D. Peran Penting Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
Oleh:
D. Peran
Penting Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
a. Didasarkan Aspek Historis
Secara
historis pendidikan agama Islam pada masa sebelum kemerdekaan pada semua
jenjang pendidikan tidak berada pada posisi yang diutamakan, bahkan bisa
dikatakan disingkirkan oleh pihak penjajah terutama pada masa penjajahan
Belanda. Setelah Indonesia merdeka sebagai hadiah dari pemerintah serta karena
keaktifan tokoh-tokoh umat Islam dalam upaya pemajuan umat Islam melalui dunia
pendidikan maka Pendidikan Agama Islam secara umum telah punya perhatian dari
pemerintah. Hal ini terutama setelah pada tahun 1951 dikeluarkan peraturan
bersama melalui Penetapan Bersama Antara Menteri Agama
dan Menteri PP&K Nomor 17678/Kab. Tanggal 16-7-1951(PP&K) dan Nomor
K/1/9180 Tanggal 16-7-1951(Agama) oleh
Pemerintah. Peraturan tersebut secara ekplisit telah ditunjukkan bahwa
pendidikan agama diresmikan untuk digunakan pada pendidikan formal baik yang
negeri maupun suasta.
Terlebih lagi
pada tahun 1960 setelah adanya Ketetapan MPRS no.
II/MPRS/1960 Bab II pasal 2 ayat 3, yang berbunyi “menetapkan Pendidikan Agama
menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Rakyat sampai
dengan Universitas-Universitas Negeri, dengan pengertian bahwa murid-murid
berhak tidak ikut serta apabila wali murid/murid dewasa menyatakan
keberatannya”. Tambahan kalimat “murid-murid berhak tidak ikut serta….” adalah
hasil perjuangan PKI (partai komunis) yang saat itu berkuasa di Indonesia.
Dengan adanya tambahan kalimat tersebut maka status Pendidikan Agama Islam di
Indonesia bersifat fakultatif yang berarti tidak menjadi pengaruh utama dalam
kenaikan kelas. Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum juga baru terdapat
perhatian dari pemerintah setelah dikeluarkan Ketetapan MPRS. No II/MPRS/1960
yang dasar operasionalnya adalah UU no. 22 th 1961 tentang Perguruan Tinggi
dalam Bab III pasal 9 ayat 2 sub b, yaitu “pada Perguruan Tinggi Negeri
diberikan Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran dengan pengertian bahwa
mahasiswa berhak tidak ikut serta apabila menyatakan keberatannya”.
Status Pendidikan Agama di Perguruan
Tinggi Umum berubah menjadi sangat kuat posisinya setelah terjadinya Gerakan 30
September/Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965. Hal ini terlihat nyata
setelah diadakan sidang umum MPRS pada tahun 1966 dengan Ketetapan MPRS no.
XXVII/MPRS/1966 Bab I pasal 1, yaitu “menetapkan Pendidikan Agama menjadi mata
pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan
Universitas-Universitas Negeri”. Dengan adanya ketetapan tersebut, kalimat
tambahan yang merupakan hasil perjuangan kaum PKI dihapus bersamaan dengan dilarangnya
Partai Komunis di Indonesia. Sejak saat itu Pendidikan Agama di Indonesia
merupakan mata pelajaran pokok dan ikut menentukan kenaikan kelas bagi muridnya
mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Kedudukan Pendidikan
Agama semakin kokoh karena adanya dukungan GBHN (Garis-garis Besar dan Haluan
Negara) yaitu “diusahakan supaya terus betambah sarana-sarana yang diperlukan
bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa termasuk Pendidikan Agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum di
sekolah-sekolah mulai Sekolah Dasar(SD) sampai dengan Universitas-Universitas
Negeri”.
Sedang pada tahun 1989, ditetapkan
Undang-undang Nomer 2 oleh Dewan Perwakilan Rakyat tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang bertujuan agar Indonesia memiliki landasan konstitusi dalam
pelaksanaan pendidikan termasuk dalam memperkuat kembali posisi mata pelajaran
agama di lembaga umum. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan di BAB IX tentang
Kurikulum pada Pasal 39 Ayat 2, yakni “isi kurikulum setiap jenis dan jalur
pendidikan wajib memuat: a. pendidikan Pancasila; b. pendidikan agama; dan c.
pendidikan kewarganegaraan.” Walaupun di dalam UUSPN tidak dicantumkan secara
rinci tentang hak peserta didik pada pendidikan agama diajar oleh pendidik yang
seagama sebagaimana yang tercantum pada Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun
2003.
Dengan adanya undang-undang tersebut maka posisi Pendidikan Agama pada lembaga
formal baik yang negeri maupun suasta punya perhatian yang lebih.
Dari pemaparan di atas dapat diambil
kesimpulan secara historis sesungguhnya peran penting pendidikan agama terutama
pendidikan agama Islam adalah sebagai penangkal paham-paham yang tidak sesuai
dengan ideologi bangsa salah satunya paham komunisme. Selain itu karena perkembangan,
kebutuhan, dan kondisi masyarakat Islam yang sangat antusias dalam pendalaman
ilmu-ilmu keduniaan (ilmu pengetahuan umum) sehingga menjadi penyebab banyaknya
kalangan agamis belajar di perguruan tinggi umum. Hal tersebut berkonsekuensi
banyaknya tuntutan dari kalangan agama untuk ditetapkannya mata kuliah agama
sebagai mata kuliah wajib yang harus diberikan kepada para mahasiswa agar
mahasiswa tidak kehilangan atau minim atas ilmu-ilmu agama yang dianutnya.
Dari hasil analisis sejarah dapat
dikatakan bahwa kehadiran pendidikan agama tidak hanya untuk mendidik ilmu
agama bagi peserta didiknya. Namun lebih daripada itu adanya pendidikan agama
adalah sebagai upaya pengokohan ‘ideologi’ agama yang ditanamkan pada peserta
didik di lembaga pendidikan secara formal. Lebih detail karena di lembaga
pendidikan umum terdapat banyak sekali mahasiswa yang beragama Islam maka
dipandang perlu adanya perhatian khusus terhadap adanya pendidikan agama Islam secara inten di perguruan
tinggi umum. Hal ini tentu sebagai bentuk agar mahasiswa Islam terhindar dari
faham sekuler
dan supaya mampu dalam pengantisipasian terhadap fenomena-fenomena arus
modernisme pada dua dekade di akhir abad
20.
b. Didasarkan Aspek Filosofis
Indonesia
adalah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, sehingga pendidikan Islam
punya peran yang signifikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan
pembangunan karakter unggul. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa budaya,
kebiasaan, karakter, dan segala hal yang tercipta pada masyarakat merupakan
cerminan dari hasil pendidikan Islam. Oleh karena itu peran penting pendidikan
Islam adalah bagaimana agar ajaran Islam yang rahmatan lilalamin benar-benar diterapkan oleh setiap insan Islam.
Peran penting
PAI lain yang tidak bisa ditinggalkan adalah sebagai bentuk antasipasi atau
penanggulangan terhadap paham yang pada zaman sekarang ini mewabah di
Indonesia. Salah satunya yaitu adanya pandangan bahwa pendidikan adalah sebagai
sarana investasi, asumsinya adalah masyarakat rela generasi mudanya
‘diinvestasikan’ dalam dunia pendidikan dengan harapan akan diperoleh
keuntungan sebesar-besarnya setelah itu. Dalam tataran praktis di ranah sosial
kemasyarakatan hal tersebut tidak bisa disalahkan dan hilangkan begitu saja.
Oleh karena itu pendidikan agama yang salah satunya meliputi moral dan
spiritual tidak bisa ditawar lagi untuk tidak dimarginalkan atau tidak
digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini supaya pendidikan
Indonesia tidak dihasilkan mahasiswa yang berpaham materialistik, cenderung
kapitalis, sehingga berujung pada sekulerisme.
Pernyataan
tersebut sebagaimana menurut Hamdan Mansoer dkk. dikemukakan bahwa bila pada
perguruan tinggi di Indonesia hanya fokus pada pengembangan intelektual keilmuan
umum dengan pengabaian dalam upaya pengembangan kepribadian mahasiswa maka
bukan mustahil lulusan perguruan tinggi di Indonesia menjadi intelektual yang
sekuler.
Lebih
gamblangnya sistem pembelajaran PAI adalah kebutuhan mendasar bagi suatu lembaga pendidikan umum, terutama
pendidikan tinggi umum berbentuk universitas yang karakteristik mahasiswanya
heterogen, salah satu cirinya bersifat multikultural. Keadaan tersebut bisa
diatasi dengan adanya sistem pembelajaran PAI yang integral serta terdapat komunikasi antar Dosen PAI dalam
satu lembaga. Walaupun menurut Abidin Nurdin disampaikan bahwa antar Dosen satu
dengan yang lain titik tekan pembelajarannnya pada setiap lokal atau ruang
pembelajaran berbeda, dengan teknik disesuaikan kepada karakter mahasiswa di
setiap kelas dan prodi yang diambilnya.
