Oleh: A. Rifqi Amin
BAB I
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Masalah
Dalam
mengkaji al Qura’an dan Hadith, sebagai seorang muslim, wajar bila penulis
“memulainya” dengan berbekal “iman” daripada sikap skeptis. Kajian atau lebih
tepatnya ilmu tentang dua hal tersebut, hanya bisa berkembang bila terjadi
dinamika dalam pemahaman kedua teks tersebut. Apalagi bila tema kajian yang
dibahas terkait dengan masalah kontemporer. Diperlukan kejelian untuk
mengungkap “isyarat-isyarat” tersembunyi di dalamnya, utamanya tentang tema
kekinian. Bagaimanapun, apa yang ada dalam al Quran terdapat potensi yang
berguna untuk menjawab berbagai permasalahan sekarang ini. Salah satunya adalah
tentang etika, yaitu bagaimana al Quran menggambarkan secara eksplisit tentang
etika. Tentunya didahului dengan pertanyaan: apa, siapa, bagaimana, kapan, di
mana, dan mengapa.
Kajian
etika sebagai salah satu bagian dari cabang filsafat, bukanlah suatu tema yang
baru. Etika dalam dunia Islam telah disinggung oleh beberapa tokoh, salah satu
diantaranya adalah Maskawaih dan Mawardi. Serta beberapa tokoh Islam lain yang
secara khusus menekankan kata “akhlaq” sebagai sinonim dari kata “etika.” Namun
istilah apapun yang digunakan, kajian mereka bersangkut paut dengan perbuatan baik dan
buruk dalam perspektif Islam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kajian
yang mereka lakukan adalah tentang etika Islam.
Sedang
dalam pembahasan makalah ini, penulis akan berusaha untuk tidak sekedar
mendalami makna etika hanya dalam sudut pandang pemahaman “lama.” Akan tetapi
lebih mengutamakan permasalahan-permasalah kontemporer yang secara langsung
tidak pernah dibahas dalam kajian terdahulu. Bagaimanapun, paradigma etika
menurut pandangan dahulu tentunya sangat berbeda dengan paradigma etika menurut
pandangan sekarang. Hal ini terjadi karena keadaan sosiokultur masyarakat
selalu mengalami perubahan, sehingga etika pun selalu dituntut untuk
mengkritisi perubahan tersebut. Dari sikap kritis akhirnya lahirlah etika-etika
baru (diluar etika agama) yang mencoba menawarkan diri sebagai penyelemat
peradaban.
Sebagaimana
menurut Magnis-Suseno, bahwa agamawan modern (ulama kontemporer) sangat membutuhkan
metode etika. Fungsinya, untuk membantu ulama dalam “menghukumi” suatu
perbuatan tersebut melanggar ajaran agama atau tidak. Dengan berlandas etika
pula, menjadikan agamawan tidak serta merta bebas melakukan reinterpretasi
terhadap perintah dan hukum yang termuat dalam wahyu. Salah satu persoalan
moralitas yang bersifat baru dan tidak disebutkan langsung dalam wahyu adalah
masalah kloning manusia. Dengan demikian, dalam
menjalankan kehidupan ini para pemeluk agama memerlukan etika yang tujuannya
bisa mencapai kehidupan menjadi lebih baik. Asumsinya, etika tidak memberikan
ajaran, tapi memeriksa (mengkritisi) kebiasaan-kebiasaan,
nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral (termasuk moral agama)
secara kritis. Etika menuntut
pertanggungjawaban, melenyapkan kerancuan, dan supaya pendapat-pendapat moral
yang dikemukakan dapat dipertanggungjawabkan. Etika berusaha membersihkan
permasalahan-permasalahan (misalnya, fanatik buta dan taqlid buta) yang ada pada moralitas (ajaran baik-buruk) tersebut. [1]
Dalam
keadaan seperti itu, etika agama seolah-olah posisinya terancam bahkan
dipinggirkan hingga diabaikan karena dinilai tidak lagi memberikan solusi.
Etika agama dipandang hanya memberikan janji palsu, ilusi, dan dogma-gogma
tanpa diperbolehkan untuk mengkritisi. Bahkan etika agama dituduh sebagai
penyebab perilaku masyarakat (umat beragama) menjadi intoleran, anarkis,
dan bodoh dalam arti kering ilmu
pengetahuan. Pada akhirnya, etika agama hanya difungsikan sebagai penyatu
kelompok-kelompok pecinta Tuhan dan sebagai tempat “bersembunyi” (sumber dalih)
kalangan yang kalah dalam menghadapi kehidupan nyata.
Ironis
memang, kenyataan itu tengah terjadi akhir-akhir ini. Oleh karena itu, untuk
menangkal sikap skepitisme tersebut diperlukan pemahaman baru terhadap
teks-teks Wahyu. Di mana al Quran sebagai salah satu sumber agama Islam, yang
diklaim sabagai pedoman hidup seluruh umat manusia harus dibuktikan
kebenarannya. Akankah etika “sekuler” atau etika Islam yang termuat dalam al
Qurankah yang sanggup menghadapi badai kemelut peradaban. Atau memang harus
diadakan reintrepretasi terbaru terhadap teks al Quran, sehingga etika Islam
memang bisa mewujudkan peradaban yang rahmatalillalamin.
Dari
pemaparan tersebut, maka penulis mencoba untuk menelusuri kandungan-kandungan
etika yang ada di dalam al Quran. Kemudian menganilisnya, sehingga ditemukan
bagaimana nilai-nilai etika itu bisa dimanfaatkan dan relevan untuk digunakan
dalam kehidupan sekarang ini. Bagaimanapun, klaim atas kebenaran dan
keuniversalan ajaran Islam harus dibuktikan. Salah satunya adalah dengan
merumuskan etika Islam secara utuh dan tidak tendensius. Pada akhirnya konsep
etika tersebut bisa menjadi solusi bagi kehidupan seluruh umat manusia. Secara
sekilas, hal ini memang nampak prestius dan ambisius, akan tetapi ini menjadi
salah satu cara dalam memanfaatkan ilmu al Quran untuk diterapkan dalam
kehidupan nyata.
2.
Batasan
Masalah dan Topik Pembahasan
Agar
pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu
batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan
yang dikerucutkan sebagai berikut:
a. Konsep dasar etika yang
meliputi: pengertian etika, etika dalam al Quran, dan pengertian etika Islam.
b. Sumber etika menurut Islam dan
menurut etika sekuler
c. Etika Islam dalam mengatasi
permasalahan isu-isu kontemporer
BAB II
Pembahasan
A.
Konsep Dasar
1.
Pengertian
Etika
Dalam
kehidupan sehari-hari, seringkali istilah etika disamakan dengan moralitas.
Padahal antara keduanya memiliki fungsi sendiri-sendiri, utamanya dalam
struktur ilmu pengetahuan. Secara etimologis etika berasal dari bahasa Inggris,
yaitu ethics yang artinya etika atau
tata susila. Kata tersebut juga seakar (serumpun) dengan ethical artinya etis, pantas, layak, beradab, dan susila.[2]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata etika memiliki arti ilmu
tentang apa yang baik dan buruk serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Adapun kata moral berarti ajaran tentang perbuatan, kewajiban, dan sikap
baik-buruk yang disepakati secara umum (etis).[3]
Bila dilihat dari faktor sejarah,
kata etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang artinya watak kesusilaan
atau adat. Sedangkan moral berasal dari bahasa latin “mos” yang bentuk jamaknya
“mores” yang berarti adat atau cara hidup. Di mana moral dipakai untuk
perbuatan yang sedang dinilai, sedang etika dipakai untuk pengkajian sistem
nilai-nilai yang ada.[4] Yang dimaksud nilai di sini merupakan salah
satu cabang dari kajian filsafat. Oleh karena itu mempelajari etika sebenarnya
juga mempelajari filsafat tingkah laku atau filsafat moral (nilai).[5]
Adapun
Hamzah Ya’qub sebagaimana yang dikutip oleh Sudarsono, mendefinisikan etika
sebagai “ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk
dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh
akal pikiran.” Iapun merumuskan pengertian akhlaq sebagai “media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dengan makhluk dan antara
makhluk dengan makhluk.”[6]
Dengan kata lain, secara tidak langsung Ya’qub tidak menyamakan atau menyatukan
antara etika “murni” (sekuler) dengan akhlak dalam satu lingkup pengertian atau
pemahaman.
Etika berbeda dengan ajaran
moral. Ajaran moral adalah ajaran, patokan, dogma, dan kumpulan peraturan
tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia
yang baik. Sumber ajaran moral adalah otoritas[7]
yang ada di sekitar manusia di mana ia hidup. Sedangkan etika merupakan
pemikiran kritis dan mendasar (filsafat) tentang ajaran dan pandangan moral.[8]
Dengan kata lain etika dan ajara moral tidak berada di tingkat yang sama,
karena etika adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran.[9]
Lebih spesifik, moral berbicara tentang bagaimana manusia harus menjalani
kehidupan, sedang etika mengkaji tentang mengapa manusia harus mengikuti ajaran
moral tertentu. Serta bagaimana manusia dapat mengambil sikap bertanggun jawab
yang dihadapkan dengan berbagai ajaran moral.[10]
Harus diakui, kehidupan manusia
senantiasa dibentuk oleh moral. Ini artinya kehidupan alaminya, seperti nafsu,
kecenderungan, cita-cita, dan sebagianya seolah-olah disalurkan pada suatu
“bentuk” tertentu. Yang di maksud bentuk di sini adalah batasan atau aturan
yang melarang atau menyuruh individu untuk bertindak sebagaimana mestinya.[11]
Bila seseorang melanggarnya maka akan dikenai sanksi, tergantung jenis moral
apa yang lebih kuat dominasinya dalam masyarakat. Misalnya, orang yang melakukan bunuh diri dalam tindakan
terorisme, bisa saja satu sisi dinilai sebagai perbuatan heroik serta
mengharukan bagi masyarakat. Serta secara individu pelakunya perbuatan tersebut
dianggap “menyenangkan” secara kejiwaan. Di sinilah peran etika, yaitu menelaah
secara ilmiah apakah perbuatan semacam itu memang secara “nilai” sungguh
diperbolehkan atau hanya karena ada kepentingan terselubung di balik itu.
Menurut De Vos, perbedaan
antara etika dengan kesusialaan (moral) ditinjau dari segi sejarah terdapat dua
persoalan. Yakni, ada jarak pemisah antara “moral” yang diajarkan dengan
penghayatan sehari-hari (etika). Selain
itu, petunjuk-petunjuk serta cita-cita moral yang diajarkan selama ini
masih sering berbeda dengan petunjuk serta cita-cita moral yang diterima secara
umum.[12]
Dapat dipahami, masih ada kesenjangan antara ilmu moral (etika) dengan ajaran
moral yang hendak diterapkan itu sendiri. Di sinilah, peran agama bisa tampil
memberikan solusi yang secara detail akan dijelaskan pada pembahasan
selanjutnya.
Dari pembahasan di atas, dapat
disimpulkan pengertian etika ialah sebagai ilmu pengetahuan tentang perilaku
baik-buruk atau wajib-terlarang yang didasarkan pada arahan otoritas, perilaku
manusia pada umumnya, kebiasaan, aturan, pedoman, keyakinan, dan keteguhan
(kesadaran) manusia dalam memutukan sikap atau melakukan tindakan. Dapat
dikatakan, kajian etika hanya terkait dengan perilaku yang disengaja[13]
oleh pelakunya. Itu artinya, perilaku orang gila, orang tidur yang menggerakkan
tubuhnya karena mimpi, orang hilang ingatan, dan di mungkinkan juga orang
kesurupan, tindakan reflek, serta “latah” tidak bisa dinilai atau ditelaah dari
sudut pandang etika. Penulis menyadari untuk pernyataan terakhir yang masih
bersifat “mungkin” berpotensi dan layak untuk diperselisihkan.
2.
Etika dalam al
Quran sebagai Sumber Human Values
Etika agama Islam didasarkan
pada nilai-nila humanis yang meliputi
keadilan, kebebasan, kebenaran,
kesetaraan, persaudaraan, kedamaian, kasih sayang, toleransi, dan saling tolong
menolong dalam kebenaran dan kesalehan. Nilai kemanusiaan pertama yang dimiliki
oleh seluruh umat manusia sebagai makhluk termulia seperti digambarkan dalam
Q.S al-Israa’ [17]:70:
Terjemahnya: “Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.”
Di dalam ayat tersebut
digambarkan bahwa Allah memuliakan manusia. Ia tidak membedak-bedakan
memberikan sifat kemulian kepada umat manusia. Semua manusia baik itu islam
maupun nonislam dan berbangsa apapun adalah mulia dibandingkan dengan makhluk
lain.[14]
Secara tersurat al Quran tidak pernah menyinggung
tentang apa dan bagaimana itu etika. Akan tetapi secara tersirat banyak
ayat-ayat al Quran yang menyinggung tentang etika, yaitu terkait dengan
perbuatan baik dan buruk. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Tshihiko Izutsu
yang mendeskripsikan dalam al Qur’an terdapat banyak kosakata tentang
“baik-buruk.” Meski banyak dari kata-kata tersebut secara indipenden hanya
mengindikasikan dari salah satu atau gabungan dari beberapa fungsi deskriptif,
implikafit, indikatif, serta evaluatif. Di mana, berdasar kacamata eskatologis
“posisi” akhir manusia (setelah mati) tergantung pada apa yang dilakukannya
saat di dunia. Tentunya hal itu juga dilihat dari apakah perbuatan manusia
tersebut menyebabkan kelancaran (bermakna baik) atau keterhambatan (bermakna buruk)
bagi kemajuan Islam di muka bumi.[15]
Dengan demikian konsep etika dalam al Quran
sebenarnya sangat luas. Tidak hanya terbatas pada masalah etika (tata cara)
beribadah, etika berkeluarga,[16]
etika politik, etika ekonomi, dan etika hukum, dan semacamnya. Namun etika
dalam al Quran juga menyentuh masalah-masalah yang secara tekstual tidak hanya
bersangkut paut dengan “tata cara” dalam beragama[17]
secara simbolik. Lebih dari itu ternyata al Quran secara menakjubkan
mendiskripsikan bagaimana sebuah perilaku itu bisa dikatakan baik dan bagaimana
perilaku itu bisa disebut buruk. Oleh karena itu penulis memandang perlu ada penjabaran
beberapa istilah di dalam al Quran terkait dengan permasalahan etika yang
seluruhnya penulis kutip dari Toshihiko, sebagai berikut:[18]
a. Saleh
Penyebutan kata Saleh dalam al Quran sangat
banyak sekali, salah satunya dalam Surah al Baqarah ([2]: 82) sebagai berikut:
Artinya: Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh (mengerjakan kebajikan), mereka itu penghuni surga.
Mereka kekal di dalamnya.[19]
Kata saleh berarti “taat dan sungguh-sungguh
menjalankan ibadah;” atau “suci dan beriman:.” Sedangkan kebajikan artinya
“sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan, keberuntugan, dan sebagainya);
perbuatan baik;.”[20]
Dengan demikian secara bahasa, sesungguhnya kata saleh adalah perbuatan yang
bisa mendatangkan suasana yang penuh kedamaian (terkait dengan kata islah).
Dalam al Quran seringkali kata saleh (shalihat) mengikuti kata iman (amanu). Mengingat sedemikian banyaknya,
maka seakan-akan diantara kedua kata tersebut tidak terpisahkan. Pada akhirnya,
kata salihat dapat diartikan “iman” yang dinyatakan seutuhnya dalam bentuk
perbuatan nyata.[21]
Artinya, orang yang mengaku beriman tidaklah beriman, melainkan bila mereka
mewujudkan “kepercayaan” dalam hati dengan perbuatan nyata.[22]
Tentunya perbuatan yang pantas dan sesuai dengan kriteria orang saleh. Dengan
demikian, dalam kasus ini perbuatan dikatakan baik bila perbuatan tersebut
adalah perbuatan saleh yang diperintahkan oleh Allah kepada umat yang beriman. Adapun
lawan dari kata dari amal saleh adalah kata sayyi’ah yang terdapat dalam Surah
al Mu’min ([40]:40), at Taubah ([9]: 101-102), dan an Nisa’ ([4]: 123-124).
b. Birr
Salah satu ayat menyinggung dan menunjukkan
secara tidak langsung definisi kata birr.
Yaitu dalam Surah al Baqarah ([2]: 177) yang artinya:
Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa.
Berangkat
dari arti (terjemahan) ayat tersebut, sesungguhnya secara praktik akan sangat
sulit dibedakan antara Saleh (Salihat) dengan iman (sebenar-benarnya iman). Ini
menunjukkan bahwa sebenarnya istilah “saleh” merupakan kata yang bermakna kompleks.
Oleh karena itu, bila diterjemahkan dalam bahasa manapun hanya ke dalam satu
kata ganti (terjemahan) saja tidak akan setara dengan keseluruhan makna yang
sesungguhnya. Hal ini juga terjadi pada kata birr[23]
yang bermakna kompleks.
Masih dari kadungan ayat di atas, dalam pernyataan terakhir ayat tersebut
menekankan pada kata taqwa (takut kepada Allah). Hal ini secara eksplisit
menunjukkan hubungan antara birr dengan
taqwa. Di mana ras takut itu diwujudkan dengan memenuhi segala kewajiban, baik
yang bersifat sosial (kemanusiaan) maupun religius (keimanan) bisa
dikatagorikan birr. Hal ini dibuktikan dengan ayat lain dalam
Surah al Baqarah ([2]:189) yang artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,[24] akan
tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung.
c. Fasad
Menurut Izutsu, kata fasad[25]
mengandung makna yang universal, yaitu menunjuk kepada seluruh macam pekerjaan
yang bersifat buruk dan dalam lingkup konekts non-religius. Misalnya, kategori
tindakan perusakan yang dilakukan oleh Ya’Juj dan Ma’juj di muka bumi dalam
Surah al Kahfi ([18]: 94) dan juga pencurian dikatagorikan dalam tindakan fasad, sebagaiman dalam surah Yusuf
([12]: 73) yang artinya:
Saudara-saudara
Yusuf menjawab "Demi Allah sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kami datang
bukan untuk membuat kerusakan di negeri (ini) dan kami bukanlah para pencuri
."
Selain, diartikan dalam konteks tersebut, kata fasad dalam al Quran juga diartikan kepada
adat masyarakat yang menjijikkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Sodom
umatnya nabi Luth yang ditegaskan dalam Surah al Ankabuut ([29]: 28-30). Serta
juga bisa dimaknai dengan perilaku Fir’aun dalam Surah al Qashash ([28]: 4)
sebagai penindas bani Israel tanpa alasan yang dibenarkan (sewenang-wenang).
3.
Pengertian
Etika Islam
Pada awal perkembangan pemahaman
terhadap wahyu, bahwa seluruh kandungan Quran membentuk etika Islam yang
melibatkan kehidupan moral, keagamaan, dan sosial muslim. Hal ini dipertegas
bahwa seluruh risalah kenabian Muhammad tidak lain demi terciptanya
kesempurnaan Akhlak bagi seluruh umat
manusia.[26] Selain itu
tugas manusia di muka bumi ini adalah mengabdi (menghamba) atau beribadah untuk
Allah (Surah Adz Dzaariyaat [51]:56).[27]
Ayat tersebut bermakna “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Artinya, Allah menciptakan mereka untuk memerintah merika beribadah, bukan
karena Allah butuh kepada mereka. Oleh karena itu, mereka harus mengakui Allah
dengan bentuk beribadah kepada-Nya. Baik dalam keadaan suka maupun terpaksa.
Sebagaimana menurut Imam Ahmad meriwayatakan dari Abu Hurairah, ia mengatakan
bahwa Rasul bersabda yang artinya:
“Hai anak Adam! Fokuskanlah
dirimu sepenuhnya untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan
kekayaan (batin) dan Aku tutup kefakirannmu. Dan jika kamu tidak melakukannya
maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesibukan, dan aku tidak akan menutup
kefakiranmu.”[28]
Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa setiap apa yang dilakukan (terkait etika) manusia semuanya
dilakukan karena menghamba (ibadah) untuk-Nya. Oleh karena itu, semua yang
diperbuat setiap individu harusnya diniatkan untuk mencarai Ridha Allah SWT. Artinya,
dalam menjalankan kewajiban (perintah) untuk melakukan kebaikan itu semata-mata
untuk Allah. Sebaliknya, dalam meninggalkan keharaman (larangan) untuk tidak
melakukan keburukan itu juga semata-mata untukk Allah.
Pernyataan tersebut sebagaimana
menurut Sudarsono, bahwa ukuran kebaikan dan ketidak baikan dalam etika Islam
bersifat mutlak, yakni pedomannya adalah al Quran dan hadith. Dengan demikian,
etika Islam tergolong etika teologis. Sebagaimana menurut Hamzah Ya’qub bahwa
etika Islam memandang ajaran
Tuhan sebagai dasar ukuran kebaikan dan keburukan. Segala perbuatan yang
dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan buruk, begitupula sebaliknya, sebagaimana
yang dijelaskan dalam Kitab Suci. Lebih lanjut, nilai-nilai luhur
(kebaikan) yang tercakup dalam etika Islam sebagai sifat terpuji (mahmudah) antar lain: berlaku jujur (al-amanah),
berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul
waalidaini), memelihara kesucian diri
(al-Iffah), kasih sayang (ar-Rahmah),
dan al-barr, berlaku hemat (al-iqtishad)
menerima apa adanya, dan sederhana (qona’ah
dan zuhud), perlakuan baik (ihsan),
kebenaran (shiddiq), pemaaf (‘afw), keadilan (‘adl), keberanian (syaja’ah),
malu (haya’), kesabaran (shabr), berterima kasih (syukur), penyantun (hilm), rasa sepenanggungan (muwasat),
kuat (quwwah), dan sebagainya.[29]
Abd. Haris menyimpulkan bahwa
etika Islam erat kaitannya dengan istilah “akhlak” dan “adab.” Secara detail akhlak menjadi kata kunci dalam
pembahasan etika Islam. Dalam al Quran sendiri pada Surah al Qalam ayat 4
terdapat kata “khuluq” yang berarti
budi pekerti. Dan dalam surah as Syu’ara ayat 137 terdapat kata “akhlaaq” yang
artinya adat kebiasaan. Sedangkan istilah “adab” berarti kebiasaan dan adat.
Dengan demikian kata adab juga dapat berarti etika.[30]
Secara rinci, Al-Hafidz menerangkan tentang akhlak sebagai berikut:
Kata Akhlaq dalam bentuk tunggal tidak disebut dalam
Alquran. Tetapi dalam bentuk jamak, yaitu khuluq, disebutkan pada QS.
Asy-Syu’ara (26): 137, berbunyai khuluq al-awwalin artinya adat istiadat
orang-orang dahulu kala, dan QS. Al Qalam (68): 4, yang berbunyi wa innaka
la’ala khuluqin ‘azim, artinya sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak
yang sangat mulia. Akhlak adalah peraturan Allah yang bersumberkan pada Alquran
dan sunah Rasul, baik peraturan yang menyangkut hubungan dengan Al-Khaliq
(Allah), hubungan dengan sesamanya, ataupun hubungan dengan manusia dengan
lingkungannya (makhluk lainnya).[31]
Lebih
rinci dalam Q.S al Qalam [68]: 4 Allah SWT berfirman:
Dalam ayat tersebut dapat ditafsirkan bahwa Nabi
adalah sebagai sumber (teladan) budi pekerti. Sebagaimana yang dikatakan oleh
istri nabi Aisyah bahwa “Akhlak beliau adalah al Qur’an.” Beilau melakukan apa
yang disebutkan dalam al Quran seperti yang digambarkan pada Q.S al A’raaf [7]:
199 dan Q.S Ali Imran [3]: 159, dan sebagai berikut:
Terjemahnya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Nabi Muhammad memiliki
akhlak yang paling sempuna dan paling agung di antara makhluk lain. Oleh karena
itu, wajar bila beliau sangat mudah dekat dengan orang lain, disegani, berkasih
sayah, komitmen, berwibawa, bermusyawarah, dan tidak pernah membuat sakit hati.
Belau tidak pernah bermuka masam, keras ucapannya, menjaga lisan dari ucapan
tak berguna, tidak menjadi pemarah, kecuali bila adalah ajaran Allah yang
dilanggar.[32]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa etika
dalam
al Quran erat kaitanya dengan
iman, hal ini berarti tidak adanya akhak atau etika sesuai dengan ajaran agama
berarti tidak lengkapnya iman seseoarang. Kenyataannya hampir seluruh ajaran
Islam tertuju pada pembinaan akhlaq.[33]
Hal ini karena, dengan beretika islam yang utuh maka bisa terwujudlah suatu
perdamaian hakiki antar seluruh umat manusia. yakni, manusia yang memiliki
moralitas baik pada Allah, rasul, orang lain, dan terhadap dirinya sendiri
serta alam sekitarnya . Sebagaimana hadith Rosul, yang artinya “tidak beriman
salah seorang di antaramu, sehingga mencintai saudaranya (sesama mukmin)
seperti halnya mencintai dirinya sendiri.” (riwayat bukhari). Namun demikian, pada kenyataannya Akhlak
tidak dapat diukur secara kuantitaif dan matematis, karena lebih bercorak
rohaniyah untuk senantiasa semangat bermal kebajikan dan melakukan amal sholeh
dengan ikhlas. Sebagaimana
pendapat Maskawaih bahwa etika erat kaitannya dengan
psikologi dan akhlak.[34]
4.
Pengertian Etika Sekuler
Rushworth M. Kidder mengemukakan bahwa etika sekuler merupakan cabang dari
filsafat moral, sehingga etika hanya didasarkan pada kemampuan manusia. Yakni,
kemampuan dalam berlogika, berargumen, berintuisi moral, dan tidak bersumber
dari wahyu atau supranatural. Dengan demikian etika sekuler lebih mengedepankan
nilai humanisme, sekulerisme, dan kekritisan berpikir.[35]
Etika sekuler
memandang bahwa pergaulan di dunia itu selalu dihadapkan pada dua hal, yaitu
yang berakibat baik dan yang berakibat buruk. Manusia sebelum mempertimbangan
(akhirat, iman) harus mengutamakan akalnya terlebih dahulu untuk menentukan
perbuatan itu baik atau buruk. Dengan kata lain, etika sekuler lebih
mengunggulkan dan mengutamakan aspek-aspek kemanusiaan, terhadap perbuatan
buruk yang sudah dilakukan. Argumentasinya, lebih baik berhenti dari perbuatan
buruk dan kembali “wajar” daripada terlanjur parah. Ukuran parah di sini adalah
bila tubuh dan jiwa sudah rusak. Bisa juga kerusakan pada “nama,” di mana harga
diri sudah tidak ada lagi. Bila tidak segera dihentikan, maka nilai-nilai
kemanusia pada suatu individu akan luntur.[36]
Dari pembahasan di atas, apabila digambarkan dalam sebuah tabel tentang perbedaan
antara etika Islam dengan etika sekuler (tradisi lama dan modern) sebagai
contoh konkrit dapat dijabarkan sebagai berikut:
Tabel: 1.1 Moralitas ditinjau dari konteks tradisi lama,
modern, dan Islam[37]
(diadaptasi
seperlunya dari Burhanuddin Salam)
Permasalahan
|
Tinjauan Etika menurut:
|
||
Tradisi Lama
|
Modern
|
Islam
|
|
Pakaian
dan cara berpakaian
|
Bermacam-macam,
ada yang terbuka dan tertutup auratnya
|
Berganti-ganti,
sesuai dengan tren dan selera ahli mode
|
Wajib
menutup aurat. Untuk potongan dan bentuk tidak jadi masalah.
|
Minuman
keras
|
Ada
yang setuju dan ada yang tidak setuju
|
Sebagai
lambang pergaulan modern, gaya hidup
|
Semua
jenis minuman memabukkan haram hukumya.
|
Judi
|
Ada
yang mendukung dan ada yang menolak
|
Dianggap
soal biasa, bagian dari kehidupan bebas
|
Dosa
besar
|
Hidup
mewah berlebihan
|
Dianggap
sebagai hak dan permasalahan individu
|
Kebebasan
individu, tergantung pada kemampuan
|
Hukumnya
mubazir. Merupakan perbuatan tercela
|
Tinggi
hati
|
Orang
tua menilainya kurang baik
|
Tergantung
orang yang menilai. Setiap orang bebas bersikap asal tidak melanggar pidana
|
Perbuatan
tercela
|
Dengan
demikian perbedaan etika islam dengan sekuler adalah bahwa etika Islam bersifat
mutlak (tetap) dan mengikat pada semua pemeluknya. Adapun etika sekuler itu
bersifat relatif, tergantung pada prespektif apa yang digunakan untuk
mengritisi moral. Penulis memandang pembandingan antara kedua hal itu sangat
penting. Mengingat, selama ini etika agama (teologi) termasuk etika Islam
secara umum (utamanya dalam praktik) dipandang belum mampu “mengarahkan”
pemeluknya untuk bisa hidup berdampingan secara damai dengan manusia lain.
Misalnya, adanya kasus terorisme bermotif agama, kerusuhan bermotif agama, dan tindakan
amoral lainnya yang mengatasnamakan agama. Oleh karena itu, penulis memandang
penting untuk membandingkan etika yang dikonstruk oleh Islam dalam al Quran
dengan etika yang “dipaksakan” dan dikonsep oleh umat manusia (etika sekuler).
Dalam
etika Islam, peran akal bukan sama sekali dimatikan. Bahkan akal dipandang
punya peranan dalam penentuan perbuatan manusia. Akallah yang menyebabkan
manusia “mau” beragama. Orang yang beragama memiliki dua modal dasar dalam
dirinya: 1. Akal budi, perlu diasah dan dilatih agar semakin tajam, 2.
Pertimbangan rasa, dapat menilai mana yang baik dan buruk. Oleh karena itu
orang yang beragama tidak akan menjahui dunia, tetapi memanfaataknnya untuk
berbuat kebajikan sebanyak mungkin, sesuai dengan ajaran agamanya. Jadi, ia
yang memperalat dunia, bukan dunia yang memperalatnya.[38]
Kendati
demikian, dalam etika Islam akal bukan merupakan peranan satu-satunya manusia
dalam “menjalankan” perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Sebagaimana yang
telah disampaikan oleh Achmad bahwa etika merupakan ilmu pengetahuan rohaniah,
normatif,[39]
dan teologis. Ia bukan lagi ilmu pengetahuan yang bisa diukur secara matematis,
sehingga tak dapat diramalkan dengan pasti. Ia merupakan pengetahuan tentang
“seni hidup secara baik.”[40] Dengan
kata lain, sebuah perbuatan harusnya “diteliti” tidak hanya pada sudut pandang
kehendak atau kesengajaan manusia. Ada sisi lain yang sulit untuk dipahami oleh
akal, salah satunya untuk mengetahui mengapa “perbuatan” itu bisa terjadi.
Komponen yang sulit untuk dipahami dengan akal itu adalah adanya faktor hidayah[41]
dan mekanisme ghaib (peran takdir)[42]
dari Allah SWT. Selain itu, Islam juga memandang bahwa semua tindakan yang
dilakukan oleh manusia tidak akan disia-siakan oleh Allah. Perbuatan baik atau
buruk, semuanya pasti mendapatkan balasan yang setimpal. Dapat dikatakan, semua
niat baik bahkan bila dilanjutkan dengan (cara) perbuatan baik yang dilakukan
oleh umat Islam untuk mencari ridho Allah bisa dikatakan sebagai ibadah
(berpahala).
B.
Relevansi Etika dalam al Quran Terhadap
Isu-isu Kontemporer
Islam
adalah agama yang paling benar dan paling sempurna di antara agama lainnya.
Dengan demikian, sesungguhnya etika (sekuler) tidak dapat menggantikan posisi
(etika) agama Islam.[43]
Klaim ini bukan tanpa alasan sama sekali, dalam Islam[44]
secara rinci mengatur seluruh kehidupan manusia. Bahkan dalam urusan sekecil
dan sedetail apapun telah diatur dalam Islam. Salah satu contohnya adalah
anjuran nabi Muhammad untuk senantiasa membedakan antara tangan kanan dan
tangan kiri dalam melakukan sesuatu:
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Janganlah sekali-kali seseorang
dari kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya ketika kencing, jangan
pula membersihkan dari buang hajat dengan tangan kanannya, dan jangan bernafas
di dalam bejana.” Muttafaq Alaih, dan ini lafazh Muslim.[45]
Dari
terjemah hadith beserta keterangannya tersebut dapat dipahami bahwa untuk
perbuatan yang bersifat najis, keintiman (privasi), dan perbuatan yang
“menjijikkan” disuruh menggunakan tangan kiri. Namun sebaliknya, dalam beberapa
hadith lain untuk perbuatan yang terkait dengan kesucian, keumuman (bisa
dipublikasikan), dan perbuatan luhur disuruh menggunakan tangan kanan. Dalam
kajian kekinian, menurut penulis salah satu manfaat yang diperoleh secara
psikomotorik dalam menerapkan hadith ini adalah terjadi keseimbangan pergerakan
anggota tubuh. Anggota badan tidak hanya lebih mengutamakan tangan kiri saja
atau tangan kanan saja, tapi kedua tangan sangat penting dengan fungsi yang
berbeda. Adapun secara psikologis, supaya bisa terjadi kebiasaan untuk
membedakan mana yang “baik” dan mana yang “buruk.”
Etika merupakan pembawaan insani, sehingga tidak lepas dari sumber dari
“Yang Maha Awal.” Oleh karena itu, berbicara etika pasti menyinggung “Sumber
Pertamanya.” Di mana Ia (Allah) yang berada di belakang realitas dan dunia
metafisika, sehingga tidak mungkin membahas-Nya melalui akal. Dengan kemauan
dan intuisi yang dibimbing wahyu Ilahi serta melalui jalan Tasawuf, manusia
bisa mendekati-Nya. Implikasinya, etika tidak akan bisa hanya dibicarakan
secara filosofis,[46]
karena tasawuflah satu-satunya jalan yang bisa membawa orang kepada tujuan.[47]
Sebagaimana menurut Madjid
bahwa salah satu hal yang sangat dibutuhkan (penting) pada semua era
pembangunan (termasuk era modernitas) adalah akhlak atau moral. Kenyataannya, masalah
yang banyak ditemui di Indonesia adalah lebih mengutamakan konotasi kebahasaan
seagai bangsa yang berbudaya unggul, bangsa religius, dan bangsa bermoral
berdasarkan aspek bidang pergaulan sehari-hari belaka. Namun, realitasnya
bangsa ini secara umum dikenal sebagai bangsa yang korup. Di mana KKN di negari
lain menjadi sebuah skandal tapi di negeri Indonesia dianggap sebagai sesatu
yang lumrah. Misalnya terjadi pungli dan nepotisme.[48] Bahkan,
masyarakat negeri ini cukup banyak yang melanggengkan “kenistaan” tersebut
membawa nilai-nilai luhur, yakni demi mempertahankan kebaikan. Misalnya,
memanipulasi “kebenaran” dengan dalih menyuap diperbolehkan senyampang untuk
melanggengkan “kebaikan” atau kebenaran. Dikhawatirkan bila tidak “menyuap”
maka potensi “kehancuran” menjadi lebih besar.
Bagaimanapun, suatu kebaikan
atau kebenaran tidak bisa diperoleh secara sempurna, bahkan tertolak bila cara
yang ditempuhnya tidak baik dan tidak benar. Lantas di mana dan sejauh mana
tolak ukur “kehancuran” (mudharat) itu bisa mensahkan seseorang sehingga
diperbolehkan untuk menyuap. Padahal masih ada jalan selain itu untuk mencegah
bertambahnya potensi “kehancuran” tersebut. Di sinilah menurut penuiis, telah
terjadi ketidak sinkronan antara perkataan dan perbuataan saat komunikasi pada
wilayah perseorangan (kelompoknya sendiri) dengan wilayah “publik.” Pada akhirnya dalam kasus ini hanya
kepentingan pribadilah yang “menentukan” etikanya (perilaku).
Oleh sebab itu, dalam mengkaji
etika Islam tidaklah cukup hanya dengan kemampuan akal semata tanpa keimanan.
Sebagaimana menurut Madjid bahwa kajian tentang keagamaan harus bertitik tolak
dari keimanan. Oleh sebab itu, setiap permasalahan dari sudut pandang keagamaan
harus bertitik tolak dari keimanan. Implikasinya, sesuatu yang empiris di satu
sisi dapat mendukung klaim ajaran agama, tapi di sisi lain juga sebaliknya.
Bagaiamanpun, kenyataan empirik tidak berdiri sendiri melainkan akibat dari
berbagai faktor,[49]
maka penjelasan tentang itu tidak dapat diberikan hanya dari satu sudut.
Misalnya, hanya dari pertimbangan ajaran yang “murni” semata, tetapi juga
melibatkan sudut pertimbangan historis, sosiologis, dan faktor-faktor
lingkungan lian, baik dari luar diri maupun dari dalam diri.[50]
Sebagaimana menurut Hunt
dan Vitell (1968) menjelaskan proses pengambilan keputusan etika diawali dengan
langkah seseoarang dalam menerima “ajaran” etika, kemudian pada pertimbangan
etika (ethical judgment), berkembang
pada niat, dan diakhiri dengan bentuk perbuatan. Menurut mereka, faktor yang
mempengaruhi seseorang dalam memahami dan mempersiapkan “ajaran” etika meliputi
lingkungan budaya, lingkungan industri, lingkungan organisasi, dan pengalaman
personal.[51]Asumsinya, masing-masing
mempunyai peran yang saling terkait satu sama lain, meski ada salah satu faktor
yang dominan dan “menguatkan” etika dalam mempengaruhi faktor lain yang cenderung “melemahkan” etika.
Gambar 1.1: Skema pendekatan
individu dalam merespon tuntutan dari pihak luar
Dari gambar tersebut dapat penulis simpulkan bahwa dalam memutuskan atau
menilai suatu perbuatan hati nurani berangkat
dari perasaan dan kejujuran diri,
utamanya tentang kewajiban.
Sedangkan etika
berangkat dari logika (akal) dan prinsip kemalsahatan utamanya agar tercapai
“keamanan.” Dengan demikian, bila
dikaitkan dengan ajara Islam maka keputusan yang berasal dari hati nurani
adalah keputusan yang didasarkan pada nafsu mutmainah.[52]
Sedangkan keputusan yang berasal dari etika adalah keputusan yang hasilnya
cenderung berada pada nafsu lawwamah.[53]
Asumsinya, karena perbuatan umat Islam yang dilakukan hanya sekedar untuk
melakukan kewajiban (etika) maka nilainya di mata Allah tidaklah tinggi. Oleh
karena itu, ia menyesali ketika mendapat “hidayah” mengapa perbuatan (etika)
itu hanya dilakukan sekedarnya saja.
Lebih lanjut, idealnya,
keputusan etis dibuat berdasarkan hukum Tuhan yang ada di dalam kitab suci dan
di alam semesta. Banyak penulis (termasuk Thomas Aquinas) percaya bahwa dengan
mempelajari salah satu dari dua hal tersebut maka manusia akan bisa bersikap
etis. Hal ini tentu berbeda dengan pandangan Islam, utamanya dalam QS 96: 1-5,
68: 1-2, dan 55: 1-3, di mana Taha Jabir al ‘Alwani menyimpulkan bahwa manusia
diperintah Allah untuk melakukan kedua hal tersebut secara terus-menerus secara seimbang.[54]
Bagaimanapun kedua hal tersebut sama-sama penting, bila hanya salah satu saja
yang diutamakan maka umat Islam akan menjadi umat yang lemah di dunia saja
(sebagai khalifah) atau lemah di akhirat (sebagai hamba Allah).
Secara terperinci Beeku
mengemukakan parameter kunci sistem etika Islam sebagai berikut:
1.
Suatu tindakan disebut
etis tergantung pada niat individu. Kadangkalah hanya Allah SWT saja yang tahu
niat sepenuhnya dan secara sempurna apa yang ada pada hati manusia.
2.
Niat baik yang diikuti
oleh tindakan baik dapat disebut sebagai ibadah. Namun, niat yang baik tidak
dapat mengubah tindakan yang “tidak baik” menjadi halal (baik).
3.
Islam memberikan
kebebasan individu untuk percaya dan bertindak sesuai dengan keyakinan dan
keinginannya, namun tidak dalam hal tanggungjawab dan keadilan.
4.
Iman kepada Allah
memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau siapapun kecuali
Allah.
5.
Keputusan yang hanya
menguntungkan mayoritas ataupun minoritas tidak secara langsung berarti
bersifat etis dengan sendirinya, karena etika bukanlah hal yang terkait dengan
jumlah.
6.
Dalam memandang atau
menilai etika, islam menggunakan pendekata terbuka. Bukan pada sistem yang
tertutup dan berorientasi pada diri sendiri, karena egoisme tidak mendapat
tempat dalam ajaran Islam.
7.
Keputusan etis
didasarkan pada “pembacaan” secara bersamaan antara ayat Kauliyah dan ayat
kauniyah
8.
Islam mendorong umat
manusia untuk melakukan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan material
ini. dengan tetap berperilaku etis di tengah godaan ujian dunia, kaum muslim
harus membuktikan ketaatannya pada Allah SWT. [55]
Dari semua pemaparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa di dalam al Quran terdapat beberapa aturan (moral) sebagai
standar etika bagi umat Islam. Sudah barang tentu, etika yang dikonstruk oleh
al Quran kadang kala bertentangan dengan etika sekuler. Kendati juga sangat
banyak nilai-nilai humanisme dalam al
Quran sebagaimana yang ada di etika sekuler. Dengan demikian, al Quran sebagai
sumber etika dari ayatnya tidak boleh serta merta dipahami secara kebahasaan
saja tapi juga harus memperhatikan konteks sosialnya. Sebagai penutup, akhirnya penulis mengakhiri kajian ini
dengan menyatakan wallah a’lam bi al-shawab.
DAFTAR RUJUKAN
“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
“Shahih Tafsir Ibnu
Katsir,” dalam al-Misbaahul Muniir fii
Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsiir, terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir. Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir, 2011.
“Tafsir al Qalam Ayat 1-16,” dalam http://www.tafsir.web.id/2013/04/tafsir-al-qalam-ayat-1-16.html, 02 April 2013, diakses tanggal 16 Desember 2014.
Abdullah, M. Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif al-Qur’an.
Jakarta: Amzah, 2007.
Achmad, Mudlor. Etika dalam Islam.
Surabaya: al Ikhlas, tt.
Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus
Ilmu al Quran. tanpa kota: Amzah, 2005.
Asymawi, Fawzia.
“Nilai-nilai Kemanusiaan; Antara Islam dan Barat,” dalam http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1000:nilai-nilai-kemanusiaan-antara-islam-dan-barat&catid=36:jahane-eslam&Itemid=143, Rabu 26 Oktober 2011, diakses tanggal 16 Desember 2014.
Bertens, K. Etika.
Jakarta: Gramedia, 2004.
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-30
(Surabaya: Duta Ilmu, 2005), 15.
Echols, John M. dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Haris, Abd. Etika
Hamka: Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius. Yogyakarta: Lkis, 2010.
Izutsu, Toshihiko. Ethico-Religious Concepts in the
Qur’an. Montreal: McGill Queen’S University, 2012.
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 1995.
Mudassir, Dilema
Etika dalam Pengambilan Keputusan Etis.
Malang: Universitas Negeri Malang, 2012.
Muhammad dan Fauroni, R. Lukman. Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis. Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.
Muhammad, Abu Abdillah bin Ahmad bin Abdul hadi
al-Maqdisi, Ensiklopedi Hadits-hadits
Hukum, terj. Suharlan dan Agus Ma’mun. Jakarta: Darus Sunnah, 2013.
Salam, Burhanuddin. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan
Manusia. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Sudarsono, Etika
Islam Tentang Kenakalan Remaja. Jakrata: Bina Aksara, 1989.
Suseno, Franz Magnis dkk. Etika Sosial: Buku Panduan Mahasiswa.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
--------. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987
Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: logos, 2002.
Syukur, Suparman. Etika Religius.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Vos, H.
De. “Pengantar
Etika,” dalam Inleiding tot de Ethiek, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.
Yatimin, M. Abdullah. Pengantar
Studi Etika. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Zubair,
Akhmad Kharris. Kuliah
Etika.
Jakarta: Rajawali, 1987.
[1]Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar:
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 16-18.
[2]John M. Echols and Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013),
hlm. 219.
[3]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[4]Akhmad Kharris Zubair, Kuliah Etika
(Jakarta: Rajawali,
1987), hlm.13. Bandingkan artinya dengan
pendapat Austin Fagothey yang dikuitp oleh Mudlor Achmad, bahwa Etika adalah
teori yang membahas tentang kebiasaan (perilaku), tetapi bukan menurut arti
tata adat, melainkan atat adab, yang penilaiannya berdasar pada “baik dan buruk”
sebagai sifat dasar yang dimiliki manusia. Namun demikian, etika sebagai cabang
ilmu pengetahuan tidak berdiri sendiri. Ia selalu terkait dengan seluruh ilmu
tentang manusia, seperti antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, hukum, dan
sebagainya. Perbedaannya terletak pada paradigmanya, yaitu etika menekankan
pada “baik-buruk.” Lihat, Mudlor Achmad, Etika dalam Islam (Surabaya: al Ikhlas, tt), hlm. 15.
[5]“Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan
etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang
begitu saja ditermia dalam suatu masyarakat—sering kali tanpa disadari—menjadi
bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama
artinya dengan filsafat moral.” Lihat, K.
Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 6.
[7]Otoritas menurut penulis bisa berwujud sekelompok orang,
organisasi, pemerintah (negara), orang tua, guru, atau siapapun yang punya
wewenang, andil besar, atau berpengaruh.
[8]Ki Hajar Dewantara (1962) mendefinisikan etika sebagai
“ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup
manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik fikiran dan rasa yang
dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuannya yang dapat
merupakan perbuatan.” Lebih detail, Zubeir menjelaskan bahwa “Etika berhubungan
dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat sebagai:
antroplogik, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik, ilum hukum.
Perbedaanya trletak pada aspek keharusannya (ought). Perbedaan dengan teologi moral, karena tidak bersandarkan
pada kaidah-kaidah keagamaan, tetapi terbatas pada pengetahuan yang dilaharikan
tenaga manusia sendiri.” Lihat, Zubair, Kuliah Etika, hlm. 15.
[9]Bandingkan dengan pendapat H. De Vos, Lihat, H. De Vos, “Pengantar Etika,” dalam Inleiding tot de
Ethiek, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 6.
[12]Ibid., hlm. 9.
[13]Perilaku yang disengaja menjadi
catatan penting dan utama dalam beberapa penulis buku tentang etika. Salah
satunya Magnis-suseno yang menjelaskan: Etika merupakan pemikiran kritis-rasional terhadap moral,
akan tetapi moralitas hanya mungkin terwujud bila manusia bebas. Asumsinya,
manusia dengan sadar dan sengaja dapat menentukan untuk melakukan atau tidak
melkaukan sesuau, maka ia perlu pengarahan melaui norma-norma moral. Lihat, Franz Magnis Suseno, dkk., Etika Sosial: Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1996), hlm.18.
[14]Fawzia Asymawi, “Nilai-nilai Kemanusiaan; Antara Islam
dan Barat,” dalam http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1000:nilai-nilai-kemanusiaan-antara-islam-dan-barat&catid=36:jahane-eslam&Itemid=143, Rabu 26 Oktober 2011, diakses tanggal 16 Desember 2014.
[15]Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill Queen’S University, 2012), hlm. 203.
[16]Ditinjau dari segi kejiwaan, nilai-nilai etika Islam
menghendaki agar setiap keluarga memperkokoh dasar-dasarnya. Salah satunya
dengan berbakti pada kedua orang tua, serta tata cara komunikasi Islamiyah
dalam berkeluarga menjadi metode baku dalam mewujudkan keluarga harmonis,
sakinah, dan penuh rahmah. Lihat, Sudarsono, Etika Islam Tentang, hlm. 47.
[17]Pernyataan penulis tersebut hampir
sama dengan pendapat Quraish Shihbat, bahwa salah satu tujuan al Quran
diturunkan kepada manusia adalah “Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik
serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru
sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep teologis,
tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.” Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 1996), hlm. 12.
[19]Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-30
(Surabaya: Duta Ilmu, 2005), hlm. 15.
[20]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[21]Pernyataan Izutsu tersebut bisa
dikatakan hampir sama dengan Mudlor Ahmad, bahwa syariat Islam sesungguhnya
mengandung tiga kategori tingkatan yaitu, iman-islam-ihsan. Secara rinci ia
menyebutkan bahwa iman sebagai dasar,
Islam sebagai konsekuensi, dan ihsan sebagai penyempurna. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya ayat Quran (kurang lebih 35 ayat) yang menyebutkan
“wa amilus shoolihaat” setelah “alladziena aamanuu.” Penyebutan amal shaleh di
dalam al Quran menunjukkan betapa tidak lengkapnya iman manusia yang hanya
diikuti islamnya saja. implikasinya, setiap perbuatan manusia terkena nilai,
oleh sebab itu diusahakan jangan sampai menyimpang dari norma-norma tertentu,
yaitu ihsan. Dengan kata lain ihsan sebagai penyempurna, bukan sesuatu yang
hanya berkedudukan sebagai tambahan yang tak bermakna. Bahkan, ihsan juga
menentukan nilai keimanan manusia kepada Tuhan, sehingga iman, islam, dan ihsan
merupakan suatu kesatuan bulat yang saling berkaiatan, melengkapi, dan mengisi.
Bila diibaratkan sebagai bangunan, maka iman sebagai pondasi, islam sebagai
dinding, dan ihsan sebagai atap. Lihat,
Achmad, Etika
dalam Islam, hlm. 118-119.
[22]Seseorang tidak punya gelar saleh bila ia tidak
mengimplementasikan keimannya dalam perbuatan nyata di mana perbuatan tersebut
dimotivasikan atas dasar untuk melaksanakan keadilan dan kasih sayang kepada
sesama. Lihat, Izutsu, Ethico-Religious Concepts, hlm. 207.
[23]Pernyataan Izutsu ini hampir sama dengan pendapat
Al-Hafidz bahwa kata birr hampir
mirip dengan kata saleh tapi memiliki kekhasan makna pada dua unsur, yaitu
berbuat baik maupun adil kepada sesama manusia dan ketaatan pada Allah. Term
al-birr juga mencakup tiga hal, yaitu kebajikan dalam beribadan pada Allah,
kebajikan dalam melayani keluarga, dan kebajikan dalam melakukan interaksi pada
orang lain. dengan kata lin, kata tersebut bermakna sangat strategis bagi upaya
pengembangan kesalehan sosial dalam Islam. Lihat,
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu al Quran (tanpa kota: Amzah, 2005), hlm. 58.
[24]Pada masa jahiliyah, orang-orang
yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari
depan. Hal ini ditanyakan pula oleh para sahabat kepada Rasulullah s.a.w., maka
diturunkanlah ayat ini. Lihat, al
Qur’an Digital Versi 2.0 dalam
http://www.alquran-digital.com
.
[25]Menurut ar-Raghib, sebagaimana yang dikutip al-Hafidz
bahwa kata fasad berarti “terjadinya
ketidakseimbangan [ketidakselarasan] atau disharmonisasi.” Istilah fasad dengan segala kata turunannya
(yang seakar kata sama) dalam Alquran disebutkan 50 kali. Di mana sering
digunakan sebagai gambaran (penunjuk) perbuatan orang kafir yang menimbulkan
kerusakan di tengah-tengan masyarakat. Adapun Ath-Thab’i berpendapat bahwa
makna fasad itu meliputi seluruh bentuk kerusakan berupa
hilangnya tatanan yang baik di dunia ini, baik itu yang dikaitkan karena
perbuatan (kehendak) manusia maupun yang tidak. Asumsinya, pada prinsipnya
segala bentuk ketidakstabilan yang mengganggu kehidupan, dianggap sebagai hasil
ulah manusia, baik langsung maupun tidak. Lihat,
Al-Hafidz, Kamus Ilmu al Quran, hlm.
72.
[28]“Shahih Tafsir Ibnu Katsir,” dalam al-Misbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsiir, terj. Tim
Pustaka Ibnu Katsir (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2011) hlm. 555-556.
[30]Abd. Haris, Etika
Hamka: Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius (Yogyakarta: Lkis, 2010),
hlm. 41.
[31]Al-Hafidz, Kamus
Ilmu al Quran, hlm. 18.
[32]“Tafsir al Qalam Ayat 1-16,” dalam http://www.tafsir.web.id/2013/04/tafsir-al-qalam-ayat-1-16.html, 02 April 2013, diakses tanggal 16 Desember 2014.
[33]“pada hakikatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlak ialah
suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepbriadian.
Dari sini timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan tanpa
dibuat-buat dan tanpa memerlukan
pikiran.” Lihat, M. Yatimin Abdullah,
Studi Akhlak dalam Perspektif al-Qur’an
(Jakarta: Amzah, 2007), hlm. 4.
[35]“Etika Sekuler,” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Etika_sekuler, diakses tanggal 16 Desember 2014.
[36]Burhanuddin Salam, Etika Sosial:
Asas Moral dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 187-188.
[37]Salam, Etika
Sosial: Asas, hlm. 46-47.
[39]Etika normatif: ia
tiak hanya mendeskripsikan apa yang berlaku, tapi mempertahankan apa yang berlaku, ia tidak hanya menjabarkan
demikianlah keadaannya, tapi juga menegaskan demikianlah seharusnya, ia tidak
hanya memberitahukan (menjelaskan) pengetahuan, tapi juga mewartakan
(menyebarluaskan) suatu ajaran. Lihat, Vos, “pengantar etika,” hlm. 12.
[41]“Menurut Bahasa, hidayah artinya petunjuk, bimbingan,
keterangan, dan kebenaran. sedangkan yang dimaksud dengan hidayah menurut
istilah adalah petunjuk Allah terhadap makhlu-Nya tentang sesuatu yang
mengandung kebenaran atau sesuatu yang berharga dan membawa keselamatan.” Lihat, Al-Hafidz, Kamus Ilmu al Quran, hlm. 100.
[42]Mengenai “keterlibatan” takdir dalam etika Islam dibahas
cukup tuntas oleh Abdullah. Lihat, M.
Abdullah Yatimin, Pengantar Studi Etika
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 255-259.
[43]Dalam ajaran Islam dapat dipahami bahwa amal saleh
merupakan perwujduan dari nilai-nilai etika (Islam) itu sendiri. Di mana amal
saleh yang dilakukan oleh umat manusia tidak hanyat terkait ibadah ritual saja
tapi juga terkait moralitas (ibadah sosial). Dengan demikian, etika Islam
senantiasa terkait dengan moralitas yang terbebas dari penyakit sosial.
[44] “agama, terutama Islam, sangat kaya
dengan nilai etika dan moral. Secara konseptual agama membawa paradigma etika
dan moral (hudan linnas)”-- Dalam al Quran al Baqarah 185— “untuk keselamatan,
kesejahteraan, dan kedamaian umat manusia (rahmatan lil ‘alamin).” Dalam
konteks pembangunan, pengembangan etika dan moral keagamaan dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan kualitas manusia sebagai pelakunya.” Lihat, Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani
(Jakarta: Logos,
2002), hllm. 218.
[45]Salah satu faedah dan ketentuan hukum yang dapat diambil
dari hadith itu adalah bahwa Islam memperhatikan kemuliaan tangan kanan dan
menjaganya dari jenis kotoran. Lihat,
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abdul hadi al-Maqdisi, Ensiklopedi Hadits-hadits Hukum, terj. Suharlan dan Agus Ma’mun
(Jakarta: Darus Sunnah, 2013), hlm. 106-107.
[46]Namun, pernyataan tersebut berbeda sebagaiaman menurut al Mawardi.
Dia menjelaskan bahwa dalam beretika akal menjadi acuan utama, di mana akal yang lemah dan tercela
akan mengakibatkan orang melakukan perbuatan buruk. Dengan akal yang lemah dan
sempit itu manusia tidak mau memperdulikan peringatan agama. Lihat, Syukur, Etika Religius hlm. 213.
[48]Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan
(Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 172-173.
[49]Seseoarng akan sulit melakukan sesuatu pekerjaan denga
tekun bila tidak bermakna baginya dan bila tidak bersangkutan dengan tujuan
hidupnya yang lebih tinggi, langsung maupun tidak langsung. oleh karena itu,
setiap tindakan bagi Muslim harus punya tujuan untuk memperoleh ridho Allah. Lihat, Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, hlm. 216.
[50]Ibid., hlm.
216.
[51]Mudassir, Dilema Etika dalam
Pengambilan Keputusan Etis (Malang: Universitas Negeri Malang, 2012), hlm. 40.
[52]Nafsu mutmainah adalah “nafsu yang telah mendapat
tuntunan dan pemeliharaan baik. Ia mendatangkan ketenteraman jiwa, melahirkan
sikap dan perbuatan yang baik, mampu membentengi serangan kekejian dan
kejahatan, dan mampu memukul mundur segala kendala dan godaan yang mengganggu ketentraman
jiwa, bahkan ketenangan jasmaniah terutama dengan zikir kepada Allah. Ia
berfungsi mendorong melakukan kebajikan dan mencegah perbuatan kejahatan.”
Peran nafsu ini digambarkan dalam QS. Ar-Ra’d [13]: 28 dan 29, An-Nahl [16]:
106, An-Nisa [4]: 103, dan Fussilat [41]: 30. Lihat, Al-Hafidz, Kamus Ilmu
al Quran, hlm. 211.
[53]Nafsu lawwamah adalah “nafsu yang telah mempunyai rasa
insaf dan menyesal sesudah melakukan suatu pelanggaran. Ia tidak berani
melakukan pelanggaran secara terang-terangan dan tidak pula mencari cara secara
gelap untuk melakukan sesuatu karena ia telah menyadari akibat dari
perbuatannya.” Dalam al Quran nafsu ini digambarkan amat sangat menyesali
hilangnya peluang baik, dan untuk itu ia mencela dirinya sendiri. Dalam konteks
orang mukmin, kondisi pada tingkatan ini selalu mempertanyakan dirinya,
mengkalkulasi amalnya serta mencela kesalahanan yang telah terlanjur dilakukan.
Lihat, Al-Hafidz, Kamus Ilmu al Quran, hlm. 164.
[54]Sebagaimana menurut T. Gambling dan R. Karim Islam menekankan
bahwa keshalehan tidak harus diperoleh dengan cara melepaskan diri dari
kehidupan dunia ini. Seorang muslim harus membuktikan keshalehannya melalui
parsitipasi aktif dalam dunia material. Yakni, dalam persoalan kehidupan
sehari-hari dan melalui perjuangan dalam kehidupan melawan kezaliman. Hal ini
merupakan bagian dari konsep tazkiyah, yakni penumbuhan dan pembersihan.Lihat, Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Visi
al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), hlm. 54-55.
[55]Fauroni, Visi al Quran Tentang, hlm. 56-57.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Konsep Etika dalam Perspektif al Quran: Perbandingan Antara Etika Islam dengan Etika Sekuler"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*