PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Pendiri Banjir Embun)
Topik lain:PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBUDAYA NIR-KEKERASAN: PERSPEKTIF INTERDISIPLINER
GAGASAN THOMAS S. KUHN TENTANG REVOLUSI PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Ilustrasi Multiple Intelligences (Sumber gambar identifor) |
Sebelum kalian melihat isi dari halaman ini. Alangkah lebih baik baca dulu pengumuman penting berikut ini:
ISI LENGKAP DUA BUKU "PENDIDIKAN ISLAM" TERBITAN TAHUN 2014 & 2015. GRATIS.
NO CLICKBAIT!
Bagi yang belum tahu apa itu clickbait silakan klik judul Clickbait: Arti, Cara Kerja, dan Contohnya
Menu lengkap buku SISTEM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA PERGURUAN TINGGI UMUM. Dalam format daftar isi. Tinggal diklik judul atau sub judul daftar isinya. Akan diteruskan ke bagian isi buku sesuai judul atau sub judul yang diminta. Selengkapnya klik judul buku tersebut.
Menu lengkap buku PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM: REINTERPRETASI BERBASIS INTERDISIPLINER. Dalam format daftar isi. Tinggal diklik judul atau sub judul daftar isinya. Akan diteruskan ke bagian isi buku sesuai judul atau sub judul yang diminta. Selengkapnya klik judul buku tersebut.
Makalah ini telah diedit menjadi buku berjudul PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM: REINTERPERTASI BERBASI INTERDISIPLINER. Diterbitkan oleh LKiS.
BAB I
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Masalah
Kajian
tentang “kecerdasan beragam”[1]
atau yang sering disebut dengan multiple
intelegences[2]
tidak akan pernah lepas dari pencetusnya, yaitu Howard Earl Garnder.[3]
Berkat teori tersebut paradigma baru pada bidang pendidikan dan psikologi tentang
kecerdasan telah bersemi (mendapat pengakuan). Pada akhirnya revolusi paradigma
tentang teori kecerdasan telah
terjadi. Teori ini ciri utamanya adalah mendudukan semua peserta didik
berdasarkan jenis kecerdasan yang dikuasainya adalah sama derajatnya satu sama
lain. Asumsinya, setiap siswa punya bidang kecerdasan masing-masing dan guru
tidak boleh mengarahkan siswa hanya pada satu bidang kecerdasan saja. Oleh
karena itu, klasifikasi murid berdasarkan tes kecerdasan IQ sebagai
satu-satunya tolok ukur tidaklah tepat.
Anggapan
yang selama ini terjadi adalah manusia (peserta didik) dikatakan hanya memiliki
satu jenis “kecerdasan” dan yang dapat diukur melalui tes standar saja. Namun, Howard
memperkirakan pada manusia punya 7 hingga 10 kecerdasan utama yang berbeda
antara satu individu satu dengan yang lain.[4]
Ini artinya, tidak ada dalam lingkungan manapun bahwa peserta didik yang satu
lebih cerdas dari peserta didik lainnya. Namun, yang ada adalah peserta didik
mana yang sudah menemukan bidang kecerdasannya serta mana yang belum menemukan.
Bahkan dimungkinkan ada peserta didik yang menemukan atau cenderung punya lebih
dari satu bidang kecerdasan yang ia kuasai.
Masalahnya, sebagaimana yang telah umum diketahui dalam beberapa dekade para pakar “kecerdasan” utamanya dalam dunia pendidikan hanya menggunakan tes inteligence quotient (IQ) sebagai pijakan satu-satunya dalam “menilai” kemampuan (kecerdasan) anak. Bahkan juga digunakan sebagai bahan utama dan rujukan satu-satunya dalam memprediksi masa depan anak. Padahal, utamanya untuk zaman yang serba kompleks sekarang ini, faktor-faktor (kecerdesan) lain sebenarnya juga bisa menjadi andil bagi penentu dasar masa depan anak kelak. Dengan kata lain, di zaman yang serba butuh aspek “kompleksitas” ini, IQ saja tidak akan pernah bisa menjadi solusi masalah kehidupan bagi pribadi maupun kehidupan masyarakat.
Dunia sekarang ini utamanya pada negara miskin dan berkembang dilanda
ledakan jumlah penduduk. Hal tersebut berakibat pada minimanya lapangan kerja, bertambahnya polusi
udara, rawan penyakit menular, dan perkembangan IPTEK yang tak terkontrol
menyebabkan masyarakat tidak hanya membutuhkan atau diharuskan mengembangkan satu
jenis kecerdasan saja. Artinya, semakin
beragamnya potensi kecerdasan yang dimiliki lingkungan masyarakat maka kemungkinan
besar segala aspek kehidupan masyarakat tersebut akan terpenuhi. Asumsinya,
apapun yang dibutuhkan oleh masyarakat maka generasi-generasi yang punya kecerdasan
beragam mampu untuk memenuhi dan mengatasinya sesuai dengan bidang kecerdasan
masing-masing. Misalkan, dengan kecerdasan naturalnya seseorang akan mampu
mengatasi pencemaran undara dengan mengadakn program penghijauan dan bisa juga
menciptakan vaksin bagi penyakit tertentu untuk mencega penularan.
Dapat dikatakan bahwa teori milik Gardner telah merangsang dunia pendidikan
di berbagai negara untuk melakukan inovasi. Baik yang dilakukan secara utuh
(totalitas) maupun diadakan filter dan pengembangan-pengembangan yang
disesuikan dengan nilai di negera masing-masing (invention). Inovasi dilakukan biasanya untuk memenuhi “kerinduan”
masyarakat untuk merasakan sesuatu yang baru sehingga bisa meninggalkan model
(paradigma) lama. Namun demikian dalam setiap inovasi pasti akan mendapat
respon berbeda-beda dari masyarakat. Ada yang menolak secara mutlak, ada yang
mendukung secara mutlak, ada yang memfilter dengan ketat, dan ada yang
menanggapinya secara biasa-biasa saja.
Dalam konteks PAI, selama ini pembelajarannya pada umumnya masih didasarkan
pada satu jenis kecerdasan saja yaitu linguistik-verbal. Yakni, peserta didik
diasumsikan “pasti” semuanya menguasai bidang kecerdasan linguistik-verbal.
Walaupun sering kali –utamanya pada kelas yang jumlah peserta didiknya banyak– pada
kenyataannya tidak demikian. Di dalam kelas terdapat kecerdasan beragam yang masing-masing
dimiliki mereka. Akibatnya peserta didik yang tidak memiliki jenis kecerdasan
tersebut akan merasa tertekan. Hal tersebut bisa jadi karena ia tidak mampu
menghafal dan membaca al Qur’an, kurang tertarik dengan praktik ibadah, dan
materi pembelajaran yang terlalu dogmatis.
Dari semua pemaparan di atas maka penulis mengasumsikan bahwa teori Gardner
masih perlu dikritisi. Penulis mencermati bahwa sebagian dari gagasan teori multiple intelligence tidak sepenuhnya harus diserap oleh “teori”
pembelajaran PAI. Ada sebagaian gagasan Gardner yang perlu digunakan dan ada
yang tidak cocok untuk diterapkan karena tidak sesuai dengan karakter PAI. Oleh karena itu,
penulis melakukan analisis kritis terhadap teori Gardner untuk mengetahui
faktor-faktor apa yang membuat teori ini tidak sepenuhnya bisa diterapkan dalam
pembelajaran PAI. Yakni, menganalisis ketepatakan teori tersebut untuk
digunakan dalam pembelajaran PAI. Kemudian penulis memformulasikan sebuah
gagasan yang merupakan kesimpulan dari beberapa gagasan yang ditemukan. Dapat dikatakan dalam inovasi pembelajaran PAI berbasis multiple intelligences ini penulis tidak
membuat gagasan baru (discovery) tetapi
melakukan pengembangan dari teori Gardner (invention).
2.
Batasan
Masalah dan Topik Pembahasan
Agar
pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu
batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan
yang dikerucutkan sebagai berikut:
a. Konsep dasar tentang teori
kecerdasan beragam (multiple intelligences)
b. Paradigma baru pembelajaran Pendidikan
Agama Islam
c. Pembelajaran PAI berbasis kecerdasan
beragam yang ideal.
3.
Tujuan
Pembahasan
Bertolak
pada pembahasan di latar belakang serta adanya pembatasan masalah maka dapat
dirumuskan tujuan penulisan makalah sebagai berikut:
a. Menguraikan konsep dasar
tentang teori kecerdasan beragam (multiple
intelligences)
b. Menguraikan paradigma baru
pembelajaran Pendidikan Agama Islam
c. Menguraikan pembelajaran PAI
berbasi kecerdasan beragam yang ideal
4.
Kata Kunci
Dari
semua pemaparan di atas maka penulis dapat merumuskan kata kunci (keyword) dari makalah ini. Maanfaat kata
kunci adalah sebagai dasar untuk pengembangan masalah yang diulas di bab
selanjutnya. Oleh karena itu, kata kunci makalah ini adalah:
Perubahan Paradigma, Pendidikan Agama Islam, Howard
Gardner, dan Kecerdasan Beragam.
d.
BAB II
PEMBELAJARAN PAI BERBASIS KECERDASAN BERAGAM
A.
Konsep Dasar
1.
Pengertian Kecerdasan
beragam
Kata
ragam salah satu diantaranya memiliki arti pertama
“tingkah; laku; ulah” kedua “macam;
jenis” dan ketiga “warna; corak;.”
Sedangkan kecerdasan berasal dari kata dasar “cerdas” yang artinya “sempurna
perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dsb); tajam pikiran;” atau
bisa juga berarti “sempurna pertumbungan tubuhnya (sehat, kuat).” Secara
terpisah kecerdasan spiritual mempunyai arti tersendiri yaitu “kecerdasan yang
berkenaan dengan hati dan kepedulian antarsesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar berdasarkan
keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.”[5]
Sebagai penggagas teori multiple
intelligences, Garnder mendifinisikan
kecerdasan dengan singkat dan fungsional, yaitu “kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi
budaya tertentu.” Adapaun Alfred Binet dan Theodore Simon, membagi kecerdasan
menjadi tiga komponen: pertama
“kemampuan mengarahkan pikiran dan atau tindakan,” kedua “kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut
telah dilakukan,” dan ketiga
“kemampuan mengkriti diri sendiri.”[6]
Garder juga mengatakan bahwa kecerdasan yang “utama” itu berdasarkan faktor
keturunan (gen) sehingga tidak dapat dilatih. Misalkan kecerdasan musikal,
menurutnya ada pengaruh gen yang menyebabkan seseorang pintar memainkan musik. Bahkan, menurutnya perbedaan dalam lingkungan
seseorang tidak memberikan kontribusi material terhadap perbedaan dalam kapasitas untuk membedakan irama maupun melodi.[7]
Lebih spesifik Widayati dan Widijati
mengungkapkan bahwa kecerdasan itu tidak dapat diamati secara langsung. Diperlukan
kesimpulan dari pengamatan berberapa perilaku nyata yang merupakan perwujudan
dari proses berpikir rasional.[8]
Dengan
demikian, penilain terhadap kecerdasan tidak harus dilakukan dengan tes tulis.
Hal ini utamanya untuk menilai kecerdasan anak kecil (balita) yang belum bisa baca
tulis.
Dari pembahasan di atas
maka dapat disimpulkan bahwa arti
kecerdasan beragam adalah beberapa jenis kemampuan dasar yang salah satunya
atau beberapa diantaranya bisa menjadi ciri khas (dimiliki) masing-masing manusia
untuk berbudaya dan menjalankan kehidupan bersama. Selain itu, Widayati dan
Widijati mengklasifikasikan sifat-sifat dari
kecerdasan sebagai berikut:
1.
Adaptif; adanya respon
yang fleksibel bila ada stimulus
dalam berbagai situasi dan masalah, sehingga tahu pemecahannya dan tidak merasa
sulit setiap kali menghadapi permasalahan.
2.
Kemampuan belajar;
kemampuan belajar pada sesuatu yang baru, tergantung pada setiap anak sejauh
mana ia mampu menyerap dan menyimpan sesuatu yang baru itu.
3.
Belajar dari pengalaman
luar dan dalam dirinya; menggunakan pengetahuan sebelumnya sebagai analisis dan
pemahaman situasi yang baru,
sehingga senantiasa menunjukkan kreativitas.[9]
Penggunaaan
istilah “kecerdasan beragam”[10]
dalam tulisan ini dimaksudkan oleh penulis sebagai pengganti istilah multiple intelligences. Alasannya, kata
ragam secara arti (makna) lebih cocok digunakan dari pada kata lainnya. Misalkan,
kata majemuk memiliki dua arti yang satupun tidak cocok sebagai pengganti
istilah teori Gardner tersebut yaitu “terdiri atas beberapa bagian yang
merupakan kesatuan” dan “mengenai penambahan bunga kepada pokok berdasarkan
waktu dengan tujuan mendapatkan dasar baru untuk menghitung bunga berikutnya:.”[11]
Padahal menurut teori Gardner, satu jenis kecerdasan itu bisa berdiri sendiri
dan bukan terdiri atas beberapa bagian yang saling menyatukan, walaupun kadang
kala antara jenis kecerdasan satu dengan yang lain saling mendukung (terkait).
Bilapun
menggunakan istilah kecerdasan ganda, maka kata “ganda” memiliki tiga arti
yaitu pertama “(tentang hitungan)
kali; lipat,” kedua “berbayang
(seakan-akan ada dua),” ketiga
“berpasangan (terdiri atas dua); berpasangan dua-dua (dalam bulu tangkis, tenis,
dsb).”[12]
dari sudut pandang teori Gardner penggunaan istilah “ganda” kurang cocok karena
jenis kecerdasan menurut garder itu tak terbatas (tidak terhitung).
2.
Perubahan
Paradigma Kecerdasan
Selama ini dalam sistem
pendidikan, pada praktek di lapangan kebanyakan masih memaknai kecerdasan
peserta didik secara terbatas. Yakni, mereka yang dikatakan cerdas adalah
memiliki ciri-ciri penurut, hafalannya kuat, nilai mata pelajaran matematikan
serta IPA tinggi, hasil tes IQ-nya tinggi, ranking nilai kognitif teratas, dan
pendiam. Ini artinya anak yang bisa membenahi kerusakan motor, mampu berdagang
gorengan, mampu membuat celana dalam anti pemerkosaan, dan semacamnya tidak
didevinisikan sebagai anak yang tergolong cerdas, tapi anak yang kreatif.
Dengan menggunakan paradigma ini maka anak yang kreatif bukanlah anak yang
cerdas, tapi hanya sekedera kreatif. Dampaknya, berbagai anak yang kreatif tadi
(yang mempunyai kecerdasan di bidang masing-masing) merasa tidak mendapatkan
penghargaan dibandingkan dengan anak yang mendapat ranking[13]
(nilai kognitif) 10 besar.
Kenyataan tersebut sangat
memprihatinkan bagi kondisi psikologis anak-anak. Bisa jadi anak akan
berlomba-lomba belajar atau bahkan dileskan (lembaga les atau secara privat)
agar mendapatkan nilai bagus pada bidang matematika, bahasa inggris, IPA, dsb.
Padahal belum tentu “kecerdasan” anak itu di bidang tersebut. Akibatnya energi
anak akan terkuras untuk hal-hal yang diluar bidang kecerdasannya. Meskipun
hasilnya bagus (terjadi peningkatan), akan tetapi kemungkinan bisa menjadi
lebih bagus dan lebih bermanfaat bila ia memperdalam kecerdasan yang
keberadaannya dominan pada dirinya. Selain itu anak juga akan menikmati
pendalaman materi (melalui les atau privat) yang sesuai dengan bidang
kecerdasannya.
Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Gardner sebagaimana yang dikutip oleh Efendi bahwa konsep kecerdasan
itu tidak hanya bersangkut paut pada the
result of paper and pencil tests
(hasil tes dengan kertas dan pensil), tapi juga
terkait dengan pengetahuan tentang otak manusia dan kepekaannya terhadap ragam
budaya (sensitivity to the diversity of
human cultures).[14]
Bagaimanapun tes IQ hasilnya hanya berupa angka untuk memetakan kemampuan
berpikir seseorang. Dengan kata lain IQ bukanlah tes kinerja nyata, sehingga
dimungkinkan antara prediksi hasil tes dengan pelaksanaan di lapangan akan
berbeda. Misalkan anak yang ber-IQ tinggi belum tentu ia mempunyai kecerdasan
emosional[15]
dan kecerdasan spiritual[16]
yang bagus dalam kehidupan.
Selain itu selama ini yang
dinamakan kecerdasan adalah hal-hal yang terkait dengan keseriusan, tidak boleh
ada kesalahan, dan harus belajar dengan teks bukan konteks. Hal ini menurut
Agus Efendi tidak benar, karena kecerdasan merupakan kemampuan untuk belajar
dari pengalaman dan kemampuan beradapatasi dengan kebudayaan sekitar. Oleh
karena itu, orang cerdas itu bukan berarti tidak
boleh (tidak pernah)
berbuat salah. Kenyataannya, orang cerdas adalah mereka yang pernah berbuat
salah, akan tetapi mereka bisa belajar dari kesalahan dan tidak melakukan lagi.[17]
Sedangkan dari segi asal-asul terbentuk dan perkembangannya,
tingkat kecerdasan itu tidak hanya ditentukan oleh faktor gentetis tapi juga
faktor lingkungan. Sebagaiman menurut Zohar dan Marshall mengatakan bahwa:
Kecerdasan
manusia terekam di dalam kode genetis
dan seluruh sejarah evolusi kehidupan di bumi. Di samping itu, kecerdasan
manusia juga dipengaruhi oleh pengalaman sehari-hari, kesehatan fisik dan
mental, porsi latihan yang diterima, ragam hubungan yang dijalin, dan berbagai
faktor lain. ditinjau dari ilmu saraf, semua sifat kecerdasan itu bekerja
melalui, atau dikendalikan oleh, otak berserta jaringan sarafnya yang tersebar
di seluruh tubuh.[18]
Secara terperinci menurut
Thomas Amstrong, syarat khusus yang ditetapkan oleh
Gardner agar sebuah kecerdasan bisa dimasukkan ke dalam teorinya, diantaranya:
1.
Setiap kecerdasan dapat
dilambangkan; misalnya lambang tulisan
(huruf) pada kecerdasan linguistik, lambang angka pada kecerdasan matematis,
lambang nada untuk kecerdasan musikal, dan lambang gerak-gerik atau mimik wajah
sebagai lambang kinestetik.
2.
Setiap kecerdasan
mempunyai riwayat perkembangan; kecerdasan itu dinamis (tidak menetap) dan
setiap kecerdasan mempunyai pola perkembangan yang berbeda-beda
3.
Setiap kecerdasan rawan
terhadap cacat akibat kerusakan atau cedera pada wilayah otak tertentu; menurut
garder teori kecerdasan dapat berlaku bila didasarkan pada biologi (struktur
otak). Kecerdasan linguistik berfungsi dibelahan otak kiri, kecerdasan musikal,
spasila, dan antarpribadi cenderung pada belahan otak kanan. Kecerdasan
kinestetik menyangkut korteks motor, ganglia basal, dan serebelum (otak kecil).
4.
Setiap kecerdasan
mempunyai keadaan akhir berdasar nilai budaya; perilaku cerdas dapat dilhat
dari prestasi tertinggi dalam peradaban, bukan dinilai dari hasil tes standar.[19]
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis
kecerdasan itu tidak tunggal tapi beragam. Selain itu kecerdasan itu relatif,
artinya makna atau bergunanya sebuah kecerdasan tergantung pada paradigma
kecerdasan masyarakat tersebut. Misalnya dalam suatu masyarakat seseorang yang
cerdas dalam musikal bisa saja dianggap “bodoh” oleh masyarakat yang tidak
menyukai musik. Selain itu perkembangan kecerdasan tidak hanya ditentukan oleh
gen saja atau oleh lingkungan saja, akan tetapi oleh kedua-duanya. Dengan
adanya paradigma baru kecerdasan ini maka semua posisi kecerdasan peserta didik
adalah sama. Semuanya adalah manusia cerdas, cerdas dalam bidang masing-masing
yang mereka kuasai.
Lebih detail untuk menggambarkan adanya paradigma baru
kecerdasan maka penulis dapat menggambarkan tentang kecerdasan sebagai berikut:
Gambar 2.1:
Identifikasi paradigma baru kecerdasan
3.
Otak sebagai
Kunci Utama Kecerdasan
Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa otak merupakan organ
terpenting utama dan pertama bagi tatanan biologis suatu organisme. Baru setelah
itu organ jantung dan paru-paru menempati urutan berikutnya. Alasannya, otak
telah menjadi pengontrol kinerja seluruh organ-organ tubuh tak terkecuali
satupun. Baik organ yang bekerja secara tidak disadari seperti organ jantung,
usus, lambung, paru-paru dll, maupun organ yang bekerja dengan sadar yaitu
tangan, kaki, dan leher dll. Dengan demikian, manusia tanpa otak tidak memiliki
arti apa-apa, karena seluruh organ dan panca indera tidak akan berfungsi, dan
inilah yang disebut dengan kematian (meninggal dunia).
Sebagai organ milik manusia, otak merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. –Hal ini tentu
akan berbeda dengan otak hewan[20]--.
Bahkan otak manusia jauh lebih kompkes (canggih) dari pada komputer
manapun di dunia ini. Pernyataan tersebut sebagaimana menurut Zohar dan
Marshall:
Otak
bekerja dengan sistem pemikiran yang melintas. Artinya, otak tidak terdiri atas
beberapa modul kecerdasan yang terpisah. Otak juga bukan sistem pemrosesan seri
maupun sistem asosiatif yang terisolasi. Dua sistem ini berinteraksi dan saling
menguatkan sehingga memberi manusia bentuk kecerdasan yang lebih tinggi
daripada masing-masing kecerdasan tersebut jika berdiri sendiri. IQ dan EQ
saling mendukung (sinergis).[21]
Bisa
dikatakan bahwa keadaan otak memiliki peranan yang sangat penting bagi
perkembangan kecerdasan seseorang. Bahkan sampai sekarangpun rahasia dari
kekuatan otak belum terpecahkan secara ilmiah. Sebagaimana penjelasan Agus
Efendi, tentang rahasia otak beserta
kecerdasaannya sampai sekarang masih belum terungkap secara memuaskan, bahkan
dirasa masih sangat jauh dari jalan terang. Meskipun secara ilmiah di dalam otak terbukti ada tiga
jenis utama yaitu otak
rasional, otak emosional, dan otak spiritual.[22]
Selain
itu ada beberapa teori tentang perkembangan kecerdasan otak, salah satunya teori
faktor-faktor yang turut
mempengaruhi perkembangannya, yaitu:
1. Genetika,
terkait dengan bentuk (struktur) otak yang diturunkan dari gen orang tua
2. Makanan
sehat, perkembangan otak pada masa keemasan seorang anak bahkan di dalam
kandungan ditentukan suplai gizi.
3. Perawatan,
diperlukan latihan dan lingkungan yang mendukung untuk menemukan dan
mengembangkan berbagai kecerdasan yang mungkin dimiliki anak.
4. Lingkungan,
peran orang tua sangat vital (sebagai pendidik) dalam mendidik anak agar
perkembangan kecerdasannya terjadi secara benar, serta bagaiman lingkungan
disekitarnya mendukung perkembangan tersebut.
5. Mental,
keadaan jiwa anak yang bahagia dengan yang murung dapat mempengaruhi
perkembangan kecerdasan anak.[23]
Dapat disimpulkan bahwa otak memiliki peranan penting dalam perkembangan
kecerdasan setiap manusia. Otak merupakan organ yang menunjukkan “jati diri”
seseorang. Oleh karena itu, dalam pembelajara PAI guru dituntut memahami dan
mempedulikan bagaimana peserta didik “bekerja”
dengan otaknya. Guru harus sadar bahwa kesulitan dan kegagalan pembelajaran
harus dicari bagaimana cara kerja otak masing-masing anak dalam memahami
sesuatu. Dengan demikian bila ditinjau dari konteks globalisasi, maka
pendidikan Islam sudah waktunya menerapkan paradigma baru dalam pembelajaran
yang didasarkan pada bagaimana cara otak bekerja.[24]
Akhirnya, dapat dikatakan otak sangatlah
luar biasa kemampuan dan kekuatannya dalam melahirkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sedangkan dari tinjauan biologis (bentuknya), otak dapat diwariskan
secara turun temurun (foktor genetis). Namun, bila diadakan pelatihan secara
terus menerus dan dengan cara yang tepat maka “fungsi” otak dapat dioptimalkan
sesuai dengan keinginan manusia. Dengan kata lain, intervensi lingkungan juga
memiliki peran penting dalam perkembangan kecerdasan[25]
manusia. Implikasi dari pernyataan tersebut, manusia bisa “menuhankan” otak,
bahwa otak adalah segala-galanya untuk kehidupan ini. Bila ditinjau dari segi
pendidikan Islam maka pernyataan tersebut tentu tidak sejalan dengan nilai-nilai
kemanusiaan[26]
dan nilai Islam yang mengagungkan Allah SWT.
4.
Dasar Hukum pelaksanaan
Pembelajaran berbasis ragam jenis kecerdasan peserta didik
Dalam
Undang-undang 1945 Amandemen Pasal 28C ayat 1 mengamanatkan“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia.”[27]
Dari pernyataan
tersebut dalam konteks makalah ini, yang menjadi titik penting adalah
pernyataan berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan pernyataan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Sesungguhnya yang dimaksud kebutuhan dasar siswa tidak hanya pendidikan secara
umum saja namun juga kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan (penghargaan) dan
juga pengembangan diri atas kecerdasan (kemampuan) yang sesuai dengan
bidangnya. Diharapkan, dengan mengembangkan bidang kecerdasan yang dikuasainya,
maka peserta didik tidak akan terbebani dengan “tugas-tugas” secara mendalam
yang tidak sesuai dengan bidang kecerdasannya.
Dasar hukum lainnya
adalah Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 1 nomer 1 bahwa yang
dimaksud “pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Serta kata berkembangnya
potensi peserta didik juga terdapat pada tujuan pendidikan nasional di
Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003.[28]
Hal tersebut secara detail lebih diperkuat
pada pasal 5 ayat 4 menjelaskan “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.”[29]
Dilanjutkan pada Pasal
12 ayat 1 poin b menyatakan “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak:... b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya.” Serta pasal 36 ayat 3 poin c bahwa “Kurikulum disusun sesuai
dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan memperhatikan:... c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta
didik...” Kemudian diakhiri dengan pasal 45 ayat 1 menyatakan “Setiap satuan
pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi
keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik,
kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.”[30]
Dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa secara hukum pelaksanaan pembelajaran pendidikan berbasis kecerdasan
beragam sudah diatur dalam undang-undang. Hal ini tentunya juga bisa menjadi
dasar aturan bagi semua mata pelajaran maupun lembagai pendidikan yang ingin
berinovasi melaksanakan pendidikan serta pembelajaran yang berbasis kecerdasan
beragam. Oleh karena itu, siapapun tidak dibolehkan memaksa peserta didik untuk
menekuni atau mendalami bidang kecerdasan tertentu yang tidak sesuai dengan
bidang kemampuannya. Walaupun pada kenyataan dan pelaksanaannya ada beberapa
kendala yang ditemui. Lebih detail mengenai hal ini akan penulis uraikan dalam
pembahasan berikutnya.
B.
Paradigma Baru
Pembelajaran PAI
Paradigma yang diturunkan dari Cartesian (Descartes) dan Newtonian
menjadi penyebab munculnya paradigma
tunggal (tidak utuh) di dunia Barat. Dengan paradigma tunggal itu mereka
terpuruk ke lembah krisis dan penuh kontradiksi, yang menurut Capra disebabkan
oleh kekeliruan pemikiran. Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud kekeliruan pemikiran menurut Capra adalah tidak
digunakannya paradigma yang tepat dalam penyusunan kebudayaan barat. Di mana menurutnya budaya
barat hanya disusun berdasarkan satu paradigma, yaitu paradigma sains (scientific paradigm). Padahal paradigma tersebut tidak sepenuhnya bisa melihat alam dan
kehidupan ini secara utuh dan menyeluruh
(wholeness), kecuali hanya melihat alam ini
pada bagian yang empiris saja.[31]
Bila “kebudayaan” barat
tersebut dikaitkan dalam dunia pendidikan, secara spesifik M. Zainuddin
memaparkan perbedaannya dengan pendidikan Islam sebagaimana berikut:[32]
Katagori
|
Pendidikan
Islam
|
Pendidikan
Barat
|
Landasan Filosifis
|
Paradigmanya bertolak dari sumber atau landasan
(doktrin) Islam yang bercorak teo-antroposentris.
|
Paradigmanya dilandaskan filsafat Yunani yang antroposentris-sekuler sehingga
terlepas dari dimensi moral dan spiritual.
|
Struktur Konsep
Pendidikan
|
Terjadinya perbedaan: tujuan, konsep tentang
manusia (peserta didik), nilai, serta tanggung jawab yang diembannya.
|
|
Ontologi
|
Terjadi perbedaan dalam aspek cara memandang dan
menempatkan para pserta didik dalam proses pembelajaran.
|
|
Sumber dan Metode
Epistomologi
|
Berasal dari Allah SWT, yang diperoleh melalui panca
indera, akal sehat, berita yang benar, dan intuisi.
|
Semua objek (benda/zat/materi) yang bisa diserap oleh
panca indera.
|
Sistem Etika
|
Bercorak teo-antroposentris yang menempatkan manusia
sebagai pelaku sejarah sekaligus sebagai makhluk (khalifah dan hamba) Allah.
|
Menurut Syamsul Nizar: bercorak antroposentris yang
menempatkan manusia sebagai pusat dari segala-galanyanya, individu merdeka
tanpa bata.
|
Tabel 2.1: Perbedaan Sistem
Pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Barat (Tabel diadaptasi dari
pemaparan M. Zainuddin dalam bentuk paragaraf)
Dari tabel tersebut dengan
jelas tergambar bahwa sistem pendidikan barat adakalanya tidak sepenuhnya cocok
apabila diterapkan dalam sistem pendidkan Islam. Oleh karena itu setiap teori
dari barat, utamanya teori pendidikan tidak serta merta harus diserap sepenuhnya
untuk digunaan dalam sistem pendidikan Islam. Bagaimanapun paradigma yang
diungakan oleh umat islam dengan paradigma orang barat berbeda, sehingga
mempengaruhi dalam membuat konsep sistem pendidikan Islam.
Lebih lanjut, bila dikaitkan
dengan pembelajaran secara langsung, maka paradigma
lama mengajar tentang memberikan reward and punishment atau memberikan
rangsangan lain[33]
sudah tidak berlaku lagi. Ataupun paradigma pembelajaran yang
hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan
(sains) dianggap sudah tidak relevan dengan kekinian.
Diperlukan paradigma baru,
bahwa mengajar sebagai
proses mengatur lingkungan (kebudayaan).
Beberapa alasannya adalah:
1.
Siswa
bukanlah orang dewasa dalam bentuk anak kecil atau remaja,
tetapi individu yang sedang berkembang sehingga masih butuh proses pendidikan.
Dengan demikian, guru (sebagai orang dewasa) bukanlah satu-satu sumber belajar.
Asumsinya, kebutuhan orang dewasa dengan anak-anak berbeda, maka guru bertugas
sebagai pengelola sumber belajar yang sesuai dengan tingkat usia siswanya.
2.
Adanya ledakan ilmu
pengetahuan berakibat pada ketidak mungkinan bagi setiap orang mampu menguasai seluruh cabang keilmuan.
Dengan demikian, belajar tidak sekedar menghafal informasi, menghafal
rumus-rumus, tapi belajar adalah bagaimana
siswa mampu menggunakan otaknya untuk mengasah
kemampuan berfikir.
3.
Penemuan-penemuan baru
dalam bidang psikologi (menurut
penulis juga bidang biologi),
berakibat pemahaman baru terhadap konsep
(teori) perubahan perilaku manusia. Di mana
manusia sebagai makluk biologis (organisme) memilik potensi bawaan
yang menentukan perilaku manusia. Implikasinya,
proses pendidikan bukan lagi memberikan stimulus untuk cerdas pada bidang tertentu, tetapi
mengembangkan potensi (kecerdasan) yang
telah ada dan telah dimiliki
siswa.[34]
Penjelasan tersebut hampir sama
dengan pendapat Thomas R. Hoerr, bahwa:
Teori
kecerdasan majemuk (KM) memberikan pendekatan pragmatis pada bagaimana kita
mendefinisikan kecerdasan dan mengajari kita memanfaatkan kelebihan siswa untuk
membantu mereka belajar.... Menjadi cerdas tidak lagi ditentukan oleh nilai
ulangan; menjadi cerdas ditentukan oleh seberapa baik murid belajar dengan cara yang beragam.”[35]
Lebih detail, Muhaimin, dkk. menjelaskan bahwa belajar
pada hakikatnya terjadi secara individual, sehingga setiap individu dalam
belajar memiliki karakteristik tersendiri. Dari situ, idealnya pendidikan agama
Islam seharusnya
diacukan pada peserta didik secara perseorangan. Dengan asumsi, tindakan (perilaku)
belajar memang bisa ditata (dikelola)
dan dipengaruhi (diintervensi),
akan tetapi perilaku belajar individu akan tetap berjalan sesuai dengan
karakteristik peserta didik secara perseorangan. Misalnya, peserta didik yang
yang cara belajarnya lambat dalam bidang
tertentu tidak dapat dipaksa untuk belajar cepat. Oleh karena itu,
rancangan pembelajaran PAI harus diupayakan sesuai dengan karakteristik
perseorangan peserta didik, sehingga terjadi perkembangan dalam pemahaman,
pengalaman, dan pengamalan beragamanya sesuai dengan daya tampung dan
kemampuannya (daya jangkau).[36]
Sedangkan apabila dikaitkan
dengan peserta didik secara langsung, maka paradigma lama tentang peserta didik
telah mengalami pergeseran. Di mana sekarang ini setiap
peserta didik di pandang punya
tingkat kemampuan yang berbeda dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.[37]
Selain perbedaan tersebut, peserta
didik juga berbeda pada kemampuan fitrah.
Asumsinya ada anak yang memiliki kemampuan fitrah
dalam bidang melukis akan tetapi lemah dalam kemampuan menari dan olah raga.
Ada pula peserta didik
yang punya kemampuan membaca al Quran yang sangat baik. Implikasinya, perbedaan
pada aspek kejiwaan dan fitrah
merupakan hal yang sangat mendasar untuk diketahui dan dipetakan secara pasti
oleh guru. Di mana peta tersebut dijadikan modal awal dalam merancang kegiatan
pembelajaran.[38]
Adapun apabila dilihat
dari kepentingannya, pendidikan dibagi menjadi dua, pertama pendidikan dari segi
kepentingan individual
peserta didik. Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Abuddin Nata,
selain memperhatikan peserta didik dari segi perbedaan bakat, kemampuan,
kecenderungan, dan sebagainya, guru juga harus membantu individu dalam
mengekspresikan dan mengaktualisasikan
“kecerdasan” dirinya.
Dari itu diharapkan peserta didik
dapat mengatasi masalah di kehidupannya kelak.[39]
Kedua, dari segi kepentingan masyarakat. Pelaksaanan
pendidik dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga setiap
gagasan, pemikiran, nilai, budaya, agama, ilmu pengetahuan yang disalurkan ke
peserta didik harus mendapat pengakuan masyarakat dan negara. Dengan kata lain
masyarakat dan negara sangat berperan dalam mengintervensi kegiatan pendidikan.
Yakni, untuk menciptakan generasi yang siap untuk mengisi ruang-ruang kosong
bidang pengetahuan yang sangat dibutuhkan masyarakat.[40]
Konsep
pendidikan yang memadukan antara kepentingan individual denga kepentingan
masyarakat didasarkan pada asumsi bahwa individu selain memiliki kebebasan
berkreativitas juga dibatasi oleh kebebasan sosial. Oleh karena itu setiap
peserta didik selain bisa menentukan pilihan-pilihannya, mereka juga harus
tunduk kepada pilihan yang diakui dan dibutuhkan bersama. Dengan kata lain Islam memandang bahwa kedua kepentingan tersebut harus berjalan
berdampingan dan seimbang. Selain juga menggunakan nilai-nilia yang berasal
dari Tuhan yang diyakini benar dibandingkan nilai-nilia yang diciptakan manusia. oleh karena itu, dalam
menyikapai apa-apa yang berasal dari manusia adalah dimulia dengan sikap
meragukan terlebih dahulu kemudian memecahkan keraguanya itu dengan bukti
ilmiah. Sedangkan menyikapi yang berasal dari Tuhan dimulai dari menyakinnya,
kemudian memperkuatnya dengan pemahaman manusia tentang ayat-ayat kauniyah.[41]
C.
Pembelajaran
PAI Berbasis Kecerdasan Beragam yang Ideal
Pembelajaran PAI merupakan kegiatan untuk
mencerdaskan peserta didik. Oleh karena itu, dalam konteks makalah ini hal-hal
penting yang perlu diperhatikan sebelum diadakan pembelajaran adalah seperti
apa kondisi (latar belakang) peserta didik, sejauh mana kemampuan guru dalam
mengakomodasi keberagaman peserta didik, dan bagaimana cara menanamkan
nilai-nilai Islam kepada peserta didik sesuai dengan kondisi “keberagaman” peserta
didik. Untuk lebih jelasnya maka penulis gambarkan skema di bawah ini:
Mazhab Kecerdasan Ras/kulit Ekonomi Kultur
(Organisasi)
Gambar 2.2: Posisi peserta didik dalam bingkai Pendidikan Agama Islam
Dari gambar tersebut dapat dipahami bahwa pembelajaran
PAI bukanlah materi ceramah, materi latihan, dan materi diskusi saja. Namun,
pembelajaran PAI adalah seni guru dalam mendoktrin peserta didik agar fanatik
dan setia sampai akhir hayat terhadap agama Islam. Dengan kata lain, dalam
pembelajaran PAI tidak ada upaya mencegah peserta didik dalam mengembangkan
bakat, potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik untuk menjadi manusia yang
ahli di bidang-bidang tertentu (senyampang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam).[42]
Lebih lanjut, menurut Thomas R. Hoerr bila direnungkan
sesungguhnya teori pembelajaran berbasis kecerdasan beragam (multiple intelligences) bisa menjadikan
dunia pendidikan menghargai keanekaragaman (kecerdasan) siswa. Bahkan
dimungkinan bisa mengenali keunikan yang berbeda-beda pada setiap individu.[43] Walaupun pada kenyataannya penerapan teori kecerdasan beragam membutuhkan
biaya yang tidak sedikit (perlu dana tambahan), diantaranya diperlukan untuk
membeli kamera video (CCTV)
di setiap
ruang kelas dan mengundang seniman aneka bidang dan kebutuhan-kebutuhan
penunjang lainnya.[44]
Masih menurut Thomas R. Hoerr,
tidak ada cara tunggal dan yang benar (harus sama)
untuk penerapan teori kecerdasan
beragam (ini merupakan sisi unik, sekaligus kelemahannya) pada
sekolah-sekolah. Setiap praktisi
pendidikan dalam menggunakan teori
tersebut harus dapat memperhatikan keunikan
konteks dan kultur sekolah mereka
masing-masing.[45]
Berdasarkan analisis penulis hal tersebut dapat
dicontohkan pada kasus di sekolah atau ruang
kelas tertentu menyetel musik sambil belajar
bisa menjadikan siswa berkembang kecerdasaan
matematisnya. Namun disekolah lain itu akan bisa menyebabkan kekacauan luar biasa. Artinya, titik tekan teori kecerdasan beragam sesungguhnya harus didasakran
pada keadaan masing-masing sekolah dan masyarakat sekitar, sehingga setiap
sekolah mempunyai cara sendiri dalam menerapkannya.
Dapat dikatakan dalam penerapan
teori kecerdasan beragam, sungguh bukanlah perkara mudah dan remeh temeh. Baik
dari segi pemahaman teorinya maupun dari segi penerepannya. Hendaknya guru
harus memperhatikan secara mendalam tentang hakikat dari teori tersebut. Oleh karena itu penulis akan memaparkan saran Howard Garner kepada
para guru sebagai bahan kajian yang cukup penting. Hal tersebut sebagaimana
yang dikutip oleh Valerie Strauss, ada tiga hal utama yang harus diperhatikan
yaitu:
1.
Mengadakan
pembelajaran secara individual sebanyak mungkin. Dengan mempelajari sebanyak
mungkin dan bila perlu secara detail terhadap setiap peserta didik. Mengajar
setiap peserta didik dengan cara yang menurut mereka nyaman dan bisa belajar
dengan efektif. Tentu hal ini akan lebih mudah bila dilakukan dengan kelas yang
lebih kecil.
2.
Melakukan metode
pengajaran yang beragam. Mengajarkan materi penting dalam berbagai cara dan
menggunakan berbagai bahan misalnya melalui cerita, karya seni, diagram, role
play dan sebagainya. Dengan cara itu diharapkan peserta didik dapat belajar
dengan cara yang berbeda.
3.
Tinggalkan atau
kesampingkan istilah “gaya belajar,” karena ini akan membingungkan orang lain
dan tidak akan membantu guru ataupun peserta didik.[46]
Bila bagian terpenting
(pokoknya) atau bahkan seluruh dari teori tersebut dapat dilakukan maka bisa
dikatakan inovasi[47]
terhadap pembelajaran PAI telah berhasil. Dengan itu maka diharapkan kekuatan
intelektual Islam[48]
bisa mendapat masukan yang berarti. Namun bila belum hendaknya perlu diadakan
pembaharuan di bidang lain yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak
langsung agar penerapannya bisa optimal. Sebagaimana menurut Agus Efendi bahwa
dalam dunia pendidikan untuk membangun tradisi dan budaya berfikir
filosofis dan ilmiah tentu tidak mudah. Diperlukan sistem pendidikan dan
pembelajaran yang demokratis, sistem kurikulum yang inovatif-kreatif serta
transformatif-responsif terhadap perubahan
masyarakat, sistem pelatihan berpikir yang
sistematis, buku ajar yang komunikatif-presuasif serta efektif-inovatif,
tradisi intelektual serta sistem sosial politik yang demokratis, dan sistem budaya
yang mendukung keunggulan serta menghormati
HAM-spritualistik-religius.[49]
Pernyataan tersebut dapat
dipahami bahwa, bila pembelajaran PAI secara mutlak (tanpa filter) menerapkan
teori kecerdasan beragam maka dampaknya adalah harus ada perubahan
(pengembangan) materi, metode pembelajaran, sarana-prasarana, adanya team teaching,
dan perubahan lainnya yang relevan dengan teori tersebut. Perubahan tersebut
tidak berlaku bagi tujuan khusus PAI, yaitu untuk menamkan nilai-nilai Islam
kepada peserta didik. Namun demikian, dalam kondisi ini prakteknya masih sangat
sulit untuk menanamkan nilai-nilai Islam pada materi, gaya belajar, dan bahan
ajar pembelajaran PAI yang dipadukan dengan teori kecerdasan beragam.
Lebih konkrit bila ditinjau dari pembelajaran PAI, di dalam materi PAI
terdapat beberapa bidang kecerdasan yang bisa diperdalami oleh masing-masing
jenis kecerdasan peserta didik. Misalnya materi dakwah, hafalan, dan seni
membaca al Quran ditekankan secara serius pada peserta didik yang hanya punya
kecerdasan linguistik-verbal. Materi ilmu waris, ilmu zakat, dan ilmu falak
diberikan secara khusus bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan
logis-matematis. Untuk lebih rincinya penulis membuat tabel sebagai berikut:
No.
|
Jenis Kecerdasan Peserta didik
|
Pembelajaran PAI
|
||
Materi
|
Metode
|
Bahan ajar
|
||
1.
|
Linguistik-verbal
|
Hafalan serta membaca Quran dan
Hadith, pidato bahasa arab
|
Latihan dan hafalan
|
Teks al Quran, Hadith, dan bahasa
arab
|
2.
|
Logis-matematis-numerikal
|
Ilmu waris, ilmu zakat, ilmu falak
(hisab)
|
Latihan, menganalisis, menghitung,
merumuskan
|
Soal-soal (pertanyaan) tentang
zakat, ilmu falak, ilmu waris. pengadilan agama, lembaga zakat, dan
laboratorium astronomi.
|
3.
|
Spasial-visual
|
Kaligrafi, menggambar peta sejarah
perkembangan agama Islam di dunia, membuat grafik peningkatan jumlah muslim
di dunia
|
Latihan, menggambar, membuat
grafik, membuat peta
|
Data-data tentang perkembangan
agama islam di dunia dari zaman dulu hingga sekarang dan pergi ke seniman
kaligrafi
|
4.
|
Musikal
|
Barzanji, seni baca al Quran,
sholawat, nasyid,
|
Latihan, praktek langsung di dunia
nyata
|
Perlengkapan musik, sound,
|
5.
|
Kinestetik
|
Perawatan jenazah, materi sunnah
nabi: berkuda, berenang, berlari
|
Latihan, ikut perlombaan
|
Perlengkapan jenazah, kuda, kolam
renang, lapangan olah raga
|
6.
|
Interpersonal
|
Praktek dakwah, pemimpin, menari,
drama,
|
Latihan, role play, ikut
organisasi, praktek di dunia nyata
|
Organisasi, mushola
|
7.
|
Intrapersonal
|
Renungan malam (tahajud), cerita
tentang kehidupan sufi, cerita tentang perjuangan masuk islam, cerita tentang
|
Pendekatan personal,
|
Buku cerita tentang sufi, buku
muhasabah, cerita menyentuh hati
|
8.
|
Naturalistik
|
Merawat taman sekolah, menjaga
keindahan
|
Penugasan: menjaga taman
|
Taman, hewan,
|
Tabel 2.2: Penerapan teori kecerdasan beragam dalam satu
lingkup kurikulum PAI
Dari tabel di atas dapat
disimpulkan bahwa siswa yang dikatagorikan cerdas menurut PAI tidak hanya yang
bisa hafal al Quran-hadith, hafal sejarah Islam, yang memiliki nilai ulangan
bagus. Namun semuai siswa dikatakan cerdas, utamanya “bila” sudah menemukan
jenis kecerdasan apa yang ia miliki (kuasai). Kemudian diterapkan pada
pembelajaran PAI untuk dipahami, dihayati, diamalkan, dan dijadikan pedoman
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian kurikulum PAI bisa menjadi
fungsional dan bermanfaat langung bagi kebutuhan hidup (jasmani dan rohani)
pesrta didik. Serta bisa bermanfaat bagi masyarakat karena jenis kecerdasan
yang beragam tersebut bisa mencetak generasi Islam yang berprofesi di bidang
bermacam-macam (tidak homogen).
Hal tersebut tentu akan berbeda
dengan penerapan teori KB (kecerdasan beragam) di lingkup materi (tema)
pembelajaran. Misalkan materi tentang zakat. Dari materi tersebut bisa
disimulasikan (metode bermain peran/role play), bentuk penugasan mengarang[50],
atau dipraktekan secara nyata dengan pembentukan lembaga (organisasi) zakat
yang berlokasi di sekolah. Lebih detailnya maka penulis membuat pembagian tugas
di lembaga tersebut berdasarkan jenis kecerdasan masing-masing peserta didik
sebagai berikut:
NO.
|
JENIS
KECERDASAN UTAMA (DOMINAN)
|
JABATAN
|
TUGAS
|
ALAT
|
TEMPAT KERJA
|
1.
|
Linguistik-verbal
(dibutuhakn
kecerdasan spasial untuk mendesain gambar iklan)
|
Tim manajer
pemasaran
|
Membuat proposal, selebaran/pamflet
(iklan) untuk masyarakat
|
Komputer
|
Ruangan
|
2.
|
Matematis-logis-numerikal
(dibutuhkan
kecerdasan spasial untuk memetakan masyarakat berdasarkan tingkat ekonominya)
|
Tim manajer
keuangan
|
Membuat daftar prioritas penerima
zakat serta prioritas warga paling dermawan dan menghitung pengeluaran dan
pemasukan)
|
Komputer
|
Ruangan
|
3.
|
Spasial-visual
(dibutuhkan
kecerdasan interpersonal untuk mengadakan pendekatan dengan pejabat terkait)
|
Tim manajer
perencanaan
|
Memetakan warga mana saja di sekitar
sekolah yang berstatus mustahiq dan warga dermawan
|
Kertas
gambar, pensil, dan spidol berwarna
|
Lapangan
dan ruangan
|
4.
|
Kinestetik-jasmaniah
(dibutuhkan
kecerdasan matematis-logis untuk menganalisis data stastitik)
|
Tim manajer
pengelolaan barang atau perlengkapan
|
Mengambil zakat dari warga dermawan
(muzakki) disetorkan ke “panitia zakat” lalu didistribusikan kemustahiq.
|
Kendaraan,
timbangan,
|
Lapangan
|
5.
|
Musikal
(dibutuhkan
kecerdasan interpersonal untuk mempengaruhi teman-temannya agar mau mengikuti
komando lirik lagu yang dibuatnya)
|
Tim manajer
kesegaran jiwa/mental (SDM)
|
Menggubah lirik lagu-lagu terkini
dengan lirik lagu Islami tentang zakat,
kemudian dia disuruh memimpin teman-temannya agar bersemangat dalam menjalankan
misi panitia zakat.
|
Sound,
kertas, kaset,
|
Ruangan
|
6.
|
Interpersonal
(dibutuhkan
kecerdasan linguistik-verbal untuk mengenalkan zakat kepada calon muzakki)
|
Tim manajer
humas
|
Menjadi pimpinan panitia zakat atau
ditugaskan untuk mengadakan pendekatan dengan warga dermawan (muzakki) dan
para mustahiq.
|
Kendaraan,
data statistik, materi zakat,
|
Lapangan
dan ruangan
|
7.
|
Intrapersonal
(butuh
kecerdasan interpersonal untuk mempengaruhi teman-temannya)
|
Tim manajer
kesegaran jiwa/mental (SDM)
|
Memotivator teman-temannya,
meluruskan niat, dan menentukan (merumuskan) hukum dan jumlah zakat dari
semua jenis zakat
|
Kertas
|
Ruangan
dan lapangan
|
8.
|
Natural
(butuh
kecerdasan spasial untuk menyeting ruangan)
|
Tim manajer
kesegaran jiwa/mental (SDM)
|
Menata keindahan dan kenyamanan
ruangan rapat/kelas untuk konsolidasi “panitia zakat” menggunakan tanaman.
|
Pot,
tanaman, poster flora atau fauna,
|
Ruangan
|
Tabel 2.3: Penerapan teori
kecerdasan beragam dalam lingkup satu tema (materi),
yaitu materi zakat pada pembelajaran PAI.
Dari dua tabel tersebut dapat
disimpulkan bahwa apabila guru hendak menerapkan pembelajaran PAI berbasis KB
dalam arti gaya belajarnya, maka guru harus mempunyai kemampuan delapan jenis
kecerdasan untuk mengajar peserta didik. Namun, bila hendak menerapkannya dalam
arti esensinya, maka guru harus mengakomodasi perbedaan dan mengakui adanya
kecerdasan beragam yang dimiliki masing-masing peserta didik. Konsekuensinya,
guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengekspresikan muatan PAI
sesuai dengan bidang kecerdasannya. Misalnya dalam satu tema/materi pelajaran
PAI, satu siswa ditugaskan untuk memeragakan materi yang sesuai dengan bidang kecerdasannya
(kinestetik). Sedangkan siswa lainnya ditugaskan untuk membuat gambar terkait
materi sesui dengan bidang kecerdasannya (spasial-visual).
Dengan demikian, karena
tersalurkannya[51]
potensi masing-masing kecerdasan siswa secara layak serta semuanya didasarkan
pada nilai-nilai Islam, maka diharapkan siswa akan benar-benar menjadi orang
sukses. Yakni, kesuksesan yang hakiki bukan kesuksesan yang semu. Lebih detail
Tufiq Pasiak menggambarkan kesuksesan sebagai berikut:
Gambar 2.3: Dua jenis kesuksesan
(Diadapatasi dari tabel Taufiq Pasiak)
Dari gambar
tersebut berdasarkan penjelasan Taufiq
Pasiak dapat digambarkan bahwa jenis kesuksesan kolom paling
kanan lebih mementingkan nilai kehidupan. Misalnya kebersamaan, kejujuran,
integritas, komitmen, hubungan sosial, kerja sama, dan keadilan. Lebih
konkritnya, seseorang merasa sukses bila ia mampu memberikan orang lain sesuatu
yang membuatnya dapat menikmati hidup secara bermakna.[52]
Dengan kata lain, arti sukses sesungguhnya bukan sukses semata-mata untuk
mementingkan diri sendiri. Namun, yang
dapat merubah situasi menjadi lebih baik sehingga bisa memberikan makna dan
nilai hidupan.
Lebih konkrit, sebagai upaya filter terhadap proses dan hasil
dari ilmu pengetahuan barat maka perlu adanya upaya kritis terhadap teori
Gardner. Di mana, ternyata teori kecerdasannya tidak hanya mencakup manusia,
tapi juga spesies lain. Dengan ini berarti ada anggapan bahwa hewan juga
memiliki kecerdasan karena juga memiliki otak walupun tak secerdas manuisa. Menurut
Gardner kecerdasan itu
sudah dimiliki oleh manusia sejak zaman prasejarah, ketika peradaban manusia modern belum dimulai.
Bahkan menurutnya kecerdasan juga dimiliki oleh spesies lain (hewan). Berikut
adalah indikasi yang menentukan bagaimana sebuah kecerdasan antara manusia purba dengan hewan dapat saling terkait:[53]
No.
|
Jenis Kecerdasan
|
Manusia Purba
|
Spesies lain
|
1.
|
Linguistik-Verbal
|
Ditemukan lambang tertulis
terbukti telah diapakai sejak 30.000 tahun
|
Kera besar punya kemampuan dasar
untuk menamai benda
|
2.
|
Logis-matematis-numerikal
|
Sistem angka dan kalender telah
ditemukan dalam lingkungan prasejarah
|
Lebah menghitung jarak melalui
perilaku terbang mereka
|
3.
|
Spasial-visual
|
Lukisan gua yang terkenal di
Prancis dan Spanyol
|
Naluri mempertahankan wilayah
pada berbagai jenis mamalia
|
4.
|
Kinestetik-jasmani
|
Penggunaan alat pada zaman
prasejarah (penemuan artifak)
|
Penggunaan alat sederhana telah
ditemukan pada primata, binatang pemakan semut, dan spesies lain
|
5.
|
Interpersonal-antar pribadi
|
Petunjuk adanya kelompok kedupan
komunal awal
|
Ikatan dengan induk pada primata
dan psesies lain
|
6.
|
Intrapersonal-intra pribadi
|
Kesadaran diri yang dibuktikan
dengan lukisan gua, keterampilan memburu (butuh perencanaan dan intuisi)
|
Simpanse dapat melihat pantulan
diri dari cermin dengan mengungkapkan serta melambangkan perasaan dasar.
|
7.
|
Naturalis
|
Kemampuan membedakan fauna dan
flora untuk kelangsunga hidup
|
Sistem rumit untuk memangsang
tetangganya dan untuk tidak menjadi mangsa
|
8.
|
Eksistensial
|
Adanya upacara keagamaan
prasejarah, sebelum berburu dan saat penguburan.
|
Gajah dan spesies lain
menunjukkan ritual tertentu setelah kematian salah satu anggotanya.
|
Tabel 2.4: Kecerdasan pada
manusia purbad dan spesies selain manusia
(Tabel dibuat
oleh penulis, diadaptasi dari penjelasan Gardner)
Dari tabel tersebut dapat
dipahami bahwa antara manusia purba dengan spesies lain (hewan) sama-sama
memiliki kecerdasan yang beragam. Meskipun untuk manusia kecerdasan beragama
bisa didominasi oleh spesies manusia saja pada masing-masing individunya. Namun
untuk hewan tidak bisa didominasi oleh satu spesies saja, artinya tiap individu
dalam satu spesies memiliki jenis kecerdasan yang sama. Misalnya kecerdasan
satu ekor lebah satu dengan yang lain tidak bisa memiliki jenis kecerdasan
berbeda. Dengan kata lain, jenis ecerdasan antara satu ekor lebah dengan yang
lain adalah sama, yakni kecerdasan dalam menghitung jarak melalui perilaku
terbang.
Hal tersebut tentu akan berbeda dengan pandangan Islam tentang hewan. Bagaimanapun, menurut Islam tujuan diciptakannya antara manusia dan hewan itu berbeda. Dengan demikian, fungsi otak sebagai penghasil kecerdasan antara manusia dan hewan juga berbeda. Kecerdasan hewan hanya digunakan untuk mematuhi perintah Allah yaitu “menghiasi” bumi dan hewan tidak dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Sedangkan fungsi kecerdasan (otak) pada manusia sebagai modalitas untuk menjalankan kehidupan, agar bisa memilih segala sesuatu sesuai dengan apa yang bisa mereka pilih.
Dari semua fenomena dan masalah
di atas tersebut yang terjadi pada pendidikan Islam, Anshori telah memberikan
rekomendasi sebagai jalan keluar, salah satu di antaranya yaitu:
1.
Lembaga pendidikan Islam pada setiap
pelajarannya harus memiliki aktivitas yang terkait dengan multiple intelligences.
2.
Lembaga pendidikan
tidak harus menerima siswa yang memiliki kebutuhan khusus kecuali diperlengkapi
dengan kebutuhan-kebutuhan mereka.
3.
Mengambil gagasan
inovatif yang sesuai denga ajaran Islam.[54]
Mengacu pada rekomendasi
tersebut serta didasarkan pada pembahasan sebelumnya. Satu perihal lagi yang
menjadi alasan mengapa paradigma ilmu Islam dengan Ilmu barat semakin
merenggang. Di mana adanya perkembangan “teori” otak membuat posisi antara
manusia dengan hewan “hampir” sama. Yakni, sama-sama memiliki otak dan
sama-sama memiliki kecerdasan meskipun berdasarkan penelitian tingkat
kecerdasan hewan sangat jauh dibandingkan manusia. Implikasinya bila diruntut
ke zaman masa prasejarah bahkan hingga ke zaman “penciptaan” semua makhluk
hidup menghasilkan gagasan bahwa hewan dan manusia diciptakan dari “hal” yang
sama. Sedang yang membedakan antara manusia dengan hewan adalah kemampuan evolusi
manusia yang amat pesat sehingga mampu meninggalkan tingkat kecerdasan “hewan”
lainnya.
Lebih detail Muhaimin
menjelaskan tentang tipologi pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, yang
menurut pandangan penulis bisa menjadi dasar filosofis Pendidikan Islam pada
zaman sekarang ini. Konsep tersebut secara lengkap dapat dilihat dalam bentuk
tabel sebagai berikut:[55]
Corak
Pemikiran Pendidikan Islam
|
Tolok
ukur
|
Ciri-ciri
|
Fungsi
Pendidikan Islam
|
Rekonstruksi
sosial berlandaskan Tauhid
|
1.
Sumber al Quran dan Hadith
2.
Progresif dan dinamis
3.
Rekonstruksi sosial berkelanjutan
yang dibangun secara bottom up, dari
grass toot, dan berdasarkan
pluralistis
4.
Pendidikan islam yang proaktif,
berorientasi masa depan, dan antisipatif dalam mengatasi suatu masalah karena
disebabkan perubahan yang tak terduga (adanya teori baru dll) dan
perkembangan IPTEK.
|
1. Bukan
konstruk yang closes-ended, tapi
yang dikembangkan secara konsultatif antara kenyataan (fenomena) dengan teori
(konsep)
2. Rekonstruksi
sosialnya berdasarkan pada pengembangan paradigma secara terus menerus
3. Komitmen
terhadap pengembangan kreativitas secara terus-menerus
4. Menghargai
keragaman budaya, dengan tetap menjunjung tata nilai
|
1. menumbuhkan
kreativitas peserta didik secara terus-menerus
2. memberikan
kekayaan wawasan budaya, nilai-nilia insani, dan ilahiah
3. mendidik
manusia agar siap tampil (bekerja dll) untuk menghadapi kehidupan
4. mengembangkan
manusia menjadi cakap atau kreatif untuk selanjutnya mampu bertanggung jawab
terhadap pengembangan masyarakatnya.
|
Tabel 2.5: Tipologi pemikiran pendidikan Islam dengan
bentuk tabel
(Diadaptasi
dari tabel Muhaimin)
Dari tabel tersebut dapat
dikatakan bahwa pendidikan Islam meberikan kebebasan peserta didik untuk menjadi
politisi, akuntan, arsitek, pemain sepak bola, zoolog, pemimpin LSM, dan ahli
apapun itu asal tetap bernilaikan agama islam. Dengan demikian PAI tidak hanya
menekankan pada aspek kemampuan kognitif dan IQ-nya saja tapi juga menekankan
pada aspek fungsional di masyarakat. PAI tidak hanya berorientasi pada dogma-dogma menjalankan ibadah
untuk akhirat saja, tapi juga dogma-dogma tentang perintah mengembangkan
kecerdasan di bidang masing-masing untuk kepentingan agama dan bangsa.
Dengan
demikian tugas PAI tidak hanya mampu mengakomodasi keberagaman kecerdasan
siswa, akan tetapi juga mampu memanfaatkan potensi tersebut untuk mencetak
generasi-generasi islam yang mengisi seluruh sektor bidang kemasyarakatan.
Asumsinya, outcome pembelajaran PAI
tidak hanya menjadikan siswa beriman dan bertaqwa dalam arti ritual (ibadah).
Namun dengan PAI siswa mampu menyadari, menemukan, dan mengembangkan
kecerdasan-kecerdasan yang ada pada dirinya.
Bila hal tersebut dikaitkan
dengan teori Gardner maka salah satu hal penting yang dapat diambil oleh
pendidikan Islam adalah bahwa setiap pesrta didik punya jenis kecerdasan
beragam antara satu sama lain. Dengan demikian guru tidak boleh menyamakan
(menyeragamkan) posisi kecerdasan seluruh siswa. Namun, mengenai teori lain
yang berasa dari barat misalnya mengenai kemampuan otak yang seakan “tak
terbatas,” kecerdasan itu bersifat genetis atau tidak, hewan juga memiliki
“kesetaraan” dengan manusia, dan teori lain sebagainya masih belum mengalami
kematangan teori. Dengan demikian pendidikan islam tidak harus mengambil
seluruh teori dari gardner apalagi teori yang masih belum matang.
Dari semua pembahasan di atas
dapat disimpulkan bahwa hakekat dari pembelajaran Pendidikan Agama Islam
berbasis kecerdasan beragam (multiple
intelligences) adalah bisa meningkatkan atau mengembangkan kecerdasan yang
paling dominan (nampak) yang dimiliki setiap individu siswa. Di sisi lain, guru
PAI juga harus memberikan materi lain yang tentunya terkait langsung dengan
dogma-dogma dan nilai-nilai ajaran Islam.Oleh karena itu, peran PAI adalah
memberikan motivasi dan mengarahkan peserta didik untuk mengembangkan
kecerdasannya disertai dengan penanaman nilai-nilai islam dengan cara dan
materi pokok yang disesuikan dengan kecerdasan mereka. Misalkan, anak yang
memiliki kecerdasan spasial didorong untuk menekuni kecerdasannya sehingga bisa
menjadi pelukis, pemahat, arsitek, ahli geografi, dan lain sebagainya. Namun
disisi lain guru juga harus menanamkan nilai-nilai islam, yaitu agar menjadi pelukis,
pemahat, arsitek, ahli geografi yang menjunjung nilai-nilai Islam.
BAB
III
Simpulan
Pada
prinsipnya, Islam mengakui terdapatnya kecerdasan beragam pada setiap peserta
didik (manusia). Dalam sejarahnya pun, turunnya wahyu tentang larangan minum khamr
tidak serta merta langsung secara “mendadak.” Namun dilakukan secara
berangsur-angsur. Ini artinya, Islam menghendaki perubahan manusia orientasinya
bukan pada hasilnya saja, tetapi juga proses yang berkualitas. Di mana kondisi
psikologis serta fisik para peminum khamr sangat diperhatikan.
Penjelasan
tersebut bila dikaitkan dengan teori Multiple
Intellegences, maka seorang pendidik tidak serta merta harus tertuju pada
hasil apa yang diinginkan. Namun, juga memperhatikan cara atau proses apa yang
paling bagus agar kondisi fisik dan psikologis siwa tidak mengalami salah
orientasi, sehingga dalam jangka panjang bisa tercapai hasil/tujuan yang lebih
bagus. Misalnya, guru PAI ingin menjalankan tujuan pendidikan PAI yaitu supaya
peserta didiknya menjadi manusia yang beriman pada Allah. Guru tidak akan serta
merta mendoktrin siswa supaya bisa beriman pada Allah, namun juga dilakukan
pendekatan lain. Yakni, yang sesuai dengan kemampuan (kecerdasan) peserta didik
dalam memahami “bagaimana cara beriman kepada Allah?.”
Selanjutnya,
untuk lebih terarahnya makalah ini, maka penulis akan menyimpulkan bebarapa hal
penting dari penjelasan sebelumnya, di antaranya adalah:
1. Konsep dasar tentang teori
kecerdasan beragam (multiple intelligences).
Telah
terjadi perubahan paradigma kecerdasan, yang berimplikasi adanya perubahan
“posisi” peserta didik di dunia pendidikan. Di mana awalnya peserta didik hanya
sebagai objek untuk “proyek” peningkatan kecerdasan, menjadi subjek “proyek”
pengembangan kecerdasan. Asumsinya, peserta didiklah yang harus aktif dalam
mecari dan mengembangkan kecerdasan sesuai dengan bidangnya masing-masing.
2. Paradigma baru pembelajaran Pendidikan
Agama Islam
Pembelajaran
PAI dilakukan tidak hanya untuk memenuhi tuntutan moralitas dan ritualitas.
Namun lebih dari itu, pembelajaran PAI
merupakan penanaman nilai-nilai PAI secara universal, sehingga tujuan PAI tidak
hanya untuk mencerdaskan peserta didik secara IQ saja namun juga mencerdaskan
peserta didik sesuai dengan bidang kecerdasan masing-masing. Implikasinya,
pembelajaran PAI secara praktik juga mengalami perubahan-perubahan. Tidak hanya
tertuju pada hasilnya saja tapi juga mementingkan proses yang tepat. Namun
demikian, pada pembelajaran PAI dalam perubahan atau inovasi dari sudut manapun
itu maka identitas dan nilai-nilai keislaman tidak boleh ditinggalkan.
3. Pembelajaran PAI berbasis
kecerdasan beragam yang ideal.
Pembelajaran
berbasis multiple intelligences dalam
lingkup satu lembaga (institusi) secara umum tidaklah mudah. Banyak kendala
yang ditemui, misalnya butuh dana yang cukup banyak, butuh tenaga pendidik yang
ahli (spesialis) di bidang-bidang tertentu, butuh waktu untuk
pengidentifikasian jenis kecerdasan peserta didik serta adanya upaya penemuan
jenis kecerdasan lain yang menjadi pendukung dari kecerdasan utama dalam satu
individu, belum adanya kesatuan visi, potensi guru yang masih minim, dan
sebagainya, Oleh karena itu, dalam idealya pembelajaran PAI tidak serta merta
harus mempraktekan secara buta (mentah) teori apapun itu. Pembelajaran PAI
harus tetap melihat konteks masyarakat sekitar, kondisi (latar belakang) pesert
didik, dan tentunya kemampuan (potensi) lembaga pendidikan.
Bagaiamanapun
selama ini Pendidikan Islam sebagai sebuah mata pelajaran maupun institusi
memiliki kelebihan tersendiri. Yakni, kemampuan dan ketulusan untuk menampung
peserta didik yang berasal dari masyarakat kelas bawah. Tentu ini tidaklah adil
bila sebuah lembaga Pendidikan Islam atau mata pelajaran PAI dipaksa untuk
menggunakan teori-teori tertentu yang modern tapi pendapatan (uang) dan
kualitas lembaga Pendidikan Islam dan guru PAI tidak ikut “dimodernkan.”
Daftar
Rujukan
“Kamus Besar Bahasa
Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI
Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
Amstrong, Thomas. “Seven
Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori
Multiple Intelligence,” dalam Seven Kinds
of Smart: Identifying anda Developing Your Multiple Intelligence, terj. T. Hermaya.
Jakarta: Gramedia, 2005.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad
21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
Gardner, Howard.
“Practice Does Not Make Perfect,” http://multipleintelligencesoasis.org/practice-does-not-make-perfect/, diakses tanggal 23 Oktober 2014.
Goleman, Daniel.
“Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional
Intelligence, terj. T. Hermaya.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Hoerr, Thomas R. “Buku Kerja Multiple
Intelligences: Pengalaman
New City School di St. Louis, AS dalam
Menghargai Aneka Kecerdasan Anak,” dalam Becoming a Multiple Intelligences School, terj. Ary Nilandari.
Bandung: Kaifa, 2007.
Ma’arif, Syamsul. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Muhaimin, dkk. Paradigma Pendidikan
Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
--------. Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi.
Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Nata, Abuddin. Perspektif Islam Tentang
Strategi Pembelajaran.
Jakarta: Kencana, 2009.
Pasiak, Taufiq. Manajemen Kecerdasan:
Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup. Bandung: Mizan.
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana, 2007.
Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-4.
Undang-undang Republik Indonesia No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya. Jakarta: Cemerlang, 2003.
Valeria Strauss, “Howard
Gardner: ‘Multiple Intelligences’ are not ‘Learning Styles’,” http://www.washingtonpost.com/blogs/answer-sheet/wp/2013/10/16/howard-gardner-multiple-intelligences-are-not-learning-styles/?tid=auto_complete, 16 Oktober 2013, diakses 23
Oktober 2014.
Widayati, Sri dan
Widijati, Utami. Mengoptimalkan
9 Zona Kecerdasan Majemuk Anak. Yogyakarta: Luna, 2008.
Zainuddin, M. Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab. Malang: Uin Malang, 2010.
Zohar, Danah dan
Marshall, Ian. “SQ: Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate
Intelligence, terj. Rahmani dkk.
Bandung: Mizan, 2007.
Untuk Mengetahui Footnote silakan beli buku "Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner"
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS KECERDASAN BERAGAM (MULTIPLE INTELLIGENCES)"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*