Oleh karena itu jika sistem pembejaran PAI tidak kokoh dan utuh maka dapat
diperkirakan mata kuliah PAI dianggap sebagai mata kuliah kelas dua atau hanya
sebagai pelengkap (sebagai hiasan dalam kurikulum perguruan tinggi umum).
Sedang menurut
Hamka sebagaimana yang dikutip oleh Muh. Idris
bahwa Pendidikan Agama adalah sebuah kebutuhan yang harus diajarakan
agar bisa mencetak peserta didik yang paripurna (insan kamil) sekalipun pada lembaga pendidikan umum. Insan Kamil atau berkepribadian Muslim
adalah suatu kondisi fisik dan mental secara bersamaan terjadi satu kesatuan
yang terpadu sehingga dalam penampilan atau kegiatan kehidupan sehari-hari
tidak terjadi pendikotomian antara jasmani dengan rohani dan dunia dengan
akhirat.
Dengan kata lain pendidikan Agama Islam diharapkan mampu dalam pencetakan
generasi Muslim yang berkemampuan dalam IPTEK, ketauhidan, dan berkepribadian
Islam yang rahman lil alamin sehingga
terbentuklah insan paripurna.
Dengan
demikian dimensi ketauhidan tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam dunia
pendidikan, artinya adanya keterlibatan hubungan antara intrepretasi (pelibatan
logika) manusia terhadap kebenaran hakiki tentang Allah SWT melalui ayat kauniyah dengan ayat kauliyah yang didasari pada ketundukan
dan keimanan. Hal ini supaya dalam alam pikiran manusia tidak tercemari sifat
angkuh dan merasa terkuat dari segalanya padahal ada yang lebih kuat dari
segalanya yaitu yang Maha Kuat, sehingga kandungan inti dari pemahaman hubungan
tersebut adalah keimanan dan ketundukan mutlak manusia kepada Allah yang
tercermin dalam pemikiran, sikap, dan perilaku sebagai berikut:
1.
Kebenaran mutlak hanya ada pada Allah semata,
dan yang dapat dicapai manusia hanyalah kebenaran relatif, serta dalam skala
temporal maupun spatial.
2.
Kesadaran akan keterbatasan akal manusia pada
intrepretasi tersebut menjadikan timbulnya sikap dan perilaku manusia yang
tunduk dan patuh pada kehendak Allah SWT. Dengan kata lain adanya kesadaran
bahwa ilmu dan kemampuan teknologi yang dikuasai manusia adalah berasal
sekaligus amanah dari Allah, dan yang menjadi motivasi untuk penerapannya pun
dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
3.
Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara
ilmu dengan agama. Dengan demikian jika ditemui pertentangan dalam praktiknya
adalah semu belaka, artinya sebagai akibat dari kesalahan atau ketidak mampuan
akal manusia dalam intepretasi terhadap ayat kauniyah, kauliyah, atau bahkan
keduanya.
4.
Kesadaran bahwa ilmu pengetahuan umum bukan
satu-satunya kebenaran, bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi permasalah
kehidupan manusia.
Dari
pemaparan tersebut maka sungguh nampak peran penting pendidikan agama bagi
sikap mental dan emosional manusia. Dengan kata lain pendidikan agama mampu
menjadi solusi bagi kefrustasian manusia dalam menanggulangi problematika
kehidupan. Secara grafik maka hubungan antara agama dengan ilmu apabila
dielaborasisasikan tergambar pada hubungan berikut ini:
Gambar 1.1 Hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan melalui proses intrepretasi
ayat-ayat
Pendalaman terhadap ajaran-ajaran Islam untuk
pencegahan dari arus sekularisme sudah terjadi pada tahun 1925 dengan
berdirinya Jong Islamieten Bond yang
dipelopori oleh R. Sam (Sjamsurijal), seorang aktivis partai politik Sarekat
Islam. Organisasi ini diakui anggotanya mampu dalam pencegahan cendekiawan
Muslim berjauhan dengan ajaran-ajaran Islam. Pada waktu itu kelompok-kelompok
diskusi sudah berjamuran dengan pembahasan tentang masalah-masalah mutakhir
yang dinilai penting pada masanya, misalnya betema "Islam dan kebebasan
berpikir", "poligami dan Islam", “perang dan etika di dalam
Islam", "peranan dan kedudukan wanita di dalam Islam",
"Islam dan nasionalisme", dan lain-lain. Lihat Pudji Muljono,
“Kelompok Keagamaan di Kampus Perguruan Tinggi Umum: Kajian Sosiologi,” Mimbar: Jurnal Agama & Budaya, Vol.
24 No. 4 (2007) 483-484.