Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

E. Sistematika Isi Buku

Buku ini terdiri dari 7 Bab. Di mana Bab I Pendahuluan isinya terkait “konsep dasar” tentang Pengembangan Pendidikan Agama Islam. Maksud dibuatnya Bab ini ialah agar pembaca bisa mengetehui (secara tidak langsung) tentang apa-apa yang “dikehendaki” buku ini. Oleh karena itu, Bab ini menjadi pijakan penting bagi Bab-bab berikutnya, sehingga penjelasan secara rinci tentang istilah-istilah penting sebagai kata kunci mutlak diperlukan. Bisa dikatakan Bab ini sebagai penunjuk arah, dengan harapan tidak terjadi pemahaman yang melebar ke mana-mana terkait pengembangan PAI. Secara gamblang, di dalamnya terdeskripsikan pengertian pengembangan Pendidikan Agama Islam, urgensi pengembangan PAI, kerangka acuan pengembangan PAI, ruang lingkup pengembangan PAI, hal-hal yang terkait dengan pengembangan PAI, dan sistematika isi buku.


Topik lain:


Dalam Bab II berisi penjabaran tentang mekanisme revolusi ilmu pengetahuan yang diusung oleh Thomas S. Kuhn. Kemudian dari gagasan tersebut dihubungkan dengan upaya pengembangan PAI dalam konteks kekinian. Apakah gagasan Kuhn bisa “menolong” dan menguatkan PAI sebagai suatu kajian yang bernilai ilmiah. Serta tentunya sebagai landasan filosofis dan nilai-nilai dasar (intagibel asset) mengapa pengembangan PAI itu perlu dilakukan. Bab ini juga membahas gambar “bukit paradigma,” yang disajikan secara imajinatif tentang bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan itu bisa berjalan secara revolusioner. Oleh karena itu, bukan suatu hal berlebihan bila dikatakan Bab ini menjadi dasar penting bagi Bab-bab selanjutnya. Salah satunya, sebagai landasan filosofis mengapa pengembangan PAI itu perlu diadakan terus-menerus.
Adapun Bab III lebih menekankan pada aspek psikologisnya, yaitu terkait teori multiple intelligences yang diprakarsai oleh ahli psikologi Howard Gardner. Tujuannya, untuk mengetahui apakah hasil ide Gardner tersebut sepenuhnya relevan dengan PAI. Ataukah PAI bisa melakukan pengembangan “tambahan,” sebagai penyempurna dari gagasan Gardner tersebut? Berangkat dari dialektika antara keduanya maka pada bagian ini menjadi acuan bagi Bab-bab berikutnya. Hal ini karena secara eksplisit Bab ketiga dapat membantu pendidik mengetahui aspek psikologis beserta latar belakang kehidupan peserta didik (pengembangan PAI berbasis psikologis). Dengan asumsi, setelah mengetahui kondisi psikologis (utamanya latar belakang jenis kecerdasannya) peserta didik –salah satunya dengan pretes psikologis—[1] maka dapat membimbing dan menerangi kebijakan pengembangan PAI di bidang lainnya. 

Topik lain:
Pada Bab IV, diuraikan tentang sudut pandang sosiologisnya. Yakni, membahas masalah terorisme dan konsep human securty. Secara detail, teori-teori dalam Bab ini ingin menunjukkan bahwa di luar gedung lembaga pendidikan terdapat fenomena-fenomena sosial yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Salah satunya untuk mengetahui bagaimana suatu tindakan terorisme sebagai salah satu bentuk kekerasan bisa terjadi. Serta pengembangan PAI seperti apa yang dilakukan untuk meminimalisir bahkan menghilangkan terorisme hingga ke akar-akarnya. Bagaimanapun, fenomena sosial di luar lingkungan gedung lembaga merupakan aspek yang tidak kalah penting untuk dijadikan alasan sebuah pengembangan PAI dilakukan. Harapannya, PAI bisa berkonstribusi positif bagi negara Indonesia dalam membangun dan menciptakan budaya manusia Indonesia yang produktif dalam bidang positif, cinta damai, dan toleran. Oleh karena itu, Bab ini pantas dijadikan pijakan penting bagi Bab-bab selanjutnya, karena sebelum mengadakan pengembangan kelembagaan maka terlebih dahulu perlu meninjau dulu kondisi sosial masyarakat.
Sedangkan pada Bab V membicarakan tentang bentuk-bentuk pendidikan Islam di Indonesia meliputi madrasah, pesantren, dan sekolah. Maksud dibuatnya Bab ini ialah untuk mengetahui aspek kesejarahan dari bentuk-bentuk lembaga pendidikan tersebut. Kemudian diuraikan tentang konsep-konsep kelembagaan seperti apa yang telah berubah hingga berjalan seperti sekarang ini. Serta bagaimana ke depannya dalam pengembangan PAI yang ideal disesuaikan dengan kondisi maupun bentuk pendidikan Islam pada masing-masing lembaga itu sendiri. Bab ini menjadi landasan dasar bagi bab VI. Alasannya, sebelum mengadakan pengembangan kelembagaan PAI pada Perguruan Tinggi maka terlebih dahulu penting untuk mengetahui dulu kondisi pengembangan kelembagaan PAI pada jenjang pendidikan sebelumnya. 


Topik lain: 
Contoh Sistematika Isi Buku Pengembangan Pendidikan Agama Islam 
Bab VI mengupas tentang pengembangan pendidikan Islam di PTAI yang difokuskan pada pengembangan program studinya. Keunikan dalam Bab ini yaitu adanya landasan fondasional dan landasan operasional pengembangan PAI yang sulit ditemukan dalam buku lain. Di dalamnya juga menggambarkan tentang langkah-langkah pengembangannya. Serta diakhiri dengan semangat integrasi ilmu di lembaga PTAI. Sedangkan untuk bab terakhir, yaitu BAB VII Penutup berisi tentang refleksi dan kontemplasi dari semua pemaparan yang telah disampaikan. Mengungkap beberapa motivasi, rekomendasi, dan catatan penting dari penulis.
Dari semua pemaparan di atas secara gamblang buku ini berisi kajian tentang pengembangan nilai-nilai dasar pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan tujuan pembelajaran, dan pengembangan sarana maupun prasarana lembaga pendidikan. Untuk lebih detailnya dapat digambarkan sebagai berikut:


Gambar 1.3 Piramida Sistematika Pengembangan PAI Melalui Empat Perspektif

Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa kajian filosofis (Bab 2), psikologis (Bab 3), sosiologis (Bab 4), dan kelembagaan (Bab 5 dan 6) merupakan empat perspektif yang digunakan dalam pengembangan PAI di buku ini. Adapun yang di maksud dengan nilai-nilai dasar (intagible asset) dalam gambar di atas ialah aset-aset tidak nampak biasanya berupa ideologi (hasil dari pemahaman manusia yang disepakati), keyakinan, etika, paradigma, dan kata-kata penyemangat (jargon) yang diusung oleh komunitas lembaga. Sedangkan sumber daya manusia bisa meliputi pendidik, peserta didik, pejabat lembaga, karyawan lembaga, wali murid, dan manusia lain yang terkait langsung dengan eksistensi lembaga pendidikan. Adapun tujuan pembelajaran merupakan tujuan intruksional (pembelajaran) secara umum yang difokuskan kajiannya karena secara sosiologis sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah masyarakat. Terakhir, sarana-prasarana adalah segala sesuatu berwujud benda yang bisa mendukung –baik langsung maupun tidak langsung— terlaksananya pendidikan Islam yang efektif dan efisien.





[1]Pengembangan PAI dengan melakukan pretes psikologis adalah tes yang dilakukan sebelum peserta didik memasuki tahun ajaran baru. Tujuannya untuk mengetahui bidang kemampuan (kecerdasan) apa yang paling dominan dimiliki peserta didik. Setelah mengetahui kondisi (potensi) psikologi peserta didik lantas guru PAI atau lembaga pendidikan Islam mengakomodir segala keberagaman kecerdasan yang dimiliki peserta didik. Kemudian didalami dan dikembangkan, sehingga peserta didik saat dewasa dan berkarier kelak bisa menjadi manusia “merdeka.” Yakni, bisa beraktifitas sesuai dengan bidang kecerdasannya dan tidak ada rasa tertekan penuh keterpaksaan saat bekerja.





Baca tulisan menarik lainnya: