Topik lain:
A. Gambaran Ideal Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
Gambaran Ideal Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
Oleh:
A. Rifqi Amin
Pemberian dan pengelolaan mata kuliah Pendidikan Agama
Islam (PAI) secara baik dan setara dengan mata kuliah lain di Perguruan Tinggi
Umum (PTU) adalah hak bagi setiap mahasiswa Islam. Hal tersebut karena menjadi
kewajiban bagi perguruan tinggi untuk memuat pendidikan agama termasuk Agama
Islam pada kurikulumnya. Pernyataan tersebut sesuai dengan amanat Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam
BAB V mengenai Peserta Didik pada Pasal 12 Ayat 1 yang diamanatkan “setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (a) mendapatkan pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang
seagama,.” Serta diacukan pada BAB X tentang Kurikulum pada Pasal 37 Ayat 2
dinyatakan “kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan agama; b.
Pendidikan kewarganegaraan; c. Bahasa.”[1]
Sedang
dari tinjauan fungsi maka PAI di PTU merupakan mata kuliah yang sangat penting
bagi pembentuk kepribadian dan karakter mahasiswa. Dengan demikian diharapkan
tujuan utama PAI dalam PTU tidak hanya terfokus pada pemprosesan mahasiswa dari
yang belum paham tentang agama dijadikan lebih paham. Atau dari yang belum
mampu dalam penerapan beragama dijadikan lebih mampu, serta dari yang belum
taat dalam penerapan keagamaan menjadi lebih taat. Namun lebih dari sekedar
itu, PAI adalah penanaman nilai-nilai keislaman secara utuh dan universal oleh
diri mahasiswa. Selain itu PAI juga punya peran dalam penanaman nilai-nilai
karakter yang dinyatakan dengan perilaku melekat sehingga menjadi pedoman
hidup. Bukan hanya pedoman hidup dalam beribadah secara normatif, namun juga
pedoman hidup dalam arti yang luas terutama ketika menghadapi berbagai permasalahan
kehidupan yang semakin dinamis dan kompleks.
Pernyataan tersebut hampir sama subtansinya menurut Mohammad Ali sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam pada tahun 2009 disampaikan bahwa:
“adakah Islam dikaji sebagai objek keilmuan
sebagaimana disiplin yang lain, ataukah Islam dijadikan rujukan pandangan hidup
ataupun akidah untuk mempelajari dan menjalani kehidupan? Yang ideal mestinya
kedua aspek itu diintegrasikan menjadi satu pendekatan yang utuh sekalipun pada
prakteknya banyak kendala yang harus diselesaikan karena setiap pilihan yang
diambil akan berimplikasi pada metodologi serta target akhir yang hendak
dicapainya.”[2]
Dari penjelasan
di atas maka dapat disimpulkan bahwa idealnya materi pembelajaran PAI di PTU
diintegrasikan dengan mata kuliah lain agar PAI bisa berfungsi sebagai rujukan
pandangan hidup maupun mempelajari dan menjalani kehidupan. Oleh karena itu
pengembangan materi PAI hendaknya harus disesuaikan dengan prodi yang dipilih
mahasiswa. Dengan artian Dosen aktif dalam pemberian materi wawasan dan pedoman
pada mahasiswa yang muatannya selaras dengan program studinya. Lebih rincinya Dosen
PAI dituntut untuk memahami secara umum berbagai materi ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan prodi yang dikembangkan dari penjelasan atau arahan Dosen mata
kuliah lain.
Memang dari tinjauan ajaran dan kandungannya, materi PAI
lebih banyak bersifat dogmatis dan statis dari zaman Nabi Muhammad hingga
kiamat. Belum lagi jika ditambahi dengan pengaruh-pengaruh tertentu dari salah
satu golongan atau paham tentang keagamaan Islam, maka doktrinasi dan penanaman
nilai menjadi bertambah kuat serta radikal. Namun demikian semangat serta cara
perjuangan dan penyebarluasan syiar Islam tidak bersifat statis melainkan
dinamis, luwes, dan universal. Oleh karena itu diharapkan sistem pembelajaran
PAI terutama untuk materi pembahasannnya bisa disandingkan dengan laju modernitas.
Salah satu gagasannya menurut Wina Sanjaya adalah dengan cara dikaitkannya (adanya
rajutan) interaksi antara materi (muatan kurikulum) dan pendidik (Dosen) PAI
dengan materi maupun Dosen non-PAI dan sarana prasarananya.[3]
Dari
penjelasan di atas tersebut pada konsep ideal seharusnya materi perkuliahan
agama Islam juga bersentuhan dengan aspek rasional yang dikaitkan erat
relevansinya pada kebutuhan-kebutuhan modernitas yang menjadi konsekuen
bersama. Namun pada kenyataannya materi agama Islam masih lebih banyak
menyentuh aspek tradisional yang dogmatis dan aspek ritualnya saja sehingga
kehadiran mata kuliah PAI menjadi kajian membosankan, tidak hidup, dan tidak
menantang. Padahal hasil atau kompetensi yang dicapai dari aspek tradisional
tersebut tidak dapat dinilai atau dijelaskan dengan kata-kata atau tulisan,
namun hanya dapat dijelaskan dengan perbuatan dan amalan. Selain itu materi PAI
di PTU dengan 2 SKS pada umumnya dianggap terlalu minim dan tidak mencukupi
sehingga Dosen dipaksa untuk cerdas dalam pemilihan aspek materi agama,
metodologi, dan mantap dalam pengamalannya.[4]
Adapun ditinjau dari pendidiknya maka pendidik PAI tidak
hanya sebagai penghakim tentang benar dan salah. Ataupun sebagai pembimbing
peserta didik dalam perjalanan belajar dan sebagai perpanjangan tangan
ilmu-ilmu atau ajaran dari para ulama pendahulu saja. Namun pendidik dalam
Islam merupakan pewaris para Nabi, tidak hanya pewaris ilmu-ilmu Nabi tapi juga
pewaris sifat-sifat Nabi. Diantaranya yaitu patut menjadi contoh dalam
kepemilikan semangat perjuangan terhadap agama Islam (bukan perjuangan dengan
paksaan dan kekerasan namun dengan cara kelembuatan dan kasih sayang). Serta
memberikan pendidikan terhadap umat dengan semangat pembaruan untuk menjadi
yang lebih baik dalam segala bidang dari pada hari kemarin (mendobrak tatanan
yang mapan untuk kemajuan umat). Oleh karena itu dalam upaya pembaruan dan
pengembangan PAI di PTU terlebih dahulu perlu diadakan pendalaman serta
penelitian tentang bagaimana kinerja dari tatanan sistem pembelajaran PAI di
PTU.
Pada
pembahasan lain yang lebih mendalam maka sistem pembelajaran PAI pada kurikulum
di PTU dapat diumpamakan sebagai salah satu dari beberapa tatatan sistem pada
organisme (individu). Pada organisme misalnya manusia, terdapat sistem
peredaran darah, sistem pencernaan, dan sistem pernafasan. Di mana dalam
sistem-sistem tersebut terdapat organ-organ (komponen) yang memiliki fungsi adakalanya
satu sama lain saling bergantung. Begitu juga pada kurikulum di PTU yang
dipadankan dengan organisme maka di dalamnya terdapat salah satu sistem yaitu sistem
pembelajaran PAI. Di mana juga terdiri dari beberapa ‘organ’ atau komponen yang
terbentuk saling bekerja sama untuk pewujudan tujuan khusus.
Dari paparan di atas maka dapat disimpulkan sistem
pembelajaran PAI di PTU
tidak bisa berdiri sendiri, artinya
untuk diketahui sebab akibat dari hasil pembelajarannya tidak akan pernah lepas
dari sistem lainnya. Idealnya terdapat
komponen penyokong baik di dalam maupun luar sekitarnya untuk tercapainya
tujuan pembelajaran PAI. Komponen tersebut yang pertama berbentuk komponen
fisik meliputi manusia, sarana prasarana, media pembelajaran, Masjid,
laboratorium PAI, buku pedoman penyelenggaraan PAI, dan ruang khusus Dosen PAI
untuk pengembangan diri serta sarana lain yang dipandang dibutuhkan. Sedang
yang kedua berbentuk komponen non fisik meliputi latar belakang mahasiswa
Islam, kepedulian pengelola terhadap perkembangan PAI di kampus, regulasi
penyelenggaraan mata kuliah yang seimbang dengan mata kuliah lainnya, dan antusiasme
Dosen PAI untuk pengembangan diri (ikut workshop, pelatihan, seminar, ataupun
kegiatan lain yang berperan dalam peningkatan kualitas).
Selain itu beberapa hal yang tak kalah pentingnya
adalah adanya forum Dosen PAI sebagai wadah interaksi saling menguntungkan
antara kelompok Dosen PAI dengan Dosen Mata kuliah lain. Semangat dalam
menulispun hendaknya juga dimiliki oleh Dosen PAI seperti menulis buku
referensi, buku ajar, jurnal, artikel ilmiah, ataupun laporan kegiatan
penelitian keagamaan. Dengan demikian jika kriteria di atas tidak ada maka
apabila ada satu atau beberapa Dosen PAI yang mengalami ‘kegagalan’ dalam
pembelajaran itu semata-mata bukan murni kesalahan individu Dosen tersebut.
Namun bisa jadi disebabkan kerusakan interaksi antar sistem di PTU atau ketidakstabilan
pada internal kelompok Dosen mata kuliah PAI itu sendiri. Hal tersebut terjadi dimungkinkan
karena adanya pengaturan yang tidak menguntungkan terhadap pelaksanaan sistem
pembelajaran PAI.
Dari gambaran tersebut nampak sangat penting sebuah komponen maupun sistem lain dalam keberhasilan sistem pembelajaran PAI di PTU. Dimungkinkan sistem lain tersebut bisa mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung bagi sistem pembelajaran PAI. Sebagaimana dijelaskan oleh Oemar Hamalik tentang sistem pembelajaran yang efisien dan efektif di perguruan tinggi ditentukan oleh kadar perilaku awal para mahasiswanya, kualifikasi Dosen, program pendidikan, sumber material, sumber pembiayaan, dan dukungan sosial budaya masyarakat. Ditekankan pula bahwa kunci utama keberhasilahan dalam sistem pembelajaran dalam sebuah mata kuliah adalah keseriusan mahasiswanya dalam berkuliah.[5] Oleh karena itu, menjadi sebuah tanggung jawab bersama bagi seluruh sivitas Perguruan Tinggi Umum dalam kesuksesan tujuan pembelajaran mata kuliah Agama (termasuk PAI) secara moral dan untuk pembentukan masyarakat kampus yang berdasarkan “Ketuhanan yang Maha Esa.”
Bila ditinjau
dari kadar perilaku awal dan kemampuan keagamaan para mahasiswanya maka berdasarkan
acuan dari Dirjen Kelembagaan Agama Islam RI menyatakan bahwa mata kuliah PAI
yang punya tujuan secara terukur diperlukan pree
test pada awal perkuliahan. Hal ini berfungsi untuk diketahui sejauh mana
perkembangan mahasiswanya dalam belajar dan diketahui perbedaan kemampuan dan
pengetahuan mahasiswa sebelum ikut kuliah PAI dengan sesudahnya. Materi pree test meliputi pengetahuan dasar keislaman
dalam berbagai aspek seperti pembacaan al Quran, ibadah praktis, dan
pengungkapan latar belakang kehidupan keagamaan mahasiswa. Dengan demikian
hasil dari tes ini bisa digunakan untuk kebijakan pemberian materi PAI yang
berbeda antara satu mahasiswa dengan mahasiswa lain sesuai dengan hasilnya.
Artinya untuk mahasiswa tertentu diperlukan materi dan kegiatan intensif agar
bisa pada pencapaian kemampuan rata-rata sesuai dengan ketentuan kurikulum.[6]
Namun demikian idealnya hasil dari pree test-nya tidak semata-mata
dijadikan patokan utama. Melainkan yang dijadikan patokan utama adalah hasil
observasi terhadap perilaku awal mahasiswa maupun hasil dari angket penilaian
diri yang diberikan kepada mahasiswa. Observasi dilakukan saat mahasiswa
mengikuti pree test apakah melakukan
kecurangan atau tidak. Sedang untuk Angket penilaian diri dibuat dengan cara
tepat dan menggugah emosi agar mahasiswa menjawab dengan jujur, tuntas, dan
mendalam. Dengan demikian vonis terhadap mahasiswa tidaklah etis jika hanya
didasarkan pada kemampuan kognitifnya saja namun perlu dicari pengaruh lainnya
salah satunya dengan diberikan angket tersebut.
Adapun
ditinjau dari segi alokasi waktu mata kuliah PAI di PTU yang secara formal
hanya 2-3 sks (16 kali tatap muka) dan hanya pada 1 semester saja hingga wisuda
adalah alokasi yang sangat minim untuk tercapainya tujuan pembelajaran secara
umum. Oleh karena itu mahasiswa harus punya kesadaran dalam pendalaman dan
pengkajian ajaran Islam secara non formal dengan cara ikut serta berbagai
kegiatan dan diskusi keagamaan di luar jam kuliah.[7]
Dengan kenyataan seperti itu idealnya mata kuliah agama termasuk PAI selain
menjadi mata kuliah wajib untuk diikuti juga menjadi mata kuliah prasyarat.
Misalnya menjadi prasyarat bagi mahasiswa untuk bisa mengambil mata kuliah
lainnya atau menjadi prasyarat mahasiswa dalam mendapatkan fasilitas kampus.
Tentu hal ini harus mendapat kontrol ketat oleh pengelola kampus maupun forum
Dosen PAI agar tidak terjadi penyalah gunaan oleh oknum Dosen PAI untuk
kepentingan pribadi.
Dengan alokasi waktu mata kuliah PAI PTU
sangat minim tersebut maka sebagai pengimbangnya Dosen dituntut berinisiatif
dalam pemberian tugas-tugas tambahan kepada mahasiswanya. Misalnya pembuatan
resensi tentang buku agama yang terbaru dan best
seller, perangkuman buku Daras PAI dari perguruan tinggi lain yang sudah
ditentukan Dosen, dan pengajakan mahasiswa untuk ikut aktif dalam kegiatan
keagamaan di kampus. Bisa kegiatan keagamaan yang rutin, eksidental, maupun
kegiatan PHBI yang berada di dalam kampus. Cara tersebut dilakukan untuk
pengakomodasian seluruh materi PAI yang tidak bisa diberikan secara utuh dan
menyeluruh dengan waktu yang minim tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa waktu yang minim dapat disiasati dengan bentuk kegiatan-kegiatan lain
yang terkadang jauh lebih efektif jika dilakukan dalam proses pembelajaran di
dalam kelas.
Atau
cara lainnya bagi pengelola kampus adalah meskipun mata kuliah PAI dilaksanakan
pada semester pertama atau kedua (tahun pertama) namun hasil penilaiannya
diberikan pada semester ke enam atau sampai pada semester terakhir (untuk
program pendidikan Sarjana/S1). Asumsinya Dosen PAI terus memberikan pengawasan
dan penilaian kepada mahasiswanya sampai pada tahap akhir penilaian. Dengan demikian
nilai akhir mata kuliah PAI dihasilkan atau disimpulkan dari perkembangan
mahasiswa mulai dari saat mengikuti mata kuliah PAI hingga pada semester akhir.
Tentu Dosen PAI tetap memberikan pengawasan dan penilaian secara
berkesinambungan kepada mahasiswa selama mereka mengikuti mata kuliah PAI pada
semester awal hingga semester terakhir. Alasanya adalah agar mahasiswa terpacu
untuk menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan
didasarkan dari ilmu yang ia peroleh dari mata kuliah lain. Artinya Dosen mata
kuliah lain juga memiliki peran (informan) dalam memberikan masukan terhadap
penilaian mata kuliah PAI apakah dalam perkembangannya mahasiswa telah
menjalankan nilai ajaran Islam dalam mengembangkan IPTEK atau tentang aspek
lainnya.
Dari semua pembahasan di atas disimpulkan
materi PAI dikampus tidak hanya berhenti pada wilayah retorika saja namun juga pada
aspek penerapannya, artinya antara teori dengan aksi tidak dapat dipisahkan.
Karena PAI adalah sebagai alat indikator untuk diketauhi sejauh mana
pelaksanaan ajaran agama dengan benar (bukan dari segi cara ibadahnya, tapi
melakukan ibadah atau tidak) yang telah dilakukan oleh mahasiwa.[8]
Dapat dikatakan PAI bukanlah sebuah kajian ilmu pengetahuan sebagai tambahan
wacana untuk pengkajian yang bisa dipelajari oleh siapapun termasuk oleh Non
Muslim. Namun PAI adalah pedoman pelaksanaan bagi umat Islam untuk menjalankan
hidup, mengembangkan kehidupan, dan memberikan solusi permasalahan kehidupan.
Artinya PAI dikhususkan hanya untuk orang yang beragama Islam saja dalam
konteks buku ini adalah mahasiswa yang beragama Islam untuk benar-benar
diterapkan dan dimanfaatkan dalam dunia nyata sehari-hari.
Sebagaimana menurut Muahimin terjadi banyaknya korupsi di pemerintahan dan adanya plagiarisme dalam dunia pendidikan tidak selaras dengan PAI. Oleh karena itu fenomena tersebut menuntut pada mata kuliah PAI untuk menjadi motivasi bagi mahasiswa sebagai pencetus pembangunan masyarakat yang memiliki nilai amanah (turst) tinggi. Mahasiswa sebagai generasi penerus dituntut dalam pembentukan masyarakat madani tersebut, yaitu masyarakat yang memiliki pribadi yang cerdas, berakhlak mulia, mandiri, dan bekerja sama dengan orang lain dalam penciptaan masyarakat yang sejahtera dan penuh sikap amanah.[9] Lebih jauh lagi diharapkan menjadi sarjana muslim yang mampu dalam pengamalan ilmu dan keterampilannya sesuai dengan ajaran Islam (Q.S Ibrahim: 24-27).[10]
Berangkat dari semua penjelasan di atas maka dapat
digambarkan pola interaksi yang ideal antara sistem pembelajaran PAI dengan
sistem di sekitarnya pada PTU sebagai berikut:
Gambar 4.8. Pola Interaksi Ideal antara Sistem
Pembelajaran PAI dengan sistem lain di
PTU
Sebagai penjelas dari gambar di atas idealnya
beberapa Dosen PAI di PTU diklasifikasikan
menurut bidang kemampuan, minat, dan kecenderungan cocok untuk di
tugaskan di bidang mana saja. Misalnya ada satu maupun beberapa diberi tanggung
jawab sebagai pedamping, pengawas, atau pembina ekstrakurikuler keagamaan. Sedang
yang lain ditugaskan untuk mengadakan dan mengontrol sarana-prasarana serta
media pembelajaran PAI. Bidang lainnya yang biasanya dihindarai para Dosen PAI
karena cukup berat adalah mengadakan penelitian, menulis buku untuk digunakan
bersama, dan menyusun draf buku pedoman penyelenggaraan PAI. Namun demikian
apapun bidang ataupun tugas Dosen PAI yang dibagi ke dalam berbagai jenis
tanggung jawab tersebut, sesungguhnya kerjasama dan keharmonisan antar Dosen
PAI adalah modal terpenting. Salah satu cara untuk menjaga keharmonisan adalah
dibentuknya forum Dosen PAI, yang juga bisa dimanfaatkan sebagai alat
‘interaksi’ untuk menjalin kerja sama dengan Dosen mata kuliah lain.
[1]Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya,
Jakarta: Cemerlang, 2003.
[2]M. Abduh Malik, dkk., Materi Pembelajaran Mata Kuliah: Pengembangan Kepribadian Pendidikan
Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Departemen Agama Dirjen
Pendidikan Islam, 2009), v.
[3]Wina
Sanjaya, Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2008), 5.
[4]Mastuhu,
“Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan
Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 31.
[5]Oemar
Hamalik, Manajemen Belajar di Perguruan
Tinggi: Pendekatan Sistem Kredit Semester (SKS) (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2003), 6.
[6]Dirjen
Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Pelaksanaan
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam, 2003), 34.
[7]Wahyudin
dkk., “Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi,” Buku Google, http://
books.google.co.id/books?isbn=9790258623, diakses tanggal 26 Maret 2013, hlm. x-xi.
[8]Azyumardi
Azra, dkk., Buku Teks Pendidikan Agama
Islam pada Perguruan Tinggi Umum, ed. Muharam Marzuki&Zulmaizarna (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi
Agama Islam Depag RI, 2002),
viii.