan
terhadap peradaban dan kemanusiaan yang telah mengancam seluruh masyarakat
serta musuh dari
semua agama di dunia ini. Secara detail, Menurut Loudewijk F. Paulus sebagaimana yang dikutip oleh Wahid, ada
empat macam karakteristik terorisme yaitu:
a)
Karakteristik organisasi yang meliputi
penataan organisasi, rekrutmen anggota, pendanaan, dan hubungan internasional
b)
Karakteristik operasi yang meliputi
perencanaan, waktu, strategi (takti), dan kolusi
c)
Karakteristik perilaku yang meliputi
motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh, dan keinginan menyerah
hidup-hidup
d)
Karakteristik sumber daya yang meliputi
latihan/kemampuan, pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan,
dan transporasi.
Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa terorisme
adalah tindakan kekerasan yang berdampak
kerusakan fisik hingga nyawa manusia yang tidak bersalah dengan tujuan untuk
mencari perhatian dan menakut-nakuti pihak ketiga. Dengan demikian, tindakan terorisme merupakan tindakan ilegal
yang melanggar hukum kenegaraan dan hukum internasional. Artinya, suatu
kekerasan bisa dikatakan sebagai tindakan terorisme bila dilakukan oleh
organisasi yang tidak resmi dengan sasaran masyarakat yang terkait secara
langsung.
2.
Pengertian Human
Security
Berdasar kajian historis, istilah human security baru dipopulerkan pada
awal 1990-an. Lebih tepatnya pasca berakhirnya Perang Dingin sebagai cara
menghubungkan berabagai isu-isu kemanusiaan, ekonomi, dan sosial untuk
meringankan penderitaan manusia dan menjamin keamanannya. Sekarang istilah
tersebut menjadi kosakata harian pejabat pemerintah, militer, dan
non-pemerintah, komunitas bantuan kemanusiaan, dan para pembuat kebijakan. Hal
ini diterapkan karena untuk melindungi keamanan umat manusia (human security) secara internasional. Walaupun secara implementasi sangat terbukti
sulit.
Human memiliki arti manusia,
sedangkan kata security berarti
jaminan, keamanan, perlindungan, dan tanggungan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata keamanan berarti “keadaan aman atau
ketetentramanan. Adapun
hasil dari penelusuran internet, pada wikipedia dikatakan bahwa “human security is an emerging
paradigm for understanding global vulnerabilities
whose proponents challenge the traditional notion of national security by arguing that
the proper referent for security should be the individual rather than the state.”
Lebih detail pendapat lain mengatakan “Human Security
focuses primarily on protecting people while promoting peace and assuring
sustainable continuous development. It emphasizes aiding individuals by using a
people-centered approach for resolving inequalities that affect security.”
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa human security adalah sebuah paradigma baru yang dibangun untuk
menjamin keamanan yang tidak hanya dalam sekup wilayah tertentu atau negara
tapi hingga pada setiap level individu manusia. Artinya, paradigma human security berfokus untuk menjamin
hak-hak individu serta menjunjung nilai perdamaian
sehingga bisa tercipta kemananan global. Konsep tersebut juga menekankan pada
proses penyelesaian “kesenjangan” yang berpotensi merusak keamanan secara
cerdas dan damai.
3.
Pengertian Pendidikan Agama Islam
Menurut penulis, pendidikan Agama
Islam punya pengertian sebuah kajian ilmu yang menjadi materi ajar
serta bertujuan agar peserta didik mampu dalam penerapan nilai-nilai Islam
secara sadar (tanpa paksaan dari orang lain). Kesadaran tersebut meliputi penerapan nilai ibadah yang benar, nilai humanisme, keselamatan (kemaslahatan), nilai
patriotisme (nasionalisme), nilai
semangat dalam pengembangan diri
maupun masyarakat, dan nilai-nilai kedamaian di kehidupan sehari-hari secara
konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik aktif pada pembelajaran PAI
diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar dalam pengimplementasian
nilai-nilai universalisme ajaran Islam secara konsisten dengan segenap logika
atau alam pikirnya serta alam spiritualitasnya. Analisis tersebut didasarkan pada pendapat Syukri Fathuddin
disampaikan bahwa hendaknya “... Pendidikan Agama Islam atau ajaran Islam dan
nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan dapat dikatakan way of life seseorang.”
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
PAI sebenarnya secara duniawi nilai manfaatnya tidak hanya ditujukan bagi umat
Islam sendiri tapi juga untuk seluruh umat manusia. PAI seharusnya bisa menjadi
pengarah dan penyumbang terbentuknya tatanan masyarakat yang damai,
berperadaban modern, beretika
(tidak berpenyakit moral), dan manusiawi. Pada akhirnya, umat Islam bisa
menjadi umat yang toleran. Yakni, menjadi muslim yang kuat sebagai pelindung non
muslim yang lemah. Bisa juga dengan menjadi muslim yang mayoritas untuk pengayom
terhadap minoritas dan menjadi muslim yang kokoh sebagai penjaga non muslim
yang rapuh. Serta dalam jangka panjang bisa menjadi muslim yang cerdas dalam bidang
ilmu pengetahuan untuk digunakan nonmuslim yang tertinggal.
4.
Tujuan Pendidikan Agama Islam
Manusia merupakan makhluk yang sadar akan tujuan.
Artinya, setiap tindakan yang dilakukan senantiasa bermuatan dan disadari
tujuan yang ingin diperoleh. Baik itu secara individu maupun kelompok dan yang
diinginkan untuk dicapai pada masa yang pendek atau panjang. Identifikasi
tujuan tersebut sangatlah penting, yaitu sebagai ukuran normatif (gambaran
ideal), preskriptif (pemberi arah), dan evaluatif. Secara rinci, tujuan PAI
dapat dijabarkan dalam dua perspektif, yaitu perspektif pembentukan manusia
(individu) ideal dalam arti biologis, psikologis, dan spiritualitas.
Selanjutnya adalah perspektif pembentukan masyarakat (makhluk sosial) ideal
dalam arti sebagai warga negara atau ikatan kemasyarakatan. Dari
kedua perspektif tersebut, sesungguhnya Pendidikan Islam hendaknya bisa
membentuk manusia yang punya kemantapan aqidah, kedalaman spiritual, keluhuran
akhlak (etika), keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Inilah yang disebut
sebagai gambaran manusia ideal (waladun
saleh) yaitu memiliki integritas dan keutuhan (insan kamil).
Sedang
dari sudut pandang lain menurut Muhammad Kosim dikemukakan tentang PAI sangat
sarat dengan nilai (full value),
termasuk dalam penanaman nilai-nilai kasih sayang dan keharmonisan antar sesama
manusia. Dengan
kata lain, pendidikan Agama Islam tujuan dan hasilnya (muara) sesungguhnya
bukan hanya untuk “kejayaan” umat Islam sendiri, tapi juga untuk “kebahagiaan”
seluruh umat manusia. Ujungnya adalah
bagaimana PAI mampu mencetak generasi yang tidak sempit dalam berfikir,
berperilaku, dan memandang realitas keberagaman (kemajemukan). PAI harus mencetak generasi kreatif, yang
tidak mengandalkan dan gemar menggunakan jalan kekerasan. Dengan demikian, PAI
di satu sisi pengembangannya disesuaikan dengan kebutuhan (perkembangan)
masyarakat, tapi di sisi lain tetap berpedoman dan berpegang kuat pada
nilai-nilai agama Islam.
Sedangkan menurut amanat UU Sisdiknas No. 20
Tahun 2003 pada Pasal 3 bahwa:
Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Pernyataan tersebut dijabarkan lagi oleh PP No. 55 Tahun 2007
Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “pendidikan agama berfungsi membentuk manusia
Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak
mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat
beragama.” Adapun dalam ayat 2 lebih dipertegas lagi bahwa “pendidikan agama bertujuan
untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.”
Dari semua pemaparan di atas dapat simpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam
dalam konteks pengembangan human security
adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT
secara benar yang senantiasa menggunakan pikir kritis, dinamis, peduli terhadap
keamanan manusia lain, dan kreatif sesuai keahlian masing-masing dalam
berbangsa sehingga karyanya bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.
5.
Melacak Akar Terorisme
Pada kurun waktu akhir-akhir ini fenomena globalisasi
terorisme telah menggejala. Persitiwa tersebut merupakan kelanjutan dari sejarah panjang
kekerasan yang terjadi dalam skala domestik (regional). Kemudian karena
mengikuti perkembangan zaman maka aksi terorisme menyebar ke seluruh penjuru
dunia dengan karakteristik yang berbeda-beda, meski secara khusus ciri utamanya
bersifat ideologis. Terlebih pasca serangan pada gedung kembar World Trade
Center, menjadi legitimasi negara untuk mengadakan misi “perang global melawan
terorisme.”
Dengan kata lain peperangan terhadap terorisme tidak lagi hanya menjadi urusan
negara tertentu. Namun, terorisme merupakan tanggung jawab moral bersama
seluruh umat manusia.
Biasanya ciri utama tindakan terorisme adalah tidak hanya sekedar ingin
melakukan kerusakan semata. Namun para pelakunya sebenarnya juga ingin
menyampaikan “pesan” dibalik itu semua.
Oleh sebab itu, agar pesan tersebut tampak dramatis dan mungkin karena memang
keadaan memaksa maka pelakunya rela melakukan aksinya dengan bunuh diri.
Di sinilah peran psikologi ada dalam setiap kajian tentang terorisme.
Sebagaimana menurut Crenshaw bahwa Agaknya sangat sulit bila memahami masalah terorisme
tanpa menggunakan teori Psikologi. Bagaimanapun, penjelasan tentang masalah
terorisme harus dimulai dari analisi dasar dari tujuan teroris (secara pribadi)
dan reaksi emosional dari para penontonya.
Bisa dikatakan tindakan
terorisme yang
dilakukan terhadap orang-orang yang tidak bersalah dan tidak terkait langsung
dengan tujuan utamanya, merupakan misi yang lebih menakutkan dari pada
kerusuhan politik secara terbuka. Bagaimanapun, diperlukan manipulasi
psikologis (dengan melakukan training secara intensif) yang lebih kuat untuk
penghilangan nilai-nilai moral dalam melakukan tindakan terorisme. Dengan
demikian para pelaku tanpa rasa bersalah sanggup menjadi pembantai berdarah
dingin terhadap wanita-wanita dan anak-anak yang tidak berdosa. Dapat disimpulkan
sebelum mencari sebab secara luas dan sebab-sebab yang ada di luar pelaku
terorisme, maka akan jauh lebih penting bila terlebih dahulu melacak motif
pribadi dan keadaan psikologi
dari pelakunya. Dengan demikian cara pencegahannya pun seharusnya melalui
pendekata psikologi.
Selain karena faktor individual,
aksis terorisme biasanya juga karena pengaruh kelompok. Sebagaimana menurut Gamson yang dikutip oleh Cernshaw
bahwa masalah utama dalam terorisme adalah bila organisasi-organisasi ekstrim
menganggap kegiatan terorisme itu sebagai sebuah hal yang membawa manfaat.
Dengan aksis teror, mereka berharap bisa terjadi perubahan radikal di masyarakat
dari status quo yang lebih bisa memberikan
manfaat baru. Padahal bila berpola pikir luas, sesungguhnya terorisme bukanlah jalan satu-satunya bagi
pihak yang merasa tidak puas terhadap suatu negara, suatu paham, suatu sistem,
dan suatu keadaan. Ada beberapa alternatif lain yang bisa digunakan untuk
mencari perhatian publik selain itu. misalnya, menyuarakan “misinya” melalui
saluran media massa, melalui organisasi resmi (legal), dan melalui saluran
politik. Namun pada kenyataannya aksi terorisme seringkali dijadikan pembenaran
dari kegagalan aksi-aksi yang lain. dianggap bahwa tindakan teror merupakan
satu-satunya jalan yang efektif
dan efisien
untuk mencapai tujuan tersebut.
6. Teror Atas Nama Agama
Idealnya agama
berperan dalam memberikan rasa nyaman dan kedamaian pada masyarakat, bukannya
teror. Namun, pada sebagian kasus, agama
tidak hanya memberikan ideologi, tapi juga motivasi dan struktur organisasi bagi para pelaku aksi-aksi
kekerasan.
Kekerasan agama pada masa sekarang ini --serta hampir di setiap kurun
perjalanan sejarah-- kerap kali dijustifikasi oleh kejadian historis kekarasan
agama pada masa lalu. Bahkan potensi yang terpadu dalam kekerasan agama
menyimpan sifat
partikularisme pada masing-masing kepentingan sejarahnya.
Dengan kata lain “pemahaman” seseorang
terhadap agama (beserta sejarahnya) turut bertanggung jawab dalam membangun
paradigma baru tentang terorisme kontemporer.
Pada dasarnya
terorisme atas nama agama dilakukan oleh sebagian pelaku karena mereka merasa
telah mendapat legitimasi dari wahyu Illahi atau telah sesuai dengan nilai Suci
Tuhan. Kekuatan dari gagasan tersebut sangat luar biasa dampaknya, hingga mampu
melebihi semua klaim otoritas politik pada pemerintahan yang ada dan mengangkat
ideologi agama
pada tingkat lebih tinggi dari segala-galanya. Keyakinan keagamaan seseorang yang terlalu
kuat
mampu mengkaburkan sifat individualistik, sehingga mau mengorbankan hidup serta
apapun itu demi keyakinannya.
Dalam ranah ini, individu merasa tidak lagi punya kekuasaan mutlak, karena
hanya keyakinannya (agama) yang mampu mengatur dan menentukan hidupnya.
Bahkan bila perlu keluaraga (anak, istri, dan
orang tua) dipandang tidak lagi mempunyai hak bagi dirinya, sehingga mereka
bisa saja ditelantarkan begitu saja demi keyakinnya tersebut. Dengan kata lain,
hanya agamalah yang mampu membuat manusia seperti apapun itu mau untuk melakukan
hal-hal diluar “nalar,” melakukan kegiatan fisik keagamaan, dan mau mengorbakan
apapun untuk agama (harta, pikiran, dan nyawa).
meskipun semua
orang sudah menyadari fenomena tersebut, tapi belum ada yang membedakan
karakterisitk antara teror suci (atas nama tuhan) dengan teror politis
(sekuler). Hal ini terjadi salah satunya karena, masih ada anggapan bahwa tidak
mungkin seseorang melakukan pembunuhan atau bunuh diri karena alasan agama.
Para teroris suci atau peaku terorisme agama
yakin bahwa tujuan dan cara mereka mendapat restu tuhan, sehingga manusia tidak
mempunya hak untuk mengubahnya.
Sementara teroris sekuler memandang tentang masa depan di dunia, maka para
teroris suci lebih melihat ke belakang (romantisme sejarah), yakni bisa
terwujudnya masyarakat yang sesuai dengan kehidupan awal ketika agama mulai
berkembang. Kadang, tujuan dan cara para teroris terlihat begitu jelas dan
tegas sehingga para agamawan mendeskripsikan sebagai bentuk tindakah ritual (ibadah)
agama.
Dapat disimpulkan bahwa terorisme agama
terjadi bisa jadi karena sebagian pemeluk agama mempresepsikan ada kelompok
atau negara (pemerintahan) yang cenderung tidak mempedulikan agama bahkan
memusuhi agama. Dengan kata lian peran agama terhadap peradaban manusia telah
dilecehkan oleh mereka. Bagi kalangan yang menjadi musuh teroris, agama dipandang tidak lagi memberikan solusi
tepat bagi kehidupan modern sekarang ini.
Hal inilah yang memicu frustasisme para pemeluk agama
untuk melakukan tindakan terorisme atas nama agama. Yakni, dengan tujuan
membela Tuhan atau membela agama dari tindakan semena-mena kelompok a atau
negara tertnetu.
B.
Pencegahan Terorisme dan Pengembangan Human Security Melalui PAI
Isu dan permasalahan tentang keamanan yang sangat
kompleks pada akhir-akhir ini menghasilkan banyak persoalan. Tak pelak, tema tersebut
sangat menarik untuk dikaji. Utamanya kasus tentang terorisme, yang menjadi salah satunya bahasan konsep human security. Mengacu pada penjelasalan awal tentang human security yang berfokus pada individu maka pada dasarnya
setiap individu memiliki hak untuk hidup aman. Dengan asumsi, bahwa keamanan merupakan satu kebutuhan dasar manusia yang harus terjamin dan
dilindungi dari
berbagai ancaman.
Konsep tersebut bila dikaitkan dengan peran PAI sebagai basis sekaligus
ujung tombak pendidikan Islam, maka PAI harus bisa merekonstruksi “paradigma”
atau pemahaman
umat Islam supaya bisa menjadi manusia yang damai secara aktif. Artinya,
kedamaian yang dicapai bukan hanya dengan tidak melakukan kekerasan (ancaman)
terhadap pihak lain. Namun, kedamaian yang benar-benar dilakukan karena umat
Islam sebagai mayoritas dan yang kuat dalam segala aspek mampu memberikannya
secara totalitas sebagai pengayom pihak lain. Dengan demikian, pihak lain
merasa nyaman dan aman dibawah naungan dan jaminan kekuatan umat Islam.
Memang, mengatasi masalah terorisme bukanlah perkara
mudah, dengan hanya menangkap dan menghukum pelakunya. Ini merupakan permasalahan kompleks yang tidak hanya
berhenti pada masalah pemberantasan terorisme secara kasat mata (fisik). Namun,
membutuhkan cara-cara yang tepat salah satunya melalui jalur pendidikan agar
secara jangka panjang potensi terorisme tidak terulang lagi di masa datang.
Bagaimanpun pemberantasan terorisme secara fisik hanya akan berdampak jangka
pendek dan sementara saja, karena bibit-bibit terosime secara ideologi tidak
ikut diberantas. Bahkan dimungkinkan nanti, saat yang tepat akan terjadi aksi
terorsime yang jauh lebih kejam dari sebelumnya.
Salah satu cara mencegah terorisme secara perorangan adalah melalui latihan
membangun konsep “sanksi” bagi diri sendiri. Selain
itu, pada proses sosialisasi, individu menerapkan standar moral yang berfungsi
sebagai penuntun dan pencegah untuk melakukan perilaku tertentu. Dengan asumsi,
seseorang melakukan sesuatu demi mendapatkan kepuasan dan pembangunan harga
diri di masyarakat.
Oleh karena itu, seseorang senantiasa menahan diri untuk tidak bertindak dengan
cara-cara melanggar moral mereka sendiri. Bila harus melakukan suatu
pelanggaran maka mereka akan merasa bersalah. Jadi, fungsi “sanksi bagi diri
sendiri” ini adalah menjaga perilaku agar sesuai dengan standar internal. Dengan demikian, standar moral yang ada di masyarakat tidak
berfungsi sebagai pengatur (pengarah) tingkah laku internal secara mutlak. Selain itu, mekanisme pengaturan atau pengendalian diri
sendiri melalui sanksi tidak akan berjalan bila diabaikan (tidak difungsikan)
begitu saja dan juga ada banyak proses psikologis yang dapat digunakan untuk
melenyapkan reaksi moral dalam diri pribadi tentang perilaku yang oleh
masyarakat luas disebut sebagai “tidak manusiawi.”
