Oleh: A. Rifqi Amin
Anda sebagai pemerhati atau bahkan pelaku akademisi pasti pernah mendengar istilah kampus multikultural atau sekolah berbasis multikultural. Paling tidak pada jenjang pascasarjana pernah terdengar istilah itu. Yakni, pada nama prodi tertentu ada embel-embel "berbasis multikultural." Bisa jadi maksud dimasukkannya istilah tersebut supaya peserta didiknya mampu menguasai konsep dan nilai multikultrualisme. Meskipun pada kenyataannya di dalam kampus atau sekolah itu secara nyata (empiris) tidak ada praktik multikulturalisme.
Jangankan untuk memraktikan, bahkan mengkaji multikulturalisme sekalipun masih sulit. Sumber belajar seperti pendidik maupun tenaga didik yang berlatar homogen hingga pada buku yang isi kajiannya masih seragam. Sampai sini peserta didik terkesan dipaksa hanya cukup membayangkan apa itu multikulturalisme tanpa harus mengalami sendiri gejalanya. Diharuskan merumuskan atau mengonsep tentang multikulturalisme dari berbagai literasi atau referensi. Namun, di lingkungan lembaganya sendiri ia tidak mampu menemukan dan menggali apa itu multikulturalisme.
Inilah masalahnya, bagaimana cara mengimplementasikan gagasan multikulturalisme di lembaga bila masyarakat akademis atau komunitas pendidikan terdiri dari satu golongan atau bahkan satu suku. Bagaiamana cara peserta didik menghayati nilai multikulturalisme jika media atau sarana prasarana untuk praktik sangat sulit didapati. Padahal salah satu komponen terpenting dalam tercapai tujuan pendidikan berbasis multikulutralisme ialah adanya masyarakat yang heterogen, media, dan sarana prasarana.
Sungguh menggelikan bila klaim kampus multikulturalisme digaungkan akan tetapi fakta yang ada manusianya homogen. Mereka berlatar belakang sama satu daerah, satu paham, satu cara pandang, atau pun satu golongan. Perbedaannya hanya pada beda pendapatan, beda jabatan, beda keuangan, hingga beda selera makan. Kalau sudah begini di mana letak multikulturalismenya? Apakah hanya di tataran retorika belaka? Tak heran bila lulus atau pun keluar (pensiun) dari lembaga pendidikan tersebut mereka tetap akan risih pada perbedaan paham atau cara pandang.
Permasalahan seperti ini juga mudah kita temukan di lembaga pendidikan yang fokus pada bidang keilmuan lainnya. Misalnya ada lembaga pendidikan yang prodi maupun kurikulumnya fokus pada bidang kelautan akan tetapi lokasinya jauh dari laut. Adalagi sekolah atau kuliah kepramugarian namun peserta didiknya hingga lulus hanya satu atau dua kali saja diajak ke bandara. Inilah sekelumit kegelisahan saya pada realitas pendidikan kita. Pendidikan yang hanya mengedepankan formalitas. Ijazah hanya difungsikan untuk melamar. Padahal seharunya ijazah dan transkip nilai bisa dijadikan jaminan kualitas maupun kemampuan lulusan.
Semoga bermanfaat, terima kasih banyak.
Semoga bermanfaat, terima kasih banyak.