Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Titik Singgung Pendidikan Agama Islam dengan Paradigma Pendidikan Inklusi (Anak Berkebutuhan Khusus)

Anda bisa download Jurnal ilmiah berjudul TITIK SINGGUNG PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DENGAN PARADIGMA PENDIDIKAN INKLUSI (ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS) di sini 


Nama Jurnal               :  Al Makrifat: Jurnal Kajian Islam
ISSN                             :  2503 - 0701
Penulis                          :  A. Rifqi Amin
Identitas Jurnal           :  Vol. 1 No. 1 April 2016, hlm: 1-98, Pasuruan
Halaman Artikel Ini   :  1-16


TITIK SINGGUNG PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DENGAN PARADIGMA PENDIDIKAN INKLUSI
(ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS)

A. Rifqi Amin


ABSTRAK
Pendidikan inklusi di Indonesia sekarang ini merupakan sebuah kebutuhan. Yakni, pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang merata untuk semua golongan, dan pendidikan yang mengintegrasikan perbedaan. Terlebih lagi, dalam konteks Pendidikan Agama Islam (PAI) paradigma pendidikan tersebut dapat digunakan sebagai upaya untuk membangun budaya unggul. Yakni, budaya yang mengoptimbalkan seluruh sumber daya manusia yang ada dalam menyukseskan pembangunan bangsa tanpa mendiskriminasikan salah satu golongan pun. Bagaimanapun, PAI sebagai salah satu wadah kaderasisasi umat Islam berperan penting dalam pengembangan pendidikan inklusi tersebut. Mengingat, selama ini PAI dituding masih mengabaikan begitu saja generasi Islam yang dikategorikan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Oleh sebab itu, tulisan ini mencoba menawarkan salah satu jawaban atas keraguan tersebut. Salah satunya kecurigaan tentang nihilnya nilai-nilai inklusif dalam ajaran Islam.

Kata Kunci: Titik Singgung, Pendidikan Agama Islam,  Pendidikan Inklusi

Pendahuluan
Kajian tentang “pendidikan inklusi”[1] pada zaman modern ini merupakan sebuah tuntutan dan tanggung jawab kemanusiaan bersama.  Hal ini karena segala ilmu (psikologi, sosiologi, biologi, dan sebagainya), sarana, prasarana, biaya, dan penunjang lainnya yang terkait dengan pelaksanaan serta kesuksesan pendidikan inklusi tersebut sudah cukup mumpuni untuk mendukung bahkan begitu mudah untuk diperoleh. Di tambah lagi, banyak sekali tuntutan dari berbagai organisasi atau kelompok penegak nilai-nilai “kemanusiaan” yang mendorong pemerintah maupun masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan untuk mengadakan pendidikan inklusi[2] secara merata. Dampaknya, secara lambat laun telah terjadi kesamaan visi sampai persamaan paradigma antar berbagai elemen tersebut, sehingga menyebabkan wacana dan budaya pendidikan inklusif telah berkembang signifikan pada akhir-akhir ini. Misalnya, anak penyandang kelainan atau berkebutuhan khusus tidak boleh didiskriminasikan dalam memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas[3] sehingga tidak mencederai rasa kemanusiaannya.
Kendati demikian, masih ada anggapan atau bahkan paradigma tertentu. Yakni, yang menganggap bahwa peserta didik berhak dikatakan sebagai “manusia” bila memenuhi syarat atau standar tertentu, sehingga bisa dikatakan dikategorikan sebagai yang “normal”. Baik kenormalan secara fisik maupun mental. Dengan asumsi, untuk mencapai standar kenormalan tertentu maka peserta didik harus memenuhi syarat keumuman manusia.[4] Bila tidak memenuhi standar itu maka ia harus dipisahkan dari golongan manusia “normal”[5] meskipun kenyataannya ia punya potensi untuk berprestasi dalam bidang tertentu. Bahkan, dimungkinan bisa melebihi peserta didik yang “diberlakukan” secara normal sekalipun.[6] Dapat dikatakan, tindakan seperti itu merupakan pendiskriminasian terhadap orang-orang yang disebut-sebut berada di luar wilayah normal. Baik pendiskriminasian secara psikologis (menolak karena alasan iba, kasihan, jijik, takut, memandang rendah, dll), sosiologis (dikhawatirkan mengganggu atau merusak tatanan sosial, difonis sebagai patologi sosial, sebagai sumber kesialan, dll)[7], pedagogis (dikhawatirkan menganggu kegiatan pembelajaran, butuh penanganan khusus, butuh dana tambahan, dll), biologis (takut ketularan penyakit/virus/kuman dan membuang-buang tenaga karena pendidik akan lebih cepat lelah atau capek dalam mendidiknya), dan sebagainya. Inilah yang penulis sebut sebagai sekolah “pemisahan” atau biasa dinamai dengan sekolah ekslusi. Yakni, memisahkan antara masyarakat (peserta didik) “normal” dengan masyarakat atau peserta didik yang “tidak normal”.
Di sisi lain, tak dapat dipungkiri adakalnya anak berkelainan merupakan manusia yang butuh perawatan dan penanganan khusus. Seringkali dibutuhkan perlakuan yang berbeda. Bahkan, bisa jadi pelayanan dan fasilitas proses pendidikannya melebihi apa yang diberikan pada anak normal. Di tengah kenyataan yang “berbeda” itu bukan berarti mereka harus dibedakan haknya, disingkirkan, dimatikan kreatifitasnya, dilarang untuk berinteraksi dengan manusia “normal”, dan penanganan terhadapnya dianggap sebagai sesuatu kesia-siaan (kemustahilan). Bagaimanapun, mereka adalah aset masyarakat dan bangsa yang harus dikembangkan. Bukan suatu kemustalihan bila mereka diperlakukan dengan tepat (layak dan konsisten) keberadaan mereka kelak di masyarakat akan jauh lebih bermanfaat. Hal tersebut bilamana dibandingkan dengan mentelantarkan atau menyingkirkan mereka. Oleh karena itu, segala apa yang ada pada mereka senantiasi diterima sebagai kenyataan yang harus diperlakukan sama seperti individu lainnya. Bukan malah dibinasakan dengan perlahan-lahan terlebih lagi secara masif.
Dalam konteks PAI, selama ini sistem pembelajaran (tujuan, materi, strategi, evaluasi, dan sebagainya) pada umumnya masih banyak ditujukan untuk anak-anak yang “normal” saja. Yakni, peserta didik yang dianggap mampu untuk menerima dan melaksankan amanah (tujuan) PAI guna diimplementasikan di masyarakat kelak. Bagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus (utamanya anak berkelainan) tidak berhak untuk menerima amanah ini. Bisa dikatakan, mereka cukup hanya diajari rukun Islam dan rukun iman untuk dipraktekan bagi mereka sendiri. Meski kegiatan tersebut belum bisa dipraktikan secara optimal. Yakni, supaya mereka bisa menerapkan bagaimana cara sholat untuk anak yang tidak bisa berdiri atau tidak bisa berjalan, bagaimana cara mengaji bagi anak yang buta, bagaimana cara wudu bagi anak yang tak punya tangan, dan sebagainya. Mereka tidak diajari atau diberi kesempatan bagaimana cara mengaktualisasikan diri di masyarakat, bagaimana cara diri mereka mengembangkan diri agar bisa beramanfaat bagi masyarakat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pemberdayaan dan pengembangan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)[8] masih sangat kurang di dalam PAI.
Kekurangan semacam itu bisa jadi karena memang pendidik PAI tidak dibekali ilmu untuk menangani ABK secara tepat. Serta bisa juga karena fasilitas dan layanan bagi ABK di lembaga pendidikan tersebut tidak begitu diperhatikan oleh pihak lembaga pendidikan sehingga pendidik PAI pun ikut serta mengabaikan keberadaan mereka. Namun demikian, meski di tengah keterbatasan tersebut seharusnya pendidik PAI tetap bersemangat dan berparadigma bahwa para ABK memiliki hak dan layananan yang sama dengan anak normal. Dengan kata lain, pendidik PAI harus menjadi teladan dalam menyukseskan proses pendidikan inklusi. Yakni, salah satunya dengan cara menanamkan nilai-nilai inklusifitas terhadap peserta didik normal. Hal itu supaya, mereka tetap berinteraksi secara “normal” (alami tanpa dibuat-buat) dengan peserta didik lain yang memiliki status ABK.
Selama ini masih banyak perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pendidik baik secara langsung (mencela) maupun tidak langsung (tidak memperhatikan kelebihan dan kelemahan, bukan karena sengaja tapi karena keterbasan danan, sarana, prasaran, maupun minimnya SDM) telah menyederai kenyataan heterogenitas masyarakat. Anak berkebutuhan khusus juga bagian masyarakat yang berhak secara langsung dan sadar untuk mewarnai perkembangan budaya masyarakat. Oleh karena itu, dalam karya tulis ini penulis berusaha memberikan sebuah tawaran konsep filosofis serta paradigma bagi PAI yang diadakan pada sekolah inklusif. Serta bagi lembaga pendidikan yang memiliki tingkat keberagaman peserta didik yang cukup tinggi. Dengan asumsi, semestinya tujuan PAI secara holistik tidak lagi hanya difokuskan untuk anak-anak yang “normal”, tapi juga bagi anak lainnya terutama yang menyandang disabilitas. Sudah saatnya PAI melibatkan ABK bergaul bersama-sama dengan anak yang lainnya dengan berinteraksi dan belajar untuk membentuk pribadi serta kehidupan sosial yang unggul.

Konsep Dasar
1.    Pengertian Pendidikan Inklusi
Kata “inklusi”[9] berasal dari bahasa inggris yaitu inclusion yang berarti “termasuknya, pemasukan, pencantuman.”[10] Dalam kamus bahasa Indonesia kata inklusif berarti termasuk atau terhitung.[11] Secara rinci Geniofam memaparkan bahwa “pendidikan inklusif merupakan layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak-anak sebayanya di sekolah reguler.” Sedangkan menurut Sapon-Shevin sebagaimana dikutip Geniofam menyatakan bahwa pendidikan inklusif ialah sistem layanan pendidikan yang mewajibkan anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar di lembaga pendidikan terdekat di kelas biasa (reguler) berasama teman-teman seusianya. Di mana, sekolah ini menampung semua murid di kelas yang sama. Serta menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, akan tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik.[12]
Pengertian di atas hampir sama menurut Smith yang mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai berikut:

Pendidikan inklusif ialah program pendidikan yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, termasuk di dalamnya siswa yang berkelainan. Pendidikan inklusif tidak hanya membicarakan anak berkelainan, tetapi membicarakan semua siswa yang belajar di mana mereka masing-masing mempunyai kebutuhan belajar yang berbeda-beda.[13]


Lebih dari itu, penjelasan yang tegas dan aplikatif telah dinyatakan dalam Permendiknas No. 70 tahun 2009 Pasal 1 bahwa:

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. [14]

Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap lembaga (terumata yang ditunjuk secara resmi sebagai pelaksana pendidikan inklusi) dituntut untuk menyesuaikan kurikulum, sarana-prasarana, sistem pembelajaran, dan sebagainya yang disesuaikan dengan kondisi peserta didik. Mengingat, program layanan pendidikan inklusi belum banyak diketahui oleh masyarakat maka dibutuhkan promosi yang ekstra. Lebih lanjut, beberapa pemikiran yang mendasari diterapkannya pendidikan inklusif antara lain:

1. Semua anak memiliki hak yang sama untuk tidak didiskriminasikan dan memperoleh pendidikan yang bermutu; 2. Semua anak mempunya kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan dan kecacatannya; 3. Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi semua anak; 4. Sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespons dari kebutuhan pembelajaran yang berbeda; [15]


Lebih detail, masih menurut Geniofam bahwa penempatakan anak berkebutuhan khusus dalam sekolah inklusif dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, antara lain:
1.        Kelas Reguler; pada model ini, ABK belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari tanpa batas di kelas regular dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2.        Kelas Regular dengan Cluster; dengan model ini, anak berkelainan belajar bersama anak lain di kelas regular dalam kelompok belajar khusus.
3.        Kelas Regular dengan Pull Out; ABK belajar bersama dengan yang lain di kelas regular, namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas tersebut ke ruang sumber untuk belajar bersama pendidik pembimbing khusus.
4.        Kelas Regular dengan Cluster dan Pull Out; dalam model ini, ABK belajar bersama anak lain di kelas regular dalam kelompok khusus. Dalam waktu-waktu tertentu mereka ditarik dari kelas regular menuju ruang sumber untuk belajar dengan pendidik pembimbing khusus.
5.        Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian; ABK belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular. Namun, dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6.        Kelas Khusus Penuh; pada model ini, anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus (kelompok khusus) pada sekolah regular.[16]
Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sekolah inklusi ialah lembaga pendidikan yang berusaha membentuk karakter, kecerdasan, dan keutuhan manusia melalui pembelajaran yang terbuka untuk semua kalangan yang berbeda-beda latar belakang kemampuan fisik dan kecerdasannya di lembaga pendidikan yang ditunjuk oleh pemerintah. Hal ini sebagaimana penjelasan Santoso bahwa sekolah inklusif yang mampu menjalankan metode pembelajaran dan pengajaran pendidikan inklusi diharapkan bisa mengakomodasi berbagai jenis keberagaman. Dengan demikian, tidak ada lagi pola eksklusivitas (pengkususan) dalam penyelenggaraan pendidikan. Bagaimanapun, penyelenggaan pendidikan yang mengkotak-kotakan (pembagian segementasi) peserta didik secara dikotomis dapat menghambat proses interaksi. Implikasinya, tidak mustahil bila hal itu dapat tertanamnya sifat pendiskriminasiaan terhadap sesama. Selain itu, bagi peserta didik yang didiskriminasikan maka kedudukannya mereka akan semakin kokoh dalam terpinggirkannya (teraleniaisasi) dari dinamika sosial kemasyarakatan.[17]

2.    Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus atau biasa juga disebut anak luar biasa[18] menurut Geniofam ialah:

Anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik. Anak berkebutuhan khusus terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat [cerdas istimewa], dan anak dengan gangguan kesehatan. Anak berkebutuhan khusus ini sering disebut sebagai anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristiknya tersebut anak berkebutuhan khusus memerlukan bentuk layanan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka.[19]

Dari pernyataan itu dapat disimpulkan bahwa pemberian “status” Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak selalu ditujukan pada anak yang mengalami kelainan mental,[20] ketidakmampun mengontrol emosi, dan terjadinya kelainan fisik. Anak yang memiliki bakat (kecerdasan) istimewa tertentu juga bisa digolongkan dalam katagori anak semacam ini. Bisa dikatakan, ABK merupakan anak yang punya karaktersitik khusus. Yakni, keadaan yang menjadikan mereka berbeda dengan anak pada umumnya.  Istilah lain dari ABK ialah anak luar biasa[21] serta anak penyandang cacat. Seiring berkembangnya waktu, sebagai upaya pemberdayaan mereka maka dibuat istilah different abilities people (difabel). Yakni, seseorang yang mempunyai kemampuan berbeda.[22]
Lebih lanjut, dengan karakteristik khusus dan hambatan yang dimilikinya, maka ABK membutuhkan suatu layanan[23] pendidikan khusus.[24] Di mana, pola pembelajaran mereka disesuaikan dengan kemampuan dan potensi masing-masing individu. Misalnya, bagi tunanetra dibutuhkan teks bacaan dari tulisan Braille dan penyandang tunarungu membutuhkan kemampuan bahasa isyarat untuk komunikasi. Adakalanya, dalam tingkat (kualitas) ketunaan tertentu maka ABK perlu untuk mengikuti program pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Dengan klasifikasi “SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras, dan SLB bagian G untuk cacat ganda.”[25] Dengan demikian, seharusnya ABK tidak hanya dituntut oleh pendidik untuk mengoptimalkan kelebihannya yang dimilikinya akan tetapi segala kelemahannya juga harus diterima. Serta mereka diberi kesempatan seoptimal[26] mungkin untuk meminimalisir kelemahannya melalui pendidikan inklusi.
Sebagai media untuk memudahkan pemahaman maka perlu penulis gambarkan tentang “posisi” anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusi sebagai berikut:



Gambar: 1 Identifikasi keberagaman anak dalam pendidikan inklusi

Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus tetap harus “dibedakan” dalam arti pendekatan dan perhatiannya (butuh penangan khusus) pada pendidikan inklusi. Mengingat, mereka memiliki kondisi[27] yang berbeda dibanding anak yang normal. Begitu pula sebaliknya anak yang tidak berkebutuhan khusus (anak pada umumnya) harus diberi pengertian bahwa sebagai yang mayoritas mereka harus bisa lebih mengayomi dan memahami keadaan ABK. Segala potensi (kelebihan) dari ABK harus mereka apresisasi dan segala kelemahannya harus diterima bersama. Oleh karena itu, sebagaiamana menurut Smith, semua pendidik harus mempunyai paradigma yang sama dalam memandang peserta didik yang mempunyai kesulitan (hambatan) maupun kemudahan (kecepatan dalam memahami yang tinggi). Yakni, salah satunya bahwa layanan pendidikan untuk mereka merupakan hak dan tanggung jawab bersama semua pendidik.[28]
Masih mengacu dari gambar di atas, maka penulis dapat membagi anak berkebutuhan khusus menjadi dua kategori yaitu:
a.    Anak yang punya kesulitan atau hambatan (disability)
Faktor penyebab terjadinya kelainan (hambatan) pada anak penyandang disability[29] dari masa (proses) terjadinya secara umum dapat diklasifikasikan pada saat sebelum kelahiran (pranatal), pada saat kelahiran (neonatal), dan setelah kelahiran (postnatal).[30] Salah satu contoh konkritnya menurut Hallahan & Kauffman sebagaimana dikutip Efendi bahwa mengkonsumsi alkohol secara berlebihan berpengaruh terhadap kelahiran bayi yang disertai kelainan fisik maupun mental (tunagrahita).[31] Adapun dalam konteks Indonesia, anak yang mempunyai gangguan perkembangan (kesulitan atau hambatan) yang telah diberikan layananan antara lain sebagai berikut:
1)   Tunanetra; khusus untuk anak buta total (totally blind) kegiatan belajar dilakukan dengan metode “rabaan.” Di mana, kemampuan indera raba anak sangat ditonjolkan untuk menggantikan indera penglihatan.
2)   Tunarungu-wicara; memiliki hambatan dalam mendengar dan berkomunikasi lisan.
3)   Tunagrahita; punya masalah kesulitan belajar karena mengalami hambatan perkembangan kemampuan di bidang kecerdasan, mental, emosi, sosial, dan fisik.
4)   Tunadaksa; berdasarkan analisis medis dinyatakan mengalami kelainan (gangguan) pada tulang, persendian, dan saraf penggerak otot pada tubuhnya. Akibatnya, ia membutuhkan layanan khusus terutama pada bidang gerak anggota tubuhnya.
5)   Tunalaras (maladjustment), memiliki perilaku yang bertentangan dengan normal sosial. Sering membuat onar secara berlebihan dan cenderung mengarah pada tindakan kriminal.
6)   Autistik, memiliki ketidakmamuan dalam berbahasa, intelektual, dan fungsi saraf yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak.
7)   ADD-H (Attention Deficit Disorder with Hyperactive); Hiperaktif bukan merupakan suatu penyakit akan tetapi suatu  “gejala” (symptom). Hal ini muncul disebabkan karena adanya kerusakan pada otak, kelainan emosional, kurang dengar, dan tunagrahita.
8)   Kelainan belajar (learning disabilitiy/specific learning disability); memiliki prestasi yang rendah dalam bidang akademik tertentu seperti baca-tulis-hitung (calistung). Kondisi ini disebabkan oleh hambatan persepsi (perceptual handicaps), luka pada otak, sebagian otak tidak berfungsi, disleksia, dan afasia perkembangan (developmental aphasia)
9)   Tunaganda (mulihandicapped and developmentally disabled children); memiliki hambatan perkembangan neurologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan kemampuanan pada bidang kecerdasan, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi di masyarakat. Kasus seperti ini membutuhkan layanan-layanan pendidikan khusus dengan modifikasi metode secara khusus.[32]

b.    Anak yang berbakat (cerdas istimewa)
Yang dimaksud dengan anak berbakat ialah individu yang mempunyai bakat istimewa di bidang intelektual, seni, olah raga, dan keterampilan tertentu. Di mana, salah satu ciri atau sifat[33] anak yang berbakat di bidang intelektual mempunyai kemampuan berpikir yang istimewa, cerdas, dan kreatif dalam berpikir maupun bertindak. Selain itu ia juga cepat dan tepat dalam memecahkan masalah baik yang sederhana hingga yang kompleks, sehingga tak pelak ia memiliki perstasi belajar yang gemilang di sekolahnya. Dengan catatan bahwa persetasi tersebut dicapai dengan sedikit latihan atau bahkan tanpa latihan khusus oleh pembimbing yang ahli.[34] Secara detail, peserta didik yang punya potensi kecerdasan dan bakat istimewa serta membutuhkan pendidikan khusus ialah meliputi: memiliki kecerdasan yang luar biasa, memiliki kreativitas yang luar biasa, memiliki bakat seni atau olah raga yang luar biasa, dan gabungan dari beberapa jenis di atas.[35]
Ada beberapa aspek dari definisi dari anak berbakat yang perlu digarisbawahi, yaitu:
1)   Terdapat jenis bakat yang dimiliki individu seperti kepemimpinan, kreatifitas, seni darma, dan visual. Beberapa contoh tersebut merupakan dari bagian bidang keterbakatan (bidang prestasi) meski adakalanya hal itu tidak dibarengi dengan kemampuan akademik umum yang tinggi.
2)   Istilah kapabilitas lebih cocok digunakan bagi mereka sebagai pengakuan bahwa beberapa peserta didik boleh jadi punya potensi berbakat yang belum muncul sehingga perlu dibimbing dan didorong terlebih dahulu.
3)   Bimbingan dan dorongan pendidikan perlu ditekankan pada mereka supaya dapat memunculkan potensinya yang merupakan suatu persoalan untuk mendapatkan pendidikan khusus seperti peserta didik berkesulitan belajar (learning disabilities) atau beberapa pengecualian lain.[36]

3.    Urgensi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Inklusi
Menurut penulis apa yang dimaksud dengan Pendidikan Agama Islam ialah “usaha mengkaji ilmu secara terencana untuk membentuk peserta didik menjadi manusia beriman, serta dengan sadar dan tulus menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan yang sedang atau akan ditempuhnya.”[37] Lebih lanjut, kesadaran tersebut meliputi penerapan nilai ibadah atau penghambaan terhadap Tuhan dengan benar,[38] disertai dengan muatan nilai humanisme (kesetaraan manusia), keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme (nasionalisme),[39] nilai semangat dalam pengembangan diri[40] (ijtihad) maupun pengembangan masyarakat, dan nilai-nilai kedamaian dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik aktif pada pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar dalam pengimplementasian nilai-nilai universalisme ajaran Islam. Tentu nilai tersebut terwujud secara konsisten dengan segenap logika serta alam pikirnya dan alam spiritualitasnya.[41] Sebagaimana pendapat Syukri Fathuddin bahwa hendaknya “... Pendidikan Agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan dapat dikatakan way of life seseorang.”[42]
Definisi di atas bila dikaitkan dengan pembahasan tulisan ini maka hal itu berarti dalam segala lingkungan kehidupan yang peserta didik arungi kelak diharapkan mampu memberdayakan dan mendukung dalam pengembangan kehidupan bangsa. Tidak memedulikan bagaimana kondisi latar belakang peserta didik, suatu lembaga (utamanya yang diberi tanggung jawab pendidikan inklusi) harus menerima segala kelemahan sekaligus kelebihan mereka.
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan, PAI hakikatnya secara duniawi muatan aksiologinya (kegunaan) tidak hanya ditujukan bagi umat Islam sendiri. Akan tetapi juga untuk seluruh umat manusia lainnya. Baik umat manusia yang memiliki keterbatasan (disability) maupun yang memiliki bakat istimewa. PAI seharusnya bisa menjadi pengarah dan penyumbang terbentuknya tatanan masyarakat yang inklusif, berperadaban modern, beretika (tidak berpenyakit moral), dan manusiawi. Pada akhirnya, umat Islam bisa menjadi umat yang toleran dan bertenggang rasa. Yakni, menjadi muslim yang kuat sebagai pelindung manusia lain yang lemah. Bisa juga dengan menjadi muslim yang mayoritas untuk pengayom terhadap minoritas dan menjadi muslim yang kokoh sebagai penjaga manusia lain yang rapuh. Sesungguhnya semangat seperti inilah yang telah dicontohkan nabi Muhammad.
Dari penjelasan itu, nampak jelas bahwa PAI sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional sangat memiliki peran penting dalam menyukseskan pendidikan inklusi di Indonesia. Salah satu sebabnya ialah karena misi (tujuan) utama dari penyelenggaran pendidikan inklusi merupakan bagian dari misi PAI itu sendiri. Yakni, sebagaimana menurut penjelasan Santoso bahwa misi pendidikan inklusi ialah terbentuknya tatanan masyasrakat inklusif. Suatu sistem kemasyarakatan yang dibentuk dari spirit saling menghormati dan menjunjung tinggi terhadap fakta keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan.[43]