Dari pernyataan tersebut dapat digambarkan sebuah skema tentang manipulasi
psikologi seorang teoris sehingga menjadi kejam sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
- Mencari pembenaran (atas nama moral dan agama)
- Penamaan (label) yang halus (santun)
- Pembandingan dengan “teror” yang lain
|
|
|
Penafsiran ulang segala konsekuensi yang ada (demi
mendapatkan kemanfaatan bersama yang lebih tinggi)
|
|
|
- Dehumanisasi (pengkaburan
nilai-nilai kemanusisaan)
- Pelemparan kesalahan
(tanggung jawab)
|
|
|
|
|
|
Gambar: mekanisme psikologi terosis dalam mengkonstruk
pembenaran diri
(skema diadaptasi dari Albert Bandura yang diterjemahkan
oleh..... dalam buku.... halaman 206)
Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa pada mulanya teroris menganggap
bahwa membunuh orang tidak berdosa itu adalah tindakan tercela (berdosa) dan
diluar standar moral. Namun, kemudian untuk mengkaburkan sifat tercela
tersebut teroris mencari dan mengumpulkan berbagai dalih pembenaran dengan
berbagai cara, termasuk mengkambing hitamkan penyebab pada pihak lain. Dengan
kata lain, terjadi penafsiran ulang secara kognitif, sehingga perubatan yang
awalnya haram menjadi boleh bahkan wajib untuk dilakukan. Pada akhir terjadi
pengkaburan nilai-nilai kemanusiaan. Yakni, mengorbankan nyawa manusia, hingga
manusia tidak lagi dianggap sebagai manusia melainkan hanya dijadikan tumbal
dan alat perjuangan.
Secara gamblang, Bandura menyampaikan bahwa meskipun standar moral pada setiap
individu sama, tapi pengaktifan dan penghilangan (perluasan) kendali diri
secara selektif memungkinkan setiap orang melakukan perilaku yang berbeda-beda.
Misalnya, dalam proses pengaturan diri sendiri seseorang bisa saja
menghilangkan pengendailan moral internalnya (sanksi pribadi), sehingga mau
melakukan tindakan destruktif. Hal ini terjadi karena sanksi bagi diri sendiri
dihilangkan dengan melakukan penafsiran ulang bahwa perilaku tersebut untuk
mencapi tujuan-tujuan moral yang mulai.
Akibatnya, seseorang yang melakukan tindakan tidak manusiawi (amoral) bisa saja
merasa tidak bersalah karena standar moral mereka telah diperluas maknanya.
Dimana yang awalnya membunuh menurut standar moral dan pengendalian pribadinya
merupakan tindakan amoral menjadi bernilai moral mulai karena untuk menjalankan
misi yang dianggap bertujuan agung.
Adapun pencegahan tindakan terorisme secara kolektif, dalam konteks ini
melalui pembelajaran PAI, yaitu dengan melakukan internalisasi nilai-nilai
pendidikan anti terorisme. Sebagaimana yang ditawarkan Samani dah Hariyanto
yang diambil dari kurikulum karakter negara bagian Georgia sebagai berikut:
1. Citizenship, terkait kualitas pribadi serta hak dan
kewajibannya sebagai warga negara. Contoh: Hak dan kewajiban dalam pemanfaatan
dan pengembangan IPTEK dengan prinsip kemaslahatan umat manusia.
2. Compassion, kepedulian (empati) terhadap
penderitaan orang lain serta mampu menanggapi perasaan dan kebutuhan mereka.
3. Courtesy, perilaku luhur dan
bertutur kata halus sebagai perwujudan rasa hormatnya terhadap orang lain.
4. Fairness, perilaku adil, sportif,
dan terbebas dari favoritisme maupun fanatisme golongan.
5. Moderation, berpikir kritis
sehingga terjauh dari pandangan dan tindakan yang radikal dan eksterm yang
tidak rasional.
6. Respect for other, peduli dan menghormati
hak-hak dan kewajiban orang lain.
7. Respect for the Creator, mensyukuri segala
karunia yang diberikan oleh Tuhan Sang Maha Pencipta dan merasa berkewajiban
untuk selalu menjalankan perintahNya
8. Self control, mampu mengendalikan
diri dari keterlibatan amarah dan tindakan seseorang.
9. Tolerance, menerima dan
menghargai segala penyimpangan dan kesenjangan antara kepercayaan miliknya
dengan kepercayaan yang dimiliki orang lain.
Dari
penjelasan di atas dapat dibuat rumusan gambar terkait peran Pendidikan dalam
mencegah tindakan terorisme di kemudian hari sebagai berikut:
Gambar 1.2: Upaya pemutusan mata rantai terorisme
Dengan demikian, dapat dikatakan peran pendidikan utamanya PAI cukup penting dalam
membangun kerangka psikologis peserta didik. Yakni, pemberian materi PAI yang
bisa membangun nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan empati . Dengan itu peserta
didik akan mampu membangun prinsip kehidupan damai yang mantap di kemudian
hari, sehingga tidak mudah dipengaruhi paham-paham yang sesat.
Mereka membedakan
mana tindakan biadab (tidak manusiawi) dan mana tindakan yang mampu
mempertahankan nilai-nilai manusiawi. Misalnya, dalam keadaan damai melakukan
penyerangan (kekerasan) terhadap masyarakat sipil merupakan tindakan tidak manusiawi. Namun, mengadakan penyerangan
(kekerasan) terhadap musuh yang telah melakukan penyerangan terlebih dahulu bernilai jihad.
Bahkan merupakan
tindakan manusiawi yaitu demi mempertahankan nilai-nilai kehidupan.
Lebih lanjut, tugas
PAI adalah mengakomodir peserta didik sebagai generasi umat Islam yang memiliki potensi (diprediksi) melakukan
tindakan agresif dan kriminal (terorisme). Utamanya, bagi mereka yang telah
mengalami “kegagalan” dalam mengkonsep kepribadiannya dan yang mengalami
benturan psikologis hebat, terutama di masa kecilnya. Cara lain adalah mengkonstruk tindakan dan nilai-nilai
terorisme sebagai sesuatu yang
tidak memiliki daya
tarik sama sekali. Kemudian
merubah arah “semangat” beragama mereka menuju hal-hal yang jauh lebih
berdampak positif bagi kehidupan seluruh umat manusia. Misalnya dalam bidang ilmu pengetahuan alam
memotivasi mereka untuk menciptkan karya yang bisa bermanfaat bagi kehidupan
manusia.
Sebagaimana pernyataan Azyumardi Azra yang dikutip oleh Wahid, bahwa terorisme sebagai kekerasan politik seutuhnya
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan agama Islam. bagaimanapun, Islam
mengajarkan pada umatnya untuk menekankan nilai kemanusiaan yang universal.
Yakni, mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kehormatan yang dilakukan dengan
tidak menggunakan jalur kekerasan (terorisme). Di sisi lain agama Islam juga
memberikan legitimasi kepada pemeluknya untuk berjuang (jihad), berperang, dan
menggunakan kekerasan terhadap para penindas, musuh-musuh Ilsam serta pihak
luar yang tidak punya etikat baik untuk hidup berdampingan secara damai dengan
masyarakat Muslim. Bahkan Islam mengajarkan
untuk menyayangi nyawa sendiri. Buktinya, Dalam konteks terpaksa, seorang muslim
diboleh untuk memakan daging babi di hutan belantara terpencil yang tidak ada
lagi sumber makanan selain itu. Hal itu dilakukan agar nyawa bersangkutan bisa
terselamatkan. Artinya, Islam menghargai setiap nyawa khususnya umat Islam.
Konsep tersebut sangat berbeda dengan konsep bunuh diri yang dilakukan teroris.
Selama ini konsep human security oleh umat Islam masih
diterapkan hanya dilokalisir untuk sesama umat Islam sendiri. Padahal, ajaran
Islam memerintahkan untuk menjamin kemananan “manusia” lain.
Definisi terorisme sampai saat ini masih
menimbulkan perbedaan pendapat. Kompleksitas masalah yang terkait dengannya
mengakibakan pengertian terorisme dipahami secara berbeda-beda. Walter Laqueur
mengkaji setidaknya lebih ari seratus definisi terorisme. Dari temuan itu,
disimpulkan bahwa terorisme memiliki ciri utama yaitu digunakannya ancaman
kekerasan dan tindak kekerasan dan umumnya didorong oleh motivasi politik atau
sebagai lain juga karena fanatisme keagamaan. Lihat, Luqman Hakim, Terorisme
di Indonesia (Surakarta: Forum Studi Islam Surakarta, 2004), hlm. 9-10.
Karena definisi terorisme yang tidak utuh dan
tunggal maka banyak kalangan tertentu dengan mudah menyatakan seseorang sebagai
teroris dan seseorang yang lain bukan teroris. Meskipun keduanya sama-sama
melakukah hal yang sama yaitu menteror, melakukan, kekerasan, pelanggaran
etika, dan melakukan pelanggaran hukum. Dengan kata lain, definisi atau
pelabelan teroris sangat tergantung pada sejauh mana kemampuan komunitas dalam
mempengaruhi opini publik. Lihat, Muhammad Taufiq, Terorisme
dalam Demokrasi (Solo: Law Firm, 2005), hlm. 22. Oleh karena itu, tugas lembaga pendidikan adalah membentuk
opini pulbik tentang agama Islam yang rahmatalillalimn,
yang tidak gemar melakukan kekerasan, dan mempunyai peradaban yang
unggul. Hal itu untuk menangkis stereotip tentang Islam yang menyebar di barat.
Bisa jadi masyarakat barat memang tidak tahu
hakikat agama Islam yagng sesungguhnya, maka dari itu tugas lembaga
pendidikanlah yang memperkenalkan Islam yang benar kepada masyarakat luas yang masih buta tentang
kebenaran Islam.
Menurut Kosno Adi sebagaimana yang dikutip
oleh Abdul Wahid, dkk. bahwaTerorisme merupakan suatu kejahatan yang unik.
Terdapat banyak hal yang membedakan antara terorisme dengan bentuk kejahatan
biasa. Dalam tindakan terorisme biasanya sering terjadi unsur radikalimse
(ekstrim), adanya tujuan tertentu, penggunaan teknologi tertentu dalam setiap
rencanaya, dan gerakan dilakukan secara tertutup. Lihat, Wahid, dkk. Kejahatan
Terorisme: Prepektif, 40.
Dampak terorisme antara lain: Kerusakan sarana prasarana: jalan raya,
gedung, instalasi listrik serta telepon, korban jiwa, serta dampak “limbah” yaitu ekonomi (sektor
pariwisata, perdangang, perbankan, perhotelan, dan devasi negara turun). Secara rinci Abullah Sumrahadi sebagaimana dikutip Wibowo menyebutkan aksi terorisme dapat menyebabkan
malapetaka secara kompleks, antara lain: (a) Kehidupan
sosial dan masyarakat menjadi tertekan, sehingga hak individu maupun kelompok
terganggu (b) Kerusakan sendi-sendi politik, politik
dijadikan sebagai media utuk melakukan kejahatan (c) Kehidupan
ekonomi menjadi terganggu, karena sentimen pasar dipengaruhi oleh kondisi
politik dan keamanaan nasional dan internasional (d) Lunturnya
nilai-nilai kedamaian dan kearifan lokal karena masyarakat terlarut dalam
suasana anarkis (e) Lunturnya idependensi agama sebagai jalan
pembebas dari penindasaan, karena agama dijadikan motif (kambing hitam)
tindakan terorisme. Lihat, Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif
Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 75-77.
Menurut Habib Chirzin, “perdamaian positif
(\"positive peace\") tidak hanya berarti tidak adanya perang atau
konflik bersenjata, tetapi terpenuhinya semua hak-hak dasar manusia untuk hidup
dalam sistem kemasyarakatan dan kenegaraan yang demokratis sesuai dengan harkat
dan martabat manusia.” Lebih lanjut ia mengatakan “Ketua Commission on Human Security (2003) Dr Sadako
Ogata, mengemukakan, keharusan mengubah paragdigma keamanan dari berpusat pada
Negara (state centric)
menjadi berpusat pada individu manusia.” Dengan kata lain “masalah perdamaian dan
keamanan bukanlah sekedar mengenai perang dan konflik, tapi juga mengenai
kemiskinan, penyakit dan kerusakan lingkungan, kata Habib Chirzin mengutip
Sekjen PBB Koffi Annan (2005). Di bidang keamanan pangan, ia
mengatakan, jika tidak hati-hati menangani pangan maka akan menyebabkan banyak
kematian dan bisa juga berujung kepada perang..” Lihat, “Human Security Makin Jadi Model Perdamaian,” dalam http://www.pelita.or.id/baca.php?id=56862, diakses tanggal 31 Desember 2014.
Nilai nasionalisme di sini adalah
nilai-nilai dalam menjaga keutuhan dan keamanan bangsa yang didasarkan pada
peraturan Undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, umat Islam sebagai warga
negara harus patuh terhadap undang-undang yang ada di Indonesia –perlu
penjabaran panjang untuk menjelaskan mengapa harus patuh. Tapi, pada intinya
UUD 1945 tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Salah satu amanatnya
adalah pada pasal 28J ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud
sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. serta dalam Pasal 28E
ayat 1 dan 2 serta Pasal 28I ayat 1. Lihat,
“Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014.
Menurut W. Laqueur (1987) dan O. Kernberg
(1975) sebagaimana yang dikutip oleh Post bahwa karakteristik teroris secara
ciri kepribadiannya cenderung pada tindakan agresifisme yang peka pada
rangsangan dan pencari kegembiraan. Mekanisme psikologis yanng mengalami
gangguan kepribadian narsistik dan berkepribadiaan ganda. Tentu hal ini tidak
berlaku bagi seluruh pelaku terorisme, tapi terkesan nyata bahwa mekanisme
tersebut sering kali ditemukan pada kalangan teroris. Di mana diantara mereka
satu sama lain terdapat keseragaman gaya retorika dan psikologika. Yakni,
melemparkan bagian tak bermoral dan yang dehumanisasi
dari dalam dirinya ke lingkungan antar manusia serta mengkambinghitamkan
musuh di luar dirinya. Kemudian karena ketidakmampuan mengatasi kelemahaan dan
keterbatasannya sendiri, individu dengan jenis kepribadian ini membutuhkan
sasaran lain untuk disalahkan dan diserang demi menutupi kelemahan dan ketidak
mampuannya sendiri. Keterbelahan kepribadian
ini terjadi bisa saja karena pada masa perkembangan kepribadian mereka
(utamanya masa kecil) mengalami gangguan, sehingga terjadi luka narsistik. Lihat, Jerrold M. Post, “Psiko-logika Teroris: Perilaku Teroris Sebagai Hasil
Tekanan Psikologis,” dalam Origins
of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2003), hlm.30.
Latar belakang kehidupan pelaku terorisme
berdasarkan penelitian Clark (1981-1984) sebagaiman dikutip Post adalah pertama berasal dari keluarga yang berantakan: yatim, korban
perceraian, dan mengalami konflik hebat dengan kelurga. Kedua, adanya kegagalan dalam mengasuh, baik secara
edukasional dan vokasional (kegagalan pendidikan). Ketiga, secara sosiologis termarginalkan (berdasarkan
penelitian Clark. Lihat, Ibid. 31-33.
Alasan kaum radikal melakukan tindakan
terorisme dari pada menggunakan pilihan lainnya karena jumlahnya
terlalu kecil dan adanya kendala waktu. Di mana
para teroris tidak sabar (Adanya tekanan psikologis, perintah dari
pimpinan, tuntutan dari para pengikut, dan kompetesi dari pesaing yang menjadi
rintang untuk melakukan pemikiran strtegis, jernih, dan berjangka panjang.) untuk segera mewujudnkan tujuannnya. Serta adanya target-target yang menggoda sebagai objek tindakan
terorisme.Lihat, Ibid. hlm 11-12.
Selain karena faktor keyakinan (agama) yang
dalam memaknainya terlalu berlebih-lebihan, faktor tekanan psikologis,
kebencian, balas dendam, dan reaksi atas penindasan atau kekejaman juga menjadi
alasan mengapa seseorang mau mengorbankan nyawa, harta, dan kehormantannya.
Perbedaannya adalah faktor keyakinan kegamaan meberikan nilai-nilai suci
(transendental) pada gagasan terorisme, sehingga apa yang dikorbankan
sepenuhnya dilakukan secara sukarela tanpa tekanan. Sedangkan faktor selain
keyakinan merupakan sebuah pilihan “rasional” untuk melakukan terorisme karena
pengaruh psikologis. Lihat, Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, hlm. 67.
Rapoport, “Teror
Suci: Contoh,” hlm. 135.
Yang melandasi terjadinya tindakan
terorisme oleh suatu kelompok biasanya
disebabkan adanya pandangan kosmis dalam agama tertentu tentang kejadian
perang. Dengan kata lain, pelaku terorisme biasanya menjadikan ajaran agama
dipakai sebagai pembenaran tindakan kekerasan. Di mana, kekerasan yang
dilakukan menjadi dalih untuk penegakan kebenaran dan melenyapnya sistem aturan
(norma) yang kacau. Lihat, Salam, Motivasi
Tindakan Terorisme , hlm. 6.
UNDP merumuskan human security dalam beberapa
komponen sebagai berikut: (1) keamanan ekonomi (assured basic income), (2) keamanan pangan (physical and economic access to food), (3) keamanan
kesehatan (relative freedom from disease
and infection), (4) keamanan lingkungan (access
to sanitary water supply), (5) keamanan sosial (security of cultural identity), (6) keamanan individual (security from physical violence and
threat), dan (7) keamanan politik (protection
of basic human rights and freedom). Lihat, “Human Security dalm Respon
Internasional Terhadap Upaya Penyelesaian Masalah Penculikan di Nigeria oleh
Boko Haram,” https://www.academia.edu/9326937/HUMAN_SECURITY_dalam_Respon_Internasional_Terhadap_Upaya_Penyelesaian_Masalah_Penculikan_Di_Nigeria_oleh_Boko_Haram
Nilai-nilai
dasar kelompok teroris menekankan pada kelanggengan kekerasan dan lebih memilih keputusan-keputusan yang lebih
berisiko. Menurut Janis sebagaimana yang dikutip Post, bahwa kelompok teroris
telah menunjukkan identitas “nilai dasar kelompok,” di antaranya sebagai
berikut: (a) Ilusi-ilusi tentang kesaktian yang
mengakibatkan optimiskme berlebihan dan pengambilan resiko yang terlalu besar.
(bila dikontekskan sekarang adalah adanya ilusi tentang ganjaran mendapat
bidadari di surga) (b) Moralitas kelompok yang harus dijunjung. (c) Presepsi tunggal tentang musuh sebagai pihak yang
bersalah (sebagai setan) (d) Terorisme sebagai tantangan bagi anggota
kelompok untuk melaksanakan tugas suci
“terorisme” sebagai keyakinan kunci. Lihat, Post, “Psiko-logika teroris: perilaku,” hlm. 42.
|
Who is a Terrorist? (Sumber gambar republika) |
|