Contoh Proposal Disertasi
Outline Disertasi
PARADIGMA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM BERBASIS NIRKEKERASAN DAN HUMAN
SECURITY PADA PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM
(STUDI MULTIKASUS DI UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK MALANG, UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG, dan
UNIVERSITAS ISLAM MALANG)
Halaman sampul
Lembar logo
Halaman Judul
Lembar
Persetujuan
a)
Lembar persetujuan pembimbing
b)
Lembar persetujuan dan pengesahan
Pernyataan
Keaslian Tulisan
Abstrak (bahasa
Indonesia)
Abstrak (bahasa
Inggris)
Abstrak (bahasa
Arab)
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Lampiran
Daftar Lainnya
BAB I PENDAHULUAN
A.
Konteks Penelitian
B.
Fokus Penelitina
C.
Tujuan Penelitian
D.
Manfaat Penelitian
E.
Orisinalitas Penelitian
F.
Definisi Istilah
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.
Paradigma Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
1.
Pengertian Paradigma Pembelajaran
2.
Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
3.
Peran Penting Paradigma Pembelajaran bagi penanaman nilai
Agama Islam
B.
Nirkekerasan dan Human
Security
1.
Pengertian Nirkekerasan
2.
Pengertian Human
Security
3.
Keterkaitan Nirkekrasan dan Human Security dengan paradigma pembelajaran Pendidikan Agama Islam
4.
Macam-macam Kekerasan
C.
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
1.
Pengertian Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
2.
Peran Penting PTKI dalam Menanamkan Nilai Nirkekerasan dan
Human Security
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
B.
Kehadiran Peneliti
C.
Latar Penelitian
D.
Data dan Sumber Data Penelitian
E.
Teknik Pengumplan Data
F.
Teknik Analisis Data
G.
Pengecekan Keabsahan Data
BAB IV PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN
A.
Paparan Data
B.
Hasil Penelitian
BAB V PEMBAHASAN
BAB VI PENUTUP
A.
Simpulan
B.
Implikasi
C.
Saran
DAFTAR RUJUKAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
PENULIS
Daftar Isi
Proposal Disertasi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Konteks Penelitian
B.
Fokus Penelitian
C.
Tujuan Penelitian
D.
Manfaat Penelitian
E.
Orisinalitas Penelitian
F.
Definisi Istilah
G.
Sistematika Pembahasan
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.
Landasan Teoritik
B.
Kajian Teori
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
B.
Kehadiran Peneliti
C.
Latar Penelitian
D.
Data dan Sumber Data Penelitian
E.
Teknik Pengumpulan Data
F.
Teknik Analisis Data
G.
Pengecekan Keabsahan Data
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Konteks
Penelitian
Pendidikan Agama Islam[1] yang diselenggarakan
oleh Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI)[2] merupakan mata kuliah yang sangat penting bagi
pembentuk kepribadian dan karakter mahasiswa.
Oleh sebab itu, diharapkan tujuan utama Pendidikan Agama Islam (PAI)
pada PTKI (utamanya perguruan
tinggi yang berbentuk Universitas yang sebagian besar mahasiswanya berasal dari
berbagai latar belakang) tidak hanya terfokus pada pemprosesan
mahasiswa
dari yang belum
paham tentang agama
dijadikan lebih paham, dari yang belum mampu dalam penerapan
dijadikan lebih mampu, dan dari yang belum taat dalam penerapan keagamaan
menjadi lebih
taat. Namun lebih dari sekedar itu, PAI adalah penanaman nilai-nilai keislaman secara utuh dan
universal dalam diri mahasiswa. Dengan kata lain, PAI harus mampu mewujudkan konsep Islam yang rahmatanlilalamin.Yakni, salah satunya
mampu menjadi umat Islam yang cinta damai, penuh kasih, dan mampu bekerjasama
dengan cerdas (elegan serta tetap mampu memegang prinsip dan iman keislaman)
terhadap semua karakter manusia yang dihadapi seperti apapun itu.
Selama ini, mahasiswa dipandang sebagai manusia yang
sudah pada tahap pencapaian kematangan (kedewasaan) secara fisik, psikologis,
dan cara berfikirnya. Mereka sudah mampu secara rasional menelaah dirinya
sendiri untuk penentuan sikap, pengambilan keputusan, dan pengolahan terhadap
resiko untuk setiap permasalahan yang dihadapi. Maka tentulah paradigma
pembelajaran antara di perguruan tinggi dengan di sekolah sangatlah berbeda
karena berbeda pula suasana lingkungan belajar, strategi, dan bentuk tuntutan
tugas-tugasnya. Selain itu yang menjadi ciri utama di perguruan tinggi adalah
adanya kegiatan-kegiatan berupa pengabdian masyarakat dan penelitian ilmiah.
Semua kegiatan itu diperlukan kematangan pola fikir ilmiah yang harus dimiliki
mahasiswa. Lebih detailnya mahasiswa sebagai pembelajar di perguruan tinggi
punya perbedaan jenjang, usia, dan tingkatan kedewasaan berfikir yang lebih
matang jika dibandingkan dengan pembelajar lain yang berada di tingkat
pendidikan menengah seperti SMA, MA, SMK, dan MAK terlebih lagi pada tingkat
pendidikan dasar seperti SMP, MTs, MI, dan SD atau bentuk lain yang sederajat.
Hal ini selaras dengan pendapat Hisyam Zaini dkk. yang dikemukakan tentang
“pembelajaran untuk mahasiswa di perguruan tinggi seyogyanya dibedakan dengan
proses pembelajaran untuk siswa sekolah menengah.”[3]
Oleh karena itu sebagaimana juga disampaikan oleh Yahya Ganda bahwa
pembelajaran di perguruan tinggi harus dibedakan dengan sistem pembelajaran di
pendidikan tingkat menengah dan dasar.[4]
Selanjutnya, menurut Andreas Anangguru Yewangoe menyampaikan tentang sosok mahasiswa adalah seorang yang
punya daya intelektual diharapkan mampu dalam proses pemilihan dan pemilahan
‘kebenaran’ sebuah persoalan secara kritis dan objektif. Selain itu mahasiswa
dalam pergaulan sehari-hari dipandang cenderung mampu dalam menolong seseorang untuk
mengambil jarak dengan permasalahan-permasalah dan mampu dalam pemberian solusi
untuk membantu seseorang.[5]
Dengan demikian mahasiswa sebagai manusia ‘ilmiah’ bisa berperilaku serta
berfikir ilmiah, memiliki nalar yang kritis, logis, dan sistematis tidak hanya
saat di perguruan tinggi saja namun saat lulus studi dari perguruan tinggi.[6]
Namun, pernyataan tersebut adakalahnya masih menjadi sebuah teori belaka
tatkalah kita melihat fenomena “janggal” yang dilakukan oleh mahasiswa yang
dianggap sebagai manusia unggul. Kenyataannya masih banyak mahasiswa yang
melakukan tindakan kekerasan. Baik kekerasan dalam bentuk verbal maupun non
verbal. Di antaranya seperti demo anarkis,[7]
tawuran mahasiswa, kekerasan opspek,[8]
potensi terorisme,[9]
kekerasan dalam sebuah hubungan, anarkisme mahasiswa,[10]
dan tindakan yang cenderung anti human
security lainnya.
Selain itu PAI juga punya
peran dalam penenaman
nilai-nilai karakter yang dinyatakan
dalam perilaku melekat sehingga menjadi pedoman
hidup. Bukan
hanya pedoman hidup dalam beribadah secara normatif. Namun, juga pedoman hidup dalam menghadapi permasalahan dan tantangan kehidupan yang
semakin dinamis. Di mana, salah satu
tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa ialah tugas kuliah yang menumpuk, tugas
organisasi (bagi yang ikut organisasi), tuntututan orang tua di rumah, tuntutan
pekerjaan, dan tekanan-tekanan lain yang bisa memicu rasa frustasi mahasiswa.
Tekanan-tekanan yang dihadapi mahasiswa tersebut berpotensi besar untuk
disublimasikan dalam bentuk tindakan-tindakan negatif. Baik dalam provokasi
verbal, tawuran, dan bentuk kekerasan lainnya kepada kelompok atau pihak
lainnya yang mereka anggap sebagai “the
other” atau pihak yang pantas dimusuhi.
Kenyataannya, paradigma
pembelajaran PAI sekarang ini masih terkait ibadah magdoh, doktrin “apatisme”
terhadap pemeluk agama lain, dan sejarah peperangan umat Islam. Dalam PTKI selama ini masih ditemui mahasiswa Islam
yang lebih terfokus pada pendalaman ilmu agama yang teoritis. Salah satunya
terkait tentang sejarah Islam, teori membaca al Quran, teori sholat, fiqh
ibadah, ekonomi islam, dan terkait dengan hukum-hukum syariat lainnya yang
cenderung untuk kepentingan diri pribada mahasiswa itu sendiri. Yakni,
bagaiamana agar diri invidu itu sendiri bisa masuk surga, tanpa memedulikan
keadaan orang lain. Oleh sebab itu, wajar bila terjadi pengabaian ilmu
pengetahuan agama Islam yang secara praktis dapat bermanfaat dan berdampak baik
bagi seluruh umat manusia. Inilah yang biasanya kita sebut sebagai konsep Islam
Rahmatanlilalamin. Yakni, ilmu yang
diterapkan secara langsung di lingkungan dunia akademis atau kampus. Salah
satunya ialah mampu hidup penuh toleransi, berjiwa kesatria, dan mampu hidup
damai dengan pihak yang dianggap berbeda. Baik hidup damai secara verbal maupun
non verbal serta saat di belakang maupun di depannya.
Dalam proses pembelajaran tentulah dosen mata kuliah PAI
sebagai pendidik memiliki peran utama dan sangat penting dalam perencanaan,
pengontrolan, dan pengevaluasian sistem pembelajaran PAI di PTKI. Jika sebuah
sistem pembelajaran PAI tidak direncanakan secara matang yang dilandaskan pada
karakter, latar belakang, minat, bakat, tingkat kecerdasan, tingkat pemahaman
tentang agama Islam, dan orientasi mahasiswa dalam berkuliah maka dapat
berakibat sebuah sistem pembelajaran PAI tidak akan berjalan dengan lancar,
normal, efektif, efisien, serta tidak tercapainya sebuah tujuan pembelajaran
secara utuh.
Sebagaimana menurut konstitusi bahwa pendidikan agama di
perguruan tinggi merupakan rumpun Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)
dalam struktur Mata Kuliah Umum (MKU) yang di dalamnya ada pemahaman serta dilakukan
pengembangan filosofis untuk berkembangnya kepribadian mahasiswa. Dengan kata
lain MPK memuat kaidah-kaidah dengan tingkat filosofis yang cukup tinggi dengan
maksud agar timbul keingintahuan mahasiswa dalam pemahaman, penghayatan,
pendalaman, dan pengamalan atas ilmunya. Oleh karena itu PAI sebagai salah satu
mata kuliah yang dikatagorikan masuk dalam kurikulum inti diusahakan bisa
membentuk karakter, watak, kepribadian, dan sikap serta wawasan beragama dalam
kehidupan sosial. Mata Kuliah PAI diharapkan juga mampu menjadi landasan dan
pencerahan bagi mahasiswa dalam pengembangan ilmu umum yang ditekuninya sesuai
dengan program studi yang ia ambil.[11]
Oleh Karena itu pengembangan materi PAI hendaknya harus disesuaikan dengan
prodi yang dipilih mahasiswa, dengan artian dosen aktif dalam pemberian materi
wawasan dan pedoman pada mahasiswa yang muatannya selaras dengan program
studinya.
Sebuah penelitian dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Kementerian Agama RI pada tahun 2010 pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri (PTUN)
yang ternama di Indonesia yaitu UDAYANA, UNDANA, UNHAS, UI, UNDIP, UNPAD, dan
UGM dari hasilnya ditunjukkan bahwa sistem pembelajaran Pendidikan Agama (bukan
hanya agama Islam) pengaruh yang dimilikinya
merupakan terkecil terhadap toleransi beragama pada mahasiswa
dibandingkan dengan komponen lain misalnya adalah lingkungan pendidikan secara
luas memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung yang lebih besar terhadap
toleransi beragama.[12]
Selain itu juga berdasar hasil penelitian Kasinyo Harto di Universitas
Sriwijaya Palembang dari hasilnya ditunjukkan yang mana di sana terdapat
beberapa organisasi gerakan keagamaan ekstra kampus yang pendekatannya pada
kajian keagamaan lebih cenderung bernuansa normatif-doktriner, yaitu suatu
pendekatan yang dibangun atas norma-norma keagamaan (wahyu) dengan pola top down dan deduktif tanpa keterlibatan
pertimbangan nalar, konteks historis, sosial, dan kenyataan-kenyataan yang
hidup di masyarakat.[13]
Dapat disimpulkan bahwa nampak dari hasil penelitian tersebut terjadi pola
fikir dan tindakan mahasiswa yang ekslusif (tertutup). Hal ini bisa
dikategorikan sebagai bentuk kekerasan non verbal yang sangat jauh dari
nilai-nilai Islam. Terlebih lagi, bila dilakukan secara masif, terstruktur, dan
sistematis.
Dua temuan di atas menunjukkan salah satu komponen dari
sistem pembelajaran Pendidikan Agama termasuk Pembelajaran PAI belum berjalan
secara integral. Misalnya komponen tujuan dalam sistem pembelajaran belum
diarahkan atau ditekankan pada pentingnya bertoleransi agama yang baik dan
benar. Salah satunya bertoleransi yang Islami adalah menjadi muslim yang kuat
sebagai pelindung non muslim yang lemah,
menjadi muslim yang mayoritas untuk pengayoman terhadap minoritas, dan menjadi
muslim yang kokoh sebagai penjaga non muslim yang rapuh. Dan juga tentunya
toleransi kepada sesama umat Islam sendiri yang punya perbedaan pandangan
terhadap ajaran Islam sehingga ke depannya nanti diharapkan tidak ada mahasiswa
yang berpola fikir ekslusif tanpa dilakukan syiar Islam yang cinta dalam
pembangunan peradaban, radikal secara buta tanpa pendalaman teks dengan konteks
masyarakat secara bersamaan, dan fanatik yang
pada waktu dan tempat yang salah.
Kualitas sistem pembelajaran PAI terwujud tidak hanya karena sebuah kebetulan atau
kepasrahan buta pada Tuhan namun diusahakan serta direncanakan. Oleh sebab itu
perlu adanya pengkajian dan pendalaman khusus tentang sistem pembelajaran PAI di PTU.
Pembelajaran PAI selama ini dipandang sebelah mata oleh kebanyakan kalangan
masyarakat baik yang awam maupun yang punya keahlian dan ilmu. Cara pandang seperti itu disebabkan karena PAI
selama ini hanyak diidentikan dengan ketertinggalan karena sifatnya yang dianggap tidak mau berubah dan cederung tetap dari
dulu hingga sekarang mulai dari metode, materi, tujuan, hingga teknologi atau
media pembelajarannya.
Memang dari tinjauan ajaran dan kandungannya,
materi PAI lebih banyak bersifat dogmatis dan statis dari zaman Nabi
Muhammad hingga kiamat. Belum lagi jika
ditambahi dengan pengaruh-pengaruh tertentu dari salah satu golongan atau paham
tentang keagamaan Islam maka doktrinasi dan penanaman nilai menjadi bertambah
kuat serta radikal. Namun demikian semangat serta cara perjuangan dan penyebarluasan syiar Islam tidak bersifat statis melainkan dinamis, luwes, dan
universal sehingga sistem pembelajaran PAI
bisa disandingkan dengan laju modernitas. Salah satu caranya menurut Wina Sanjaya adalah dengan
cara pengaitan atau adanya rajutan interaksi antara materi (muatan kurikulum)
dan pendidik (dosen) PAI dengan materi beserta pendidik non-PAI dan sarana
prasarananya.[14]
Dalam Islam kehadiran pendidik PAI tidak hanya sebagai penghakim tentang benar dan salah, pembimbing peserta didik dalam perjalanan belajar, dan
sebagai perpanjangan tangan ilmu-ilmu atau ajaran dari para ulama pendahulu saja. Namun pendidik dalam Islam merupakan pewaris para nabi, tidak hanya pewaris ilmu-ilmu nabi namun juga pewaris sifat-sifat nabi yaitu patut menjadi contoh,
kepemilikan
semangat dalam perjuangan agama Islam (bukan perjuangan dengan paksaan dan kekerasan namun dengan cara kelembuatan dan kasih
sayang), dan pendidikan terhadap umat dengan semangat pembaruan (mendobrak tatanan yang mapan untuk
kemajuan umat). Oleh karena itu dalam upaya pembaruan dan pengembangan PAI di PTKI yang berbentuk Universitas ini terlebih dahulu perlu adanya pendalaman
terlebih dahulu tentang bagaimana kinerja dari tatanan sistem pembelajaran PAI
di PTKI tersebut.
Sistem pembelajaran PAI pada kurikulum di
PTKI berbentuk Universitas dapat diumpamakan sebagai salah satu dari beberapa tatatan sistem pada organisme (individu). Pada
organisme terdapat sistem peredaran darah, sistem pencernaan, dan sistem
pernafasan yang mana di dalam sistem-sistem tersebut terdapat organ-organ yang memiliki fungsi yang adakalanya satu sama lain saling bergantung. Begitu juga pada
kurikulum yang dipadankan dengan organisme maka di dalamnya terdapat salah satu
sistem yaitu sistem pembelajaran PAI yang juga terdiri dari beberapa ‘organ’
atau komponen yang terbentuk saling bekerja sama untuk pewujudan tujuan khusus.
Bisa disimpulkan pengkajian sistem pembelajaran PAI di PTKI berbentuk
Universitas sangat diperlukan untuk diarahkan pada penelusuran kelemahan dan
kekuatannya sehingga tidak ada kesan pelaksanaan mata kuliah PAI di PTKI berbentuk
Universitas hanya untuk pemenuhan kewajiban undang-undang semata.
Bagaimanapun
masalah kekerasan akan selalu ada dalam sejarah manusia sampai kapan pun.
Adapun yang membedakan antara zaman satu dengan zaman lain ialah sejauh mana
tingkat kekerasan yang dilakukan oleh manusia itu apakah besar atau kecil serta
dengan pola yang berbeda pula. Oleh sebab itu, masalah nirkekrasan dan human
security ini sangat penting untuk diteliti. Bagaiamanapun Indonesia masih
membutuhkan konsep dan praktik nirkekrsan dan human security. Tentu hal pertama
yang harus dibenahi adalah dari dalam diri kampus itu sendiri. Baik kekerasan
yang dilakukan karena faktor ideologi maupun dilakukan karena demi memenuhi
kepentingan segelintir orang (faktor “nafsu”).
Sebagaimana
yang telah diketahui secara jamak tentang pemberian mata kuliah PAI di seluru perguruan tinggi
merupakan hak bagi setiap mahasiswa yang beragama Islam sebagai peserta didik
dan merupakan kewajiban bagi perguruan tinggi untuk memuat pendidikan agama
dalam kurikulumnya. Pernyataan tersebut sesuai dengan amanat Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam
BAB V tentang Peserta Didik pada Pasal 12 Ayat 1 yang diamanatkan “setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (a) mendapatkan pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang
seagama,.” Serta diacukan pada BAB X tentang Kurikulum pada Pasal 37 Ayat 2
dinyatakan “kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan agama; b.
Pendidikan kewarganegaraan; c. Bahasa.”[15]
Berdasarkan informasi dari studi pendahuluan yang
dilakukan bahwa UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA pada setiap Program Studi
(selanjutnya nanti disebut dengan Prodi)
semuanya (prodi bidang ilmu keagamaan dan prodi bidang ilmu umum)
terdapat mata kuliah PAI. Namun perlu ditegaskan yang menjadi beberapa alasan
logis pemilihan UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA sebagai tempat penelitian
disebabkan ketiga kampus tersebut termasuk PTKI merupakan jajaran kampus
terbesar di Jawa Timur bahkan hingga ranah Nasional. Bahkan untuk prodi-prodi
Umum (non keagamaan) ketiga kampus tersebut dapat dikatakan bisa ikut bersaing
dengan Perguruan tinggi Umum. Selain itu, apabila dikontekskan dengan keadaan
sosiogeografi daerah Malang dapat diambil pernyataan di UIN Maliki, UMM, UNISMA
mahasiswanya sangat heterogen atau beragam.
Berangkat dari kenyataan itu, diperlukan suatu
penanggulangan serta pengelolaan atas realitas kampus yang begitu besar tersebut.
Berdasarkan temuan awal penelitian
tersebut dipandang perlu untuk diadakan penelitian tindak lanjut karena untuk
pendalaman apakah data-data awal yang telah ditemukan tersebut merupakan hasil
kompetensi lulusan dari sistem pembelajaran mata kuliah PAI yang cukup berhasil
atau ada faktor lain yang menjadi penyebab perilaku mahasiswa secara simbolik
bercirikan Islam. Penelitian ini diharapakan juga bisa menjadi penemu jawaban
dari asumsi dan pertanyaan-pertanyaan skeptis dan cenderung bersifat minor
tentang pelaksanaan pembelajaran PAI di PTKI yang dianggap kurang optimal.
Berangkat dari fenomena-fenomena dan
keunikan permasalahan yang penulis temukan dalam studi pendahuluan yang masih
bersifat mendasar serta masih berupa gambaran umum dan bersifat sementara maka dapat
disimpulkan sangat perlu diadakan penelitian tindak lanjut secara mendalam di UIN Maliki
Malang, UMM, dan UNISMA. Dan dapat disadari penelitian tindak lanjut ini sangat
diperlukan untuk diperoleh sebuah kesimpulan yang komperhensif,
objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sehingga
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Di sisi lain prasangka
tanpa dasar akan menjadi simpang siur jika tidak dicari kebenarannya
melalui sebuah penelitian ilmiah. Oleh karena itu berdasarkan pemaparan
di atas, perlu diadakan penelitian ilmiah sebagai
tindak lanjut yang dalam konteks pembahasan ini disebut sebagai disertasi yang
bertempat di UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA yang kemudian dikembangkan ke dalam judul “PARADIGMA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM BERBASIS NIRKEKERASAN DAN HUMAN
SECURITY PADA PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM (STUDI
MULTIKASUS DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK MALANG, UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MALANG, dan UNIVERSITAS ISLAM MALANG).”
B.
Fokus Penelitian
Fokus penelitian
ini yaitu tentang paradigma pembelajaran PAI terkait dengan materi, tujuan,
strategi, dan evaluasi pembelajaran PAI berbasis nirkekerasan dan human security yang digunakan oleh
UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA. Dari fokus tersebut dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaiamana materi
pembelajaran PAI berbasis nirkekerasan dan human
security yang digunakan UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA?
2. Bagaiamana tujuan
pembelajaran PAI berbasis nirkekerasan dan human
security yang digunakan UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA?
3. Bagaimana strategi
pembelajaran PAI berbasis nirkekerasan dan human
security yang digunakan UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA?
4. Bagaimana
pengembangan muatan materi PAI oleh dosen PAI di UIN Maliki Malang, UMM, dan
UNISMA?
5. Bagaimana peran
pengelola kampus UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA dalam mendukung tujuan
pembelajaran PAI berbasis nirkekerasan dan human
security?
C.
Tujuan
Penelitian
Supaya
lebih jelas arah dan manfaat penelitian yang akan dilakukan ini maka perlu
dirumuskan tujuan penelitian sebagaimana berikut yaitu untuk:
1. Menemukan Materi Kurikulum PAI
yang digunakan UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA.
2. Menemukan Kompetensi Mahasiswa
setelah mengikuti matakuliah PAI di UIN Maliki
Malang, UMM, dan UNISMA.
3. Menemukan Strategi Pembelajaran
PAI yang digunakan UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA.
4. Menemukan Evaluasi Pembelajaran
PAI yang digunakan UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA.
D.
Manfaat
Penelitian
Dengan adanya penelitian yang akan dilakukan ini,
maka sejumlah harapan atas segala hasilnya dikemudian hari nanti dapat
bermanfaat dan berperan penting dalam penambahan wawasan ilmu pengetahuan dalam
dunia pendidikan. Hal ini terutama dalam bidang pembelajaran PAI di PTKI.
Berdasarkan analisa secara komperhensif, maka proyek (rencana) penelitian ini
layak untuk dilakukan dan diperdalami karena sangat berguna serta penting bagi
terwujudnya syiar Islam rahmatanlila’alamin.
Pemaparan tentang manfaat yang diharapkan di kemudian hari dari penelitian ini
secara detail adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Sebagai bahan utama dalam
pengembangan konsep tentang sistem pembelajaran PAI berbasis nirkekerasan dan human security di PTKI.
b. Sebagai penguat teori tentang
Sistem Pembelajaran PAI tidak bisa berjalan sendiri, diperlukan komponen atau
pengaruh lain (utamanya peran pengelola lembaga dan pendidik bidang ilmu
lainnya) agar hasil atau tujuan sistem pembelajaran PAI di PTKI bisa tercapai.
c. Sebagai penguat konsep tentang
pentingnya forum Dosen PAI atau organisasi Dosen PAI di PTKI secara formal.
Serta pentingnya kerja sama forum dosen PAI dengan dosen mata kuliah lainnya,
organisasi kampus, dan elemen penting lainnya.
d. Sebagai penyanggah asumsi awal
bahwa PTKI dipandang cenderung “membiarkan” mahasiswanya untuk berbuat
kekerasan terutama saat demonstrasi, OSPEK, dan kegiatan kemahasiswaan lainnya.
e. Sebagai antiproposal disertasi
(pembanding) dari anggapan ‘lama’ bahwa mata kuliah PAI dipandang sebagai mata
kuliah yang tidak aplikatif, artinya tidak berguna bagi kepentingan hidup di
dunia.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat untuk mahasiswa pada
PTKI
1) Sebagai Liteteratur Mahasiswa
dalam pengembangan ilmu Pendidikan Agama Islam secara teoritis dan praktis.
2) Membuka wawasan Keagamaan
Mahasiswa supaya bisa menjadi Umat beragama yang Inklusif (terbuka), cinta
damai, dan cerdas dalam menerapkan konsep human
security. Dengan demikian, mahasiswa mampu dalam menghargai perbedaan dan
mampu hidup secara harmonis tanpa kekerasan. Serta cerdas dalam menyampaikan
aspirasinya yang berbasis nirkekerasan dan human
security. Baik dalam kehidupan di tempat kost, kampus, masyarakat, dan
dalam pergaluan remaja.
b. Manfaat untuk Dosen di PTKI
1) Sebagai literatur pembanding
atau literatur tambahan bagi dosen PAI dalam upaya mengembangkan pembelajaran
PAI berbasis nirkekerasan dan human
security.
2) Sebagai motivasi dosen PAI
dalam mengembangkan ilmu pembelajaran Pendidikaan Agama Islam.
c. Manfaat untuk Lembaga UIN
Maliki Malang, UMM, dan UNISMA
1) Sebagai instumen dalam
pengembangan Sistem Pembelajaran PAI di UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA.
2) Sebagai Tambahan literatur
Perpustakaan Pusat UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA.
3) Sebagai acuan bagi pengelola UIN
Maliki Malang, UMM, dan UNISMA dalam Penggalian informasi tentang pelaksanaan
Pembelajaran PAI.
4) Sebagai salah satu masukan dan
informasi pendukung atau pelengkap bagi UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA
dalam proses evaluasi Sistem Pembelajaran PAI.
d. Manfaat untuk Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi serta Kementerian Agama Pemerintah Republik
Indonesia
1) Sebagai Informasi tentang
Pelaksanaan Pembelajaran PAI di PTKI.
2) Sebagai salah satu masukan
dalam pengembangan sistem Pembelajaran PAI di PTKI.
3) Sebagai masukan agar
pembelajaran PAI di PTKI terus mengalami perkembangan dan peningkatan kualitas
hingga optimal, kemudian bisa menghasilkan mahasiswa yang memiliki karakter,
dan berkomitmen tinggi dalam menjaga kerukunan umat beragama, menjaga
perdamaian, berbudaya nirkekerasan, dan
mampu hidup berdampingan secara harmonis dengan berbagai keberagaman dan
perbedaan.
e. Manfaat untuk Semua Masyarakat
yang Peduli dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan
1) Sebagai instrumen informasi
bagi Masyarakat (calon mahasiswa, orang tua calon mahasiswa, dan orang yang
peduli terhadap PAI) tentang pelaksanaan pembelajaran PAI di PTKI yang diharapkan dapat menguntungkan UIN
Maliki Malang, UMM, dan UNISMA yaitu salah satunya bisa menambah jumlah
Mahasiswa
2) Sebagai rujukan bagi praktisi
pendidikan dalam mengambil sikap untuk memutuskan kebijakan dalam mengembangkan
pembelajaran PAI di PTKI.
3) Sebagai literature (referensi) karya ilmiah, khususnya di bidang
pembelajaran PAI berbasis nirkekerasan dan human
security di PTKI.
E.
Orisinalitas
Penelitian
1. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad,
dengan judul Artikelnya Islam dan
Kekerasan: Pengalaman untuk Aceh (Tinjauan Aspek Sosio-Historis dan Sosio
Antropologis), Jurnal Ilmiah Peuradeun: International Multidisciplinary
Journal, Vol. 2 No. 3, September 2014: hlm. 67-80.
2. Sulaiman, dengan
hasil Laporan Penelitian Individualnya berjudul Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam (Studi Atas Pemikiran dan
Gerakan KH. Abdurrahman Wahid), yang diterbitkan oleh LP2M IAIN Walisongo
Semarang pada tahun 2014.
3. Ustadi Hamsah,
dengan artikelnya berjudul Perang dan
Kekerasan Atas Nama Agama dalam Wacana Ilmiah, pada jurnal Esensia Vol.
XIII, No. 1, Januari 2012: hlm. 151-166.
4. J. Indiwan Seto
Wahyu Wibowo, dengan disertasinya yang berjudul Representasi Terorisme di Indonesia dalam Pemberitaan Media Massa
(Kritik Pemberitaan Terorisme pada Koran Tempo 2010) pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tahun 2014.
5. Susari, dengan
disertasinya yang berjudul Pendidikan
Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme (Studi Kasus di SMA 8 Kota
Tangerang) yang disahkan oleh Sekolah Pascasarjan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tahun 2011.
6. dll
F.
Definisi Istilah
Kata kunci dan tema atau objek penelitian dalam penelitian ini adalah
tentang “Paradigma Pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis Nirkekerasan
dan Human Security”. Perlu
digarisbawahi bahwa pengertian objek penelitian adalah sesuatu yang dijadikan
pusat pengkajian dalam sebuah penelitian, atau bisa juga disebut sebagai sebuah
permasalahan yang diteliti untuk diselesaikan. Jadi objek penelitian tidak
punya arti yang sama dengan lokasi atau tempat yang dijadikan penelitian.
Sebagaimana menurut Hamidi “objek penelitian adalah fokus, kata-kata kunci atau
topik penelitiannya.”[16]
Dari pernyataan itu, maka objek penelitian yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah “Paradigma Pembelajaran Pendidikan Agama ISLam Berbasis Nirkekerasan
dan Human Security di UIN Maliki Malang, UMM, UNISMA”.
Sebagai tindak lanjut, guna mempermudah dalam pemahaman pembaca terhadap kajian penelitian yang akan dilakukan ini dan supaya terhindar dari terjadinya kesalahan dalam peningterpretasian istilah-istilah dalam judul proposal proposal disertasi ini, maka
perlu ditegaskan dan dipaparkan istilah-istilah yang sesuai dengan maksud dan
subtansi proposal disertasi yang telah dirumuskan berupa istilah-istilah
tersebut ke dalam beberapa pemahaman berikut ini:
a. Paradigma pembelajaran, adalah kerangka teori, pandangan, dan model
pembelajaran yang telah disepakati dan digunakan bersama oleh kalangan
akademis, terutama oleh mayoritas masyarakat ilmiah atau pakar dalam bidang
pendidikan.
b. Pendidikan Agama Islam; adalah upaya berdakwah dengan aktif dengan cara mengkaji ilmu secara terencana untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia beriman, serta dengan sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai Islam
dalam segala sektor kehidupan yang sedang atau akan ditempuhnya. Hal itu agar ajaran serta
nilai-nilai Islam mampu dilaksanakan dan dipahami oleh peserta didik sehingga
menjadi pedoman dalam setiap aspek kehidupannya yang didasarkan pada komitmen
dan keimanan kepada Allah SWT. Pada akhirnya, syiar Islam dapat tersebar di
masyarakat secara luas dalam segala bidang. Dalam konteks UIN Maliki Malang,
UMM, dan UNISMA yang dimaksud PAI adalah matakuliah wajib yang harus
diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi sebagaimana yang telah ditentukan oleh
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
c. Nirkekerasan; adalah suatu sikap yang proses serta tujuannya mengacu pada
prinsip-prinsip kedamaian, tanpa adanya kekerasa atau paksaan yang bisa
menimbulkan kematian, tekanan mental (kejiwaan), dan kerusakan fisik milik
orang lain. Dengan demikian, konsep nirkekerasan ini bisa digunakan dalam
konteks, ilmu, dan kajian apapun. Artinya, istilah “nirkekerasan” ini tidak
hanya digunakan dalam perilaku yang tujuan, kandungan ideologi, dan konsepnya
pada perilaku keagamaan.
d. Human Security; adalah sebuah paradigma baru yang dibangun untuk menjamin
keamanan yang tidak hanya dalam sekup wilayah tertentu atau negara, tapi hingga
pada setiap level individu manusia. Artinya, paradigma human security berfokus untuk menjamin hak-hak individu serta
menjunjung nilai perdamaian[17]
sehingga bisa tercipta keamanan global. Konsep tersebut juga menekankan pada
proses secara cerdas dan damai dalam penyelesaian “kesenjangan” yang berpotensi
merusak keamanan.
e. Perguruan Tinggi Keagamaan Islam; adalah Pendidikan Tinggi yang berafilisasi pada “ideologi”
agama Islam. Dalam konteks UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA yang dimaksud
PTKI adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mana di
dalamnya diselenggarakan program pendidikan diploma dan sarjana. Selain
menyuguhkan program studi yang bidang kajiannya pada rumpun ilmu keislaman,
mereka juga menyajikan program studi pada rumpun ilmu umum. Dengan kata lain
PTU merupakan lembaga pendidikan tinggi yang secara terperinci bertujuan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan gama dan ilmu pengetahuan umum. Adapun secara struktur kedudukan,
ketiga kampus tersebut berada di bawah naungan dari Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek DIKTI) serta Kementerian Agama
(Kemenag) Republik Indonesia.
G.
Sistematika
Pembahasan
Penulisan disertasi ini secara
teknis rencananya akan dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu pertama bagian awal disertasi; yang
memuat beberapa halaman terletak pada sebelum halaman yang memiliki bab. Kedua bagian inti disertasi; yang memuat
beberapa bab dengan format (susunan/sistematika) penulisan disesuaikan pada
karakteristik pendekatan penelitian kualitatif yang telah ditentukan oleh
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Ketiga bagian akhir proposal disertasi; meliputi daftar rujukan,
lampiran-lampiran yang berisi lampiran foto atau dokumen-dokumen lain yang
relevan, dan daftar riwayat hidup penulis yang diuraikan secara naratif terdiri
dari tiga paragraf.[18]
Penelitian ini terdiri dari
enam bab, yang mana satu bab dengan bab lain ada keterkaitan dan ketergantungan
secara sistematis, dengan kata lain pembahasannya berurutan dari bab pertama
hingga ke enam. Dengan artian dalam membaca disertasi di kemudian hari secara benar
dan utuh adalah harus diawali dari bab satu terlebih dahulu, kemudian baru bab
ke dua, dan seterusnya secara berurutan hingga bab ke enam. Dengan demikian
karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif maka analasis serta gaya
penyajian yang digunakan adalah berpola induktif yaitu dari khusus ke umum.[19]
Artinya, penelitian ini terdapat pemaparan pernyataan-pernyataan yang
didasarkan pada realitas atau fenomena (khusus), kemudian disimpulkan dengan
cara pengembangan teori yang didasarkan pada konsep dan teori yang ada (umum).
Sebagaimana menurut Trianto bahwa penelitian yang induktif adalah kegiatannya
dimulai dari pengumpulan data yang kemudian dikaji dan disimpulkan secara
rasional dengan acuan pada pengetahuan (teori) yang relevan.[20]
Jika digambarkan hubungan antara beberapa bab dan sejauh mana cakupan
pembahasannya tersebut maka dapat diuraikan sebagai berikut:
Gambar 1: Model Penyajian Hasil Penelitian “Piramida
Terbalik” (Berpola Induktif)
Model Penelitian piramida
terbalik tersebut digunakan agar bacaan mudah dipahami secara tuntas dan
komperhensif sehingga bisa diketahui isi disertasi secara utuh dan benar.
Lebih lanjut agar mudahnya
penulisan dan pemahaman secara komperhensif
tentang pembahasan penelitian yang akan dilakukan
ini, maka dipandang perlu untuk pemaparan sistematika
penulisan laporan dan pembahasan disertasi sesuai
dengan penjabaran berikut:
a. Bab pertama berisi tentang konteks
penelitian, fokus penelitian dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, penelitian terdahulu, definisi istilah, dan diakhiri dengan
sistematika pembahasan. Dalam bab ini secara umum pembahasannya berisi tentang
harapan supaya pembaca bisa menemukan latar belakang atau alasan secara
teoritis dari sumber bacaan terpercaya dan keadaan realistis di lokasi
penelitian. Selain itu dalam bab ini juga dipaparkan tentang posisi disertasi
dalam ranah ilmu pengetahuan yang orisinal dengan tetap dijaga hubungan
kesinambungan dengan ilmu pengetahuan masa lalu. Dengan demikian
disimpulkan bab ini menjadi dasar atau titik acuan metodologis dari bab-bab
selanjutnya. Artinya bab-bab selanjutnya tersebut isinya adalah pengembangan
teori, yang lebih banyak pada pendukungan atau pengokohan sebuah teori yang
didasarkan atau diacu pada bab 1 ini sebagai patokan pengembangannya.
b. Bab kedua memuat kajian pustaka atau
kajian teori yang meliputi pengertian paradigma pembelajaran PAI, pengertian
sistem pembelajaran PAI, peran penting pembelajaran PAI, komponen kurikulum
PAI, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas sistem pembelajaran PAI.
Selanjutnya dipaparkan tentang pengertian Perguruan Tinggi Keagamaam Islam, sistem
pembelajaran PAI di PTU yang disesuaikan dengan fokus penelitian meliputi
materi pembelajaran PAI, kompetensi mahasiswa yang diharapkan setelah mengikuti
mata kuliah PAI, strategi
pembelajaran PAI diperguruan tinggi umum, dan evaluasi pembelajaran PAI di PTU.
Secara garis besar bab ini memuat tentang bagaimana ciri khusus sistem
pembelajaran PAI secara umum termasuk faktor-faktor yang menjadi pengaruhnya
dan penjelasan tentang alasan penggunaan istilah PTKI beserta contoh-contoh lembaga
PTKI. Dengan kata lain, bab ini berisi teori-teori atau hal-hal yang bersangkut
paut tentang pembelajaran PAI dan PTKI sebagai alasan atau penguat harus adanya
pengembangan PAI di PTKI.
c. Bab ketiga merupakan metode penelitian
yang mengurai tentang pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti,
lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data,
pengecekan keabsahan data, dan tahap-tahap penelitian. Lebih jelasnya bab ini adalah penguraian
tentang alasan penggunaan pendekatan kualitatif, posisi atau peran peneliti di
lokasi penelitian, penjelasan keadaan secara konkrit lokasi penelitian, dan
strategi penelitian yang digunakan agar dihasilkan penelitian ilmiah yang bisa
dipertanggungjawabahkan secara hukum serta kaidah keilmiahan yang universal.
d. Bab keempat berisi pemaparan data-data
dari hasil penelitian tentang gambaran umum yang berkaitan dengan sistem
pembelajaran PAI di UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA meliputi data dosen PAI,
latar belakang Mahasiswa, kegiatan keagamaan agama Islam, pengaturan sistem
pembelajaran PAI oleh Pengelola, kepedulian pengelola terhadap kegiatan
keagamaan di kampus, dan upaya pembentukan forum dosen PAI. Sedang temuan atau
hasil penelitian ini nanti yang berisi ‘fakta’ sebagai gambaran umum yang terkait
dengan pembelajaran PAI dirasa perlu untuk dipaparkan dalam bab empat sebagai
penguat dan penyokong dalam pemberian simpulan, implikasi, dan rekomendasi
penelitian yang berada di bab VI. Bisa dikatakan bab ini memuat tentang
data-data yang kompleks, data-data yang dianggap penting digali dengan
sebanyak-banyaknya, dan dilakukan secara mendalam.
e. Bab kelima pembahasan tentang hasil
penelitian yang terkait dengan tema penelitian dengan cara penelusuran titik
temu antara teori yang sudah di paparkan di bab 1 dan bab 2 yang kemudian
dikaitkan dengan hasil penemuan penelitian yang merupakan realitas empiris pada
bab 4 dengan digunakan analisis serta pencarian pemaknaan sesuai dengan metode
pada bab 3. Dengan artian pada bab ini dilakukan pembahasan secara holistik
dengan cara penganalisaan data dan dilakukan pengembangan gagasan yang
didasarkan pada bab-bab sebelumnya.
f.
Bab keenam adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran atau rekomendasi,
kemudian dilanjutkan dengan daftar rujukan dan lampiran-lampiran. Bab ini
berisi tentang inti sari dari hasil penelitian yang dikerucutkan, kemudian
berdasarkan pada bab-bab sebelumnya dijabarkan implikasi teoritis dan praktis
dari hasil penelitian ini yang ditindaklanjuti dengan pemberian beberapa rekomendasi
ilmiah.
BAB II KAJIAN
PUSTAKA
A.
Landasan
Teoritik
Pembelajaran PAI merupakan kegiatan yang tidak sekedar berupaya
untuk memberikan ilmu pengetahuan yang berorientasi pada target penguasan
materi, misalnya materi tentang sejarah peperangan, materi tentang ibadah,
materi halal-haram, materi mazhab-mazhab, atau materi-materi lainnya. Akan
tetapi hendaknya seorang pendidik juga harus ikut andil dalam pemberian pedoman
hidup (pesan pembelajaran) misalnya tentang moralitas (akhlak) yang anggun, luhur,
dan cerdas kepada seluruh peserta didik yang dapat bermanfaat bagi dirinya
maupun manusia lain.[21]
Komponen atau nilai-nilai seperti inilah yang ikut andil pada pemberian cetak
biru khusus sehingga menjadi ciri utama pembelajaran PAI. Yakni, salah satunya
dalam bidang pengendalian moralitas bangsa yang terwujud dalam konsep perilaku
berbasis human security dan tidak
lekat dengan tindakan kekerasan.
Secara terperinci, dalam konteks pendidikan secara umum,
yaitu penanaman ideologi agama yang
benar (utuh) kepada peserta didik harus ditanamkan secara konsisten. Yakni,
penanaman “ideologi” kedamaian yang bukan hanya untuk seagama sendiri. Artinya,
untuk umat seagama sendiri bersikap lemah lembut tapi pada agama lain akan
bersikap keras dan melemahkannya. Apapun itu dalihnya, pada konteks negara yang
dalam damai tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan kekerasan baik secara
verbal maupun non verbal. Bagaimanapun, tindakan seperti itu telah melanggar
kaidah human security yang secara nilai sangat sejalan dengan nilai-nilai agama
Islam.
Sebagaimana menurut Mark Jurgensmeyer, akan sangat mengejutkan dan memusingkan bila
sesuatu yang buruk (kekerasan)
justru dilakukan oleh orang “baik” atau “beragama”. Yakni, yang mengabdikan
diri pada pandangan moral dunia dan orang yang saleh. Dengan argumen dan
retorika yang nampak luhur, padahal tindakan mereka telah menyebabkan
penderitaan dan kekacauan kehidupan.[22]
Di sinilah peran pembelajaran PAI untuk memberikan ketegasan kepada peserta
didiknya bahwa melakukan tindak kekerasan bukanlah jalah utama dan pertama.
Lebih lanjut dalam konteks psikologi, kekerasan biasanya diidentikkan
dengan agresifitas. Di mana Freud dan Lorenz sebagaimana yang dikutip Fromm
memandang bahwa agresifitas seseorang merupakan sifat bawaan (genetis). Freud
mengemukakan teori tentang insting, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (death instinct). Insting kematian bisa
tertuju pada organisme itu sendiri yang beruwujud dorongan perusakan diri dan
tertuju pada pihak luar. Dengan demikian, agresi
bukanlah reaksi terhadap stimulus dari luar, tapi dorongan dari dalam diri
sendiri yang menggelora dan berakar dari kondisi biologis (otak) manusia.[23]
Lorenz menambahi bahwa kehendak untuk agresif tersebut
sebagai insting suatu saat akan “meledak” meski tak ada rangsangan dari luar.
Hal ini bisa terjadi bila “energi” yang
tak tertahan (mempat) tak bisa ditampung lagi. Asumsinya, manusia dan binatang
biasanya tidak akan pasif dalam menemukan stimulus tersebut. Bahkan, cenderung
mencari dan bila perlu menciptakan stimulus.
Dalam konteks sosial, manusia akan melepaskan “energi” (dorongan)
agresifnya dalam bentuk “mencari
perkara.” Misalnya, membuat partai
politik yang bisa menyebabkan timbulnya agresi kepada orang lain. Namun, bila
sama sekali tidak ada sitimulus yang apat ditemukan dan diciptakan, maka
dorongan agresif yang tertahan (tidak dilampiaskan) akan menjadi demikian besar
dan siap meledak sewaktu-waktu. Dengan demikian, menurut Lorenz agresi pada
dasarnya bukan respon atas stimulus dari luar. Melainkan rangsangan dalam diri
yang sudah “terpasang,” sehingga butuh pelampiasan dan akan terekspresikan
meski mendapat stimulus dari luar yang kecil. Model agresi ini sama seperti
model libido Freud, yang dinamai model “hidrolik.” Yakni, tekanan yang
ditimbulkan oleh air atau uap dalam tabung tertutup.[24]
Di era sibernetika (komunikasi) seperti sekarang ini,
seseorang semakin pontesial untuk dimanipulasi “pikirannya”. Baik itu dalam
bidang profesi, konsumsi, dan ideologinya. Sebagaimana dalam konsep “pembiasaan
positif” milik Skinner. Dalam kacamata ini, individu kehilangan “kesadaran”
kritisnya dalam proses sosial. Ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Ia
menjadi objek yang telah dikontrol oleh sosial, sehingga apabila tindakan dan
pemikirannya tidak sesuai dengan tatanan sosial akan sangat merugikan bagi dia.
Bila ia bertekat tetap menjadi dirinya sendiri, maka akan kehilangan identitas
(status), terisolasi (terkucil), diusir, dan bahkan kehilangan nyawanya.[25]
Selanjutnya, dalam ranah PAI sesungguhnya kajian tentang nirkekerasan dalam perspektif
interdisipliner setelah ditelaah memang sangat penting. Mengingat, apapun itu
masih memerlukan suatu pemahaman (penafsiran) yang tidak akan cukup kuat bila
dilihat dari sudut pandang tertentu saja. Dengan kata lain, dalam wacana
pendalaman masalah nirkekerasan
pada PAI perlu pemahaman (masukan) dari ilmu-ilmu lain. Hal tersebut semakna
menurut Sumjati sebagaimana dikutip oleh Bashori Muchsin dan Abdul Wahid (2009:
128) bahwa “tidak mudah menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seperti main hakim
sendiri (eigenrichting) yang terjadi
di Indonesia. Kalau ada upaya penyelesaian maka upaya penyelesaian dimaksud
harus melibatkan banyak aspek, banyak pihak, yang harus saling [ber]sinergi
antara aspek, pihak yang satu dengan aspek [lain].”[26]
Secara terperinci, dalam konteks pendidikan, yaitu
penanaman ideologi agama yang benar
(utuh) kepada peserta didik harus ditanamkan secara konsisten. Yakni, penanaman
“ideologi” kedamaian yang bukan hanya untuk seagama sendiri. Artinya, untuk
umat seagama sendiri bersikap lemah lembut tapi pada agama lain akan bersikap
keras dan melemahkannya. Sebagaimana menurut bahwa “setiap gerakan
fundamentalisme agama memiliki ideologi. Bagi gerakan sosial, keberadaan
ideologi memiliki arti penting. Tanpa ditopang ideologi, keberadaan suatu
gerakan sosial hanya akan menghadapi ketidakpastian yang berkepanjangan.” Kritik
sosial dan gerakan fundamentalis tersebut ditujukan kepada berbagai macam
penyakit sosial yang menimbulkan krisis kehidupan masyarakat. Krisis inilah
yang ingin disematkan oleh mereka dengan mengembalikan pada tatanan kehidupan
ideal pada masa lalu. Serta memberikan janji kemuliaan di masa akan datang
(eksatologis).[27]
B.
Kajian Teori: Pencegahan Terorisme dan
Pengembangan Human Security Melalui
PAI
Isu dan permasalahan tentang keamanan yang sangat kompleks pada akhir-akhir
ini menghasilkan banyak persoalan. Tak pelak, tema tersebut sangat menarik
untuk dikaji. Utamanya kasus tentang terorisme, yang salah satunya menjadi
bahasan dari konsep human security.[28]
Mengacu pada penjelasalan awal tentang human
security yang faokus perhatiannya tertujua pada individu, maka pada
dasarnya setiap individu memiliki hak untuk hidup aman. Dengan asumsi, keamanan
merupakan satu kebutuhan dasar manusia yang harus terjamin dan dilindungi dari
berbagai ancaman. Terutama ancaman dari tindakan kekerasan maupun terorisme dan
intimidasi maupun provokasi dari pihak lain.
Konsep tersebut bila dikaitkan dengan peran PAI sebagai basis sekaligus
ujung tombak pendidikan Islam, maka PAI harus bisa merekonstruksi “paradigma”
atau pemahaman[29]
umat Islam. Yakni, salah satunya supaya bisa menjadi manusia yang damai secara
aktif. Artinya, kedamaian yang dicapai bukan hanya dengan tidak melakukan
kekerasan (ancaman) terhadap pihak lain. Namun, kedamaian yang benar-benar
dilakukan karena umat Islam sebagai mayoritas dan yang kuat dalam segala aspek,
sehingga mampu memberikannya secara totalitas. Dengan kata lain, untuk menjadi
kekuatan atau organisasi besar pengayom perdamaian bagi pihak lain sepatutnya
PAI mendorong peserta didiknya sejak dini. Dengan demikian, pihak lain merasa
nyaman dan aman dibawah naungan dan jaminan kekuatan dominan umat Islam.
Memang, mengatasi masalah terorisme bukanlah perkara mudah. Tidak bisa
berhenti hanya dengan menangkap, mengadili, dan menghukum pelakunya. Ini
merupakan permasalahan kompleks yang tidak boleh berhenti dan terpuaskan pada
masalah pemberantasan terorisme secara kasat mata (fisik). Oleh sebab itu,
dibutuhkan cara-cara yang tepat untuk membumihanguskan terorisme. Salah satunya
melalui jalur pendidikan. Hal ini, agar dalam jangka panjang potensi terorisme
tidak terulang lagi di masa datang. Bagaimanapun, pemberantasan terorisme
secara fisik hanya akan berdampak jangka pendek dan bersifat sementara.
Asumsinya, bibit-bibit terosime secara ideologi tidak ikut diberantas. Bahkan
dimungkinkan nanti, saat yang tepat akan terjadi aksi terorsime yang jauh lebih
kejam dari sebelumnya. Dengan kata lain, sebagai wujud balas dendam terciptalah
terorisme melalui gaya baru yang lebih mengerikan dan tak terpikirkan
sebelumnya. Salah satunya misalnya, melalui serangan di internet, melalui
senjata biologis, dan sebagainya.
Dalam konteks psikologi, salah satu cara mencegah terorisme secara
perorangan adalah melalui latihan membangun konsep “sanksi” bagi diri sendiri.
Selain itu, pada proses sosialisasi, individu menerapkan standar moral yang
berfungsi sebagai penuntun dan pencegah untuk melakukan perilaku tertentu.
Dengan asumsi, individu melakukan sesuatu demi mendapatkan kepuasan dan
pembangunan harga diri di masyarakat.[30]
Oleh karena itu, seseorang senantiasa menahan diri untuk tidak bertindak dengan
cara-cara melanggar moral mereka sendiri. Bila harus melakukan suatu
pelanggaran maka mereka akan sangat merasa bersalah. Jadi, fungsi “sanksi bagi
diri sendiri” ini adalah menjaga perilaku agar sesuai dengan standar internal.
Dengan demikian, standar moral yang ada di masyarakat tidak berfungsi sebagai
pengatur (pengarah) tingkah laku internal secara mutlak. Selain itu, mekanisme
pengaturan atau pengendalian diri sendiri melalui sanksi tidak akan berjalan
bila diabaikan (tidak difungsikan) begitu saja. Selain itu, ada banyak proses
psikologis yang dapat digunakan untuk melenyapkan reaksi moral dalam diri
pribadi tentang perilaku yang oleh masyarakat luas disebut sebagai “tidak
manusiawi.”[31]
Dari pernyataan tersebut dapat digambarkan sebuah skema tentang manipulasi
psikologi seorang teoris sehingga menjadi kejam sebagai berikut:[32]
Gambar 2: Mekanisme Psikologi Teroris dalam Mengkonstruk Pembenaran Diri
(skema diadaptasi atau dirubah sebagian dari gambar
Albert Bandura)
Dari gambar di atas, dapat disimpulkan pada mulanya teroris menganggap
bahwa membunuh orang yang tidak berdosa merupakan tindakan tercela (berdosa)
dan diluar standar moral. Namun, kemudian untuk mengkaburkan sifat tercela
tersebut, teroris mencari dan mengumpulkan berbagai dalih pembenaran dengan
berbagai cara. Termasuk salah satunya mengkambinghitamkan penyebab pada pihak lain.
Dengan kata lain, terjadi penafsiran ulang secara kognitif, sehingga perubahan
yang awalnya haram menjadi boleh, bahkan wajib untuk dilakukan. Pada akhirnya
terjadi pengkaburan nilai-nilai kemanusiaan. Yakni, mengorbankan nyawa manusia,
hingga manusia tidak lagi dianggap sebagai manusia melainkan dijadikan tumbal
dan alat perjuangan semata.
Secara gamblang, Bandura menyampaikan bahwa meskipun standar moral pada
setiap individu sama. Akan tetapi, pengaktifan dan penghilangan (perluasan)
kendali diri secara selektif memungkinkan setiap orang melakukan perilaku yang
berbeda-beda. Misalnya, dalam proses pengaturan diri sendiri seseorang bisa
saja menghilangkan pengendailan moral internalnya (sanksi pribadi), sehingga
mau melakukan tindakan destruktif. Hal ini terjadi karena sanksi bagi diri
sendiri dihilangkan dengan melakukan penafsiran ulang bahwa perilaku tersebut
untuk mencapi tujuan-tujuan moral yang lebih mulai.[33]
Akibatnya, seseorang yang melakukan tindakan tidak manusiawi (amoral) bisa saja
merasa tidak bersalah karena standar moral mereka telah diperluas maknanya.
Dimana yang awalnya membunuh menurut standar moral dan pengendalian pribadinya
merupakan tindakan amoral, menjadi bernilai moral mulai karena untuk
menjalankan misi yang dianggap bertujuan agung (lebih mulia).
Adapun pencegahan tindakan terorisme secara kolektif, dalam konteks ini
melalui pembelajaran PAI, dapat dilakukan melalui internalisasi nilai-nilai
pendidikan anti terorisme. Salah satu wujud nyatanya adalah melakukan proses
deradikalisasi secara tepat.[34]
Sebagaimana yang ditawarkan Samani dan Hariyanto yang diambil dari kurikulum
karakter negara bagian Georgia yang dikutip ulang oleh Wiyani sebagai berikut:
1. Citizenship, terkait kualitas pribadi serta hak dan
kewajibannya sebagai warga negara. Contoh: Hak dan kewajiban dalam pemanfaatan
dan pengembangan IPTEK dengan prinsip kemaslahatan umat manusia.
2. Compassion, kepedulian (empati)
terhadap penderitaan orang lain serta mampu menanggapi perasaan dan kebutuhan
mereka.
3. Courtesy, perilaku luhur dan
bertutur kata halus sebagai perwujudan rasa hormatnya terhadap orang lain.
4. Fairness, perilaku adil,
sportif, dan terbebas dari favoritisme maupun fanatisme golongan.
5. Moderation, berpikir kritis
sehingga terjauh dari pandangan dan tindakan yang radikal dan eksterm yang
tidak rasional.
6. Respect for other, peduli dan menghormati
hak-hak dan kewajiban orang lain.
7. Respect for the Creator, mensyukuri segala
karunia yang diberikan oleh Tuhan Sang Maha Pencipta dan merasa berkewajiban
untuk selalu menjalankan perintahNya
8. Self control, mampu mengendalikan
diri dari keterlibatan amarah dan tindakan seseorang.
9. Tolerance, menerima dan
menghargai segala penyimpangan dan kesenjangan antara kepercayaan miliknya
dengan kepercayaan yang dimiliki orang lain.[35]
Dari penjelasan
di atas dapat dibuat rumusan gambar terkait peran Pendidikan dalam mencegah
tindakan terorisme di kemudian hari sebagai berikut:
Gambar
3: Upaya Pemutusan Mata Rantai Ideologi Teroris Melalui Pendidikan
Dengan demikian, dapat
dikatakan peran pendidikan utamanya PAI cukup penting dalam membangun kerangka
psikologis peserta didik. Yakni, pemberian materi PAI yang bisa membangun
nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan empati. Dengan itu, peserta didik akan
mampu membangun prinsip kehidupan damai yang mantap di kemudian hari, sehingga
tidak mudah dipengaruhi paham-paham sesat.[36]
Mereka mampu membedakan mana tindakan biadab (tidak manusiawi) dan mana
tindakan yang mempertahankan nilai-nilai manusiawi. Misalnya, dalam keadaan
damai melakukan penyerangan (kekerasan) terhadap masyarakat sipil merupakan
tindakan tidak manusiawi. Namun, mengadakan penyerangan (kekerasan) balik
terhadap musuh[37]
yang telah melakukan penyerangan terlebih dahulu bernilai jihad.[38]
Bahkan merupakan tindakan manusiawi yaitu demi mempertahankan nilai-nilai
kehidupan.
Lebih lanjut, tugas PAI adalah mengakomodir peserta didik sebagai generasi
umat Islam[39]
yang memiliki potensi (diprediksi) melakukan tindakan agresif dan kriminal
(terorisme). Utamanya, bagi mereka yang telah mengalami “kegagalan” dalam
mengkonsep kepribadiannya[40]
dan yang mengalami benturan psikologis hebat, terutama di masa kecilnya. Cara
lain adalah mengkonstruk tindakan dan nilai-nilai[41]
terorisme sebagai sesuatu yang tidak memiliki daya tarik sama sekali. Kemudian
merubah arah “semangat” beragama mereka menuju hal-hal yang jauh lebih
berdampak positif bagi kehidupan seluruh umat manusia. Misalnya dalam bidang
ilmu pengetahuan alam memotivasi mereka untuk menciptakan karya yang bisa bermanfaat
bagi kehidupan manusia.
Sebagaimana pernyataan Azyumardi Azra yang dikutip oleh Wahid, bahwa
terorisme sebagai kekerasan politik seutuhnya bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan agama Islam. Bagaimanapun, Islam mengajarkan pada umatnya untuk
menekankan nilai kemanusiaan yang universal. Yakni, mewujudkan perdamaian,
keadilan, dan kehormatan yang dilakukan dengan tidak menggunakan jalur
kekerasan (terorisme). Di sisi lain agama Islam juga memberikan legitimasi
kepada pemeluknya untuk berjuang (jihad), berperang, dan menggunakan kekerasan
terhadap para penindas, musuh-musuh Islam serta pihak luar yang tidak punya
iktikat baik dalam hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat Muslim.[42]
Bahkan, sesungguhnya Islam mengajarkan untuk menyayangi nyawa sendiri.
Buktinya, dalam konteks terpaksa, seorang muslim dibolehkan untuk memakan
daging babi di hutan belantara terpencil yang tidak ada lagi sumber makanan
selain itu. Hal itu dilakukan agar nyawa bersangkutan bisa terselamatkan.
Artinya, Islam menghargai setiap nyawa, khususnya nyawa umat Islam sendiri.
Konsep tersebut secara hakikat sangat bertentangan dengan konsep bunuh diri
yang dilakukan teroris.
BAB III METODE
PENELITIAN
A.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian dari Bab I pada pembahasan sebelumnya dan
agar didapat data yang objektif serta komperhensif maka pendekatan penelitian
yang akan dilakukan ini yang paling cocok digunakan adalah kualitatif.
Pendekatan ini digunakan karena objek atau permasalahan yang akan diteliti dan
keadaan informan sangatlah beragam (komplek). Keberagaman ini ditinjau dari
segi perbedaan latar belakang dosen dan mahasiswa yang berbeda organisasi
keagamaannya, tingkat senioritas, dan latar belakang pendidikannya. Dengan kata
lain karena keadaan permasalahan yang diteliti lebih bersifat fleksibel, maka
untuk pengungkapan keadaan sosial tersebut dengan lebih mendalam yang paling
cocok adalah pendekatan kualitatif. Sebagaimana menurut Hamidi tentang tujuan
dari penggunaan penelitian kualitatif adalah untuk menanyakan atau mengetahui
tentang makna (berupa konsep) yang ada di balik cerita secara detail para informan dan dari keadaan nyata
latar-sosial di lokasi penelitian.[43]
Dengan demikian pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dipilih untuk
penemuan data secara holistik, detail, terperinci, dan lebih mendalam untuk
penyelidikan dibalik perilaku dan kata-kata informan.
Penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang digunakan oleh
kaum fenomenologis, di mana kaum fenomenologis berusaha memandang suatu kasus
(permasalahan, keunikan, dan kelebihan) dari sudut pandang orang yang
‘bertingkah laku’ itu sendiri. Hat tersebut dilakukan untuk diperoleh pemahaman
terhadap perilaku manusia dari kerangka berpikir orang yang melakukannya itu
sendiri. Dengan kata lain kaum fenomenologis dalam pencarian pemahaman tersebut
lebih cenderung digunakan pendekatan kualitatif dengan kegiatan pengamatan
peran serta, wawancara terbuka yang mendalam, dan penggunaan dokumen pribadi.
Metode ini digunakan agar dihasilkan data-data yang dimungkinkan peneliti bisa
memahami kasus seperti apa yang dilihat (dipahami) oleh subjek penelitian.[44]
Artinya pendekatan ini digunakan supaya penelitian dapat dilakukan dengan cara penyentuhan aspek
fenomena (fakta) sosialnya yang sangat luas (juga menyentuh aspek psikologis
informan), sangat luwes, lebih manusiawi, dan penelitian ini tidak dapat
diprediksi hasilnya secara statistik atau matematis yang kaku. Lebih spesifik
penelitian ini adalah tentang pengungkapan kejadian yang terbentuk secara alami
(natural) tanpa diintervensi, tanpa dibuat-buat, dan tanpa formalitas yang
kaku.
Sebagaimana menurut Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Lexy J. Moleong
dinyatakan bahwa pendekatan kualitatif adalah “suatu proses penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati.”[45] Pemahaman yang sama juga
disampaikan oleh Nana Sudjana dan Ibrahim tentang penelitian dengan penggunaaan
pendekatan tersebut memandang sebuah kenyataan sebagai sesuatu yang berdimensi
banyak, merupakan kesatuan, bisa berubah, dan tidak mungkin disusun rancangan
penelitian yang terperinci serta sudah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu
rancangan penelitian berkembang selama proses penelitian berlangsung di
lapangan. Ini berarti pendekatan penelitian kualitatif disebut juga dengan
pendekatan naturalistik.[46]
Dengan demikian dapat diartikan ‘strategi’ pelaksanaan secara teknis penggalian
data dalam penelitian ini tergantung dari fenomena atau kenyataan yang terjadi
di lapangan (lokasi penelitian). Oleh karena itu penelitian ini lebih cenderung
pada penggambaran realitas sebuah
peristiwa secara terperinci, mendalam, dan menyeluruh di lokasi penelitian.
Lebih spesifik alasan penggunaan metode
kualitatif adalah untuk penemuan dalam pemahaman apa yang tersembunyi di balik
fenomena yang kadang merupakan suatu yang sulit untuk diketahui atau dipahami.[47] Hal
sepaham juga disampaikan oleh Anies Baswedan dalam ‘kata pengantar’ buku karya
Haris Herdiansyah disampaikan tentang penelitian kualitatif adalah penelitian
berkenaan dengan perasaan, psikologi (kejiwaan), dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan manusia. Berhubung manusia adalah mahkluk kompleks dan dinamis
maka cara pandangnya pun seharusnya juga demikian. Tatanan sosial manusia bukan
diasumsikan seperti sekumpulan robot yang bekerja dan beraktivitas secara kaku
sesuai dengan program yang ditentukan dan tidak melampaui angka-angkanya. Oleh
karena itu penelitian sosial dapat dilakukan dalam bentuk penelitian
kualitatif, namun sekiranya tetap diperhatikan kaidah-kaidah ketika
pelekasanaan penelitian sehingga bisa dihasilkan produk yang pantas untuk
disebut ilmiah.[48]
Dari semua pemaparan di atas maka disimpulkan pendekatan kualitatif
digunakan untuk penyentuhan aspek sosial yang sangat luas ‘kasus’nya (termasuk
dalam bidang pendidikan). Dengan kata
lian penelitian kualitatif tidak hanya pada penyajian dari sesuatu yang nampak,
sesuatu yang bisa diangkakan, dan sesuatu yang bisa diadakan secara konkrit.
Namun lebih dari itu, kualitatif adalah penggalian sesuatu dibalik semua itu
dengan pertanyaan “mengapa sikapnya seperti itu?” atau “bagaimana itu bisa
terjadi?” hingga pertanyaan-pertanyaan lain tentang penyelidikan sesuatu secara
detail dan mendalam. Oleh karena itu, penelitian ini akan dilakukan dengan cara
pengembangan teori pendidikan (sosial) tentang sistem Pembelajaran PAI di PTKI
berbentuk Universitas yang didasarkan pada keadaan nyata (empiris) yang berada
di UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA. Yang kemudian ditindak lanjuti
dengan pencocokan antara
fenomena nyata di lokasi penelitian dengan teori-teori serta undang-undang atau
norma yang
berlaku secara deskriptif.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian multi-kasus
(multi case-studies) dengan pendekatan non-eksperimen yang juga dinamakan
dengan penelitian deskriptif.[49]
Karena penelitian kualitatif paradigmanya naturalistik maka teknik utama atau
yang pokok adalah studi (kasus) lapangan, yang mana kebenaran didefinisikan
bersifat inclutable.[50]
Jenis penelitian studi kasus sangat unggul digunakan bila pertanyaan dalam
penelitian berkenaan dengan how serta
why dan bila peneliti hanya punya
sedikit kesempatan atau peluang dalam pengontrolan peristiwa-peristiwa yang
akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitian berada pada fenomena kontemporer
(kekinian) dalam kehidupan nyata.[51]
Selain itu studi kasus berguna terutama dalam upaya pemahaman terhadap suatu
problem atau situasi tertentu dengan amat mendalam, sehingga kasus dapat
diidentifikasi dengan data atau informasi yang kaya.[52] Oleh karena itu dalam penelitian ini
digunakan prinsip untuk pemerkayaan data atau informasi yang relevan dengan
fokus penelitian dengan cara penggalian sumber data secara mendalam dan menyeluruh
sampai pada titik ujung atau puncak data.
Dari pernyataan tersebut serta realitas di lapangan maka jenis penelitian yang cocok digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus,
yakni penyelidikan yang mendalam terhadap suatu individu, kelompok atau
institusi (atau penelitian yang secara empiris dilakukan penginvestigasian fenomena dalam
kehidupan nyata).[53] Yang mana ciri-ciri studi kasus adalah adanya sebuah sistem yang terbatas yaitu adanya batasan
waktu, batasan sesuatu yang dibahas, dan tempat.[54]
Sebagaimana menurut Abdul Aziz S.R studi kasus merupakan suatu studi yang
bersifat komperhensif, inten, rinci, dan mendalam yang diarahkan sebagai upaya
penelahaan masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kekinian.[55] Oleh
karena itu hasil dari penelitian ini pun bersifat terbatas, yang sulit untuk
dijadikan kesimpulan yang bersifat umum.[56]
Sedangkan bentuk-bentuk studi kasus ada tiga
yaitu studi kasus intrinsik, studi kasus instrumental, dan studi kasus
kolektif. Dengan demikian maka bentuk studi kasus yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kasus kolektif karena untuk pemahamahan secara
lebih baik dan mendalam tentang beberapa kasus (keunikan, kelebihan,
permasalahan, dan ketidak sesuaian). Hal ini dilakukan karena ingin diketahui
secara kolektif suatu kejadian, keteraturan, dan kekhususan kasus pada beberapa
lokasi penelitian. Dengan kata lain studi multi-kasus ini dilakukan bukan
didasarkan atau dipengaruhi (diintervensi) pada faktor eksternal lainnya.[57]
Selain itu penelitian studi kasus cenderung dalam penelitian yang jumlah
unitnya kecil tetapi berkenanan dengan kondisi-kondisi yang besar jumlahnya,
juga adanya pengaruh subjektifitas yang sangat besar karena pemahaman peneliti
terhadap pemaknaan kasus dan data-data yang diperoleh.[58]
Menurut Agus Salim tentang studi kasus
dideskripsikan sebagai sebuah pendekatan terhadap kasus tertentu yang kemudian
dipelajari, diterangkan, dan diintrepretasikan dalam konteksnya yang natural
tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Suatu studi kasus bisa diartikan
sebagai metode atau strategi dalam penelitian, sehingga bisa dihasilkan suatu
penelitian sebuah kasus tertentu. Salah satu syarat sesuatu dijadikan kasus
yaitu dipenuhinya dua hal di antaranya spesifik dan memiliki batasan (brounded system). Dari pemaparan di atas
maka penelitian ini digunakan jenis studi kasus tunggal dengan multi level analysis yaitu studi kasus
tentang penyorotan perilaku individu atau kelompok individu dengan berbagai
tingkatan masalah penting.[59] Oleh
karean itu dapat disimpulkan tekanan utama dalam studi kasus adalah penggalian
tentang mengapa individu melakukan apa yang dia lakukan serta bagaimana tingkah
lakunya dalam kondisi dan pengaruhnya terhadap lingkungannya.[60]
Secara aplikatif studi multi-kasus ini adalah pengkajian secara terperinci serta mendalam dari suatu ‘kasus’ tentang
pelaksanaan sistem pembelajaran PAI di UIN Maliki
Malang, UMM, dan UNISMA. Dengan kata lain peneliti
sebagai instrumen kunci bertugas pada penyorotan perilaku kelompok dosen,
kelompok mahasiswa, dan kelompok pengelola ketiga kampus tersebut yang punya
keterkaitakan dengan sistem pembelajaran PAI. Lebih konkrit penelitian ini telah
dilakukan pendalaman terhadap beberapa sub-sub kasus dari kasus utama yang
terlebih dahulu telah ditemukan. Sub-sub kasus tersebut ditemukan seiring
dengan perkembangan (pertumbuhan) dan dinamika data-data yang diperoleh di
lokasi. Oleh karena itu sub-sub kasus tersebut digunakan untuk pengembangan
teori atau gagasan yang telah ada.
B.
Kehadiran
Peneliti
Dalam penelitian kualitatif kehadiran peneliti diharuskan berbaur dan
menyatu dengan subjek penelitian (informan) sehingga kehadiran peneliti tidak
dapat diwakilkan oleh angket atau tes. Selama penelitian berlangsung dilakukan
pengamatan dan wawancara dengan mendalam untuk pengeksplorasian fokus
penelitian. Dengan demikian peneliti membangun keakraban dan tidak menjaga jarak
dengan subjek penelitian.[61]
Walaupun demikian kehadiran peneliti tidak menjadi penyebab adanya gangguan
atau perubahan situasi fisik dan psikologis di lokasi penelitian, sehingga
untuk diperkecilnya pengaruh kedatangan peneliti tersebut maka peneliti harus
menyatu secara fisik dan psikologis dengan informan. Oleh karena itu kehadiran
peneliti di lokasi penelitian terutama saat observasi dan wawancara berperan
dalam penciptaan suasana yang nyaman, reflektif, aman, dan luwes untuk
diperoleh informasi atau data yang benar-benar valid dan berasal dari
‘kebenaran’ dalam diri informan (bukan dibuat-buat atau dirancang terlebih
dahulu oleh informan).
Sesuai dengan ciri pendekatan kualitatif maka kehadiran peneliti di
lapangan adalah sangat diperlukan dan mutlak untuk hadir di lapangan, karena
peneliti bertindak sebagai instrumen aktif dalam pengumpulan data. Sebagaimana
yang disampaikan oleh Lexy J. Moleong tentang karakteristik pendekatan
kualitatif meliputi latar yang alami, manusia sebagai alat (instrumen),
penggunaaan metode kualitatif, penggunaan analisis data secara induktif,
deskriptif, lebih dipentingkan proses dari pada hasil (proses atau cara
perilaku yang dilakukan informan bukan hasil yang diraih dari perilaku oleh
informan), adanya batas objek penelitian (tema) yang ditentukan oleh fokus
penelitian, adanya kriteria khusus untuk pengujian keabsahan data, desain
bersifat sementara, dan hasil penelitian dirundingkan serta disepakati bersama.[62]
Dalam penelitian ini peneliti akan berperan sebagai pengamat penuh, artinya
peneliti hanya bertindak dalam pengamatan fenomena atau tingkah laku informan
yang berada dalam kelas maupun ruang kelas. Dan kehadiran peneliti di lokasi
penelitian diketahui statusnya sebagai peneliti oleh subjek penelitian, sehingga
bisa dikatakan penelitian ini bersifat terbuka. Dengan kata lain sebelum
penggalian data atau pengajuan pertanyaan-pertanyaan kepada informan dengan
penggunaan metode obeservasi partisipan, wawancara mendalam, dan dokumentasi
terlebih dahulu dijelaskan oleh peneliti kepada informan bahwa pertanyaan atau
izian yang diajukan adalah berkaitan dengan kepentingan penelitian. Sedang
masalah yang tidak kalah pentingnya adalah kehadiran peneliti di lapangan
dilakukan berasaskan pada kepatuhan terhadap segala aturan dan tata tertib
pihak Kampus UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA agar tidak menggangu aktivitas
akademik kampus dan juga sebagai bentuk penghormatan tata aturan yang berlaku.
C.
Latar Penelitian
Uraian tentang lokasi penelitian
diisi dengan identifikasi karakteristik lokasi, yang juga ada penguraian
tentang letak geografis, peta lokasi, struktur organisasi, program (visi dan
misi), dan suasana sehari-hari di lokasi penelitian.[63] Untuk
lebih detailnya maka dalam penelitian ini akan dijabarakan beberapa hal sebagi
berikut:
1.
Identifikasi Lokasi Penelitian
a.
Suasana Sehari-hari
b.
Letak Geografis
2.
Profil UIN Maliki Malang, UMM,
dan UNISMA
3.
Sejarah UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA
4.
Visi dan Misi UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA
5.
Organisasi Kemahasiswaan UIN Maliki Malang, UMM, dan
UNISMA
6.
Karakteristik Lokasi Penelitian
D.
Data dan Sumber
Data Penelitian
Dalam beberapa karya tulis tentang metodologi
penelitian banyak dalam referensi disebutkan informan adalah sebagai subjek
penelitian. Hal ini karena yang menjadi pelaku pemberi informasi atau data
(baik itu orang ataupun benda) adalah salah satunya informan.[64]
Sedang sumber data adalah pesan atau pembahasan apa yang disampaikan oleh
subjek penelitian atau sesuatu benda dan peristiwa yang diperoleh dari hasil pengamatan.
Berbeda dengan sumber data, maka untuk informan dan responden punya definisi
tersendiri. Informan adalah seseorang yang mampu dan berkapasitas dimintai
peneliti untuk memberi uraian, cerita secara detail tentang di luar dirinya
terutama tentang individu lain, situasi, kondisi atau peristiwa di lokasi
penelitian. Sedang responden adalah individu yang hanya diminta bercerita
tentang apa yang diketahui dan dialami oleh dirinya sendiri dalam menjawab
pertanyaan peneliti.[65]
Berdasarkan dari penjelasan di atas maka dalam pemilihan informan dilakukan
dengan cara penetapan kriteria-kriteria yang layak untuk dijadikan subjek
penelitian. Hal tersebut dilakukan supaya data yang dikumpulkan sesuai dengan
kasus atau objek penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan studi
atau penelitian pendahuluan (pra penelitian).
Data yang
berasal dari penelitian kualitatif berbentuk deskriptif, berupa perkataan lisan
atau tulisan serta tentang tingkah laku manusia yang dapat diamati. Data
kualitatif berwujud uraian terperinci, kutipan langsung, dan dokumentasi kasus.[66] Maka
bentuk dari “sumber data kualitatif adalah sumber data yang disuguhkan dalam
bentuk dua parameter ‘abstrak’. Misalnya: banyak-sedikit, tinggi-rendah,
tua-muda, panas-dingin, situasi aman-tidak aman, laba-nirlaba.”[67] Dapat
diartikan data tersebut dikumpulkan sebagai suatu cerita tentang apa yang telah
dilakukan oleh informan, bukti dokumen apa yang telah dilakukan oleh informan,
dan apa yang telah diceritakan oleh informan.
Sedang teknik penjaringan data dalam penelitian
ini adalah dengan teknik purposive
sampling, yaitu pemilihan informan yang dianggap punya pengetahuan tentang
informasi dan masalah secara mendalam, serta dapat dipercaya atau punya
kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi pusat data yang kokoh.[68] Cara pemilihan sampel
purposif (didasarkan pada tujuan) digunakan agar hasil penelitian punya daya transferability, yaitu kemampuan untuk
ditransfer pada lembaga pendidikan tinggi lain yang memiliki banyak kesamaan
(ciri-ciri utama), bukan untuk digeneralisasi seperti pada penelitian
kuantitatif.[69] Teknik ini dilakukan dengan cermat dan
relevan dengan desain penelitian serta pada setiap sampel terdapat wakil-wakil
dari segala lapisan informan sehingga sampel ini bisa dikatakan representatif
karena kepemilikan ciri-ciri yang esensial dari informan. Oleh karena itu dalam
pengambilan sampel ditekankan lebih cermat dalam penentuan syarat-syarat bagi
sampel agar sesuai dengan tujuan penelitian.[70]
Pengambilan data yang dilakukan dinyatakan sudah cukup apabila ‘topik’ data
sudah memiliki nilai kemantapan (kejenuhan/tuntas) atau katagori jawaban sumber
data selalu sama dipandang atau ditelaah dari sudut dan metode manapun serta
data yang dikuatkan oleh pernyataan-pernyataan beberapa informan yang dianggap
punya kapabilitas dan kapasitas secara formal di kampus untuk menjawab fokus
penelitian serta rumusan-rumusan masalah penelitian.
Dalam penelitian ini digunakan dua teknik sampling yaitu purposif sampling dan snowball sampling. Snowball sampling adalah teknik diraihnya data dengan cara
pencarian informan data ditindak lanjuti dengan pengguliran informan menjadi
lebih banyak. Seperti halnya efek bola salju yang menggelinding dari puncak
gunung yang bersalju sehingga semakin lama sekamin besar ukurannya.[71]
Teknik snowball atau bola salju
dipilih karena untuk penyelidikan hubungan antara manusia dalam suatu kelompok,
serta penyelidikan bagaimana cara-cara informasi tersebar di kalangan tertentu.[72]
Sedang purposif sampling adalah cara
dalam pemilihan informan sebagai kelompok terbaik yang mampu sebagai pemberi
informasi secara mapan atau mantap serta cukup dengan pertimbangan yang
mendalam dan ada pelibatan intuisi (kepekaaan) dari peneliti. Oleh karena itu
diupayakan hasil dari penelitian ini bisa di’generalisasi’kan pada
tempat/lokasi penelitian lain yang memiliki ciri khas, permasalahan, dan
keunikan sama dengan lokasi yang telah atau sedang diteliti.[73]
Sedangkan tentang jenis data dalam penelitian
ini, didefinisikan oleh Riduwan bahwa data sebagai bahan mentah yang perlu
diolah sehingga dihasilkan informasi yang berfungsi sebagai penunjuk fakta.
Oleh karena itu jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
data kualitatif, yaitu data yang berhubungan dengan kategorisasi dan
karakteristik berupa pernyataan atau kata-kata. Data seperti ini diperoleh dari
hasil wawancara sehingga bersifat subjektif karena data tersebut bisa
ditafsirkan lain oleh orang yang berbeda.[74] Oleh
sebab itu karena penelitian kualitatif yang cenderung subjektif maka pada kasus
tertentu tidak boleh dicantumkan nama atau identitas informan jika pencantuman
tersebut bisa menjadi penyebab informan dirugikan. Sebagai gantinya, nama
informan dinyatakan dalam bentuk kode atau nama samaran.[75]
Sumber data yang akan digali dalam penelitian ini
adalah berupa kata-kata dan
tindakan dari informan yang dianggap perlu dan sesuai dengan tujuan penelitian,
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen.[76]
Sedangkan untuk teknik penjaringan data dilakukan dengan pencatatan hasil dari
pengamatan dan wawancara kepada informan yang merupakan hasil kegiatan penglihatan, pendengaran, dan dilanjutkan
dengan pertanyaan-pertanyaan, serta pembambilan foto atau film yang dianggap perlu.
Pengamatan dilakukan terutama saat informan sedang dalam proses penerapan pembelajaran PAI di UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA. Diantara informan
dan subyek penelitian yang akan digali informasinya tersebut adalah dosen (pendidik), mahasiswa (peserta didik), serta pengambil
kebijakan (pengelola) kampus yaitu Rektor, Pembantu Rektor, kaprodi beserta
staf-stafnya yang lain.
Karena jumlah mahasiswa dan Dosen di UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA sangat banyak maka penelitian
nanti dipandang perlu untuk pengambilan sampel informan, pengambilan sampel ini
bertujuan untuk didapat informasi sebanyak mungkin, bukan untuk dilakukan
rampatan (generalisasi). Pengambilan sampel ini dikenakan pada situasi, subjek
(informan), dan waktu.[77]
Untuk didapatkan data yang meyakinkan dan terpercaya (kredibel) maka dilakukan
pengecekan kembali kepada informan yang lain (triangulasi) tentang segala
pernyataan yang dianggap janggal atau kurang memuaskan dari salah satu
informan. Bila data atau informasi dari subjek penelitian dinyatakan belum
cukup maka dilakukan perpanjangan penelitian agar diperoleh data yang holistik,
penyentuhan hingga ke akar permasalahan, dan data benar-benar bisa
dipertanggungjawabkan. Dan untuk sumber data tertulis, digali dari buku-buku di
perpustkaan UIN Maliki Malang, UMM,
UNISMA, serta perpustakaan lain yang dipandang memenuhi syarat untuk
pendukungan terkumpulnya sumber data. Selain itu sumber data tertulis juga
dicari di internet atau alamat website yang sangat relevan dengan penelitian
dan dapat dipertanggungjawabkan.
E.
Teknik
Pengumpulan Data
Beberapa prinsip pengumpulan data studi kasus adalah
yang mencakup penggunaan: 1. Berbagai sumber bukti (multi sumber): adanya
kesatuan rangkaian fakta (beberapa temuan yang sama atau saling menguatkan), 2.
Data dasar: data-data bukti formal yang berlainan dari laporan akhir studi
kasus, 3. Serangkaian bukti: keterkaitan yang eksplisit antara
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, data yang terkumpul, dan
kesimpulan-kesimpulan yang ditarik. Prinsip-prinsip tersebut sangat penting
untuk pengerjaan studi kasus yang berkualitas tinggi dan berguna dalam penanggulangan
persoalan validitas konstruk dan reliabilitas atau dapat diandalkan
(pemeriksaan keabsahan data).[78]
Dengan demikian dapat disimpulkan penggunaan multi sumber sangat penting untuk
penciptaan kesatuan, suatu proses triangulasi, dan pembukaan terhadap
cakrawala fenomena, historis, dan fakta
yang lebih luas.
Karena penggunaan wawancara dan observasi dilakukan secara
sistematis maupun kondisional (luwes) maka
jenis penyimpanan (rekaman) yang dilakukan adalah catatan lapangan, catatan
wawancara, dan catatan hasil dokumentasi. Jenis rekaman ini digunakan agar
informan merasa nyaman, terbuka, dan tidak merasa tertekan (terbebani)
dibandingkan apabila digunakan rekaman elektronik. Lebih spesifik dikhawatirkan
jika digunakan jenis rekaman audio atau video terlalu berlebihan menjadi
penyebab data yang dihasilkan tidak outentik dan penggalian data emik kurang
mendekati sempurna. Data outentik misalnya berasal dari endapan perasaan dan
gejolak jiwanya dalam peresponan terhadap fenomana yang dihadapi oleh informan.
Oleh karena itu dalam kondisi tertentu sesuai dengan permintaan informan
penggalian data dilakukan di lokasi-lokasi yang dikehendaki oleh informan
walaupun di luar lingkungan kampus dan di waktu pagi ataupun malam hari.
Bisa dikatakan kedudukan informan tidak dijadikan
sebagai benda yang bisa diatur dan dibentuk sesuai dengan apa yang dikehendaki
peneliti. Namun informan diberi penghargaan serta kedudukan sebagai manusia
yang punya perasaan, kehendak, dan ungkapan-ungkapan emosi (jiwa) yang sulit di
peroleh nilai data emiknya apabila kondisi informan dalam keadaan tertekan
ataupun informan tidak diberi jaminan dari peneliti untuk membedakan mana
informasi yang boleh diterbitkan serta mana informasi yang tidak boleh diterbitkan.
Dengan kata lain keluhan atau curahan hati yang masih relevan dengan tujuan
penelitian dari informan adalah sangat penting bagi peneliti karena untuk
diketahui sebab atau alasan mengapa informan bertindak seperti itu (saat
diamati) dan mengapa informan memberikan statemen seperti itu (saat
diwawancarai). Oleh karena itu dengan cara tersebut diharapkan diperoleh
berbagai jenis data yang kredibel (terpercaya) sehingga untuk pengujian dan
pembuktiaan validitas (kebenaran) data yang diperoleh dari informan salah satu
caranya adalah pengkonfrontiran antara peneliti dengan informan serta kenyataan
di lapangan pada waktu yang tidak lama dari dilaporkannya hasil penelitian ini
pada akademik Pascasarjana STAIN Kediri.
Pengembangan daftar pertanyaan dan wawancara
dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan subjek-subjek kemanusiaan dalam upaya
pemertahanan hak-hak individual.[79]
Dengan kata lain pertanyaan yang diajukan tidak harus disesuaikan apa adanya
dengan pedoman wawancara namun disesuaikan dengan kondisi psikologis informan
dan tentu dikembangan berdasar informasi-informasi penting yang dianggap baru
serta berbeda dibandingkan informasi sebelumnya. Lebih spesifik pengumpulan
data dilakukan dengan cara pendekatan emosional terutama pada mahasiswa, hal
ini karena supaya informan bisa memberikan informasi dengan tegas (tanpa beban)
dan apa adanya tanpa ada interfensi, pengaruh dari lingkungan, pengaruh dari
alat rekam audio/video, dan pemersempitan kesenjangan antara peneliti dengan
informan. Sedangkan untuk dosen dan pengelola UIN Maliki Malang, UMM, dan
UNISMA dilakukan dengan pendekatan personal, yaitu saling pengertian,
pemahaman, dan pengenalan. Untuk metode yang digunakan dalam pemerolehan data
yang lebih lengkap serta terpercaya dari pengelola UIN Maliki Malang, UMM, dan
UNISMA, Dosen, dan mahasiswa yang menjadi informan maka digunakan beberapa
teknik pengumpulan data di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Metode Observasi Partisipan
Observasi partisipan
dilakukan guna diperoleh informasi (eksplorasi) tentang tingkah laku manusia
seperti yang terjadi dalam kenyataan. Dengan observasi tersebut diperolah
gambaran yang lebih jelas (sesungguhnya) tentang kejadian sosial yang sukar
diperoleh dengan metode lain. Dalam proses observasi partisipan diusahakan
secara wajar dan yang sebenaranya, tidak dengan sengaja dilakukan pemengaruhan,
pengaturan, dan pemanipulasiaan tingkah laku informan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan bahwa ilmu pengetahuan pada awalnya dimulai dengan observasi dan
harus selalu kembali pada observasi untuk diketahui kebenaran ilmu.[80]
Dapat disimpulkan observasi dilakukan untuk penggalian gejala sosial (perilaku)
melihat manusia sebagai makhluk yang bertingkah laku dan berperasaan. Tidak
hanya pengamatan terhadap benda-benda saja, namun pengamatan terhadap bagaimana
manusia dalam penggunaan benda-benda tersebut.
Metode ini dilakukan
dengan cara pengamatan langsung dengan ikut berpartisipasi secara langsung dan
peneliti bersifat pasif (hanya sebagai pengamat murni) dalam penggalian data di
lapangan terhadap apa yang telah dilakukan informan atas sebagai aktivitas
(perilaku) pembelajaran yang berkaitan dengan sistem Pembelajaran PAI di UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA.
Dengan kata lain walaupun peneliti ikut masuk di dalam kelas untuk pengamatan
pembelajaran namun peneliti tidak berpartisipasi secara aktif (ikut serta dalam
memengaruhi upaya mewujudkan tujuan pembelajaran atau tujuan intruksional) di
dalamnya. Dalam konteks ini maka dilakukan penerjunan langsung ke dalam
masyarakat lokasi penelitian dengan sebisa mungkin tidak mempengaruhi kondisi
sosial, mental, dan ruang fisik lokasi penelitian. Oleh karena itu untuk
ketelitian data hasil observasi maka peneliti akan bergabung bersama mahasiswa UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA
duduk di dalam kelas ikut serta pada proses pembelajaran yang telah disampaikan
oleh Dosen.
2.
Metode Wawancara Mendalam
Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara
tanya jawab sepihak (dua orang), dikerjakan secara sistematik, dan pelandasan
pada tujuan penyelidikan. Tujuan dilakukan wawancara mendalam adalah
pengumpulan data atau informasi yang berupa keadaan, gagasan, sikap atau
tanggapan, dan keterangan penting lainnya dari satu pihak tertentu yang
berhubungan dengan tujuan penelitian.[81]
Dalam wawancara selalu ada dua pihak, yang masing-masing punya kedudukan yang
berbeda. Pihak yang satu berkedudukan sebagi pengejar informasi (information hunter) sedang pihak lain
sebagai pemberi informasi (Information
Supplyer) yang disebut informan.[82]
Oleh karena itu wawancara mendalam yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara tak terstruktur, artinya pertanyaan dari wawancara ini tidak disusun
secara baku sesuai dengan standar proses dengan disertakan pilihan-pilihan yang
telah disediakan oleh pihak yang bertanya. Namun wawancara ini dilakukan
berdasarkan prinsip fleksibilitas, dengan percakapan secara informal, dan dilalui pemahaman secara mendalam terhadap
mengapa seseorang memilih ‘cara’ atau memilih ‘suatu hal’.[83]
Dalam wawancara mendalam
untuk penggalian data tentang objek penelitian digunakan teknik wawancara
mendalam yang dilakukan di tempat terbuka (umum), dilakukan di ruangan pribadi,
dilakukan secara luwes atau apa adanya secara reflek serta spontan, dan
kedudukan peneliti tidak hanya sebagai pendengar aktif saja namun terjadi
dialog interktif sehingga diharapkan mendapatkan informasi secara mendalam
serta tingkat kevalidannya sangat tinggi. Sedangkan alat yang diperlukan dalam
wawancara digunakan alat tulis berupa bulpen, kertas, laptop untuk pengetikan,
dan dalam kondisi yang dimungkian penggunaan alat perekam untuk mempermudah
penyimpanan data sekaligus sebagai bukti empiris. Dan ketika kondisi psikologis
informan tidak dimungkinkan untuk wawancara di lokasi penelitian maka
dilakukan wawancara di luar lokasi penelitian
yang dipandang sesuai untuk kegiatan wawancara (ditentukan oleh informan). Oleh
karena itu bisa dikatakan bahwa metode wawancara mendalam sangat efektif untuk
membantu peneliti dalam penganalisaan hasil data yang diperoleh dengan metode
observasi mendalam dan dokumentasi.
3. Metode Dokumentasi
Dalam dokumen studi kasus seperti disinggung dalam
protokol studi kasus oleh beberapa peneliti di dunia telah disarankan cara-cara
untuk penggunaan metode dokumentasi secara efektif yaitu pemberian penjelasan
atau deksripsi tambahan mengenai waktu pengambilan, kepada siapa diambilnya
dokumen, dan apa nama spesifik dokumennya sebagai keterangan dokumen yang
digunakan dalam penelitian. Tujuannya adalah sebagai pemermudah dalam penyimpanan
dan penemuan kembali, agar dapat diperiksa dan dibagikan pengalaman tentang
data dasarnya kepada peneliti lain di kemudian hari. Selain itu dokumen seperti
ini bila relevan dengan wawancara tertentu, maka bisa dibuat sebagai tambahan
dalam catatan hasil wawancara untuk dikombinasikan antara keduanya.[84]
Subjek penelitian dari
dokumentasi adalah buku, majalah,
pertaruan, notulen, catatan harian, dokumen resmi, bahkan benda-benda yang
bernilai sejarah.[85]
Selain itu dalam penelitian ini dokumen bisa berupa surat-surat,
pengumuman,
peraturan,
hasil evaluasi,
dan dokumen
pribadi lain
yang relevan dengan tujuan
penelitian dari pihak berwenang UIN
Maliki Malang, UMM, dan UNISMA. Dokumentasi juga dilakukan dengan cara pengambilan
foto-foto yang dinilai relevan dengan topik penelitian. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa penggalian data dengan metode dokumentasi bisa dilakukan dari
berbagai sumber termasuk sumber nonformal sebagai data utama dan bukti empiris
dari data lain yang diperoleh dengan metode lain.
4.
Metode penelusuran Online
Dikemukakan oleh Burhan Bungin tentang keabsahan dan
validitas data (informasi) yang didapat secara online seharusnya tidak
diragukan lagi, namun dengan syarat peneliti tetap mampu memilih sumber-sumber
data online mana yang kredibel dan dikenal oleh kalangan banyak. Secara teknis
penggunaan metode ini mensyaratkan peneliti memiliki pemahaman teknis terhadap
teknologi informasi (komputer). Namun demikian yang menjadi catatan adalah
metode penelusuran ini adalah metode sekunder yang dapat digunakan dalam
penelitian kualitatif. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa metode ini hanya
berperan dalam pembantuan kepada peneliti untuk penyediaan bahan-bahan sekunder
yang dapat dimanfaatkan dalam bentuk sekunder. [86]
5.
Instumen Pengumpulan Data
Karena pendekatan penelitian ini adalah kualitatif maka
data yang diunggah adalah berkenaan dengan kualitas seperti baik, sedang,
kurang, dan lain-lain. Maka instrumen penelitian sebagai alat pengumpul data
harus betul-betul dirancang dan dibuat dengan sungguh-sungguh supaya dihasilkan
data empiris sebagaimana fakta atau keadaan nyata lapangan. Karena data yang
salah atau tidak menggambarkan data secara empiris bisa menyesatkan peneliti,
sehingga dapat mempengaruhi dalam pengambilan kesimpulan penelitian.[87]
Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah pedoman wawancara yang
dikembangkan secara mendalam sesuai dengan pernyataan-pernyataan informan yang
dipandang masih relevan dengan topik penelitian, pedoman dokumentasi yang
fleksibel, dan pedoman observasi partisipan yang disesuaikan dengan kondisi di
lapangan. Dengan kata lain walaupun ada pedoman wawancara, pedoman dokumentasi,
dan pedoman observasi namun informan diberi kebebasan untuk melakukan atau
mengatakan sesuatu dengan bebas senyampang tersebut bisa menjadi data pendukung
atau bahkan data utama dalam penelitian. Selain itu insturmen penggalian data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa alat tulis, kamera, dan
laptop untuk mencatat data (dalam kondisi tertentu).
Karena penelitian kualitatif adalah penelitian yang salah satunya dicirikan dengan
adanya penggalian emik, yaitu pandangan, prespektif, penghayatan terhadap
subjek yang diteliti terhadap realitas (kenyataan). Maka peneliti tidak cukup
sekedar pada tindakan pengamatan ‘semata’, tetapi juga dilakukan pengamatan
terlibat atau peran serta serta tinggal pada beberapa waktu yang memadai dalam
latar penelitian. Selain itu untuk penggalian emik peneliti juga harus
dilakukan dengan cara wawancara yang mendalam.[88]
Hal ini agar peneliti bisa menemukan makna, alasan, dan pandangan secara
personal (intim) dari informan tentang mengapa ia melakukan tingkah laku
seperti itu. Sebagaimana menurut penjelasan Noeng Mohadjir tentang moral valaue dalam fenomenologi disebut
dengan emik, sehingga dalam logika interpretatif diperlukan alur pikir rasional
empirik dan penggunaan interpretasi atas fakta yang ada yaitu dengan penggunaan
etik, emik, dan noetik. Kriteria kebenaran yang dimiliki emik berada dalam
wilayah pribadi masing-masing, bersifat intrinsik, dan pengalaman personal.
Sedang teori kebenaran noetik adalah didasarkan pada kebenaran moral graas root, teori sadar kolektif, bawah
sadar kolektif, dan tak sadar kolektif.[89]
Secara umum penggalian
data ini dilakukan dengan cara formal maupun luwes senyampang hal tersebut bisa
menimbulkan kenyamanan bagi informan dengan tidak mengganggu kesibukan
informan. Cara ini dilakukan agar bisa ditemukan data emik secara mendalam,
sehingga informan mengungkapakan segala endapan psikologis yang dimungkinkan
tersimpan. Dengankata lain penggalian emik sangat penting sebagai penguat atau
pemerkokoh data yang didapat dari informan sekaligus untuk dasar dilakukan
triangulasi. Informasi sekecil apapun baik dari hasil observasi partisipan,
wawancara mendalam, dan dokumentasi dari lokasi penelitian sangat berarti bagi
penelitian sebagai bahan dalam memperkaya data-data yang dimiliki oleh
peneliti. Hal ini karena diharapkan dalam pelaksanaan anilisis data tidak mengalami
hambatan keterbatasan data. Selain itu dengan data yang kaya juga bisa sebagai
pembantu peneliti dalam pencarian keabsahan data sebagai salah satu teknik
triangulasi sehingga konsekuensinya waktu yang diperlukan untuk pengumpulan
data cukup lama.
Dalam penggalian data di
penelitian ini terdapat bebarapa kendala dan hambatan-hambatan di antaranya
susahnya informan untuk diajak ketemu ada yang memberikan alasan dan ada yang
tanpa alasan jelas. Misalnya Taufiqurroham sebagai Dosen PAI memberikan
tanggapan telepon dari peneliti berupa SMS kepada peneliti yang isinya ““Utk konsultasi skripsi smpean,bisa brkomunikasi dg p.abdullah/bu
lilik.utk saat ni sy blm bsa memastikn kpn plag k kdr,soaly anak sy msih drawat
di RS Sby.mksih.”[90] dan Lilik sebagai Dosen PAI saat ditelpon memberi
jawaban salam kemudian berkata “Lewat sms saja tidak terdengar,” kemudian di
mengirim sms yang berisi “Ya sy masih rapat di kemenag.”[91]
Namun setelah itu tidak ada tindak lanjut di mana sms dan telepon dari peneliti
tidak dijawab olehnya. Kendala lain adalah ketidak tertariknya dosen PAI ketika
peneliti meminta ikut serta dalam jam kuliah sebagai metode observasi dalam
penggalian data.
F.
Teknik Analisis
Data
Analisis data adalah pencarian dan penataan secara sistematis catatan hasil
dari observasi partisipan, wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk
peningkatan pemahaman tentang kasus yang diteliti dan disajikan sebagai temuan
bagi orang lain. Guna peningkatan pemahaman tersebut maka analis dilanjutkan
dengan pencarian makna.[92]
Oleh karena itu dilakukan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis
terhadap transkip-transkip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan yang
berupa dokumen. Kemuidan dilanjutkan dengan proses reduksi agar penyajian
temuan yang dilakukan bisa sistematis dan mudah dipahami oleh pembaca.
Analisis data dilakukan dengan memperkaya informasi dari berbagai sumber
dan metode, pencarian hubungan data, pembandingan, penemuan pola atas dasar
data aslinya. Kemudian hasil dari analisis data tersebut dipaparkan mengenai
situasi yang diteliti dengan bentuk uraian naratif.[93]
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini didominasi oleh analisis induktif,
yaitu pola, tema, dan pengkatagorian analisis datang dari data bukan diputuskan
utamanya ke pengumpunalan data analisis.[94]
Secara skematis prosedur analisis data kualitatif dibagi dalam lima pentahapan
seperti gambar berikut:[95]
Gambar 4: Prosedur
analisis data kualitatif
Dari gambar di atas untuk penunjang keberhasilan
dalam pelaksanaan analisis data yang sesuai dengan prosedur maka dari awal
pengumpulan data diperlukan sebuah memo atau catatan pribadi peneliti untuk
penyimpanan catatan peristiwa di lapangan. Catatan dan memo digunakan untuk
pemermudah dalam penyaringan (reduksi) data, pengelompokan data, usaha untuk
menjawab kecurigaan awal, pemberian makna, dan pengambilan keputusan bahwa data
yang dipaparkan sesuai dengan apa yang tergambar di lapangan.
Sedang menurut Miles dan Huberman ada tiga
pengklasifikasian kegiatan dalam analisis data penelitian kualitatif yaitu
pereduksian data, penentuan model data
(penyajian data secara naratif), dan penarikan kesimpulan (verifikasi) data.
Jika diuraikan dalam bentuk gambar maka penyajian ketiga tahapan kegiatan
analisis data tersebut dapat dijelaskan sebagaimana berikut:[96]
Gambar 5: Komponen Analisis Data Model Interaktif
Dari gambar di atas maka dapat disimpulkan posisi
dari peneliti kualitatif adalah sebagai perintis, lebih bersifat longgar, dan
mampu memahami apa yang sedang berlangsung pada waktu diadakan analisis data.
Maka dapat dikatakan peneliti berkesempatan dalam pengembangan metode-metode
yang dapat dijabarkan lebih umum.[97]
Oleh karena itu analisisnya lebih ditekankan pada ketajaman dan kepekaan
peneliti dalam penilaian dan pemaknaan terhadap data yang didapat di lapangan.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan analisis data pada penelitian
kualitatif dilakukan selama dan setelah pengumpulan data dengan digunakan teknik analisis tema (objek penelitian). Analisisnya diperlukan kegiatan reduksi
data, yaitu proses pemilihan dan pemusatan perhatian penelitian melalui seleksi
yang ketat terhadap fokus yang dikaji. Setelah data di lapangan telah selesai
dikumpulkan, maka semuanya dianalisis lebih lanjut secara intensif yang dikaji
oleh peneliti dengan penggunaan logika, etika, dan estetika.
G.
Pengecekan
Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data lebih
merujuk pada masalah kualitas data dan ketepatan metode yang digunakan dalam
penelitian ilmu-ilmu sosial (termasuk di dalamnya ilmu pendidikan) yang
berkaitan dengan studi aktivitas manusia. Sebagaimana menurut Lincoln dan Guba
yang dikutip oleh Emzir dikemukakan ada empat kriteria tentang penilaian
terhadap penelitian kualitatif di antaranya kredibilitas (credibility) yaitu hasilnya dapat dipercaya dari prespektif
partisipan, karena satu-satunya penilai yang sah terhadap kredibilitas hasil
penilitan adalah partisipan. Kedua adalah transferabilitas (Transferability) yaitu tingkat kemampuan
hasil penelitian kualitatif dapat digeneraliasisikan atau ditransfer kepada
konteks serta seting yang lain. Dan terakhir kalinya dependabilitas (Dependability) yaitu kemampuan
memperoleh hasil yang sama jika dilakukan pengamatan yang sama untuk yang kedua
kalinya. Dependabilitas lebih ditekankan pada peneliti tepat dalam
memperhitungkan konteks yang berubah-ubah dalam penelitian yang dilakukan.
Konfirmabilitas (confimability) yaitu
kemampuan hasil penelitian dapat dikonfimasikan oleh orang lain.[98]
Banyak penelitian kualitatif yang diragukan
kebenaran dari hasil penelitiannya, utamanya karena terdapat persoalan dalam
pengujian keabsahan hasil penelitian. Keraguan tersebut disebabkan oleh
beberapa hal yaitu subjektivitas peneliti menjadi hal yang dominan dalam
penelitian kualitatif, alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan
observasinya terlebih jika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol
(observasi partisipasi), dan sumber data kualitatif yang kurang credible akan mempengaruhi hasil akurasi
penelitian.[99]
Untuk terhindar dari keraguan tersebut maka perlu diteliti kredibilitasnya
dengan penggunaan teknik-teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lokasi penelitian,
ketekunan observasi serta wawancara yang diperdalam, dan triangulasi metode.
Dalam penelitian kualitatif karena instrumen
utamanya adalah manusia yaitu peneliti itu sendiri maka pemeriksaan
keabsahannya adalah keabsahan data bukan keabsahan instrumen seperti pada
penelitian kuantitatif. Uji kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara-cara
sebagai berikut:
1)
Perpanjangan pengamatan; untuk pembersihan bias dari
peneliti dan penglihatan data lebih luas.
2)
Peningkatan ketekuan pengamatan; penggalian data lebih
mendalam dan pemfokusan terhadap data yang hendak digali.
3)
Triangulasi; pengecekan kembali data dengan cara
penggalian mendalam ke berbagai sumber, penggantian metode, dan penggalian data
di waktu dan suasana yang berbeda.
4)
Pengecekan teman sejawat; setelah dipaparkan oleh
peneliti hasil temuan sementaranya dan metode penelitiannya kemudian dia
meminta masukan dari teman sejawat yang tidak ikut serta dalam penelitian. Ini
adalah cara untuk menjaga konstistensi dan kejujuran.
5)
Analisis kasus negatif; pencarian dan penemuan
kasus-kasus negatif yang tidak sesuia bahkan bertentangan dengan apa yang sudah
ditemukan sebagai bahan perbandingan.
6)
Kecukupan referensial; pengunakan berbagai alat seperti
perekam suara atau perekam gambar untuk melengkapi catatan tertulis.[100]
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan agar hasil dari penelitian ini memiliki tingkat kepercayaan dan validitas
(kesahihan) yang tinggi, maka pengecekan data untuk pencapain kredibilitas penelitian sebagai upaya penjaminan mutu
hasil dari penelitian, perlu dilakukan penelurusan keabsahan data ditentukan dengan penggunaan kriteria
kredibilitas (derajat kepercayaan). Penentuan kredibelitas data
dimaksudkan untuk pembuktian apa yang dikumpulkan sesuai dengan kenyataan
yang ada dalam latar penelitian. Namun demikian menurut Trianto bagaimanapun juga dalam penelitian studi kasus
sumber data tidak banyak dan cakupan wilayahnya sempit, tetapi penelitian
dilakukan lebih intensif dan mendalam. Oleh karena itu hasil dari penelitian
studi kasus tidak bisa digeneralisir, dengan kata lain hanya berlaku bagi kasus
itu sendiri.[101]
Daftar Rujukan
Amin, A. Rifqi. Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis
Interdisipliner. Yogyakarta: LKiS,
2015.
Amin, A. Rifqi. Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum.
Yogyakarta: Deepublish, 2014.
“Kamus
Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip,
didownload tanggal 21 April 2014.
“Kontra
Terorisme: Perlu Perubahan Paradigma Menuju Human
Security,” dalam http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,19992-lang,id-c,warta-t,Perlu+Perubahan+Paradigma+Menuju+Human+Security-.phpx,
11 November 2009, diakses tanggal 31 Desember 2014.
“Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan,” dalam http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/pp55tahun2007.pdf,
didownload 22 Desember 2014.
“Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45,
didownload 04 Oktober 2014.
“Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang,”
dalam http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2003_15.pdf dan http://www.setneg.go.id/components/com_perundangan/docviewer.php?id=1548&filename=PP_Pengganti_UU_No_1_th_2002.pdf, diakses 08 Maret 2015.
Abu-Nimer,
Mohammed. “Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam: Teori dan Praktek,” dalam Nonviolence and Peace Building in Islam:
Theory and Practice, terj. M. Irsyad Rhafsadi dan Khairil Azhar. EDISI
DIGITAL, http://www.abad-demokrasi.com/sites/default/files/ebook/Nirkekerasan%20Abu-Nimer.pdf,
didownload tanggal 16 Desember 2014, hlm. 20.
Amin, A. Rifqi. Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum.
Yogyakarta: Deepublish, 2014.
Anonim,
“Definition of Human Security,” dalam http://www.humansecurityinitiative.org/definition-human-security,
28 Februari 2011, diakses tanggal 25 Desember 2014.
Anonim, “Human Security Makin Jadi Model Perdamaian,” dalam http://www.pelita.or.id/baca.php?id=56862, diakses tanggal
31 Desember 2014.
Anonim,
“Human Security,” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Human_security,
diakses tanggal 25 Desember 2014.
Aqimuddin,
Eka An. “PBB dan Tantangan Human Sucurity,” dalam http://www.negarahukum.com/hukum/pbb-dan-tantangan-human-security.html,
29 Oktober 2012, diakses tanggal 31 Desember 2014.
Arifin,
Syamsul. “Implementasi Studi Agama Berbasis Multikultural dalam Pendidikan,”
dalam http://rires2.umm.ac.id/publikasi/lama/IMPLEMENTASI%20STUDI%20AGAMA2.pdf,
didownload tanggal 16 Desember 2014.
---------.
“Klaim Kemutlakan, Konflik Sosial, dan Reorientasi Keberagamaan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme,
ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma, 2000.
---------.
“Konflik, Kekerasan, dan Multikulturalisme: Mengurai Sengkarut Agama di Ranah
Sosial,” dalam Ulumul Qur’an (Vol.
X/No.1/Th.ke-25/2014).
---------.
Studi Agama: Perspektif Sosiologis
&Isu-isu Kontemporer. Malang:
UMM, 2009.
Bandura,
Albert. “Mekanisme Merenggangnya Moral,” dalam “Origins of Terrorism: Tinjauan
Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental, Judul asli: Origins of Terrorism: Psychologies,
Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng
Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Crenshaw,
Martha. “Pertanyaan yang Harus Dijawab, Riset yang Harus Dikerjakan,
Pengetahuan yang Harus Diterapkan,” dalam “Origins of Terrorism: Tinjauan
Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” Judul asli: Origins of Terrorism: Psychologies,
Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng
Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Echols,
John M. dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2013.
Efendi,
Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik
MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta,
2005.
Fathoni,
Muhammad Kholid. Pendidikan Islam dan
Pendidikan Nasional [Pardigma Baru]. Jakarta: Depag RI Dirjen Kelembagaan
Agama Islam, 2005.
Fathuddin,
Syukri. “Pendidikan Islam,” dalam Din
al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati
Rahman. Yogyakarta: UNY Press, 2008.
Goleman,
Daniel. “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional
Intelligence ed. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Hakim,
Luqman. Terorisme di Indonesia.
Surakarta: Forum Studi Islam Surakarta, 2004.
Hammad,
Suhailah Zain al-Abidin. “Bagaimana Mengatasi Terorisme,” dalam Irhaab, Asbaabuhu, Ahdaafuhu, Manaabi’uhu,
wa ‘Illa juhu, terj. Nasruddin Atha’. Jakarta: Zikrul Hakim, 2005.
Hasan,
Said Hamid. dkk. Pengembangan Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kemendiknas, 2010.
Hoerr,
Thomas R. “Buku Kerja Multiple Intelligences: Pengalaman New City School di St.
Louis, AS, dalam Menghargai Aneka Kecerdasan Anak,” dalam Becoming a Multiple Intelligences School, terj. Ary Nilandari.
Bandung: Kaifa, 2007.
Idi,
Abdullah dan Toto Suharto, Revitalisasi
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Juergensmeyer,
Mark. “Terorisme Para Pembela Agama,” dalam Terror
in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. Amien
Rozany Pane. Yogyakarta: Tarawang, 2003.
---------.
“Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in The Mind of God: The Global Rise
of Religious Violence, terj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Nizam, 2002.
Kosim,
Muhammad. “Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan
Multikultural,” dalam Pendidikan Agama
Islam dalam Prespektif Multikulturalisme, ed. Zainal Abidin dan Neneng
Habibah. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009.
Kristiadi,
J. “National Security, Human Security, HAM dan Demokrasi,” dalam http://ina.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/Human%20Security%20dan%20Hak%20Asasi%20Manusia%20-%20J.%20Kristiadi.pdf,
diakses 31 Desember 2014.
Martin,
Gus. The New Era of Terrorism: Secected Readings. California: Sage,
2004.
Merari,
Ariel. “Kesediaan untuk Membunuh dan Terbunuh: Terorisme Bunuh Diri di Timur
Tengah,” dalam “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi,
dan Sikap Mental,” Judul asli: Origins of
Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter
Reich, terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Muchsin
Bashori. dan Abdul Wahid, Pendidikan
Islam Kontemporer. Bandung:
Refika Aditama, 2009.
Muhaimin,
Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari
Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi
Pembelajaran (Jakarta: Rajawali, 2009), hlm. 17.
Mujtahid, Reformasi
Pendidikan Islam (Malang: UIN Maliki, 2011), hlm. 103-104.
Naim,
Ngainun. Teologi Kerukunan Mencari Titik
Temu dalam Keragaman.Yogyakarta: Teras, 2011.
Nyoman,
Paskalis Edwin. “Agama dan Kekerasan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto.
Malang: Dioma, 2000.
Post,
Jerrold M. “Psiko-logika Teroris: Perilaku Teroris Sebagai Hasil Tekanan
Psikologis,” dalam “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi,
Teologi, dan Sikap Mental,” Judul asli: Origins
of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter
Reich, terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Purnomo,
Agus. Ideologi Kekerasan: Argumentasi
Teologis-Sosial Radikalisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Qodir, Zuly. “’Involusi Pemekaran,”
Etnisitas dan Agama,” dalam http://csps.ugm.ac.id/site/wp-content/uploads/2014/12/2012-social-cohesion-in-north-maluku-1.pdf,
didownload tanggal 26 Desmber 2014.
--------. “Deradikalisasi
Islam dalam Perspektif Pendidikan Agama,” Jurnal
Pendidikan Islam, Vol 1, Nomor 2, Desember 2012: hlm -85-107, dalam http://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/13465004/5_jurnal_pi_2-1_zuly_qodir.pdf, diakses tanggal 21 Desember 2014.
Rapoport,
David C. “Teror Suci: Contoh Terkini dari Islam,” dalam “Origins of Terrorism:
Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” Judul asli: Origins of Terrorism: Psychologies,
Ideologies, Theologies, States of Mind, ed. Walter Reich, terj. Sugeng
Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Reich,
Walter. “Memahami Perilkau Teroris: Keterbatasan dan Kesempatannya Bagi
Penelitian Psikologi,” dalam “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi,
Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” Judul asli: Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of
Mind, ed. Walter Reich, terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2003.
Riyanto,
Armada. “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme,
ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma, 2000)
Saefuddin,
Ahmad Muflih. “Pembaharuan Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar,” dalam Percakapan Cendekiawan tentang Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1991.
Salam,
Moch. Faisal. Motivasi Tindakan Terorisme.
Bandung: Mandar Maju, 2005.
Schillebeeckx,
Edwar. “Dokumentasi: Agama dan Kekerasan,” dalam Agama Sebagai Sumber Kekerasan? Judul Asli: Religion as a Source of Violence, ed. Wim Beuken. dkk. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003.
Taufiq,
Muhammad. Terorisme dalam Demokrasi.
Solo: Law Firm, 2005.
Tobroni,
Pendidikan Islam: Paradigma Teologis
Filosofis, dan Spiritualitas. Malang: UMM, 2008.
Tuman,
Joseph S. Communicating Terror: The
Rhetorical Dimensions of Terrorism. California: Sage, 2003.
Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003
Beserta Penjelasannya.
Jakarta: Cemerlang, 2003.
Wahid,
Abdul. dkk. Kejahatan Terorisme:
Prepektif Agama, HAM, dan Hukum. Bandung: Refika Aditama, 2004.
Wahid,
Abdurrahman. dkk., “Islam Tanpa Kekerasan” dalam Islam and Nonviolence, terj. M. Taufiq Rahman. Yogyakarta: Lkis,
2010.
Waluyo,
Sapto. Kontra-Terorisme: Dilema Indonesia
Era Transisi. Jakarta: Media Center, 2009.
Wandelt, Ingo.
“Perkembangan Reformasi Sektor Keamanan: Kebutuhan Bahasa dan Komunikasi,”
dalam csps.ugm.ac.id/Download-document/Perkembangan-Reformasi-Sektor-Keamanan-Kebutuhan-Bahasa-dan-Komunikasi.html, diakses tanggal
26 Desember 2014, hlm. 3-4.
Wibowo,
Ari. Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif
Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.
Wiyani,
Novan Ardy. “Pendidikan Agama Islam Berbasis Anti Terorisme di SMA,” dalam http://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/13465004/4_jurnal_pi_2-1_novan_ardi_wiyani.pdf,
Jurnal Pendidikan Islam Vol. I. No. 2 Desember 2012, hlm 75, didownload 20
Desember 2014.
Dan referensi lainnya yang releven, outentik, dan kredibel
[1]Dalam konteks UIN Maliki Malang, UMM, dan UNISMA yang dimaksud Pendidikan
Agama Islam di sini ialah matakuliah wajib yang harus diselenggarakan oleh
seluruh Perguruan Tinggi sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[2]Untuk
selanjutnya, penyebutan kata “Perguruan Tinggi Keagamaan Islam” disingkat
menjadi “PTKI”.
[3]Hisyam Zaini, Desain
Pembelajaran di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Center for Teaching Staff
Development IAIN Yogyakarta, 2002), 4.
[4]Yahya Ganda, Petunjuk
Praktis: Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan Tinggi (Jakarta: Grasindo,
2004), x.
[5]Andreas Anangguru Yewangoe, “Agama dan Kerukuanan,” Buku Google, http:// books.google.co.id/books?id=SykwKPJfFKkC&hl=id, diakses tanggal 26 Maret 2013, hlm. 40.
[6]Ganda, Petunjuk
Praktis: Cara, 2.
[7]Rahmat Hidayat, “Demonstrasi: ‘Bukan Anarkisme’,” dalam http://www.negarahukum.com/hukum/demonstrasi-%E2%80%9C-bukan-anarkisme%E2%80%9D.html, 30 Maret 2012, diakses tanggal 20 September 2015.
[8]“Parah, Mahasiswa Baru Universitas
Lampung Dipelonco Kekerasan,” dalam http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/09/11/nbqfrz-parah-mahasiswa-baru-universitas-lampung-dipelonco-kekerasan, 11 September 2014, diakses tanggal
20 September 2015.
[9]Moch Harun Syah, “BNPT: Mahasiswa dan Pelajar Target Utama
Propaganda ISIS,”
dalam http://m.liputan6.com/news/read/2253491/bnpt-mahasiswa-dan-pelajar-target-utama-propaganda-isis, 17 Juni 2015, diakses tanggal 20 September 2015 dan
“BNPT: Potensi Terorisme di 2013 Masih Berbahaya,” dalam http://news.okezone.com/read/2013/07/15/337/837421/bnpt-potensi-terorisme-di-2013-masih-berbahaya, 16 Juli 2013, diakses tanggal 20 September 2015.
[10]“Anarkisme Mahasiswa,” dalam http://profesi-unm.com/2014/12/28/presma-kedua-unm-birokrat-picu-anarkisme-mahasiswa/, 28 Desember 2014, diakses tanggal 20 september 2015.
[11]Abidin Nurdin, “Pendidikan
Agama, Multikulturalisme & Kearipan Lokal (Internalisasi Nilai-nilai Agama
pada Perguruan Tinggi Umum Menuju Kerukunan Umat Beragama),” Jurnal Penamas,
Vol. XXIV No. 2 (2011), Balai Penelitian
dan Pengembangan Agama Jakarta, 179.
[12]Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Toleransi Beragama Mahasiswa (Studi Tentang
Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama,
dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7
Perguruan Tinggi Negeri Umum Negeri) (Jakarta: Maloho Jaya Abadi,2010),
139.
[13]Kasinyo Harto, Islam
Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa
Universitas Sriwijaya Palembang (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag
RI, 2008), xvii.
[14]Wina Sanjaya, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2008),
5.
[15]Undang-undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta
Penjelasannya, Jakarta: Cemerlang,
2003.
[16]Hamidi, Metode
Penelitian Kualitatif:Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian
(Malang: UMM Press, 2010), 74.
[17]Menurut Habib Chirzin, “perdamaian
positif (\"positive peace\") tidak hanya berarti tidak adanya perang
atau konflik bersenjata, tetapi terpenuhinya semua hak-hak dasar manusia untuk
hidup dalam sistem kemasyarakatan dan kenegaraan yang demokratis sesuai dengan
harkat dan martabat manusia.” Lebih lanjut ia mengatakan “Ketua Commission on
Human Security (2003) Dr Sadako Ogata, mengemukakan, keharusan mengubah
paradigma keamanan dari berpusat pada Negara (state centric) menjadi berpusat
pada individu manusia.” Dengan kata lain, “masalah perdamaian dan keamanan
bukanlah sekedar mengenai perang dan konflik, tapi juga mengenai kemiskinan,
penyakit dan kerusakan lingkungan, kata Habib Chirzin mengutip Sekjen PBB Koffi
Annan (2005). Di bidang keamanan pangan, ia mengatakan, jika tidak hati-hati
menangani pangan maka akan menyebabkan banyak kematian dan bisa juga berujung
kepada perang.” Lihat, Anonim, “Human
Security Makin Jadi Model
Perdamaian,” dalam http://www.pelita.or.id/baca.php?id=56862, diakses tanggal 31 Desember
2014.
[18]Tim Penyusun, Pedoman
Penulisan Proposal disertasi & Karya Ilmiah Program Pascasarjana (Kediri:
Program Pascasarjana STAIN Kediri, 2012), 16-21.
[19]Ibid,.
[20]Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan bagi
Pengembangan Profesi Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (Jakarta: Kencan,
2010), 155.
[21]Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional
[Pardigma Baru] (Jakarta: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005),
hlm. 51.
[22]Mark Jurgensmeyer, “Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan
Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in
The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. M. Sadat
Ismail. (Jakarta: Nizam, 2002).
[23]Fromm, Erich. (2001). “Akar Kekerasan: Analisis
Sosio-psikologis atas Watak Manusia,” dalam The
Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[24]Fromm, Erich. (2001). “Akar Kekerasan: Analisis
Sosio-psikologis atas Watak Manusia,” dalam The
Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[25]Fromm, Erich. (2001). “Akar Kekerasan: Analisis
Sosio-psikologis atas Watak Manusia,” dalam The
Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[26]Muchsin, Bashori dan Abdul Wahid. (2009). Pendidikan Islam Kontemporer. Bandung:
Refika Aditama.
[27]Syamsul Arifin, (2009). Studi Agama: Perspektif Sosiologis &Isu-isu Kontemporer.
Malang: UMM.
[28]UNDP merumuskan
human security dalam beberapa komponen sebagai berikut: (1) keamanan ekonomi (assured basic income), (2) keamanan pangan (physical and economic access to
food), (3) keamanan kesehatan (relative
freedom from disease and infection), (4) keamanan lingkungan (access to sanitary water supply), (5)
keamanan sosial (security of cultural
identity), (6) keamanan individual (security
from physical violence and threat), dan (7) keamanan politik (protection of basic human rights and
freedom). Lihat, Kristiadi,
“National Security, Human,” diakses 31 Desember 2014.
[29]Sebuah tindakan yang gegabah bila
mencampuradukan permasalahan (kepentingan), yaitu dengan menuduh kurikulum
keagamaan beserta lembaga pendidikannya sebagai “satu-satunya” yang bertanggung
jawab atas terjadinya tindakan terorisme. Ada faktor lain, yang perlu
dipelajari salah satunya adalah pemahaman
yang keliru terhadap al Quran (saat diluar lembaga pendidikan) yang
menjadikan generasi muda Muslim menjadi mudah diperdaya untuk melakukan
tindakan terorisme. Di mana secara serta merta tindakan tersebut sebenarnya
dapat menghancurkan umat Islam sendiri. Oleh karena itu, tidaklah benar bila
ada asumsi yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan Islam turut menyemangatai
tindakan terorisme. Lihat, Hammad,
“Bagaimana Mengatasi Terorisme,” hlm. 156-157.
[30]Dalam mengatasi terorisme masyarakat
diharuskan mengembangkan cara-cara dalam
menyelesaikan masalah ideologi, sosial, kebenaran, dan ketidakadilan. Tentu
semua itu dilakukan tanpa adanya kekerasan, otoritarisme, dan pemaksaan. Salah
satu caranya adalah dengan menghidupkan “ruang publik” yang manusiawi (beradab)
sebagai modal utama dalam mengatasi ketimpangan. Baik dalam bidang kehidupan
sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya yang diselenggarakan secara terbuka,
toleran, dan beradab. Dengan demikian,
setiap warga negara mempunyai hak yang sama tanpa diskriminasi berdasarkan
dalam bidang apapun untuk berpartisipasi, dihargai, dan diberi tempat. Wahid,
dkk. Kejahatan Terorisme: Prepektif,
hlm. 45-46.
[31]Bandura, “Mekanisme Merenggangnya
Moral,” hlm. 205.
[32]Ibid. hlm, 206.
[33]Bandura, “Mekanisme Merenggangnya
Moral,” hlm. 205-206.
[34]Menurut Huda
sebagaimana dikutip Qodir disampaikan perlu penggagasan adanya deradikalisasi
agama sebagai salah satu pencegahan terorisme yang bersifat nirkekeraan.
Mengingat, cara-cara represif, proses hukum, penangkapan, dan eksusi mati
dirasa kurang efektif. Hal ini karena cara tersebut kurang menyentuh pada
hakikat pokok permasalahan. Dengan kata lain, mencegah itu lebih baikd daripada
melakukan aksi pemotongan tindakan terorisme. Terlebih bila bagian yang
terpotong itu sanggup tumbuh lagi bahkan lebih besar dari
sebelumya.Bagaimanapun, “Kekerasan yang dibalas dengan kekerasan, dalam teori resolusi konflik, memang akan
memunculkan kekerasan baru. Dari hal itulah kemudian dicari metode lain untuk
menghentikan berbagai macam terorisme.” Lihat,
Zuly Qodir, “Deradikalisasi Islam dalam Perspektif Pendidikan Agama,” Jurnal Pendidikan Islam, Vol 1, Nomor 2,
Desember 2012: hlm -85-107, dalam http://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/13465004/5_jurnal_pi_2-1_zuly_qodir.pdf, diakses
tanggal 21 Desember 2014.
[35]Novan Ardy Wiyani, “Pendidikan Agama
Islam Berbasis Anti Terorisme di SMA,” dalam http://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/13465004/4_jurnal_pi_2-1_novan_ardi_wiyani.pdf,
Jurnal Pendidikan Islam Vol. I. No. 2 Desember 2012, hlm 75, didownload 20
Desember 2014.
[36]Bisa jadi nilai-nilai atau bibit
tindakan terorisme yang terbangun dan terbentuk bukan saat masa pendidikan
berlangsung, tapi setelah melalui proses itu. Yakni, ketika mereka mulai
berkomunikasi secara intens dengan para “pencuci otak” serta pelaku atau
pendukung tindakan terorisme. Oleh karena itu, kesalahan lembaga pendidikan
dalam masalah terorisme tidak bisa dituduhkan secara mutlak. Dengan kata lain, mereka
telah gagal dalam mencegah generasi muda untuk tidak melakukan tindakan
terorisme di kemudian hari. Lembaga pendidikan tidak berhasil mengkonstruk
(melakukan pendoktrinan) tentang mana kekerasan yang tidak dibolehkan agama dan
mana kekerasan yang dibolehkan oleh agama pada kondisi tertentu.
[37]Definisi
musuh di sini adalah negara lain yang melakukan penjajahan atau penyerangan
serta melanggar perjanjian yang disepakati bersama. Bukan sesama anak bangsa
Indonesia yang melakukan penyerangan terhadap umat Islam. Dalam lingkup
Indonesia, apabila umat Islam diserang terlebih dahulu oleh sesama anak bangsa
tidak perlu melakukan serangan balik. Akan tetapi cukup mempertahankan diri
seperlunya atau mencari tempat perlindungan sambil meminta bantuan pihak
berwenang. Bagaimanapun, yang berwenang melakukan “serangan balik” melalui
peringkusan terhadap pelaku kekerasan ialah aparat keamanan yang diakui oleh
Undang-undang Indonesia.
[38]Selain itu untuk mengobarkan semangat
jihad pada generasi muda, selama masa damai maka energi “jihad” digunakan untuk
hal-hal yang lain. Misalnya, untuk menuntut ilmu pengetahuan umum dan untuk
kegiatan yang lainnya sehingga peradaban Islam bisa terbangun dengan utuh dan
sesuai dengan jalan ajarannya. Artinya, umat Islam tidak perlu menggunakan cara
kekerasan sebagai reaksi dari agresifitas pemikiran nyleneh di luar Islam. Baru ketika unsur di negara lain yang
melakukan agresifitas fisik terhadap tumpah darah Indonesia, maka umat Islam
berkewajiban untuk melakukan pembelaan dengan reaksi fisik pula (kekerasan)
bila diperlukan.
[39]Generasi muda umat Islam harus
mendapatkan perhatian besar dalam dunia Pendidikan. Bagaimanapun mereka adalah
penerus generasi umat Islam untuk menciptakan peradaban yang lebih unggul dari
sebelumnya. Mereka harus dibekali cara
untuk menangkal diri dari tindakan-tindakah konyol seperti aksi terorisme,
tindak kriminalitas, praktek asusila, irasionalitas, dan hidup dalam
ketidaksadaran (ketidakpastian). Namun kenyataannya, masyarakat Islam kurang
peduli terhadap masa depan mereka terutama dalam aspek pendidikannya. Lihat, Hammad, “Bagaimana Mengatasi
Terorisme,” hlm. 114.
[40]Menurut J. Post (1986) sebagaimana yang
dikutip oleh Post bahwa Individu yang mengalami gangguan kepribadian akan salah
dalam mengkonsep diri, sehingga tidak pernah benar dalam mengintegrasikan
bagian-bagian baik dan buruk dari dirinya. Yang ada hanyalah konsep yang
terbelah, yaitu “aku” dan “bukan aku.” Seorang individu dengan konstelasi ini
mengangagap ideal dan mengagumkan kepribadiannya sendiri, serta membelah dan
memproyeksikan semua kelemahan hanya pada individu (kelompok lain). Individu
yang sangat percaya pada mekanisme pembelaan dan eksternalisasi ini mencari
sumber permasalahan dan kesulitan bukan dari dalam dirinya sendiri tapi di luar
diri. Dengan demikian, tipe individu seperti ini butuh musuh di luar dirinya
untuk dijadikan objek kesalahan. Lihat,
Post, “Psiko-logika Teroris: Perilaku,” hlm. 30.
[41]Nilai-nilai dasar
kelompok teroris menekankan pada kelanggengan kekerasan dan condong memilih
keputusan-keputusan yang lebih berisiko. Menurut Janis sebagaimana yang dikutip
Post, bahwa kelompok teroris telah menunjukkan identitas “nilai dasar
kelompok,” di antaranya sebagai berikut: (a) Ilusi-ilusi tentang kesaktian yang
mengakibatkan optimisme berlebihan dan pengambilan resiko yang terlalu besar.
(bila dikontekskan sekarang adalah adanya ilusi tentang ganjaran mendapat
bidadari di surga) (b) Moralitas kelompok yang harus dijunjung. (c) Presepsi
tunggal tentang musuh sebagai pihak yang bersalah (sebagai setan) (d) Terorisme
sebagai tantangan bagi anggota kelompok untuk
melaksanakan tugas suci “terorisme” sebagai keyakinan kunci. Lihat, Ibid., hlm. 42.
[42]Wahid, dkk. Kejahatan Terorisme: Prepektif,
hlm. 41-42.
[44]Robert Bogdan & Steven J. Taylor.
”Kualitatif (Dasar-Dasar Penelitian)”, dalam Kualitatif, ed. A.
Khozin Afandi. (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), Vol. 1, 45; Idem, ”Pengantar
Metode Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap Imu-ilmu
Sosial”, dalam Introduction to qualitative research methods: A
Phenomenological Approach to the Social Sciences,. ed Arief Furchan.
(Surabaya: Usaha Nasional, 1992), 18-19.
[45]Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), 4.
[46]Nana Sudjana & Ibrahim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2010), 7.
[47]Anselm Strauss & Juliet Corbin, “Dasar-dasar
Penelitian Kualitatif: Prosedur, Teknik, dan Teori Grounded,” dalam Basics of Qualitative Research: Grounded
Theory Procedures and Techniques, ed. M. Djunaidi Ghony (Surabaya: Bina
Ilmu, 1997), 13.
[48]Haris Herdiansyah, Metodologi
Penelitian Kualitatif: untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: Salemba Humanika,
2011), xi-xiii.
[49]Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 121.
[50]Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, Suatu Pengantar
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 113.
[51]Robert K. Yin, “Studi Kasus: Desain dan Metode,” dalam Case Study Research: Design and Methods,
ed. M. Djauzi Mudzakir (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 1.
[52]Michael Quinn Patton, “Metode Evaluasi Kualitatif,” dalam
How to Use Qualitative Methods in
Evaluation, ed. Budi Puspo Priyadi (Yogyakarta: Pustak Pelajar, 2006), 23.
[53]Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam
Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan (Malang: Kalimasada Press, 1996), 53.
[54]Herdiansyah, Metodologi
Penelitian, 76.
[55]Abdul Aziz S.R, “Memahami
Fenomena Sosial Melalui Studi Kasus,” dalam Analisis
Data Penelitian Kualitatif, ed. Burhan Bungin (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), 20.
[56]Trianto, Pengantar
Penelitian Pendidikan, 165.
[57]Herdiansyah, Metodologi
Penelitian Kulaitatif, 79.
[58]Sumadi Suryabrata, Metodologi
Penelitian (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), 80-81.
[59]Agus Salim, Teori
dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001),
93-95.
[60]Trianto, Pengantar
Penelitian Pendidikan, 199.
[61]Nusa Putra & Santi Lisnawati, Penelitian Kualitatif Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 22.
[63]Tim Penyusun, Pedoman
Penulisan Proposal disertasi & Karya Ilmiah Program Pascasarjana
(Kediri: Pascasarjana STAIN Kediri, 2012), 50.
[64]Hamidi, Metode
Penelitian, 74.
[65]Ibid., 76-77.
[66]Ariesto Hadi Sutopo & Adrianus Arief, Terampil Mengolah Data Kualitatif dengan
NVIVO (Jakarta: Kencana, 2010), 4.
[67]Sukandarrumidi, Metodologi
Penelitian: Petunjuk Praktis untuk Peneliti Pemula (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2006), 45.
[68]Imam Suprayogo & Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2001), 165.
[69]Putra & Lisnawati, Penelitian Kualitatif, 28.
[70]S. Nasution, Metode
Research: Penitian Ilmiah (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 98-99.
[71]Hamidi, Metode
Penelitian, 82-83.
[72]Nasution, Metode
Research, 99.
[73]Hamidi, Metode
Penelitian, 88.
[74]Riduwan, Metode
& Teknik Menyusun Proposal disertasi (Bandung: Alfabeta, 2010), 106.
[75]Tim Penyusun, Pedoman
Penulisan Proposal disertasi, 8.
[76] Moleong, Metodolig Penelitian Kulaitatif,
112.
[77]Tim Penyusun, Pedoman
Penulisan Proposal disertasi, 51.
[78]Yin, “Studi Kasus,” 101-103.
[79]Strauss&JCorbin, “Dasar-dasar Penelitian,” 201.
[80]Nasution, Metode
Research, 106.
[81]Arief Subiyantoro& FX. Suwarto, Metode dan Teknik Penelitian Sosial (Yogyakarta: Andi, 2007), 97.
[82]Sutrisno Hadi,
Metodologi Research 2 (Yogyakarta: Andi, 2004), 218.
[83]Deddy Mulyana, Metodologi
Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya
(Bandung: Remaja Rosdarya, 2010), 180-181.
[84]Yin, “Studi Kasus,” 125-126.
[85]Trianto, Pengantar
Penelitian Pendidikan, 268-269.
[86]Bungin, Penelitian
Kualitatif, 124-127.
[87]Sudjana & Ibrahim, Penelitian dan Penilaian, 97-98.
[88]Putra & Lisnawati, Penelitian Kualitatif, 22.
[89]Noeng Muhadjir, Metodologi
Penelitian: Paradigma Positivisme Objektif, Phenomenologi Interpretatif, Logika
Bahasa Platonis-Chomskyist-Hegelian&Hermeneutik, Paradigma Studi Islam,
Matematik Recursion-, Set-Theory&Structural Equation Modelling, dan Mixed (Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2011), 167-168.
[90]SMS Pak Taufiqurrohman,
Dosen PAI Prodi Manajemen UNP Kediri, tanggal 5 mei 2013, pukul
14:44:31.
[91]SMS Lilik Maryuningsih, Dosen PAI UNP Kediri, 10 Mei 2013
Pukul 10:09:22 WIB.
[92]Noeng Muhadjir, Metodologi
Penelitian (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1994), 104.
[93]Trianto, Pengantar
Penelitian Pendidikan, 180.
[94]Patton, “Metode Evaluasi Kualitatif,” 261.
[95]Sutopo & Arief, Terampil
Mengolah Data, 9.
[96]Matthew B. Miles & A. Michael Huberman, “Analisis
Data Kualitatif: Buku sumber tentang Metode-metode Baru,” dalam Qualitative Data Analysis, ed. Tjetjep
Rohendi Rohidi (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), 19-20.
[97]Miles & Huberman, “Analisis Data Kualitatif,” 20-21.
[98]Emzir, Analisis
Data Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
78-81.
[99]Bungin, Penelitian
Kualitatif, 253-254.
[100]Putra & Lisnawati, Penelitian Kualitatif, 33-35.