Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbasis Nirkekerasan: Perspektif Interdisipliner

Makalah ini telah diedit hingga layak untuk diterbitkan ke dalam Jurnal ILMIAH. Untuk membuka link jurnla tersebut silakan anda klik  judul ini PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMAISLAM BERBUDAYA NIRKEKERASAN: PERSPEKTIF INTERDISIPLINER

Topik lain:


PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS NIRKEKERASAN: PERSPEKTIF INTERDISIPLINER

 Oleh: A. Rifqi Amin
BAB I
Pendahuluan

1.    Latar Belakang Masalah
Agama[1] dan kekerasan seakan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam keduanya terjadi hubungan yang erat, entah itu direstui[2] atau tidak. Pandangan yang lebih esktrim, agama dituding sebagai penyemangat dan pengobar terjadinya kekerasan. Bahkan tanpa rasa bersalah, dikatakan kelahiran dan perkembangan agama-agama sejatinya tidak lepas dari yang namanya kekerasan. Intinya, agama dituding gagal membawa misi perdamaian bagai umat manusia. Agama difungsikan tidak lebih sebagai alat pencari “kenikmatan” atau kepuasan[3] pribadi. Tanpa pernah peka (berempati) apakah kenikmatan (kekerasan) tersebut akan melanggar hak (etika) kemanusiaan atau tidak.
Pernyataan tersebut secara tidak langsung menyimpulkan bahwa tanpa adanya kekerasan maka agama tidak akan bisa eksis dan berkembang. Implikasinya, tindakan kekerasan seolah menjadi kewajiban sekaligus sebagai tujuan mulia yang mesti ditempuh umat beragama. Dengan kata lain, tujuan dari beragama adalah kekerasan itu sendiri. Kenyataannya, ajaran agama tidak hanya mengajarkan tentang kekerasan tapi juga ajaran-ajaran lain yang sangat manusiawi. Bila ada umat beragama yang memakai “ajaran kekerasan” saja tanpa melihat ajaran humanis[4] lainyaitupun juga belum tentu dalam konteks yang tepat lantas apakah bisa disimpulkan bahwa agama mengajarkan kekerasan?
Pertanyaan lain adalah apabila dunia ini tanpa hadirnya agama apakah otomatis dapat menjamin tindakan kekerasan dapat berkurang? Apakah kekerasan merupakan cara terbaik untuk mempengaruhi orang lain? Jawaban singkatnya tentu akan mendapat perhatian publik, tapi belum tentu bisa mempengaruhi logika secara individu. Lalu, apakah benar agama hanya mengajarkan, mengutamakan, dan mewajibkan kekerasan? Adakah pilihan lain selain kekerasan yang ditawarkan oleh agama untuk memecahkan suatu masalah? Pertanyaan tersebut meski sederhana tapi bisa menjadi penghambat bagi siapapun yang menjadikan agama sebagai dalih untuk menghalalkan jalan kekerasan. Intinya, persoalan kekerasan menjadi tanggung jawab seluruh umat beragama untuk “mengkader” generasinya, dengan mendoktrikan ajaran yang utuh. Tak terkecuali umat Islam, harus bisa membuktikan kemanfaatan ajaran agamanya bagi kehidupan kontemporer yang semakin dinamis.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah melalui jalur Pendidikan. Dalam konteks Islam, Pendidikan Agama Islam merupakan bagian terpenting untuk mendoktrin generasi mudanya. Supaya mereka mengimplementasikan ajaran agamanya secara utuh dan tidak dipilih-pilih sesuai kehendaknya. Dengan itu pula, harapan selanjutnya adalah terbinanya generasi muda yang menjadi insan kamil (paripurna). Pada akhirnya, menjadi insan yang menjadi rahmat bagi semesta alam sehingga bermanfaat bagi kehidupan global.[5] Bukan insan yang menjadi aktor “horor” bagi manusia lain yang tidak bersalah yang justru keselematan mereka sebenarnya dijamin oleh Islam. Pada akhirnya, energi umat Islam tidak terkuras habis pada kekerasan tapi difokuskan pada kegiatan lain yang jauh lebih bermanfaat. Misalnya untuk pengembangan IPTEK.
Untuk menanggulangi regenerasi bahkan pengembangan “kader” kekerasan, Pendidikan Agama Islam harus melakukan pencegahan[6] secara aktif. Utamanya mencegah potensi tindakan kekerasan yang mungkin dilakukan siswa pada suatu saat nanti. Bagaimanapun sifat kepasifan PAI, secara tidak langsung mengizinkan siswa untuk melakukan kekerasan demi mewujudkan tujuan agamanya. Seharusnya, Islam bisa menjadi pencegah tindakan kekerasan yang mencederai hak-hak keutuhan fisik dan psikologis orang lain. Dengan kata lain PAI harus menekankan secara kuat bahwa kekerasan (keonaran yang melanggar hukum positif) sebagai perbuatan yang tabu dan melanggar asas-asas kemanusiaan sekaligus ajaran Islam. Bila tanpa ada penekanan tersebut, maka wajar bila siswa mudah terpengaruhi untuk melakukan ajaran agama yang parsial,[7] yaitu salah satunya cenderung mendalami “ajaran” yang berpotensi pada kekerasan saja.
Dengan demikian, PAI sebagai salah satu indikator tentang bagaimana dan sejauh mana ajaran agama itu didoktrikan pada generasi mudanya (siswa). Bila ajaran yang didoktrikan tersebut masih parsial maka tentu berpeluang besar mencetak generasi Islam yang akrab dengan kemerosotan moral, misalnya melakukan kekerasan. Namun, bila PAI mampu mengajarkan ajaran Islam secara utuh maka berpeluang besar mencetak generasi Islam yang mampu menyamai bahkan melebihi generasi barat. Yakni, yang unggul dalam etika, estetika, dan ilmu pengetahuan umum sehingga pada akhirnya umat Islam bisa menjadi solusi bagi permasalahan global.
Dari semua permbahasan di atas, dapat disimpulkan masih diperlukan pengembangan PAI yang berbasis nirkekerasan. Penulis memandang tema tersebut sangat penting bagi umat Islam. Mengingat, selama ini PAI perannya masih kecil dalam mencegah kekerasan yang dilakukan oleh siswa saat ia masih sekolah maupun setelah lulus. Dengan kata lain perlu dirumuskan inovasi baru terhadap PAI supaya bisa mencetak generasi Islam yang anti kekerasan. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba untuk memberikan sumbangan terhadap pengembangan keilmuan PAI yang berbudaya nirkekerasan. Dengan ciri khusus meninjau semua konsep tersebut dalam perspektif interdisiplener.

2.    Batasan Masalah dan Topik Pembahasan
Agar pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan yang dikerucutkan sebagai berikut:
a.       Konsep dasar kajian tentang Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis nirkekerasan
b.      Pengembangan PAI berbasis nirkekerasan dalam perspektif interdisipliner




BAB II
PEMBAHASAN


Ketika mengkaji tentang kekerasan atas nama agama, seseorang idealnya harus kritis terhadap penafsiran dan asumsi kultural keagamaannya sendiri. Dalam keadaan tersebut, pengkaji akan mengalami dilema. Banyak tawaran yang dihadapinya, yaitu lebih memilih dalam pengabdian pada kekuatan status quo atau menjadi pendukung kritisime konstruktif, komunitas, dan kepekaan moral.[8] Oleh karena itu, dalam kajian ini penulis berusaha untuk mengambil jalan tengah di antara kedua tawaran tersebut. Secara terperinci diuaraikan sebagai berikut:

A.      Konsep Dasar Kajian
1.      Pengertian Nirkekerasan
Istilah nirkekerasan berasal dari kata dasar “keras,” yang kemudian diimbuhi dan dikembangkan menjadi kata “kekerasan.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia imbuhan “nir-“ berarti “tidak atau bukan.” Sedangkan kata “kekerasan” punya tiga arti, yang pertama perihal atau sesuatu yang bersifat keras. Kedua, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang berakibat kecederaan atau kematian serta kerusakan fisik atau barang milik orang lain, ketiga, paksaan.[9] Dengan demikian, dalam lingkup subjek, objek, tujuan, dan wilayahnya maka kekerasan bisa terjadi oleh siapa saja dan di mana saja. Misalnya, kekerasan saat berdemontrasi, kekerasan dalam rumah tangga (sesama anggota keluarga atau dengan pembantu), kekerasan dalam bercanda, kekerasan dalam berorganisasi, kekerasan dalam pendidikan, kekerasan dalam beragama, kekerasan dalam bereskpresi, kekerasan dalam mengajak, kekerasan kepada hewan, kekerasan pada benda mati, kekerasan dalam mencegah, dan kekerasan dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu lainnya.
Secara gamblang, Nimer menjelaskan bahwa nirkekrasan adalah kombinasi antara sikap, pandangan, dan aksi yang dimaksudkan untuk mengajak orang di pihak lain secara damai supaya mengubah pendapat, pandangan, dan aksi mereka dengan capaian kedamaian pula. Oleh karena itu, dalam gerakan nirkekerasan para pelakunya tidak pernah membalas (merespon) tindakan the other dengan kekerasan. Sebaliknya, mereka meminimalkan kemarahan dan kerusakan secara holistik sambil menyampaikan pesan ketabahan yang tegas dan desakan untuk mengatasi ketidakadilan.[10] Ini bukan berarti dalam sikap nirkekerasan seseorang hanya bersikap pasif tanpa perlawanan. Sebaliknya, perlawanan mereka dilakukan secara masif, kreatif, dan cerdas yang tentunya hanya berbasis (mengacu) pada prinsip nirkekerasan sehingga jauh lebih efektif.
Dengan demikian dalam gerakan nirkekerasan cara yang damai saja tidak cukup, perlu cita-cita atau harapan kedamaian pula untuk diraih bersama. Asumsinya, seseorang bisa melakukan aksi (cara) damai tapi di sisi lain ia bermaksud (kesengajaan) atau menimbulkan (tidak sengaja) pada ketidakdamaian. Misalnya, melakukan kebebasan eskpresi yang sebebas-bebasnya dengan tujuan untuk memprovokasi dan menyebabkan amarah pihak lain. Atau paling tidak adanya faktor ketidaksengajaan. Yakni, meski tujuannya adalah untuk mencapai kedamaian (tanpa provokasi) tapi tidak melihat budaya sekitar yang “kaku” (anti kebebasan) sehingga menimbulkan kekerasan oleh pihak lain. Sebab lainnya, bisa jadi pejuang nirkekerasan tidak berwawasan ke depan dan mengantisipasi potensi respon keras akibat dari aksinya tersebut.
Dari penjelasan di atas, dapat di simpulkan bahwa nirkekerasan adalah suatu sikap yang proses serta tujuannya mengacu pada prinsip-prinsip kedamaian, tanpa adanya kekerasan atau paksaan yang bisa menimbulkan kematian dan kerusakan fisik milik orang lain. Dengan demikian, konsep nirkekerasan ini bisa digunakan dalam konteks, ilmu, dan kajian apapun. Artinya, istilah “nirkekerasan” ini tidak hanya digunakan dalam perilaku yang tujuan, kandungan ideologi, dan konsepnya pada perilaku keagamaan.  

2.      Pengertian Perspektif Interdisipliner
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “perspektif” salah satunya memiliki arti sudut pandang. Adapun kata “interdispliner” memiliki arti antar disliplin atau antar bidang kajian ilmu (studi).[11] Dengan demikian pendekatan interdispliner punya pengertian pemusatan perhatian pada masalah atau kajian tertentu yang didekati dari berbagai disiplin keilmuan. Dengan asumsi, ilmu-ilmu tersebut dapat berfungsi secara ilmiah sebagai pemecah permasalahan yang ditemukan pada keilmuan yang sedang dikaji. Artinya, adanya keterpaduan atau korelasi antara beberapa ilmu tersebut dalam menyumbangkan solusi bagi permasalahan yang ditemui.
Selanjutnya, dalam ranah PAI sesungguhnya kajian tentang nirkekerasan dalam perspektif interdisipliner setelah ditelaah memang sangat penting. Mengingat, apapun itu masih memerlukan suatu pemahaman (penafsiran) yang tidak akan cukup kuat bila dilihat dari sudut pandang tertentu saja. Dengan kata lain, dalam wacana pendalaman masalah nirkekerasan pada PAI perlu pemahaman (masukan) dari ilmu-ilmu[12] lain. Sebagaimana tentang ajaran Islam yang ternyata juga dipahami berbeda oleh berbagai kalangan, dari sudut pandang berbeda pula dari konteks bidang tertentu. Sebagaimana yang dikatakan Edward Said yang dikutip oleh Nimer:

Bagi kaum Muslim maupun non-Muslim, Islam adalah fakta obyektif sekaligus subyektif, karena orang menciptakan fakta tersebut dalam keyakinan, masyarakat, sejarah, dan tradisi mereka, atau, dalam kasus pihak luar yang non-Muslim, karena mereka dalam pengertian tertentu, harus memperbaiki, melambangkan, dan menetapkan, identitas yang dianggap berlawanan dengan mereka secara individual atau kolektif. Ini untuk mengatakan bahwa Islam-nya media, Islam-nya sarjana Barat, Islam-nya wartawan Barat, dan Islamnya kaum Muslim – semuanya adalah aksi yang dimulai dari kehendak dan penafsiran yang terjadi dalam sejarah.[13]


Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa dalam pengkajian tentang nirkekerasan sesungguhnya PAI membutuhkan bantuan “penfasiran” dari berbagai sudut ilmu. Dengan itu, konsep kekerasan dan nirkekerasan tidak hanya dihegemone oleh satu pemahaman rigid (kaku).[14] Pada akhirnnya, pemahaman serta pengetahuan tentang Islam utamanya dalam konsep kekerasan dan nirkekerasan tidak akan bisa diklaim secara sepihak oleh siapapun. Asumsinya, tidak bisa serta merta disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang menyuruh secara mutlak pada “kekerasan,” sebaliknya yang menyuruh secara mutlak pada “nirkekerasan.” Bagaimanapun kedua konsep tersebut sampai sekarang masih dalam masa perdebatan sengit. Oleh karena itu, kajian interdisipliner dalam kajian ini dirasa sangat penting.




3.      Kekerasan Atas Nama Agama
Kajian tentang agama dari sudut apapun, khususnya di Indonesia sampai sekarang masih menjadi isu yang sensitif. Sebagamana menurut pernyataan A. Mukti Ali yang dikutip oleh Syamsul, bahwa topik pembicaraan tentang agama merupakan hal yang paling menggugah emosi. Bahkan hingga bisa menembus batas-batas kebudayaan, etnis, bahasa, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, agama mampu menyatukan berbagai etnis, bahasa, dan budaya. Implikasinya, bila ada persoalan (konflik) antar etnis atau budaya yang masing-masing didominasi oleh (pemeluk) agama yang berbeda, maka dengan begitu cepatnya mendatangkan respon dari pihak luar etnis yang seagama.[15] Oleh karena itu, dalam konteks ini “wajar” bila ada seseorang atau kelompok di luar etnis yang rela berkecimpung pada konflik[16] antar etnis tersebut. Bahkan dengan melakukan kekerasan[17] sekalipun, demi membela mati-matian agama atau paling tidak membela manusia di luar etnis yang seiman. Bisa juga “hanya” untuk  membela atau menjaga simbol-simbol Islam supaya tetap tegak berdiri bahkan menyebar ke berbagai etnis.
Semangat kekerasan bisa jadi dilakukan karena ketakutan rusaknya akhlak generasi muda Islam atas berbagai kemunkaran[18] yang dilakukan atau direstui oleh golongan di luar agamnya.[19] Bahkan, ketakutan pindahnya pemeluk “Islam” yang lemah imannya atau generasi Islam yang labil ke agama lain.[20] Bisa juga ketakutan pada perubahan akhak dan pemikiran umat Islam itu sendiri tentang Islam, sehingga dianggap menjadi acuh tak acuh, antipati, dan menyudutkan ajaran agamanya sendiri. Ironisnya, misi yang “mulia” itu tidak dibarengi dengan cara yang cerdas, berprinsip nirkekerasan, terpola, tersisitem, dan terorganisir secara matang.[21] Seakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, satu-satunya jalan keluar adalah melalui kekerasan.[22] Dengan kata lain, kenyataannya agama tidak difungsikan[23] dengan semestinya. Akibatnya bukannya menyelesaikan masalah tapi malah menambah runyam bahkan menimbulkan masalah baru.
Di sisi lain, menurut Nyoman, ia menjelaskan bahwa:

Fakta sejarah menunjukkan bahwa perbedaan agama dan etnis baru menjadi pemicu konflik atau kekerasan ketika ditumpangi oleh perbedaan politik dan kesenjangan sosial ekonomi. Perbedaan itu memang dapat menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi dan memahami satu sama lain, tetapi tidak dengan sendirinya menggiring orang ke tindak kekerasan.[24]

Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa kekerasan atas nama agama tidak serta merta bisa berdiri sendiri. Lalu menjastifikasi bahwa agama mengajarkan kekerasan yang tak beretika.[25] Artinya, agama tidak bisa dikambing hitamkan sebagai penyebab tindakan kekerasan. Bisa jadi terjadi kesalahpamahan pelaku dalam memahami ajaran agamanya, sehingga agama dimaknai secara sempit. Serta terdapat faktor-faktor lain yang ikut menentukan baik secara langsung maupun tidak langsung dan baik dengan intensites kuat maupun lemah. Misalnya adanya pengaruh kuat dari otoritas, faktor latar belakang[26] kehidupan pelaku, dan konteks kemasyarakatan.



4.      Pendidikan Agama Islam
Salah satu tantangan berat yang dihadapi oleh dunia pendidikan menurut Muahaimin adalah eskalasi (peningkatan) konflik. Meski, di satu sisi konflik merupakan salah satu unsur dinamika sosial, tapi di sisi lain justru menjadi ancama keharmonian dan integrasi sosial dalam lingkup lokal hingga global.[27] Selain itu pendidikan Islam pada dasarnya harus menyentuh tiga domain. Yakni, knowing, peserta didik mengetahui dan dan memahami ajaran Islam. Doing, peserta didik mampu mempraktikan ajaran Islam. Terakhir, being, peserta didik dapat menjalani hidup sesuai dengan ajaran agama. Biasanya kegagalan pendidikan agama terletak pada aspek being. Bagaimanaun, pendidikan agama tidak boleh dicukupkan pada otak (pemahaman) dan badan (simbol fisik dan perbuatan). Lebih dari itu, perlu diadakan internalisasi ajaran Islam ke dalam qalb (hati) dan dzauq (rasa). Salah satu cara internalisasi adalah dengan melakukan keteladanan dan pembiasaan.[28]
Dalam konteks pengajarnya, maka pendidik PAI bukan berposisi sebagai hakim yang keputusannya bersifat mutlak. Yakni, sebagai penghakim mana yang benar dan salah. Serta bukan sebagai pendidik yang hanya sebatas sebagai pembimbing peserta didik dalam perjalanan belajar. Bukan pula sebagai perpanjangan tangan ilmu-ilmu atau ajaran dari para ulama pendahulu saja. Seharusnya pendidik dalam Islam merupakan pewaris para Nabi,[29] tidak hanya pewaris ilmu-ilmu Nabi tapi juga pewaris sifat-sifat Nabi. Diantaranya, patut menjadi contoh dalam kepemilikan semangat perjuangan terhadap agama Islam (bukan perjuangan dengan paksaan dan kekerasan namun dengan cara kelembuatan dan kasih sayang). Serta memberikan pendidikan terhadap umat dengan semangat pembaruan untuk menjadi yang lebih baik dalam segala bidang dari pada hari kemarin (mendobrak tatanan yang mapan untuk kemajuan umat). Oleh karena itu, dalam upaya pembaruan dan pengembangan PAI terlebih dahulu perlu diadakan pendalaman serta penelitian tentang bagaimana peran PAI dalam mewujudkan budaya nirkekerasan.

a.      Pengertian Pendidikan Agama Islam
Menurut penulis, pendidikan Agama Islam punya pengertian sebuah kajian ilmu yang menjadi materi ajar serta bertujuan agar peserta didik mampu dalam penerapan nilai-nilai Islam secara sadar (tanpa paksaan dari orang lain). Kesadaran tersebut meliputi penerapan nilai ibadah yang benar,[30] nilai humanisme, keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme (nasionalisme),[31] nilai semangat dalam pengembangan diri[32] maupun masyarakat, dan nilai-nilai kedamaian di kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik aktif pada pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar dalam pengimplementasian nilai-nilai universalisme ajaran Islam secara konsisten dengan segenap logika atau alam pikirnya serta alam spiritualitasnya. Analisis tersebut didasarkan pada pendapat Syukri Fathuddin disampaikan bahwa hendaknya “... Pendidikan Agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan dapat dikatakan way of life seseorang.”[33]
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa PAI sebenarnya secara duniawi nilai manfaatnya tidak hanya ditujukan bagi umat Islam sendiri tapi juga untuk seluruh umat manusia. PAI seharusnya bisa menjadi pengarah dan penyumbang terbentuknya tatanan masyarakat yang damai, berperadaban modern, beretika[34] (tidak berpenyakit moral), dan manusiawi. Pada akhirnya, umat Islam bisa menjadi umat yang toleran. Yakni, menjadi muslim yang kuat sebagai pelindung non muslim  yang lemah. Bisa juga dengan menjadi muslim yang mayoritas untuk pengayom terhadap minoritas dan menjadi muslim yang kokoh sebagai penjaga non muslim yang rapuh. Serta dalam jangka panjang bisa menjadi muslim yang cerdas dalam bidang ilmu pengetahuan untuk digunakan nonmuslim yang tertinggal.

b.      Tujuan Pendidikan Agama Islam
Manusia merupakan makhluk yang sadar akan tujuan. Artinya, setiap tindakan yang dilakukan senantiasa bermuatan dan disadari tujuan yang ingin diperoleh. Baik itu secara individu maupun kelompok dan yang diinginkan untuk dicapai pada masa yang pendek atau panjang. Identifikasi tujuan tersebut sangatlah penting, yaitu sebagai ukuran normatif (gambaran ideal), preskriptif (pemberi arah), dan evaluatif. Secara rinci, tujuan PAI dapat dijabarkan dalam dua perspektif, yaitu perspektif pembentukan manusia (individu) ideal dalam arti biologis, psikologis, dan spiritualitas. Selanjutnya adalah perspektif pembentukan masyarakat (makhluk sosial) ideal dalam arti sebagai warga negara atau ikatan kemasyarakatan.[35] Dari kedua perspektif tersebut, sesungguhnya Pendidikan Islam hendaknya bisa membentuk manusia yang punya kemantapan aqidah, kedalaman spiritual, keluhuran akhlak (etika), keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Inilah yang disebut sebagai gambaran manusia ideal (waladun saleh) yaitu memiliki integritas dan keutuhan (insan kamil).[36]
Sedang dari sudut pandang lain menurut Muhammad Kosim dikemukakan tentang PAI sangat sarat dengan nilai (full value), termasuk dalam penanaman nilai-nilai kasih sayang dan keharmonisan antar sesama manusia.[37] Dengan kata lain, pendidikan Agama Islam tujuan dan hasilnya (muara) sesungguhnya bukan hanya untuk “kejayaan” umat Islam sendiri, tapi juga untuk “kebahagiaan” seluruh umat manusia.  Ujungnya adalah bagaimana PAI mampu mencetak generasi yang tidak sempit dalam berfikir, berperilaku, dan memandang realitas keberagaman (kemajemukan). PAI harus mencetak generasi kreatif, yang tidak mengandalkan dan gemar menggunakan jalan kekerasan. Dengan demikian, PAI di satu sisi pengembangannya disesuaikan dengan kebutuhan (perkembangan) masyarakat, tapi di sisi lain tetap berpedoman dan berpegang kuat pada nilai-nilai agama Islam.
Sedangkan menurut amanat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 3  bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[38]

Pernyataan tersebut dijabarkan lagi oleh PP No. 55 Tahun 2007 Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.” Adapun dalam ayat 2 lebih dipertegas lagi bahwa “pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.[39]
Lebih rinci, pada jenjang pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi Umum) berdasarkan SK no. 34/2006 Dirjen Dikti dalam pasal 3 ayat 2 pada huruf a diterangkan tentang pendidikan agama punya kompetensi dasar atau lulusan yang harus “menjadi ilmuwan dan profesional yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan.”[40] Dari semua pemaparan di atas dapat simpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam dalam konteks nirkekerasan adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT secara benar yang senantiasa menggunakan pikir kritis, dinamis, dan kreatif tanpa kekerasan sesuai keahlian masing-masing dalam berbangsa sehingga karyanya bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.

c.       Urgensi Pengembangan PAI bagi Budaya Nirkekerasan
Zaman sekarang ini, dinamika ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi, sangat berlangsung cepat dan instan. Hal itu menuntut PAI untuk mengimbanginya dengan pengembangan diri secara “cepat” pula. Di sisi lain, akibat dari lompatan cepat tersebut tantangan dan permasalahan PAI menjadi bertambah. Misalnya, zaman dulu “kekerasan” antar tubuh oleh manusia prasejarah sangat perlu dilakukan untuk mengendalikan keadaan sosial. Tapi pada zaman sekarang ini bukan “kekerasan” tubuh secara berhadap-hadapan yang dapat mengatur sistem sosial, tapi adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan CCTV pemerintah bisa memantau masyarakatnya dari jarak jauh, atau dengan satu tombol saja negara tertentu bisa meluluh lantakkan negara lain yang jauh lokasinya dengan bom atom. Bahkan bukan suatu kemustahilan bila suatu saat diciptakan robot yang diprogram melakukan “kekerasan.”
Namun, demikian bagaimanapun Islam adalah agama universal (rahmatan lil alamin) yang menjangkau kebutuhan zaman secara totalitas dan utuh. Artinya, pendidikan Islam tidak hanya mengurusi masalah keakhiratan (eskatologi), tapi juga urusan duniawi.[41] Artinya, manusia merupakan makhluk yang membutuhkan hal-hal bersifat fisik-biologis (homo economicus) sekaligus hal-hal yang bersifat psikologis dan spiritual atau maknawi (homo socius). Atas dasar itu, maka manusia bisa menjadi makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Namun demikian, betapa pun manusia punya kecerdasan tetap saja ia makhluk yang terbatas.[42] Dari keterbatasn itu manusia harus bekerjasama satu sama lain. Dari kenyataan tersebut PAI berperan sebagai pembangun kejiwaan, psiritualitas, dan kemaknaan hidup bersama sehingga bisa membentuk masyarakat berbudaya nirkekerasan.
Bisa dikakatan dalam posisi tersebut, PAI bertugas menyadarkan secara ilmu pengetahuan dan sikap, bahwa tindakan “kekerasan” dalam konteks yang tidak tepat, tidak manusiawi, dan dengan cara berlebih-lebihan merupakan larangan agama. Menurut Jurgensmeyer, akan sangat mengejutkan dan memusingkan bila sesuatu yang buruk (kekerasan) justru dilakukan oleh orang “baik.” Yakni, yang mengabdikan diri pada pandangan moral dunia dan orang yang saleh. Dengan argumen dan retorika yang nampak luhur, tindakan mereka telah menyebebakan penderitaan dan kekacauan kehidupan.[43] Oleh karena itu, PAI berserta institusinya[44] tidak hanya mendorong peserta didiknya hanya untuk bersabar, tabah, menerima takdir, dan pasrah pada keadaan zaman. Serta sebaliknya, “mendorong” mereka mengutuk dan mencemooh negara yang membuat teknologi yang menimbulkan kekerasan. Namun, PAI harus bisa memberikan dorongan untuk hidup damai serta mendorong peserta didik menciptakan teknologi canggih yang nirkekerasan.
B.       Pendidikan Agama Islam Berbasis Nirkekerasan dengan Pendekatan Interdisipliner

1.      Pengembangan PAI berbasis Nirkekrasan
Dalam mencari latar belakang (peyebab) terjadinya kekerasan, masih sulit diterima alasan bahwa aneka kekerasan itu hanya dipicu oleh provokasi para elit politik. Pun juga, logika manusia belum puas terhadap jawaban yang mengatakan pembakaran terhadap aneka tempat ibadah dan perkampungan dari kelompok (etnis) umat agama tertentu dilakukan oleh orang-orang yang tidak kuat imannya.[45] Di sinilah perlu analisis kritis adakah yang salah dengan pola “pengkaderan” generasi umat beragama. Lebih spesifik adakah yang salah dengan Pendidikan Agama termasuk PAI di lembaga pendidikan formal, informal, dan nonformal sehingga kekerasan masih jamak terjadi. Dikhawatirkan konsep keimanan yang dibangun dan dijadikan patokannya masih salah kaprah dan tidak utuh. Oleh karena itu, paling tidak dalam PAI harus ada upaya pencegahan secara aktif[46] bagi peserta didik untuk melakukan kekerasan.
Biasanya, individu atau kelompok tertentu memahami dan menghayati keagamaannya dari pihak otoritas. Misalnya, terafilisasi pada ideologi[47] organisasi keagamaan tertentu, doktrin orang tua, guru (utamanya guru agama), tokoh agama, dan pihak-pihak lain yang dianggap pantas menjadi panutan dan penentu arah hidupnya. Kenyataan tersebut sangat sulit sekali dirubah apalagi jika fanitisme tersebut sudah terlanjur melekat, sehingga sulit untuk mengikuti dinamika. Implikasinya, daya kritis seseorang terhadap pemahaman agama[48] menjadi lemah, sehingga pemahaman agama bisa dibelokkan untuk kepentingan kekerasan oleh pihak lain. Padahal sudah menjadi pemahaman bersama bagi umat Islam bahwa kenyataan tentang “perbedaan” adalah sunattulah, sesuatu yang tidak bisa dihindari (given). Di mana salah satu fungsinya hadir sebagai sarana ujian bagi manusia dari Allah SWT.
Kenyataan di Indonesia, mempermasalahkan kehidupan (cara) beragama di Indonesia masih dianggap tabu. Di mana pemeluk agama dibiasakan selalu menerima ajaran agama tanpa diperbolehkan mengkritisi sedikitpun (taking for granted). Implikasinya, kadang umat beragama akan merasa kehilangan daya kritis,[49] sehingga “lupa” caranya beragama dengan benar. Padahal, setiap pertanyaan yang diajukan hati nurani mengenai agama sebenarnya malah menjadi titik tolak baru untuk pendalaman hidup beragama itu sendiri. Intinya, “ajaran” agama yang utama hanya berhenti pada pemujaan Tuhan semata, sehingga berakibat memandang sepele terhada etika kemanusiaan.[50] Pada akhirnya, karena keringnya etika tersebut, umat beragama akan menjadi ekslusif dalam penghayatan agama. Dengan demikian, Tuhan digambarkan hanya mengurusi umat beragama tertentu. Tuhan dipandang tidak mengurusi serta memberi kesempatan bagi umat yang lain untuk hidup nyaman di dunia ini.
Dengan bahasa lain, seringkali umat beragama menyamakan antara sifat Ketuhanan dengan sifat-sifat yang dimiliki manusia. Mereka begitu yakin bahwa Tuhan dapat marah seperti layaknya manusia cepat marah. Pun juga cepat percaya bahwa Tuhan mudah menaruh dendam seperti manusia yang serta merta menaruh dendam. Seakan-akan Tuhan hanya mencintai golongan tertentu sementara pada yang sama membenci yang lain, yang belum tentu jauh lebih buruk dariya. Dengan itu, mereka meyakini bahwa Tuhan memang menghendaki kematian atau kehancuran golongan “pelanggar.”[51] Manusia hanya membangun presepsi tentang Tuhan bukan berdasarkan teks-teks wahyu tapi berdasarkan pengalaman dan kepentingan pribadi.
Sebagaimana yang dibahas dalam sub tema sebelumnya bahwa salah satu ketidak setujuan kelompok umat beragama untuk melakukan dialog atau kerjasama secara “bebas”[52] dengan umat agama lain karena ketakutan terjadi “kesesatan” massal. Oleh karena itu, tugas utama dan pertama umat islam terhadap umat islam lain yang lemah dan awam tersebut adalah menguatkan keimanan, keilmuan, dan akhlak. Salah satu jalannya adalah dengan pengembanan PAI menuju arah yang berkualitas. Setelah itu baru mengadakan kerja sama dengan pemeluk agama lain. Bila dianalogikan agama sebagai suatu organisasi atau negara, maka sudah barang tentu anggota atau warga Negara tersebut harus dibekali kemampuan dan kualitas. Alasanya, agar mereka bisa menjaga diri ketika melakukan kerjasama secara terbuka dan bebas dengan negara lain.
Didasarkan pada penjelasan tersebut, PAI seharusnya melakukan pengembangan atau perubahan paradigma.[53] Salah satunya adalah dengan melakukan pengembangan materi. Misalnya pengembangan terhadap materi sejarah Islam terkait peperangan yang selama ini seakan “membolehkan” peserta didik untuk melakukan kekerasan (perang fisik). Seharusnya materi tentang sejarah peperangan dan kekerasan tidak boleh diberikan secara parsial, tendensius, dan hanya berbicara tentang kalah atau menang saja. Namun, harus diberikan secara utuh serta lebih banyak memunculkan nilai-nilai etika[54] dalam peperangan tersebut. Bila etika tersebut lebih ditekankan maka nilai-nilai kemanusiaan akan nampak, bukan nilai-nilai kekerasan yang ditonjolkan. Dengan demikian, diharapan ideologi[55] yang disampaikan pada peserta didik tidak “menyesatkan” atau tidak akan ditafsirkan secara salah oleh mereka.
Dengan demikian, pembelajaran ilmu PAI bukan sekedar upaya untuk pemberian ilmu pengetahuan yang berorientasi pada target penguasan materi, misalnya materi tentang peperangan. Akan tetapi sebagaimana menurut penjelasan di atas pendidik juga ikut andil dalam pemberian pedoman hidup (pesan pembelajaran) misalnya tentang moralitas (akhlak) kepada peserta didik yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan manusia lain.[56] Komponen inilah yang ikut andil pada pemberian cetak biru khusus sehingga menjadi ciri utama pembelajaran PAI. Yakni, salah satunya dalam bidang pengendalian moralitas bangsa yang tidak lekat dengan tindakan kekerasan.

2.      Pengembangan PAI berbasi nirkekerasan dalam perspektif interdisipliner

Penggunaan perspektif interdisipliner dalam pengembangan PAI pada zaman sekarang ini sangat penting. Selain karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, juga dilandaskan pada pandangan bahwa penggunaan ayat kauliyah saja sebagai dasar utama PAI tidak cukup untuk mendidik. Namun perlu, ayat-ayat kauniyah sebagai sumbangan bagi pengembangan PAI. Baik dalam bidang materi, strategi, tujuan, media, dan komponen pembelajaran lainnya. Oleh karena itu, untuk memfungsikan PAI secara optimal, salah satunya dengan mengarahkan truth claim[57] dengan pas, maka penulis memandang penting mengkaji tema “kekerasan” yang ditinjau pada ilmu-ilmu berikut ini:

a.       Psikologi
Pendidikan tidak hanya untuk mencetak generasi yang pandai, terampil, dan menguasai bidang keilmuan tertentu sebagai bekal menghadapi masa akan datang. Namun, menurut Abuddin Nata pendidikan adalah pemindahan (transmission) nilai-nilai, ilmu, dan kecakapan dari generasi tua kepada generasi muda dalam rangka melanjutkan serta memelihara identitas (peradaban) dan kepribadian masyarakat tersebut. Di mana dalam proses transmisi “kepentingan” masyarakat tersebut, psikologi memiliki peran yang sangat penting.[58] Salah satu caranya adalah melakukan proses pembelajaran dengan metode nirkekerasan.[59]
Lebih lanjut, kekerasan biasanya diidentikkan dengan agresifitas. Di mana Freud dan Lorenz sebagaimana yang dikutip Fromm memandang bahwa agresifitas seseorang merupakan sifat bawaan (genetis). Freud mengemukakan teori tentang insting, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (death instinct). Insting kematian bisa tertuju pada organisme itu sendiri yang beruwujud dorongan perusakan diri dan tertuju pada pihak luar. Dengan demikian, agresi bukanlah reaksi terhadap stimulus dari luar, tapi dorongan dari dalam diri sendiri yang menggelora dan berakar dari kondisi biologis (otak) manusia.[60]
Dengan demikian, sebagaimana menurut Lorenz, kehendak untuk agresif tersebut sebagai insting suatu saat akan “meledak” bila sudah terkumpul (mempat) sehingga cukup “energi,” meski tak ada rangsangan dari luar. Asumsinya, manusia dan binatang biasanya tidak pasif dalam menemukan stimulus tersebut. Bahkan, akan mencari dan bila perlu menciptakan stimulus. Dalam konteks sosial, manusia akan melepaskan “energi” (dorongan) agresifnya dalam bentuk (mencari perkara) membuat partai politik yang bisa menyebabkan timbulnya agresi. Namun, bila sama sekali tidak ada sitimulus yang apat ditemukan dan diciptakan, maka dorongan agresif yang tertahan (tidak dilampiaskan) akan menjadi demikian besar dan siap meledak sewaktu-waktu. Dengan demikian, menurut Lorenz agresi pada dasarnya bukan respon atas stimulus dari luar. Melainkan rangsangan dalam diri yang sudah “terpasang,” sehingga butuh pelampiasan dan akan terekspresikan meski mendapat stimulus dari luar yang kecil. Model agresi ini sama seperti model libido Freud, yang dinamai model hidrolik. Yakni, tekanan yang ditimbulkan oleh air atau uap dalam tabung tertutup.[61]
Teori lain terkait dengan tindakan kekerasan adalah “kefrustasian.” Menurut Buss sebagaimana dikutip Fromm, fursatasi adalah penghilangan hasrat atau keinginan dari individu yang ingin mencapai tujuan tertentu, sehingga terjadi “putus harapan.” Misalnya seorang anak yang meminta roti kepada ibunya lalu ibunya menolak, atau seorang pria yang merembak wanita tapi mendapat penolakan. Lebih rinci, timbulnya frustasi salah satunya ditentukan oleh karakter seseorang. Misalnya, seseorang yang sangat rakus, akan sangat marah bila ia tidak memperoleh makanan yang ia inginkan. Begitu pula orang kikir, akan sangat marah bila harus membayar makanan yang terlalu mahal. Adapun karakter narsistik akan meras frustasi bila tidak mendapatkan sanjungan (penghormatan) sesuai dengan yang dikehendaki.[62]
Namun, pernyataan tersebut dikritisi oleh Fromm. Ia berpendapat bahwa tidak ada hal istimewa, besar, dan membanggakan yang dapat diraih tanpa terlebih dahulu mengalami frustasi. Terlebih untuk menuju pencapaian pada tingkat keahlian tinggi. Dengan kata lain, tanpa kemampuan dalam menerima sekaligus mengalami frustasi manusia nyaris tidak dapat berkembang sama sekali. Asumsinya, dalam kehidupan sehari-hari banyak diketahui orang sedang mengalam frustasi (tekanan) tapi tidak memperlihatkan respon agresif. Meski, yang kerap memunculkan agresi adalah sesuatu yang diartikan (disebut) sebagai frustasi. Serta makna frustasi secara psikologis tentunya berbeda sesuai dengan kondisi sosial.[63]
Dari semua pembahaan di atas, upaya pencegahan PAI agar tidak terciptanya kekerasan lagi adalah dengan penekanan empati (misalnya altruisme) pada pembelajarannya. Di mana empati sangat erat kaitannya dengan etika. Dengan kata lain, PAI bisa menumbuhkan empati peserta didik terhadap umat beragam lain melalui passing over.[64] Namun demikian, empati tidak boleh diwujudkan dengan menggunakan simbol-simbol agama lain dalam kehidupan sehari-hari atau melakukan ibadah agama lain. Penggunaan empati di sini cukup sebatas pada perkataan dan perilaku toleran dalam urusan muamalah yang tidak menjurus pada ritual keagamaan.[65] Pernyataan tersebut sebagaimana saran Gadner terhadap guru, bahwa mereka harus melatih anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan pribadi (intrapersonal)[66] di sekolah (56). Lebih konkrit Gardner memandang penting adanya “flow[67] dalam setiap pembelajaran.

b.      Sosiologi
Di era sibernetika[68] seperti sekarang ini, seseorang bisa semakin pontesial untuk dimanipulasi “pikirannya.” Baik itu dalam bidang profesi, konsumsi, dan ideologinya. Sebagaimana dalam konsep “pembiasaan positif” milik Skinner. Dalam kacamata ini, individu kehilangan “kesadaran” kritisnya dalam proses sosial. Ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Ia menjadi objek yang telah dikontrol oleh sosial, sehingga apabila tindakan dan pemikirannya tidak sesuai dengan tatanan sosial akan sangat merugikan bagi dia. Bila ia bertekat tetap menjadi dirinya sendiri, maka akan kehilangan identitas (status), terisolasi, diusir, dan bahkan kehilangan nyawanya.[69] Hal ini tentunya juga dalam mewujudkan ekpresi keagamaan individu, seseorang biasanya hanya ikut-ikutan (absolutisme agama)[70] dalam praktik beragama tanpa terlebih dahulu mengkritisi. Sebagaimana menurut Muchsin dan Wahid, bahwa:

Dalam kajian sosiologi, agama dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu: pertama, emosi keagamaan yang menyebabkan manusia memiliki rasa dan semangat beragama; kedua, sistem keyakinan yang mencakup segala keyakinan terutama terhadap Tuhan dan kehidupan ghaib, termasuk juga sistem nilai dan moral; ketiga, sistem ritus sebagai upaya manusia mengadakan hubungan dan melakukan pendekatan kepada Tuhan dan sikapnya menghadapi lingkungannya; dan keempat, konsep umat atau solidaritas sosial yang menganut sistem agama tersebut.[71]

Lebih tegas, Arifin menyatakan bahwa agama hanya digunakan sebagai pembentuk identitas diri dan kelompok. Dampaknya, dalam antropologi berpotensi pada penciptaan bounded system. Pada akhirnya muncul sikap psikosiologis, yaitu in group feeling dan out group feeling. Selanjutnya, sebagai pemerkokoh identitas, suatu komunitas agama melakukan pengembangan narasi besar yang bersumber dari Tuhan. Serta memunculkan ekspresi keagamaan tertentu dalam skala masif sebagai wujud public expose, sehingga menjadi penegas perbedaan antara kelompok agama tersebut dengan yang lainnya.[72] Dengan kata lain telah terjadi penutupan peluang untuk melakukan hubungan sosial (dialog)[73] antar umat beragama.[74] Di sinilah nampak terjadi pelemahan kecerdasan intrapersonal,[75] kematian sikap kritis, dan ketiadaan “kesadaran subjektif”[76] pemeluk agama dalam mengekspresikan dan mengahayati agamanya.
Dari pembahasan tersebut maka seharusnya pembelajaran PAI harus bisa menumbuhkan kecerdasan spiritual[77] peserta didik. Sebagaimanan menurut Zohar yang dikutip oleh Efendi bahwa ada tujuh langkah praktis kecerdasan spiritual yang lebih tinggi yaitu kesedaran akan keberadaan diri (di mana sekarang?), merasakan keinginan kuat untuk berubah, merenung dan menanyakan motivasi terdalam, menemukan dan mengatasi rintangan, menggali banyak peluang untuk melangkah maju, ketatapan hati pada sebuah jalan, dan kesadaran akan banyak jalan lain.[78]
Lebih detail, semangat kesuksesan untuk selalu menjadi lebih baik memberikan semangat manusia mencari jalan bagi spiritualnya.[79] Yakni, ketenangan hidup dan makna hidup. Semua itu tidak bisa terpenuhi hanya dengan kelimpahan materi, ketinggian jabatan, dan popularitas. Keutuhan spiritual dapat dicapai dengan meningkatkan integritas diri, penghormata (komitmen) pada kehidupan, dan penyebaran kasih sayang serta cinta. Hal-hal ini tidak berhubungan lansung dengan ritual agama. Artinya, tidak selalu orang yang rajin shalat, sering naik haji adalah orang yang memiliki spiritualitas tinggi dan utuh. Bahkan banyak agamawan yang kehilangan spiritualitas karena terlalu banyak mengandalkan ritual, upacara, dan formalitas agama. Dengan demikian, antara ritualitas dan spiritualitas merupakan dua hal yang berbeda walaupun berkaitan.[80]

c.       Biologi
Salah satu materi yang dikaji pada biologi adalah tentang otak. Otak merupakan organ vital manusia selain jantung dan paru-paru. Di mana manusia secara fisik tanpa otak tidak akan berarti apa-apa, seluruh organ dalam dan panca indra tak akan berfungsi. Inilah yang disebut dengan kematian (meninggal dunia) secara fisik. Bisa dikatakan bahwa keadaan otak manusia secara fisis-biologis sangat menentukan bagi perkembangan kecerdasan.[81] Menurut Agus Efendi, tentang rahasia otak beserta kecerdasaannya[82] sampai sekarang masih belum terungkap secara memuaskan, bahkan dirasa masih sangat jauh dari jalan terang. Meskipun secara ilmiah di dalam otak terbukti ada tiga jenis otak yaitu otak rasional, otak emosional,[83] dan otak spiritual.[84]
Pernyataan tersebut sebagaimana menurut Pasiak bahwa otak merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai alat. Fungsi otak tidak hanya untuk berpikir rasional. Namun  fungsi otak terdiri dari 3 jenis kemampuan untuk memanajemen diri seperti mengutuhkan spiritualitas (SQ), mematangkan emosi (EQ), dan berpikir rasional (IQ). Bila ketiga fungsi otak tersebut dikelola dengan baik, manusia akan menjadi makhluk termulia.[85] Otak manusia jauh lebih kompkes dari pada komputer manapun. “Otak bekerja dengan sistem pemikiran yang melintas. Artinya, otak tidak terdiri atas beberapa modul kecerdasan yang terpisah. Otak juga bukan sistem pemrosesan seri maupun sistem asosiatif yang terisolasi. Dua sistem ini berinteraksi dan saling menguatkan sehingga memberi manusia bentuk kecerdasan yang lebih tinggi daripada masing-masing kecerdasan tersebut jika berdiri sendiri. IQ dan EQ saling mendukung (sinergis).[86]
Selain otak, secara biologis menurut Baron dan Byrane sebagaimana dikutip Hidayah perilaku agresi seseorang juga dipengaruhi oleh hormon tertentu, seperti serotonin dan testoterone.[87] Lebih detail, Iin Rahayu menyampaikan bahwa menurut Davidoff diantara faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi adalah:
1)      Gen. Pembentukan sistem neural otak dipengaruhi oleh gen dalam mengatur perilaku agresi.
2)      Sistem otak. Bagian otak tertentu yang tidak terlibat dalam agres dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Prescott menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kesenangan (nikmat) dan rasa santai akan sedikit melakukan agresif, begitu sebaliknya. Ia juga meyakini keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan waktu bayi.
3)      Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan). Hal ini misalnya terjadi pada wanita yang sedang mengalami haid, di mana kadar hormon esterogen dan progresteron menurun. Perasaan mereka mudah tersinggung, gelisa, tegang, dan bermusuhan. Kenyataannya, banyak wanita yang melakukan pelanggaran (agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid.[88]
Pernyataan tersebut hampir sama dengan pendapat Lyndon Saputra, sebagaimana dikutip Nata bahwa  menurut teori disiplin mental ternyata manusia sejak dari lahir telah memiliki potensi bawaan secara gen (herditas). Dalam posisi ini, maka makna belajar merupakan upaya pengembangan terhadap potensi-potensi tersebut. Selanjutnya, Abudin Nata menjelaskan dalam teori mental humanistik, proses pendidikan lebih menekankan pada keseluruhan dan keutuhan.  Artinya, pendidikan harus menekankan pendidikan umum (general education). Asumsinya, bila individu menguasai persmasalahan umum, maka akan mudah diterima lalu diterapkan pada hal-hal lain yang bersifat khusus.[89] Namun tampaknya, nilai-nilai keuniversalan  agama Islam inilah yang sering kali ditinggalkan dalam pembelajaran PAI.  Di mana, kegiatan pembelajaran hanya difokuskan pada masalah fikih dan dibelokkan pada sentimen keagamaanh yang menutup diri dari kenyataan bahwa “di luar” sana ada keberagaman agama.

3.      Peta Konsep

a.      Mekanisme psikologi pelaku kekerasan dalam “menyusun” pembenaran diri
     









-   Mencari pembenaran (atas nama moral dan agama)
-   Penamaan (label) yang halus (santun)
-   Pembandingan dengan “kekerasan” yang lain
 

Penafsiran ulang segala konsekuensi yang ada (demi mendapatkan kemanfaatan bersama yang lebih tinggi)
 

-   Dehumanisasi (pengkaburan nilai-nilai kemanusisaan)
-   Pelemparan kesalahan (tanggung jawab)
 



 















Gambar 1.1: mekanisme psikologi terosis dalam mengkonstruk pembenaran diri (skema diadaptasi dari Albert Bandura)[90]

Keterangan gambar:
Tindakan tercela (amoral): penafsiran ulang secara kognitif, sehingga perbuatan tersebut dari yang awalnya haram-tercela menjadi boleh-mulia bahkan wajib.

Korban manusia: dilakukan karena keadaan terpaksa, manusia tidak lagi dianggap manusia melainkan hanya dijadikan tumbal perjuangan...

Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa pada mulanya pelau kekerasan menganggap bahwa merusak fasilitas umum dan melukai tubuh atau barang fisik orang lain adalah tindakan tercela (berdosa) dan diluar standar moral. Namun, kemudian untuk mengkaburkan sifat tercela tersebut teroris mencari dan mengumpulkan berbagai dalih pembenaran dengan berbagai cara, termasuk mengkambing hitamkan penyebab pada pihak lain.

b.      Upaya pemutusan rantai kekerasan melalui PAI



 










Gambar 1.2: Upaya pemutusan rantai kekerasan ideologis melalui Pendidikan



DAFTAR RUJUKAN
“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.

“Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,” dalam http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/pp55tahun2007.pdf, didownload 22 Desember 2014.

“Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014.

Amstrong, Thomas. “Seven Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence,” dalam Seven Kinds of Smart: Identifying anda Developing Your Multiple Intelligences, terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia, 2005.

Arifin, Syamsul. “Implementasi Studi Agama Berbasis Multikultural dalam Pendidikan,” dalam http://rires2.umm.ac.id/publikasi/lama/IMPLEMENTASI%20STUDI%20AGAMA2.pdf, didownload tanggal 16 Desember 2014.

--------. “Klaim Kemutlakan, Konflik Sosial, dan Reorientasi Keberagamaan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma, 2000.

--------. “Konflik, Kekerasan, dan Multikulturalisme: Mengurai Sengkarut Agama di Ranah Sosial,” dalam Ulumul Qur’an (Vol. X/No.1/Th.ke-25/2014), hlm. 19-31.

--------. Studi Agama: Perspektif Sosiologis &Isu-isu Kontemporer. Malang: UMM, 2009.

Bandura, AlbertMekanisme Merenggangnya Moral,” dalam Walter Reich, “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.

Fathoni, Muhammad Kholid. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Pardigma Baru]. Jakarta: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005.

Fathuddin, Syukri. “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman. Yogyakarta: UNY Press, 2008.

Fromm, Erich. “Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia,” dalam The Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Goleman, Daniel. “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence Terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Hoerr, Thomas R. “Buku Kerja Multiple Intelligences: Pengalaman New City School di St. Louis, AS, dalam Menghargai Aneka Kecerdasan Anak,” dalam Becoming a Multiple Intelligences School, terj. Ary Nilandari. Bandung: Kaifa, 2007.

Idi, Abdullah dan Suharto, Toto. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

Jurgensmeyer, Mark. “Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Nizam, 2002.

Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.

Kosim, Muhammad. “Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural,” dalam Pendidikan Agama Islam dalam Prespektif Multikulturalisme, ed. Zainal Abidin dan Neneng Habibah. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009.

Muchsin, Bashori dan Wahid, Abdul. Pendidikan Islam Kontemporer. Bandung: Refika Aditama, 2009.

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: Rajawali, 2009.

--------. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: PSAPM, 2003.

Mujtahid, Reformasi Pendidikan Islam. Malang: UIN Maliki, 2011.

Naim, Ngainun. Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman Yogyakarta: Teras, 2011.

Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al Tarbawiy). Jakarta: Rajawali, 2009.

Nimer, Mohammed Abu “Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam: Teori dan Praktek,” dalam Nonviolence and Peace Building in Islam: Theory and Practice, terj. M. Irsyad Rhafsadi dan  Khairil Azhar. EDISI DIGITAL, http://www.abad-demokrasi.com/sites/default/files/ebook/Nirkekerasan%20Abu-Nimer.pdf, didownload tanggal 16 Desember 2014.

Nyoman, Paskalis Edwin. “Agama dan Kekerasan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma, 2000.

Pasiak, Taufiq. Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup. Bandung: Mizan.

Purnomo, Agus. Ideologi Kekerasan: Argumentasi Teologis-Sosial Radikalisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Riyanto, Armada. “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma, 2000.

Saefuddin, Ahmad Muflih. “Pembaharuan Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar,” dalam Percakapan Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1991.

Schillebeeckx, Edwar. “Dokumentasi: Agama dan Kekerasan,” dalam Agama  Sebagai Sumber Kekerasan? Judul Asli: Religion as a Source of Violence, ed. Wim Beuken. dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis Filosofis, dan Spiritualitas. Malang: UMM, 2008.

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya. Jakarta: Cemerlang, 2003.

Wahid, Abdurrahman. dkk., “Islam Tanpa Kekerasan” dalam Islam and Nonviolence, terj. M. Taufiq Rahman. Yogyakarta: Lkis, 2010.

Widayati, Sri dan Widijati, Utami. Mengoptimalkan 9 Zona Kecerdasan Majemuk Anak. Yogyakarta: Luna, 2008.

Zohar, Danah dan Marshall, Ian. SQ: Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, terj. Rahmani dkk. Bandung: Mizan, 2007.


[1]Sebagaimana diketahui secara umum, bahwa agama yang paling agresif dalam “mempengaruhi” umat manusia adalah Kristen, Yahudi, dan Islam. Ketiga agama tersebut merupakan agama Samawi (dari langit), sehingga perlu Rasul (utusan) di bumi sebagai “penyambung” wahyu Ilahi. Dengan demikian, ketiganya dapat dikatakan sebagai agama profetik (kenabian). Di mana Nabi Isa, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad diutus kepada umatnya untuk menyampaikan wahyu yang mengusung semangat “perubahan” (revolusioner). Ironisnya, semangat perubahan ini diasumsikan sebagai “hasil” yang harus dicapai dan diciptakan umatnya. Apapun itu caranya yang penting terjadi hasil perubahan, termasuk dengan jalan kekerasan sekalipun. Padahal sebagaimana telah diyakini secara jamak, bahwa tuhan itu Maha Pengasih. Oleh karena itu, tidaklah mungkin Dia “memperkosa” umatnya untuk berhasil mencapai tujuan dalam misi membela agama-Nya. Tuhan tidak sekejam itu. Dia tidak menuntut hasil dari umatnya, tapi menuntut proses yang mulia (baik) dalam menjalankan misi membela agama-Nya. Itu artinya, bila terjadi kegagalan tentu Tuhan tidak akan menangis, bersedih, kecewa, dan marah ketika melihat ketidakberdayaan umat-Nya dalam usaha merubah tatatan masyarakat menjadi lebih baik.
[2]Hubungan yang tidak direstui (perselingkuhan) antara agama dengan kekerasan tidak bisa disamakan dengan “hubungan” agama dengan kekerasan yang direstui oleh etika agama. Biasanya perselingkuhan tersebut terjadi karena faktor ketergesa-gesaan, penuh nafsu, dan demi memenuhi ego. Padahal ada jalan lain yang mulia dan baik untuk mencapai tujuan “kenikmatan” tersebut. Implikasinya, karena perselingkuhan adalah perbuatan ilegal maka setiap “kenikmatan” yang mereka lakukan otomatis tidak sah (buruk).
[3]Salah satu teori mengatakan bahwa alasan manusia melakukan kekerasan adalah untuk “meluapkan” insting agresifnya yang tertahan. Untuk masalah ini akan dibahas pada halaman berikutnya. Faktor atau penyebab lain hanyalah “bonus tambahan” sebagai alasan dan pemicu untuk melakukan kekerasan. Bila teori ini benar maka, sejatinya kekerasan seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan “penyebab.” Sedangkan kekerasan yang dilakukan oleh korbannya disebut sebagai kekerasan “akibat.” Bisa juga “korban” tidak melakukan perlawanan (kekerasan) tapi “melarikan” diri mencari tempat aman. Namun, antara kekerasan penyebab dan kekerasan akibat kadangkala sangat sulit diuraikan karena hubungan mereka seperti lingkaran setan yang selalu terkait dan tak terputus. Mengenai masalah kekerasan-balik (counterviolence) ini bisa dilihat Abdurrahman Wahid, dkk., “Islam Tanpa Kekerasan” dalam Islam and Nonviolence, terj. M. Taufiq Rahman (Yogyakarta: Lkis, 2010), hlm. 97.
[4]Misalnya, untuk menjalankan perintah agama tentang nahi munkar (mencegah kemunkaran) seseorang secara membabi buta melakukan perusakan (kekerasan) terhadap tempat-tempat maksiat yang dianggap menjadi sumber kemunkaran. Seolah-olah kekarasan menjadi satu-satunya jalan terbenar dan tersuci untuk menegakan perintah Tuhan. Padahal, masih ada cara lain yang lebih humanis dan tentu direstui Tuhan, meski resikonya membutuhkan dana besar dan membutuhkan jangka waktu lama. Misalnya melalui publikasi pada media massa, melalui jalur pendidikan, dan pendekatan personal kepada yang bersentuhan secara langsung terhadap tempat kemaksiatan maupun kepada keluarganya. Dengan demikian, proses yang lebih islami (manusiawi) tersebut jauh lebih penting daripada tujuan yang mulia tapi menggunakan kekerasan dalam konteks yang tidak tepat.
[5]Globalisasi ditengarai menjadi salah satu penyebab berdirinya lembaga-lembaga agama yang melakukan kekerasan. Hal ini terjadi pada berbagai tempat berbeda di seluruh dunia. Lihat,  Mark Jurgensmeyer, “Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. M. Sadat Ismail (Jakarta: Nizam, 2002), hlm. xvii.
[6]Dalam melakukan pencegahan ini tidak bisa hanya mengunakan satu pendekatan, misalnya melakukan doktrin. Diperlukan berbagai pendeketan lain (interdisipliner) supaya siswa bisa memahami dan tergerak untuk mewujudkan kehidupan nirkekerasan. Misalnya melalui psikologi, sosiologi, dan biologi.
[7]Ajaran Islam yang parsial adalah ajaran yang dilakukan secara tidak utuh. Yakni, terjadi kesalahan dalam memahami Islam, di mana Islam hanya diidentifikasikan pada ajaran tertentu saja, misalnya difokuskan pada ajaran tentang nahi munkar (mencegah munkar) dan  jihad saja. Padahal masih banyak ajaran lain yang jauh lebih bermanfaat dan manusiawi bila diterapkan pada konteks yang  tepat. Misalnya bakti sosial membantu bencana alam, pendidikan bermutu tapi murah, dan berbagai kegiatan simpatis (humanis) lainnya. Di sisi lain, ajaran Islam diterapkan secara parsial karena untuk menguntungkan diri atau kelompok. Dengan cara mencatut dalil-dalil (wahyu) yang hanya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, lalu menafikan (menyembunyikan) wahyu lain yang merugikan kepentingannya.
[8]Mohammed Abu-Nimer, “Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam: Teori dan Praktek,” dalam Nonviolence and Peace Building in Islam: Theory and Practice, terj. M. Irsyad Rhafsadi dan Khairil Azhar. EDISI DIGITAL, http://www.abad-demokrasi.com/sites/default/files/ebook/Nirkekerasan%20Abu-Nimer.pdf, didownload tanggal 16 Desember 2014.
[9]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[10]Nimer, “Nirkekerasan dan Bina,” EDISI DIGITAL, didownload tanggal 16 Desember 2014, hlm. 20.
[11]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[12]Mencari penyebab dan motivasi kekerasan tidak memuaskan bila hanya didasarkan pada adanya seruan dari agama. Sebagaimana menurut Sumjati yang dikutip oleh Muchsin dan Wahid bahwa “tidak mudah menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seperti main hakim sediri (eigenrichting) yang terjadi di Indonesia. kalau ada upaya penyelesaian maka upaya penyelesaian dimaksud harus melibatkan banyak aspek, banyak pihak, yang harus saling sinergi antara aspek, pihak yang satu dengan aspek, pihak yang lain.” Lihat, Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 128.
[13]Nimer, “Nirkekerasan dan Bina,” EDISI DIGITAL, didownload tanggal 16 Desember 2014,  hlm. 30-31.
[14]“kekerasan ‘yang mengatasnamakan’ agama bukanlah fenomena tunggal yang muncul tiba-tiba, tetapi memiliki keterkaitan tertentu, yang diantaranya dengan persoalan ideologi dan legitimasi teks-teks keagamaan, yang dipahami secara rigid oleh para pelaku kekerasan. Lihat, Agus Purnomo, Ideologi Kekerasan: Argumentasi Teologis-Sosial Radikalisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 6.
[15]Syamsul Arifin, “Implementasi Studi Agama Berbasis Multikultural dalam Pendidikan,” dalam http://rires2.umm.ac.id/publikasi/lama/IMPLEMENTASI%20STUDI%20AGAMA2.pdf, didownload tanggal 16 Desember 2014.
[16]Sebagaimana menurut Nyoman, bahwa di Dunia Timur, hubungan persaudaraan spiritual (agama) atas ama kesatuan di dalam Tuhan sering kali lebuh kuat dari pada bentuk ikatan lain, termasuk hubungan darah. Perasaan atas kesamaan religus membuat individu mejadi akrab dan kompak.  Sebaliknya perasaan religius yang berbeda dapat memisahkan orang bahkan dapat mengakibatkan konflik meskipun mereka satu keluarga. Loyalitas keagamaan ini, menurut Schneider sebagaimana dikutip Nyoman melebihi loyalitas lainnya di mana saja, kecuali dalam dunia barat modern. Lihat, Paskalis Edwin Nyoman, “Agama dan Kekerasan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma, 2000), hlm. 38.
[17]Nyoman, menyebutkan ada tiga pemicu tindakan kekerasan, pertama ketidakadilan, baik dalam bidang ekonomi dan politik. Pengadilan (aparat berwenang) tidak bisa dipercaya lagi sehingga orang menegakkan keadilan dengan caranya sendiri, termsuk melalui kekerasan. Kedua, perbedaan, baik perbedaan secara fisik (simbol, warna, bentuk, dll) maupun non fisik (tujuan, pemahaman, ideologi, dll). Ketiga, kambing hitam, dengan mengorbankan salah satu pihak sebagai sasaran utama (yang dianggap paling berdosa) dalam sebuah kemelut yang sedang terjadi. Lihat, Ibid., hlm. 39-42.
[18]Konsep amar ma’ruf nahi munkar tidak sepantasnya dijadikan legitimasi melakukan kekerasan sebagai suatu yang bersifat privilese (hak istimewa) bagi pelakunya. Yakni, untuk menegekkan misi agama agar manusia bisa berkehidupan yang sesuai dengan etika agama. Masih ada jalan lain dalam Islam selain itu untuk menegakkan kebenaran, menjujung moralitas, dan memperoleh tatanan damai (tanpa maksiat) pada  masyarakat. Lihat, Muchsin dan Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, hlm. 129.
[19]Atas ketakutan tersebut maka hak agama lain untuk eksis terus ditekan dan ditolak. Dalam masyarakat yang beraneka ragam, penolakan ini merupakan pernyataan “perang,” sehingga mendorong pada kekerasan. Lihat, Edwar Schillebeeckx, “Dokumentasi: Agama dan Kekerasan,” dalam Agama  Sebagai Sumber Kekerasan? Judul Asli: Religion as a Source of Violence, ed. Wim Beuken. dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 243.
[20]Dari sini dapat dikatakan, tolok ukur kejayaan agama Islam adalah berdasarkan jumlah pemeluknya, sehingga mereka kawatir akan terjadi permurtadan massal atau berkurangnya jumlah pemeluk agama Islam. Dengan kata lain, dalam konflik atas nama agama ini terjadi perebutan pengaruh dan perebutan pemeluk antara agama satu dengan yang lain. Padahal, agama Islam tidak hanya memandang kuantitas saja tapi yang lebih penting adalah kualitas pemeluk agamanya. Di sinilah mereka lupa, bahwa sebelum menjaga dan meningkatkan kuantitas pemeluknya terlebih dahulu mereka harus meningkatkan kualitas agama dan kehidupan pemeluknya.
[21] Di satu sisi, umat Islam dalam ranah keimanan diwajibkan untuk mengklaim bahwa agama Islam yang benar dan diakui (sah) oleh Tuhan. Di sisi lain secara etika dan dari segi pergaulan dengan pemeluk agama lain, umat Islam tidak boleh menyakiti hati dan fisik mereka.
[22]“Kekerasan, misalnya, diperlukan untuk tujuan-tujuan hukuman dan tidak jarang diperlukan untuk mempertahankan agama. Dalam “dunia konflik” [dar al-harb], di luar dunia muslim, kekuatan [force] merupakan sarana mempertahankan kelangsungan hidup [cultural survival]. Dalam konteks demikian, mempertahankan eksistensi agama dipandang sebagai persoalan jihat, sebuah kata yang secara literal berarti “berjuang” dan sering kali diterjemahkan “perang suci.” Padahal dalam “Hukum islam tidak memperbolehkan jihad digunakan secara sembarangan, untuk pencapain personal, atau untuk membenarkan pemaksaan dalam berbangsa: perpindahan agama yang dipandang sah hanya dilakukan tanpa kekerasan, melalui dorongan rasional dan perubahan (kehendak) hati.” Lihat, Jurgensmeyer, “Teror Atas Nama,” hlm. 105-106.
[23] Secara sosiologis menurut D. Hendopuspito sebagaimana dikutip Nyoman, agama memiliki lima fungsi utama yaitu fungsi edukatif, fungsi penyelamatan, fungsi pengawasan sosial, fungsi pemupuk persaudaraan, dan fungsi transformatif. Lebih lanjut, agama memiliki peran penting dalam membnagun negara, yaitu sebagai landasn moral, etik, dan psiritual agar tercapai surga di dunia ini. Lihat, Nyoman, “Agama dan Kekerasan,” hlm. 37.
[24]Nyoman, “Agama dan Kekerasan,” hlm. 39.
[25]Kekerasan ber-“etika” menurut penulis adalah kekerasan yang dilandaskan pada dasar-dasar hukum yang jelas dan kuat tentang kaidah baik dan buruk. Misalnya, seorang polisi melakukan “kekerasan” terhadap pelaku terorisme yang bersenjata (membahayakan), secara etika kekerasan yang dilakukan oleh polisi tersebut bernilai baik. Sebaliknya, secara etika suatu kekerasan akan dipandang buruk bila dilakukan sewenang-wenang tanpa didasarkan pada standar etika. Sekalipun kekerasan itu dilakukan oleh polisi, yakni oknum polisi yang tidak bertangung jawab (tidak punya moral/berpenyakit sosial). Dalam konteks ini, konsep “kekerasan” pada agama Islam sesungguhnya juga disandarkan pada standar etika. Kekerasan dalam Islam tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang (egoistik), tidak sadisme, tidak melakukan dehumanisasi, dan tidak boleh dilakukan dalam semua konteks kehidupan. Dengan demikian, kekerasan yang dilakukan oleh ormas agama tertentu dalam konteks keindonesiaan sebagai negara hukum tidak dibenarkan.- Bagaimanapun, ada penegak hukum yang berwenang dalam sistem pemerintahan. Bila ada kemandulan supremasi hukum, maka jalan yang ditempuh seharusnya bukan kekerasan. Namun, membersihkan sistem hukum yang rusak (berpenyakit) tersebut dengan jalan nirkekerasan. Salah satu contoh untuk jangka panjang, menyekolahkan anak-anak mereka atau mengarahkan dan mendukung generasi-generasi Islam yang berpotensi sesuai, didorong untuk menjadi penegak hukum yang islami. Yakni, benar-benar adil, universial, pengayom, dan tidak berpenyakit sosial.
[26]Latar belakang di sini meliputi ekonomi, politik, pendidikan, pekerjaan, cara bersosial, kejiwaan, organisasi keagamaan, dan latar belakang lainnya yang dipandang penting.
[27]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: Rajawali, 2009), hlm. 17.
[28]Ibid., hlm. 39-40.
[29]Sebagai umat yang besar di Indonesia, umat Islam semestinya memberikan keteladanan dalam bersikap dan berprinsip toleran dalam kehidupan. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam sejarah sosial-historis umat Islam pada masanya. Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 131.
[30]Dalam ibadah ritual salat misalnya, salat yang dilakukan biasanya belum ke ranah konstruksi suci dari syahadad dan sujud kepada Allah. Artinya, belum pada tingkatan pengakuan diri bahwa dirinya adalah hamba yang wajib menyembah, membesarkan, dan mengabsolutkan-Nya. Kenyataannya malah mengutamakan kepentingan diri dan orang lain yang ada dalam bingkai (frame) sama dengannya. Pada akhirnya dikerucutkan pada pemutlakan, pembenaran, dan pengabsolutan diri sendiri atau seseorang yang ada di dalam frame tersebut. Dengan kata lain, pengabsolutan diri  masih lebih mendominasi dibandingkan dengan pengakuan kedaulatan Tuhan. Lihat, Muchsin dan Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, hlm. 174.
[31]Nilai nasionalisme di sini adalah nilai-nilai dalam menjaga keutuhan dan keamanan bangsa yang didasarkan pada peraturan Undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, umat Islam sebagai warga negara harus patuh terhadap undang-undang yang ada di Indonesia –perlu penjabaran panjang untuk menjelaskan mengapa harus patuh. Tapi, pada intinya UUD 1945 tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Salah satu amanatnya adalah pada pasal  28J ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. serta dalam Pasal 28E ayat 1 dan 2 serta Pasal 28I ayat 1. Lihat, “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014..
[32]Generasi muda yang tidak berani melakukan ijtihad (pengembangan diri) hanya akan memperlakukan agama sebagai alat pencapai kepentingannya. Aspek pragmatisme dan hedonisme lebih dimenangkan dibandingkan dengan melakukan kajian mendalam tentang filosofi sosial keagamaan. Implikasinya, agama gagal memasuki wilayah pemikiran progresif, dan stagnan berkutat dalam ekslusivisme. Artinya, telah terjadi pragmatisme agama yaitu melakukan kegiatan atas nama agama tapi kenyataannya hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri.
[33]Syukri Fathuddin, “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman (Yogyakarta: UNY Press, 2008), hlm. 130.
[34]Beberapa prinsip etika dalam al Quran menurut Hendar Riyadi sebagaimana dikutip Naim terkait hubungan sosial antar umat beragama meliputi, egalitarianisme, prinsip keadilan, prinsip toleransi, prinsip saling menghormati (bekerjasama dan berteman), prinsip ko-eksistensi damai, dan dialog yang arif-konstruktif-transformatif. Lihat, Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 53-55.
[35]Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis Filosofis, dan Spiritualitas (Malang: UMM, 2008), hlm. 49-50.
[36]Ibid., hlm. 153.
[37]Muhammad Kosim, “Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural,” dalam Pendidikan Agama Islam dalam Prespektif Multikulturalisme, ed. Zainal Abidin dan Neneng Habibah (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), hlm. 219.
[38]Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003), hlm. 7.
[39]“Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,” dalam http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/pp55tahun2007.pdf, didownload 22 Desember 2014.
[40]Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
[41]Mujtahid, Reformasi Pendidikan Islam (Malang: UIN Maliki, 2011), hlm. 103-104.
[42]Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 2
[43]Lihat, Jurgensmeyer, “Teror Atas Nama,” hlm. 9.
[44]“Institusi studi agama ternyata efektif dalam mengkonstrusi pemahaman keagamaan yang berdampak pula terhadap hubungan antaragama. Adanya hubungan antara studi agama dengan pola interaksi antaruma agama, perlu mejadi bahan pertimbangan dalam mengembangkan suatu model studi agama yang dapat menciptakan suasana toleransi, dialogis, bahkan kooperatif antar umat beragama. Lihat, Syamsul Arifin, “Konflik, Kekerasan, dan Multikulturalisme: Mengurai Sengkarut Agama di Ranah Sosial,” dalam Ulumul Qur’an (Vol. X/No.1/Th.ke-25/2014), hlm. 19-31.
[45]Armada Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma, 2000), hlm. 24.
[46]Menurut penulis, PAI seharusnya bisa mencegah generasi Islam di kemudian hari melakukan kekerasan atas dasar “kriminalitas terlebih kekerasan atas dasar ideologis.” Kekerasan kriminalitas adalah kekerasan yang dilakukan atas faktor kriminal murni tidak ada sangkut paut dengan semangat ideologi tertentu. Sedangkan kekerasa ideologi adalah kekerasan yang dilakukan demi melaksanakan misi ideologi tertentu. Bagaimanapun, kedua macam kriminalitas tersebut merupakan tindak kekerasan. Di mana kekerasan dalam bentuk apapun pada masa modern ini tidaklah ditolerir. Terkecuali “kekerasan” yang harus dilakukan aparat berwenang ketika menghadapi sistuasi yang krusial, sehingga secara etika keputusan yang harus diambil adalah tindakan kekerasan.
[47]Sebuah gerakan sosial dan termasuk gerakan kekerasan atas nama agama perlu adanya kerangka ideologi yang isinya: 1. Deklarasi (penguatan) tujuan gerakan, 2. Pengumpulan kritik dan penilaian negatif terhadap struktur yang akan diubah, 3. Pengumpulan doktrin sebagai pembenar tujuan gerakan, 4. Sistem kepercayaan yang terkait dengan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan gerakan, 5. Mitos (tahayul) gerakan. Lihat, Syamsul Arifin, Studi Agama: Perspektif Sosiologis &Isu-isu Kontemporer (Malang: UMM, 2009), hlm. 199.
[48]Sebagaimana menurut Saefuddin bahwa tidak perlu mengadakan pembaharuan terhadap ajaran Islam karena Islam telah sempurna dengan sendirinya. Justru yang harus diperbarui adalah sikap dan pandangan manusia terhadap agama, yaitu kemalasan dan kekurangan  yang dimiliki manusia. Serta bukan dinamika al-Quran yang dipertanyakan dalam menghadapi tantangan zaman, namun dinamika umat Islam dalam memahami al-Quranlah yang harus dimulai dan tidak boleh pernah berhenti sepanjang zaman. Lihat, Ahmad Muflih Saefuddin, “Pembaharuan Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar,” dalam Percakapan Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 15.
[49]Sebagaimana dalam PP No. 55 tahun 2007 Pasal ayat 6: Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.Lihat, “Peraturan Pemerintah Republik,” didownload 22 Desember 2014.
[50]Armada Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” Hlm. 24-25.
[51]Armada Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” hlm. 20.
[52]Dialog atau kerja sama yang dilakukan dengan terbuka, serta dilakukan bebas tanpa terlebih dahulu diberikan kesempatan pada salah satu umat beragama untuk mengkuatkan dan mengikatkan “iman” umat beragama yang masih awam dengan agamanya sendiri.
[53]Paradigma PAI yang lama harus segera ditinggalkan, utamanya tentang pengutamaan ritualitas dan simbolisasi agama secara buta. Alasannya, pada zaman sekarang ini bukan kekuatan fisik (tubuh) yang mampu mempengaruhi dan mengubah arah peradaban tapi ilmu (pikiran) lebih menentukan dari semuanya. Asumsinya, dengan ilmu siapapun mampu merekayasa kekuatan fisik. Dengan ilmu pula siapapun bisa merekayasa media massa, teknologi, pemerintahan, dan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, arah pendidikan PAI hendaknya tidak hanya ditujukan pada keterampilan fisik, tapi juga “menyemangati” generasi mudanya untuk aktif dalam pengembangan IPTEK.
[54]Hal ini sesuai dengan PP No. 55 Tahun 2007 Pasal ayat 3, bahwa “pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Lihat, “Peraturan Pemerintah Republik” didownload 22 Desember 2014.
[55]Secara terperinci, dalam konteks pendidikan, yaitu penanaman  ideologi agama yang benar (utuh) kepada peserta didik harus ditanamkan secara konsisten. Yakni, penanaman “ideologi” kedamaian yang bukan hanya untuk seagama sendiri. Artinya, untuk umat seagama sendiri bersikap lemah lembut tapi pada agama lain akan bersikap keras dan melemahkannya. Sebagaimana menurut Arifin bahwa “setiap gerakan fundamentalisme agama memiliki ideologi. Bagi gerakan sosial, keberadaan ideologi memiliki arti penting. Tanpa ditopang ideologi, keberadaan suatu gerakan sosial hanya akan menghadapi ketidakpastian yang berkepanjangan.” Kritik sosial dan gerakan fundamentalis tersebut ditujukan kepada berbagai macam penyakit sosial yang menimbulkan krisis kehidupan masyarakat. Krisis inilah yang ingin disematkan oleh mereka dengan mengembalikan pada tatanan kehidupan ideal pada masa lalu. Serta memberikan janji kemuliaan di masa akan datang (eksatologis). Lihat, Arifin, Studi Agama: Perspektif, hlm. 199.
[56]Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Pardigma Baru] (Jakarta: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005), hlm. 51.
[57]Klaim kebenaran (truth claim) bagi setiap agama adalah hal yang sangat sah. Asumsinya, tanpa klaim tersebut agama sebagai sistem kehidupan tidak punya kekuatan simbolik yang cukup menarik bagi setiap pengikutnya. Selain itu, hal klaim tersebut bisa menjadi pegangan hidup yang stabil dan tidak berubah-ubah. Oleh karena itu, beberapa pemeluk agama akan berusah memposisikan diri sebagai penganut agama yang loyal, punya komitmen persnoal terhadap ajaran agamanya, dan bersemangat dalam berdedikasi untuk agamanya. Namun yang perlu dicatat, bila klaim kebenaran tersebut dipahami secara mentah-mentah dan penuh emosional, bisa menimbulkan banyak masalah. Meski umat beragama perlu kebenaran agama yang tak berubah-ubah, tapi kenyataannya kehidupa manusia itu penuh perubahan (dinamika), ketidakstabilan, dan ketidakmenentuan.  Secara historis, adanya perselisihan (kekerasan), pertikaan, konflik, dan peperangan antar komunitas agama di hampir seluruh dunia diakibatkan dari klaim kebeneran yang melebar (menyeleweng). Yakni, telah memasuki wilayah sosial politik yang bersiat praktis-empiris. Dengan demikian, bila masyarakat belum siap dan kurang memiliki kesadaran akan pluralisme, maka klaim kebenaran bukan hanya terbatas pada hubungan antar agama, tapi juga terjad pada ranah internal agama itu sendiri. Terlebih, bila klaim kebenaran tersebut dibungkus dalam simpul interest, kepentingan pribadi atau kelompok, baik yang menjurus politis  (170) maupun sosiologis. Lihat, Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Surabaya: PSAPM, 2003), hlm. 170-172.
[58]Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al Tarbawiy) (Jakarta: Rajawali, 2009), hlm. 163.
[59]Seorang anak yang didik dalam balutan kekerasan, suatu saat pengalaman kekerasan tersebut berpotensi besar akan ditiru oleh mereka di saat dewasa kelak.[59] (109) pendidikan islam humanistik.
[60]Erich Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia,” dalam The Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 6.
[61]Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis,” hlm. 8-9.
[62]Ibid., hlm. 83-84.
[63]Misalnya, seorang ibu melarang anak bungsunya memakan permen, larangan tersebut bisa menimbulan frustasi, tapi tidak akan menimbulkan agresi bila dilakukan dengan menunjukkan kasih sayang, perdamaian, dan tidak menunjukkan sikap otoriter. Namun, bila pelarangan itu adalah wujud dari pemaksaan orang tua untuk menguasai terlebih kakanya yang sebaya diperlbolehkan makan permen, maka besar kemungkinan agresifitas muncul. Pemicu agresi bukan hanya pelarangannya, tapi ada faktor lain yang menjadi pendorong yaitu adanya ketidak adilan. Lihat, Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis,” hlm. 83-84.
[64]Tanggapan Arifin tentang passing over adalah “Adanya suatu yang hilang dari agama, yaitu daya jelajah agama yang memungkinkan setiap orang melakukan ziarah spiritual – yang oleh John S. Donne disebut dengan passing over, kecuali akan menambah wawasan intelektual agama lain yang diperolehnya secara fenomenologis. Juga, akan dapat memperkaya pemahaman spiritual yang sebelumnya diperkaya oleh agama yang dipeluknya.” Lantas bagaimana individu dapat keluar dari penyandraan formalitas agama, sehingga bisa melakukan perjumpaan secara mendalam dengan agama lain? Semua itu menurut arifin, tergantung pada proses pembelajaran atas agama yang dipeluk. Lihat, Syamsul Arifin, “Klaim Kemutlakan, Konflik Sosial, dan Reorientasi Keberagamaan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma, 2000), hlm. 51.
[65]Misalnya, ada bencana alam di wilayah berpenduduk non muslim, para peserta didik yang terseleksi diikutsertakan melakukan bakti sosial. Tentu dengan tidak menyertakan simbol-simbol Islam saat menjalankan misi kemanusiaan di sana atau tidak boleh melakukan misi “Islamisasi.” Setelah itu, peserta didik yang ikut diwajibkan “menceritakan” pengalaman psikologis mereka saat melakukan bakti sosial kepada peserta didik lain.
[66]Ciri-ciri kecerdsan intrapersonal adalah pertama memiliki empati, yaitu memahami perasaan orang lain dan peka pada situasi serta tahu sikap apa yang harus dilakukan pada setiap situasi yang ada. Kedua, bersikap asertif; kemampuan untuk mempertahankan kepentingannya (hak) tanpa merugikan orang lain. Ketiga, bisa bekerja sama; kemampuan dalam memetakan antara hak dan kewajiban bahkan tugas seseorang dalam kelompok, berjiwa pemimpin yaitu mampu menempatkan seseorang dalam posisi yang tepat. Keempat, bersikap realistik akan kelemahan dan kelebiahnnya. Keenam, sikap yang idependen dan punya hasrat yang kuat dan ketujuh adalah  punya ekslusifitas pandangan hidup dari pada yang lainnya. Sri Widayati dan Utami Widijati, Mengoptimalkan 9 Zona Kecerdasan Majemuk Anak (Yogyakarta: Luna, 2008), hlm. 185-186.
[67]Flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan.” Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence ed. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 127. Dengan kata lain, segala tindakan yang dilakukan berasal dari kesadaran diri bukan paksaan atau pendoktrinan dari orang lain.
[68]Sibernetika berarti “ilmu pengetahuan tentang komunikasi dan pengawasan yang khususnya berkenaan dengan studi bandingan atas sistem pengawasan otomatis (seperti sistem saraf dan otak).” Lihat, “Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[69]Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis,” hlm. 45.
[70]Absolutisme agama, yang dianggap kebenaran tertinggi (The ultimate reality), merupakan kebutuhan alami manusia sebagai makhluk yang serba relatif. Dari kerelatifan tersebut, acapkali daya rasional manusia gagal dalam memberikan jawaban yang memuaskan ketika dihadapkan pada persoalan eksistensi dan fundamental. Utamanya tentang alasan dan bagaiman seharusnya keberadaan manusia dalam realitasi kosmos. Lihat, Arifin, “Klaim Kemutlakan, Konflik,” hlm. 48.
[71]Muchsin dan Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, hlm. 47-48.
[72]Arifin, “Implementasi Studi Agama,” didownload tanggal 16 Desember 2014, hlm. 12.
[73]Dialog antar iman harus dilakukan dalam segala bidang kehidupan. Misalnya, dengan pembentukan forum-forum dan pertemuan antar umat beragama baik formal maupun informal secara berkala maupun insidental. Bisa juga dengan aneka maca kerjasama dalam bidang sosial, pendidikan, kesehatan, pertanian, studi ilmiah, dan sebagainya. Gotong-royong dalam pembangunan kembali rumah ibadah yang rusak akibat tindak kekerasan, serta tentunya bahu-membahu untuk pembangunan ekonomi bangsa harus digalakkan. Semangat kemanusiaan universal dan mengatasi ekslusivisme inilah yang mampu meningkatkan mutu kehidupan bersama antar masyarakat Indonesia. Lihat, Armada Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” hlm. 13-14. Dengan kata lain umat islam memerulkan umat lain untuk menghadapi permaslah kehidupan yang serba kompleks ini.
[74]“Dengan demikian hubungan antarumat beragama perlu mendapat nama baru, dan substansi baru. Selain menimbulkan sikap apologetis, juga kerukunan atau toleransi hanya cocok untuk masyarakat agraris, tetapi tidak sesuai untuk masyarakat industrial. Kerukunan itu mengarah ke dalam masyarakat beragama sendiri, berorientasi ke belakang ke zaman “normal”, dan merujuk pada status quo. Yang diperlukan adalah konsep baru yang bersifat keluar dan tidak asyik dengan diri sendiri saja, melihat ke depan dengan bersama-sama menghadapi masa depan kemanusiaan, dan dinamis yang merujuk pada kerjasama. Oleh karena itu, kerukunan atau toleransi sudah saatnya digantikan dengan kerjasama atau koperasi; di masa depan yang diperlukan bukan kerukunan atau toleransi, tetapi kerjasama atau koperasi antarumat beragama (ta`awun `ala al-birri wa at-taqwa).” Arifin, “Implementasi Studi Agama,” didownload tanggal 16 Desember 2014. hlm 24-25.
[75]“kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan kunci. Lebih dari kecerdasan-kecerdasan lain, kecerdasan intrapersonal yang kuat menempatkan kita untuk kesuksesan; sebaliknya, kecerdasan intrapersonal yang lemah akan menghadapkan kita pada rasa frustasi dan kegagalan terus-menerus—dan keberhasilan kita, kalaupun ada, terjadi secara kebetulan saja.” Lihat, Thomas R. Hoerr, “Buku Kerja Multiple Intelligences: Pengalaman New City School di St. Louis, AS, dalam Menghargai Aneka Kecerdasan Anak,” dalam Becoming a Multiple Intelligences School, terj. Ary Nilandari (Bandung: Kaifa, 2007), hlm. 114.
[76]“Jika pada taran wacana telah disepakati tentang adanya nilai keadaban agama—antara lain toleransi dan pluralisme—maka yang terpenting dalam proses berikutnya adalah, menjadikan wacana itu apa yang dalam antropologi disebut dengan kesadaran subyektif (subjective consciousness) para pelaku yang dalam hal ini adalah para pemeluk agama. Praktek kekerasan dalam wilayah kehidupan agama sesungguhnya karena hilangnya kesadaran subyektif ini, meskipun mungkin secara teoritik masyarakat mengakui bahwa agama mengajarkan tentang toleransi dan pluralisme. Tapi karena tidak menjadi kesadaran subyektif, pengetahuan teoritik itu
tidak memberikan arti apa-apa.” Arifin, “Implementasi Studi Agama,” didownload tanggal 16 Desember 2014, hlm. 14-15.
[77]Ada tiga sebab yang menjadikan manusia dapat terhambat secara spiritual:
a.tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sendiri sama sekali
b. telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak proposional, atau dengan cara yang negati atau destruktif.
c. bertentangan atau buruknya hubungan antara bagian-bagian.” Lihat, Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, ed. Rahmani dkk (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 144
[78]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 236-237.
[79]Pada dasarnya manusia adalah makhluk spiritual. Manusia terdorong oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan mendasar dan pokok. Mengapa saya dilahairkan? Apa makn hidup saya? Apa yang membuat semua itu berharga? Manusia merindukan untuk menemukan makna dan nilai dari apa yang telah diperbuat dan dialami.
[80]Taufiq Pasiak, Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup (Bandung: Mizan), hlm. 255.
[81]Setiap kecerdasan rawan terhadap cacat akibat kerusakan atau cedera pada wilayah otak tertentu; menurut garder teori kecerdasan dapat berlaku bila didasarkan pada biologi (struktur otak). Kecerdasan linguistik berfungsi dibelahan otak kiri, kecerdasan musikal, spasila, dan antarpribadi cenderung pada belahan otak kanan. Kecerdasan kinestetik menyangkut korteks motor, ganglia basal, dan serebelum (otak kecil). Thomas Amstrong, “Seven Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence,” dalam Seven Kinds of Smart: Identifying anda Developing Your Multiple Intelligences ed. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 7.
[82]Pembahasan mengenai teori “kecerdasan,” pada awalnya identik dengan dunia Psikologi, akan tetapi ilmu biologi utamanya bidang neurosains juga memiliki peran yang tak kalah penting. Dengan demikian pembahasan terkait “kecerdasan” bukanlah kajian dunia abstrak (terkait proses berpikir dan berimajenasi). Namun juga menenyuh aspek “organ” tubuh manusia yang memiiki peran utama dalam “menyusun” kecerdasan, yaitu otak dan yang bersangkut paut dengannya.
[83]Menurut penulis dalam otak emosional terdapat kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional berarti “kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadap frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban strest tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati dan berdoa.” Lihat, Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 45.
[84]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 55.
[85]Taufiq Pasiak, Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan, hlm. 250-251.
[86]Zohar dan Marshall, SQ: Kecerdasan Spiritual,” hlm. 50.
[87]Rifa Hidayah, “Dampak Tayangan Kekerasan Pada Anak,” dalam Psikoislamika, Vol.1/No.2/Juli 2004. hlm. 203-216.
[88]Iin Tri Rahayu, “Kekerasan dan Agresifitas,” dalam Psikoislamika, Vol.1/No.2/Juli 2004. hlm. 167-175.
[89]Nata, Tafsir Ayat-ayat, hlm. hlm. 172-173.
[90]Albert Bandura, Mekanisme Merenggangnya Moral,” dalam Walter Reich, “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” terj. Sugeng Haryanto (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 206.



Interdisicplinary (Sumber gambar Mainotes)




Baca tulisan menarik lainnya: