Topik lain:
B. Kendala yang Ditemui dalam Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum
A. Gambaran Ideal Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
B. Kendala yang Ditemui dalam Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum
B. Kendala yang Ditemui dalam Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum
1. Adanya Pandangan Negatif Mata Kuliah PAI
sebagai Pelengkap Kurikulum
Selama ini masih ditemui di beberapa
kampus PTU kurang berfungsinya mata kuliah PAI sebagai pembentuk kepribadian mahasiswa.
Artinya mata kuliah PAI hanya berfungsi sebagai mata kuliah ilmu pengetahuan
semata, yang sekedar cukup diketahui saja sebagai pengetahuan tambahan.
Akibatnya fungsi sesungguhnya dari mata kuliah PAI diambil alih dan dikelola
oleh lembaga keagamaan Islam di kampus atau di luar kampus. Baik berbentuk
kegiatan ekstrakurikuler keagamaan, kegiatan kajian di Masjid kampus maupun
luar kampus, dan kegiatan keagamaan yang dikelola secara dinamis oleh
organisasi tertentu. Dalam bentuk serta wadah lain yang mengemas PAI menyatu
dengan kehidupan sehari-hari yang semakin canggih dan modern. Hal tersebut bisa
terjadi dikarenakan kurang seriusnya pihak berwenang dalam pengelolaan dan
peningkatan kualitas sistem pembelajaran PAI. Baik dari segi peningkatan kualitas
Dosen, fasilitas, tujuan, strategi, manajemen, dan minimnya waktu pembelajaran.
Dengan
demikian wajar jika ada pandangan bahwa mata kuliah PAI dianggap sebagai mata kuliah kelas dua atau hanya sebagai
pelengkap serta hiasan dalam kurikulum di PTU semata. Pandangan sinis tersebut
hadir bisa jadi karena mata kuliah tersebut tidak berfungsi dan bermanfaat
nyata yang terwujud bagi kampus atau masyarakat modern sekarang ini. Sebagaimana menurut Mastuhu pada kenyataannya “PAI
masih menempati posisi pinggiran, teralienasi,... Selain itu, mata kuliah PAI
bukanlah mata kuliah keahlian, tetapi ia hanya merupakan mata kuliah umum yang
bersifat melayani.” Lebih spesifik dijelaskan
pengembangan dan pengimplementasian IPTEK dalam perilaku keseharian
kurang dikaitkan dengan nilai-nilai luhur agama. Artinya belum ada kemampuan
dalam pengembangan teori atau konsep keilmuan yang benar-benar murni bersumber
pada ajaran–ajaran atau nilai Islam.[1]
Masalah lain dalam PTU adalah masih ditemui mahasiswa Islam yang lebih terfokus pada pendalaman ilmu pengetahuan umum sehingga terjadi pengabaian ilmu pengetahuan agama yang tersedia pada mata kuliah PAI. Tentulah Dosen mata kuliah PAI sebagai pendidik dituntut punya peran utama dan sangat penting terhadap perencanaan, pengontrolan, dan pengevaluasian sistem pembelajaran PAI di PTU. Apabila sebuah sistem pembelajaran PAI tidak direncanakan secara matang yang dilandaskan pada karakter, latar belakang, minat, dan tingkat pemahaman mahasiswa terhadap agama Islam maka akan sulit untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Selain itu jika orientasi mahasiswa untuk berkuliah dan hasil yang ingin dicapainya adalah hanya untuk kesuksesan duniawi semata maka dikawatirkan berpotensi mengabaikan mata kuliah PAI yang dipandang cenderung melangit.
Lebih gamblang
sebagaimana sikap kritis Muhaimin tentang sistem pembelajaran PAI di lembaga
pendidikan umum yang mana masih terdapat titik lemah terletak pada komponen
metodologinya. Kelemahan tersebut teridentifikasi yang meliputi kurang bisa
diubahnya pengetahuan agama yang kognitif menjadi ‘makna’ dan “nilai”, kurang
bekerja sama dan berjalan bersama dengan program-program pendidikan non agama,
dan kurang adanya relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat
atau kurang ilustrasi konteks sosial budaya.[2] Dengan
demikian dapat disimpulkan pembelajaran PAI dipandang masih kering dengan
makna, tidak membumi dengan ilmu pengetahuan, dan tidak kontekstual dengan
kondisi masyarakat. Padahal sesungguhnya ruang lingkup pembelajaran PAI itu
sangat luas, tidak boleh diambil secara parsial, dan harus dijabarkan secara
umum terlebih dahulu.
2. Potensi Disharmonisasi antar Mahasiswa Islam
Rata-rata
mahasiswa Islam yang masuk ke PTU berasal dari sekolah umum, masih jarang ditemui
mahasiswa Islam di PTU yang punya bekal ilmu agama secara mendalam dan memadai misalnya
yang berasal dari pondok pesantren. Jikapun ada pasti sangat sedikit dan itupun
tidak menutup kemungkinan budaya serta ajaran agama yang ia dapat dari jenjang
pendidikan sebelumnya akan tergerus dengan budaya mahasiswa Islam lainnya. Akan
tetapi jika dilihat dari kecenderungan atau keterpihakan mahasiswa kepada
organisasi Islam tertentu misal NU, Muhammadiyah, Persis, Wahidiyah, HTI, LDII,
dan sebagainya maka mahasiswa satu dengan yang lain sangat beragam. Perbedaan
tersebutlah yang bisa menjadi potensi disharmonisasi antar mahasiswa Islam.
Ditambah lagi perbedaan organsiasasi kemahasiswaan yang mereka ikuti baik
organisasi ekstra semisal GMNI, PMII, IMM, HMI, KAMMI, dan sebagainya maupuan
organisasi intra semisal UKM, Himpunan Mahasiswa Fakultas maupun prodi, dan
BEM.
Afiliasi
organisasi keagamaan yang dijadikan rujukan bagi mahasiswa biasanya diperoleh
dari orang tua dan ulama yang menjadi otoritas penentu hidupnya. Atau bisa jadi
dari organisasi maupun kegiatan kepemudaan yang ia ikuti sebelum mahasiswa
aktif dalam perkuliahan. Kenyataan yang
sangat sulit sekali untuk dirubah apalagi jika fanatisme tersebut sudah melekat.
Bahkan sebagaimana menurut Yusuf Qardhawi bisa berubah menjadi
fanatisme yang tercela, yaitu menganggap dirinya yang paling benar dan yang
lain sebagai yang salah.[3] Yang bisa dilakukan adalah menyandingkan fanatisme (dalam cara
beribadah dan loyal pada organisasi keagamaan) tersebut dengan gaya, perilaku,
atau pola hidup yang peduli pada keberagaman (ukhuwah Islamiyah). Dengan kata lain tidaklah benar sebuah
fanatisme organisasi keagamaan dilawan atau dirubah melalui fanatisme yang
lainnya.[4] Kecuali salah satu kasus tertentu pada mahasiswa terjadi kelunturan
fanatisme maka yang luntur tersebut akan terseret pada fanatisme yang lebih kuat, atau paling tidak akan
berada di antara tengah-tengah fanatisme organisasi keagamaan.
Sedang
dari segi cara, kedalaman, serta tingkat atau intensitas menjalankannya maka
mahasiswa Islam terbagi ke dalam kecenderungan radikal, liberal, maupun
akomodatif. Bahkan walaupun mengaku beragama Islam dimungkinkan juga mahasiswa
berpandangan dan berperliaku sekuler dalam kehidupan nyata. Salah satu
kendalanya adalah saat terjadi perdebatan yang tak ada manfaatnya kecuali untuk
berlatih debat di dalam kelas pada pembelajaran PAI. Lebih mengkhawatirkan lagi
adalah hal tersebut bisa menyebabkan friksi dan pengkotak-kotakan antar
mahasiswa Islam satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, perlu cara yang
tepat agar bisa meminimalisir dampak dari perbedaan tersebut. Idealnya
mahasiswa lebih mengutamakan intelektualitas, cara yang etis, kecerdasan
emosional, dan kecerdasan berfikir dalam meminimalisir bahkan meniadakan dampak
tersebut.
Apabila
ditinjau dari minat, asal daerah, dan presepsi dalam beragama oleh mahasiswa Islam
di PTU maka bisa dikatakan juga sangat heterogen. Minat mahasiswa terhadap hoby,
kecenderungan aktivitas yang dilakukan, kegiatan ekstrakurikuler, dan
organisasi dimungkinan mempengaruhi minat mahasiswa dalam mengikuti mata kuliah
PAI. Asumsinya jika ada kegiatan organisasi atau kegiatan lain yang dipandang
mahasiswa lebih penting daripada mata kuliah PAI maka yang terjadi adalah bolos
kuliah, tidak mengerjakan tugas, dan datang terlambat. Tentu hal tersebut akan
mengganggu bagi mahasiswa lain yang ingin serius mendalami agama Islam dalam
mata kuliah PAI.
Padahal sudah menjadi pemahaman bersama bagi umat Islam bahwa kenyataan perbedaan tersebut tak dapat dipungkiri karena itu meruapkan sunattulah, sesuatu yang tidak bisa dihindari (given). Di mana salah satu fungsinya hadir sebagai sarana ujian bagi manusia dari Allah SWT. Namun alangkah lebih baik jika mahasiswa Islam semakin lebih dewasa dan lebih berfikir rasional menyikapi perbedaan tersebut. Mahasiswa Islam dan kaum akademisi Islam lain di kampus sepatutnya menjadi contoh keharmonisan intern umat beragama Islam dalam tatanan kehidupan sosial bagi masyarakat luas. Tidak ada manfaatnya mempermasalahkan kandungan agama Islam mana yang paling benar dari organisasi keagamaan Islam dan mana yang perlu diperbaiki atau diperbarui. Karena itu merupakan hak dan prifasi individu untuk memilih organisasi keagamaan mana yang ia jadikan panutan. Tentu senyampang dalam organisasi tersebut tidak ada unsur-unsur penodaan, penyelewengan, dan penghinaan terhadap agama Islam.
Sebagaimana
menurut Ahmad Muflih Saefuddin bahwa tidak perlu mengadakan pembaharuan
terhadap ajaran Islam karena Islam telah sempurna dengan sendirinya. Justru
yang harus diperbarui adalah sikap dan pandangan manusia terhadap agama, yaitu
kemalasan dan kekurangan yang dimiliki
manusia. Serta bukan dinamika al-Quran yang dipertanyakan dalam menghadapi
tantangan zaman, namun dinamika umat Islam dalam memahami al-Quranlah yang
harus dimulai dan tidak boleh pernah berhenti sepanjang zaman.[5] Oleh karena itu mahasiswa sebagai manusia
yang berpengetahuan tinggi dan mendalam dalam bidangya sepatutnya bisa
menggunakan logikanya untuk menjaga keharmonisan intern umat Islam. Tidak
menikmati kesibukan diri pada perdebatan tentang persoalan lateral (teks)
seperti masalah Qunut pada sholat subuh, dua azan pada Sholat Jum’at, dan
sebagainya sehinggat umat Islam lalai pada masalah yang sangat penting dan
besar.[6]
Lebih jauh diharapkan mahasiswa Islam tidak disibukkan pada permasalahan perbedaan dan disibukkan
menjelekkan organisasi agama Islam lain. Namun kewajiban mahasiswa Islam adalah
untuk sibuk pada pengembangan IPTEK dengan berbagai cara yang dilandaskan pada
nilai-nilai agama Islam.
Perbedaan
bisa menjadi ajang untuk bersaing dalam kebaikan, bukan bersaing untuk saling
klaim mana yang benar dan mana yang salah. Ataupun persaingan untuk saling
menyebarkan api permusuhan serta pendoktrian untuk menjauhi kelompok mahasiswa
Islam tertentu. Persaingan yang diharapkan adalah misalnya organsiasi atau
kelompok mahasiswa Islam saling berkompetisi meraih prestasi dalam bidang
pengembangan ilmu pengetahuan. Perbedaan tersebut juga bisa menjadi ajang untuk
memberikan warna bagi kampus sehingga gesekan dan dinamisasi bisa berjalan. Dengan
demikian dibutuhkan peran sistem pembelajaran PAI yang integral dan kepedulian kampus
agar disharmonisasi ini bisa diminimalisir.
