Topik lain:
Kerangka Acuan Pengembangan
Pendidikan Agama Islam
Oleh: A. Rifqi Amin
Seorang pendidik PAI idealnya secara adaptif dan
kreatif bisa melakukan pengembangan Pendidikan Agama Islam. Hal ini sangat
penting karena merekalah yang sering berinteraksi dengan peserta didik,
sehingga tidak mustahil mereka bisa mengetahui keadaan pendidikan Islam di
lapangan secara utuh. Asumsinya, masukan atau anjuran dari pemerintahan pusat
bahkan kadang di pemerintahan daerah sekalipun belum tentu cocok untuk
diaplikasikan di ranah “nyata.” Begitu pula masukan dari ilmuwan Pendidikan
Islam, dari tokoh agama, maupun dari pengkonsep lainnya belum tentu bisa
menyelesaikan masalah secara baik dan komprehensif di satuan lembaga.[1] Bisa dikatakan, pendidiklah figur sejati
pengembangan PAI. Oleh karena itu, sosok pendidik sudah seharusnya bisa menjadi
panutan di segala hal dan bidang positif. Utamanya teladan dalam sikap progesif
atau dinamis, sehingga selalu terbuka untuk menghadapi dan mengantisipasi
perubahan. Bahkan bila perlu menuju level lebih tinggi, yaitu mengadakan “tandingan”
pengembangan yang jauh lebih positif.
Sudah barang tentu, untuk mengadakan pengembangan
eloknya pendidik mengembangkan keterampilan dan kompetensinya. Salah satunya,
kemampuan dalam penelitian –terutama kemampuan menganalisis masalah— sehingga
bisa menyelesaikan secara praktis permasalahan pendidikan.[2] Selain juga, pendidik mampu bekerja sama dengan
seluruh manusia yang ada di dalamnya untuk menyukseskan program pengembangan
tersebut. Dapat dikatakan, pengembangan pendidikan Islam tidak lain merupakan
hasil dari proses controlling dalam
mewujudkan harapan yang diinginkan. Artinya, apabila suatu upaya terkait dengan
pendidikan Islam dirasa tidak “ampuh” lagi untuk mencapai tujuan secara efektif
dan efesien maka sudah barang tentu suatu pengembangan mesti dilakukan. Namun,
kadangkala suatu pengembangan di lembaga tidak serta merta bisa dilakukan oleh
seorang pendidik atau sekelompok pendidik. Suatu pengembangan mesti menjadi
program yang disepakati dan dijalankan bersama oleh seluruh civitas pendidikan
melalui peran mereka masing-masing. Dengan kata lain, suatu pengembangan tidak
boleh dilakukan secara serampangan, tidak asal melakukan pengembangan, dan harus
berorientasi pada tujuan konkrit.
Dalam setiap pengembangan PAI yang dilakukan juga
wajib melihat landasan (rambu-rambu) baik yang bersifat formal (Undang-undang,
peraturan pemerintah, dll) maupun nonformal (adat istiadat, kearifan lokal,
kondisi manusia, dll). Di antara landasan formalnya adalah pertama untuk semua jenjang dan bentuk pendidikan Islam landasannya
terdiri dari: Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Amandemen IV, Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan
Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendididikan Nasional
Pendidikan, Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Keagamaan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, dll.
Kedua
untuk jenjang pendidikan dasar
dan menengah meliputi: Peraturan Menteri Agama RI No. 90 tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah, Peraturan Menteri Agama RI No. 29 tahun
2014 tentang Kepala Madrasah, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia 211
tahun 2011 tentang Pedoman Pengembangan Standar Nasional Pendidikan Agama Islam
pada Sekolah, dll. Ketiga untuk
jenjang Pendidikan Tinggi mencakup: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12
tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi,
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 49 Tahun 2014 Tentang
Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor:
43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah
Pengembanan Kepribadian di Perguruan Tinggi, dll.
Keempat
Undang-undang dan peraturan
yang tidak terkait secara langsung dengan pendidikan tapi juga penting sebagai
dasar pengembangan PAI diberbagai bidang, seperti: 1) Bidang kesosialan: Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang, Undang-undang No. 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-undang No. 17
tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Undang-undang No. 7 tahun 2012
tentang Penanganan Konflik Sosial, Undang-undang No. 19 tahun 2011 tentang
Pengesahan Convention On the Rights of
Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang
Disabilitas), Undang-undang No. 13 tahun 2011 tentang Penangan Fakir Miskin,
Undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-undang no. 40 tahun
2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Undang-undang No. 35 tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Undang-undang No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan, dll.
2) Bidang
kealaman (lingkungan): Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 1 tahun 2014 tentang
Perubahan atas UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau Kecil, Undang-undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantas
Perusakan Hutan, dll. 3) Bidang
administrasi: Undang-undang No. 43 tahun 2009 tentang Kearsipan,
Undang-undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-undang
No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-undang No. 43
tahun 2007 tentang Perpustakaan, Undang-undang No. 12 tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-undang No. 16
tahun 2001 tentang Yayasan, dll. Serta tentunya Peraturan Menteri dan Peraturan
Daerah lainnya yang relevan dengan pengembangan PAI.
Adapun landasan nonformalnya yaitu pertama landasan filosofis[3] yang melingkupi: berorientasi pada kearifan
lokal (al ‘urf atau local wisdom), tidak ada dikotomi antara
ilmu agama dengan ilmu umum, semua manusia punya hak sama dan seimbang untuk
berkembang, proses pengembanan bersifat fleksibel sehingga selalu terbuka untuk
penyempurnaan, dll. Kedua landasan
psikologis mencakup: manusia mempunyai kebutuhan kejiwaan yang tidak boleh
dilanggar, manusia mempunyai kecerdasan (kemampuan) yang berbeda dalam
menghadapi kehidupan, manusia secara umum memerlukan pengakuan dan perlakuan
secara wajar dalam komunitasnya, dll. Ketiga
landasan sosiologis meliputi: peristiwa terbaru yang sedang terjadi di
mayarakat, kondisi makro sosial masyarakat, dinamika kehidupan masyarakat, dll.
Keempat landasan historis, terdiri
atas: meneruskan cita-cita mulia para ulama dan pahlawan terdahulu, memperbaiki
kekurangan yang masih belum terselesaikan di masa lalu, mengacu pada tujuan
Islam maupun tujuan didirikannya negara Indonesia, dll.
Selain landasan formal dan nonformal, pengembagan
PAI perlu memperhatikan prinsip-prinsip yang tidak kalah penting. Di antaranya merupakan
sebagai berikut:
1.
Setiap pengembangan yang dilakukan tidak
menyebabkan permasalah baru di bidang lain. Misalnya, pengembangan SDM pendidik
dengan bentuk memberikan pelatihan dan penaikan gaji –karena caranya tidak
tepat dan pilih kasih— menyebabkan kecemburuan sosial antar pegawai sehingga menimbulkan
ketidaknyamanan hingga timbul perpecahan.
2.
Setiap pengembangan dilakukan tidak untuk tujuan
oportunis-pragmatis. Misalnya, untuk “mengenyangkan” perutnya sendiri atau
kelompoknya sehingga terjadi missing link
(ketidakpaduan) tujuan antar pengembang PAI dalam lingkup yang lebih besar
lagi.
3.
Setiap pengembangan tentu peka terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4.
Setiap pengembangan harus relevan dengan
kebutuhan kehidupan masa kini, bahkan bila perlu untuk beberapa tahun yang akan
datang.
5.
Setiap pengembangan yang berhasil dilakukan tidak
boleh merasa puas dan berhenti sampai di situ, karena pengembangan PAI
merupakan proses yang terus berjalan sepanjang hayat. Sebagaimana prinsip long life education dalam memaknai hidup
ini.
6.
Adanya keseimbangan antara kepentingan umat Islam
dengan kepentingan nasional.
7.
Pengembangan tidak hanya untuk memecahkan
masalah, akan tetapi untuk senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas
kehidupan manusia.
8.
Terus-menerus mengadakan kontrol dan evaluasi
pada setiap pengembangan yang dilakukan.
9.
Pengembangan PAI merupakan bagian dari rekayasa
sosial. Oleh karena itu, ia dihadapkan pada beberapa pilihan. Yakni, terseret
arus pengembangan yang ada, bertahan pada keadaan lama dengan resiko
ditinggalkan, atau mengadakan pengembangan sendiri yang hasilnya dimungkinkan
jauh lebih baik dari pada “diam” saja.
10.
Pengembangan PAI merupakan bentuk investasi
“kebahagiaan”
bagi umat Islam, negara Indonesia, dan seluruh umat manusia.
bagi umat Islam, negara Indonesia, dan seluruh umat manusia.
11.
Pengembangan PAI bisa berjalan lancar bila
seluruh manusia yang terlibat mempunyai kemampuan mapan, perencanaan matang,
terorganisir, semangat, kesadaran, dan komitmen tinggi.
12.
Pengembanan
senantiasa memiliki landasan yang kuat, bukan hanya semata-mata supaya tercipta
suasana baru atau demi mengejar prestise.
13.
Terdapat
nilai-nilai dasar pengembangan yang dijunjung bersama sebagai intagible asset bagi lembaga pendidikan
Islam. Misalnya, seluruh manusia yang ada di dalamnya meyakini atau menilai
bahwa proses pengembangan PAI merupakan bagian dari Ibadah yang kemungkinan
besar pahalanya lebih banyak dari pada tidak melakukan pengembangan.
Dari penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa pengembangan PAI tidak bisa berdiri sendiri dan lepas dari
pengaruh unsur lainnya. Dapat dikatakan, tujuan diadakan pengembangan PAI tidak
bisa lepas dari tujuan pelaksanaan PAI itu sendiri. Secara lebih rinci menurut
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 211 tahun 2011 tentang Pedoman
Pengembangan Standar Nasional Pendidikan Agama Islam pada Sekolah, menerangkan
bahwa:
Pendidikan
Agama Islam sebagai pendidikan moral bertujuan untuk mewujudkan karakter
peserta didik yang memahami, meyakini, dan menghayati nilai-nilai
Islam, serta memiliki komitmen untuk bersikap dan bertindak konsisten
dengan nilai-nilai tersebut, dalam kehidupan sebagai pribadi, anggota
keluarga, anggota masyarakat, warga negara, dan warga dunia.[4]
Selain itu, pengembangan pendidikan agama Islam di
sekolah sepatutnya juga mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dalam hal ini, terutama pada standar
isi, standar proses pembelajaran, standar pendidik dan tenaga kependidikan,
serta standar sarana dan prasarana pendidikan. Selanjutnya, ketentuan tentang
Standar Nasional Pendidikan tersebut juga mengikat pada bentuk pendidikan Islam[5] selain di sekolah. Lebih daripada itu, normatifnya pengembangan PAI di
segala bentuk pendidikan sepatutnya pun mengimplementasikan Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan. Di mana, salah satu isinya mengamanatkan “pendidikan agama bertujuan
untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami,
menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.”[6] Selain itu menurut Ali dalam PP itu pendidikan Islam terklasifikasikan
dalam tiga bentuk, yaitu:[7]
Pertama,
pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk pendidikan agama Islam di satuan
pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Kedua, pendidikan umum
berciri Islam[8] pada satuan pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal
dan non formal, serta informal. Ketiga, pendidikan keagamaan Islam pada
berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren yang diselenggarakan
pada jalur formal, dan non formal, serta informal.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami
bahwa pengembangan PAI antara satu bentuk pendidikan dengan yang lainnya tentu
berbeda model dan fokusnya. Mengingat, setiap bentuk pendidikan memiliki corak
dan keunikan masing-masing –salah satunya menyesuaikan dengan keadaan peserta
didiknya— dalam menerapkan Pendidikan Agama Islam. Namun demikian, pengembangan
tersebut tetap berada di koridor sama, yaitu untuk memajukan negara Indonesia.
Serta tentunya juga berlandaskan pada nilai-nilai Islam yang penuh rahmat bagi
semesta alam. Oleh karena itu, bila perubahan yang diadakan diprediksi tidak
bisa memajukan bangsa, bahkan jauh dari khittah
Islam maka secepatnya direvisi. Dikhawatirkan bila tidak diubah akan menjadi
batu sandungan bagi pelaku pengembangan itu sendiri, dalam hal ini salah
satunya yaitu pendidik.
Bagaimanapun, kesuksesan
pengembangan PAI secara praktis merupakan tanggung jawab pendidik PAI di
sekolah maupun Perguruan Tinggi Umum. Serta menjadi kewajiban bagi seluruh
individu (kecuali peserta didik) yang terdapat pada Madrasah maupun Perguruan
Tinggi Agama Islam. Tentu juga menjadi tanggung jawab moral akademis bagi
ilmuwan PAI. Tak ketinggalan menjadi tanggung jawab formal bagi seluruh pejabat
pemerintah yang berwenang dan terkait, baik di pemerintahan pusat maupun
daerah. Dengan demikian, pengembangan PAI hendaknya bisa berdampak positif bagi
institusi sekolah dalam membantu permasalahan, utamanya kerusakan moral pemuda
pada tingkat pemerintah daerah. Sedangkan arah yang lebih jauh dan luas yaitu
membantu mewujudkan tujuan pendidikan Nasional. Oleh karena itu, seyogianya
seluruh pendidik bidang studi maupun kepala sekolah hingga pimpinan perguruan
tinggi dan seluruh pejabat pemerintah daerah maupun pusat mendukung upaya
penyuksesan pengembangan PAI.[9]
Bagaimanapun, bila ada sinergitas dari berbagai pihak maka tidak menutup
kemungkinan pengembangan PAI bisa tercapai dengan sukses. Harapannya, PAI mampu
memiliki andil dalam pembangunan Indonesia menuju negara maju dalam tingkat
regional hingga internasional.
[1]Suatu
masalah di lembaga biasanya dapat diketahui secara utuh bila di lembaga
bersangkutan diadadakan penelitian secara mendalam dan totalitas. Namun, yang
sering terjadi adalah dalam satu daerah diadakan penelitian terhadap beberapa
lembaga yang menghasilkan suatu kesimpulan. Kemudian dari kesimpulan itu secara
disamaratakan dengan lembaga lain. Padahal antar satu lembaga satu dengan yang
lain meski masalahnya sama, tapi boleh jadi penyebabnya berbeda. Oleh karena
itu, dalam menyelesaikan masalah pada suatu lembaga tidak bisa serta-merta
mengambil solusi dari hasil penelitian lembaga lain. Akan tetapi harus diadakan
penelitian tersendiri terhadap lembaga yang bermasalah tersebut.
[2]Bila dilihat dari sudut pandang ilmu alam maka PAI merupakan sebuah ilmu terapan. Yakni, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah penerapan atas prinsip-prinsip umum untuk memecahkan permasalahan
yang terjadi di alam dan masyarakat manusia. Lihat, “Kamus Besar Bahasa,”
didownload tanggal 21 April 2014. Sedangkan dalam pandangan
sosiologi, PAI merupakan ilmu murni.
Yakni, dalam konteks Islam merupakan ilmu yang terfokus pada pencarian pengetahuan,
gejala alam (ayat kauniah), analisis (tafsir), dogma-dogma, dan dasar-dasar
pendidikan Islam.
