GAGASAN THOMAS S. KUHN TENTANG
REVOLUSI PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh:
A. Rifqi Amin
Topik lain:
Sebelum kalian melihat isi dari halaman ini. Alangkah lebih baik baca dulu pengumuman penting berikut ini:
Tulisan
ini telah direvisi (ditambahi dan dikurangi) untuk dijadikan ke dalam
salah satu BAB dalam buku terbaru karya A. Rifqi Amin yang bertema
Pendidikan Agama Islam berbasis Interdisipliner. Untuk mengetahui isi
buku silakan klik >>> di sini <<<
BAB I
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Masalah
Kajian
filsafat ilmu, khususnya filsafat ilmu keagamaan Islam bagi Sekolah Pascasarjana
S3 Program Studi Pendidikan Agama Islam Berbasis Studi Interdisipliner
merupakan kebutuhan mendasar. Yakni, sebagai pisau bedah dalam menemukan
kebenaran menurut “paradigma” manusia, sehingga kebenaran yang menjelma menjadi
ilmu tersebut bisa bermanfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, sebagai sesuatu
yang awal dari penguraian secara komperhensif terkait hubungan antara
agama-filsafat-ilmu pengetahuan, maka mendalami “sejarah” perkembangan ilmu
pengetahuan di makalah ini bisa menjadi dasar untuk mendalami tema-tema yang
lainnya.
Lebih
lanjut, tulisan ini difokuskan pada pembahasan mengenai “Gagasan Thomas S. Kuhn
tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan.” Di mana isinya menjelaskan
peran Kuhn terkait gagasannya yang telah menjadi landasan sekaligus keberanian
ilmuwan dalam pengintegrasian antara agama dengan ilmu pengetahuan. Lebih
gamblangnya, teori Kuhn tentang revolusi ilmu pengetahuan menjadi jawaban atas
keraguan dari beberapa kalangan atas keabsahan adannya integrasi tersebut.
Misalnya, karena kegagalan ilmu pengetahuan sekuler menyelesaikan masalah
kehidupan yang begitu kompleks dan rumit, menyebabkan timbulnya revolusi
“gagasan” sebagai respon dari kegagalan ilmu pengetahuan sekuler. Dari itu
selanjutnya muncul gagasan baru sebagai pemecah masalah terkini, yakni
pengintegrasian antara agama dengan ilmu.
Bagaimanapun
gagasan Kuhn tentang ilmu pengetahuan telah mendobrak presepsi manusia di abad
modern ini yang terlalu mengagungkan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, sangat
wajar bila banyak ilmuwan setelah Kuhn “terpengaruhi” oleh gagasannya. Utamanya
para ilmuwan dan pemikir yang resah dengan kegagalan ilmu pengetahuan. Yakni,
dalam mengatasi adanya bencana sosial dan bencana alam yang salah satunya
ditimbulkan oleh “produk” ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, Kuhn
telah menjadi inspirasi bagi ilmuwan, terutama pada konsepnya tentang Revolusi Ilmu
pengetahuan dan konsep adanya paradigma yang berperan dalam “penggerseran” ilmu
pengetahuan.
Selama
ini ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang bebas nilai, harus
independen, dan empiris. Namun, menurut Kuhn bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa
bebas dari yang namanya “paradigma.” Yakni, terdiri dari paradigma subjektif
yang berisi pandangan (yang pasti terpengaruhi ideologi, belenggu otoritas, dan
fanatisme) mendasar mengenai apa yang menjadi inti persoalan suatu ilmu. Dengan
demikian, tidak ada satu ilmu pengetahuan pun yang hanya bisa dijelaskan dengan
satu teori saja, terlebih hanya melalui pembuktian empiris. Bagaimanapun,
gugatan atas keanehan (anomali) ilmu pengetahuan akan selalu ada, di mana
kadang bukti empiris tak bisa menjawab keganjilan itu. Meskipun demikian
setelah ditemukannya kebenaran baru, siapapun tidak bisa menyalahkan
“kebenaran” lama yang digunakan pada masa lalu, karena itu adalah teori yang
dianggap benar di masanya. Begitupun teori baru yang dianggap benar pada masa
sekarang belum tentu akan dianggap benar di kemudian hari.
Sebagai
penutup, makalah ini merupakan usaha penulis dalam mencoba menelusuri
pokok-pokok persoalan terkait pemikiran Thomas S. Kuhn. Yakni, tentang pentingnya
gagasan “revolusi ilmu pengetahuan” bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain,
makalah ini akan membahas sejauh mana peran konsep “revolusi ilmu pengetahuan” Kuhn
bisa digunakan dalam masa kekinian. Termasuk di dalamnya akan dibahas tentang
penggunaan konsesp Kuhn tersebut ke dalam duni Pendidikan Agama Islam yang
selama ini masih mengalami banyak permasalahan-permasalaha.
2.
Batasan
Masalah dan Topik Pembahasan
Agar
pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya maka diperlukan suatu
batasan masalah. Hal tersebut dilakukan agar pemaparan makalah ini tidak
terlalu menyentuh pada hal-hal yang terlalu melebar dan tidak fokus pada
persoalan pokok. Dengan itu diharapkan tulisan ini memiliki nilai fungsi yang
signifikan pada kehidupan nyata, teruatama diterapkan pada Pendidikan Agama
Islam. Yakni, sebagai gagasan sekaligus pedoman baru bagi pembaca dalam
beraktivitas dan “berparadigma” di lingkungan masyarakat ilmiah.
