KONSEP TENTANG ILMU, AGAMA, DAN ISLAM: UPAYA
PENGEMBANGANNYA BAGI MASA DEPAN INDONESIA
A.
Konsep Dasar
1.
Pengertian Ilmu
Kata “ilmu” mempunyai dua arti pertama “pengetahuan tentang suatu biang yang disusun secara
bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.” Kedua, “pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat,
lahir, batin, dan sebagainya).”[1]
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa ilmu tidak hanya terkait masalah
empiris (material) tapi juga masalah ukhrawi (imaterial). Dengan demikian, kata
“ilmu” bisa digunakan sebagai bangunan konsep “ilmu agama” dan “ilmu umum.”
2.
Pengertian Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “agama”
memiliki arti ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadahan
kepada Tuhan serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan antar manusia
beserta lingkungannya.[2]
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa hal pokok yang terdapat dalam
“agama” adalah sistem aturan (pedoman), ritual atau ibadah, dan tata kaidah
hubungan pergaulan dengan lingkungan. Dengan demikian, di dalam kata tersebut
tidak ada hal-hal yang terkait dengan “pengembangan” ilmu. Asumsinya, para
pengikut atau umat beragama bisa dikatakan sebagai pengikut agama tertentu bila
sudah melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Misalnya, bila memakai simbol
(kopyah dan sarung) agama Islam dalam acara kemasyarakatan, ikut sholat,
jenazahnya atau keluarganya dikafani, ikut tahlilan, prosesi pernikahannya atau
keluarganya dengan do’a-do’a Islami, dan ritual-ritual Islami lainnya maka
orang tersebut bisa dikatakan sebagai pengikut agama tertentu. Dalam hal itu tentunya
adalah agama Islam.
Kelompok umat beragama biasanya punya tokoh panutan
yang bisa menyampaikan saran bagi umatnya bila menghadapi persoalan tertentu
terkait ritual keagamaan. Misalnya dalam menentukan awal bulan Ramadan,
menentukan halal atau haramnya suatu perbuatan atau jenis makanan tertentu,
memberikan masukan bagaimana caranya melakukan ritual agama yang benar sesuai
dengan kaidah Islam. Dengan kata lain, konteks “agama” dalam pembahasan ini
hanya terkait dengan ritual, simbol, dan tata aturan ibadah yang digunakan oleh
masyarakat.
3.
Pengertian Islam
Islam
mempunyai arti “agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW berpedoman pada
Kitab Suci Alquran yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT.”[3]
Sebagaimana yang telah banyak diketahui bahwa di dalam Alquran tidak hanya
berisi tentang ritualitas (ibadah simbolis) dan aturan-aturan terkait hukum
halal-haram. Namun, Alquran selain memerintahkan umatnya untuk menuntut ilmu
pengetahuan –baik terkait ilmu “agama” maupun ilmu umum-- ternyata ia
memberikan inspirasi bagi manusia dalam pengembangan ilmu pengetahuan umum.
Selain itu,
kenyataannya Nabi Muhammad dalam sejarahnya tidak hanya mengurusi ritualitas
agama. Akan tetapi beliau berperan lebih dari sekedar “tokoh” agama. Ia adalah
tokoh perubahan dari segala bidang meliputi ilmu pengetahuan, politik, ekonomi,
perilaku atau etika (akhlak), sistem kemasyarakatan, dan termasuk juga
pembaruan ritual (simbol agama). Dengan kata lain persoalan yang diemban oleh
nabi Muhammad bukan hanya sekedar tentang ritual “agama” tapi tentang “Islam.” Yakni,
Islam yang senantiasa memperjuangkan perubahan menjadi terbaik terhadap seluruh
aspek bidang kehidupan.
4.
Perbedaan antara ilmu, agama,
dan Islam
Berdasarkan dari penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa perbedaan
antara “agama” dengan “Islam” terletak pada bidang kajiannya. Yakni, agama
hanya terkait masalaha ritualitas (ibadah), simbol agama, dan agama yang
normatif. Sedangkan “Islam” terkait dengan seluruh aspek kehidupan. Dengan kata
lain, tatkala mengkaji tentang “agama” maka integrasi dengan ilmu itu perlu.
Namun, tatkala berbicara tentang “Islam” maka tak perlu integrasi, karena
“islam” pada hakikatnya (kandungannya) sudah terintegrasi. Secara detail
perbedaan antara ilmu, agama, dan Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari gambar
tersebut dapat dipahami bahwa cakupan agama itu lebih kecil dari pada ilmu dan
Islam. Asumsinya, orang yang beragama (melaksanakan ritual) saja tidak akan
bisa cukup bermanfaat secara luas bagi masyarakat lainnya. Sedangkan orang yang
hanya berilmu (mengembangkan ilmu) juga tidak akan bisa bermanfaat secara
“lurus” atau tepat bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, dari gambar
tersebut “islam” sebenarnya adalah keterpaduan antara ilmu dan agama sehingga
bisa bermanfaat secara utuh dan benar bagi kehidupan masyarakat. Itu artinya
bila seseorang ingin bermanfaat secara benar dan lurus maka ia harus “berislam”
(melakukan nilai Islam) secara utuh.
B.
Posisi Islam dalam
Pengintegrasiaan antara Ilmu dengan Agama
Sesungguhnya
Islam menginspirasi dan mengajak umatnya untuk senantiasa “membaca” (menelaah,
meneliti, dan mengkaji). Tidak cukup di situ, Islam juga memerintahkan umat
Islam untuk senantiasi kreatif dalam menciptakan. Asumsinya, pada dua
akitivitas tidak akan lepas dari yang namanya gerakan pengembangan ilmu. Oleh
karena itu, bisa dikatakan sesungguhnya Islam merupakan gerakan perubahan dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam konsep Islam, sebaik-baik insan adalah
yang bermanfaat bagi insan lain. Sebaik-baik organisasai bermanfaat bagi
organisasi lain. Atau bisa juga sebaik-baik negara bermanfaat bagi negara lain. [4]
Padahal suatu
kebermanfaatan yang luas dan berjangka panjang tidak akan hanya bisa tercapai
melalui ritual[5]
(ibadah simbolik) keagamaan. Ini artinya, konsep kebermanfaat dalam Islam
sangat luas. Tidak hanya kebermanfaat pasif dalam artian tidak menimbulkan
bencana bagi masyarakat lain. Islam tidak hanya mengajarkan moralitas, tidak
hanya mengajarkan ibadah, dan tidak hanya mengajarkan tentang bagaimana
menggunakan simbol agama. Namun lebih dari itu, Islam mengajarkan kebermanfaatan
aktif yaitu menciptakan atau mengembangkan ilmu pengetahuan baik teori maupun
praktis (produk) sehingga bisa menjadi perubah keadaan menjadi lebih baik. Lebih
jauh, Islam lahir sebagai pembawa solusi bagi permasalahan yang kompleks di
masyarakat. Meliputi permasalahan ekonomi, permasalahan politik, permasalahan
teknologi utamanya dalam pertanian, permasalahan keluarga, permasalahan
antropologi, dan lain sebagainya.
Dalam
tataran aplikatif, menuntut ilmu menurut Islam merupakan suatu hal yang bernilai
“pencarian religius.” Hal ini juga dikuatkan oleh al Quran yang menguatkan hubungan antara
agama dan ilmu. Sebagaiman pendapat Kuntowijoyo yang
dikutip Kurniawan bahwa
al-Quran menyediakan
kemungkinan yang sangat besar untuk
dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang selanjutnya harus menjadi paradigma. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu yang berdasarkan pada
paradigm al-Quran jelas akan memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan. Paradigma ini dapat menjadi pendorong munculnya
ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa
premis-premis normative al-Quran dapat dirumuskan
menjadi teori-teori empiris dan rasional. Struktur
transedental al-Quran menurut Kuntowijoyo adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoritis. Ia akan memberikan
kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan
rasional yang empiris, dalam artian sesuai dengan
kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Kuntowijoyo berpendapat
bahwa pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam
dimaksudkan untuk kemashlahatan umat Islam.[6]
C.
Pengembangan Konsep Ilmu, Agama, dan
Islam bagi Masa Depan Pendidikan Islam di Indonesia
Mengahadapi keadaan masyarakat yang semakin pragmatis dan informatif
maka lembaga Pendidikan Islam[7]
dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap realitas perkembangan masyarakat.
Jika tidak menyesuaikan diri maka dapat dipastikan pendidikan islam tidak akan lagi diminati oleh masyarakat.
Penyesuaian ini sekaligus sebagai upaya pemodernan, pembaruan, dan peningkatan
mutu lembaga dan
proses pendidikan
islam di tengah masyarakat. Hal ini karena secara global ilmu pengetahuan dan produk-produknya
telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan tidak bisa dihindari dan terbendung
lagi. Jika umat islam tetap acuh, apatis, dan menghindari realitas kemajuan
Iptek maka menyebabkan posisi umat islam akan semakin tertinggal jauh dari
peradaban barat.
Pendidikan Agama Islam yang normatif (hanya berisi wahyu, hukum-hukum
islam, benar-salah, dan sejarah islam) dipandang tidak lagi memiliki nilai arti
apa-apa lagi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan umum. Dengan kata lain,
masyarakat memandang pesimis PAI akan bisa menyumbang keberhasilan mahasiswa
secara praktis menjadi manusia yang sukses dalam menjalani hidup yang semakin
kompetitif. PAI dipandang sebagai ilmu hafalan yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan secara dogmatis. Sehingga mengesankan bahwa Islam hanyalah agama
yang berkaitan dengan ritualitas dan ibadah saja, padahal banyak sekali
ayat-ayat dalam al-quran dan hadith-hadith yang diintepretasikan secara
kontekstual menggambarkan kepada umatnya untuk mencintai dan mempelajari ilmu
pengetahuan secara universal.
Peramasalahan
yang muncul dan patut dicermati relevansinya dengan isu-isu aktual akhir-akhir
ini adalah sudahkah kandungan Islam itu diajarkan dengan benar dan lengkap.
Kenyataannya, permasalahan “Islam” khususnya di Indonesia selama ini masih
dikaitkan dengan ritual keagamaan[8]
saja. Padahal seperti penjelasan sebelumnya Islam itu cakupannya luas, bahkan
tak terbatas. Sebagaimana perkataan Imam Suprayogo bahwa islam juga tidak
menyuruh untuk memperbanyak amal ritual keagaaman tapi menyuruh untuk
meningkatkan kualitas amalnya sehingga menjadi amal saleh. Bahkan Islam juga
menyentuh aspek-aspek spiritual dan emosional yang unggul. Misalnya proses
pendidikan dalam Islam itu butuh kebersihan hati (tulus dan ikhlas) agar
ilmunya bisa masuk. Asumsinya orang yang sedang marah akan sulit menerima
masukan bahkan akan melawan.[9]
Kiblat umat
Islam yang paling sempurna sekarang ini untuk ritual (sholat dll) adalah
“ka’bah” di Makkah. Akan tetapi kiblat umat Islam yang lain misalnya untuk
pendidikan, pengembangan teknologi, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya
ternyata tidak berkiblat pada “Islam” tapi berkiblat pada “Barat.” Ini bukan
berarti umat Islam harus meniadakan atau membuang ilmu pengetahuan dari barat.
Akan tetapi umat Islam harus cerdas, punya kesadaran tersendiri, dan punya misi
sendiri[10]
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada nilai-nilai agama
Islam. Dengan kata lain, perkembangan ilmu pengetahuan untuk selanjutnya tidak
boleh dibiarkan berjalan sendiri. Umat Islam yang terinspirasi dari ajaran
Islam harus memiliki peran dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Sebagaimana
pernyataan Muhaimin bahwa secara ontologis ilmu pengetahuan umum lebih
cenderung bersifat netral, dengan arti tidak dapat bersifat islami, kapitalis,
sosialis, komunis atau yang lainnya. Akan tetapi ketika seorang ilmuwan
menjelaskan tentang perubahan yang telah atau akan terjadi, menerangkan cara
memanfaatkan hukum alam, dan mengarahkan pengetahuan tersebut ke arah tertentu
maka ilmu pengetahuan tersebut tidak bisa dikatakan netral.[11]
Karena analisis yang dilakukan oleh ilmuwan tersebut bisa jadi karena
dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan yang telah ia lalui sebelumnya,
misalnya adanya doktrin ideologi, agama, ataupun pengalaman pribadi.
Bila
hal tersebut dikaitkan dengan Pengembangan Pendididkan Islam di Indonesia yang
masih menjadi diskusi panjang adalah apakah Islam mempunyai konsep tersendiri
mengenai Pendidikan versi Islam ataukah tidak sama sekali.[12]
Pada kenyataan secara historis kemajuan peradaban Islam di masa Keemasan dahulu
diperoleh umat islam karena mengambil, beradapatasi, dan mengadopsi sistem
lembaga pendidikan dari peradaban masyarakat yang ia jumpainya sebagai
implikasi politik ekspedisi. Jika kita tarik pada permasalahan pendidikan Islam
di Indonesia sekarang ini maka kita dapat jumpai bahwa konsep pendidikan di
madrasah dan mata pelajara PAI di sekolah umum belum mengalami perkembangan
yang berarti. ‘Intervensi’ secara tak sengaja dari konsep pendidikan umum masih
tercium tajam, sehingga terkesan bahwa konsep pendidikan Islam selalu mengekor
pada konsep pendidikan Umum. Tentu pembahasan ini masih jauh dengan gagasan
bahwa di lembaga madrasah Indonesia harus diadakan kurikulum yang integratif.
Dikotomi
antara pendidikan umum dengan pendidikan Islam dalam dipandang sebagain umat
islam sebagai permasalahan yang sangat mengganggu bagi kepentingan kemajuan
peradaban umat islam. Bukankah pendidikan hadir untuk menyiapkan manusia
beserta segala akibat turunannya menghadapi segala permasalahan kehidupan.
Lantas salahkah jika Ulama pada zaman sekarang melakukan ijtihad baru untuk
menjawab permasalahan yang menjadi isu aktual. Di mana ijtihad[13]
pada zaman sekarang ini merupakan kebutuhan bagi umat Islam terutama dalam
bidang Pendidikan Islam yang berkedudukan sebagai soko guru terbangunnya
peradaban.
Dapat disimpulkan bahwa
sesungguhnya pendidikan islam harus memiliki corak tersendiri dan tidak
dibayang-bayangi oleh pendidikan umum. Adapun jika terpaksa untuk menyesuaikan
diri dengan kebutuhan masyarakat maka solusinya adalah bukan dengan cara
mencampurkan antara pendidikan umum dengan pendidikan islam seperti
mencampurkan air dengan minyak. Namun melakukan integrasi, integrasi dilakukan
untuk tercapainya efisiensi seperti hemat waktu
serta biaya dan tercapainya efektifitas sehingga siswa menjadi lebih
fokus pada materi yang integral. Yang mana siswa tidak akan lagi membedakan
mana mata pelajaran/pendidikan agama dan mana mata pelajaran/pendidikan non
agama, namun semuanya terintegral menjadi satu menjadi pendidikan berbasis
agama.
D.
Upaya Pengintegrasian antara
Ilmu dengan Agama dalam Bingkai Pendidikan Islam
Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim,
sehingga pendidikan Islam punya peran yang signifikan dalam pengembangan sumber
daya manusia dan pembangunan karakter unggul. Dengan demikian bisa dikatakan
bahwa budaya, kebiasaan, karakter, dan segala hal yang tercipta pada masyarakat
merupakan cerminan dari hasil pendidikan Islam. Oleh karena itu peran penting
pendidikan Islam adalah bagaimana agar ajaran Islam yang rahmatan lilalamin benar-benar diterapkan oleh setiap insan Islam.[14]
Peran penting pendidikan Islam lainnya yang tidak bisa ditinggalkan adalah sebagai bentuk
antasipasi atau penanggulangan terhadap paham yang pada zaman sekarang ini mewabah
di Indonesia. Salah satunya yaitu adanya pandangan bahwa pendidikan adalah
sebagai sarana investasi, asumsinya adalah masyarakat rela generasi mudanya
‘diinvestasikan’ dalam dunia pendidikan dengan harapan akan diperoleh
keuntungan sebesar-besarnya setelah itu. Dalam tataran praktis di ranah sosial
kemasyarakatan hal tersebut tidak bisa disalahkan dan hilangkan begitu saja.
Oleh karena itu pendidikan agama yang salah satunya meliputi moral dan
spiritual tidak bisa ditawar lagi untuk tidak dimarginalkan atau tidak
digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini supaya pendidikan
Indonesia tidak dihasilkan manusia yang berpaham
materialistik, cenderung kapitalis, sehingga berujung pada sekulerisme.[15]
Sedang menurut
Hamka sebagaimana yang dikutip oleh Muh. Idris
bahwa Pendidikan Agama adalah sebuah kebutuhan yang harus diajarakan
agar bisa mencetak peserta didik yang paripurna (insan kamil) sekalipun pada lembaga pendidikan umum. Insan Kamil atau berkepribadian Muslim
adalah suatu kondisi fisik dan mental secara bersamaan terjadi satu kesatuan
yang terpadu sehingga dalam penampilan atau kegiatan kehidupan sehari-hari
tidak terjadi pendikotomian antara jasmani dengan rohani dan dunia dengan
akhirat.[16]
Dengan kata lain pendidikan Agama Islam diharapkan mampu dalam pencetakan
generasi Muslim yang berkemampuan dalam IPTEK, ketauhidan, dan berkepribadian
Islam yang rahman lil alamin sehingga
terbentuklah insan paripurna.
Dengan
demikian dimensi ketauhidan tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam dunia
pendidikan, artinya adanya keterlibatan hubungan antara intrepretasi (pelibatan
logika) manusia terhadap kebenaran hakiki tentang Allah SWT melalui ayat kauniyah dengan ayat kauliyah yang didasari pada ketundukan
dan keimanan. Hal ini supaya dalam alam pikiran manusia tidak tercemari sifat
angkuh dan merasa terkuat dari segalanya padahal ada yang lebih kutat dari
segalanya yaitu yang Maha Kuat, sehingga kandungan inti dari pemahaman hubungan
tersebut adalah keimanan dan ketundukan mutlak manusia kepada Allah yang
tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku sebagai berikut:
1. Kebenaran mutlak hanya ada pada Allah semata,
dan yang dapat dicapai manusia hanyalah kebenaran relatif, serta dalam skala
temporal maupun spatial.
2. Kesadaran akan keterbatasan akal manusia pada
intrepretasi tersebut menjadikan timbulnya sikap dan perilaku manusia yang
tunduk dan patuh pada kehendak Allah SWT. Dengan kata lain adanya kesadaran
bahwa ilmu dan kemampuan teknologi yang dikuasai manusia adalah berasal
sekaligus amanah dari Allah, dan yang menjadi motivasi untuk penerapannya pun
dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
3. Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara
ilmu dengan agama. Dengan demikian jika ditemui pertentangan dalam praktiknya
adalah semu belaka, artinya sebagai akibat dari kesalahan atau ketidak mampuan
akal manusia dalam intepretasi terhadap ayat kauniyah, kauliyah, atau bahkan
keduanya.
4. Kesadaran bahwa ilmu pengetahuan umum bukan
satu-satunya kebenaran, bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi permasalah
kehidupan manusia.[17]
Dari
pemaparan tersebut maka sungguh nampak peran penting pendidikan agama bagi
sikap mental dan emosional manusia. Dengan kata lain pendidikan agama mampu
menjadi solusi bagi kefrustasian manusia dalam menanggulangi problematika
kehidupan. Secara grafik maka hubungan antara agama dengan ilmu apabila
dielaborasisasikan tergambar pada hubungan berikut ini:[18]
Gambar 1.1 Hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan melalui proses intrepretasi
ayat-ayat
Daftar Rujukan
“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar
Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi
1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
Hanafy, Muh. Sain. “Paradigma Baru
Pendidikan Islam dalam Upaya Menjawab Tantangan Global,” Lentera Pendidikan, Vol. 12 No.2 (Desember, 2009).
Idris, Muh. “Pembaruan Pendidikan
Islam dalam Konteks Pendidikan Nasional,” Lentera
Pendidikan, Vol. 12 No. 1 (Juni, 2009).
Kurniawan, Syamsul. “Dikotomi Agama dan Ilmu dalam Sejarah Umat Islam Serta
Kemungkinan Pengintegrasiannya,” dalam Fikrah
IAIN Pontianak Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2013.
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Penjelasan Imam Suprayogo saat perkuliahan S3 UIN Maliki Malang Prodi PAI
SBI angkatan ke-2 Semester 1.
Pratiknya, Ahmad Watik.
“Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi,
ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Zuhairini, dkk., Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
[1]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[2]Ibid.
[3]“Kamus Besar Bahasa,”didownload tanggal 21 April 2014.
[4]Penjelasan Imam
Suprayogo saat perkuliahan S3 UIN Maliki Malang Prodi PAI SBI angkatan ke-2
Semester 1.
[5]Masalah ritual agama adalah hak Tuhan yang tidak
bisa didiskusikan untuk menentukan ritual mana yang benar. Asumsinya, apapun
hasil dari diskusi manusia tersebut tidak akan mempengaruhi kehendak Tuhan
untuk memutuskan kehendaknya. Manusia hanya bisa mengira-ngira bahwa ritual
yang dilakukannya yang benar. Hal itu mengandung pengertian bahwa ritual adalah
sesuatu yang harus dilaksanakan, bukan untuk didiskusikan karena wilayah
tersebut hak Allah. Terlebih, perselisihan perkara ritual itu hanya
menghabiskan energi, lebih baik energi tersebut untuk pengembangan ilmu
pengetahuan. Berdasar, Penjelasan Imam Suprayogo saat perkuliahan S3 UIN Maliki Malang Prodi PAI
SBI angkatan ke-2 Semester 1.
[6]Syamsul
Kurniawan, “Dikotomi Agama dan Ilmu dalam Sejarah Umat Islam Serta Kemungkinan
Pengintegrasiannya,” dalam Fikrah
IAIN Pontianak Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2013.
[7]Membicarakan tentang Pendidikan Islam tidak
hanya semata-mata membahas tentang bagaimana umat islam dalam beragama (beritual). Namun secara umum juga membahas
permasalahan yang lebih luas tentang kepentingan pendidikan yang menciptakan
‘sukses’ bagi umat islam di dunia hingga akhirat. Ini berarti bahwa pendidikan
‘umum’ dipandang sejajar dengan pendidikan Islam jika hal tersebut bisa
menciptakan sistem pendidikan dan hasilnya yang bisa diharapkan oleh Islam.
[8]Pendidikan
Agama Islam di Indonesia masih berkutat tentang materi-materi ritual,
ketauhidan, sejarah politik (peperangan), dan terakit fiqh. Padahal Islam tidak
sesempit itu. Islam memberi kebebasan manusia untuk mengekspresikan nilai-nilai
Ketuhanan dalam segala bentuk sendi kehidupan yang ia kuasai dan mintai. Itu
artinya sebagaimana apa yang dikatakan Imam Suprayogo bahwa ketika Mengkaji dan mengembangkan ilmu pengetahaun harus untuk mencari ridha
Allah. Mengkaji alam (fisika, kimia, biologi, dll) harus sampai pada tingkat
kesadaran tertinggi yaitu mengagungkan Allah seraya bergetar mengucap
“Subhanallah.” Berdasar, Penjelasan
Imam Suprayogo saat perkuliahan S3 UIN Maliki Malang Prodi PAI SBI angkatan
ke-2 Semester 1.
[9]Penjelasan
Imam Suprayogo saat perkuliahan S3 UIN Maliki Malang Prodi PAI SBI angkatan
ke-2 Semester 1.
[10]Misi Islam itu meliputi ilmu pengetahuan, kualitas hidup (unggul), adil,
ritual, dan amal sholeh (profesional). Berdasar,
Penjelasan Imam Suprayogo saat perkuliahan S3 UIN Maliki Malang Prodi PAI
SBI angkatan ke-2 Semester 1.
[11]Muhaimin, Paradigma Pendidikan
Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001 ), 65.
[13]Sebagaimana
pernyataan Zuhairini
dkk. bahwa ilmu Kalam, ilmu tasawuf, dan ilmu fiqh merupakan ilmu yang dikembangan dalam dunia
islam yang dikembangkan melalui metode yang kahs islami, yang disebut dengan
metode Ijtihad. Yang mana metode ijtihad merupakan metode khas dari filsafat
islam. Lihat, Zuhairini, dkk., Filsafat
Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 127.
[14]Muh. Sain Hanafy, “Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam
Upaya Menjawab Tantangan Global,” Lentera
Pendidikan, Vol. 12 No.2 (Desember, 2009), 174
[15]Hanafy, “Paradigma Baru Pendidikan,” 176-177
[16]Muh. Idris, “Pembaruan Pendidikan Islam dalam Konteks
Pendidikan Nasional,” Lentera Pendidikan,
Vol. 12 No. 1 (Juni, 2009), 17.
[17]Ahmad Watik Pratiknya, “Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi Umum,” dalam Dinamika Pemikiran
Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), 93-94.
Concept (sumber gambar kebondigital) |