[3]Landasan
Pengembangan PAI idealnya bertitik tolak pada pemikiran yang mendalam hingga ke
akar-akarnya (terkait logika, etika, estetika, metafisika, hingga epestimologi,
ontologi, dan aksiologi) sebagai penunjang dalam merumuskannya. Beberapa di
antaranya, pertama pengembangan PAI
mesti berakar pada pijakan teori atau konsep yang sudah kuat. Hal ini, salah
satunya supaya setiap pengembangan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan
secara akademis. Kedua, pengembangan
PAI idealnya disandarkan pada suatu penelitian utamanya yang dilakukan di
tingkat daerah sekitar (kota/kabupaten). Serta penelitian di tingkat propinsi
dan nasional sebagai penunjang pengembangannya. Salah satu langkahnya adalah
memanfaatkan gabungan beberapa karya ilmiah lulusan perguruan tinggi. Misalnya
skripsi, tesis, dan disertasi yang utamanya berasal dari fakultas Pendidikan. Ketiga, pengembangan PAI haruslah
mempunyai daya keterukuran (tidak utopis) dan
tidak terlalu membebani Sumber Daya Manusia dan pemborosan finansial.
Harapannya, agenda pengembangan tersebut berpeluang untuk dikaji kembali
apabila ada kekurangan.
[4]Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia 211 tahun 2011 tentang Pedoman
Pengembangan Standar Nasional Pendidikan Agama Islam pada Sekolah, dalam http://www.pendis.kemenag.go.id/pai/file/dokumen/14.KMANoomor211th2011tentangPedomanPengembanganStandarNasionalPendidikanAgamaIslampadasekolah.pdf,
didownload tanggal 16 Februari 2015.
[5]Bentuk
pendidikan Islam di Indonesia sangat banyak. Bisa dikatakan, di Indonesia tidak
hanya jumlah lembaganya yang banyak akan tetapi keragaman jenis lembaga
pendidikan Islam pun demikian. Namun, di antara beberapa bentuk pendidikan
Islam tersebut yang terbesar adalah madrasah, pesantren, dan sekolah.
[6]Perintah
lain dari PP tersebut adalah “pendidikan agama pada
pendidikan formal dan program pendidikan kesetaraan sekurang-kurangnya
diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah agama.” Hal itu
artinya pengembangan Pendidikan Agama Islam tidak hanya berkutat pada bentuk
mata pelajaran atau mata kuliah Agama Islam. Akan tetapi bisa dilebarkan pada
“sayap-sayap” kegiatan lain, sehingga tujuan PAI bisa tercapai secara optimal. Lihat, “Peraturan Pemerintah Nomor 55
tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan,” http://www.setneg.go.id//components/com_perundangan/docviewer.php?id=1786&filename=PP_No_55_th_2007.pdf,
didownload tanggal 22 Desember 2014.
[7]Mohammad
Ali, “Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,” dalam http://www.ispi.or.id/2010/09/19/pengembangan-pendidikan-agama-islam-di-sekolah/,
19 September 2010, diakses tanggal 16 Februari 2015.
[8]Yang dimaksud dengan pendidikan umum berciri Islam adalah pendidikan
Islam yang berbentuk madrasah.
[9]“Kementerian Agama menyadari bahwa harapan
masyarakat agar pendidikan Islam meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan
nasional hanya dapat terwujud melalui kerjasama kolektif dari berbagai pihak.
Koordinasi yang kuat antara aparat Kementerian Agama pada tingkat provinsi dan
kabupaten/kota menjadi instrumen utama dalam merumuskan titik temu kebijakan
antara Kementerian Agama sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan
Islam dan Pemerintah Daerah sebagai penanggung jawab pembangunan daerah.” Lihat, Maarif, “Apresiasi
Pendidikan Islam,” diakses tanggal 16 Maret 2015.
Pengemangan Pendidikan Agama Islam (sumber gambar bukalapak) |