Adapun
batasan topik pembahasan yang dikerucutkan oleh penulis adalah sebagai berikut:
a. Konsep dasar Thomas S. Kuhn
tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
b. Penelusuran Alam Pikir Thomas
S. Kuhn tentang:
1) Puzzel-solving
2) Posisi/sifat ilmu pengetahuan
3) Tahap-tahap perkembangan ilmu
pengetahuan.
c. Penggunaan konsep Revolusi
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Thomas S. Kuhn dalam dunia Pendidikan Agama Islam
3.
Tujuan
Pembahasan
Bertolak
pada pembahasan di latar belakang serta adanya pembatasan masalah maka dapat
dirumuskan tujuan penulisan makalah sebagai berikut:
a. Menguraikan konsep dasar Thomas
S. Kuhn tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
b. Menguraikan Alam Pikir Thomas
S. Kuhn tentang Puzzel-solving,
posisi/sifat ilmu pengetahuan, dan tahap-tahap perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Menguraikan penggunaan konsep
revolusi perkembangan ilmu pengetahuan Thomas S. Kuhn dalam dunia Pendidikan
Agama Islam
BAB II
Pandangan Thomas S. Kuhn
tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
A.
Konsep Dasar
1.
Nomenklatur
Thomas S. Kuhn
Nomenklatur
adalah pemberian nama/kode (tata nama) yang dipakai pada bidang ilmu tertentu.
Biasanya pembentukan nama tersebut disusun sebagai “ciri khas” bagi objek studi
pada cabang ilmu pengetahuan tertentu.
Pada setiap gagasan yang dibangun, biasanya Kuhn menggunakan nomenklatur yang
butuh pemahaman tersendiri agar masyarakat awam sekalipun bisa memahami konsepnya.
Oleh karena itu sebelum mebahas pada pokok persoalan, alangkah lebih baik bila
didalami terlebih dahulu nomenklatur yang sering digunakan oleh Kuhn.
Diantaranya sebagai berikut:
a.
Paradigma
Paradigma adalah bagian
dari
“teori” lama yang pernah digunakan dan
dipaparkan berdasarkan
dari pengujian-pengujian dan interpretasi
dari sikap dalam anggota masyarakat ilmiah
yang sudah ditentukan (disepakati) sebelumnya.
Selain itu pradigma dipakai sebagai kesuluruhan manifestasi keyakinan,
nilai, teknik, dan lain-lain yang telah diakui serta dilakukan oleh
anggota-anggota masyarakat. Dengan demikian
dalam paradigma ada serangkaian keyakinan yang diadopsi ilmuwan untuk praktik
ilmiah, selain juga digunakan contoh riset terdahulu yang digunakan sebagai
inspirasi dan pemandu riset mereka. Dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan konsesus
masyarakat ilmiah tentang suatu “pandangan dasar” mengenai pokok persoalan pada
cabang-cabang ilmu tertentu.
Menurut Kuhn, apa yang benar pada menurut paradigma lama belum tentu benar menurut paradigma baru
(adanya relativisme).
Dengan demikian paradigma tidak selalu terikat pada nilai benar atau salah.
Akan tetapi juga bisa terbimbing oleh sesuatu yang “baik” atau yang “terbaik”
bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Dengan kata lain penelitian
yang akan dilakukan ilmuwan seharusnya tidak terpaku pada hanya untuk menemukan
“kebenaran,” tapi juga bisa memberikan nilai manfaat bagi kehidupan manusia.
Hal ini bukan berarti bahwa paradigma dalam menyelesaikan masalah keilmuan
tidak benar-benar objektif, karena nilai objektifnya tersebut bisa didapat pada
penggunaan metode tertentu yang disepakati masyarakat ilmiah. Dengan kata lain
paradigma akan menentukan metode apa yang cocok lalu disepakati untuk dipakai dalam
pemecahan suatu masalah.
“Kuhn juga mengatakan bahwa membandingkan paradigma
satu dengan lainnya bukanlah hal yang mudah karena semua yang menyusun
paradigma sangat berbeda dan tidak analog.” Lebih rinci, salah satu prasarat terjadinya
percepatan pergantian paradigma adalah melalui dunia pendidikan (akademis). Hal
ini karena hampir tidak mungkin illmuwan dapat bekerja secara cepat jika
melalui jalur otodidak. Yakni, tanpa menggunakan konsep yang sudah mapan, tanpa
latihan, dan dimulai dengan sesuatu yang benar-benar baru. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa paradigma merupakan konstelasi beberapa gagasan yang
saling terhubung disertai dengan asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh ilmuwan.
Fungsi
paradigma adalah sebagai
“teka-teki” bagi para ilmuwan
untuk dipecahkan dan ditemukan alatnya
sehingga hasilnya menjadi solusi keilmuan bagi mereka. Untuk memecahkan “teka-teki” tersebut dibutuhkan dugaan
dasar dan dugaan teoritis yang pada setiap “teka-teki” karakternya berbeda satu
sama lain. Oleh karena itu, paradigma bisa menentukan sifat dan karakter ilmu
pengetahuan yang dibangun.
b.
Ilmu Pengetahuan Normal
Yang dimaksud dengan normal
adalah didasarkan pada aturan atau pola yang umum, dengan kata lain tidak ada penyimpangan dari
suatu norma atau kaidah. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ilmu
pengetahuan normal merupakan kumpulan teori yang sudah mapan atau diakui oleh
komunitas ilmiah. Sedang menurut Surjani yang dipahami dari Kuhn bahwa ilmu
pengetahuan normal adalah kegiatan ilmiah dalam masyarakat ilmiah, mereka
bekerja dalam strukturnya sendiri, bidang kajian tersendiri, dengan hukum serta
teori yang mendasari kenyataan menurut topik bahasan mereka. Dapat diartikan, bahwa ilmu
pengetahuan normal merupakan ilmu pengetahuan yang “dasarnya” masih dikaji dan
digunakan oleh ilmuwan karena metode dan isinya masih layak untuk dijabarkan
serta dikembangkan secara mendalam.
Pada
lingkup ilmu pengetahuan normal ini, ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap
paradigma yang membangun ilmu pengetahuan tersebut. Namun, lambat laun jika
dikaji terus-menerus maka bisa saja ditemukan sebuah “keganjilan” pada ilmu
pengetahuan normal ini. Di mana para ilmuwan tidak mampu menjelaskan dengan
teori-teorinya. Selanjutnya, ilmu pengetahuan normal ini akan dipertanyakan
eksitensinya. Layak untuk tetap digunakan atau bisa digantikan dengan teori
lain yang bertentangan.
c.
Anomali
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia anomali berarti terjadinya penyimpangan dan keganjilan dari yang
normal.
Dengan demikian dari kacamata ilmu pengetahuan normal menurut Kuhn, anomali
adalah terjadinya ketidakselarasan antara kenyataan yang ada dengan
paradigma-paradigma yang digunakan ilmuwan. Dengan kata lain, anomali adalah
sebagai syarat awal terjadinya proses penemuan baru. Yakni, ketika ada
kesesuaian atau keterjalinan antara fakta baru dengan teori yang baru.
Dapat disimpulkan bahwa anomali
adalah berkurangnya atau bahkan hilangnya kemampuan paradigma dalam memecahkan
persoalan (teka-teki) yang ada pada ilmu normal. Dapat dikatakan proses adanya
anomali terjadi karena para ilmuwan menemukan berbagai kejanggalan pada ilmu
normal. Di mana kejanggalan tersebut tidak dapat dijelaskan dengan paradigma
yang selama masa itu digunakan oleh masyarakat ilmiah sebagai pedoman mereka.
d.
Revolusi Ilmu
Pengetahuan
Revolusi Ilmu pengetahuan (scientific revolution) adalah terjadinya
lompatan-lompatan dan perubahan-perubahan secara drastis. Menurut Kuhn proses
revolusi ilmu pengetahuan hampir sama dengan proses terbentuknya “sejarah ilmu
pengetahuan” dan juga “sejarah masyarakat” yang bersifat diskontinu.
Dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan apapun, Kuhn telah membuka lebar
peluang terjadinya revolusi. Di mana revolusi merupakan sesuatu yang sangat
bernilai bagi terjadinya perkembangan tersebut. Dengan kata lain sesungguhnya
perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak lepas dari proses revolusi.
Dapat
disimpulkan, revolusi ilmu pengetahuan adalah manifestasi dari efek yang paling
ujung atas ketidakselarasan antara paradigma lama dengan paradigma baru. Di
mana apabila paradigma baru mampu eksis dan diterima oleh hampir seluruh atau
bahkan seluruh kalangan ilmuwan. Dengan itu maka dikatakan revolusi itu telah
terjadi. Namun apabila sebaliknya, maka paradigma lama tetap digunakan atau
akan digantikan oleh paradigma baru yang lainnya. Dengan kata lain, dalam
revolusi terjadi penjungkirbalikan paradigma yang ada (lama) dengan paradigma
yang baru yang benar-benar berbeda dengan sebelumnya, baik itu isinya maupun
pada metodenya.
Selanjutnya
akan terjadinya perpindahan komunitas ilmiah, dari komunitas paradigma lama
menuju paradigma yang baru. Yakni, memungkinkan ilmuwan untuk mengekspolrasi
hal-hal baru yang sangat berbeda hasilnya jika menggunakan paradigma lama.
Mereka seakan-akan ditransformasikan ke wilayah lain, padahal tempatnya sama
dengan yang lama. Namun karena paradigmanya (instrumen) berbeda dari yang lama
maka wilayah tersebut “tampak” berbeda pula dengan sebelumnya. Bahkan dengan
instrumen (paradigma) tersebut ilmuwan mampu menyentuh “benda” yang sebelumnya
tidak pernah mereka sentuh.
2.
Pengertian
Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi berarti perubahan mendasar dalam suatu
bidang tertentu. Sedangkan kata “perkembangan” terkait erat dengan kata
“berkembang” yang salah satunya memiliki arti “menjadi bertambah sempurna”
tentang pribadi, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya. Bisa juga diartikan
“menjadi banyak (merata, meluas, dsb).” Sedangkan ilmu pengetahuan artinya kumpulan berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan
tersistem dengan memperhitungkan sebab serta akibat.
Dalam pembahasan makalah ini
penulis tidak menggunakan kata sains sebagai pengganti kata “ilmu pengetahuan.”
Alasannya sederhana, karena kata “sains” punya arti pertama ilmu pengetahuan pada umumnya, kedua pengetahuan sistematis tentang
alam dan dunia fisik, temasuk ilmu tentang makhluk hidup dan benda mati secara
detail (ilmu pengetahuan alam), ketiga pengetahuan
sistematis yang diperoleh dari observasi, penelitian, dan uji coba yang
mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang
diselidiki, dipelajari dan sebagainya.
Pernyataan tersebut menandakan bahwa
kata “sains” lebih cenderung pada lingkup kajian ilmu pengetahuan alam bukan
ilmu pengetahuan sosial. Adapun, kata “Scientific”
dalam bukunya Kuhn yang paling terkenal berjudul “The Structure of Scientific Revoluions” memiliki arti “(secara)
ilmiah, pendekatan secara ilmiah.”
Adapaun kata “ilmiah” itu sendiri berarti
“bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu
pengetahuan.”
Pembahasan ini diawali dengan
pernyataan Kuhn bahwa revolusi perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak terjadi
secara kumulatif, tapi terjadi secara non kumulatif.
Hal ini menunjukkan perkembangan ilmu pengetahuan bukan berasal dari gabungan
beberapa ilmu pengetahuan yang telah ada. Lalu disimpulkan ilmu yang datangnya
paling akhir itu adalah yang benar atau yang paling matang. Namun, perkembangan
ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner. Yakni, terjadi perubahan secara
mendasar (terjadi pertentangan) antara paradigma lama dengan paradigma yang
baru.
Bagi
Kuhn, penemuan teori tidak menjadi kekuatan pendorong ilmu pengetahuan ke arah
kemajuan. Bagaimanapun, ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan kesetabilan dan
terus menerus ditambah dengan penemuan baru. Akan tetapi, ilmu pengetahuan
merupakan serangkaian selingan yang dimulai dari revolusi intelektual para
pemikir. Setelah ada revolusi, konsep baru akan menggantikan konsep ilmu
pengetahuan lama, sehingga terjadi
pergantian konsep yang berbeda secara terus-menerus. Hal itu akan terus terjadi
sepanjang kehidupan sejarah manusia.
Perkembangan ilmu pengetahuan
merupakan proses yang tak menantu, sulit untuk ditebak, dan terjadi tanpa
keteraturan yang mana bisa terjadi sewaktu-waktu. Agar tercipta
pemahaman yang jelas tentang mekanisme revolusi perkembangan ilmu pengetahuan Kuhn
maka penulis paparkan skema ciptaan penulis sebagai berikut ini:
An Kr Kr
AP2 An Kr
IN IN An
PG
P1
P2 P3
Keterangan:
P1 : Paradigma Pertama
IN : Ilmu Penetahuan Normal
IS : Ilmu pengetahuan yang tak pernah
matang/mapan (immature science)
An : Keganjilan (Anomali) yang ditemukan
pada IN
Kr : Krisis, kegagalan P1 dalam menjelaskan
secara tepat tentang Anomali
Rev : Revolusi, meninggalkan paradigma lama
menuju paradigma baru
PP : Pertentangan antar Paradigma
P2 : Paradigma ke-2 (paradigma baru yang
berhasil menggantikan P1)
PG : Paradigma baru yang gagal menggantikan
paradigma lama
AP2 : Afirmasi Paradigma lama (P2), Paradigma
baru (PG) gagal merevolusi
P3 : Paradigma ke-3 (paradigma baru yang
berhasil menggantikan P2)
Gambar 2.1: Skema Diskontinuitas Perkembangan Ilmu
Pengetahuan
Dari gambar
di atas dapat disimpulkan, bahwa antar paradigma tidak saling berhubungan
(berdiri sendiri). Di sinilah letak revolusionernya, karena paradigma bertugas
membimbing jalannya perkembangan ilmu pengetahuan secara terut menerus. Dari
hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa revolusi perkembangan ilmu pengetahuan
adalah perubahan mendasar tentang kumpulan-kumpulan paradigma yang tersusun
berdasarkan konteks masyarakat ilmiah (karena paradigma terbentuk dari konteks
masyarakat).
Artinya, dalam revolusi perkembangan ilmu pengetahuan terdapat unsur-unsur
perubahan secara mendasar bahkan saling bertolak belakang. Perubahan itu
terjadi secara undetermination (tidak
tentu arahnya) dan berjalan dengan mandiri. Hal itu disebabkan karena adanya
kegagalan paradigma (isi dan metodenya) yang lama dalam mempertahankan diri
dari paradigma baru.
3.
Arah
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Perkembangan
ilmu pengetahuan bisa terjadi salah satunya disebabkan adanya ketidak percayaan
komunitas masyarakat ilmuwan terhadap teori-teori tertentu. Asumsinya, ilmu
pengetahuan bisa terbentuk karena senantiasa dibangun atau diisi atas kumpulan beberapa
teori. Hal itu berimplikasi bahwa adanya proses pengembangan ilmu pengetahuan
oleh ilmuwan terjadi karena terjadi proses pengembangan teori-teori yang sudah
ada. Tentunya sebuah teori itu dibangun berdasarkan dari hasil proses tindakan
(penelitian) ilmiah. Dengan demikian pengembangan ilmu pengetahuan harus
dilakukan secara komperhensif. Tidak hanya didasarkan pada salah satu aspek
ilmu-ilmu alam (sains) atau metode tertentu saja. Namun juga melihat “pengaruh”
ilmu-ilmu sosial yang kemungkinan mendominasi suatu “teori” tersebut.
Selama
ini produk ilmu pengetahuan yang seharusnya bermanfaat bagi manusia, ternyata
dibagian lain juga merugikan manusia. Di mana idealnya manusia bisa menguasai
ilmu pengetahuan beserta produk dan metodenya. Namun ternyata kehidupan manusia
selalu terpengaruh dan merespon secara buta (hilang “kesadaran”) dari adanya
hasil perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan adanya respon itulah, maka
perkembangan ilmu pengetahuan akan senantiasa terus dilakukan hingga berada
pada titik jenuh. Selanjutnya, adanya titik jenuh tersebut akan direspon oleh
ilmuwan dengan melakukan pengembangan ilmu pengetahuan untuk menjawabnya.
B.
Penelusuran
Alam Pikir Thomas S. Kuhn
1.
Konsep Pencarian
Kebenaran Vs Puzzle-Solving Milik
Thomas S. Kuhn
Menurut Kuhn yang namanya
kebenaran tunggal (objektif) itu tidak pernah ada. Karena bagaimanapun konsep
kebenaran yang ada sekarang ini dibangun terdiri atas “paradigma-paradigma”
yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat ilmiah/akademis (ilmuwan). Dengan
kata lain, menurut Kuhn kebenaran tunggal yang dianut Positivisme merupakan
suatu paradigma ilmu pengetahuan yang tetap mapan karena mendapat dukungan dan
dimapankan oleh kalangan komunitas ilmuwan. Oleh karena itu, “paradigma”
merupakan alat sebagai kerangka konseptual dalam memahami “kebenaran” alam
semesta. Artinya, ilmuwan atau masyarakat ilmiah dalam melakukan penelitian
tidak bisa lepas dari paradigma. Secara otomatis kebanaran ilmu tidaklah
mutlak-tunggal, akan tetapi relatif-plural, maka “kebenaran” yang ada akan
terus-menerus diteliti atau dikritisi oleh komunitas ilmiah lain.
Hal ini berarti dalam benak
Kuhn, yang namanya pencarian kebenaran itu tidak ada. Namun, yang ada adalah
pemecahan “teka-teki” (Puzzel-Solving).
Di mana, pada hakikatnya manusia mengembangkan ilmu pengetahuan bukan untuk
menemukan kebenaran, lalu menyalahkan yang “tidak benar.” Akan tetapi
penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan untuk memecahkan
masalah sosial. Dengan kata lain, seringkali ilmuwan ingin atau sedang
“menemukan” sesuatu karena memang pada saat itu masyarakat membutuhkan temuan
tersebut untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Implikasinya, saat proses
pemecahan “teka-teki” itu “kadang” metode ilmiah tidak penting. Yang terpenting
adalah bagaimana ilmuwan mampu membangun konsep dari segala sudut. Termasuk di
dalamnya “kontek” dan sejarah ilmu pengetahuan yang dapat memecahkan
“teka-teki” tersebut, sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Dapat disimpulkan, karena
“paradigma” masing-masing ilmuwan maupun paradigma yang disepakati (konsesus)
dalam masyarakat ilmiah ikut andil dalam perumusan teori ilmiah (yang diyakini
kebenaran), maka subjektivitas memiliki peranan. Nilai subjektivitas muncul
bisa berupa pengaruh dari ideologi, psikologis, otoritas, dan fanatisme yang
ada pada komunitas ilmiah tersebut. Nilai-nilai subjektivitas inilah yang
penulis yakini sebagai salah satu penyebab perkembangan ilmu pengetahun terjadi
secara revolusioner bukan secara evolusioner. Meskipun dalam dinamika tersebut
diperlukan beberapa waktu yang berbeda dalam tahap-tahapannya, karena kemampuan
dan kecepatan “perumus” paradigma baru berbeda-beda pada tiap zamannya. Dengan
demikian “kebenaran” tidak ada yang abadi, karena yang abadi adalah dinamika
ilmu pengatahuan itu sendiri beserta paradigma-paradigma ilmuwan yang disertai
dengan interpretasinya.
2.
Posisi Ilmu
Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn
Salah
satu ciri utama “konstruk” ilmu pengetahuan yang diciptakan Kuhn beserta
aktivitas ilmiahnya adalah tidak mengabaikan peranan sejarah ilmu. Menurutnya, mempelajari
sejarah ilmu pengetahuan tak akan bisa lepas dari memahami dua “istilah”
penting. Yakni, pertama discovery yang
artinya kebaruan fakta atau penemuan dan yang kedua invention, artinya kebaruan teori atau penciptaan. Di mana menurut
Kuhn “penemuan-penemuan” (discovery)
sebagai salah satu unsur pembangunan ilmu pengetahuan bukanlah persitiwa-peristiwa
yang dapat diabaikan begitu saja.
Bagaimanapun sebagian besar penciptaan (invention)
teknologi sekarang ini bisa ada karena berkat adanya sejarah ilmu pengetahuan
terdahulu. Walaupun sebagian besar penemuan ilmuwan terdahulu sifatnya masih
dasar. Dengan kata lain pencitpaan (invention)
merupakan bagian dari tahap-tahap pengembangan atau lebih tepatnya “pergeseran”
yang berasal dari penemuan sebelumnya. Dimana “struktur” pentahapannya selalu
berulang dan berpola sama.
Selanjutnya,
pernyataan tentang ilmu pengetahuan terikat pada “sejarah ilmu,” berimplikasi
pada ilmu pengetahuan juga terikat dengan nilai, ideologi, sosilogis, otoritas,
dan latar belakang kehidupan penemunya. Alasannya, mempelajari sejarah secara
otomatis juga akan mempelajari sebanyak-banyaknya lingkup kehidupan yang
menyertai tokohnya. Semakin banyak atau lengkap dan komperhensifnya data
sejarah maka bisa dikatakan isi kajian sejarah tersebut otentik. Dengan kata
lain ilmu pengetahuan tidak bisa bebas nilai, utamanya tidak bisa terbebas dari
pengaruh “paradigma” penemu-penemunya yang mereka peroleh sejak kecil.
Implikasi
lainnya adalah karena mempelajari sejarah pasti mempelajari ruang dan waktu tentang
zaman sebelumnya, maka ilmu pengetahuan juga terikat oleh ruang dan waktu. Itu
artinya, bisa saja paradigma sebagai pengkonstruk ilmu pengetahuan belum tentu
dapat digunakan pada waktu yang lain. Konsekuensinya, bila ditemukan
permasalahan yang berbeda dengan waktu yang berbeda pula, maka penggunaan
paradigma lain merupakan kewajiban.
Akhirnya,
melalui The Structure of Scientific
Revolutions, sesungguhnya perkembangan ilmu pengetahuan menemui jalan
terjal. Selama ini ilmuwan menyembah ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah yang
seakan tak terbantah dan sudah mapan. Kini, dengan nomenklatur “paradigma”
milik Kuhn ilmuwan bisa menghargai subjektifitas. Yakni, dimungkinkan bagi
ilmuwan untuk mengungkapkan bias dan memodifikasi model. Oleh karena itu, menurut
kacamata Kuhnian bahwa klaim kebenaran pada satu teori yang diyakini “abadi”
dan tak tergoyahkan tidaklah tepat. Bagaimanapun suatu saat pasti akan ada
revolusi (penjungkirbalikan) ilmu pengetahuan
Dapat
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan kapanpun berpeluang untuk direvolusi, yaitu
ketika paradigma atau teori yang lama bisa menggantikan paradigma atau teori
yang sama sekali baru (paradigma matang/dewasa yang lainnya). Oleh karena itu,
dapat dikatakan akan selalu ada pertandingan paradigma. Kapan pun itu setiap
paradigma pasti rentan terkena “keganjilan” atau penyimpangan (anomali) dari
apa yang dinamakan kenormalan (ilmu normal). Di mana paradigma yang paling baik
dan terbaru akan menggantikan paradigma yang lama. Sebaliknya, bila paradigma
baru tidak cukup matang dan tidak lebih baik dari paradigma lama maka paradigma
lama akan tetap digunakan oleh komunitas ilmuwan. Bila itu terjadi maka
perkembangan ilmu pengetahuan tidak berjalan untuk sementara waktu hingga
ditemukan paradigma baru.
3.
Tahap-tahap
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Menurut Kuhn
Dalam kajian sejarah ilmu
pengetahuan, runtutan perkembangannya tidak berdiri sendiri atau terpisahkan
satu satu sama lain. Kekuatan ilmu pengetahuan terletak pada sifat dan
mekanisme revolusinya. Di mana perkembangan ilmiah bisa diperoleh bila teori
yang ada bisa ditinggalkan dan sepenuhnya diganti oleh teori yang lebih sesuai.
Menurut Kuhn unsur terpenting dalam sebuah perkembangan ilmu adalah adanya masyarakat illmiah. Baik itu dalam
lingkungan formal seperti kampus dan lembaga penelitian maupun lingkungan
nonformal seperti kehidupan masyarakat secara luas. Masyarakat ilmiah menjadi
faktor terbentuknya struktur ilmiah baru dan dapat berkembang dalam kurun waktu
tertentu. Semua itu tergantung pada kaidah ilmiah yang berlaku di masyarakat
tersebut.
Berdasarkan pandangan Kuhn,
perkembangan ilmu pengetahuan secara revolusioner bisa terjadi bila ada
peralihahan dari satu paradigma ilmu pengetahuan ke paradigma ilmu pengetahuan
lainnya yang lebih mumpuni. Di mana di dalamnya juga diselingi oleh paradigma
“Ilmu Normal” sebagai ilmu yang “sementara” mapan sebagai penjaga peradaban di
zaman atau periodenya. Untuk lebih jelas dan detailnya pembahasan, maka penulis
paparkan tahap-tahap perkembangan menurut Kuhn sebagai berikut:
1. Fase pra-paradigma, pada tahap
ini perkembangan ilmu pengetahuan berada pada episode cukup lama. Di mana
penelitian keilmuan dilakukan tanpa arah dan tujuan tertentu. Pada episode ini,
muncul berbagai aliran pemikiran yang saling bertentangan konsepsinya tentang
masalah-masalah dasar disiplin ilmu dan metode apa yang cocok digunakan untuk
mengevaluasi teori-teori.
2. Fase Ilmu normal, pada masa ini
mulai muncul salah satu aliran pemikiran (teori) yang kemudian mendominasi
disiplin ilmu lainnya. di mana “teori” ini menjajikan pemecahan masalah yang
lebih handal dan bisa terciptanya masa depan ilmu yang lebih maju.
3. Fase Anomali dan Krisis, pada
periode ini baik secara praktik ilmiah maupun teoritis ilmu pengetahuan yang
ada tidak mampu lagi untuk diandalkan dalam memecahkan masalah yang baru.
Kemudian, tatkala masalah yang begitu sulit dan tidak dapat dipecahkan membuat para ilmuwan menemui jalan buntu.
Dari situ muncullah krisis dalam masyarakat ilmiah tersebut. Mereka mulai
meragukan paradigma yang telah ada selama ini. Pada titik jenuh, muncullah
ilmuwan yang saling bersaing satu sama lain untuk memecahkan masalah “krisis”
yang mereka hadapi. Dari situ, ilmuwan yang mampu menemukan ilmu atau
teori-teori yang digunakan dan diakui oleh komunitas ilmiahlah yang akan
menjadi paradigma baru dalam ilmu pengetahuan.
4. Fase munculnya paradigma
baru, di sini ilmuwan sudah mampu memecahkan masalah “krisis” yang dihapadapi
pada fase sebelumnya. Awalnya sebagian komunitas ilmiah tidak menerima
(meragukan) paradigma baru ini. Akhirnya, karena bermanfaatnya paradigma baru
itu maka perlahan-lahan paradigma baru tersebut diterima.
Agar
lebih mudah dalam memahami tahap-tahap perkembangan ilmu pengetahuan menurut
Khun, maka perlu diuraikan dalam gambar berikut ini:
Pr Pr Pr Pr Pr Pr
Keterangan:
P1 : Paradigma awal yang
diterima
IN : Ilmu-ilmu normal
An : Penyimpangan (anomali)
Kr : Krisis (kegagalan P1 dalam menjelaskan
secara tetap mengenai penyimpangan
(Anomali)
Rev : Menyangsikan P1 sehingga
menemukan gagasan baru
P2 : Paradigma baru, diharapkan mampu
menyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh P1
Pr : Periode (masa)
Gambar 2.2 Tahap-tahap
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Thomas. S. Kuhn
Dari gambar tersebut dapat
disimpulkan bahwa untuk mengganti paradigma lama ke paradigma baru diperlukan
beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui. Meskipun –seperti dalam pembahasan
sebelumnya–dalam setiap tahapan
(periode) pada kasus paradigma tertentu masing-masing berbeda masa “prosesnya.”
Inilah yang berarti bahwa ilmu pengetahuan terikat oleh waktu atau tahapan
(waktu/periode). Artinya, proses “pergeseran” dari satu periode ke periode lain
akan menentukan proses perkembangan ilmu pengetahuan.
C.
Paralesasi Revolusi Ilmu
Pengetahuan Milik Kuhn dengan Reintrepretasi Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
a.
Aspek Proses
Pembelajaran PAI
Dalam
pelaksanaan proses pembelajaran perlu adanya desain ulang. Di mana bila
dikaitkan dengan konsep Kuhn, salah satu contohnya guru dapat merangsang
muridnya dengan menunjukkan data-data “anomali.” Dari data tersebut diharapkan
guru mampu mengubah paradigma (nilai kehidupan, mental, dan kognisi) peserta
didik ke arah yang lebih baik. Asumsinya, selama peserta didik tidak mau merubah
paradigmanya (merevolusi) ke arah yang lebih unggul, maka tingkat
pengetahuannya akan tetap seperti semula, tidak terjadi perkembangan.
Dengan
demikian, “paradigma” lama peserta didik diguncang bukan dengan cara
pendoktrinan secara langsung. Namun, dengan cara menggunggah peserta didik bisa
menemukan sendiri solusi dari anomali yang diajukan. Khawatirnya, bila
diguncang dengan cara pendoktrinan secara langsung bisa jadi perseta didik atau
orang tuanya akan menentang “doktrin” tersebut. Kendati demikian, tidak serta
merta peserta didik diberi kebebasan untuk menemukan “kebenaran” secara
liberal. Bagaimanapun otoritas guru untuk mendoktrin harus tetap ada.
Tergantung pada jenjang pendidikannya dan latar belakang kehidupan peserta
didik.
b.
Aspek
Reintrepretasi Ayat Kauliyah dalam Pembelajaran PAI
Agama
Islam merupakan agama yang benar dan sempurna. Oleh sebab itu, tak seorangpun
bisa mengadakan pembaruan terhadap ajaran (teks) Islam. Akan tetapi yang perlu
diperbarui adalah “paradigma” manusia terhadap agama. Serta bukan dinamika al
Quran yang harus digugat untuk menghadapi perkembangan zaman. Namun dinamika
umat Islam dalam memahami teks al Quranlah yang harus dimulai dan terus-menerus
dilakukan sepanjang zaman.
Hal
tersebut hampir sama maksudnya dengan pandangan Kuhn, bahwa “kunci utama
perubahan revolusioner ini ada pada metodologi. Alam tidak terlalu berubah
namun metode pencarian penjelasan akan gejala alam kadang-kadang revolutif.”
Dengan kata lain bukan teks al Qurannya yang dirubah. Namun metodologi dalam
memahami teksnya yang harus dirubah (direvolusi).
Berdasarkan
pemaparan di atas, ketika dalam proses pembelajaran ditemukan “anomali”
(keganjilan) dari paradigma manusia tentang isi al Quran maka perlu diadakan
reintrepretasi terhadap teksnya. Bagaimanapun, tafsir merupakan ilmu, sebagaimana
dengan ilmu lainnya. Walaupun tak dapat dinafikkan bahwa konteks dan kualitas “perumusnya” tentu
berbeda. Proses tersebut dilakukan agar pembelajaran PAI bisa kontekstual dan
memiliki nilai praktis bagi masyarakat. Serta tentunya agar PAI tidak dicap
bertentangan dengan ilmu pengetahuan lain.
c.
Aspek
Penggunaan Ayat Kauniyah dalam Pembelajaran PAI
Ayat
Kauniyah adalah ayat-ayat di luar teks al Quran sebagai tanda Kemaha Besaran
Allah SWT sekaligus pembenar kandungan al Quran yang sebagiannya bersifat
mungkin untuk dikembangkan. Bisa berbentuk benda (zat/materi), peristiwa, dan
mekanisme. Manusia wajib bertafakur terhadap
sebagiannya dengan akal.
Dengan demikian, materi pembelajaran PAI sebenarnya tidak hanya berhenti pada
aspek normatif dan doktrin ajaran agamanya saja. Namun, bagaimana menjadikan
peserta didik mampu memahami, menghayati, dan memanfaatkan alam ini menjadi
lebih baik. Yakni, dengan cara pengembangan ilmu pengetahuan yang muaranya bisa
terciptanya produk yang berguna bagi kehidupan manusia.
Sebagaimana
menurut “paradigma” Kuhn seperti pembahasan sebelumnya bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan itu tidak pernah bisa lepas dari nilai. Termasuk di dalamnya nilai-nilai
agama, sosial, dan kemanusiaan. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak bisa berdiri
sendiri. Nilai tersebut memiliki peran yang sangat signifikan dalam menentukan
arah perkembangan ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan, tanpa adanya unsur nilai
maka kehadiran ilmu pengetahuan akan hampa tanpa makna. Adanya hanya kepuasaan,
kesenangan, dan kehidupan yang semu. Bahkan bila terus-menerus dibiarkan akan
berujung pada bencana kehidupan manusia.
Pernyataan
tersebut diperkuat oleh pemaparan Nurcholis Madjid bahwa penggunaan ayat-ayat
Allah yang kauliyah beserta kauniyah perlu dipahami dan diberi intrepretasi
sesuai dengan kenyataan terkini. Dengan intrepretasi beserta reintrpretasi
tersebut menjadikan agama mampu dan sejajar atau bahkan posisinya lebih tinggi
dan teratas dalam berdialog dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
BAB
III
Kesimpulan
Dari semua pembahasan sebelumnya dapat simpulkan
bahwa gagasan “paradigma” juga “revolusi” ilmu pengetahuannya telah membuka
jalan lebar bagi segala macam ilmu untuk ikut serta dalam pengembangan diri.
Bagaimanapun, Allah SWT telah memberikan dan menunjukkan berbagai “fenomena”
kehidupan, sehingga tugas ilmuwan adalah “membuat” teorinya. Termasuk di
dalamnya “ilmu” Pendidikan Agama Islam yang selama ini dianggap sebagai ilmu
dogmatis yang tidak dapat dianggap (tidak memenuhi syarat) sebagai ilmu
pengetahuan.
Ilmu Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu
“alat” agama Islam untuk mengembangkan ajarannya perlu diinovasi dan
diperbarui. Yakni, dengan cara reintrepasi atau penafsiran ulang terhadap
sebagian “paradigma” lama yang dipandang sudah tidak mampu lagi memecahkan
masalah kekinian. Dengan kata lain, bila melihat konteks kehidupan masyarakat
sekarang ini kebutuhan terhadap revolusi perkembangan ilmu pengetahuan
Pendidikan Agama Islam merupakan kebutuhan.
Ide-ide Kuhn tersebut memang di satu sisi oleh
kalangan positivistik tidak bisa dikatan ilmiah. Namun, berkat ide-ide yang
cermelangnya tersebut, Khunian bisa menyentuh konteks masyarakat yang tidak
bisa dijangkau oleh kaum positivistik. Misalnya, apakah kaum positivistik bisa
menyentuh aspek sosiologis, psikologis, dan kepercayaan yang menancap kuat pada
suatu fenomena secara tepat dan mendalam. Selain itu dari gagasan Khun
tersebut, sebenarnya ilmuwan diajak untuk berfikir kritis. Di mana dengan sikap
kritis itu kemungkinanan besar intesites perkembangan ilmu pengetahuan akan
berjalan dinamis sesuai zamannya.