4.    Dasar Hukum Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Dalam Undang-undang 1945 Amandemen Pasal 28C ayat 1 mengamanatkan“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”[44]
Dari pernyataan tersebut dalam konteks makalah ini, yang menjadi titik penting adalah pernyataan berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya  dan pernyataan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Sesungguhnya, yang dimaksud kebutuhan dasar peserta didik tidak melulu pendidikan secara umum saja. Namun, juga kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan (penghargaan) dan juga diberi kesempatan dalam pengembangan diri sehingga maratabat dan kualitas hidupnya semakin meningkat. Diharapkan, dengan kuliatas diri dan kehidupan yang meningkat bisa membantu terbentuknya kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Dasar hukum lainnya adalah Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1 mengamanatkan bahwa “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Secara rinci pada  pasal 5 ayat 1-4 dikatakan: [45]

(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

Lebih detail dalam Undang-undang Penyandang Cacat No. 4 tahun 1997 dijelaskan bahwa “Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.”[46]
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara hukum pelaksanaan pendidika  inklusi sudah diatur dalam undang-undang. Hal ini tentunya juga bisa menjadi dasar aturan bagi semua mata pelajaran (termasuk PAI) maupun lembagai pendidikan (termasuk lembaga pendidikan berbasi Islam) yang ingin berinovasi melaksanakan pendidikan serta pembelajaran yang bersifat inklusi. Oleh karena itu, siapapun tidak dibolehkan melakukan diskriminasi dan penelantaran terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Walaupun pada kenyataan dan pelaksanaannya ada beberapa kendala yang ditemui. Lebih detail mengenai hal ini akan penulis uraikan dalam pembahasan berikutnya.

5.    Posisi Peserta Didik pada Pembelajaran PAI
Pembelajaran PAI merupakan kegiatan untuk mencerdaskan peserta didik. Oleh karena itu, dalam konteks pembahasan ini hal-hal penting yang perlu diperhatikan sebelum diadakan pembelajaran adalah seperti apa kondisi (latar belakang) peserta didik. Persoalan lain adalah sejauh mana kemampuan pendidik dan institusi pendidikan dalam mengakomodasi keberagaman peserta didik. Serta, bagaimana cara menanamkan nilai-nilai Islam kepada peserta didik sesuai dengan kondisi “keberagaman” mereka.
Sedangkan apabila dikaitkan dengan peserta didik secara langsung, maka paradigma lama tentang peserta didik telah mengalami pergeseran. Di mana sekarang ini setiap peserta didik di pandang punya tingkat kemampuan yang berbeda dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.[47] Selain perbedaan tersebut, peserta didik juga berbeda pada kemampuan fitrah. Asumsinya ada anak yang memiliki kemampuan fitrah dalam bidang melukis akan tetapi lemah dalam kemampuan menari dan olah raga. Ada pula peserta didik yang punya kemampuan membaca al Quran yang sangat baik. Implikasinya, perbedaan pada aspek kejiwaan dan fitrah merupakan hal yang sangat mendasar untuk diketahui dan dipetakan secara pasti oleh pendidik. Di mana peta tersebut dijadikan modal awal dalam merancang kegiatan pembelajaran.[48]
Identifikasi semacam ini menurut penulis dirasa sangat penting. Alasannya, bagaimana mungkin suatu proses pembelajaran membentuk manusia “cerdas” secara efektif dan efisien, bila tidak diketahui terlebih dahulu sejauh mana kemampuan, keterampilan, dan hal-hal (latar belakang) yang mempengaruhi kehidupan peserta didik. Untuk lebih jelasnya maka perlu digambarkan skema di bawah ini:[49]













 










            
   Mazhab      |  Kecerdasan   | Fisik /Tubuh |  Ekonomi   |    Kultur        
    (Organisasi agama)


 



 













Gambar 2: Posisi Peserta Didik dalam Bingkai Pendidikan Agama Islam

Selain dari lima macam keberagaman tersebut, sebenarnya ada keberagaman lain yang cukup signifikan dalam mempengaruhi semangat belajar di lembaga pendidikan. Salah satunya adalah orientasi peserta didik (serta wali murid) dalam upaya menempuh pendidikan di lembaga tertentu yang dipilihnya. Dalam konteks pembelajaran, mengetahui orieantasi peserta didik dirasa sangat penting yaitu sebagai pisau analisa sekaligus upaya pemberian “pendalaman” secara benar terhadap mereka. Bagaimanapun, peserta didik datang ke madrasah atau sekolah tidaklah membawa status “botol kosong.” Namun, sesungguhnya mereka sudah membawa “isi” yang berupa tujuan-tujuan, fanatisme-fanatisme terhadap sesuatu, keterpaksaan, keterampilan-keterampilan (kemampuan fisik dan pikiran), traumatik-traumatik, kebanggaan-kebanggaan, doktrin-doktrin, dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami pula bahwa pembelajaran PAI idealnya bukanlah materi ceramah, materi latihan, dan materi diskusi saja. Melainkan, seni dalam mendoktrin peserta didik agar fanatik dan setia sampai akhir hayat terhadap agama Islam. Dengan kata lain, kegiatan pembelajaran PAI tidak berindikasi “mencegah” atau menghambat “isi” positif peserta didik. Salah satunya dalam pengembangan bakat, potensi, kecerdasan, dan minat yang positif. Oleh karena itu, pendidik bertugas membekali dan memfasilitasi segala konsekuensi dari kelemahan sekaligus kelebihan yang mereka miliki (senyampang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam). Di sinilah terjadi “peningkatan” posisi peserta didik pada proses pembelajaran di kelas.
Dapat dikatakan dalam penerapan teori pendidikan inklusi, sungguh bukanlah perkara mudah dan remeh-temeh. Baik dari segi pemahaman teorinya maupun dari segi penerapannya. Hal itu terumata bila pembelajaran PAI dilakukan dalam lingkungan pendidikan luar biasa (pendidikan khusus atas SLB) terlebih lagi untuk lembaga pendidikan inklusi. Di mana, kondisi pendidikan inklusi baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi psikologi, cara pandang, dan pemahaman peserta didik tentang kehidupan. Oleh karena itu, pendidik bertanggung jawab dalam mengarahkan mereka ke jalur semestinya. Tentu pendekatan yang digunakan untuk melakukan pembimbingan akan berbeda antara peserta didik pada jenjang PAUD, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Titik Singgung Pendidikan Islam dengan Paradigma Pendidikan Inklusi
Selama ini dalam sistem pendidikan, pada praktek di lapangan kebanyakan masih memaknai kecerdasan peserta didik secara terbatas. Yakni, mereka yang dikatakan cerdas ialah yang memiliki keutuhan atau kesempurnaan fisik. Dengan asumsi, dengan kesempurnaan fisik tersebut menyebabkan mereka bisa “belajar” dengan normal. Bisa dikatakan, sekian lama ini baik secara langsung maupun tidak langsung serta secara terbuka dan tertutup telah terjadi pengabaikan hak dan kesempatan bagi ABK untuk hidup bersama secara “wajar” dengan masyarakat umumnya. Bahkan, hal tersebut juga terjadi di lembaga-lembaga pendidikan yang merupakan bagian dari institusi sosial.
Kasus yang bisa saja terjadi ialah adanya diskriminasi pelayanan administrasi, pembelajaran, hingga dijustifikasi di ranah hukum (undang-undang dan peraturan). Anak berkebutuhan khusus (utamanya yang memiliki hambatan) disingkirkan begitu saja dari kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang setara, layak, dan bermutu. Bahkan mereka disingkirkan begitu saja secara “halus”. Yakni, melalui dalih pendidikan khusus dengan mendirikan sekolah-sekolah terpisah seperti Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB diklaim memiliki “fasilitas” yang sama dengan sekolah normal, bahkan memiliki fasilitas yang lebih istimewa. Dapat dikatakan, pendidikan yang seperti itu lebih mengutamakan pada tujuan “keunggulan” institusi pendidikan daripada keunggulan masing-masing peserta didik. Yakni, sekolahan yang lebih mengutamakan “kebersihan” lingkungan dari keberadaan ABK daripada harus memberikan rasa keadilan bagi semua kalangan masyarakat.
Padahal, dalam penyelenggaraan pendidikan formal diharapkan tidak ada lagi sekat sosial atau pembedaan antara ABK dengan masyarakat pada umumnya. Lebih konkrit, supaya sistem pendidikan inklusif terwujud maka setiap orang tua peserta didik dibolehkan untuk mendaftarkan anaknya yang tergolong ABK ke sekolah manapun (terutama untuk sekolah yang layak atau mampu untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi). Dengan metode inklusif itu, diharapkan terdapat peluang terciptanya interaksi sosial antara ABK dan masyarakat umum.[50] Kendati kenyataannya, sering kali cara pandang manusia pada umumnya terhadap ABK yang memiliki keterbatasan ialah meng-underestimate (meremehkan) tanpa melihat kelebihan-kelebihannya. Bahkan, tidak segan untuk me-judgment mereka sebagai individu yang tidak mampu berbuat sesuatu, sehingga membutuhkan bantuan orang lain, sekalipun itu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Sebaliknya, untuk ABK yang memiliki bakat istimewa maka mereka akan memuja-mujanya tanpa melihat sisi kelemahan-kelemahannya.
Paradigma pendidikan eksklusi seperti di atas merupakan paradigma lama yang harus ditinggalkan. Hal itu, karena sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia sudah berkembang pesat. Dengan segala fasilitas dan ilmu yang ada, bukan menjadi alasan lagi bagi sekolah-sekolah reguler (dalam jumlah tertentu) untuk menolak anak berkebutuhan khusus. Selain itu, untuk menghadapi masalah kehidupan yang semakin kompleks di zaman seperti sekarang ini maka penggunaan paradigma pendidikan inklusif merupakan suatu kebutuhan. Manusia “normal” tidak lagi boleh menyingkirkan ABK dari kehidupan masyarakat. Meskipun sedikit, kelebihan dan kemandirian dari ABK akan sangat bermanfaat bagi kehidupan ini. Dengan falsafah bahwa pendidikan inklusi ingin membentuk masyarakat beragam yang saling membantu dan mengasihi satu sama lain. Tanpa harus meremehkan kemampuan[51] satu sama lain. Harapan selanjutnya ialah pendidikan tanpa diskirminasi dan pendidikan untuk semua bisa terselenggara dengan optimal.
Pada tahapan selanjutnya, tidak PAI sebagai wadah kaderisasi umat Islam tidak boleh memaksakan ABK untuk menuju wilayah “normal”. Baik ABK yang dikategorikan memiliki keterbatasan fisik dan mental maupun yang memiliki kelebihan fisik dan kecerdasan. Bagaimanapun mereka memilik wilayah dunia tersendiri yang cocok bagi karakteristik mereka masing-masing. Begitu pula anak normal memiliki “dunia” sendiri sehingga tidak boleh dipaksakan untuk turun ke bawah atau meluncur ke atas. Dengan kata lain, mereka semua memiliki kecerdasan dan kekuatan fisik yang berbeda. Oleh sebab itu, kemampuan berfikir dan kemampun fisik mereka tidak boleh disamakan. Kendati demikian, dalam kehidupan sosial (utamanya dalam berinteraksi) saat dilingkungan sekolah antara ABK dengan yang bukan ABK tidak boleh dipisahkan. Mereka tetap diharuskan berinteraksi satu sama lain tanpa harus dikategorikan (didiskriminasikan) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing.
Lebih lanjut menurut Amin Abdullah, sebagimana dikutip Rossidy bahwa dalam perkembanan zaman tantangan-tantangan baru masih akan terus bermunculan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Termasuk isu-isu kemanusian universal, pluralisme, keagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan hidup adalah di antara persoalan kontemporer yang perlu mendapat perhatian serius dalam konteks pendidikan agama.”[52] Dengan demikian, pendidikan inklusi yang di dalamnya juga ada nilai yang bersinggungan dengan nilai-nilai Islam bukan sesuatu yang sepenuhnya bertentangan dengan PAI. Dengan demikian, PAI sebagai wadah pengkaderan seluruh umat Islam mesti mengetahui seluruh permasalahan yang dimiliki oleh ABK. Permasalahan ini perlu diketahui agar dalam membangun paradigma PAI tidak dilakukan secara parsial. Di antarnya beberapa problema yang dihadapi ABK menurut penulis adalah:
1.    Tidak adanya bimbingan spiritual, afektif, keterampilan, dan kognitif secara intens serta berkelanjutan.
2.    ABK tidak diberi kesempatan untuk menyesuaikan, mengembangkan, dan mengaktualisasikan diri di tengah-tengah perbedaan.
3.    Kurangnya motivasi, baik secara internal seperti merasa minder, merasa bersalah, dan tidak telaten. Maupun faktor eksternal seperti mendapat ejekan, menjadi pusat perhatian “negatif”, dan pendiskriminasian hak.
4.    Terlalu dimanja (dibebaskan), di mana pendidik menuruti semua kemauan ABK agar mereka bisa menemukan sendiri dunia bahagianya.
5.    Pendidik terlalu menggunakan teori Barat dalam melayani ABK, padahal  kondisi wilayah (latar belakang peserta didik) sangat berbeda dengan apa yang ada di barat.
6.    Paradigma masyarakat bahkan paradigma pelaku pendidikan (utamanya pendidik) masih berada pada level paradigma “keterpisahan,” bahkan masih berada pada level paradigma mistis (penuh mitos dan tahayul). Asumsinya, para ABK dipandang sebagai sesuatu yang berbeda (asing) dan mereka dianggap telah memperoleh kutukan (karma) oleh karena itu “wajar” bila harus dijauhi.
Berangkat dari permasalahan itu, maka diperlukan persyaratan khusus bagi lembaga yang ingin melaksanakan pendidikan inklusi. Menurut Schultz mengemukakan 10 kategori utama terkait kesiapan yang menjadi prasyarat bagi sekolah yang ingin lebih ramah dan inklusif. Diantaranya ialah:
1.        Sikap (attitudes); pendidik dan seluruh SDM di lembaga harus meyakini bahwa program inklusi yang lebih besar akan menghasilkan proses pembelajaran yang mengalami peningkatan bagi semua orang.
2.        Persahabatan (relationoship); persahabatan dan pertemanan antar peserta didik satu sama lain baik dengan hambatan maupun tidak harus dipandang sebagai suatu nilai yang didukung.
3.        Dukungan bagi peserta didik (support for students); harus ada tenaga ahli (khusus) serta sumber daya lain yang bisa memberikan layanan kebutuhan bagi peserta didik yang berbeda di kelas inklusif.
4.        Dukungan untuk pendidik (support for Teacher); kesempatan peningkatan kualitas (kompetensi) salah satunya melalui pelatihan yang akan digunakan dalam menangani keberagaman peserta didik.
5.        Kepemimpinan administratif (administrative leadership); seluruh pejabat (pengelola) beserta staf lembaga pendidik harus antusias dalam mendukung dan memberikan sifat kepemimpinan yang lebih inklusif.
6.        Kuriklum (curriculum); agar peserta didik dapat tertangani dalam meraih presatasi maka kurikulum harus dibuat fleksibel.
7.        Penilaian (assessment); penilaian harus memberikan gambaran akhir setiap peserta didik.
8.        Program dan evaluasi staf (program and staff evaluation); sistem lembaga harus dievaluasi secara menyeluruh terkait pencapaian lingkungan yang inklusif dan ramah bagi semua peserta didik.
9.        Keterlibatan oranguta (paretal involvement); orang tua harus memahami rencana baik dengan hambatan atau tidak untuk membentuk suatu lingkungan inklusif.
10.    Keterlibatan masyarakat (commuity involvememt); masyarkaat harus diberi tahu dan dilibatkan dalam usaha meningkatkan keterlibatan dan diterimanya peserta didik penyandang hambatan dalam kehidupan sekolah. Harapannya, masyarakat juga mau melakukan peneriamaan terhadap mereka.[53]
Selain itu, PAI sebagai basis nilai agama Islam yang rahmatanlilalamin seharusnya juga menerapkan prinsip educiton for all secara totalitas dan bermutu tinggi. Dengan kata lain, secara tegas ditekankan bahwa PAI tidak boleh mendiskriminasikan ABK. Sebagaimana kisah nabi Muhammad yang ditegur oleh Allah SWT ketika beliau “memalingkan muka” saat ada sahabat yang matanya buta atau mengalami tunanetra hendak minta petunjuk atau pelajaran kepada beliau (QS. ‘Abasa [80]: 1-11).[54] Dari kisah tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat itu Nabi yang statusnya juga sebagai pendidik (guru). Serta, di sisi lain ada sahabat yang bermata buta (statusnya bisa disebut sebagai peserta didik) ingin diajari sebuah ilmu (tentang al Qur’an) maka hak kemanusiaannya oleh Allah tidak boleh didiskriminasikan. Baik pendiskriminasian secara fisik (karena buta) maupun pendiskriminasian secara sosial karena pada saat itu nabi Muhammad lebih mementingkan untuk menemui petinggi Quraisy dari pada mengajarkan ilmu pada sahabat yang mengalami kebuataan tersebut. Dengan demikian, karena nabi Muhammad sebagai pusat dan pendidik PAI yang pertama serta utama bagi seluruh umat Islam telah diperintah untuk mendidik sahabat yang berkebutuhan khusus maka untuk pihak pengembang PAI zaman sekarang ini seharusnya menerapkan nilai moral tersebut secara sungguh-sungguh.
Selanjutnya, dalam ajaran Islam pun dinyatakan bahwa Allah tidak menciptakan segala seuatu itu untuk hal yang sia-sia belaka. Pasti dibalik penciptaan yang manusia anggap sebagai suatu yang ganjil (tidak normal) terdapat maksud tertentu dari-Nya. Bahkan, bisa jadi akan bernilai manfaat besar. Meskipun, nilai faedah itu belum tentu bisa dipahami oleh nalar manusia. Salah satunya, secara sosiologis para ABK ini akan menjadi pelajaran berharga bagi manusia lainnya. Salah satunya sebagai sarana untuk beryukur dan mengagungkan Allah karena Dia telah menciptakan kehidupan yang beragam ini. Kehidupan ini tentu tak akan semenarik dan semenantang sekarang ini bilang kehidupan ini seragam (homogen). Bahkan, para ABK juga bisa sebagai sarana pendidik dan orang tua untuk beribadah kepada Allah dengan cara mengurus anak-anak yang membutuhkan perhatian ekstra tersebut. Bisa juga dengan adanya anak berkebutuhan khusus ini menuntut para ilmuwan sosial dan alam supaya menciptakan konsep dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan ABK sehingga bisa membentuk suatu tatanan masyarakat yang lebih utuh.

Penutup
Pada prinsipnya, Islam mengakui terdapatnya keberagaman fisik, psikologis, mental, dan sebagainya pada setiap peserta didik (manusia). Dalam sejarahnya pun, turunnya wahyu tentang larangan minum khamr (minuman memabukan) tidak serta merta langsung secara “mendadak.” Namun, dilakukan secara berangsur-angsur. Ini artinya, Islam menghendaki perubahan manusia orientasinya bukan pada hasilnya saja, tetapi juga proses yang berkualitas. Di mana kondisi psikologis serta fisik (biologis) para peminum khamr sangat diperhatikan. Inilah bukti bahwa dalam “mendidik” umat, agama Islam sangat memperhatikan unsur-unsur kemanusiaan.
Penjelasan tersebut bila dikaitkan dengan teori pendidikan inklusi, maka seorang pendidik tidak serta merta harus tertuju pada hasil apa yang diinginkan. Melainkan, juga memperhatikan cara atau proses apa yang paling bagus (manusiawi) agar kondisi fisik dan psikologis peserta tidak mengalami salah orientasi. Harapannya, dalam jangka panjang bisa tercapai hasil /tujuan yang lebih bagus. Misalnya, pendidik yang ingin mewujudkan tujuan PAI yaitu supaya peserta didiknya menjadi manusia yang beriman pada Allah. Pendidik tidak akan serta merta mendoktrin peserta didik supaya bisa beriman pada Allah, tapi juga dilakukan pendekatan lain. Yakni, yang sesuai dengan kemampuan peserta didik dalam memahami dan menjawab “Bagaimana cara beriman kepada Allah?.”
Sebagai penutup, dari semua penjelasan di atas terdapat beberapa kesimpulan penting, di antaranya adalah:
1.    Konsep dasar tentang teori pendidikan inklusi.
Wacana pergeseran paradigma dari pendidikan ekslusif menuju pendidikan inklusif telah menggejala akhir-akhir ini. Tak pelak berimplikasi pada perubahan “posisi” peserta didik di dunia pendidikan. Di mana awalnya ABK hanya diposisikan sebagai objek untuk “proyek” peningkatan kecerdasan dan akhlak mulia, menjadi subjek atas “proyek” pengembangan kecerdasan dan akhlak mulia. Asumsinya, peserta didiklah yang harus aktif dalam mencari dan mengembangkan kecerdasan dan akhlak mulianya melalui proses interaksi secara terbuka tanpa sekat dalam proses pendidikan inklusi. Pendidik hanya mengarahkan dan membimbing peserta didik dalam membanung “tatanan” masyarakat yang manusiawi di lembaga pendidikan tersebut.
2.    Titik Singgung Pendidikan Agama Islam dengan Paradigma Pendidikan Inklusi
Pembelajaran PAI dilakukan tidak hanya untuk memenuhi tuntutan moralitas dan ritualitas. Lebih dari itu, pembelajaran PAI merupakan penanaman nilai-nilai PAI secara universal. Dengan demikian, tujuan PAI bukan hanya dalam misi mencerdaskan peserta didik secara IQ (kecerdasan intekeltual/berhitung-logika). PAI juga hendak ingin memosisikan semua peserta didik secara adil dan setara. Itu artinya, peserta didik tidak hanya diarahkan untuk memahami bahkan menjadi ahli ilmu agama secara teoritis tapi juga dipraktikan dalam kehidupan nyata di lembaga pendidikan yang inklusif. Dengan kata lain, PAI sesungguhnya tidak hanya tertuju pada hasil, tapi juga mementingkan proses yang tepat. Yakni, salah satunya bagiaman supaya proses kegiatan PAI tidak melakukan pendiskriminasian terhadap sebagian peserta didik.

Daftar Rujukan

Amin, A. Rifqi. Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner. Yogyakarta: LKiS, 2015.

--------. Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: Deepublish, 2014.

“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.

“Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,” dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Permendiknas%20Nomor%20%2070%20Tahun%202009.pdf, diakses tanggal 18 Mei 2015.

“Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,” dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Permendiknas%20Nomor%20%2070%20Tahun%202009.pdf, diakses tanggal 18 Mei 2015.

“Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014.

Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz 1-30 Edisi Baru. Surabaya: Duta Ilmu, 2005.

Delphie, Bandi. Pembelajaran Anak Tunagrahita: Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi. Bandung: Refika Aditama, 2006.

Efendi, Mohammad. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Echols, John M. Dan Hassan Shadily. “Kamus Inggris-Indonesia,” dalam An English-Indonesia Dictionary . Jakarta: Gramedia Cet. II edisi tanpa indeks, 2013.

Fathuddin, Syukri. “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman. Yogyakarta: UNY Press, 2008.

Geniofam, Mengasuh & Menyukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Jogjakarta: Garailmu, 2010.

Goleman, Daniel. “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Hadis, Abdul. Pendidikan Anak Berkebuthan Khusus-Autistik. Bandung: Alfabeta, 2006.

Muchsin, Bashori dan Abdul Wahid. Pendidikan Islam Kontemporer. Bandung: Refika Aditama, 2009.

Muhammad, Jamila K. A. “Panduan Pendidikan Khusus Anak-anak dengan Ketunaan dan Learning Disabilities,” dalam Special Education for Special Children, terj. Edy Sembodo. Jakarta: Hikmah, 2008.

Nata, Abuddin. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana, 2009.

Rossidy, Imron. Pendidikan Berparadigma Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah dengan Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan. Malang: UIN, 2009.

Santoso, Satmoko Budi. Sekolah Alternatif, Mengapa tidak...?!. Jogjakarta: Diva, 2010.

Smith, J. David. “Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua,” dalam Inclusion, Scholl for All Student, terj. Enrica Denis. Bandung: Nuansa, 2006.

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003).

Undang-undang Republik Indonesia No. 4 tentang Penyandang Cacat Tahun 1997.




[1]Dalam referensi lain adakalanya digunakan istilah “pendidikan terintergrasi,” “pendidikan terpadu,” “pendidikan holistik,” dan “pendidikan humanistik” sebagai pengganti istilah pendidikan inklusi. Di mana, yang dimaksud pendidikan inklusi di sini adalah pendidikan yang mengakomodir Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Yakni, anak yang memiliki kelainan, ketunaan, atau hambatan dalam melakukan proses pembelajaran serta anak yang memiliki kelebihan, kecepatan tinggi, atau keunggulan dalam melakukan proses pembelajaran.
[2]Smith menegaskan bahwa dalam pendidikan inklusi terdapat adanya sebuah “keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang [dilakukan secara] menyeluruh. Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial[,] dan konsep diri (visi-misi) sekolah.”J. David Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua,” dalam Inclusion, Scholl for All Student, terj. Enrica Denis (Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 45.
[3]Masalahnya, pendidikan yang bermutu dan berkualitas itu sangat berbeda penerimaannya menurut anak yang berkebutuhan khusus (baik yang berkelainan maupun yang memiliki kecerdasan tinggi) dengan anak pada umumnya (anak “normal”). Di mana, suatu pendidikan disebut bermutu dan berkualitas menurut anak pada umumnya belum tentu berkualitas (baik karena terlalu berkualitas atau kurang berkualitas) menurut anak berkebutuhan khusus. Oleh sebab itu, layanan yang berkualitas saja tidak cukup. Cara yang tepat untuk memanusiakan ABK salah satunya ialah memasukkan mereka ke dalam sekolah umum (reguler). Dengan demikian, mereka tidak akan merasa tersingkirkan (diasingkan) karena tidak boleh berkumpul dengan anak “normal.” Kendati demikian, pada batas-batas tertentu baik batas pada tingkat kualitas individu ABK-nya serta tingkat kuantitasnya bila dalam proses pembelajaran tidak memungkinkan untuk dicampur dengan anak “normal” maka hal itu bisa ditolerir untuk dipisahkan atau dibedakan metode (strategi) pembelajarannya. Akan tetapi dalam aspek lain antara mereka semua satu sama lain tidak boleh dipisahkan, misalnya dalam proses interaksi sosial.
[4]Label kemanusiaan mereka tidak lengkap (utuh) seperti label kemanusiaan seperti halnya yang di sandang oleh manusia yang lain. Bahkan, mereka tidak lagi didanggap sebagai manusia bila mengalami “kecacatan” yang parah.
[5]Penggunaan istilah anak “normal” (tidak mengalami hambatan) dan “tidak normal” (mengalami ketunaan) di sini tidak dimaksudkan untuk membuat garis pemisah terkait hak dan kewajibannya. Akan tetapi, dimaksudkan supaya bisa memberikan fasilitas dan model pendidikan yang tepat bagi mereka semua yang memiliki perbedaan. Dengan kata lain, pembedaan terhadap peserta didik (terutama antara yang “normal” dan “tidak normal”) dilakukan untuk memetakan dan mengetahui kebutuhan peserta didik yang beranekaragam tersebut.
[6]Kasus seperti ini lebih sering terjadi pada Anak berkebutuhan khusus yang memiliki ketunaan (hambatan) daripada anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
[7]Lebih parah lagi, ada anggapan (mitos) bahwa manusia yang tidak normal sebagai sebuah “karma” yang diterima oleh orang tuanya dari dosa-dosa yang dilakukan di masa lalu. Oleh karena itu, perlakuan diskriminatif terhadap mereka layak untuk diberikan dengan dalih sebagai bentuk “pelajaran” sosial bagi semuanya.
[8]Peserta didik yang dikategorikan sebagai ABK di sini ialah yang memiliki keterbatasan fisik dan mental maupun yang memiliki kelebihan fisik dan kecerdasan tertentu.
[9]Smith menyatakan bahwa inklusi merupakan “istilah terbaru yang dipergunakan untuk mendeskripsikan penyatuan bagi anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah inklusi... Bagi sebagian besar pendidik, istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh.” Lebih lanjut, kata “inklusi” menurut Fuchs dan Fuchs sebagaimana dikutip Smith bisa memiliki arti berbeda-beda antar satu orang dengan yang lain. Sebagian dari mereka mengartikan sebagai cara baru untuk berbicara tentang pendidikan arus utama (pendidikan umum atau reguler). Beberapa yang lain mungkin menyebutkan sebagai sekolah luar biasa gaya baru (SLB gaya baru). Bahkan, bagi yang lainnya lagi mengartikan inklusi sebagai jargon untuk menyerukan “full inclusion” atau “uncompromising inculison” yang berarti penghapusan terhadap pendidikan luar bisa (SLB) secara total.”  Lihat, Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 45.
[10]John M. Echols dan Hassan Shadily, “Kamus Inggris-Indonesia,” dalam An English-Indonesia Dictionary  (Jakarta: Gramedia Cet. II edisi tanpa indeks, 2013), hlm. 316.
[11]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[12]Geniofam, Mengasuh & Menyukseskan Anak Berkebutuhan Khusus (Jogjakarta: Garailmu, 2010), hlm. 61-62.
[13]Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 18.
[14]“Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,” dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Permendiknas%20Nomor%20%2070%20Tahun%202009.pdf, diakses tanggal 18 Mei 2015.
[15]Geniofam, Mengasuh & Menyukseskan Anak, hlm. 62-63.
[16]“Dengan demikian, tidak setiap anak berkebutuhan khusus diharuskan berada dalam kelas regular dengan mengikuti semua mata pelajaran yang ada. Sebagian dari mereka dapat berada dalam ruang khusus atau ruang terapi tergantung dari gradasi kelainannya. Bahkan, untuk anak dengan garadasi kelainan yang cukup berat dapat lebih lama berada dalam ruang khusus daripada ruang reguler. Sedangkan untuk anak dengan gradasi kelainan yang sangat berat, lebih dianjurkan untuk mendapatkan pendidikan di SLB, bukan di sekolah inkusif.”Lihat, Geniofam, Mengasuh & Menyukseskan Anak, hlm. 64-65.
[17]Satmoko Budi Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa tidak...?! (Jogjakarta: Diva, 2010), hlm. 141.
[18]Menurut Abdul Hadis, pengertian anak luar bisa tidak selalu mengacu paa anak yang memiliki kemampuan unggul atau berperstasi luar biasa. Namun juga ditujukan pada anak yang mengalami kelaianan atau ketunaaan, baik yang hanya memiliki satu jenis kelainan maupun lebih dari itu (tunaganda). Ia juga menjelaskan bahwa “dalam dunia pendidikan luar biasa seorang anak diartikan sebagai anak yang luar biasa jika anak tersebut membutuhkan perhatian khusus dan layanan pendidikan yang bersifat khusus oleh guru pendidik atau pembimbing khusus yang berlatarbelakang disiplin ilmu pendidikan luar biasa atau disiplin ilmu lainnya yang relevan dan memiliki sertifikasi kewenangan dalam mengajar, mendidik, membimbing, dan melatih anak luar biasa.” Lihat, Abdul Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan Khusus-Autistik (Bandung: Alfabeta, 2006), hlm. 1-2.
[19]Geniofam, Mengasuh & Menyukseskan Anak, hlm.49.
[20]“Anak kelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: (a) anak mampu belajar dengan cepat (rapid learner), (b) anak berbakat (gifted), dan (c) anak genius (extremelly gifted). Karakteristik anak yang termasuk dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika hasil kecerdasan menunjukkan, bahwa indeks kecerdasannya yang bersangkutan berada pada rentang 110-120, anak berbakat jika indeks kecerdasannya berada pada rentang 120-140, dan anak sangat berbakat atau genius jika indeks kecerdasannya berada pada rentang di atas 140.”Lihat, Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 8.
[21]“Dalam dunia pendidikan, kata luar biasa juga merupakan julukan atau sebutan bagi mereka yang memiliki kekurangan atau mengalami berbagai kelainan dan penyimpangan yang tidak dialami oleh orang normal pada umumnya. Kelainan atau kekurangan yang dimiliki oleh mereka yang disebut luar biasa dapat berupa kelainan dalam segi fisik, psikis, sosial, dan moral.” Lebih lanjut, “anak luar biasa disebut sebagai anak yang berkebutuhan khusus, karena dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, anak ini membutuhkan bantuan layanan pendidikan, layanan sosial, layanaan bimbingan dan konseling, dan berbagai jenis layananan lainnya yang bersifat khusus.” Lihat, Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan, hlm. 4-6.
[22]Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa, hlm. 127.
[23]“Jenis-jenis layanan tersebut diberikan secara khusus kepada anak yang berkebutuhan khusus oleh pihak yang berkompeten pada setiap jenis layanan itu. Adapun yang termasuk pihak-pihak yang berkompeten dalam memberikan layanan pendidikan, sosial, bimbingan konseling, dan jenis layanan lainnya ialah para pendidik yang berijazah pendidikan luar biasa, pekerja sosial, konselor/petugas bimbingan konseling, dan ahli lain yang relevan dengan jenis layanan yang diberikan kepada anak luar biasa.” Lihat, Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan, hlm. 6.
[24]“Pendidkan khusus adalah pengajaran yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pendidikan murid-murid khusus. Pendidikan ini dirancang secara khusus, dijalankan secara teratur, serta dinilai keefektifannya secara teliti untuk membantu murid dengan kebutuhan khusus dalam mencapai tahap kemandirian dan keberhasilan hidup yang memuaskan.” Lihat, Jamila K. A. Muhammad, “Panduan Pendidikan Khusus Anak-anak dengan Ketunaan dan Learning Disabilities,” dalam Special Education for Special Children, terj. Edy Sembodo (Jakarta: Hikmah, 2008) hlm. 2. Diperinci oleh  Hadis bahwa “dalam dunia pendidikan istilah luar biasa mengandung pengertian ganda, yaitu mereka yang menyimpang ke atas karena mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dibanding dengan orang normal pada umumnya dan mereka yang menyimpang ke bawah, yaitu mereka yang menderita kelainan atau ketunaan dan kekurangan yang tidak diderita oleh orang normal pada umumnya.” Lihat, Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan, hlm. 5.
[25]Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa, hlm. 128.
[26]Kata optimal menjadi pilihan utama “karena ‘full inclusion’ lebih mempunyai konotasi negatif dan sulit disepakati bagi sebagian orang, kerangka filosofi yang akan dipakai di sini adalah ‘optimal inclusion’. Pengertian ini dimaksudkan untuk mendorong pendidik agar berusaha menemukan jenis dan tingkatan inklusi yang memuaskan tiap individu siswa.” Tujuan utamnya ialah membantu pendidik menjadi lebih professional, sehingga dapat memandang peserta didik sebagai yang utama dan pertama kali dalam setiap keadaan. Sedangkan kesulitan (disability) yang dimilikinya merupakan salah satu karakter dari individualitasnya. Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm.46.
[27]“Jenis dan penyebab kelainan fisik sangat berbeda-beda. Sebagian anak dilahirkan dengan kelainan bawaan (congenital disabilities). Dampak dari memiliki kecacatan sejak lahir dapat berbeda dengan memiliki kecacatan yang terjadi kemudian pada masa anak-anak sebagai akibat dari penyakit atau cidera. Beberapa kelainan fisik mungkin relatif ringan dan dapat diatasi (misalnya, beberapa kasus penyakit diabetes), tapi ada pula yang berat dan membutuhkan pendukung dari berbagai sumber daya (misalnya, beberapa kasus anak cerbral palsy jenis spastic quadriplegia). Sebagian kelainan fisik dapat bersifat progresif (misalnya, kelainan pertumbuhan otot/muscular dysthorpy), dan sebagian mungkin fatal (misalnya, AIDS).” Lihat, Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 173-174.
[28]Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 45-46.
[29]Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelianan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa bahwa yang dimaksud anak berkelainan atau anak yang mempunyai hambatan (disability) ialah yang terdiri atas: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; l. memiliki kelainan lainnya; m. tunaganda.  Lihat, “Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,” dalam http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Permendiknas%20Nomor%20%2070%20Tahun%202009.pdf, diakses tanggal 18 Mei 2015.
[30]Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak, hlm. 12.
[31]Ibid., hlm. 91.
[32]Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita: Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 1-3.
[33]Lebih lanjut, menurut Clark sebagaimana dikutip Smith bahwa ada lima ranah sifat pesertad didik yang memiliki keterbakatan, di antaranya:: kognitif, afektif, fisik, intuitif dan sosial. Lihat, Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 311.
[34]Hadis, Pendidikan Anak Berkebuthan, hlm. 27.
[35]Ibid. hlm. 35.
[36]Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 305.
[37]A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015), hlm. 4.
[38]Dalam ibadah ritual salat misalnya, salat yang dilakukan biasanya belum ke ranah konstruksi suci dari ucapan syahadat dan bentuk sujud kepada Allah. Artinya, belum pada tingkatan pengakuan diri bahwa dirinya adalah hamba yang wajib menyembah, membesarkan, dan mengabsolutkan-Nya. Kenyataannya malah mengutamakan kepentingan diri dan orang lain yang ada dalam bingkai (frame) sama dengannya. Pada akhirnya dikerucutkan pada pemutlakan, pembenaran, dan pengabsolutan diri sendiri atau seseorang yang ada di dalam frame tersebut. Dengan kata lain, pengabsolutan diri  masih lebih mendominasi dibandingkan dengan pengakuan kedaulatan Tuhan. Lihat, Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 174.
[39]Nilai nasionalisme didefinisikan sebagai nilai-nilai dalam menjaga keutuhan dan keamanan bangsa yang didasarkan pada peraturan Undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, umat Islam sebagai warga negara harus patuh terhadap Undang-undang yang ada di Indonesia. Pada intinya UUD 1945 tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Salah satu amanatnya adalah pada pasal  28J ayat “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilain-ilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Serta dalam Pasal 28E ayat 1 dan 2 serta Pasal 28I ayat 1. Lihat, “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014.
[40]Generasi muda yang tidak berani melakukan ijtihad (pengembangan diri) hanya akan memperlakukan agama sebagai alat pencapai kepentingannya. Aspek pragmatisme dan hedonisme lebih dimenangkan dibandingkan dengan melakukan kajian mendalam tentang filosofi sosial keagamaan. Implikasinya, agama gagal memasuki wilayah pemikiran progresif, dan stagnan sehingga berkutat dalam ekslusivisme. Artinya, telah terjadi pragmatisme agama yaitu melakukan kegiatan atas nama agama tapi kenyataannya hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri.
[41]A. Rifqi Amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Deepublish, 2014), hlm. 39.
[42]Syukri Fathuddin, “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman (Yogyakarta: UNY Press, 2008), hlm. 130.
[43]Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa, hlm. 141-142.
[44]Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-4.
[45]Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003).
[46]Undang-undang No. 4 tentang Penyandang Cacat Tahun 1997.
[47]Kita temui ada anak yang secara afektif sangat bagus (sopan santun) dan tidak banyak tingkah tapi secara kognitif sangat lemah. Ada pula anak yang secara kognitif bagus (nilai ulangan bagus) tapi secara psikomotorik (aktivisas fisik) sangat lemah.
[48]Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2009) hlm. 110-111.
[49]Amin, Pengembangan Pendidikan Agama, hlm. 110-111.
[50]Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa, hlm. 136.
[51]“Ketidakterlihatan” ABK  tercipta ketika orang disekitar kehilangan sifat kemanusiawiannya. Hal ini, diakibatkan mereka memandang ABK dengan persepsi yang dipenuhi dengan prasangka, kebiasan, dan asumis yang salah kaprah. “Ketidaktelihatan” bisa saja timbul karena penerimaan yang tidak wajar dari orang-orang di sekitar terhadap ABK. Cara pandang yang tidak wajar tersebut mengakibatikan ABK akan kehilangan “wujud” dirinya, sehingga para ABK akan menyangka bahwa dirinya memang benar-benar harus “tidak ada” di lingkungan sosial. Lihat, Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 31.
[52]Imron Rossidy, Pendidikan Berparadigma Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah dengan Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan (Malang: UIN, 2009), hlm. 52.
[53]Smith, “Inklusi, Sekolah Ramah,” hlm. 399-400.
[54]Artinya: (1). Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, (2) karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). (3) Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), (4) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? (5) Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy), (6) maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya, (7) padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman). (8) Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9) sedang dia takut (kepada Allah), (10) engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. (11) Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan. Lihat, Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz 1-30 Edisi Baru (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), hlm. 871.





Ilustrasi Pendidikan inklusi (sumber gambar)





Baca tulisan menarik lainnya: