Topik lain:
Hal-hal yang Terkait dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Oleh: A. Rifqi Amin
Ulasan tentang beberapa hal
terkait dengan pengembangan PAI baik langsung maupun tidak langsung dirasa
sangat penting. Di mana, yang dimaksud dengan “hal-hal yang terkait” dalam sub
Bab ini ialah segala sesuatu yang memiliki konstribusi dan pengaruh bagi pengembangan,
akan tetapi seringkali terabaikan atau luput dari perhatian (jangkauan)
pelakunya. Di antara poin-poin tersebut di antaranya sebagai berikut:
1.
Penelitian dan Pengembangan (Research and Development)
Menurut Borg
& Gall sebagaimana dikutip Setyosari menjelaskan bahwa penelitian
pengembangan ialah “suatu proses yang dipakai untuk mengembangkan dan
mevalidasi produk pendidikan.”[1]
Dengan demikian, Research and Development
(R&D) bertujuan menghasilkan produk, sehingga perlu diadakan analisis
kebutuhan secara mendasar dan menyeluruh. Hal ini berarti pembelajaran yang
diampu oleh guru di kelas tidak hanya terpatok pada “juklak” dan “juknis”
semata tapi juga ada pengembangan “produk” pendidikan yang jauh lebih efektif.[2]
Dalam melakukan kegiatan R&D perlu memperhatikan prosedurnya, supaya produk
yang dihasilkan manjur untuk diterapkan secara luas. Adapun langkah-langkah
R&D menurut Sugiyono sebagaimana dikutip oleh Putra adalah sebagai berikut:[3]
Gambar 1.2 Langkah-langkah Research and Development Menurut Sugiyono
Dari skema
tersebut dapat dipahami bahwa dalam melakukan penelitian pengembangan dari awal
hingga akhir membutuhkan langkah-langkah yang cukup spesifik. Di mana tahap
demi tahap yang ditempuh lebih cenderung bersifat prosedural. Artinya,
langkah-langkah tersebut tentu dilakukan berjenjang dari yang bersifat
sederhana ke arah lebih kompleks. Dapat dikatakan bahwa R&D merupakan
penelitian yang sangat berbeda dengan jenis penelitian lainnya. Secara detail Putra
mengidentifikasi beberapa identitas utama yang ada pada R&D yaitu:
a. Penelitian yang punya ciri dan tujuan spesifik, yakni menggunakan metode
campuran, bersifat multi atau interdisipliner, bertujuan inovasi, dan
mencaritemukan kebaruan, efektifitas, produktifitas, dan kualitas.
b. Penelitian yang dilakukan secara bertahap, berkelanjutan, terstruktur,
dan terukur. Terdapat beberapa tahapan panjang dalam merumuskan, menguji, dan
menyebarluaskan temuan baru.
c. Penelitian yang berbeda dengan “penelitian dasar” dan “penelitian
terapan/praktik.” Akan tetapi tidak dapat dipisahkan karena R&D merupakan
pengembangan lebih lanjut dari hasil dua jenis penelitian tersebut.
d. Penelitian yang dimaksudkan untuk tujuan praktis, sehingga memiliki
kegunaan langsung dan bersifat operasional. Oleh karena itu, R&D fokus pada
masalah, tantangan, tuntutan, potensi, dan kebutuhan nyata masyarakat.
e. Penelitian yang perlu waktu cukup lama disebabkan proses dan tahapan
panjang. Implikasinya, R&D butuh banyak dana, perhatian, dan kesabaran.[4]
Berdasarkan pemaparan tersebut, bisa dikatakan penelitian
pengembangan bukan perkara mudah dan sesederhana rumus matematika yang berada
dalam ingatan otak. R&D bukanlah suatu proyek sederhana ataupun agenda
formalitas. Kegiatan ini banyak menguras dana, waktu, pikiran, dan tenaga yang
tidak sedikit. Dampak lainnya, bila penelitian jenis ini dilakukan dalam dunia
pendidikan maka bisa berpotensi terpecahnya konsentrasi pendidik antara pilihan
untuk terfokus pada penelitian pengembangan atau melakukan pengajaran. Oleh
karena itu, sebelum memutuskan untuk melakukan penelitian pengembangan akan
lebih baik bila memperhatikan potensi yang dimiliki. Serta tentunya ditemukan
latar belakang masalah atau alasan mengapa R&D perlu dilakukan.[5] Kemudian menentukan rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat hasil (produk) penelitian, landasan teori, dll. Di mana
semuanya itu secara formal tergejawantahkan dalam bentuk proposal penelitian
pengembangan.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa research and development adalah penelitian yang terfokus pada
inovasi produk, dilakukan dengan prosedur tepat dengan harapan diperoleh
kualitas dan efektifitas yang tinggi dalam memecahkan permasalahan. Hal ini
berarti produk baru atau produk dari hasil pengembangan tersebut harus memiliki
kemanfaatan jauh lebih baik. Salah satu cirinya yaitu produk tersebut memiliki
“efek samping” negatif jauh lebih sedikit dari pada produk lama.
Dalam konteks dunia PAI, penelitian pengembangan bukan untuk tujuan
komersial atau industri.
Penelitian pengembangan
pada PAI idealnya dapat meningkatkan jumlah lulusan berkualitas yang lebih
banyak dan relevan atau mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Bukan sebaliknya,
untuk “mengeruk” uang rakyat sebanyak-banyaknya. Dengan
demikian, diharapkan dari pengembangan PAI bisa diperoleh generasi Islam yang
unggul. Asumsinya, dengan dana dan prasarana yang sama tapi bisa menghasilkan
kualitas muslim brilian dengan menggunakan produk baru yang ditemukan atau yang
tengah dikembangkan.
2.
Upaya kritis terhadap teori baru (utamanya dari
Barat) yang dijadikan dasar pengembangan dan menemukan relevansinya dengan PAI
Apa-apa yang ditemukan oleh ilmuwan Barat (nonmuslim) belum
tentu cocok dengan nilai-nilai agama Islam serta tentunya dengan kultur bangsa
Indonesia. Bagaimanapun, paradigma antara orang Barat dengan Indonesia berbeda.
Begitu pula antara pemeluk Islam dengan pengikut selain Islam belum tentu
relevan. Oleh karena itu, dalam pengembangan PAI dibolehkan menggunakan teori
dan produk dari Barat. Namun, dalam menggunakan dan mengembangkan kedua hal itu
wajib menggunakan paradigma ulama (ilmuwan) Islam dan paradigma bangsa
Indonesia. Implikasinya, menjadi keniscayaan bagi pelaku pengembangan PAI untuk
mengkritisi segala teori dan produk dari luar yang dijadikan pedoman dalam
pengembangan. Bila perlu umat Islam menciptakan teori dan produk yang jauh
lebih efektif dan efisien sebagai manifestasi pengembangan.
Sebagaimana penjelasan Sirozi dalam agenda Annual International Conference on Islamic
Studies AICIS ke-13 di Mataram bahwa:
The main theme of 13th AICIS in Mataram is
“Distinctive Paradigm of Indonesian Islamic Studies; Towards the Renaissance of
Islamic Civilization.” This theme seems to reflect a collective view among
speakers and participants of the conference, that Indonesian Islam is unique in
many ways and thus, requires a unique approach to understand, explain, and
review it. The main theme also reflects a belief that Indonesian Islam has the
potentials and strengths to be a good model for the revival of Islamic
civilization.[6]
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa tema utama
dalam agenda AICIS ke-13 di Mataram mencerminkan pandangan kolektif antara
pembicara dengan peserta kegiatan tersebut. Salah satu nilai yang dapat diambil
adalah bahwa Islam di Indonesia sungguh unik dalam banyak hal. Oleh karena itu,
butuh pendekatan yang unik untuk memahami, menjelaskan, dan meninjaunya. Tema
tersebut juga menggambarkan keoptimisan bahwa Islam di Indonesia juga
berpotensi dan punya kekuatan untuk menjadi model yang baik untuk kebangkitan
peradaban Islam. Bisa disimpulkan, keunikan Islam di Indonesia (termasuk
pendidikan Islam) belum tentu bisa diatasi oleh alam pikiran (teori) dari
barat. Masih diperlukan pemikiran tersendiri untuk pengembangan pendidikan
Islam di Indonesia yang unik tersebut.
3.
Penekanan nilai-nilai (roh) Islam dan dasar teori
dari para ulama terdahulu
Sekali lagi, nilai-nilai Islam sangat penting
untuk dijadikan roh pengembangan PAI. Jangan sampai setelah diadakan
pengembangan maka yang terjadi PAI menjadi “sekuler.” Yakni, cara kerjanya mengutamakan
nilai-nilai umum (nonislam) bahkan tujuannya pun tidak bernapaskan Islam.
Bagaiamanapun, pengembangan PAI bukanlah pengembangan pendidikan sekuler. Oleh
karena itu, mesti ada perbedaan mendasar antara keduanya. Kendati, tetap
ditegaskan bahwa pengembangan PAI senantiasa terus-menerus dilakukan.
Mengingat, PAI merupakan salah satu alat pembaharuan. Alasannya, bagaimana bisa
mengadakan perubahan secara terus-menerus bila alatnya sendiri tidak peka untuk
memperbarui diri?
Selain daripada itu,
pengembangan PAI diupayakan sebagai wujud pengkaderan generasi seluruh umat
Islam sekaligus bangsa. Pengembangan PAI secara luas bukanlah sebagai sarana
pengkaderan organisasi tertentu, kelompok, suku, atau dikhususkan untuk segmen
masyarakat tertentu. Dengan artian, pengembangan PAI bukan hanya untuk
memberdayakan anggota organisasi tertentu atau untuk “mengangkat” nama
organisasi atau kelompok tertentu. Dengan disertai tindakan penuh intrik
politik, sehingga meninggalkan nilai-nilai “persaudaraan” dan kerukunan intern
umat Islam. Melainkan, suatu usaha untuk mengangkat nama Islam melalui inovasi
tanpa pandang bulu untuk siapa atau dari mana asal-muasal pelaku
pengembangannya.
4.
Dari pengembangan teori (cara kerja) menuju
pengembangan benda (teknologi) hingga pemberian pelayanan (service) yang terbaik.
Seringkali umat Islam lebih bangga bila menyebutkan atau mengutip teori-teori
(bukan produk benda) berasal dari Yunani kuno dan negara Barat zaman modern
ini. Padahal, dari barat sendiri pun kenyataannya antara ilmuwan satu dengan
yang lain tidak jarang terjadi pertentangan satu sama lain dalam mempertahankan
gagasannya. Seharusnya umat Islam juga banyak “mengutip” produk benda
(teknologi) dari barat kemudian dikembangkan di Indonesia. Tentu juga wajib
“mengutip” etos kerja, integritas, kejujuran, dan semangat mereka dalam
menciptakan teknologi ramah lingkungan. Dengan itu, diharapkan pengembangan PAI
tidak ditujukan pada perubahan teori dan perubahan perilaku saja. Melainkan,
juga diupayakan terjadinya perubahan bahkan penciptaan produk benda (teknologi)
baru yang bisa mendukung kemajuan pendidikan Indonesia. Dari penjelasan itu,
berimplikasi pula pada penekanan tujuan PAI. Yakni, PAI yang pada awalnya hanya
ingin merubah pola pikir (teori) dan perilaku peserta didik menjadi lebih baik[7]
serta bernilaikan Islam, dikembangkan menjadi mendorong dan menginspirasi
peserta didik untuk menciptakan produk benda ilmu pengetahuan.
Lebih dari pada itu, selain pengembangan teori dan produk, pengembangan
PAI agar lebih memberikan daya tarik bagi masyarakat perlu memberikan pelayanan
yang optimal. Asumsinya, pengembangan seperti apapun itu yang bernilai tinggi,
terkesan menakjubkan, dan semacamnya bila ternyata PAI tidak memberika
pelayanan (service) terbaik maka
bukan hal mustahil ia akan diabaikan oleh masyarakat. Mengingat, di zaman yang serba
“instan” serta mengalami perkembangan pesat di beberapa bidang seperti ekonomi,
industri, teknologi, politik, dan sebagainya, banyak yang telah menawarkan
serta berlomba menciptakan produk-produk yang lebih menjanjikan dan memanjakan
masyarakat. Dalam situasi ini, masyarakat menjadi raja untuk menentukan “menu”
seperti apakah yang akan ia pilih. Bila semua “menu” yang disuguhkan ternyata
kualitasnya hampir sama, tentu mereka akan memilih lembaga pendidikan yang
punya pelayanan (service) terbaik.
Yakni, salah satunya yang mampu meng-cover
kebutuhan psikologis mereka. Misalnya, lembaga pendidikan memberikan jaminan,
kepastian, keterbukaan, dan porsi maupun proses dialog yang dilakukan secara
seimbang antara.lembaga dengan berbagai pihak termasuk wali murid.
[1]Punaji Setyosari, Metode
Penelitian Pendidikan dan Pengembangan (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 215.
[2]Conny R. Semiawan, Catatan
Kecil Tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 183.
[3]Nusa Putra, Research
& Development Penelitian dan Pengembangan: Suatu Pengantar (Jakarta:
Rajawali, 2012), hlm. 125.
[4]Putra, Research
& Development Penelitian, hlm. 87-88.
[5]Dalam menghadapi
keadaan seperti itu, maka dipandang perlu untuk mengadakan sebuah pengembangan
produk pembelajaran yang mampu memberikan konstribusi positif. Diharapkan
dengan dilakukannya pengembangan –khususnya bagi pembelajaran PAI— mampu
menjadi daya tarik peserta didik untuk lebih termotivasi dalam mengkaji ajaran
Islam. Tidak hanya ajaran simbolis, ibadah (ritual), dan hafalannya saja, tapi
juga terjadi internalisasi nilai-nilai esensialnya. Dengan demikian, PAI tidak
hanya dipahami dan difungsikan sebagai mata pelajaran keilmuan. Namun lebih
dari itu, PAI mampu memberikan “kesadaran” psikologis peserta didiknya supaya
lebih semangat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Selain itu desain produk yang ditawarkan dalam R&D harus lebih efektif dan
efisien dari pada produk lama, sehingga bisa dijadikan dasar untuk melakukan
penelitian tindak lanjut.
[6]Sirozi juga
memaparkan bahwa tema utama AICIS ke 13 tersebut terdapat misi untuk
mengeksplorasi, mengidentifikasi, dan menetapkan paradigma yang cocok, dapat
diaplikasikan sekaligus handal untuk didiskusikan, memahami, dan menjelaskan
Islam di Indonesia. Paradigma seperti itu, diyakini sangat diperlukan untuk
mencegah kesalahpamahan, kesalahan perhitungan, dan penjelasakan yang sesat
tentang agama Islam di Indonesia. oleh karena itu, diantara pembicara di agenda
ini ada yang mendesak ulama Indonesia untuk memberikan perhatian serius terkait
aspek paradigmatik penelitian mereka. Diharapkan, para ulama dapat mempertajam
fokus, memperbaiki pendekatan, dan mereka mampu menciptkan diskusi maupun
analisis yang lebih baik tentang Islam di Indonesia. Oleh karena itu, dalam
jangka panjang AICIS ke-13 bertujuan menyulut terjadinya “pergeseran paradigma”
(revolusi ilmu Islam) studi Islam di Indonesia. Tentang “pergeseran paradigma” ini
akan dibahasa secara tuntas di Bab II dalam buku ini. Lihat, Muhammad Sirozi, “In Search of a Distinctive Paradigm for
Indonesia Islamic Studies: Some Note From 13th AICIS 2013,” dalam http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY,
diakses tanggal 23 Februari 2015.
[7]PAI tidak
hanya mengajarkan etika (moral), budi pekerti, dan kearifan. Bila PAI bertugas
pada wilayah itu saja, maka sesungguhnya terjadi pembonsaian atau pemangkasan
“wewenang” PAI. Mengingat, banyak mata pelajaran lain yang juga memuat nilai
seperti itu. Lantas bila seperti itu apa bedanya PAI dengan materi keilmuan
sosial lain?
Sampul buku pengembanga pendidikan agama islam (sumber gambar slideshare) |