Fenomena
tersebut di atas merupakan tugas berat Dosen PAI. Sebagaimana
dari hasil penelitian dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI[7]
bahwa sistem pembelajaran Pendidikan Agama (bukan hanya agama Islam) punya
pengaruh terkecil terhadap toleransi beragama pada mahasiswa. Hal tersebut jika
dibandingkan dengan komponen lain misalnya adalah lingkungan pendidikan secara
luas maka memiliki pengaruh langsung
maupun tidak langsung yang lebih besar terhadap toleransi beragama.[8]
Selain itu juga berdasar hasil penelitian Kasinyo Harto di Universitas
Sriwijaya Palembang dari hasilnya ditunjukkan di sana terdapat beberapa
organisasi gerakan keagamaan ekstra kampus yang pendekatannya pada kajian
keagamaan lebih cenderung bernuansa normatif-doktriner. Pendekatan tersebut
dibangun atas norma-norma keagamaan (Wahyu) dengan pola top down dan deduktif tanpa keterlibatan pertimbangan nalar,
konteks historis, sosial, dan kenyataan-kenyataan yang hidup di masyarakat.[9]
Dapat disimpulkan bahwa nampak dari hasil penelitian tersebut terjadi pola
fikir dan tindakan mahasiswa yang ekslusif (tertutup) dari ‘kebenaran’ lain
yang harus dihormati dan atas realitas keadaan masyarakat.
Ekslusifisme menurut catatan penulis
tidak hanya berhak disandang bagi mereka yang oleh sebagian kalangan disebut
sebagai aliran Islam radikal (fundamental). Esklusifisme dapat juga terjadi
pada golongan liberal maupun yang akomodatif. Artinya sikap ekslusif tidak
hanya disandang oleh satu golongan saja namun siapapun dan dari golongan
manapun bisa berpeluang menjadi ekslusif. Dapat disimpulkan arti ekslusifisme
adalah menutup diri dari ‘kebenaran’ lain dan kenyataan di luar. Serta
menganggap pendapat, aliran, dan paham dirinyalah yang paling benar dengan
merendahkan golongan lain. Bukankah Allah hanya mengakui satu kebenaran saja
tidak lain dan tidak bukan yaitu Islam yang telah menjadi kesepakatan bersama
bagi umat Islam. Serta bukankah Allah tidak memandang orang dari golongan,
asal-usul, suku, dan dari manapun maupun dari siapapun ilmu dan pendapatnya diperoleh.
Allah SWT semata-mata membedakan umat Islam antara satu sama lain adalah pada
tingkat ketaqwaannya hanya untuk-Nya.
Dari penjelasan tersebut maka tidaklah
relevan terjadi pengkotak-kotakan terhadap umat Islam didasarkan pada golongan,
organisasi, dan presepsinya tentang Islam. Tetapi memandang umat Islam
didasarkan pada tingkat ketaqwaannya, siapa yang paling taqwa maka dialah yang
harus dijadikan teman dan rujukan dalam berkehidupan. Taqwa di sini tidak hanya
dalam artian rajin beribadah saja, namun punya tingkat ketakutan, ketundukan,
ketaatan, dan kepatuhan yang tinggi kepada Allah SWT. Tidak hanya untuk urusan
akhirat namun juga urusan dunia, karena keduanya tak dapat dipisahkan. Untuk
urasan dunia tentu disesuaikan dengan kemampuan, minat, peluang, dan bidang
masing-masing. Misalnya ketaatan kepada Allah untuk mendidik generasi bangsa yang
unggul dengan cara menjadi Dosen atau guru, ketaatan kepada Allah untuk
mengembangkan keilmuan dengan cara melakukan penelitian maupun menulis buku,
dan ketaatan untuk berusaha menjadi orang yang kaya agar bisa bersedekah pada
orang lain.
Melihat hasil dari temuan penelitian di
atas tadi menunjukkan salah satu komponen dari sistem pembelajaran Pendidikan
Agama termasuk Pembelajaran PAI belum berjalan secara integral. Misalnya
komponen tujuan dalam sistem pembelajaran belum diarahkan atau ditekankan pada
pentingnya bertoleransi agama yang baik dan benar. Salah satu contohnya bertoleransi
yang Islami adalah menjadi muslim yang kuat sebagai pelindung non muslim yang lemah. Atau bisa jadi menjadi muslim
yang mayoritas untuk pengayom terhadap minoritas dan menjadi muslim yang kokoh
sebagai penjaga non muslim yang rapuh. Dan juga tentunya toleransi kepada
sesama umat Islam sendiri yang punya perbedaan pandangan terhadap ajaran Islam.
Dengan demikian ke depannya diharapkan tidak ada mahasiswa Islam yang berpola
fikir ekslusif menganggap dirinya paling benar dan unggul. Serta tidak ada
mahasiswa Islam yang melakukan syiar Islam tanpa memasukkan semangat dan cinta pada
pembangunan peradaban. Tidak ada lagi mahasiswa Islam yang radikal secara buta
tanpa pendalaman teks dengan konteks masyarakat secara bersamaan. Maupun yang
fanatik pada sesuatu, waktu, serta tempat yang salah.
3. Mahasiswa Islam Diidentikan dengan
Demonstrasi
Demonstrasi merupakan informasi yang memuakkan bagi
masyarakat untuk ditonton, bagaimana tidak sebuah stasiun televisi rating
program beritanya bisa merosot jika menyiarkan demonstrasi mahasiswa.[10]
Inilah kenyataannya, banyak mahasiswa Islam yang turun ke jalan untuk
berteriak, berteater, menyebarkan selebaran, dan membuat pertunjukkan lain yang
bisa memancing perhatian publik saat berdemo. Padahal idealnya demonstrasi
adalah jalan terakhir yang ditempuh ketika semua jalan sudah buntu. Tukang sayur,
tukang becak, pedagang asongan, buruh, atau bahkan anak SD pun bisa melakukan
demonstrasi. Masih banyak jalan yang bisa ditempuh sebelum demontrasi
dilakukan. Hal ini bisa menjadi petaka bagi mahasiswa Islam, seharusnya
permasalahan bisa diselesaikan dengan jalan lain tapi jalan pertama yang
dipilih adalah demonstrasi. Jalan lain yang bisa dilakukan misalnya membuat
tulisan di media yang sah dan ada penanggung jawabnya seperti buletin, blog,
majalah, buku, maupun koran. Atau dilakukan pelobian dan negoisasi terlebih
dahulu untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang ditemui. Mahasiswa
Islam dituntut lebih kreatif dan cerdas dengan berbagai cara yang dipandang
cara itu halal menurut Islam dalam menyampaikan aspirasi tidak hanya melalui
unjuk rasa atau demonstrasi.
Demonstrasi erat kaitannya dengan organisasi ekstra maupun intra kampus yang diikuti oleh mahasiswa Islam. Biasanya permasalahan yang diangkat tentang politik, ekonomi, moralitas, sosial, kebijakan, dan pendidikan. Dengan dalih untuk membela kaum tertindas, membela rakyat kecil, membela moralitas, dan membela agama. Sebagai calon ilmuwan yang beragama Islam idealnya para mahasiswa Islam di PTU lebih mengutamakan dan fokus dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam jangka panjang pengembangan IPTEK akan jauh bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara langsung dari pada kegiatan demonstrasi yang sering dilakukan. Dengan demikian PAI sebagai mata kuliah di PTU dapat dikatakan berfungsi dengan optimal apabila pengembangan kepribadian mahasiswa bisa menuju arah yang diidamkan oleh masyarakat (bermanfaat langsung bagi masyarakat) serta tentunya sesuai ajaran agama Islam.
[1]Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,” 30-31.
[2]Muhaimin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam: di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali,
2012), 27.
[3]Yusuf al
Qardhawi, “Islam Radikal (Analisis terhadap Radikalisme dalam Berislam dan
Upaya Pemecahannya),” dalam Ash-Shahwah
Al-Islamiyah bain Al-Juhud wa At-Tatharuf, ed. Hawin Murtadho (Solo: Era
Intermedia, 2004), 41.
[5]Ahmad Muflih Saefuddin, “Pembaharuan
Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar,” dalam Percakapan
Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung:
Mizan, 1991), 15.
[7]Penelitian dilakukan tahun 2010
pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri (PTUN) yang ternama di Indonesia yaitu
UDAYANA, UNDANA, UNHAS, UI, UNDIP, UNPAD, dan UGM.
[8]Badan
Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Toleransi
Beragama Mahasiswa (Studi Tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan
Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap
Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Negeri Umum Negeri) (Jakarta:
Maloho Jaya Abadi, 2010), 139.
[9]Kasinyo
Harto, Islam Fundamentalis di Perguruan
Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang (Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2008), xvii.
[10]Rangga Umara, Produser MetroTv Jatim pada
Workshop “The Power of Writing: Pena
lebih Tajam daripada Pedang,” 07 Pebruari 2014 di Perpustakaan lantai 3 ITS
Surabaya.
Problem Analysis Solution (Sumber gambar oknusantara) |