Makalah ini telah diedit hingga layak untuk diterbitkan ke dalam Jurnal ILMIAH. Untuk membuka link jurnla tersebut silakan anda klik judul ini PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMAISLAM BERBUDAYA NIRKEKERASAN: PERSPEKTIF INTERDISIPLINER
Topik lain:
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM BERBASIS NIRKEKERASAN: PERSPEKTIF INTERDISIPLINER
Oleh: A. Rifqi Amin
1.
Latar Belakang
Masalah
Agama[1]
dan kekerasan seakan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam
keduanya terjadi hubungan yang erat, entah itu direstui[2]
atau tidak. Pandangan yang lebih esktrim, agama dituding sebagai penyemangat
dan pengobar terjadinya kekerasan. Bahkan tanpa rasa bersalah, dikatakan kelahiran dan
perkembangan agama-agama sejatinya tidak lepas dari yang namanya kekerasan.
Intinya, agama dituding gagal membawa misi perdamaian bagai umat manusia. Agama
difungsikan tidak lebih sebagai alat pencari “kenikmatan” atau kepuasan[3]
pribadi. Tanpa pernah peka (berempati) apakah kenikmatan (kekerasan) tersebut
akan melanggar hak (etika) kemanusiaan atau tidak.
Pernyataan tersebut secara tidak
langsung menyimpulkan bahwa tanpa adanya kekerasan maka agama tidak akan bisa
eksis dan berkembang. Implikasinya, tindakan kekerasan seolah menjadi kewajiban
sekaligus sebagai tujuan mulia yang mesti ditempuh umat beragama. Dengan kata
lain, tujuan dari beragama adalah kekerasan itu sendiri. Kenyataannya, ajaran
agama tidak hanya mengajarkan tentang kekerasan tapi juga ajaran-ajaran lain
yang sangat manusiawi. Bila ada umat beragama yang memakai “ajaran kekerasan” saja tanpa melihat ajaran
humanis[4]
lainya –itupun juga belum tentu
dalam konteks yang tepat–
lantas apakah bisa disimpulkan bahwa agama mengajarkan kekerasan?
Pertanyaan lain adalah apabila dunia ini tanpa hadirnya agama apakah otomatis dapat menjamin tindakan
kekerasan dapat berkurang? Apakah kekerasan merupakan
cara terbaik untuk mempengaruhi orang lain? Jawaban
singkatnya tentu akan mendapat perhatian publik, tapi belum tentu bisa
mempengaruhi logika secara
individu. Lalu,
apakah benar agama hanya mengajarkan, mengutamakan, dan mewajibkan kekerasan?
Adakah pilihan lain selain kekerasan yang ditawarkan oleh agama untuk
memecahkan suatu masalah?
Pertanyaan tersebut meski sederhana tapi bisa menjadi penghambat bagi siapapun
yang menjadikan agama sebagai dalih untuk menghalalkan jalan kekerasan. Intinya, persoalan
kekerasan menjadi tanggung jawab seluruh umat beragama untuk “mengkader”
generasinya, dengan mendoktrikan ajaran yang utuh. Tak terkecuali umat Islam,
harus bisa membuktikan kemanfaatan ajaran agamanya bagi kehidupan kontemporer
yang semakin dinamis.
Untuk mengatasi permasalahan
tersebut salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah melalui jalur Pendidikan.
Dalam konteks Islam, Pendidikan Agama Islam merupakan bagian terpenting untuk
mendoktrin generasi mudanya. Supaya mereka mengimplementasikan ajaran agamanya
secara utuh dan tidak dipilih-pilih sesuai kehendaknya. Dengan itu pula,
harapan selanjutnya adalah terbinanya generasi muda yang menjadi insan kamil
(paripurna). Pada akhirnya, menjadi insan yang menjadi rahmat bagi semesta alam
sehingga bermanfaat bagi kehidupan global.[5]
Bukan insan yang menjadi aktor “horor” bagi manusia lain yang tidak bersalah
yang justru keselematan mereka sebenarnya dijamin oleh Islam. Pada akhirnya,
energi umat Islam tidak terkuras habis pada kekerasan tapi difokuskan pada
kegiatan lain yang jauh lebih bermanfaat. Misalnya untuk pengembangan IPTEK.
Untuk
menanggulangi regenerasi bahkan pengembangan “kader” kekerasan, Pendidikan Agama
Islam harus melakukan pencegahan[6]
secara aktif. Utamanya mencegah potensi tindakan kekerasan yang mungkin
dilakukan siswa pada suatu saat nanti. Bagaimanapun sifat kepasifan PAI, secara
tidak langsung mengizinkan siswa untuk melakukan kekerasan demi mewujudkan
tujuan agamanya. Seharusnya, Islam bisa menjadi pencegah tindakan kekerasan
yang mencederai hak-hak keutuhan fisik dan psikologis orang lain. Dengan kata
lain PAI harus menekankan secara kuat bahwa kekerasan (keonaran yang melanggar
hukum positif) sebagai perbuatan yang tabu dan melanggar asas-asas kemanusiaan
sekaligus ajaran Islam. Bila tanpa ada penekanan tersebut, maka wajar bila
siswa mudah terpengaruhi untuk melakukan ajaran agama yang parsial,[7]
yaitu salah satunya cenderung mendalami “ajaran” yang berpotensi pada kekerasan
saja.
Dengan
demikian, PAI sebagai salah satu indikator tentang bagaimana dan sejauh mana
ajaran agama itu didoktrikan pada generasi mudanya (siswa). Bila ajaran yang
didoktrikan tersebut masih parsial maka tentu berpeluang besar mencetak
generasi Islam yang akrab dengan kemerosotan moral, misalnya melakukan kekerasan.
Namun, bila PAI mampu mengajarkan ajaran Islam secara utuh maka berpeluang
besar mencetak generasi Islam yang mampu menyamai bahkan melebihi generasi
barat. Yakni, yang unggul dalam etika, estetika, dan ilmu pengetahuan umum
sehingga pada akhirnya umat Islam bisa menjadi solusi bagi permasalahan global.
Dari
semua permbahasan di atas, dapat disimpulkan masih diperlukan pengembangan PAI
yang berbasis nirkekerasan. Penulis memandang tema tersebut sangat penting bagi
umat Islam. Mengingat, selama ini PAI perannya masih kecil dalam mencegah
kekerasan yang dilakukan oleh siswa saat ia masih sekolah maupun setelah lulus.
Dengan kata lain perlu dirumuskan inovasi baru terhadap PAI supaya bisa
mencetak generasi Islam yang anti kekerasan. Oleh karena itu, dalam makalah ini
penulis mencoba untuk memberikan sumbangan terhadap pengembangan keilmuan PAI
yang berbudaya nirkekerasan. Dengan ciri khusus meninjau semua konsep tersebut
dalam perspektif interdisiplener.
2.
Batasan
Masalah dan Topik Pembahasan
Agar
pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu
batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan
yang dikerucutkan sebagai berikut:
a. Konsep dasar kajian tentang Pendidikan
Agama Islam (PAI) berbasis nirkekerasan
b. Pengembangan PAI berbasis
nirkekerasan dalam perspektif interdisipliner
BAB II
PEMBAHASAN
Ketika mengkaji tentang kekerasan atas nama agama,
seseorang idealnya harus kritis terhadap penafsiran dan asumsi kultural
keagamaannya sendiri. Dalam keadaan tersebut, pengkaji akan mengalami dilema.
Banyak tawaran yang dihadapinya, yaitu lebih memilih dalam pengabdian pada
kekuatan status quo atau menjadi
pendukung kritisime konstruktif, komunitas, dan kepekaan moral.[8]
Oleh karena itu, dalam kajian ini penulis berusaha untuk mengambil jalan tengah
di antara kedua tawaran tersebut. Secara terperinci diuaraikan sebagai berikut:
A.
Konsep Dasar
Kajian
1.
Pengertian
Nirkekerasan
Istilah
nirkekerasan berasal dari kata dasar “keras,” yang kemudian diimbuhi dan
dikembangkan menjadi kata “kekerasan.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
imbuhan “nir-“ berarti “tidak atau bukan.” Sedangkan kata “kekerasan” punya
tiga arti, yang pertama perihal atau
sesuatu yang bersifat keras. Kedua,
perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang berakibat kecederaan atau
kematian serta kerusakan fisik atau barang milik orang lain, ketiga, paksaan.[9]
Dengan demikian, dalam lingkup subjek, objek, tujuan, dan wilayahnya maka
kekerasan bisa terjadi oleh siapa saja dan di mana saja. Misalnya, kekerasan
saat berdemontrasi, kekerasan dalam rumah tangga (sesama anggota keluarga atau dengan
pembantu), kekerasan dalam bercanda, kekerasan dalam berorganisasi, kekerasan
dalam pendidikan, kekerasan dalam beragama, kekerasan dalam bereskpresi, kekerasan
dalam mengajak, kekerasan kepada hewan, kekerasan pada benda mati, kekerasan
dalam mencegah, dan kekerasan dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu lainnya.
Secara
gamblang, Nimer menjelaskan bahwa nirkekrasan adalah kombinasi antara sikap,
pandangan, dan aksi yang dimaksudkan untuk mengajak orang di pihak lain secara
damai supaya mengubah pendapat, pandangan, dan aksi mereka dengan capaian
kedamaian pula. Oleh karena itu, dalam gerakan nirkekerasan para pelakunya
tidak pernah membalas (merespon) tindakan the
other dengan kekerasan. Sebaliknya, mereka meminimalkan kemarahan dan
kerusakan secara holistik sambil menyampaikan pesan ketabahan yang tegas dan
desakan untuk mengatasi ketidakadilan.[10]
Ini bukan berarti dalam sikap nirkekerasan seseorang hanya bersikap pasif tanpa
perlawanan. Sebaliknya, perlawanan mereka dilakukan secara masif, kreatif, dan
cerdas yang tentunya hanya berbasis (mengacu) pada prinsip nirkekerasan
sehingga jauh lebih efektif.
Dengan
demikian dalam gerakan nirkekerasan cara yang damai saja tidak cukup, perlu
cita-cita atau harapan kedamaian pula untuk diraih bersama. Asumsinya, seseorang
bisa melakukan aksi (cara) damai tapi di sisi lain ia bermaksud (kesengajaan)
atau menimbulkan (tidak sengaja) pada ketidakdamaian. Misalnya, melakukan
kebebasan eskpresi yang sebebas-bebasnya dengan tujuan untuk memprovokasi dan
menyebabkan amarah pihak lain. Atau paling tidak adanya faktor
ketidaksengajaan. Yakni, meski tujuannya adalah untuk mencapai kedamaian (tanpa
provokasi) tapi tidak melihat budaya sekitar yang “kaku” (anti kebebasan)
sehingga menimbulkan kekerasan oleh pihak lain. Sebab lainnya, bisa jadi pejuang
nirkekerasan tidak berwawasan ke depan dan mengantisipasi potensi respon keras
akibat dari aksinya tersebut.
Dari
penjelasan di atas, dapat di simpulkan bahwa nirkekerasan adalah suatu sikap
yang proses serta tujuannya mengacu pada prinsip-prinsip kedamaian, tanpa adanya
kekerasan atau paksaan yang bisa menimbulkan kematian dan kerusakan fisik milik
orang lain. Dengan demikian, konsep nirkekerasan ini bisa digunakan dalam
konteks, ilmu, dan kajian apapun. Artinya, istilah “nirkekerasan” ini tidak
hanya digunakan dalam perilaku yang tujuan, kandungan ideologi, dan konsepnya
pada perilaku keagamaan.
2.
Pengertian Perspektif
Interdisipliner
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “perspektif” salah satunya memiliki arti
sudut pandang. Adapun kata “interdispliner” memiliki arti antar disliplin atau
antar bidang kajian ilmu (studi).[11]
Dengan demikian pendekatan interdispliner punya pengertian pemusatan perhatian
pada masalah atau kajian tertentu yang didekati dari berbagai disiplin keilmuan.
Dengan asumsi, ilmu-ilmu tersebut dapat berfungsi secara ilmiah sebagai pemecah
permasalahan yang ditemukan pada keilmuan yang sedang dikaji. Artinya, adanya
keterpaduan atau korelasi antara beberapa ilmu tersebut dalam menyumbangkan
solusi bagi permasalahan yang ditemui.
Selanjutnya,
dalam ranah PAI sesungguhnya kajian tentang nirkekerasan dalam perspektif
interdisipliner setelah ditelaah memang sangat penting. Mengingat, apapun itu
masih memerlukan suatu pemahaman (penafsiran) yang tidak akan cukup kuat bila
dilihat dari sudut pandang tertentu saja. Dengan kata lain, dalam wacana
pendalaman masalah nirkekerasan pada PAI perlu pemahaman (masukan) dari
ilmu-ilmu[12] lain.
Sebagaimana tentang ajaran Islam yang ternyata juga dipahami berbeda oleh
berbagai kalangan, dari sudut pandang berbeda pula dari konteks bidang tertentu.
Sebagaimana yang dikatakan Edward Said yang dikutip oleh Nimer:
Bagi
kaum Muslim maupun non-Muslim, Islam adalah fakta obyektif
sekaligus subyektif, karena orang menciptakan fakta tersebut dalam
keyakinan, masyarakat, sejarah, dan tradisi mereka,
atau, dalam kasus pihak luar yang non-Muslim, karena mereka dalam
pengertian tertentu, harus memperbaiki, melambangkan, dan
menetapkan, identitas yang dianggap berlawanan dengan mereka secara
individual atau kolektif. Ini untuk mengatakan bahwa
Islam-nya media, Islam-nya sarjana Barat, Islam-nya wartawan
Barat, dan Islamnya kaum Muslim – semuanya adalah aksi yang
dimulai dari kehendak dan penafsiran yang terjadi dalam
sejarah.[13]
Dari
pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa dalam pengkajian tentang nirkekerasan
sesungguhnya PAI membutuhkan bantuan “penfasiran” dari berbagai sudut ilmu.
Dengan itu, konsep kekerasan dan nirkekerasan tidak hanya dihegemone oleh satu
pemahaman rigid (kaku).[14] Pada akhirnnya, pemahaman
serta pengetahuan tentang Islam utamanya dalam konsep kekerasan dan
nirkekerasan tidak akan bisa diklaim secara sepihak oleh siapapun. Asumsinya,
tidak bisa serta merta disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang menyuruh secara
mutlak pada “kekerasan,” sebaliknya yang menyuruh secara mutlak pada
“nirkekerasan.” Bagaimanapun kedua konsep tersebut sampai sekarang masih dalam
masa perdebatan sengit. Oleh karena itu, kajian interdisipliner dalam kajian
ini dirasa sangat penting.
3.
Kekerasan Atas
Nama Agama
Kajian
tentang agama dari sudut apapun, khususnya di Indonesia sampai sekarang masih
menjadi isu yang sensitif. Sebagamana menurut pernyataan A. Mukti Ali yang
dikutip oleh Syamsul, bahwa topik pembicaraan tentang agama merupakan hal yang
paling menggugah emosi. Bahkan hingga bisa menembus batas-batas kebudayaan,
etnis, bahasa, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, agama mampu menyatukan
berbagai etnis, bahasa, dan budaya. Implikasinya, bila ada persoalan (konflik)
antar etnis atau budaya yang masing-masing didominasi oleh (pemeluk) agama yang
berbeda, maka dengan begitu cepatnya mendatangkan respon dari pihak luar etnis
yang seagama.[15] Oleh karena itu, dalam konteks ini “wajar” bila ada
seseorang atau kelompok di luar etnis yang rela berkecimpung pada konflik[16]
antar etnis tersebut. Bahkan dengan melakukan kekerasan[17]
sekalipun, demi membela mati-matian agama atau paling tidak membela manusia di
luar etnis yang seiman. Bisa juga “hanya” untuk membela atau menjaga simbol-simbol Islam supaya
tetap tegak berdiri bahkan menyebar ke berbagai etnis.
Semangat kekerasan bisa jadi dilakukan karena ketakutan rusaknya akhlak
generasi muda Islam atas berbagai kemunkaran[18] yang dilakukan
atau direstui oleh golongan di luar agamnya.[19] Bahkan, ketakutan
pindahnya pemeluk “Islam” yang lemah imannya atau generasi Islam yang labil ke
agama lain.[20] Bisa juga
ketakutan pada perubahan akhak dan pemikiran umat Islam itu sendiri tentang
Islam, sehingga dianggap menjadi acuh tak acuh, antipati, dan menyudutkan
ajaran agamanya sendiri. Ironisnya, misi yang “mulia” itu tidak dibarengi
dengan cara yang cerdas, berprinsip nirkekerasan, terpola, tersisitem, dan
terorganisir secara matang.[21] Seakan untuk
menyelesaikan masalah tersebut, satu-satunya jalan keluar adalah melalui
kekerasan.[22] Dengan kata lain,
kenyataannya agama tidak difungsikan[23] dengan semestinya.
Akibatnya bukannya menyelesaikan masalah tapi malah menambah runyam bahkan
menimbulkan masalah baru.
Di sisi lain, menurut Nyoman, ia menjelaskan bahwa:
Fakta sejarah menunjukkan bahwa perbedaan
agama dan etnis baru menjadi pemicu konflik atau kekerasan ketika ditumpangi
oleh perbedaan politik dan kesenjangan sosial ekonomi. Perbedaan itu memang
dapat menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi dan memahami satu sama lain,
tetapi tidak dengan sendirinya menggiring orang ke
tindak kekerasan.[24]
Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa kekerasan atas nama
agama tidak serta merta bisa berdiri sendiri. Lalu menjastifikasi bahwa agama
mengajarkan kekerasan yang tak beretika.[25] Artinya, agama
tidak bisa dikambing hitamkan sebagai penyebab tindakan kekerasan. Bisa jadi
terjadi kesalahpamahan pelaku dalam memahami ajaran agamanya, sehingga agama
dimaknai secara sempit. Serta terdapat faktor-faktor lain yang ikut menentukan
baik secara langsung maupun tidak langsung dan baik dengan intensites kuat
maupun lemah. Misalnya adanya pengaruh kuat dari otoritas, faktor latar
belakang[26] kehidupan pelaku,
dan konteks kemasyarakatan.
4.
Pendidikan
Agama Islam
Salah satu tantangan berat yang dihadapi oleh dunia pendidikan menurut Muahaimin
adalah eskalasi (peningkatan) konflik. Meski, di satu sisi konflik merupakan
salah satu unsur dinamika sosial, tapi di sisi lain justru menjadi ancama
keharmonian dan integrasi sosial dalam lingkup lokal hingga global.[27] Selain itu pendidikan
Islam pada dasarnya harus menyentuh tiga domain. Yakni, knowing, peserta didik mengetahui dan dan memahami ajaran Islam. Doing, peserta didik mampu mempraktikan
ajaran Islam. Terakhir, being,
peserta didik dapat menjalani hidup sesuai dengan ajaran agama. Biasanya
kegagalan pendidikan agama terletak pada aspek being. Bagaimanaun, pendidikan
agama tidak boleh dicukupkan pada otak (pemahaman) dan badan (simbol fisik dan
perbuatan). Lebih dari itu, perlu diadakan internalisasi ajaran Islam ke dalam
qalb (hati) dan dzauq (rasa). Salah satu cara internalisasi adalah dengan
melakukan keteladanan dan pembiasaan.[28]
Dalam konteks pengajarnya, maka pendidik PAI bukan berposisi sebagai hakim yang keputusannya bersifat mutlak. Yakni,
sebagai penghakim
mana yang benar dan salah. Serta bukan sebagai pendidik
yang hanya sebatas sebagai
pembimbing peserta didik dalam perjalanan belajar. Bukan pula sebagai perpanjangan tangan ilmu-ilmu atau
ajaran dari para ulama pendahulu saja. Seharusnya pendidik dalam Islam merupakan pewaris para
Nabi,[29]
tidak hanya pewaris ilmu-ilmu Nabi tapi juga pewaris sifat-sifat Nabi.
Diantaranya, patut
menjadi contoh dalam kepemilikan semangat perjuangan terhadap agama Islam
(bukan perjuangan dengan paksaan dan kekerasan namun dengan cara kelembuatan
dan kasih sayang). Serta memberikan pendidikan terhadap umat dengan semangat
pembaruan untuk menjadi yang lebih baik dalam segala bidang dari pada hari
kemarin (mendobrak tatanan yang mapan untuk kemajuan umat). Oleh karena itu, dalam upaya pembaruan dan pengembangan PAI
terlebih dahulu perlu diadakan pendalaman serta penelitian tentang bagaimana peran PAI
dalam mewujudkan budaya nirkekerasan.
a.
Pengertian Pendidikan
Agama Islam
Menurut penulis, pendidikan Agama Islam punya pengertian sebuah kajian ilmu yang menjadi materi ajar serta bertujuan
agar peserta didik mampu dalam penerapan nilai-nilai Islam secara sadar (tanpa
paksaan dari orang lain). Kesadaran tersebut
meliputi penerapan nilai ibadah yang benar,[30]
nilai humanisme, keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme (nasionalisme),[31]
nilai semangat dalam pengembangan diri[32]
maupun masyarakat, dan nilai-nilai kedamaian di kehidupan sehari-hari secara
konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik aktif pada pembelajaran PAI
diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar dalam pengimplementasian
nilai-nilai universalisme ajaran Islam secara konsisten dengan segenap logika
atau alam pikirnya serta alam spiritualitasnya. Analisis tersebut didasarkan pada pendapat Syukri Fathuddin
disampaikan bahwa hendaknya “... Pendidikan Agama Islam atau ajaran Islam dan
nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan dapat dikatakan way of life seseorang.”[33]
Dari
pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa PAI sebenarnya secara duniawi
nilai manfaatnya tidak hanya ditujukan bagi umat Islam sendiri tapi juga untuk
seluruh umat manusia. PAI seharusnya bisa menjadi pengarah dan penyumbang
terbentuknya tatanan masyarakat yang damai, berperadaban modern, beretika[34]
(tidak berpenyakit moral), dan manusiawi. Pada akhirnya, umat Islam bisa
menjadi umat yang toleran. Yakni, menjadi muslim
yang kuat sebagai pelindung non muslim
yang lemah. Bisa juga dengan
menjadi muslim yang mayoritas untuk pengayom terhadap minoritas dan menjadi muslim
yang kokoh sebagai penjaga non muslim yang rapuh. Serta dalam jangka panjang bisa menjadi muslim yang cerdas dalam bidang
ilmu pengetahuan untuk digunakan nonmuslim yang tertinggal.
b.
Tujuan Pendidikan
Agama Islam
Manusia
merupakan makhluk yang sadar akan tujuan. Artinya, setiap tindakan yang
dilakukan senantiasa bermuatan dan disadari tujuan yang ingin diperoleh. Baik
itu secara individu maupun kelompok dan yang diinginkan untuk dicapai pada masa
yang pendek atau panjang. Identifikasi tujuan tersebut sangatlah penting, yaitu
sebagai ukuran normatif (gambaran ideal), preskriptif (pemberi arah), dan
evaluatif. Secara rinci, tujuan PAI dapat dijabarkan dalam dua perspektif,
yaitu perspektif pembentukan manusia (individu) ideal dalam arti biologis,
psikologis, dan spiritualitas. Selanjutnya adalah perspektif pembentukan
masyarakat (makhluk sosial) ideal dalam arti sebagai warga negara atau ikatan
kemasyarakatan.[35] Dari
kedua perspektif tersebut, sesungguhnya Pendidikan Islam hendaknya bisa
membentuk manusia yang punya kemantapan aqidah, kedalaman spiritual, keluhuran akhlak
(etika), keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Inilah yang disebut sebagai
gambaran manusia ideal (waladun
saleh) yaitu memiliki integritas dan keutuhan (insan kamil).[36]
Sedang dari sudut pandang lain menurut
Muhammad Kosim dikemukakan tentang PAI sangat sarat dengan nilai (full value), termasuk dalam penanaman
nilai-nilai kasih sayang dan keharmonisan antar sesama manusia.[37] Dengan
kata lain, pendidikan Agama Islam tujuan dan hasilnya (muara) sesungguhnya bukan
hanya untuk “kejayaan” umat Islam sendiri, tapi juga untuk “kebahagiaan”
seluruh umat manusia. Ujungnya adalah
bagaimana PAI mampu mencetak generasi yang tidak sempit dalam berfikir,
berperilaku, dan memandang realitas keberagaman (kemajemukan). PAI harus mencetak generasi
kreatif, yang tidak mengandalkan dan gemar menggunakan jalan kekerasan. Dengan
demikian, PAI di satu sisi pengembangannya disesuaikan dengan kebutuhan
(perkembangan) masyarakat, tapi di sisi lain tetap berpedoman dan berpegang kuat
pada nilai-nilai agama Islam.
Sedangkan
menurut amanat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 3 bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[38]
Pernyataan
tersebut dijabarkan lagi oleh PP No. 55
Tahun 2007 Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan
mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.” Adapun dalam ayat 2 lebih dipertegas lagi bahwa “pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan
peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama
yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.”[39]
Lebih
rinci, pada jenjang pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi Umum) berdasarkan SK no. 34/2006 Dirjen Dikti dalam pasal 3 ayat 2 pada
huruf a diterangkan tentang pendidikan agama punya kompetensi dasar atau lulusan yang harus “menjadi ilmuwan dan profesional yang beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan memiliki etos
kerja, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan.”[40] Dari semua
pemaparan di atas dapat simpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam dalam konteks
nirkekerasan adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah SWT secara benar yang senantiasa menggunakan pikir kritis, dinamis, dan
kreatif tanpa kekerasan sesuai keahlian masing-masing dalam berbangsa sehingga
karyanya bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.
c.
Urgensi
Pengembangan PAI bagi Budaya Nirkekerasan
Zaman
sekarang ini, dinamika ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi, sangat
berlangsung cepat dan instan. Hal itu menuntut PAI untuk mengimbanginya dengan
pengembangan diri secara “cepat” pula. Di sisi lain, akibat dari lompatan cepat
tersebut tantangan dan permasalahan PAI menjadi bertambah. Misalnya, zaman dulu
“kekerasan” antar tubuh oleh manusia prasejarah sangat perlu dilakukan untuk
mengendalikan keadaan sosial. Tapi pada zaman sekarang ini bukan “kekerasan”
tubuh secara berhadap-hadapan yang dapat mengatur sistem sosial, tapi adalah
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan CCTV pemerintah bisa memantau masyarakatnya
dari jarak jauh, atau dengan satu tombol saja negara tertentu bisa meluluh
lantakkan negara lain yang jauh lokasinya dengan bom atom. Bahkan bukan suatu
kemustahilan bila suatu saat diciptakan robot yang diprogram melakukan
“kekerasan.”
Namun,
demikian bagaimanapun Islam adalah agama universal (rahmatan lil alamin) yang menjangkau kebutuhan zaman secara
totalitas dan utuh. Artinya, pendidikan Islam tidak hanya mengurusi masalah
keakhiratan (eskatologi), tapi juga urusan duniawi.[41]
Artinya, manusia merupakan makhluk yang membutuhkan hal-hal bersifat
fisik-biologis (homo economicus) sekaligus
hal-hal yang bersifat psikologis dan spiritual atau maknawi (homo socius). Atas dasar itu, maka
manusia bisa menjadi makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Namun demikian,
betapa pun manusia punya kecerdasan tetap saja ia makhluk yang terbatas.[42]
Dari keterbatasn itu manusia harus bekerjasama satu sama lain. Dari kenyataan
tersebut PAI berperan sebagai pembangun kejiwaan, psiritualitas, dan kemaknaan
hidup bersama sehingga bisa membentuk masyarakat berbudaya nirkekerasan.
Bisa
dikakatan dalam posisi tersebut, PAI bertugas menyadarkan secara ilmu
pengetahuan dan sikap, bahwa tindakan “kekerasan” dalam konteks yang tidak
tepat, tidak manusiawi, dan dengan cara berlebih-lebihan merupakan larangan
agama. Menurut Jurgensmeyer, akan
sangat mengejutkan dan memusingkan bila sesuatu yang buruk (kekerasan) justru
dilakukan oleh orang “baik.” Yakni, yang mengabdikan diri pada pandangan moral
dunia dan orang yang saleh. Dengan argumen dan retorika yang nampak luhur,
tindakan mereka telah menyebebakan penderitaan dan kekacauan kehidupan.[43] Oleh karena itu, PAI berserta institusinya[44]
tidak hanya mendorong peserta didiknya hanya untuk bersabar, tabah, menerima
takdir, dan pasrah pada keadaan zaman. Serta sebaliknya, “mendorong” mereka
mengutuk dan mencemooh negara yang membuat teknologi yang menimbulkan
kekerasan. Namun, PAI harus bisa memberikan dorongan untuk hidup damai serta
mendorong peserta didik menciptakan teknologi canggih yang nirkekerasan.
B.
Pendidikan Agama Islam Berbasis
Nirkekerasan dengan Pendekatan Interdisipliner
1.
Pengembangan
PAI berbasis Nirkekrasan
Dalam
mencari latar belakang (peyebab)
terjadinya kekerasan, masih sulit diterima alasan bahwa aneka kekerasan itu
hanya dipicu oleh provokasi para elit politik. Pun juga, logika manusia belum
puas terhadap jawaban yang mengatakan pembakaran terhadap aneka tempat ibadah
dan perkampungan dari kelompok (etnis)
umat agama tertentu dilakukan
oleh orang-orang yang tidak kuat imannya.[45]
Di sinilah perlu analisis kritis adakah
yang salah dengan pola
“pengkaderan” generasi umat beragama. Lebih spesifik adakah yang salah dengan
Pendidikan Agama termasuk PAI di lembaga pendidikan formal, informal, dan nonformal sehingga kekerasan masih jamak
terjadi.
Dikhawatirkan konsep keimanan yang dibangun dan dijadikan patokannya masih
salah kaprah dan tidak utuh. Oleh karena itu, paling tidak dalam PAI harus ada
upaya pencegahan secara aktif[46]
bagi peserta didik untuk melakukan kekerasan.
Biasanya, individu atau kelompok tertentu memahami dan menghayati keagamaannya
dari pihak otoritas. Misalnya, terafilisasi pada ideologi[47]
organisasi keagamaan tertentu, doktrin orang tua, guru (utamanya guru agama),
tokoh agama, dan pihak-pihak lain yang dianggap pantas menjadi panutan dan
penentu arah hidupnya. Kenyataan tersebut sangat sulit sekali dirubah apalagi jika fanitisme tersebut sudah terlanjur melekat, sehingga sulit untuk mengikuti dinamika. Implikasinya, daya kritis seseorang terhadap
pemahaman agama[48]
menjadi lemah, sehingga pemahaman agama bisa dibelokkan untuk kepentingan
kekerasan oleh pihak lain. Padahal sudah menjadi pemahaman bersama bagi umat Islam bahwa kenyataan tentang “perbedaan” adalah sunattulah, sesuatu yang tidak bisa dihindari (given). Di mana salah satu fungsinya hadir sebagai sarana ujian
bagi manusia dari Allah SWT.
Kenyataan di Indonesia, mempermasalahkan
kehidupan (cara) beragama di Indonesia masih dianggap tabu. Di mana pemeluk
agama dibiasakan selalu menerima ajaran agama tanpa diperbolehkan mengkritisi
sedikitpun (taking for granted).
Implikasinya, kadang umat beragama akan merasa kehilangan daya kritis,[49]
sehingga “lupa” caranya beragama dengan benar. Padahal, setiap pertanyaan yang
diajukan hati nurani mengenai agama sebenarnya malah menjadi titik tolak baru
untuk pendalaman hidup beragama itu sendiri. Intinya, “ajaran” agama yang utama
hanya berhenti pada pemujaan Tuhan semata, sehingga berakibat memandang sepele
terhada etika kemanusiaan.[50]
Pada akhirnya, karena
keringnya etika tersebut, umat beragama akan menjadi ekslusif dalam penghayatan
agama. Dengan demikian, Tuhan
digambarkan hanya mengurusi umat beragama tertentu.
Tuhan dipandang tidak mengurusi serta memberi kesempatan bagi umat yang lain untuk
hidup nyaman di dunia ini.
Dengan bahasa lain, seringkali
umat beragama menyamakan antara sifat Ketuhanan dengan sifat-sifat yang
dimiliki manusia. Mereka
begitu yakin bahwa Tuhan dapat marah seperti layaknya manusia cepat marah. Pun
juga cepat percaya bahwa Tuhan mudah menaruh dendam seperti manusia yang serta
merta menaruh dendam. Seakan-akan Tuhan hanya mencintai golongan tertentu
sementara pada yang sama membenci yang lain, yang belum tentu jauh lebih buruk
dariya. Dengan itu, mereka meyakini bahwa Tuhan memang menghendaki kematian
atau kehancuran golongan “pelanggar.”[51]
Manusia hanya membangun
presepsi tentang Tuhan
bukan berdasarkan teks-teks wahyu tapi berdasarkan pengalaman dan kepentingan
pribadi.
Sebagaimana yang dibahas dalam
sub tema sebelumnya bahwa salah satu ketidak setujuan
kelompok umat beragama untuk melakukan dialog
atau kerjasama secara “bebas”[52] dengan
umat agama
lain karena ketakutan terjadi “kesesatan” massal. Oleh karena
itu, tugas utama dan pertama umat islam terhadap umat islam lain yang lemah dan awam tersebut
adalah menguatkan keimanan, keilmuan, dan akhlak. Salah satu jalannya adalah dengan
pengembanan PAI menuju arah yang berkualitas. Setelah itu baru mengadakan kerja
sama dengan pemeluk agama lain. Bila
dianalogikan agama sebagai suatu organisasi
atau negara, maka sudah barang tentu anggota atau warga Negara tersebut harus dibekali
kemampuan dan kualitas.
Alasanya, agar mereka bisa menjaga
diri ketika melakukan kerjasama secara
terbuka dan bebas dengan negara lain.
Didasarkan
pada penjelasan tersebut, PAI seharusnya melakukan pengembangan atau perubahan
paradigma.[53] Salah satunya adalah dengan
melakukan pengembangan materi. Misalnya pengembangan terhadap materi sejarah
Islam terkait peperangan yang selama ini seakan “membolehkan” peserta didik
untuk melakukan kekerasan (perang fisik). Seharusnya
materi tentang sejarah peperangan dan kekerasan tidak boleh diberikan secara
parsial, tendensius, dan hanya berbicara tentang kalah atau menang saja. Namun,
harus diberikan secara utuh serta lebih banyak memunculkan nilai-nilai etika[54]
dalam peperangan tersebut. Bila etika tersebut lebih ditekankan maka
nilai-nilai kemanusiaan akan nampak, bukan nilai-nilai kekerasan yang
ditonjolkan. Dengan demikian, diharapan ideologi[55]
yang disampaikan pada peserta didik tidak “menyesatkan” atau tidak akan
ditafsirkan secara salah oleh mereka.
Dengan
demikian, pembelajaran
ilmu PAI bukan sekedar upaya untuk pemberian ilmu pengetahuan yang berorientasi pada target
penguasan materi, misalnya materi
tentang peperangan. Akan tetapi sebagaimana menurut
penjelasan di atas pendidik juga ikut andil dalam pemberian pedoman hidup
(pesan pembelajaran) misalnya tentang moralitas (akhlak) kepada peserta didik
yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan manusia lain.[56]
Komponen inilah yang ikut andil pada pemberian cetak biru khusus sehingga
menjadi ciri utama pembelajaran PAI.
Yakni, salah satunya dalam
bidang pengendalian moralitas bangsa
yang tidak lekat dengan tindakan kekerasan.
2.
Pengembangan PAI berbasi nirkekerasan dalam perspektif interdisipliner
Penggunaan perspektif interdisipliner dalam pengembangan PAI pada zaman sekarang ini
sangat penting. Selain karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam
berbagai bidang, juga dilandaskan pada pandangan bahwa penggunaan ayat kauliyah
saja sebagai dasar utama PAI tidak cukup untuk mendidik. Namun perlu, ayat-ayat
kauniyah sebagai sumbangan bagi pengembangan PAI. Baik dalam bidang materi,
strategi, tujuan, media, dan komponen pembelajaran lainnya. Oleh karena itu,
untuk memfungsikan PAI secara optimal, salah satunya dengan mengarahkan truth claim[57]
dengan pas, maka penulis memandang penting mengkaji tema “kekerasan” yang
ditinjau pada ilmu-ilmu berikut ini:
a.
Psikologi
Pendidikan tidak
hanya untuk mencetak generasi yang pandai, terampil, dan menguasai bidang
keilmuan tertentu sebagai bekal menghadapi masa akan datang. Namun, menurut
Abuddin Nata pendidikan adalah pemindahan (transmission)
nilai-nilai, ilmu, dan kecakapan dari generasi tua kepada generasi muda dalam
rangka melanjutkan serta memelihara identitas (peradaban) dan kepribadian
masyarakat tersebut. Di mana dalam proses transmisi “kepentingan” masyarakat
tersebut, psikologi memiliki peran yang sangat penting.[58] Salah satu caranya adalah melakukan proses pembelajaran
dengan metode nirkekerasan.[59]
Lebih lanjut, kekerasan
biasanya diidentikkan dengan agresifitas. Di mana Freud dan Lorenz sebagaimana
yang dikutip Fromm memandang bahwa agresifitas seseorang merupakan sifat bawaan
(genetis). Freud mengemukakan teori tentang insting, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (death instinct). Insting kematian bisa
tertuju pada organisme itu sendiri yang beruwujud dorongan perusakan diri dan tertuju
pada pihak luar. Dengan demikian, agresi bukanlah reaksi terhadap stimulus dari
luar, tapi dorongan dari dalam diri sendiri yang menggelora dan berakar dari
kondisi biologis (otak) manusia.[60]
Dengan demikian, sebagaimana menurut
Lorenz, kehendak untuk agresif tersebut sebagai insting suatu saat akan
“meledak” bila sudah terkumpul (mempat) sehingga cukup “energi,” meski tak ada
rangsangan dari luar. Asumsinya, manusia dan binatang biasanya tidak pasif
dalam menemukan stimulus tersebut. Bahkan, akan mencari dan bila perlu
menciptakan stimulus. Dalam konteks sosial, manusia akan melepaskan “energi”
(dorongan) agresifnya dalam bentuk (mencari perkara) membuat partai politik
yang bisa menyebabkan timbulnya agresi. Namun, bila sama sekali tidak ada
sitimulus yang apat ditemukan dan diciptakan, maka dorongan agresif yang
tertahan (tidak dilampiaskan) akan menjadi demikian besar dan siap meledak
sewaktu-waktu. Dengan demikian, menurut Lorenz agresi pada dasarnya bukan
respon atas stimulus dari luar. Melainkan rangsangan dalam diri yang sudah
“terpasang,” sehingga butuh pelampiasan dan akan terekspresikan meski mendapat
stimulus dari luar yang kecil. Model agresi ini sama seperti model libido
Freud, yang dinamai model hidrolik. Yakni, tekanan yang ditimbulkan oleh air
atau uap dalam tabung tertutup.[61]
Teori lain terkait dengan
tindakan kekerasan adalah “kefrustasian.” Menurut Buss sebagaimana dikutip
Fromm, fursatasi adalah penghilangan hasrat atau keinginan dari individu yang
ingin mencapai tujuan tertentu, sehingga terjadi “putus harapan.” Misalnya
seorang anak yang meminta roti kepada ibunya lalu ibunya menolak, atau seorang
pria yang merembak wanita tapi mendapat penolakan. Lebih rinci, timbulnya frustasi
salah satunya ditentukan oleh karakter seseorang. Misalnya, seseorang yang
sangat rakus, akan sangat marah bila ia tidak memperoleh makanan yang ia
inginkan. Begitu pula orang kikir, akan sangat marah bila harus membayar
makanan yang terlalu mahal. Adapun karakter narsistik akan meras frustasi bila
tidak mendapatkan sanjungan (penghormatan) sesuai dengan yang dikehendaki.[62]
Namun, pernyataan tersebut
dikritisi oleh Fromm. Ia berpendapat bahwa tidak ada hal istimewa, besar, dan
membanggakan yang dapat diraih tanpa terlebih dahulu mengalami frustasi.
Terlebih untuk menuju pencapaian pada tingkat keahlian tinggi. Dengan kata lain,
tanpa kemampuan dalam menerima sekaligus mengalami frustasi manusia nyaris
tidak dapat berkembang sama sekali. Asumsinya, dalam kehidupan sehari-hari
banyak diketahui orang sedang mengalam frustasi (tekanan) tapi tidak
memperlihatkan respon agresif. Meski, yang kerap memunculkan agresi adalah
sesuatu yang diartikan (disebut) sebagai frustasi. Serta makna frustasi secara
psikologis tentunya berbeda sesuai dengan kondisi sosial.[63]
Dari semua pembahaan di atas,
upaya pencegahan PAI agar tidak terciptanya kekerasan lagi adalah dengan
penekanan empati (misalnya altruisme) pada pembelajarannya. Di mana empati sangat erat kaitannya dengan etika. Dengan
kata lain, PAI bisa menumbuhkan empati peserta didik terhadap umat beragam lain melalui
passing over.[64] Namun demikian, empati tidak boleh diwujudkan dengan
menggunakan simbol-simbol agama lain dalam kehidupan sehari-hari atau melakukan
ibadah agama lain. Penggunaan empati di sini cukup sebatas pada perkataan dan
perilaku toleran dalam urusan muamalah yang tidak menjurus pada ritual
keagamaan.[65]
Pernyataan tersebut sebagaimana saran Gadner terhadap guru, bahwa mereka harus melatih anak-anak untuk mengembangkan
kecerdasan pribadi (intrapersonal)[66] di sekolah (56). Lebih konkrit Gardner
memandang penting adanya “flow”[67]
dalam setiap pembelajaran.
b.
Sosiologi
Di era sibernetika[68]
seperti sekarang ini, seseorang bisa semakin pontesial untuk dimanipulasi
“pikirannya.” Baik itu dalam bidang profesi, konsumsi, dan ideologinya.
Sebagaimana dalam konsep “pembiasaan positif” milik Skinner. Dalam kacamata
ini, individu kehilangan “kesadaran” kritisnya dalam proses sosial. Ia tidak
lagi menjadi dirinya sendiri. Ia menjadi objek yang telah dikontrol oleh
sosial, sehingga apabila tindakan dan pemikirannya tidak sesuai dengan tatanan
sosial akan sangat merugikan bagi dia. Bila ia bertekat tetap menjadi dirinya
sendiri, maka akan kehilangan identitas (status), terisolasi, diusir, dan
bahkan kehilangan nyawanya.[69]
Hal ini tentunya juga dalam mewujudkan ekpresi keagamaan individu, seseorang
biasanya hanya ikut-ikutan (absolutisme agama)[70]
dalam praktik beragama tanpa terlebih dahulu mengkritisi. Sebagaimana menurut
Muchsin dan Wahid, bahwa:
Dalam kajian
sosiologi, agama dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari empat
komponen, yaitu: pertama, emosi
keagamaan yang menyebabkan manusia memiliki rasa dan semangat beragama; kedua, sistem keyakinan yang mencakup
segala keyakinan terutama terhadap Tuhan dan kehidupan ghaib, termasuk juga
sistem nilai dan moral; ketiga,
sistem ritus sebagai upaya manusia mengadakan hubungan dan melakukan pendekatan
kepada Tuhan dan sikapnya menghadapi lingkungannya; dan keempat, konsep umat atau solidaritas sosial yang menganut sistem
agama tersebut.[71]
Lebih tegas, Arifin menyatakan
bahwa agama hanya digunakan sebagai pembentuk identitas diri dan kelompok.
Dampaknya, dalam antropologi berpotensi pada penciptaan bounded system. Pada akhirnya muncul sikap psikosiologis, yaitu in
group feeling dan out group
feeling. Selanjutnya, sebagai pemerkokoh identitas, suatu komunitas agama
melakukan pengembangan narasi besar yang bersumber dari Tuhan. Serta
memunculkan ekspresi keagamaan tertentu dalam skala masif sebagai wujud public
expose, sehingga menjadi penegas perbedaan antara kelompok agama tersebut
dengan yang lainnya.[72]
Dengan kata lain telah terjadi penutupan peluang untuk melakukan hubungan
sosial (dialog)[73]
antar umat beragama.[74] Di
sinilah nampak terjadi pelemahan kecerdasan intrapersonal,[75]
kematian sikap kritis, dan ketiadaan “kesadaran subjektif”[76]
pemeluk agama dalam mengekspresikan dan mengahayati agamanya.
Dari pembahasan tersebut maka
seharusnya pembelajaran PAI harus bisa menumbuhkan kecerdasan spiritual[77]
peserta didik. Sebagaimanan menurut Zohar yang dikutip oleh Efendi bahwa ada
tujuh langkah praktis kecerdasan spiritual yang lebih tinggi yaitu kesedaran akan keberadaan diri (di mana
sekarang?), merasakan
keinginan kuat untuk berubah, merenung dan menanyakan motivasi terdalam, menemukan dan mengatasi rintangan, menggali banyak peluang untuk melangkah maju, ketatapan hati pada sebuah jalan, dan kesadaran akan banyak jalan lain.[78]
Lebih detail, semangat
kesuksesan untuk selalu menjadi lebih baik memberikan semangat manusia mencari
jalan bagi spiritualnya.[79]
Yakni, ketenangan hidup dan makna hidup. Semua itu tidak bisa terpenuhi hanya
dengan kelimpahan materi, ketinggian jabatan, dan popularitas. Keutuhan
spiritual dapat dicapai dengan meningkatkan integritas diri, penghormata
(komitmen) pada kehidupan, dan penyebaran kasih sayang serta cinta. Hal-hal ini
tidak berhubungan lansung dengan ritual agama. Artinya, tidak selalu orang yang
rajin shalat, sering naik haji adalah orang yang memiliki spiritualitas tinggi
dan utuh. Bahkan banyak agamawan yang kehilangan spiritualitas karena terlalu
banyak mengandalkan ritual, upacara, dan formalitas agama. Dengan demikian,
antara ritualitas dan spiritualitas merupakan dua hal yang berbeda walaupun
berkaitan.[80]
c.
Biologi
Salah satu materi yang dikaji pada
biologi adalah tentang otak. Otak merupakan organ vital manusia selain jantung
dan paru-paru. Di mana manusia secara fisik tanpa otak tidak akan berarti apa-apa, seluruh organ dalam
dan panca indra tak akan berfungsi. Inilah yang disebut dengan kematian (meninggal
dunia) secara fisik. Bisa dikatakan bahwa keadaan otak manusia
secara fisis-biologis sangat menentukan bagi perkembangan kecerdasan.[81]
Menurut Agus Efendi, tentang rahasia otak beserta kecerdasaannya[82]
sampai sekarang masih belum terungkap secara memuaskan, bahkan dirasa masih
sangat jauh dari jalan terang. Meskipun secara ilmiah di dalam otak terbukti ada tiga jenis otak yaitu otak
rasional, otak emosional,[83]
dan otak spiritual.[84]
Pernyataan tersebut sebagaimana menurut Pasiak bahwa otak merupakan karunia yang diberikan Tuhan
kepada manusia sebagai alat. Fungsi otak tidak hanya untuk berpikir rasional.
Namun fungsi otak terdiri dari 3 jenis
kemampuan untuk memanajemen diri seperti mengutuhkan spiritualitas (SQ),
mematangkan emosi (EQ), dan berpikir rasional (IQ). Bila ketiga fungsi otak
tersebut dikelola dengan baik, manusia akan menjadi makhluk termulia.[85] Otak manusia jauh lebih kompkes dari pada
komputer manapun. “Otak bekerja dengan sistem pemikiran yang melintas. Artinya,
otak tidak terdiri atas beberapa modul kecerdasan yang terpisah. Otak juga
bukan sistem pemrosesan seri maupun sistem asosiatif yang terisolasi. Dua
sistem ini berinteraksi dan saling menguatkan sehingga memberi manusia bentuk
kecerdasan yang lebih tinggi daripada masing-masing kecerdasan tersebut jika
berdiri sendiri. IQ dan EQ saling mendukung (sinergis).[86]
Selain otak, secara biologis menurut Baron dan Byrane sebagaimana dikutip
Hidayah perilaku agresi seseorang juga dipengaruhi oleh hormon tertentu,
seperti serotonin dan testoterone.[87]
Lebih detail, Iin Rahayu menyampaikan bahwa menurut Davidoff diantara faktor
biologis yang mempengaruhi perilaku agresi adalah:
1)
Gen. Pembentukan sistem neural otak dipengaruhi oleh gen
dalam mengatur perilaku agresi.
2)
Sistem otak. Bagian otak tertentu yang tidak terlibat
dalam agres dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan
agresi. Prescott menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kesenangan
(nikmat) dan rasa santai akan sedikit melakukan agresif, begitu sebaliknya. Ia
juga meyakini keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena
kurang rangsangan waktu bayi.
3)
Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian
ditentukan faktor keturunan). Hal ini misalnya terjadi pada wanita yang sedang
mengalami haid, di mana kadar hormon esterogen dan progresteron menurun.
Perasaan mereka mudah tersinggung, gelisa, tegang, dan bermusuhan.
Kenyataannya, banyak wanita yang melakukan pelanggaran (agresi) pada saat
berlangsungnya siklus haid.[88]
Pernyataan tersebut hampir sama
dengan pendapat Lyndon Saputra, sebagaimana
dikutip Nata bahwa menurut teori
disiplin mental ternyata manusia sejak dari lahir telah memiliki potensi bawaan secara gen (herditas). Dalam
posisi ini, maka makna belajar merupakan upaya pengembangan terhadap
potensi-potensi tersebut. Selanjutnya, Abudin Nata menjelaskan dalam teori
mental humanistik, proses pendidikan
lebih menekankan pada keseluruhan dan keutuhan.
Artinya, pendidikan harus menekankan pendidikan umum (general education). Asumsinya, bila
individu menguasai persmasalahan umum, maka akan mudah diterima lalu diterapkan
pada hal-hal lain yang bersifat khusus.[89]
Namun tampaknya, nilai-nilai keuniversalan
agama Islam inilah yang sering kali ditinggalkan dalam pembelajaran PAI. Di mana,
kegiatan pembelajaran hanya difokuskan pada masalah fikih dan dibelokkan pada
sentimen keagamaanh yang menutup diri dari kenyataan bahwa “di luar” sana ada
keberagaman agama.
3.
Peta Konsep
a.
Mekanisme psikologi pelaku
kekerasan dalam “menyusun” pembenaran diri
|
|
|
|||||||
Gambar 1.1: mekanisme psikologi
terosis dalam mengkonstruk pembenaran diri (skema diadaptasi dari Albert
Bandura)[90]
Keterangan gambar:
Tindakan tercela (amoral): penafsiran ulang
secara kognitif, sehingga perbuatan tersebut dari yang awalnya haram-tercela
menjadi boleh-mulia bahkan wajib.
Korban manusia: dilakukan karena keadaan terpaksa, manusia tidak lagi
dianggap manusia melainkan hanya dijadikan tumbal perjuangan...
Dari gambar di atas dapat
disimpulkan bahwa pada mulanya pelau kekerasan menganggap bahwa merusak
fasilitas umum dan melukai tubuh atau barang fisik orang lain adalah tindakan
tercela (berdosa) dan diluar standar moral. Namun, kemudian untuk mengkaburkan
sifat tercela tersebut teroris mencari dan mengumpulkan berbagai dalih
pembenaran dengan berbagai cara, termasuk mengkambing hitamkan penyebab pada
pihak lain.
b.
Upaya pemutusan rantai kekerasan melalui PAI
Gambar 1.2: Upaya
pemutusan rantai kekerasan ideologis melalui Pendidikan
DAFTAR RUJUKAN
“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
“Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun
2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,” dalam http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/pp55tahun2007.pdf, didownload 22 Desember 2014.
“Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014.
Amstrong, Thomas. “Seven
Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori
Multiple Intelligence,” dalam Seven Kinds
of Smart: Identifying anda Developing Your Multiple Intelligences, terj. T. Hermaya.
Jakarta: Gramedia, 2005.
Arifin, Syamsul. “Implementasi Studi Agama Berbasis
Multikultural dalam Pendidikan,” dalam http://rires2.umm.ac.id/publikasi/lama/IMPLEMENTASI%20STUDI%20AGAMA2.pdf, didownload tanggal 16 Desember
2014.
--------. “Klaim Kemutlakan, Konflik Sosial, dan
Reorientasi Keberagamaan,” dalam Agama
Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma,
2000.
--------. “Konflik, Kekerasan, dan Multikulturalisme:
Mengurai Sengkarut Agama di Ranah Sosial,” dalam Ulumul Qur’an (Vol. X/No.1/Th.ke-25/2014), hlm. 19-31.
--------. Studi Agama: Perspektif Sosiologis
&Isu-isu Kontemporer. Malang: UMM, 2009.
Bandura, Albert “Mekanisme
Merenggangnya Moral,” dalam Walter Reich, “Origins of Terrorism: Tinjauan
Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
Fathoni, Muhammad Kholid. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Pardigma Baru]. Jakarta: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005.
Fathuddin, Syukri. “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman. Yogyakarta: UNY Press, 2008.
Fromm, Erich. “Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis
atas Watak Manusia,” dalam The Anatomy of
Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001.
Goleman, Daniel. “Kecerdasan
Emosional,” dalam Emotional Intelligence
Terj. T. Hermaya.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Hoerr, Thomas R. “Buku Kerja Multiple
Intelligences: Pengalaman
New City School di St. Louis, AS, dalam
Menghargai Aneka Kecerdasan Anak,” dalam Becoming a Multiple Intelligences School, terj. Ary Nilandari. Bandung:
Kaifa, 2007.
Idi, Abdullah dan Suharto, Toto. Revitalisasi Pendidikan
Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Jurgensmeyer, Mark. “Teror
Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in The Mind of God: The Global Rise
of Religious Violence, terj. M. Sadat Ismail.
Jakarta: Nizam, 2002.
Keputusan Dirjen Dikti
Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Kosim, Muhammad.
“Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural,” dalam Pendidikan Agama Islam dalam Prespektif
Multikulturalisme, ed. Zainal Abidin dan Neneng
Habibah. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Jakarta, 2009.
Muchsin, Bashori dan Wahid, Abdul. Pendidikan Islam Kontemporer.
Bandung: Refika Aditama, 2009.
Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum
hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: Rajawali, 2009.
--------. Wacana Pengembangan
Pendidikan Islam. Surabaya: PSAPM, 2003.
Mujtahid, Reformasi Pendidikan Islam. Malang: UIN Maliki, 2011.
Naim, Ngainun.
Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman Yogyakarta: Teras,
2011.
Nata,
Abuddin. Tafsir
Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al Tarbawiy). Jakarta: Rajawali, 2009.
Nimer, Mohammed Abu “Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam
Islam: Teori dan Praktek,” dalam Nonviolence
and Peace Building in Islam: Theory and Practice, terj. M. Irsyad Rhafsadi
dan Khairil Azhar. EDISI DIGITAL, http://www.abad-demokrasi.com/sites/default/files/ebook/Nirkekerasan%20Abu-Nimer.pdf, didownload tanggal 16 Desember
2014.
Nyoman, Paskalis Edwin. “Agama
dan Kekerasan,” dalam Agama
Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme,
ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma, 2000.
Pasiak, Taufiq. Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ,
dan SQ untuk Kesuksesan Hidup.
Bandung: Mizan.
Purnomo, Agus. Ideologi
Kekerasan: Argumentasi Teologis-Sosial Radikalisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Riyanto, Armada.
“Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam Agama
Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma,
2000.
Saefuddin, Ahmad Muflih.
“Pembaharuan Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar,” dalam Percakapan Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1991.
Schillebeeckx, Edwar. “Dokumentasi: Agama dan Kekerasan,”
dalam Agama Sebagai Sumber Kekerasan? Judul Asli: Religion as a Source of Violence, ed.
Wim Beuken. dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Tobroni, Pendidikan
Islam: Paradigma Teologis Filosofis, dan Spiritualitas. Malang: UMM, 2008.
Undang-undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta
Penjelasannya. Jakarta: Cemerlang, 2003.
Wahid, Abdurrahman. dkk., “Islam Tanpa Kekerasan” dalam Islam and Nonviolence, terj. M. Taufiq
Rahman. Yogyakarta: Lkis, 2010.
Widayati, Sri dan
Widijati, Utami. Mengoptimalkan
9 Zona Kecerdasan Majemuk Anak. Yogyakarta:
Luna, 2008.
Zohar, Danah dan Marshall, Ian. “SQ: Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, terj. Rahmani dkk.
Bandung: Mizan, 2007.
[1]Sebagaimana diketahui secara umum, bahwa agama yang paling agresif dalam “mempengaruhi” umat manusia adalah
Kristen, Yahudi, dan Islam. Ketiga agama tersebut merupakan agama Samawi (dari langit), sehingga perlu Rasul (utusan) di bumi sebagai “penyambung” wahyu Ilahi. Dengan demikian, ketiganya dapat dikatakan
sebagai agama profetik (kenabian). Di mana Nabi Isa, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad diutus kepada umatnya untuk
menyampaikan wahyu yang mengusung semangat “perubahan” (revolusioner). Ironisnya,
semangat perubahan ini diasumsikan sebagai “hasil” yang harus dicapai dan
diciptakan umatnya. Apapun itu caranya yang penting terjadi hasil perubahan,
termasuk dengan jalan kekerasan sekalipun. Padahal sebagaimana telah diyakini
secara jamak, bahwa tuhan itu Maha Pengasih. Oleh karena itu, tidaklah mungkin Dia “memperkosa” umatnya
untuk berhasil mencapai tujuan dalam misi membela agama-Nya.
Tuhan tidak sekejam itu. Dia tidak menuntut hasil dari umatnya, tapi menuntut proses yang mulia (baik) dalam
menjalankan misi membela agama-Nya. Itu artinya, bila terjadi kegagalan tentu Tuhan tidak akan
menangis, bersedih, kecewa, dan marah ketika melihat ketidakberdayaan umat-Nya dalam usaha
merubah tatatan masyarakat menjadi
lebih baik.
[2]Hubungan yang tidak direstui (perselingkuhan) antara agama dengan
kekerasan tidak bisa disamakan dengan “hubungan” agama dengan kekerasan yang
direstui oleh etika agama. Biasanya perselingkuhan tersebut terjadi karena
faktor ketergesa-gesaan, penuh nafsu, dan demi memenuhi ego. Padahal ada jalan
lain yang mulia dan baik untuk mencapai tujuan “kenikmatan” tersebut.
Implikasinya, karena perselingkuhan adalah perbuatan ilegal maka setiap
“kenikmatan” yang mereka lakukan otomatis tidak sah (buruk).
[3]Salah satu teori mengatakan bahwa alasan manusia melakukan kekerasan
adalah untuk “meluapkan” insting
agresifnya yang tertahan. Untuk masalah ini akan dibahas pada halaman
berikutnya. Faktor atau penyebab lain hanyalah “bonus
tambahan” sebagai alasan dan pemicu untuk melakukan kekerasan. Bila teori ini
benar maka, sejatinya kekerasan seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai
kekerasan “penyebab.” Sedangkan kekerasan yang dilakukan oleh korbannya disebut
sebagai kekerasan “akibat.” Bisa juga “korban” tidak melakukan perlawanan
(kekerasan) tapi “melarikan” diri mencari tempat aman. Namun, antara kekerasan penyebab dan kekerasan akibat
kadangkala sangat sulit diuraikan karena hubungan mereka seperti lingkaran
setan yang selalu terkait dan tak terputus. Mengenai masalah kekerasan-balik (counterviolence)
ini bisa dilihat Abdurrahman Wahid, dkk., “Islam Tanpa Kekerasan” dalam Islam and Nonviolence, terj. M. Taufiq
Rahman (Yogyakarta: Lkis, 2010), hlm.
97.
[4]Misalnya, untuk menjalankan perintah agama tentang nahi munkar (mencegah kemunkaran)
seseorang secara membabi buta melakukan perusakan (kekerasan) terhadap
tempat-tempat maksiat yang dianggap menjadi sumber kemunkaran. Seolah-olah
kekarasan menjadi satu-satunya jalan terbenar dan tersuci untuk menegakan
perintah Tuhan. Padahal, masih ada cara lain yang lebih humanis dan tentu
direstui Tuhan, meski resikonya membutuhkan dana besar dan membutuhkan jangka
waktu lama. Misalnya melalui publikasi pada media massa, melalui jalur
pendidikan, dan pendekatan personal kepada yang bersentuhan secara langsung
terhadap tempat kemaksiatan maupun kepada keluarganya. Dengan demikian, proses
yang lebih islami (manusiawi) tersebut jauh lebih penting daripada tujuan yang
mulia tapi menggunakan kekerasan dalam konteks yang tidak tepat.
[5]Globalisasi ditengarai menjadi salah satu penyebab
berdirinya lembaga-lembaga agama yang melakukan kekerasan. Hal ini terjadi pada
berbagai tempat berbeda di seluruh dunia. Lihat, Mark Jurgensmeyer,
“Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in The Mind of God: The Global Rise
of Religious Violence, terj. M. Sadat Ismail (Jakarta: Nizam, 2002), hlm. xvii.
[6]Dalam melakukan pencegahan ini tidak bisa hanya
mengunakan satu pendekatan, misalnya melakukan doktrin. Diperlukan berbagai
pendeketan lain (interdisipliner) supaya siswa bisa memahami dan tergerak untuk
mewujudkan kehidupan nirkekerasan. Misalnya melalui psikologi, sosiologi, dan
biologi.
[7]Ajaran Islam yang parsial adalah ajaran yang dilakukan
secara tidak utuh. Yakni, terjadi kesalahan dalam memahami Islam, di mana Islam
hanya diidentifikasikan pada ajaran tertentu saja, misalnya difokuskan pada
ajaran tentang nahi munkar (mencegah
munkar) dan jihad saja. Padahal masih
banyak ajaran lain yang jauh lebih bermanfaat dan manusiawi bila diterapkan
pada konteks yang tepat. Misalnya bakti
sosial membantu bencana alam, pendidikan bermutu tapi murah, dan berbagai
kegiatan simpatis (humanis) lainnya. Di sisi lain, ajaran Islam diterapkan
secara parsial karena untuk menguntungkan diri atau kelompok. Dengan cara
mencatut dalil-dalil (wahyu) yang hanya sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingannya, lalu menafikan (menyembunyikan) wahyu lain yang merugikan
kepentingannya.
[8]Mohammed Abu-Nimer, “Nirkekerasan
dan Bina-Damai dalam Islam: Teori dan Praktek,” dalam Nonviolence and Peace Building in Islam: Theory and Practice, terj.
M. Irsyad Rhafsadi dan Khairil Azhar. EDISI DIGITAL, http://www.abad-demokrasi.com/sites/default/files/ebook/Nirkekerasan%20Abu-Nimer.pdf, didownload tanggal 16 Desember
2014.
[9]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[10]Nimer, “Nirkekerasan dan Bina,” EDISI DIGITAL, didownload
tanggal 16 Desember 2014, hlm. 20.
[11]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[12]Mencari penyebab dan motivasi kekerasan tidak memuaskan
bila hanya didasarkan pada adanya seruan dari agama. Sebagaimana menurut
Sumjati yang dikutip oleh Muchsin dan Wahid bahwa “tidak mudah menyelesaikan
kasus-kasus kekerasan seperti main hakim sediri (eigenrichting) yang terjadi di Indonesia. kalau ada upaya
penyelesaian maka upaya penyelesaian dimaksud harus melibatkan banyak aspek,
banyak pihak, yang harus saling sinergi antara aspek, pihak yang satu dengan
aspek, pihak yang lain.” Lihat, Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung:
Refika Aditama, 2009), hlm. 128.
[13]Nimer, “Nirkekerasan dan Bina,” EDISI DIGITAL, didownload
tanggal 16 Desember 2014, hlm. 30-31.
[14]“kekerasan ‘yang mengatasnamakan’ agama bukanlah fenomena
tunggal yang muncul tiba-tiba, tetapi memiliki keterkaitan tertentu, yang
diantaranya dengan persoalan ideologi dan legitimasi teks-teks keagamaan, yang
dipahami secara rigid oleh para
pelaku kekerasan. Lihat, Agus
Purnomo, Ideologi Kekerasan: Argumentasi
Teologis-Sosial Radikalisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.
6.
[15]Syamsul Arifin, “Implementasi Studi Agama Berbasis
Multikultural dalam Pendidikan,” dalam http://rires2.umm.ac.id/publikasi/lama/IMPLEMENTASI%20STUDI%20AGAMA2.pdf, didownload tanggal 16 Desember 2014.
[16]Sebagaimana menurut Nyoman, bahwa di Dunia Timur, hubungan persaudaraan
spiritual (agama) atas ama kesatuan di dalam Tuhan sering kali lebuh kuat dari
pada bentuk ikatan lain, termasuk hubungan darah. Perasaan atas kesamaan
religus membuat individu mejadi akrab dan kompak. Sebaliknya perasaan religius yang berbeda
dapat memisahkan orang bahkan dapat mengakibatkan konflik meskipun mereka satu
keluarga. Loyalitas keagamaan ini, menurut Schneider sebagaimana dikutip Nyoman melebihi loyalitas lainnya di mana saja, kecuali dalam dunia barat modern. Lihat, Paskalis Edwin Nyoman, “Agama dan Kekerasan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma, 2000), hlm. 38.
[17]Nyoman, menyebutkan ada tiga pemicu
tindakan kekerasan, pertama ketidakadilan,
baik dalam bidang ekonomi dan politik. Pengadilan (aparat berwenang) tidak bisa
dipercaya lagi sehingga orang menegakkan keadilan dengan caranya sendiri,
termsuk melalui kekerasan. Kedua, perbedaan,
baik perbedaan secara fisik (simbol, warna, bentuk, dll) maupun non fisik
(tujuan, pemahaman, ideologi, dll). Ketiga,
kambing hitam, dengan mengorbankan salah satu pihak sebagai sasaran utama (yang
dianggap paling berdosa) dalam sebuah kemelut yang sedang terjadi. Lihat, Ibid., hlm. 39-42.
[18]Konsep amar ma’ruf
nahi munkar tidak sepantasnya dijadikan legitimasi melakukan kekerasan
sebagai suatu yang bersifat privilese (hak istimewa) bagi pelakunya. Yakni,
untuk menegekkan misi agama agar manusia bisa berkehidupan yang sesuai dengan
etika agama. Masih ada jalan lain dalam Islam selain itu untuk menegakkan
kebenaran, menjujung moralitas, dan memperoleh tatanan damai (tanpa maksiat)
pada masyarakat. Lihat, Muchsin dan Wahid, Pendidikan
Islam Kontemporer, hlm. 129.
[19]Atas ketakutan tersebut maka hak agama lain untuk eksis
terus ditekan dan ditolak. Dalam masyarakat yang beraneka ragam, penolakan ini
merupakan pernyataan “perang,” sehingga mendorong pada kekerasan. Lihat, Edwar Schillebeeckx,
“Dokumentasi: Agama dan Kekerasan,” dalam Agama Sebagai Sumber Kekerasan? Judul Asli: Religion as a Source of Violence, ed.
Wim Beuken. dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 243.
[20]Dari sini dapat dikatakan, tolok ukur kejayaan agama Islam adalah
berdasarkan jumlah pemeluknya, sehingga mereka kawatir akan terjadi permurtadan massal atau berkurangnya jumlah pemeluk agama Islam. Dengan kata lain, dalam konflik atas nama agama ini terjadi perebutan pengaruh dan perebutan pemeluk antara agama satu
dengan yang lain. Padahal, agama Islam tidak hanya memandang kuantitas saja
tapi yang lebih penting adalah kualitas pemeluk agamanya. Di sinilah mereka
lupa, bahwa sebelum menjaga dan meningkatkan kuantitas pemeluknya terlebih
dahulu mereka harus meningkatkan kualitas agama dan kehidupan
pemeluknya.
[21] Di satu sisi, umat Islam dalam ranah keimanan diwajibkan untuk mengklaim bahwa agama Islam yang benar dan diakui (sah)
oleh Tuhan. Di sisi lain secara etika dan dari segi pergaulan dengan pemeluk
agama lain, umat Islam tidak boleh menyakiti hati dan fisik mereka.
[22]“Kekerasan, misalnya, diperlukan untuk
tujuan-tujuan hukuman dan tidak jarang diperlukan untuk mempertahankan agama.
Dalam “dunia konflik” [dar al-harb],
di luar dunia muslim, kekuatan [force]
merupakan sarana mempertahankan kelangsungan hidup [cultural survival]. Dalam konteks demikian, mempertahankan
eksistensi agama dipandang sebagai persoalan jihat, sebuah kata yang secara
literal berarti “berjuang” dan sering kali diterjemahkan “perang suci.” Padahal dalam “Hukum islam tidak memperbolehkan jihad
digunakan secara sembarangan, untuk pencapain personal, atau untuk membenarkan
pemaksaan dalam berbangsa: perpindahan agama yang dipandang sah hanya dilakukan
tanpa kekerasan, melalui dorongan rasional dan perubahan (kehendak) hati.” Lihat, Jurgensmeyer, “Teror Atas Nama,” hlm. 105-106.
[23] Secara sosiologis menurut D. Hendopuspito sebagaimana dikutip Nyoman,
agama memiliki lima fungsi utama yaitu fungsi edukatif, fungsi penyelamatan, fungsi pengawasan sosial, fungsi pemupuk
persaudaraan, dan fungsi transformatif. Lebih lanjut, agama memiliki peran
penting dalam membnagun negara, yaitu sebagai landasn moral, etik, dan
psiritual agar tercapai surga di dunia ini. Lihat, Nyoman, “Agama dan Kekerasan,” hlm. 37.
[25]Kekerasan ber-“etika” menurut penulis adalah kekerasan
yang dilandaskan pada dasar-dasar hukum yang jelas dan kuat tentang kaidah baik
dan buruk. Misalnya, seorang polisi melakukan “kekerasan” terhadap pelaku
terorisme yang bersenjata (membahayakan), secara etika kekerasan yang dilakukan
oleh polisi tersebut bernilai baik. Sebaliknya, secara etika suatu kekerasan
akan dipandang buruk bila dilakukan sewenang-wenang tanpa didasarkan pada
standar etika. Sekalipun kekerasan itu dilakukan oleh polisi, yakni oknum
polisi yang tidak bertangung jawab (tidak punya moral/berpenyakit sosial).
Dalam konteks ini, konsep “kekerasan” pada agama Islam sesungguhnya juga
disandarkan pada standar etika. Kekerasan dalam Islam tidak boleh dilakukan
secara sewenang-wenang (egoistik), tidak sadisme, tidak melakukan dehumanisasi,
dan tidak boleh dilakukan dalam semua konteks kehidupan. Dengan demikian,
kekerasan yang dilakukan oleh ormas agama tertentu dalam konteks keindonesiaan
sebagai negara hukum tidak dibenarkan.- Bagaimanapun, ada penegak hukum yang
berwenang dalam sistem pemerintahan. Bila ada kemandulan supremasi hukum, maka
jalan yang ditempuh seharusnya bukan kekerasan. Namun, membersihkan sistem
hukum yang rusak (berpenyakit) tersebut dengan jalan nirkekerasan. Salah satu
contoh untuk jangka panjang, menyekolahkan anak-anak mereka atau mengarahkan
dan mendukung generasi-generasi Islam yang berpotensi sesuai, didorong untuk
menjadi penegak hukum yang islami. Yakni, benar-benar adil, universial,
pengayom, dan tidak berpenyakit sosial.
[26]Latar belakang di sini meliputi ekonomi, politik,
pendidikan, pekerjaan, cara bersosial, kejiwaan, organisasi keagamaan, dan
latar belakang lainnya yang dipandang penting.
[27]Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum
hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: Rajawali, 2009), hlm. 17.
[28]Ibid., hlm. 39-40.
[29]Sebagai umat yang besar di Indonesia, umat
Islam semestinya memberikan keteladanan dalam bersikap dan berprinsip toleran
dalam kehidupan. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam
sejarah sosial-historis umat Islam pada masanya. Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 131.
[30]Dalam ibadah ritual salat misalnya, salat yang dilakukan
biasanya belum ke ranah konstruksi suci dari syahadad dan sujud kepada Allah.
Artinya, belum pada tingkatan pengakuan diri bahwa dirinya adalah hamba yang
wajib menyembah, membesarkan, dan mengabsolutkan-Nya. Kenyataannya malah
mengutamakan kepentingan diri dan orang lain yang ada dalam bingkai (frame) sama dengannya. Pada akhirnya
dikerucutkan pada pemutlakan, pembenaran, dan pengabsolutan diri sendiri atau
seseorang yang ada di dalam frame tersebut.
Dengan kata lain, pengabsolutan diri
masih lebih mendominasi dibandingkan dengan pengakuan kedaulatan Tuhan. Lihat, Muchsin dan Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, hlm. 174.
[31]Nilai nasionalisme di sini adalah
nilai-nilai dalam menjaga keutuhan dan keamanan bangsa yang didasarkan pada
peraturan Undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, umat Islam sebagai warga
negara harus patuh terhadap undang-undang yang ada di Indonesia –perlu
penjabaran panjang untuk menjelaskan mengapa harus patuh. Tapi, pada intinya
UUD 1945 tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Salah satu amanatnya
adalah pada pasal 28J ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud
sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. serta dalam Pasal 28E
ayat 1 dan 2 serta Pasal 28I ayat 1. Lihat,
“Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014..
[32]Generasi muda yang tidak berani melakukan ijtihad
(pengembangan diri) hanya akan memperlakukan agama sebagai alat pencapai
kepentingannya. Aspek pragmatisme dan hedonisme lebih dimenangkan dibandingkan
dengan melakukan kajian mendalam tentang filosofi sosial keagamaan.
Implikasinya, agama gagal memasuki wilayah pemikiran progresif, dan stagnan
berkutat dalam ekslusivisme. Artinya, telah terjadi pragmatisme agama yaitu
melakukan kegiatan atas nama agama tapi kenyataannya hanya untuk mencari
kesenangan dan kepuasan diri sendiri.
[33]Syukri Fathuddin, “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman (Yogyakarta: UNY Press, 2008), hlm.
130.
[34]Beberapa prinsip etika dalam al Quran menurut Hendar
Riyadi sebagaimana dikutip Naim terkait hubungan sosial antar umat beragama
meliputi, egalitarianisme, prinsip keadilan, prinsip toleransi, prinsip saling
menghormati (bekerjasama dan berteman), prinsip ko-eksistensi damai, dan dialog
yang arif-konstruktif-transformatif. Lihat,
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari
Titik Temu dalam Keragaman (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 53-55.
[35]Tobroni, Pendidikan
Islam: Paradigma Teologis Filosofis, dan Spiritualitas (Malang: UMM, 2008),
hlm. 49-50.
[36]Ibid., hlm. 153.
[37]Muhammad Kosim, “Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan
Multikultural,” dalam Pendidikan Agama
Islam dalam Prespektif Multikulturalisme, ed. Zainal Abidin dan Neneng Habibah (Jakarta: Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama Jakarta, 2009), hlm. 219.
[38]Undang-undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta
Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang,
2003), hlm. 7.
[39]“Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun
2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,” dalam http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/pp55tahun2007.pdf, didownload 22 Desember 2014.
[40]Keputusan Dirjen
Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi.
[41]Mujtahid, Reformasi Pendidikan Islam (Malang: UIN Maliki, 2011), hlm.
103-104.
[42]Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan
Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 2
[44]“Institusi studi agama ternyata efektif dalam
mengkonstrusi pemahaman keagamaan yang berdampak pula terhadap hubungan
antaragama. Adanya hubungan antara studi agama dengan pola interaksi antaruma
agama, perlu mejadi bahan pertimbangan dalam mengembangkan suatu model studi
agama yang dapat menciptakan suasana toleransi, dialogis, bahkan kooperatif
antar umat beragama. Lihat, Syamsul
Arifin, “Konflik, Kekerasan, dan Multikulturalisme: Mengurai Sengkarut Agama
di Ranah Sosial,” dalam Ulumul Qur’an (Vol.
X/No.1/Th.ke-25/2014), hlm. 19-31.
[45]Armada Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme,
ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma, 2000), hlm. 24.
[46]Menurut penulis, PAI seharusnya bisa mencegah generasi Islam di kemudian hari melakukan kekerasan atas dasar “kriminalitas” terlebih
kekerasan atas dasar “ideologis.” Kekerasan
kriminalitas adalah kekerasan yang dilakukan atas faktor kriminal murni tidak
ada sangkut paut dengan semangat ideologi tertentu. Sedangkan kekerasa ideologi
adalah kekerasan yang dilakukan demi melaksanakan misi ideologi tertentu.
Bagaimanapun, kedua macam kriminalitas tersebut merupakan tindak kekerasan. Di
mana kekerasan dalam bentuk apapun pada masa modern ini tidaklah ditolerir. Terkecuali “kekerasan” yang harus
dilakukan aparat berwenang ketika menghadapi sistuasi yang krusial, sehingga
secara etika keputusan yang harus diambil adalah tindakan kekerasan.
[47]Sebuah gerakan sosial dan termasuk gerakan kekerasan atas
nama agama perlu adanya kerangka ideologi yang isinya: 1. Deklarasi (penguatan)
tujuan gerakan, 2. Pengumpulan kritik dan penilaian negatif terhadap struktur
yang akan diubah, 3. Pengumpulan doktrin sebagai pembenar tujuan gerakan, 4.
Sistem kepercayaan yang terkait dengan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan
gerakan, 5. Mitos (tahayul) gerakan. Lihat,
Syamsul Arifin, Studi Agama: Perspektif Sosiologis &Isu-isu Kontemporer (Malang:
UMM, 2009), hlm. 199.
[48]Sebagaimana menurut Saefuddin bahwa tidak perlu mengadakan pembaharuan
terhadap ajaran Islam karena Islam telah sempurna dengan sendirinya. Justru
yang harus diperbarui adalah sikap dan pandangan manusia terhadap agama, yaitu
kemalasan dan kekurangan yang dimiliki
manusia. Serta bukan dinamika al-Quran yang dipertanyakan dalam menghadapi
tantangan zaman, namun dinamika umat Islam dalam memahami al-Quranlah yang harus dimulai dan tidak boleh pernah
berhenti sepanjang zaman. Lihat, Ahmad Muflih Saefuddin, “Pembaharuan
Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar,” dalam Percakapan
Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung:
Mizan, 1991), hlm. 15.
[49]Sebagaimana dalam PP No. 55 tahun 2007 Pasal ayat 6: “Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis,
inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki
kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.” Lihat,
“Peraturan Pemerintah Republik,” didownload 22 Desember 2014.
[52]Dialog atau kerja sama yang dilakukan dengan terbuka,
serta dilakukan bebas tanpa terlebih dahulu diberikan kesempatan pada salah
satu umat beragama untuk mengkuatkan dan mengikatkan “iman” umat beragama yang
masih awam dengan agamanya sendiri.
[53]Paradigma PAI yang lama harus segera ditinggalkan,
utamanya tentang pengutamaan ritualitas dan simbolisasi agama secara buta.
Alasannya, pada zaman sekarang ini bukan kekuatan fisik
(tubuh) yang mampu mempengaruhi dan mengubah arah peradaban tapi ilmu (pikiran)
lebih menentukan dari semuanya. Asumsinya, dengan ilmu siapapun mampu
merekayasa kekuatan fisik. Dengan ilmu pula siapapun bisa merekayasa media
massa, teknologi, pemerintahan, dan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, arah
pendidikan PAI hendaknya tidak hanya ditujukan pada keterampilan fisik, tapi
juga “menyemangati” generasi mudanya untuk aktif dalam pengembangan IPTEK.
[54]Hal ini sesuai dengan PP No. 55 Tahun 2007 Pasal ayat 3,
bahwa “pendidikan agama mendorong peserta didik untuk
taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan
agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Lihat, “Peraturan Pemerintah Republik” didownload 22 Desember 2014.
[55]Secara terperinci, dalam konteks
pendidikan, yaitu penanaman ideologi
agama yang benar (utuh) kepada peserta didik harus ditanamkan secara konsisten.
Yakni, penanaman “ideologi” kedamaian yang bukan hanya untuk seagama sendiri.
Artinya, untuk umat seagama sendiri bersikap lemah lembut tapi pada agama lain
akan bersikap keras dan melemahkannya. Sebagaimana menurut Arifin bahwa “setiap gerakan fundamentalisme agama memiliki
ideologi. Bagi gerakan sosial, keberadaan ideologi memiliki arti penting. Tanpa
ditopang ideologi, keberadaan suatu gerakan sosial hanya akan menghadapi
ketidakpastian yang berkepanjangan.” Kritik
sosial dan gerakan
fundamentalis tersebut
ditujukan kepada berbagai macam penyakit sosial yang menimbulkan krisis
kehidupan masyarakat. Krisis inilah yang ingin disematkan oleh
mereka dengan mengembalikan pada tatanan kehidupan ideal pada masa lalu. Serta memberikan janji kemuliaan di masa akan datang
(eksatologis). Lihat, Arifin, Studi
Agama: Perspektif, hlm. 199.
[56]Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan
Islam dan Pendidikan Nasional [Pardigma Baru] (Jakarta: Depag RI Dirjen
Kelembagaan Agama Islam, 2005), hlm. 51.
[57]Klaim
kebenaran (truth claim) bagi setiap
agama adalah hal yang sangat sah. Asumsinya, tanpa klaim tersebut agama sebagai
sistem kehidupan tidak punya kekuatan simbolik yang cukup menarik bagi setiap
pengikutnya. Selain itu, hal klaim tersebut bisa menjadi pegangan hidup yang
stabil dan tidak berubah-ubah. Oleh karena itu, beberapa pemeluk agama akan
berusah memposisikan diri sebagai penganut agama yang loyal, punya komitmen
persnoal terhadap ajaran agamanya, dan bersemangat dalam berdedikasi untuk
agamanya. Namun yang perlu dicatat, bila klaim
kebenaran tersebut dipahami secara mentah-mentah dan penuh emosional, bisa
menimbulkan banyak masalah. Meski umat beragama perlu kebenaran agama yang tak
berubah-ubah, tapi kenyataannya kehidupa manusia itu penuh perubahan
(dinamika), ketidakstabilan, dan ketidakmenentuan. Secara historis, adanya perselisihan
(kekerasan), pertikaan, konflik, dan peperangan antar komunitas agama di hampir
seluruh dunia diakibatkan dari klaim kebeneran yang melebar (menyeleweng).
Yakni, telah memasuki wilayah sosial politik yang bersiat praktis-empiris. Dengan demikian, bila masyarakat belum siap dan kurang memiliki
kesadaran akan pluralisme, maka klaim kebenaran bukan hanya terbatas pada hubungan
antar agama, tapi juga terjad pada ranah internal agama itu sendiri. Terlebih,
bila klaim kebenaran tersebut dibungkus dalam simpul interest, kepentingan pribadi atau kelompok, baik yang menjurus
politis (170) maupun sosiologis. Lihat, Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Surabaya: PSAPM, 2003), hlm. 170-172.
[58]Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan
(Tafsir Al-Ayat Al Tarbawiy) (Jakarta: Rajawali, 2009), hlm. 163.
[59]Seorang anak yang didik dalam balutan kekerasan, suatu
saat pengalaman kekerasan tersebut berpotensi besar akan ditiru oleh mereka di
saat dewasa kelak.[59] (109)
pendidikan islam humanistik.
[60]Erich Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis
atas Watak Manusia,” dalam The Anatomy of
Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 6.
[61]Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis,” hlm. 8-9.
[62]Ibid., hlm. 83-84.
[63]Misalnya, seorang ibu melarang anak bungsunya memakan
permen, larangan tersebut bisa menimbulan frustasi, tapi tidak akan menimbulkan
agresi bila dilakukan dengan menunjukkan kasih sayang, perdamaian, dan tidak
menunjukkan sikap otoriter. Namun, bila pelarangan itu adalah wujud dari
pemaksaan orang tua untuk menguasai terlebih kakanya yang sebaya diperlbolehkan
makan permen, maka besar kemungkinan agresifitas muncul. Pemicu agresi bukan
hanya pelarangannya, tapi ada faktor lain yang menjadi pendorong yaitu adanya
ketidak adilan. Lihat, Fromm, “Akar
Kekerasan: Analisis,” hlm. 83-84.
[64]Tanggapan Arifin tentang passing
over adalah “Adanya suatu yang hilang dari agama, yaitu daya jelajah agama
yang memungkinkan setiap orang melakukan ziarah spiritual – yang oleh John S.
Donne disebut dengan passing over,
kecuali akan menambah wawasan intelektual agama lain yang diperolehnya secara
fenomenologis. Juga, akan dapat memperkaya pemahaman spiritual yang sebelumnya
diperkaya oleh agama yang dipeluknya.” Lantas bagaimana individu dapat keluar
dari penyandraan formalitas agama, sehingga bisa melakukan perjumpaan secara
mendalam dengan agama lain? Semua itu menurut arifin, tergantung pada proses
pembelajaran atas agama yang dipeluk. Lihat, Syamsul Arifin, “Klaim Kemutlakan, Konflik Sosial, dan
Reorientasi Keberagamaan,” dalam Agama
Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto (Malang: Dioma,
2000), hlm. 51.
[65]Misalnya,
ada
bencana alam di wilayah berpenduduk non muslim, para peserta didik yang terseleksi diikutsertakan melakukan bakti sosial. Tentu dengan tidak
menyertakan simbol-simbol Islam saat menjalankan misi kemanusiaan di sana atau tidak boleh melakukan misi “Islamisasi.” Setelah itu, peserta didik yang ikut diwajibkan “menceritakan”
pengalaman psikologis mereka saat melakukan bakti sosial kepada peserta didik
lain.
[66]Ciri-ciri kecerdsan intrapersonal adalah pertama memiliki
empati, yaitu memahami perasaan orang lain dan peka pada
situasi serta tahu sikap apa yang harus dilakukan pada setiap situasi yang ada. Kedua, bersikap asertif;
kemampuan untuk mempertahankan kepentingannya (hak) tanpa merugikan orang lain. Ketiga, bisa bekerja sama; kemampuan dalam memetakan
antara hak dan kewajiban bahkan tugas seseorang dalam kelompok, berjiwa
pemimpin yaitu mampu menempatkan seseorang dalam posisi yang tepat. Keempat, bersikap realistik akan kelemahan dan
kelebiahnnya. Keenam, sikap
yang idependen dan punya hasrat yang kuat dan ketujuh
adalah punya ekslusifitas pandangan hidup dari pada yang lainnya. Sri Widayati dan
Utami Widijati, Mengoptimalkan 9 Zona
Kecerdasan Majemuk Anak (Yogyakarta: Luna, 2008), hlm. 185-186.
[67]“Flow
adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan.” Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence ed. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1999),
hlm.
127. Dengan kata lain, segala tindakan
yang dilakukan berasal dari kesadaran diri bukan paksaan atau pendoktrinan dari
orang lain.
[68]Sibernetika berarti “ilmu pengetahuan tentang komunikasi dan pengawasan yang
khususnya berkenaan dengan studi bandingan atas sistem pengawasan otomatis
(seperti sistem saraf dan otak).” Lihat,
“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[69]Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis,” hlm. 45.
[70]Absolutisme agama, yang dianggap kebenaran tertinggi (The ultimate reality), merupakan
kebutuhan alami manusia sebagai makhluk yang serba relatif. Dari kerelatifan
tersebut, acapkali daya rasional manusia gagal dalam memberikan jawaban yang
memuaskan ketika dihadapkan pada persoalan eksistensi dan fundamental. Utamanya
tentang alasan dan bagaiman seharusnya keberadaan manusia dalam realitasi
kosmos. Lihat, Arifin, “Klaim Kemutlakan, Konflik,” hlm. 48.
[71]Muchsin dan Wahid, Pendidikan
Islam Kontemporer, hlm. 47-48.
[72]Arifin, “Implementasi Studi Agama,” didownload tanggal 16
Desember 2014, hlm. 12.
[73]Dialog antar iman harus dilakukan dalam segala bidang kehidupan.
Misalnya, dengan pembentukan forum-forum dan pertemuan antar umat beragama baik
formal maupun informal secara berkala maupun insidental. Bisa juga dengan aneka
maca kerjasama dalam bidang sosial, pendidikan, kesehatan, pertanian, studi
ilmiah, dan sebagainya. Gotong-royong dalam pembangunan kembali rumah ibadah yang rusak akibat tindak
kekerasan, serta tentunya bahu-membahu untuk pembangunan ekonomi bangsa harus
digalakkan. Semangat kemanusiaan universal dan mengatasi ekslusivisme inilah
yang mampu meningkatkan mutu kehidupan bersama antar masyarakat Indonesia. Lihat, Armada Riyanto, “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” hlm. 13-14.
Dengan
kata lain umat islam memerulkan umat lain untuk menghadapi permaslah kehidupan
yang serba kompleks ini.
[74]“Dengan demikian hubungan antarumat
beragama perlu mendapat nama baru, dan substansi baru. Selain menimbulkan sikap
apologetis, juga kerukunan atau toleransi hanya cocok untuk masyarakat agraris,
tetapi tidak sesuai untuk masyarakat industrial. Kerukunan itu mengarah ke
dalam masyarakat beragama sendiri, berorientasi ke belakang ke zaman “normal”,
dan merujuk pada status quo. Yang diperlukan adalah konsep baru yang
bersifat keluar dan tidak asyik dengan diri sendiri saja, melihat ke depan
dengan bersama-sama menghadapi masa depan kemanusiaan, dan dinamis yang merujuk
pada kerjasama. Oleh karena itu, kerukunan atau toleransi sudah saatnya
digantikan dengan kerjasama atau koperasi; di masa depan yang diperlukan
bukan kerukunan atau toleransi, tetapi kerjasama atau koperasi antarumat
beragama (ta`awun `ala al-birri wa at-taqwa).” Arifin, “Implementasi
Studi Agama,” didownload tanggal 16 Desember 2014. hlm 24-25.
[75]“kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan kunci. Lebih dari
kecerdasan-kecerdasan lain, kecerdasan intrapersonal yang kuat menempatkan kita
untuk kesuksesan; sebaliknya, kecerdasan intrapersonal yang lemah akan menghadapkan
kita pada rasa frustasi dan kegagalan terus-menerus—dan keberhasilan kita,
kalaupun ada, terjadi secara kebetulan saja.” Lihat, Thomas R. Hoerr, “Buku Kerja Multiple Intelligences: Pengalaman New City
School
di St.
Louis, AS,
dalam Menghargai
Aneka
Kecerdasan
Anak,” dalam Becoming a Multiple Intelligences School, terj. Ary Nilandari (Bandung: Kaifa, 2007), hlm. 114.
[76]“Jika pada taran wacana telah
disepakati tentang adanya nilai keadaban agama—antara lain toleransi dan
pluralisme—maka yang terpenting dalam proses berikutnya adalah, menjadikan
wacana itu apa yang dalam antropologi disebut dengan kesadaran subyektif (subjective
consciousness) para pelaku yang dalam hal ini adalah para pemeluk agama.
Praktek kekerasan dalam wilayah kehidupan agama sesungguhnya karena hilangnya
kesadaran subyektif ini, meskipun mungkin secara teoritik masyarakat mengakui
bahwa agama mengajarkan tentang toleransi dan pluralisme. Tapi karena tidak
menjadi kesadaran subyektif, pengetahuan teoritik itu
tidak memberikan arti apa-apa.”
Arifin, “Implementasi Studi Agama,” didownload tanggal 16 Desember 2014, hlm.
14-15.
a.tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya
sendiri sama sekali
b. telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak
proposional, atau dengan cara yang negati atau destruktif.
c. bertentangan atau buruknya hubungan antara
bagian-bagian.” Lihat,
Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Kecerdasan
Spiritual,” dalam SQ: Spiritual
Intelligence – The Ultimate Intelligence, ed. Rahmani dkk (Bandung: Mizan,
2007), hlm. 144
[79]Pada dasarnya manusia adalah makhluk
spiritual. Manusia terdorong oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan
mendasar dan pokok. Mengapa saya dilahairkan? Apa makn hidup saya? Apa yang membuat semua itu berharga? Manusia
merindukan untuk menemukan makna dan nilai dari apa yang telah diperbuat dan
dialami.
[80]Taufiq Pasiak, Manajemen
Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup (Bandung:
Mizan), hlm. 255.
[81]Setiap kecerdasan rawan terhadap cacat akibat
kerusakan atau cedera pada wilayah otak tertentu; menurut garder teori
kecerdasan dapat berlaku bila didasarkan pada biologi (struktur otak).
Kecerdasan linguistik berfungsi dibelahan otak kiri, kecerdasan musikal,
spasila, dan antarpribadi cenderung pada belahan otak kanan. Kecerdasan
kinestetik menyangkut korteks motor, ganglia basal, dan serebelum (otak kecil). Thomas Amstrong, “Seven Kinds of Smart:
Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple
Intelligence,” dalam Seven Kinds of
Smart: Identifying anda Developing Your Multiple Intelligences ed. T.
Hermaya (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 7.
[82]Pembahasan mengenai teori “kecerdasan,” pada
awalnya identik dengan dunia Psikologi, akan tetapi ilmu biologi utamanya
bidang neurosains juga memiliki peran yang tak kalah penting. Dengan demikian
pembahasan terkait “kecerdasan” bukanlah kajian dunia abstrak (terkait proses
berpikir dan berimajenasi). Namun juga menenyuh aspek “organ” tubuh manusia
yang memiiki peran utama dalam “menyusun” kecerdasan, yaitu otak dan yang bersangkut
paut dengannya.
[83]Menurut penulis dalam otak emosional
terdapat kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional berarti “kemampuan seperti kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadap frustasi; mengendalikan dorongan
hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan;
mengatur suasana hati dan menjaga agar beban strest tidak melumpuhkan kemampuan
berfikir; berempati dan berdoa.” Lihat,
Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 45.
[87]Rifa
Hidayah, “Dampak Tayangan Kekerasan Pada Anak,” dalam Psikoislamika, Vol.1/No.2/Juli 2004. hlm. 203-216.
[88]Iin Tri
Rahayu, “Kekerasan dan Agresifitas,” dalam Psikoislamika,
Vol.1/No.2/Juli 2004. hlm. 167-175.