oleh: A. Rifqi Amin
Tulisan ini telah direvisi (ditambahi dan dikurangi) untuk dijadikan ke dalam salah satu BAB dalam buku terbaru karya A. Rifqi Amin yang bertema Pendidikan Agama Islam berbasis Interdisipliner. Untuk mengetahui isi buku silakan klik >>> di sini <<<
Tulisan ini telah direvisi (ditambahi dan dikurangi) untuk dijadikan ke dalam salah satu BAB dalam buku terbaru karya A. Rifqi Amin yang bertema Pendidikan Agama Islam berbasis Interdisipliner. Untuk mengetahui isi buku silakan klik >>> di sini <<<
BAB I
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Masalah
Kajian tentang pengembangan program studi (prodi) dalam arti pengembangan
kurikulum,[1]
penambahan jumlah, dan penggantian namanya di Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI) merupakan salah satu wacana baru. Mengingat, selama ini PTAI[2]
masih identik dengan perguruan tinggi yang hanya mengurusi persoalan akhirat
dan cenderung fokus pada penguasaan ilmu keagamaan. Meski gagasan tentang
pengembangan kurikulum PTAI yang termanifestasikan dalam penambahan prodi umum
(non keagamaan) sudah cukup lama beredar, tapi baru masa reformasi gagasan ini
mulai mendapatkan jalan terang. Tatkala adanya Undang-undang Otonomi Daerah
tahun 1999 yang berimbas pada otonomisasi dalam bidang-bidang tertentu.
Termasuk di dalamnya otonomi pendidikan di semua jenjang. Kemudian
ditindaklanjuti dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 24 ayat 1 dan 2.[3]
Pada
kurun beberapa waktu setelahnya, muncul Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun
2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang bisa menjadi landasan bagi PTAI
dalam melakukan pengembangan prodi. Salah satu isi yang terkait dengan itu
adalah Pasal 184 ayat 5: ”Kewenangan membuka, mengubah, dan menutup program
studi sebagaiman dimaksud dalam Pasal 58F ayat (2) huruf (b) butir (1.b)
diberikan secara bertahap kepada perguruan tinggi.”[4]
Meskipun ada kalanya terjadi perbedaan aturan pada bidang tertentu antara
Perguruan Tinggi yang dikelola pemerintah dengan perguruan tinggi swasta yang
dikelola masyarakat.
Lebih
detail, setelah hadirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 semakin menguatkan posisi
(secara hukum positif) PTAI. Hal tersebut telah memberikan keleluasaan dan kewenangan
penuh kepada PTAI.[5] Meskipun
pada kenyataan hanya PTAI yang berbentuk Universitas-lah yang mendapatkan porsi
seluas-luasnya untuk membuka prodi baru, utamnya prodi umum (berbasis ilmu
pengetahuan umum). Sedangkan yang berbentuk Institut masih ada keterbatasan,
terlebih lagi untuk Sekolah Tinggi[6]
tidak memiliki wewenang untuk membuka prodi umum. Adapun yang berbentuk
Institut pada kenyataannya ada yang membuka prodi umum, akan tetapi fakultasnya
tetap berada di rumpun lama yaitu fakultas yang berbasis keagamaan.
Dari
penjelasan di atas, dapat dikatakan semua bentuk PTAI pada dasarnya diberi
keleluasaan untuk mengembangkan kurikulumnya. Baik dilakukan dengan cara
pengembangan muatan dan corak keilmuan pada setiap mata kuliahnya maupun dengan
penambahan mata kuliah baru (mata kuliah umum) untuk meningkatkan keilmuan mahasiswanya.
Dengan kata lain, pengembangan Program Studi di PTAI di sini ada dua katagori. Pertama, pengembangan kurikulum[7]
(utamanya muatan materi atau mata kuliah) pada setiap fakultas dan prodi yang
sudah ada oleh PTAI berbentuk Sekolah Tinggi dan Institut.[8]
Kedua, pengembangan dengan cara
penambahan Prodi dan fakultas baru non keagamaan yang hanya bisa dilakukan oleh
PTAI berbentuk Universitas dan “sebagian” institut.
Dalam sekup keindonesiaan,
PTAI merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Konsekuensinya, PTAI senantiasa terikat dengan
aturan-aturan undang-undang dan aturan
pemerintah. Dengan
demikian, PTAI harus bisa menyesuaikan ritme
yang berlaku yaitu antara kepentingan pendidikan nasional dengan
kepentingan (tujuan) institusi. Di mana kepentingan nasional sekarang ini
sedang membutuhkan generasi penerus bangsa yang unggul dalam penciptaan dan
pengembangan bidang ilmu pengetahuan umum, teknologi, dan seni. Implikasinya,
PTAI diberi tanggung jawab untuk membantu kesuksesan misi tersebut. Dapat
disimpulkan, PTAI tidak bisa lepas dari
kenyataan-kenyataan bahwa masyarakat dalam kehidupan yang serba kompleks ini
tidak hanya membutuhkan ilmu agama. Terlebih bila lulusan dari fakultas atau
program studi keagamaan Islam pada beberapa
prodi telah overload.
Sedang untuk kalangan umat
Islam sendiri, sesungguhnya umat Islam tidak hanya
butuh ahli agama saja untuk menghadapi
kehidupan modern ini, akan tetapi juga ahli bidang
ilmu pengetahuan umum. Hal ini dilakukan
supaya seluruh kepentingan hidup umat Islam bisa tercover oleh umat Islam sendiri yang ahli di beberapa bidang ilmu pengetahuan tersebut. Asumsi tersebut
terbukti bahwa PTAI sekarang ini kurang diminati[9] oleh
masyarakat. Hal ini terjadi karena peran PTAI masih dirasa kurang memberikan
manfaat bagi “sistem” kehidupan umat Islam di Indonesia.[10]
Baik dari segi moral, misalnya terjadinya fenomena pacaran bebas,
penyalahgunaan narkotika, tawuran, dan perilaku amoral lainnya ternyata tidak
mendapatkan perhatian serius dari sarajana lulusan PTAI. Bahkan bisa dikatakan
tidak mampu memberikan jalan keluar. Sedangkan, dari segi pengembangan keilmuan
secara teori dan praktik oleh para sarjana dari PTAI masih diragukan
kualitasnya.[11]
Dari semua pembahasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa PTAI memiliki tugas berat yang harus diemban. Di
antaranya, harus bisa menemukan jati diri yang sesungguhnya, sehingga peran dan
fungsinya bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Oleh karena itu,
untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan beberapa cara, salah satunya dengan
pengembangan kurikulum melalui penambahan atau perubahan nama mata kuliah serta
penambahan atau perubahan nama program studi. Di mana untuk melakukan langkah
itu dibutuhkan konsep dan pemikiran yang secara lebih detail dibahas dalam
makalah ini.
2.
Batasan
Masalah dan Topik Pembahasan
Dari
penjelasan tersebut, penulis dapat merumuskan batasan masalah yang menjadi
fokus kajian pada makalah ini. Adapun topik utama pada pembahasan ini yang
dikerucutkan oleh penulis adalah sebagai berikut:
a. Konsep dasar tentang
pengembangan program studi di PTAI, yang meliputi hal-hal terkait tentang
perguruan tinggi agama islam di indonesia, landasan fondasional pengembangan
program studi pada PTAI, dan landasan operasional pengembanan program studi
pada PTAI.
b. Langkah-langkah pengembangan
program studi pada PTAI
c. Menuju kualitas lulusan PTAI
yang integratif dan mandiri dalam keilmuan.
3.
Tujuan
Pembahasan
Bertolak
pada pembahasan di latar belakang serta adanya pembatasan masalah maka dapat
dirumuskan tujuan penulisan makalah sebagai berikut:
a. Menguraikan konsep dasar
tentang pengembangan program studi di PTAI, yang meliputi hal-hal terkait
tentang perguruan tinggi agama islam di indonesia, landasan fondasional
pengembangan program studi pada PTAI, dan landasan operasional pengembanan
program studi pada PTAI.
b. Menguraikan langkah-langkah
pengembangan program studi pada PTAI
d. Menguraikan tentang tujuan
kualitas lulusan PTAI yang integratif dan mandiri dalam keilmuan.
BAB
II
A.
Konsep Dasar
1.
Hal-hal
Terkait tentang Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia
Berdasarkan catatan sejarah, secara kelembagaan proses pendirian PTAI di
masa awalnya masih berorientasi pada pendidikan di Timur Tengah. Utamanya
dipengaruhi corak Universitas al Azhar di Mesir, dengan bukti nama fakultas dan
gaya kerjanya cenderung meniru kampus tersebut. Sifat yang “mengekor”[12]
inilah yang secara terus menerus menyebabkan umat Islam Indonesia mengalami
kemandekan tradisi keilmuan pada PTAI. Selain juga karena pada saat itu adanya
kekakuan aturan (intervensi) dari penguasa. Padahal fenomena seperti ini bukan
merupakan identitas perguruan tinggi di negara maju.[13]
Walaupun demikian, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa
model al Azhar tidak
sepenuhnya diadopsi secara buta. Pada
perkembangan selanjutnya PTAI juga mendopsi sebagian sistem pendidikan dari Barat
yaitu sistem kredit semester. Misalnya
ada dua fakultas di IAIN
yang tidak ditemukan pada al Azhar yaitu fakultas
Tarbiyah dan Dakwah. Ciri
khas IAIN lain yang
menjadi pembeda dengan al Azhar adalah pada rumusan tujuannya. Yakni,
untuk mencetak ahli ilmu agama yang aktif dalam pengembangan harmoni antarumat
beragama dalam bingkai masyarakat Indonesia yang majemuk. Pada tingkat
ideologi, salah satu alasan banyak ulama Indonesia untuk diadakan pengembangan pendidikan
tinggi agama Islam (PTAI) secara mandiri adalah keyakinan mereka bahwa Islam
telah berkembang melalui berbagai corak, sesuai dengan konteks histori dan
budaya[14]
yang berbeda-beda. Serta harapan mereka bahwa Islam terus berkembang demikian
di masa depan. Oleh karena itu, ilmu agama Islam di
Indonesia tidak mengikuti secara mutlak dari model timur tengah atau model
rujukan lain.[15]
Pada perkembangan selanjutnya, karena berbagai dampak perkembangan politik,
perudang-udangan (aturan), dan peningkatakan ekonomi bangsa Indonesia maka
terjadilah pembaruan PTAI melalui pembukaan program studi baru.[16]
Hal tersebut frekuensinya semakin tinggi utamanya pasca reformasi 1998,[17]
sehingga bisa dikatakan pada masa itu sebagai fase pembaruan PTAI. Sikap
fleksibel tersebut dilakukan guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui
jalur pengembangan ilmu-ilmu umum. Pada fase inilah pengembangan program studi
baru di PTAI dilakukan secara intensif, utamanya untuk PTAI yang berbentuk
universitas.
Selama ini permasalahan pengembangan prodi PTAI masih berkutat (difokuskan)
pada bagaiaman cara menambahkan mata kuliah baru yang didasarkan ilmu umum
serta penambahan prodi baru non keagamaanan. Padahal, sesungguhnya pembaruan
dan pengembangan kurilukum yang diwujudkan dalam pembentukan prodi baru saja
tidaklah cukup. Bagaimanapun, banyak kendala yang dihadapi ketika kurikulum
tersebut diberlakukan, diantaranya:
a.
Faktor Dosen[18]
yang belum memiliki kualtas keilmuan integratif yang memadai.
b.
Faktor mahasiswa yang
diterima di IAIN kebanyakan berasal dari mahasiswa yang tidak diterima di
tempat lain (limpahan PTU).
c.
Faktor buku yang
memenuhi standard pada masing-masing bidang ilmu yang diajarkan di PTAI
d.
Faktor jaringan dan
penelitian di kalangan civitas akademika
e.
Faktor bidang ilmu dan
mata kuiah yang diajarkan masih tidak jauh beda seperti yang diajarkan pada
pesantren.[19]
Kelemahan
lain pada IAIN sebagai PTAI pada umumnya ada tiga yaitu, masih rendahnya
orientasi akademik, rendahnya orientasi manajemen, dan terlau menjadikan agama
sebagai objek akal semata. Salah satu peluang
untuk mengatasi masalah tersebut adalah adanya PP No. 60 tahun 1999. Dengan
itu kini IAIN mempunyai kewenangan luas untuk membentuk
lembaga-lembaga yang diperlukan dalam penyelenggaraikan Perguruan Tinggi (baik jurasan maupun
fakultas dan lembaga-lembaga lain).[20]
Dari pembahasan di atas, dapat di simpulkan bahwa pada mulanya tujuan dibentuknya
PTAI di Indonesia sangat sederhana. Yakni, berkutat atau dilatar belakangi pada
masalah politik, mempertahankan corak keagamaan, dan karena hasrat umat Islam
untuk punya Perguruan Tinggi sendiri. Di mana untuk program studi yang
ditawarkan juga masih sangat sedikit serta hanya menyentuh aspek ilmu agama
Islam. Bisa dikatakan, landasan dasar pendirian PTAI pada saat itu masih dalam
sekup tujuan jangka pendek (pragmatis). Namun, setelah diadakan pengembangan
kurikulum di PTAI keadaan tersebut berangsur hilang. Sampai pada sekarang ini
karena adanya kebebasan dalam pengembangan kurikulum telah menyebabkan banyak
PTAI berinovasi untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Ada yang diwujudkan pada
penambahan atau perubahan mata kuliah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
serta ada yang menambah prodi baru pada setiap fakultasnya.
2.
Landasan
Fondasional Pengembangan Program Studi pada PTAI
Secara bahasa “landasan” berarti alas, pijakan,
dan tumpuan. Sedangkan “fondasional” berasal dari kata fondasi yang berarti
fundamen, di mana kata “fundamen” memiliki arti mendasar (pokok). Sedangkan
kata “pengembangan” berarti proses atau cara yang dilakukan untuk mengembangkan
sesuatu.[21]
Adapun Program Studi memiliki arti “kesatuan kegiatan pendidikan dan
pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam
satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan
vokasi.”[22] Dengan
demikian secara Istilah kata “landasan fondasional” berarti pijakan atau
tumpuan yang dilakukan secara (bersifat) mendasar atau pada pokok
permasalahnnya. Sedangkan “pengembangan program studi” memiliki arti proses
atau cara yang dilakukan untuk mengembangkan kurikulum dan metode pembelajaran
pada satuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang difokuskan pada satu jenis
pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan pendidikan vokasi.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dirumuskan
bahwa landasan fondasional diadakannya pengembangan prodi pada PTAI adalah
karena mutu (keilmuan) PTAI masih dianggap rendah.[23]
Serta mutu lulusannya kurang memenuhi harapan
masyarakat. Bahkan sumbangannya terhadap pengembangan ilmu agama Islam pun belum dianggap
signifikan. Hal tersebut terjadi karena kelemahan kurikulum PTAI, yaitu:
a. Kurikulum
yang kurang relevan dengan PTAI tetap dipertahankan, banyak prodi yang tidak
diminati masyarakat tetap dipertahankan.
b. Kurikulum
yang kurang efektif, tidak ada jaminan bisa dihasilkan lulusan yang sesuai
harapan.
c.
Kurikulum yang kurang
efisien, terlalu banyaknya mata kuliah dan sks yang tidak bisa menjamin
dihasilkan lulusan yang sesuai harapan.
d.
Kurikulum yang kurang
fleksibel, PTAI kurang berani secara kreatif dan bertanggung jwab untuk
memperbarui kurikulum yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
e.
Kurikulum yang Readibility sangat rendah, tidak
komunikatif sehingga bisa menimbulkan salah tafsir.
f.
Kurikulum yang hanya
terwujud dalam dereta mata kuliah tanpa makna jelas.
g.
Kurikulum yang terfokus
pada bagaimana isi serta menyampaikan mata kuliah, bukan pada tujuan (nasional,
institusional, kurikuler, dan intruksional).
h.
Kurikulum yang hubungan
fungsional antar mata kuliah yang mengacu pada tujuan kurikuler masih kuran
gjelas.[24]
Masih menurut penjelasan
Muhaimin bahwa mengenai pengembangan kurikulum di PTAI harus memperhatikan hal
berikut ini:
Masyarakat
Indonesia bersifat plural, serba ganda dan beragam, sehingga tidak adil bila
segala-galanya harus disamakan. Karena itu, pengembangan kurikulum harus mampu
memberi peluang kepada masing-masing PTAI untuk berimprovisasi dan berkreasi
untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Di
samping itu masyarakat bersifat dinamis dan berkembang, sehingga memerlukan
kemampuan untuk beradaptasi dan/atau kesiapan untuk berhadapan dengan dinamika
perubahan dan perkembangan yang ada.[25]
Lebih detail, Ahmad Syafi’i
Maarif menyampaikan bahwa pada saat ini dunia telah memasuki peradaban modern
sekuler. Di mana cara pandang[26]
manusia tidak lagi hirau pada kehidupan hari esok yang jauh, terlebih untuk
kehidupan akhirat. Bukan sebuah perkara gampang bagi PTAI untuk menanamkan
nilai-nilai dasar Islam ke pada setiap mahasiswa. Selain itu, kurikulum PTAI
yang tergejawantah dalam pembagian prodi hingga ke mata kuliah dirasa masih
belum menyentuh kategori-katagori ilmu
dalam al Quran yang sangat luas. Kurikulum yang “parsial”[27]
ini dirasa sudah tidak bisa lagi mengatasi arus modernisme yang semakin liar.[28]
Dengan kata lain, umat Islam sekarang ini
membutuhkan kesegaran ilmu.[29]
Manusia sekarang ini tidak hanya membutuhkan ahli agama (ulama) yang kadangkala
arahnya saling bertolak belakang dengan kebutuhan hidup modern umat manusia.
Namun juga membutuhkan ahli-ahli di bidang ilmu lain yang bisa menunjang dan
mengatasi permasalahan kehidupan dunia modern yang semakin tak menentu arahnya.
Pernyataan tersebut hampir sama
dengan pendapat Fadil Lubis, sebagaiman yang
dikutip oleh Muhaimin, bahwa studi islam mengandung makna luas,[30]
yang mencakup tiga bidang
pokok kajian, yaitu:
a. Studi
islam yang bertumpu pada studi kewahyuan yang diwujudkan dalam bentuk mata
kuliah sumber ajaran (al Quran)
dan hadith beserta sperangkat ilmu yang terkait langsung dengannya.
b. Studi
islam sebagai bagian dari pemikiran atau bagian dari fiqh dalam arti luas. Dalam sejarah pemikiran Islam
setidak-tidaknya ada liba bidang pemikiran Islam yang menonjo, di antaranya:
akidah teologi, hukum dalam arti luas, filsafat, akhlak-sufisme, dan ilmu
pengetahuan-teknologi-seni. Untuk yang bidang terakhir ini mencakupilmu hitung,
matematika, aristekteru, maupun asrtronomi dll. Bidang yang terakhir ini masih
belum banyak di kaji di IAIN/STAIN.
c. Studi
islam sebagaiman yang sedang dialami umat Islam, diamalkan dan diterapkan dalam
kehidupan. Sumber kajiannya berasaa dari al Quan dan Sunnah, yang kemudian
dijabarkan dalam berbagai pemikiran, ajaran Islam kemudian diamalkan dan
diterapkan oleh umat Islam hingga membentuk peradaban Islam yang telah berabad-abad
menyinari dunia. Pada masa kini, dalam kontek PTAI masih mencakup biang tarbiyah (pendidikan),
dakwah, dan hkum.[31]
Selanjutnya, apabila dilihat
dari dimensi filosofis, yaitu paradigma
pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan pandangan hidup Islami, maka
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya
bertolak dari suatu pandangan yang theosentris.[32]
Di mana proses dan
produk pencarian, penemuan iptek lewat studi, penelitian, dan ekperimen serta
pemanfaatnya dalam kehidupan, merupakan realisasi dari misi kekhalifahan dan
pengabdiannya kepada Allah di dunia dalam
rangka mencari ridhanya hingga pada kehidupan
ukhrawi.[33]
Selain itu, bila dilihat perkembangan selanjutnya maka
terdapat beberapa kecenderungan baru sebagai respon
dari tuntutan dan tantangan yang berkembang di masyarakat. Beberapa
kecenderungan itu adalah:
a.
Pelaksanaan studi
keislaman yang mengarah pada pendekatan non-mazhabi.
Hal ini relevan dengan fenomena pluralisme dan multikulturalisme yang sedang
berkembang, sehingga sektarianisme bisa diminimalkan.
b.
Pergeseran paradigma
studi keislaman, dari yang bersifat normatif ke arah yang lebih historis,
sosiologis, da empiris. Dengan artian terjadi perpaduan antara empirik dengan
sumber wahyu untuk saling mengontrol. Di mana wahyu mengontrol untuk
menghasilkan teori yang kredibel dan bermanfaat, sedangkan hasil empirik
mengontrol proses memahami wahyu.
c.
Terkait orientasi
keilmuan yang cakupannya lebih luas.[34]
Penjelasan lain, sebagai alasan[35]
mengapa PTAI sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam perlu mengadakan
pengembangan prodi dikarenakan PTAI punya karakteristik berikut:
a.
Penekanan pada
pencarian, penguasaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan (dalam semua bidang)
atas dasar ibadah kepada Allah
b.
Pencarian, penguasaan,
dan pengembangan ilmu pengetahuan merupakan proses yang berkesinambungan (long life
education). Asumsinya, ilmu menurut konsep Islam
bukan dibuat, tapi dicari oleh manusia sehingga tidak pernah ada
henti-hentinya.
c.
Dalam proses pencarian,
penguasaan, dan pengmbangan ilmu pengetahuan mengutamakan penekanan nilai-nilai
akhlak.[36]
Asumsinya, ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai, akan tetapi bebas untuk
dinilai, sehingga mengkritisi atau menilainya merupakan salah satu akhlak
terpuji.
d.
Pengakuan akan potensi
dan kemampuan individu untuk berkembanga sesuai denga kepribadian. Artinya,
silam mengakui eksistenis potensi manusia yang dapat ditumbuh kembangkan
seoptimal mungkin untuk menjalankan tugas hidupnya sebagai hamba Allah dan
khalifah-nya
e.
Pengamalan ilmu
pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Allah dan masyarakat manusia
sehingga pengembangan iptek tidak menimbulkan malapetaka, tetapi untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia.[37]
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa landasan fondasional pengembangan prodi pada PTAI adalah
terjandinya kecenderungan baru (pergeseran paradigma) tentang keilmuan. Di
mana, ilmu tidak lagi dipandang sebagai kesatuan yang tunggal, tapi ilmu adalah
sesuatu yang wilayah kajiannya sangat luas bahkan tak terbatas. Oleh sebab itu,
umat Islam tidak hanya diwajibkan untuk mempelajari ilmu agama saja, tapi juga
ilmu lain (fardhu kifayah) sebagai
sarana membangun peradaban Islami. Selain itu, adanya semangat pengembangan
prodi ini karena kesadaran diri dari sebagian umat Islam untuk segera keluar
dari kemandegan pengembangan ilmu pengetahuan. Setelah selama beberapa abad
terakhir ini ilmu pengetahuan beserta produknya dikuasi oleh Barat. Hal ini
bukan berarti misi untuk merebut kejayaan ilmu pengetahuan tersebut, langkah
itu masih sangat terlalu jauh. Namun, ini masih dalam taraf penataan kembali
epistemologi Islam[38]
yang bisa menjadi dasar (acuan) ilmuwan islam dalam pengembangan peradaban.
3.
Landasan
Operasional Pengembangan Program Studi pada PTAI
Kata “operasional” memiliki arti secara
(bersifat) operasi atau berhubungan dengan operasi. Sedangkan kata “operasi”
salah satunya berarti “pelaksanaan rencana yang telah dikembangkan.”[39]
Bila mengacu pada penjelasan sebelumnya maka “landasan fondasional” punya arti
pijakan atau tumpuan yang dilakukan secara (bersifat) praktik dari rencana yang
telah dikembangkan.
Dari pemaparan tersebut maka dapat digambarkan
tentang landasan operasional pengembangan Prodi pada PTAI adalah agar
lulusannya mampu berkiprah di berbagai sektor
kehidupan dan berbagai bidang keahlian, serta berada pada seluruh strata
kehidupan dan keahlian. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kajian
bidang-bidang ilmu yang lebih luas,[40]
sehingga bisa mencetak generasi
muslim yang ahli dalam dunia pendidikan, psikologi, kebudayaan maupuan sastra,
ekonomi, sosiologi, ilmu alam, dan ilmu lainnya. di mana semua bidang keahlian
tersebut didasarkan pada nilai-nilai agama Islam.[41]
PTAI saat ini berada pada taraf pengembangan diri, baik pada tataran
kurikulumnya maupun kelembagaannya. Oleh karena itu, dalam
era informasi seperti sekarang ini
menjadi peluang dan tantangan bagi sistem pendidikan Islam pada PTAI, yaitu
dengan mengisi peluang dan menjawab tantangan tersebut. Dengan demikian PTAI harus bisa
membangun rancang-bangun sistem pendidikan Islam yang berwawasan masa depan (the future thinking) dan bisa menjadi
pelopor dalam pelaksanaannya.[42] Oleh karena itu, secara praktis operasional PTAI harus
benar-benar memiliki karakteristik perguruan tinggi yang benar-benar ideal dan
bermanfaat bagi peradaban. Sebagaimana menurut Jusuf Amir Faisal bahwa ada
beberapa karakteristik perguruan tinggi, yaitu:
a.
Lembaga pendidikan yang
fleksibel, mudah bergabung atau bekerja sama[43]
dengan lembaga lain sehingga dimungkinkan untuk diadakannya pembicaraan terkait
masalah-masalah tertentu yang di lembaga lain tidak dapat dibicarakan.
b.
Lembaga pendidikan
tinggi yang berfungsi sebagai
peningkatan martabat masyarakat. Perguruan tinggi semacam ini hanya untuk
memenuhi hasrat akademis (intelektual) masyarakat, meskipun pada akhirnya lulusan tidak dibutuhkan oleh masyarakat
karena program studinya sudah terlalu banyak.
c.
Lembaga pendidikan
tinggi yang berfungsi sebagai pencetak generasi profesional.
d.
Lembaga pendidikan tinggi yang berfungsi
sebagai pencetak tenaga ahli dalam bidang masing-masing. Misalnya karena
literatur yang dikuasinya,maka ia mampu menyampaikan pendapat relatif lebih
teratur dari pada lulusan lembaga lainnya. Bisa juga karena pengalaman (sering
praktik) ketika mengahadapi masalah, ia mempunyai gaya yang lebih meyakinkan
dari pada lulusan lembaga lainnya.[44]
Selain itu, secara teknis
lapangan (dunia nyata) ada beberapa alasan untuk menuntut lembaga pendidikan
tinggi (termasuk PTAI) bisa berperan aktif dalam pembangunan nasional. Hal ini
tidak lain karena adanya perubahan kecenderungan secara global yang dapat
mengancam pembangunan nasional. Di antaranya adalah terjadinya pergeseran
paradigma tenaga kerja dari skill jobs
menjadi knowledge jobs, perbandingan yang tidak seimbang antara
jumlah lulusan perguruan tinggi dengan kesempatan kerja, dan perubahan orientasi dari Teaching University ke Research University. Kecenderungan secara global lainnya adala adanya penekanan
orientasi terhadap pengembangan ilmu,
orientasi terhadap pembiayaan perguruan tinggi secara
mandiri, berasal dari hasil
kekuatan intelektual (jasa, layanan, informasi, rekayasa). Serta penerapan pola tunggal
dalam pembinaan pendidikan tinggi yang mencakup PTN dan PTS.[45]
Adapun dilihat dari sisi kajian
sejarahnya, aspirasi umat Islam pada umumnya untuk pengembangan PTAI didorong
oleh beberapa tujuan. Pertama, agar
ilmu agama Islam tidak mengalami stagnasi, sehingga kajian dan pengembangan
ilmunya dilakukan secara sistematis dan terarath. Kedua, sebagai misi dakwah Islam dalam arti luas. Yakni, membawa
dan menginternalisasikan nilai-nilai Islam masuk ke dalam semua unsur kehidupan
(politik, ekonomi, komunikasi, dan sebagainya). Ketiga, sebagai upaya kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan,
baik pada kalangan birokrasi maupun swasta, serta lembaga-lembaga lainnya.[46]
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa landasan operasional
pengembangan PTAI pada aspek sejarahnya adalah melakukan pengembangan lulusan,
lembaga, kurikulum, dan keilmuan dengan seluas-luasnya.
Sebagaiman menurut muhaimin,
bila PTAI ingin mengemban misi pengembangan kajian ilmu keislaman, maka perlu
ditelaah dulu apa saja unsur atau kandungan ilmu agama Islam itu.[47] Kemudian
dia membuat tabel tentang perkembangan ajaran Islam dalam realtias sejarahanya
yang telah berhasil mengantarkan pada kejayaan Islam di masa silam, kemudian
dikaitkan dengan pengembangan prodi di PTAI. Dari tabel tersebut, kemudian
penulis alihkan (adaptasi) dalam bentuk skema sebagaimana yang tergambar di
bawah ini:[48]
Gambar 2.1
Skema pengembangan prodi berdasarkan nilai kesejarahan perkembangan ilmu
pengetahuan dalam dunia Islam
Pada
gambar tersebut menunjukkan bahwa pada masing-masing bidang keilmuan Islam
terdapat aspek-aspek perkembangan modern. Hal ini menuntut Dosen PTAI
(sekaligus sebagai peneliti) untuk selalu mengkaji dan mengembangkan ilmu-ilmu
agama Islam tersebut di atas. Tentunya yang sesuai dengan bidang keahliannya
masing-masing.[49]
Dengan demikian diharapkan tidak hanya dosen mata kuliah “umum” saja yang
dituntut untuk memahami ajaran atau nilai-nilai Islam, akan tetapi dosen mata
kuliah “keagamaan” islam juga dituntut untuk memahami ilmu pengetahuan umum
secara luas. Dari penjelasan tersebut maka penulis dapat menggambarkan skema
tentang upgrading dosen agar kualitasnya sesuai dengan misi
pengembangan prodi sebagai berikut:
Gambar 2.2: Pola Upgrade Dosen PTAI yang berasal dari PTU
Gambar 2.3: Pola Upgrade
Dosen PTAI yang mengajar mata kuliah Keagamaan
Dari
gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan prodi pada PTAI
dibutuhkan peningkatan kemampuan dan kualitas dosen. Di mana dosen harus bisa
menguasai keilmuan yang terintegratif. Semangat ini sesungguhnya sesuai dengan
masa kejayaan ilmu pengetahuan dan teknologi Islam pada zaman klasik. Di mana
gerakan ilmiah dan etos keilmuan dari ulama (ilmuwan) pada zaman tersebut
bercirikan:
a.
Pelaksanaan ajaran
Quran untuk banyak mempergunakan akal
b.
Pelaksanaan ajaran
hadith untuk menentut ilmu bukan hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu yang sampai
ada di negeri cina
c.
Adanya pengembangan
ilmu agama melalui berijtihad sekaligus pengembangan ilmu pengetahuan (sains)
dengan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan serta filsafat yunani yang
terdapat di timur tengah pada zama mereka. Tidak mengherankan bila di masa itu banyak
lahir ulama fiqh, tauhid (kalam), tafsir, hadith, ulma bidang sains
(kedokteran, matematika, optik, kimia, fisika, geografi), dan lain-lain.
d.
Ulama pada saat itu
independen, bahkan menolak tawaran sultan untuk dijadikan pegawai negeri.[50]
Selanjutnya,
Minhaji dan BA mengatakan bahwa dasar-dasar yang dijadikan landasan dalam
pengembangan dan pembidangan ilmu[51]
agama Islam ada tiga. Pertama, bangunan
keilmuan yang lebih mengutamakan hasil (orientasi “diterima” pasar), sehingga
lulusan PTAI bisa bersaing dengan lulusan lembaga lain. Kedua, bangunan
keilmuan yang hanya konsentrasi pada tradisi
pemikiran klasik, pertengahan, dan modern. Ketiga,
bangunan keilmuan yang mengakomodasi dua hal
tersebut, dengan meletakkan tradisi ilmu islam sebagai modal atau objek kajian
dan ilmu umum sebagai pisai bedah analisis.[52]
Dari
semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan operasional pengembangan
prodi pada PTAI adalah disebabkan kualiatas lulusan PTAI yang dirasa belum
mumpuni bila dibandingan dengan pergurun tinggi jenis lain, sehingga perlu
diadakan perubahan kurikulum. Selain itu, dari sektor kelembagaannya masih
dirasa sangat sederhana dan belum mumpuni untuk mencetak generasi Islam yang
unggul. Serta bila ditinjau dari segi keadaan masyarakat global dan nasional
yang semakin kompleks menuntut PTAI untuk mampu mencetak genarasi yang unggul.
Bisa dikatan, pengembangan prodi PTAI tidak lagi merupakan sebuah kewajiban
praktis, namun juga sebagai kebutuhan mendasar yang harus segera dipenuhi.
B.
Langkah-langkah
Pengembangan Program Studi pada PTAI
Dengan
maraknya gejala pergaulan bebas di kalangan mahasiswa, maka kampus PTAI sebagai
pusat pencetak genarasi Islam yang akademis dituntut kepeduliannya dalam
pelurusan kembali perilaku mahasiswa yang mengalami pergeseran dari cita-cita
semula. Oleh karena itu, sistem pendidikan di kampus atau perguruan tinggi
sekarang ini perlu diklarifikasi dan sistem asrama merupakan alternatif untuk
menjawab permasalahan tersebut.[53]
Oleh karena itu, sebelum mengadakan pengembangan prodi maka PTAI terlebih dahulu harus mempertimbangkan sejauh
mana kemampuan kampus untuk menampung jumlah mahasisawa yang semakin bertambah
dan juga semakin beragam latar belakangnya. Terutama bila prodi yang dibuka
adalah prodi bidang ilmu pengetahuan umum.
Bisa dikatakan, sebelum
diadakan pengembangan prodi di PTAI terlebih dahulu diperhatikan sejauh mana
kekuatan, kelemahan, tantangan, dan peluang
yang dimiliki kampus.[54]
Utamanya adalah untuk perumusan kurikulum, tenaga
dan kualitas dosen, dan sarana parasarana. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa dengan adanya
pemngembangan kurikulum (penambahan mata kuliah dan penambahan prodi) berdampak
pada “pengembangan” atau “penambahan” lainnya. Misalnya, penambahan tenaga
pengajar yang sesuai dengan keilmuan “baru” tersebut, penambahan buku di
perpustakaan, pengembangan (inovasi) kurikulum agar tetap sesuai dengan
nilai-nilai Islam, dan sebagainya.
Pada kenyataannya, kebanyakaan PTAI
(khususnya STAIN dan IAIN) selama ini masih terinternalisasi pembakuannya dalam
fakultas dalam lingkup ilmu serumpun. Oleh karena itu perlu diadakan
pengembangan keilmuan yang meliputi dua sasaran. Pertama, melakukan
pengembangan ilmu-ilmu yang sesuai dengan kebutuhan (tuntutan) masyarakat akan
tetapi tetap didasarkan pada aqidah dan pengamalan ajaran Islam. Kedua, pengembangan ilmu-ilmu keislaman
yang tidak hanya terbatas pada produk abad Pertengahan dan Klasik, tapi juga
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Yakni, dengan cara dilakukan pengembangan
varian-varian ilmu baru seperti ilmu sosial Islam, perbankan Islam, perdagangan
Islam, manajemen Islam, Politik Islam, dan seterusnya.[55]
Selanjutnya, untuk “predikat” Islam pada penamaan varian ilmu baru tersebut tidak hanya sekedar label “Islam” tanpa
amaliah dan aqidah Islam.
Bukan pula konsep ibadah yang
semata-mata menjadi kajian utama pada buku-buku fiqh. Akan tetapi
benar-benar menjadi ilmu baru, sehingga ini menjadi tantangan berat. Bukan
saja dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar bebas, tapi juga sekaligus mengisi
kekosongan dan kekurangan
ilmu-ilmu yang biasanya disebut sekuler. Langkah ini secara ideologis dilakukan
untuk memahami Islam secara mendetail dan menyeluruh sejalan dengan janji Islam
yang menjadi petunjuk hidup secara keseluruhan dan bukan hanya untuk kehidupan
akhirat.[56]
Pada tataran lebih praktis, Azizy
kembali menekankan bahwa dalam pengembangan prodi (keilmuan) di PTAI terdat dua
cara yang bisa ditempuh. Yakni, Wadahnya disedikan
terlebih dahulu, dalam hal ini nama program studi dibuka lebih dahulu, baru
kemudian diisi dengan materi perkuliahan dan pengembangan keilmuan yang
dianggap sesuai dengan prodi terebut. Model seperti ini sering diterapkan di
Indonesia, sehingga biasanya tenaga ahlinya berasal dari luar perguruan
tinggi tersebut. Langkah lainnya adalah lebih ditekankan pada
esensi dan fungsi, bukan wadahnya. Dari model ini yang diutamakan terlebih
dahulu adalah adanya SDM dosen yang ahli dan berkarya nyata. Bila semua sudah
mapan maka kemudian dibuka prodi atau fakultas baru. Cara ini sering
diaplikasikan di negara maju. Di mana orientasinya adalah fungsional dan karya
kilmuan yang nyata, berupa hasil penelitian dan penerbiat. Di samping terlebih
dahulu sarana perpustakaan, laboratorium, dan sarana yang dibutuhkan sera
menjadi syarat untuk pengembangan prodi lainnya harus dilengkapi. Pola ini
nampak lebih ideal, sehingga patut diadopsi oleh IAIN untuk pengembangan diri
di masa yang akan datang.[57]
Dari penjelasan di atas, maka
sebagaiman dirumuskan oleh Azizy bahwa pengembangan prodi pada PTAI dapat
dilakukan dengan menggunakan tiga tipe. Di antaranya adalah:[58]
1.
Pengembangan
Prodi Tipe 1
Tujuan
utama diadakan
pengembangan prodi pada tipe ini adalah untuk mencetak Ulama abad 21 yang
menguasai wawasan kekinian. Dengan kata lain,
prodi yang dikembangkan tersebut berfungsi sebagai
pencetak tenaga ahli dalam bidang ilmu keislaman, sehingga bisa disebut sebagai
lembaga kelanjutan sekaligus pengembangan dari institusi pesantren. Asumsinya,
di lembagai ini Islam dikaji secara akademik dan bersifat ilmiah dengan tetap
bertujuan mengamalkan ajaran Islam secara benar dan tepat. (34) Namun
kenyataannya saat ini pada umumnya IAIN masih berorientasi kajian keilmuan
tentang Islam dengan proyeksi lapangan kerja yang kurang jelas. Dapat dikatakan
kurang memiliki orientasi amaliah Islam.
Konsekuensi dari memilih pola ini adalah pendalaman keilmuan
Islam harus lebih ditingkatkan, penerimaan
mahasisa harus selektif, jumlah
mahasiswa tidak menjadi ukuran pendanaan, pendidikan
secara totalitas dan optimal bukan hanya pengajaran (ada asrama), target yang jelas dan
konkrit, yaitu mencetak ulam abad 21, dan lapangan
pekerjaan juga jelas. Dengan demikian
lulusan yang diharapkan juga akan lebih terfokus profesinya. Misalnya, menjadi Imam masjid tetap,
tidak hanya mengimami sholat tapi juga punya program yang jelas ntuk pembinaan
jamaah masjid. Menjadi pembina spiritual (imam kantor) di lembaga-lembaga
birokrasi, misalnya menjadi imam tentara. Tugasnya murni menjadi imam, bukan
sebagai tenaga administrasi kantor. Sebagai tenaga pengajar atau pembimbing agama di
sekolah. Bisa juga menjadi tenaga
profesional pada kantor-kantor di bahwa
naungan kementrian agama termasuk pengadilan agama. Serta peran lain yang arahnya
jelas sesuai dengan panggilan hati nurani, temasuk menjadi anggota LSM, wartawan, dan politikus.
2.
Pengembangan
Prodi Tipe 2
Pengembangan prodi pada tipe ini tidak
berdampak pada bergantinya nama PTAI dari ST/Institut menjadi Universitas. Pada
tipe ini pengembangan prodi dilakukan untuk menggapi
tuntutan pasar bebas dengan orientasi pada lapangan kerja di pasar bebas yang lebih luas. Ciri utamanya adalah setidaknya bisa ditempuh
“desakralisasi” ilmu-ilmu ke-Islaman dan “sakralisasi” ilmu-ilmu sekuler, yang
oleh Program Pascasarjana IAIN Walisongo disebut dengan “humanisasi ilmu-ilmu
ke-Islaman dan sakralisasi ilmu sekuler.” Dengan pola ini IAIN tidak perlu
berganti menjadi universita. Dengan kata lain, pola kedua ini bertujuan untuk
mencetak tenaga ahli dan profesional yang Islami. Perbedaanya dengan PT
konvensioan (PTU) terletak pada kedekatan dengan tradisi Islam dan lebih
berperilaku Islam. untuk itu IAIN bisa membuka semua fakultas dan jurusan yang
biasa dibukan di PTU sehingga bertolak belakang dari kesejarahan dan tujuan
awal beridirinya.
3.
Pengembangan
Prodi Tipe 3
Pada tipe ini pengembangan prodi dilakukan penggabungan
ke dua pola di atas dengan cara bertahap. Di mana, kajian
ilmu-ilmu Islam menjadi modal
dasar dan sekaligus landasan berdirinya sebuh PT melalui pembukaan fakultas dan
prodi yang bisa memenuhi lapangan pekerjaan sekaligus tetap pada kerangka atau
bahkan bermula dari ajaran Islam. tipe
kedua dari model ke dua seperti di atas sangat dekat dengan tipe ke tiga ini. di
samping berangkat dari ajaran wahyu, juga dikembangkan teori-teori sosial,
humaniora, dan sains hasil karya para pemikir Muslim. Teori-teori yang
dikembangkan berangkat dari empiris dan sumber wahyu yang bersifat saling
mengontrol. Fungsi
wahyu sebagai pengontrol dalam menghasilkan teori yang kredibel dan bermanfaat
sedangkan hasil empirik berfungsi mengontrol proses pemahaman wahyu. Dengan
kata lain, pelaku kajiannya tetap dalam kerangka memahami dan menjalankan
ajaran wahyu. Dari
pola ini diharapkan bisa mewujudka ilmuwan yang mampu menyelesaikan
permasalahan dunia, yang selama ini beberapa bagiannya masih luput dari kajian
dan tradisi ilmuwan sekuler. Dengan kata lain IAIN harus mampu mengisi
kekosongan yang telah menimpa para ilmuwan sekuler. Di mana semuanyaitu harus
diawali dengan penciptaan tradisi akademik yang benar-benar kuat.
C.
Menuju Kualitas Lulusan PTAI
yang Integratif dan Mandiri dalam Keilmuan
PTAI sebagai lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia tugasnya tidak
hanya berperan dalam mencetak ahli dalam bidang ilmu agama saja. tapi juga Lulusan Menurut amanat UUD Negara RI Tahun
1945 Amandemen ke-4 BAB XII Pendidikan dan Kebudayaan pada Pasal 31 ayat 5
menyatakan “Pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.” Serta adanya penjelasan tentang tujuan
pendidikan tinggi yang salah satunya adalah b. dihasilkannya lulusan yang
menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan
nasional dan peningkatan daya saing bangsa; c. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai
Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan
kesejahteraan umat mausia.[59]
Dalam pandangan Islam, ilmu akan terus
mengalir dan bergulir melampau apa yang menjadi pilihan manusia, sehingga
monopoli penyelenggaraan program studi bukanlah setrategi yang tepat. Oleh
karena itu, pembentukan Universita Islam yang berdampak pada pembukaan
prodi-prodi ilmu umum bisa membuka peluang untuk mengikis dikotomi antara agama
dan ilmu.[60] Dengan demikian sudah
saatnya PTAI mulai mengembangkan fakultas illmu politik, fakultas studi
kawasan, dan fakultas lainnya dengan
menawarkan ilmu-ilmu alam dan sosial yang didasarkan pada al Quran dan Sunnah.
Bila idealnya memang seperti
tersebut di atas, maka sungguh ironsi bila
ada lulusan PTAI yang ahli di bidang ilmu pengetahuan
agama Islam maupun ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang bernapaskan
Islam, tetapi tidak memiliki komitmen serta loyalitas terhadap ajara agamanya
serta tidak mau mengembangkan dalam kegiatan dakwah. Sebaliknya, lulusan PTAI
yang punya kemantapan aqidah dan kedalaman spiritual serta keluhuran budi
pekerti, tapi kosong dalam penguasaan ilmu dan kematangan profesionlitas di
bidangnya.
Menurut Miqdad Yeljen bahwa Hilangnya
jiwa dan spirit keunggulan sistem pendidikan Islam adalah karena umat islam terlalu “tunduk” dalam
mengadopsi sistem pendidiikan
barat.[61]
Sedangkan paradigma yang
digunakan barat adalah paradigma mengutamakan ilmu pengetahuan di atas
segala-galanya sehingga bermuara pada kesimpulan bahwa ilmu agama bisa menjadi
penyebab kemunduran peradaban. Oleh karena itu, dalam prespektif barat nilai
agama harus ditiadakan dalam sistem pendidikan.[62]
Dengan kata lain, bila ditelalah
lebih jauh maka penulis bisa
katakan bahwa orang barat maju
karena meninggalkan nilai-nilai agamanya, sedangkan umat islam mundur karena
meninggalkan nilai-nilia ajaran Islam.
Hal tersebut hampir sama
subtansinya menurut salah satu sasaran yang
ingin dibina dan dikembangkan oleh sistem pendidikan Islam adalah yang terkait
dengan peradaban. Di mana bisa terwujudnya peradaban umat Islam yang bisa
melampau semua unsur. Misalanya pertama
unsur material yang meliputi kemajuan di bidang pertanian, perniagaan,
industri, dan pembangunan fisik. Kedua
unsur spiritual, seperti ideologi, akhlak, sains, dan adab. Ketiga unsur struktural dan
perudang-undangan yang terkait dengan struktur keluarga, masyarakat, dan
negara. [63]
Selama ini PTAI memang memiliki
kelebihan yang menjadi ciri khas, yaitu sanggup menampung kalanganan masyarakat
dari kelas menengah ke bawah bahkan menampung masyarakat yang memiliki potensi
(kecerdasan) yang masih
serba minim. Berangkat dari itu, maka wajar bila selanjutnya kualitas lulusan
dari sebagian PTAI masih sangat jauh diharapkan untuk ikut peran serta dalam
membangun peradaban banga. Oleh karena itu, menurut Daulay sebuah lembaga
pendidikan yang hendak mengedepankan mutu harus diawali dengan penerimaan
peserta didik secara terseleksi. Semakin ketat persaingan dalam seleksi itu
maka semakin berualitas peserta didik yang didadapat. Kemudian setelah didapat peserta
didik yang berkualitas unggul maka diproses dengan sangat baik pula agar
diperoleh hasil yang baik.[64]
Hal tersebut bila dikontekskan dengan
PTAI, maka dalam upaya pengembangan prodi PAI melalui pembentukan prodi baru,
utamanya prodi umum (non agama), perlu diadakan strategi yang bagus agar
peminatnya banyak sehingga mahasiswa yang diseleksi juga semakin banyak. Dengan
kata lain, khusus untuk prodi-prodi tertentu perlu diadakan seleksi yang sangat
ketat agar bisa didapat mahasiswa yang berkualitas.[65]
Pada akhirnya, dengan proses yang tepat maka lulusan prodi “baru” tersebut juga
akan mendapat tempat (diakui) oleh peradaban masyarakat. Serta bukan suatu kemustahilan bisa mencetak lulusan
yang mandiri dalam keilmuan dan bahkan mampu mengembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.
Pendidikan Islam idealnya tidak
berkaitan dengan hafalan dan pengausaan ayat-ayat al Quran saja. Namun,
bagaimana agar pendidikan islam bisa berdampak lebih luas dan mendalam untuk
mengembangkan ekonomi bangsa, yakni menjaga “moralitas” bangsa dari
kejahatan-kejahatan yang berdampak kemunduran ekonomi seperti KKN, persaingan
dagang yang tidak sehat, dan indiviualisme (tidak empati atau bersikap dermwan
pada masyarakat miskin dan tidak membagikan ilmu-ilmu tentang kesuksesanna pada
oran glain). Terlebih, kenyataannya ekonomi Indonesia sebagaian besar di kuasai
oleh kalangan non-muslim.[66] Oleh karena itu, peran pendidikan Islam
di sini sangat penting, salah satunya adalah mencetak genarasi yang mampu merumuskan dan menciptakan keilmuan secara
mandiri.
Dapat disimpulkan bahwa lulusan
PTAI yang ideal (mandiri dalam keilmuan yang bercirikan keislaman dan
kendonesiaan) telah menjadi sebuah kebutuhan mendesak khususnya bagi umat Islam
serta masyarakat indonesia[67]
pada umumnya. Oleh karena itu, pengembangan prodi pada PTAI hendaknya
didasarkan pada faktor keheterogenan lulusnnya serta sejauh mana semua ilmu
tersebut bisa membumi (fungsional dan praktis) di masyarakat kelas bawah
sekalipun. Dari itu, PTAI bukan lagi menjadi perguruan tinggi yang hanya
“berjasa” dalam aspek ritual dan spritualitas saja tapi juga menyentuh
kemanfaatan dunia nyata secara praktis dan aplikatif.
BAB
III
Penutup
Darai
semua pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan kurikulum pada
setiap masing-masing Prodi di PTAI bisa dilakukan dengan cara integrasi ilmu.
Yakni, penambahan mata kuliah umum dilakukan tidak semata-mata “menjiplak” dari
perguruan tinggi lain (Perguruan Tinggi Umum) akan tetapi didasarkan pada
epistemologi Islam. dengan demikian bisa melahirkan ilmu baru, yakni ilmu umum
yang tidak bertentangan dengan ilmu agama. Implikasinya, pengembangan dan
penambahan mata kuliah tidak serta merta hanya memberikan label “Islam” pada
mata kuliah atau prodi tersebut, akan tetapi melakukan integrasi ilmu agama
dengan ilmu umum yang saling mengokohkan satu sama lain. Pada selanjutnya,
inilah yang akan menjadi pembeda wawasan keilmuan antara lulusan PTAI dengan
lulusan PTU. Di mana lulusan PTAI tidak hanya mampu menciptakan atau mengembangan
ilmu serta produknya, tetapi juga mampu memanfaatkannya secara tepat untuk
kemaslahatan manusia sehingga bisa mendapat ridho dari Allah SWT.
PTAI saat ini dituntut untuk dapat
merubah paradigma lama (yang hanya fokus pada kajian ritual keislaman) ke
paradigma baru (kajian islam secara menyeluruh termasuk IPTEK) yang lebih
relevan dengan persoalan kehidupan masyarakat. Dengan itu, diharapkan lulusan
PTAI mampu memecahkan “kebuntuan” dan kemandekan (masalah) umat Islam bahkan
permasalah bangsa atau manusia secara umumnya dalam menjalankan hidup ini. Dengan demikian idealnya
pengembangan kurikulum yang termanifestasikan pada penambahan prodi dan
penambahan atau perubahan mata kuliah tidak hanya terfokus pada ilmu agama
saja, akan tetapi juga pada ilmu-ilmu umum. Dalam lingkup lembaga PTAI
penambahan prodi umum bertujuan untuk mencetak mahasiswa yang menguasai ilmu
pengetahuan umum sekaligus dilandaskan pada ilmu-ilmu agama. Sedang dalam
lingkup program studi keagamaan, penambahan mata kuliah umum bertujuan untuk
mencetak mahasiswa yang menguasai ilmu agama Islam yang terbingkai dalam
ilmu-ilmu umum.
Konsekuensi
lebih lanjut, untuk mata kuliah atau program studi baru[68]
yang terintegrasi tersebut harus memiliki standar penamaan jelas. Yakni, yang
sesuai dengan kaidah penulisan dan pengistilahan dalam bahasa Indonesia baku.
Hal tersebut dilakukan agar antara penamaan mata kuliah misalnya mata kuliah
bernama “Psikologi Pendidikan Islam” dengan isi yang di dalamnya benar-benar
baru. Artinya, mata kuliah tersebut tidak mengajarkan ilmu Psikologi umum saja
atau ilmu psikologi pendidikan saja, akan tetapi juga mengintegrasikannya
dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, untuk memperjelas kandungan mata
kuliahnya maka nama tersebut bisa diganti “Psikologi Pendidikan berbasis
Islam.” Selama ini, sebagaimana yang telah penulis alami meskipun penamaannya
ada “label” Islam akan tetapi pada kenyataannya muatan pokoknya bahkan kadang
semuanya hanya menyentuh ilmu “psikologi pendidikan.”Pada akhirnya, sudah
saatnya pendidikan Islam (khususnya di Indonesia) untuk memiliki “kiblat”
sendiri. Mengingat, pada beberapa dekade akhir ini kebanyakan institusi
pendidikan Islam utamanya untuk keilmuan cenderung berkiblat pada barat. Bahkan
sistem pendidikannya pun tak jarang yang juga meniru Barat.
DAFTAR RUJUKAN
“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
“Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi,” http://www.dpr.go.id/id/undang-undang/2012/12/uu/PENDIDIKAN-TINGGI, didownload tanggal 31 Oktober
2014.
Akhwan, Muzhoffar. “Karakteristik, Tujuan, dan Sasaran
Pendidikan Islam,” dalam Pendidikan Islam
dalam Peradaban Industrial, ed.
Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ. Yogyakarta: aditya media, 1997.
Arif, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat, 2002.
Azizy, A. Qodri, “Mengembangkan
Struktur Kefakultasan IAIN,” Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi
Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo. Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000.
Azra, Azyumardi. “IAIN
di Tengah Paradigma Baru Perguruan
Tinggi,” dalam Problem
dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo. Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000.
Daulay, Haidar Putra. Pemberdayaan
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Rineke Cipta, 2009.
Feisal, Jusuf Amir. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Geman Insani, 1995.
Ishomuddin. Spektrum Pendidikan Islam.
Malang: UMM, 1996.
Maarif, Ahmad Syafii. “Pendidikan Islam dan Proses
Pemberdayaan Bangsa,” dalam Pendidikan
Islam dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ. Yogyakarta: Aditya Media, 1997.
--------. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Islam
Menghadapi Peradaban Modern,” dalam Pendidikan
Islam dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), 21-22.
Mastuhu, “Link and Match Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga
Kependidikan Agama Islam di Indonesia: Menuju Pencarian Paradigma Baru
Pendidikan Agama Islam,” dalam Pendidikan
Islam dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ. Yogyakarta: aditya media, 1997.
--------. “Universitas Islam di Tengah Dikotomi antara
Agama dan Ilmu,” dalam Horizon Baru
Pengembangan Pendidikan Islam (Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global), ed. M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha. Malang: UIN, 2004.
Minhaji, Akh. dan BA, Kamaruzzaman. Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam. Jogjakarta: Arruzz, 2003.
Mudzhar, M. Atho. “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan
Tinggi,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi
Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo. Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000.
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum,
hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan.
Bandung: Nuansa, 2003.
--------. Paradigma Pendidikan Islam:
Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
--------. Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma
Pengembangan, Manajemen, Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi pembelajaran. Jakarta: Rajawali, 2009.
--------. Struktur dan Anatomi Kurikulum Program Magister
Pendidikan Agama Islam, Makalah disajikan pada Orientasi Pengembangan Kurikulum
Program Magister (S2) Pendidikan Agama Islam PPs STAIN Samarinda, Tanggal 12
Maret 2012.
Muleman, Johan Hendrik. “IAIN di Persimpangan Jalan,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan
Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo. Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000.
Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor: 1429
Tahun 2012 tentang Penataan Program Studi di Perguruan Tinggi Agama Islam.
Peraturan Pemerintah Nomor 66
Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, http://spi.um.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/PP-Nomor-66-Tahun-2010-Perubahan-Atas-PP-Nomor-17-Tahun-2010.pdf, file didwonload 31 Oktober 2014.
Rahim, Husni. “IAIN
dan Masa depan Islam Indonesia,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan
Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo. Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000.
Subdit Akademik, “Pembukaan Program Studi Baru PTAI
Meningkat,” http://diktis.kemenag.go.id/index.php?berita=detil&jd=232#.VFMC2Mmupdg, diakses tanggal 31 Oktober 2014.
Suprayogo, Imam.
Pendidikan Berparadigma
al-Qur’an: Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malanga, 2005.
Tholkhah, Imam dan Barizi, Ahmad. Membuka Jendela Pendidikan
Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo, 2004.
Undang-undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta
Penjelasannya. Jakarta: Cemerlang, 2003.
Zamroni, “Sosok Ideal Pendidikan Tinggi Islam,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial. Yogyakarta: Aditya Media, 1997.
[1]Pengembangan kurikulum pada prodi di PTAI dilakukan
dengan cara menambah mata kuliah baru (biasanya mata kuliah non keagamaan) yang
dianggap relevan dengan kebutuhan masyarakat (sebagai pasar) dan bisa juga
dengan mengadakan integrasi ilmu secara konsisten-serius agar tercipta ilmu
baru yang menjadi ciri khas PTAI.
[2]PTAI terdiri dari dua jenis pengelola, yaitu PTAI Negeri
yang dikelola pemerintah dan PTAI Swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat
(biasanya berbentuk yayasan). Di mana menurut aturan dan kebijakannya antara
PTAI dengan PTAIS juga dibedakan. Salah satu contohnya adalah pada Peraturan
Pemerintah Nomo 66 Tahun 2010 Pasal 53 B ayat 1 di mana jumlah penerimaan
mahasiswa untuk Perguruan Tinggi Negeri (yang diselenggarakan Pemerintah) wajib menjaring mahasiswa baru program sarjana melalui pola penerimaan secara nasional paling
sedikit 60% (enam puluh persen) dari jumlah peserta didik baru yang diterima
untuk setiap program studi pada program pendidikan sarjana.
[3]Pasal 24 Ayat 1 berbunyi: “Dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan
tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi
keilmuan.” Sedang Ayat 2 mengamanatkan: “Perguruan tinggi memiliki otonomi
untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelnggaraan pendidikan
tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.” Lihat, Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003).
[4]Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, http://spi.um.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/PP-Nomor-66-Tahun-2010-Perubahan-Atas-PP-Nomor-17-Tahun-2010.pdf, file didwonload 31 Oktober 2014.
[5]“Sejak terbitnya Undang-Undang nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam nomor 3389
Tahun 2013 tentang Penamaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Fakultas dan Jurusan
pada Perguruan Tinggi Agama Islam, mendorong PTAI untuk mengajukan penambahan
pembukaan program studi baru dalam rangka mendukung persyaratan perubahan alih
status Institusi. Sebagai contoh, lembaga pendidikan yang akan alih status dari
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) menjadi Institut Agama Islam (IAI) harus
memiliki program studi minimal 3 rumpun keilmuan.” Lihat, Subdit
Akademik, “Pembukaan Program Studi Baru PTAI Meningkat,” http://diktis.kemenag.go.id/index.php?berita=detil&jd=232#.VFMC2Mmupdg, diakses tanggal 31 Oktober 2014.
[6]PTAI berbentuk Sekolah Tinggi hanya
diberi wewenang untuk mengembangkan kurikulum seluas-luasnya. Namun untuk
pembentukan prodi baru hanya dibatasi pada prodi yang serumpun dengan prodi
lama. Langkah ini mungkin dilakukan karena hanya PtAI bernbentuk Universitaslah
yang dianggap mumpuni untuk melakukan penambahan prodi umum. Mengingat
konsekuensi menambah prodi umum berarti harus menambah tenaga pengajar (yang
menguasai ilmu pengetahuan umum sekaligus agama), sarana prasarana, dan
pengembangan kurikulum baru. Selain itu menurut amanat Undang-unang bahwa
Universitas dapat menyelenggarakan pendidikan dalam berbagai rumpun ilmu,
sedang Institut diberi wewenang untuk menyelenggarakan pendidikan dalam
sejumlah rumpun ilmu, dan Sekolah Tinggi berhak mengadakan pendidikan vokasi
dalam satu rumpun ilmu. Lihat, Pasal
59 ayat 2,3,4 “Undang-undang Nomor 12
Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi,” http://www.dpr.go.id/id/undang-undang/2012/12/uu/PENDIDIKAN-TINGGI, didownload tanggal 31 Oktober
2014.
[7]Tujuan kurikulum suatu lembaga PTAI bisa terspesifikan ke
dalam: tujuan Institusi, tujuan fakultas, tujuan mata kuliah, dan tujuan pembelajaran.
Di mana tujuan tersebut tidak hanya difokuskan pada “pemahaman” monodisipliner,
yaitu dari aspek ilmu agama saja.
[8]Perguruan tinggi yang berbentuk Sekolah Tinggi hanya
boleh mengajarkan ilmu yang satu rumpun, Misalnya ilmu keagamaan saja.
[9]Adapun yang masuk ke PTAI biasanya telah mendapat
beasiswa atau saat kuliah dijanjikan mendapat beasiswa dari pemerintah atau
donatur lain. Serta alasan masuk ke PTAI biasanya karena tidak diterima di
kampus lain (PTU). Bisa juga karena SPP di PTAI dirasa sangat murah sehingga
menimbulkan semangat untuk berkuliah dengan tujuan mengangkat harkat dan
martabat di mata masyarakat bila mendapat gelar sarjana.
[10]Muhaimin, Struktur dan Anatomi Kurikulum Program Magister
Pendidikan Agama Islam, Makalah disajikan pada Orientasi Pengembangan Kurikulum
Program Magister (S2) Pendidikan Agama Islam PPs STAIN Samarinda, Tanggal 12
Maret 2012.
[11]Lulusan PTAI selama ini dipandang tidak
memiliki keahlian yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. atas dasar hal
itu, maka peninjauan ulang terhadap pembidangan ilmu di lembaga peruguruan
tinggi agama menjadi mutlka diperlukan. Lihat, Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman BA, Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam
(Jogjakarta: Arruzz, 2003), hlm. 38.
[12]Tardisi al Azhar sebagai perguruan tinggi menjadi
salah satu rujukan utama saat pendirian IAIN. Diantara fakultas di IAIN,
tiga di antaranyaasama dengan fakultas di al Azhar (tahun 1930) yaitu Ushuluddin, Syari’ah,
dan Adab. Sistem ujian tahunan juga diambil dari
al Azhar. Salah satu faktor yang mendukung
pengaruh model al Azhar adalah banyaknya lulusan al Azhar yang memegang
kedudukan penting di Departemen Agama
dan merancang pendirian IAIN. Lihat, Johan Hendrik Muleman, “IAIN di Persimpangan Jalan,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan
Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo
(Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm. 44.
[13]A. Qodri Azizy, “Mengembangkan Struktur Kefakultasan IAIN,” Problem
dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (Jakarta: Direktorat Pembinaan
PTAI Depag RI, 2000), hlm. 19.
[14]Terkait ini secara detail lihat, Husni
Rahim, “IAIN
dan Masa depan Islam Indonesia,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan
Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (Jakarta: Direktorat
Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm. 422.
[15]Muleman, “IAIN di
Persimpangan,” hlm. 44.
[16]Pada perkembangan terakhir menurut Azizy pada beberapa PTAI di Indonesia dalam satu dasawarsa ini dapat dikatakan
unik. Yakni, meski nama fakultas dan jumlahnya tetap (belum ada perkembangan)
dalam satu kampus PTAI akan tetapi jumlah jurusan (program studi) mengalami
perkembangan yang tidak selalu sama antar kampus. Lihat, Azizy,
“Mengembangkan
Struktur Kefakultasan,” hlm. 21.
[17]Sebelum tahun 1997 sebagian
besar posisi PTAI di Indonesia masih sangat terpinggirkan, utamanya dari segi
keilmuannya. Oleh sebab itu, agar terjadi peningkatan kedudukan dalam jangka
pendek,
maka PTAI harus mampu memperbarui kurikulumnya secara mendasar. Dari kurikulum
tersebut hasil akhirnya adalah bisa memiliki lulusan yang bertipe manusia ideal
seutuhnya (al-insan al-kamil). Lihat, Zamroni, “Sosok Ideal Pendidikan Tinggi Islam,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial (Yogyakarta:
Aditya Media, 1997), hlm 30.
[18]Bandingkan dengan pendapat Muhaimin
tentang keharusan dosen dalam mengembangkan profesinya sehingga punya beberapa
karakteristi ideal. Lihat, Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 61.
[19]Minhaji dan BA, Masa Depan Pembidangan, hlm. 49-50.
[20]M. Atho Mudzhar, “Kedudukan IAIN
sebagai Perguruan Tinggi,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan
Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo
(Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm. 71.
[21]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[22]Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Pasal 1 nomer 17.
[23]Pernyataan ini sama dengan apa yang
disampaian Imam Suprayogo, gambaran
pendidikan tinggi Islam yang kelahirannya didasarkan pada motivasi nilai-nilai
idealisme yang tinggi, yaitu Islam yang rahmatalill alamin. Pada kenyataannya
kampus Islam, bahkan yang berstatus negeri sekalipun masih kalah bila
dibandingkan dengan UI, ITB, IPG, UGM, UNAIR, dan kampus lainnya yang setara.
Dan lebih ironis, ternyata juga masih kalah bila dibandingkandengan perguruan
tinggi swasta yang berada di naungan yayasan Kristen, seperti Universitas
Parahyangan, UKI, Atmajaya, Satya Wacana, Petra, dan lain-lain. Lihat, Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun Tradisi dan
Aksi Pendidikan Islam (Malang: UIN Malanga, 2005), hlm. 112.
[24]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan
(Bandung: Nuansa, 2003), hlm. 209.
[25]Muhaimin, “Arah Baru Pengembangan,” hlm. 216.
[26]Apabila ditinjau dari sudut pandang dinamika yang ada di tingkat
nasional dan internasional (global) maka penggunaan “paradigma baru” bagi
perguruan tinggi di Indonesia merupakan sebuah keharusan. Selain itu, sebagai
penunjang utama maka perlu diadakan reformasi besar-besaran mencakup perubahan
kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan itu diharapkan
Perguruan Tinggi dengan contents
pendidikan, metode, dan penyampaian pendidikannya mampu menjangkau kebutuhan
masyarakat yang lebih beragama dan luas. Lihat, Azyumardi Azra, “IAIN di Tengah Paradigma Baru
Perguruan Tinggi,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan
Tinggi Islam,
ed.
Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI
Depag RI, 2000), hlm. 4.
[27]“Pembidangan ilmu agama yang ada selama ini
sudah sepatutnya ditinjau ulang. Sebab, dalam situasi global yang menuntut skill dan penguasaan bahasa asing
(inggris dan arab), bidang ilmu yang ditawarkan oleh PTAI hanya cocok untuk
mencetak generasi penghafal tradisi klasik Islam. bukan hanya itu, bidang ilmu
yang ditawarkan oleh PTAI adalah masih bersifat teologis-normatif-deduktif,
bukan empiris-historis-induktif... untuk abad 21 dan seterusnya, model empiris-historis-induktif
yang sering digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan perlu mendapat
perhatian” Lihat, Minhaji dan BA, Masa Depan Pembidangan, hlm. 79.
[28]Ahmad Syafii Maarif, “Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Tinggi Islam Menghadapi Peradaban Modern,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial,
ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 21-22.
[29]PTAI mestilah adaptif terhadap perkembangan
zaman, terutama terkait dengan keilmuannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pengembangan keilmuan di PTAI adalah pertama PTAI harus membuka program kilmuan yang mencakup
ilmu-ilmu agama (perenial knowledge) dan juga ilmu-imu pengetahuan umum
(acquierd knowledge) yang dikembangkan oleh manusia. Misalnya membuka fakultas sains, sosial, humaniora, dan
tentunya fakultas keagamaan. Kedua, PTAI harus memogramkan islamisasi ilmu, baik pada tataran
ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Lihat, Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Rineke Cipta, 2009), hlm. 96.
[30]Pengembangan PTAI melalui fakultas dan
program studinya yang lebih menekankan pada pengembangan ilmu agama Islamnya
saja (parennial knowledge) ternyata
telah mendapat kritik. Hal ini karena pengembangan tersebut masih bersifat
sangat sektoral, hanya untuk kebutuhan umat islam saja yaitu mencetak ahli
agama Islam. Bila demikian, maka PTAI dikatakan tidak relevan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan maupun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan
nasional. Lihat, Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen, Kelembagaan,
Kurikulum hingga Strategi pembelajaran (Jakarta: Rajawali, 2009), hlm. 241.
[31]Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 68-69.
[32]Pernyataan hampir sama juga di
katakan oleh Azizy, bahwa yuntutan
kualitas pada sebuah lembaga pendidikan erat kaitannya dengan tuntutan pasar
(masyarakat) di era informasi yang pada akhirnya mengarah pada pasar bebas.
Dengan demikian IAIN sebagai PTAI tidak hanya mempersiapkan alumni atau SDM
yang hanya menjadi tenaga akademik dan profesional dalam bidang ilmu agama
Isalm. Namun, ikut berkompetisi dalam mempersiapkan SDM dalam bidang ilmu lain
yang mempunyai landasan keislaman yang kuat. Lihat, Azizy, “Mengembangkan Struktur Kefakultasan,” hlm. 31.
[33]Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 64-65.
[34]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan
Islam:, hlm. 240-241.
[35]Bandingkan dengan alasan Daulay tentang perlu diadakanya
pengembangan dalam pembidangan ilmu (program studi) pada PTAI. Lihat, Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam, hlm. 82-83.
[36]“Perguruan tinggi atau yang biasa disebut kampus, disamping sebagai
pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga mengemban misi kebudayaan.
Metta Spencer dan Alex Inkeles (1982) dalam bukunya Foundation of Modern Sociology, menyebut adanya delapan fungsi
pendidikan. Empat di antaranya, yang
relevan dengan maksud ini, adalah pengalihan budaya, mengajarkan nilai-nilai,
memajukan mobilitas sosial, dan pemangunan hubungan sosial.” Lihat,
Imam Tholkhah
dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela
Pendidikan Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam
(Jakarta: RajaGrafindo, 2004), hlm. 118.
[37]Muhaimin, Paradigma Pendidikan
Islam, hlm. 54.
[38]“Ilmu pendidikan Islam merupakan prinsip,
struktur, metodologi, dan objek yang memiliki karakteristik epistemologi ilmu
Islami... Pengembangan pendidikan Islam adalah upaya
memperjuangkan sebuah sistem pendidikan alternatif yang lebih baik dan relatif
dapat memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menyelesaikan semua problematika kehidupan yang mereka hadapi
sehari-hari.” Lihat, Armai Arif, Pengantar
Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat, 2002), hlm. 3.
[39]KBBI Offline Versi 1.5, didownload tanggal 21 April 2014.
[40]Pembidangan ilmu agama Islam di PTAI belum
punya orientasi yang jelas. Pembidangan tersebut masih erlalu luas dan sangat
sulit untuk diajarkan pada mahasiswa yang hanya menempuh sekitar 4 tahun.
ditambah lagi, para lulusan PTAI harus dihadapkan (bersaing) dengan luusan dari
PTU yang kompetensinya cukup jelas dan spesifik. Lihat, Minhaji dan BA, Masa Depan
Pembidangan, hlm. 50.
[41]Muhaimin, Arah
Baru Pengembangan, hlm. 297.
[42]Tholkhah dan Barizi, Membuka
Jendela Pendidikan, hlm. 107.
[43]Masalah IAIN (sebagai salah satu bentuk PTAI) secara
eksternal bisa dibenturkan minimnya kerjasama kampus dengan lembaga, instatsi,
dan perusahaan di luar kampus. Permasalah pokoknya terletak pada pola kerja
sama antara pihak kampus dengan lembaga pendidikan yang lulusannya sebagain
besar masuk ke IAIN. Serta hubungan dengan lembaga luar yang menggunakan
lulusan IAIN sebagai “tenaga” kerjanya. Di mana selama ini kerja sama dengan
lembaga-lembaga di luar kampus sangat tidak intensif bahkan tidak ada sama
sekali. Tidak ada yang namanya kerja sama saling evaluasi terhadap fakultas,
jurusan, program studi serta disiplin dan kurikulum IAIN. Pada era mendatang
hubungan timbal baik (kerja sama) seperti ini sangat dibutuhkan, agar tercipta
kesinambungan antara progaram IAIN dengan kepentingan masyarakat. Lihat, Azizy, “Mengembangkan Struktur Kefakultasan,” hlm. 30.
[44]Jusuf Amir Feisal, Reorientasi
Pendidikan Islam (Jakarta: Geman Insani, 1995), hlm. 142-143.
[45]Ishomuddin, Spektrum Pendidikan
Islam (Malang: UMM, 1996), hlm. 69.
[46]Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 54-55.
[47]Ibid., hlm. 55.
[48]Ibid., hlm. 70-71.
[49]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam,
hlm. 58.
[50]Ibid., hlm. 58-59.
[51]“Pembidangan ilmu pada PTAI ke depat terkait
erat dengan bagaimana padnangan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan kemudian
bagaimana menyikapinya. Diawali dari konsepsi idealnya, dan selanjutnya
ditindaklanjuti dengan kesatuan pandangan tentang hal tersebut, baik yang
berasal dari dalam PTAI sendiri maupun dari luar.” Lihat, Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam,
hlm. 71.
[52]Minhaji dan BA, Masa Depan
Pembidangan, hlm. 51.
[53]Tholkhah dan Barizi, Membuka
Jendela Pendidikan, hlm. 111.
[54]“Mengenai teori-teori dalam pengembangan ilmu
pendidikan Islam memerlukan berbagai macam cabang ilmu antara lain: ilmu
filsafat, ilmu pendidikan, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, dan lain-lain... Langkah-langkah yang diperlukan dalam pengembangan ilmu
pendidikan Islam antara lain: Pertama,
harus mampu mengakomodir ilmu pengetahuan; Kedua,
meyakini bahwa ilmu pengetahuan berasal dari Allah; Ketiga, mengupayakan adanya keseimbangan pendidikan; Keempat, mengupayakan adanya organisasi,
dan Kelima; mempunyai ekonomi yang
mapan dan memiliki kemampuan politik.”[54] Lihat, Arif, Pengantar Ilmu dan, hlm 12.
[55]Azizy, “Mengembangkan Struktur Kefakultasan,” hlm. 31.
[56]Azizy, “Mengembangkan Struktur Kefakultasan,” hlm. 32.
[57]Ibid., hlm. 33.
[58]Ibid., hlm. 34-39.
[59]Undang-undang No. 20 Tahun 2012 Pasal 5.
[60]Mastuhu, “Universitas Islam di
Tengah Dikotomi antara Agama dan Ilmu,” dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Upaya Merespon Dinamika
Masyarakat Global), ed. M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha,
(Malang: UIN, 2004), hlm. 87.
[61]Umat Islam sedang dilanda “kejatuhan” psikologis, karena Bari ditinjau
dari berbagai hal memang lebih maju dibanding dunia Islam pada umumnya. Bahkan
sampai pada hal yang sangat Prinsip sekalipun, misalnya sektor pendidikan,
dunia islam banyak yang berkiblat pada Barat. oleh karena itu, tidak
mengherankan bila kebanyakan umat islam akan banyak menyentuh aspek acuan dari
bangsa yang dinyatakan “dibenci” itu. Lihat, Mastuhu, “Link and Match Lembaga Pendidikan Tinggi
Tenaga Kependidikan Agama Islam di Indonesia: Menuju Pencarian Paradigma Baru
Pendidikan Agama Islam,” dalam Pendidikan
Islam dalam Peradaban Industrial, ed.
Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 182.
[62]Muzhoffar Akhwan, “Karakteristik, Tujuan, dan Sasaran
Pendidikan Islam,” dalam Pendidikan Islam
dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan
Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 39.
[63]Ahmad Syafii Maarif, “Pendidikan Islam dan Proses
Pemberdayaan Bangsa,” dalam Pendidikan
Islam dalam Peradaban Industrial, ed.
Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 40.
[64]Daulay, Pemberdayaan
Pendidikan Islam, hlm. 63.
[65]Sebagaimana menurut Daulay bahwa tolak ukur
lulusan yang berkualitas adalah pertama
sesuai dengan tujuan kurikulum, baik dalam skala nasional,
institusional (lembaga pendidikan), kurikuler (mata pelajaran), dan
instruksional (proses pembelajaran). Kedua
pengguna lulusan (pasar)telah merasa puas. Lihat, Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam, hlm. 69. Kepuasan di sini menurut penulis tidak hanya
pada aspek bidang produk aktivitasnya di masyarakat saja akan tetapi juga pada
produk-produk lain yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara langsung
maupun tidak langsung. Baik oleh masyarakat
awam, masyarakat akademis, maupun masyarakat “kelas atas.”
[66]Maarif, “Pendidikan Islam dan Proses,” hlm. 66.
[67]Dimana sebagain besar masyarakat Indonesia menyambut positif terhadap perluasan
dan pengembangan keilmuan melalui pembukaan prodi-prodi ilmu umum. Lihat,
Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam, hlm. 97-98.
[68]Kendati demikian, untuk program studi keagamaan yang baru
pada Sekolah Tinggi (berbasis Islam) dan Institut (berbasis Islam) masalah
penamaannya sebagian sudah mengalami penyegaran. Misalnya prodi Ekonomi Islam diganti dengan
nama Ekonomi Syari’ah serta Dirasat Islamiyah diganti dengan Pendidikan Agama
Islam. Lihat, Peraturan Direktur
Jenderal Pendidikan Islam Nomor: 1429 Tahun 2012 tentang Penataan Program Studi
di Perguruan Tinggi Agama Islam.
Ilustrasi Akreditasi Program Studi (Sumber gambar Yahdi Siradj) |
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Pemikiran tentang Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*