Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

C. Perbedaan Pembelajaran pada Pendidikan Jenjang Menengah dengan Perguruan Tinggi


Topik lain:

A. Gambaran Ideal Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum

C. Perbedaan Pembelajaran pada Pendidikan Jenjang Menengah dengan Perguruan Tinggi




Perbedaan Pembelajaran pada Pendidikan Jenjang Menengah dengan Perguruan Tinggi 

Oleh: 
Mahasiswa dipandang sebagai manusia yang sudah pada tahap pencapaian kematangan (kedewasaan) secara fisik, psikologis, dan cara berfikirnya. Mereka sudah mampu secara rasional pada dirinya sendiri dalam penentuan sikap, pengambilan keputusan, dan pengolahan terhadap resiko untuk setiap permasalahan yang dihadapi. Maka tentulah cara belajar antara di perguruan tinggi dengan di sekolah sangatlah berbeda karena berbeda pula suasana lingkungan belajar, strategi, dan bentuk tuntutan tugas-tugasnya. Selain itu yang menjadi ciri utama di perguruan tinggi adalah adanya kegiatan-kegiatan berupa pengabdian masyarakat dan penelitian ilmiah. Semua kegiatan itu diperlukan kematangan pola fikir ilmiah yang harus dimiliki mahasiswa. Lebih detailnya, mahasiswa sebagai pembelajar di perguruan tinggi punya perbedaan jenjang, usia, dan tingkatan kedewasaan berfikir yang jauh lebih matang. Apabila hal tersebut dibandingkan dengan pembelajar lain yang berada di tingkat pendidikan menengah seperti SMA, MA, SMK, dan MAK terlebih lagi pada tingkat pendidikan dasar seperti SMP, MTs, MI, dan SD atau bentuk lain yang sederajat. Hal ini selaras dengan pendapat Hisyam Zaini dkk. yang dikemukakan tentang “pembelajaran untuk mahasiswa di perguruan tinggi seyogyanya dibedakan dengan proses pembelajaran untuk siswa sekolah menengah.”[1] Oleh karena itu, sebagaimana juga disampaikan oleh Yahya Ganda bahwa sistem pembelajaran di perguruan tinggi harus dibedakan dengan sistem pembelajaran di pendidikan tingkat menengah dan dasar.[2]
Sebagai upaya pendalaman pembahasan tentang mahasiswa maka menurut Agus M. Hardjana semua pengarahan dan masukan dari Dosen kepada mahasiswa sebaiknya diolah dan dikaji penuh pendalaman (klarifikasi), serta mahasiswa seharusnya tidak sangat tergantung dan total dipengaruhi oleh pengarahan dan pemikiran Dosen.[3] Hal yang semakna disampaikan oleh E. P Hutabarat bahwa bahan atau materi pembelajaran ilmu pengetahuan umum yang disajikan oleh Dosen harus dikritisi oleh mahasiswa, yang mana bahan pembelajaran merupakan sebuah ‘fakta’ yang masih bisa berubah karena sebuah materi tersebut dilahirkan berdasarkan dari penelitian. Oleh karena itu Dosen bukan sekedar alat penyampai informasi, namun juga dilakukan penyampaian dan pemeriksaan kembali oleh Dosen terhadap dasar serta alasan kepada mahasiswa kenapa informasi tersebut harus dipercayai. Dengan asumsi mahasiswa harus aktif dalam pencarian referensi atau sumber ilmu lain yang berperan dalam peningkatan keilmuan. Walau demikian seharusnya sikap kritis dan rasional mahasiswa ini tidak menjadi sebuah ancaman bagi Dosen PAI, malah sebaliknya menjadi sebuah tantangan bagi Dosen PAI dalam pengembangan materi PAI sehingga bisa menjadi kajian keilmuan yang menarik seperti halnya ilmu pengetahuan umum.[4]
Hal tersebut hampir sama esensinya sebagaimana menurut Andreas Anangguru Yewangoe menyampaikan tentang sosok mahasiswa adalah seorang yang punya daya intelektual diharapkan mampu dalam proses pemilihan dan pemilahan ‘kebenaran’ sebuah persoalan secara kritis dan objektif. Selain itu mahasiswa dalam pergaulan sehari-hari dipandang cenderung mampu untuk penolongan seseorang dalam pengambilan jarak dengan permasalahan-permasalah dan mampu dalam pemberian solusi untuk membantu seseorang.[5] Dengan demikian mahasiswa sebagai manusia ‘ilmiah’ bisa berperilaku serta berfikir ilmiah, memiliki nalar yang kritis, logis, dan sistematis tidak hanya saat di perguruan tinggi saja namun saat lulus studi dari perguruan tinggi.[6] Oleh karena itu rasa cinta pada ilmu pengetahuan umum sekaligus ilmu pendidikan Islam secara integratif hendaknya tetap dimiliki mahasiswa setelah lulus.


[1]Hisyam Zaini, Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Center for Teaching Staff Development IAIN Yogyakarta, 2002), 4.
[2]Yahya Ganda, Petunjuk Praktis: Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan Tinggi (Jakarta: Grasindo, 2004), x.
[3]Agus M. Hardjana, Kiat Sukses Studi di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 34.
[4]E.P. Hutabarat, Cara Belajar: Pedoman Praktis untuk Belajar Secara Efisien dan Efektif. Pegangan bagi Siapa saja yang Belajar di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gunung Mulia, 1988), 115-116.
[5]Andreas Anangguru Yewangoe, “Agama dan Kerukuanan,” Buku Google, http:// books.google.co.id/books?id=SykwKPJfFKkC&hl=id, diakses tanggal 26 Maret 2013, hlm. 40.
[6]Ganda, Petunjuk Praktis: Cara, 2.




Ilustrasi perbedaan kuliah dengan Sekolah (sumber gambar rahmatalifudinran)




Baca tulisan menarik lainnya: